HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT Oleh: Erta Priadi Wirawijaya 132121090502 KARYA TULIS AKHIR Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT
Oleh: Erta Priadi Wirawijaya
132121090502
KARYA TULIS AKHIR
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG 2014
i
HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE
PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT
Oleh:
ERTA PRIADI WIRAWIJAYA 132121090502
KARYA TULIS AKHIR
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Telah disetujui pada tanggal yang tertera dibawah ini Bandung, 17 Juni 2014
Tim Pembimbing
1. Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K) .…………..…………
2. Erwan Martanto, dr., SpPD, SpJP(K) .…………..…………
3. M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) .…………..…………
Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD., SpJP(K)
NIP. 195705241988031001 Kepala Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular FK UNPAD
Dr. Hj. Augustine P, dr., SpPD., SpJP(K) NIP. 195208271978102001
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Jantung dan
Ketua Tim Koordinasi Pelaksana Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 FK UNPAD
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademik (sarjana, magister atau doktor), baik di Universitas
Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat pendapat atau karya yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas,
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Karya tulis ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan seperti yang dilampirkan dibagian belakang karya tulis ini.
5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan danketidakbenaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta sanksi lainnya sesuai
dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Bandung, Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
Erta Priadi Wirawijaya, dr.
NPM : 132121090502
iii
ABSTRAK
Latar Belakang: Infark miokard akut (IMA) memiliki angka mortalitas dan morbiditas tinggi. Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko. Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda EKG baru yang berpotensi dapat digunakan memandu tatalaksana pasien IMA, namun informasi mengenai penggunaannya masih terbatas. Penelitian ini berusaha mencari hubungan antara fQRS sempit dengan skor GRACE pada pasien IMA yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin. Metode: Bentuk ini penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan penelitian potong lintang. Keberadaan fQRS ditentukan oleh penilai independen. Skor GRACE saat masuk rawat dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile resmi skor GRACE 2.0. Data yang terkumpul diolah menggunakan SPSS 20. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square untuk data bersifat kategorik dan t-test untuk data numerik. Hasil: Pasien IMA dengan fQRS memiliki usia (58 banding 56 tahun; p=0,016), laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit; p=0,002), ureum darah (median 31 banding 29 mg/dL; p=0,004), kreatinin (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3 ng/mL; p=<0,001), CKMB (median 103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip (p=0,44) yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS. Uji statistik t-test menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS sempit. Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata 11,7 lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS (median 112 banding 101, p=0,001). Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,3−3,8) lebih besar mendapatkan skor GRACE >120 dan risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung. Kesimpulan: Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS sempit (p=0.001). Kata Kunci: infark miokard akut, fragmentasi QRS, skor GRACE.
iv
ABSTRACT
Background: Acute myocardial infarction (AMI) mortality and morbidity are high. Electrocardiographic examination is easy, inexpensive and became standard in the diagnosis and risk stratification of Acute Coronary Syndrome (ACS). Fragmentation of QRS complex (fQRS) is a new ECG marker that could potentially be used to guide management of patients with myocardial infarction, but information on their use in risk stratification is still limited. This research tries to find the relationship between narrow fQRS and GRACE score in AMI patients who comes to the Dr. Hasan Sadikin Hospital emergency department. Methods: This study research design is retrospective with cross-sectional analysis. Existence of fQRS is determined by an independent appraiser. GRACE scores during admission was calculated using the official mobile application GRACE score of 2.0. The collected data was processed using SPSS 20. Statistical test used was chi-square for categorical nature of data and t-test for numerical data. Results: Acute Myocardial Infaction (AMI) patients with fQRS found to have higher age (58 vs 56 years, p=0.016), heart rate (median 88 vs 77 beats/min, p=0.002), blood urea (median 31 vs 29 mg/dL, p=0.004), creatinine (median 0.96 vs 0.9 mg/dL, p=0.037), troponin T (median 3 vs 1.1 ng/mL, p=<0.001), CKMB (median 103 vs 66 U/L, p=0.010) and Killip class (p=0.44). T-test statistic found a significant difference between AMI patients with and without narrow fQRS. Patient with fQRS has an average of 11.7 higher GRACE score than patients without fQRS (median 112 vs 101, p = 0.001). Patients with fQRS has a 2.2 times (95% CI 1.3 to 3.8) greater risk of getting GRACE score >120 and 1.94 times (95% CI 1.1 to 3.4) more likely to develop heart failure than patients without fQRS. Conclusion: AMI patient with narrow fQRS has higher GRACE score compared with AMI patient without narrow fQRS (p=0.001).
Angka kematian pasien SKA dengan ST elevasi masih tetap tinggi, 12%
diantaranya akan meninggal dalam 6 bulan.47 Skor GRACE tidak memiliki
peranan dalam memandu tatalaksana akut pasien SKA dengan ST elevasi,49
namun skor GRACE dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang
memiliki risiko tinggi mengalami kematian dalam 6 bulan pasca infark miokard.50
Hal tersebut memungkinkan klinisi untuk terus memperbaiki kualitas terapi yang
diberikan pada pasien STEMI dengan skor GRACE yang tinggi.49 Hubungan skor
risiko GRACE dan risiko kematian selama perawatan dan dalam 6 bulan pasca
rawat pada pasien SKA dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasein SKA47
Sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST
Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian di RS (%)
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)
Rendah 1-108 <1 1-88 <3
Sedang 109-140 1-3 89-118 3-8
Tinggi 141-372 >3 119-263 >8
Sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST
Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian di RS (%)
Skor Risiko GRACE
Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)
Rendah 49-125 <2 27-99 <4.4
Sedang 126-154 2-5 100-127 4.5
Tinggi 155-319 >5 128-263 >11
15
Penelitian Khan dkk.51 yang melibatkan 1.033 pasien dengan infark miokard
(STEMI & NSTEMI) menemukan bahwa risiko kematian saat perawatan
ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >149, risiko kematian
dalam 6 bulan ternyata ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor
GRACE > 120. Temuan tersebut didukung oleh penelitian Stavileci dkk.52 yang
menemukan salah satu prediktor mortalitas yang bermakna kuat pada 296 pasien
STEMI adalah skor GRACE >120 dengan OR=4,765.
2.1.3. Peranan Elektrokardiografi dalam Stratifikasi Risiko
Elektrokardiografi adalah pemeriksaan standar baku yang cepat, mudah,
murah yang untuk evaluasi pasien dengan SKA. Sindrom koroner akut disebabkan
oleh terganggunya aliran darah koroner akibat plak atherosklerosis dan trombosis
atau embolisasi distal yang terjadi. Sumbatan yang transien atau inkomplit akan
menyebabkan angina tidak stabil atau non-Q wave myocardial infarction (NQMI).
Karena patogenesis dan presentasi klinis yang sama, pasien dengan UA dan
NQMI juga diklasifikasikan sebagai SKA tanpa elevasi segmen ST.53 Arteri
koroner yang tersumbat total lebih dari 30 menit biasanya akan mengakibatkan ST
elevasi yang terbentuk berujung pada terbentuknya gelombang Q.54,55
Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST
Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi
standar baku dalam diagnosis SKA. Pemeriksaan EKG istirahat 12 sadapan harus
diambil dalam 10 menit pertama setelah bertemu tenaga kesehatan dan secepatnya
diinterpretasikan oleh dokter yang kompeten.13 Elektrokardiografi juga menjadi
16
bagian yang tidak terpisahkan dalam stratifikasi risiko. Karakteristik abnormilitas
EKG dalam SKA tanpa ST elevasi adalah depresi segmen ST, elevasi segmen ST
transien dan/atau perubahan gelombang T.14,15 Temuan elevasi segmen ST yang
persisten >20 menit, dianggap sebagai sebagai STEMI dan tatalaksananya
menjadi berbeda.16,17
Pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki gambaran klinis yang sangat
heterogen. Kelompok ini berdasarkan temuan EKG dapat distratifikasikan
kedalam risiko tinggi, sedang atau rendah. Pasien berisiko tinggi adalah pasien
dengan deviasi segmen ST, pasien berisiko sedang dengan inversi segmen ST, dan
pasien risiko rendah umumnya memiliki temuan EKG yang normal atau
nonspesifik. Kriteria non EKG yang masuk kriteria risiko tinggi adalah usia
diatas 65 tahun, riwayat memiliki PAK sebelumnya, nyeri dada pada 24 jam
sebelumnya dan meningkatnya biomarka jantung.54,56
EKG Normal / Non Diagnostik
Gambaran EKG yang awalnya normal atau non diagnostik dapat ditemukan
pada pasien dengan daerah iskemia yang kecil, oklusi pada salah satu cabang
arteri koroner atau oklusi pada arteri sirkumflek kiri.57,58 Selain itu gambaran
EKG normal dapat diakibatkan oleh tertundanya evolusi segmen ST/gelombang
T. Mayoritas pasien dengan gambaran EKG normal atau nondiagnostik memiliki
prognosis jangka pendek dan jangka panjang yang baik.59,60 Menurut Cannon
dkk.59 sebanyak 60% pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki EKG yang
normal dan angka kematian setahun pertama sekitar 8,2%. Temuan EKG yang
17
normal tidak menyingkirkan kemungkinan PAK, Kantos dkk.57 melalui
penelitiannya menggunakan pencitraan perfusi miokard dengan sestamibi
menemukan bahwa pasien dengan EKG non diagnostik memiliki keterlibatan
miokardium yang tidak jauh berbeda dengan yang memiliki EKG abnormal.
EKG dengan Inversi Gelombang T
Kelompok pasien ini ditemukan memiliki inversi gelombang T sedalam 1-2
mm atau mengalami normalisasi gelombang T. Prognosis temuan EKG ini belum
jelas. Cannon dkk.59 menemukan inversi gelombang T dialami pada 20,5% pasien
dengan SKA dan mortalitasnya pada tahun pertama 6,8%, tidak jauh berbeda
dengan temuan EKG yang normal. Holmvang dkk.61 menemukan bahwa inversi
gelombang T pada >5 sadapan lebih memiliki keluaran yang sama dengan pasien
dengan depresi segmen ST. Nyman dkk.60 menemukan inversi gelombang T
dialami pada 31% pasien SKA dan angka kematian atau infark miokard non fatal
pada setahun pertama hampir dua kali pasien dengan temuan EKG normal.
Savonitto dkk.14 membandingkan prognosis pasien dengan inversi
gelombang T, depresi segmen ST, dan elevasi segmen ST pada penelitian kohort
yang melibatkan 12.142 orang dalam Global Utilization of Streptokinase and
Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries (GUSTO) II.
Mereka menemukan pasien dengan inversi gelombang T memiliki insidensi PAK
non obstruktif dan multivessel disease yang terendah. Pasien dengan inversi
gelombang T saja, memiliki angka kematian dan reinfark yang paling rendah pada
30 dan 180 hari pasca infark.
18
EKG dengan Depresi Segmen ST
Pasien dengan depresi segmen ST memiliki insidensi kematian, kejadian re-
infark dan terulangnya iskemia miokard yang paling tinggi.14,59,60 Deviasi segmen
ST pada SKA diukur 60-80 ms setelah J point dan insidensinya pada SKA
bervariasi dari 12,4% hingga 46% tergantung kriteria yang digunakan (0,5 atau 1
mm).59,62 Tingkat kematian infark miokard non-fatal dalam 30 hari pertama
bervariasi antara 3,6% hingga 16%, angka kematian tersebut meningkat hingga
9,8-22% dalam setahun pertama.62 Hyde dkk.62 juga menemukan bahwa semakin
dalam depresi yang terjadi (0,5 mm, 1 mm, dan > 2 mm), semakin tinggi angka
kematiannya (12%, 15%, dan 41%). Holvfang dkk.61 juga menemukan korelasi
serupa antara depresi segmen ST dan keluaran klinis. Prognosis pasien juga
ditemukan semakin buruk jika terdapat kombinasi depresi segmen ST dan inversi
gelombang T.
Savonitto dkk.14 menemukan sebanyak 50% pasien dengan depresi segmen
ST mengalami elevasi biomarka jantung. Savonitto dkk.14 juga menemukan angka
kematian dan kejadian reinfark dalam 30 hari pada pasien dengan depresi segmen
ST dan CKMB normal sebesar 9,7%, sedangkan mereka yang mengalami
peningkatan CKMB meningkat menjadi 16,7%. Perbedaan serupa ditemukan 6
bulan sesudahnya yaitu sebesar 14,6% dan 21,7%.14
Elektrokardiografi juga berguna untuk mengidentifikasi pasien berisiko
tinggi dengan left main atau three-vessel disease.63 Depresi segmen ST yang difus
dan elevasi segmen ST di sadapan AVR seperti gambar dibawah dapat terjadi
pada pasien three vessel disease yang ektensif. Pasien dengan temuan EKG
19
seperti ini adalah kandidat untuk angiografi koroner dan revaskularisasi dini.64
Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat proximal LAD pada three vessel disease
Keterangan : Depresi segmen ST dapat ditemukan disemua sadapan kecuali V1, V2 dan elevasi di aVR.64
Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST
Pasien elevasi segmen ST dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah pasien dengan elevasi segmen ST transien yang tidak berkembang
menjadi gelombang Q patologis. Kelompok ini dapat diklasifikasikan menjadi
unstable angina (UA) atau Non-Q-Wave Myocardial Infarction (NQMI)
berdasarkan temuan meningkat tidaknya biomarka jantung. Insidensi elevasi
segmen ST transien pada pasien SKA sekitar 10%.64 Prognosis kelompok tersebut
serupa dengan pasien SKA dengan depresi segmen ST. Pasien dengan kombinasi
berupa elevasi dan depresi segmen ST memiliki prognosis terburuk.60 Kelompok
yang penting untuk diketahui adalah pasien dengan nyeri dada khas iskemia,
elevasi segmen ST ringan, dan inversi gelombang T yang dalam di V2-4 yang
biasanya diakibatkan obstruksi berat di arteri anterior desenden kiri.65 Gelombang
Q patologis akan timbul pada mayoritas pasien dengan elevasi segmen ST.
20
Gambar 2.3. Gambaran EKG Multivessel disease Keterangan : EKG diambil saat nyeri dada, terdapat ST elevasi ringan di V1-3 dan inversi gelombang T dalam di sadapan V2-5. Angiografi menunjukkan adanya stenosis 90% di proksimal LAD dan stenosis 85% di RCA & 90% di LCF.64
2.1.4. Fragmentasi QRS
Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda elektrokardiogram baru yang
menggambarkan terganggunya konduksi ventrikel saat melalui daerah
miokardium yang perfusinya terganggu.32 Fragmentasi QRS diduga timbul akibat
terbentuknya jaringan parut atau nekrotik pada miokard, beberapa studi telah
menemukan keberadaan fQRS dihubungkan dengan meningkatnya kejadian
kardiovaskular dan kematian.26,70,71,80
Definisi & Batasan Fragmentasi QRS
Penelitian Das dkk.21 tahun 2006 adalah penelitian besar pertama yang
mempelajari fQRS pada pasien PAK. Definisi fQRS pada penelitian tersebut
adalah keberadaan gelombang R tambahan (R’) atau bertakik pada nadir
gelombang S atau gelombang R, atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi)
pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner yang
pemperdarahinya. Pola bundle branch block yang umum (QRS > 120 ms) dan
21
juga incomplete right bundle branch block tidak dianggap sebagai fragmentasi
QRS.
RSR’ rSr’ rSR’ S bertakik R bertakik fQRS
Gambar 2.4. Beragam bentuk morfologi fQRS pada EKG 12 sadapan18
Sejak penelitian pertama tersebut, Das dkk. telah menambahkan definisi
wide complexes fQRS yaitu gelombang R’ >2 atau bertakik dalam gelombang R
atau S pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan dengan komplek QRS yang
lebar (>120 ms) akibat bundle branch block (BBB), pacing, atau premature
ventricular contraction (PVC). Fragmentasi QRS pada premature ventricular
contraction dianggap ada jika takik / fragmentasinya terpisah >40 ms dan terjadi
pada 2 sadapan yang berhubungan.74
22
fQRS pada RBBB
fQRS pada LBBB
fQRS pada irama pacing
fQRS pada PVC
Gambar 2.5. Morfologi fQRS lebar pada EKG 12 sadapan74
Patofisiologi Fragmentasi QRS
Proses depolarisasi normal terdiri dari 3 fase yaitu aktivasi septum
interventrikular (fase 1), dinding bebas ventrikel kanan (fase 2) dan dinding bebas
ventrikel kiri (fase 3).66 Fase 2 dan 3 normalnya terjadi secara simultan dan
berjalan hampir berlawanan arah menghasilkan vektor akhir yang terlihat pada
EKG permukaan. Fase 2 akan tertunda dan timbul setelah fase 3 pada Right
Bundle Branch Block (RBBB) sehingga terjadi pemanjangan durasi QRS.
Depolarisasi ventrikel kanan akan menghasilkan potensial listrik yang lebih tinggi
pada EKG permukaan karena tidak ada aktivitas listrik berlawanan akibat
depolarisasi ventrikel kiri yang simultan. Aktivasi ventrikel kanan dengan vektor
tanpa lawan inilah yang akan mengakibatkan hilangnya gelombang S pada V1
23
yang dapat hilang sepenuhnya tergantung beratnya gangguan konduksi yang
terjadi. Karena hal tersebut perubahan EKG pada RBBB terutama adalah
pemanjangan gelombang QRS dan depolarisasi terminal yang tertunda yang
dimanifestasikan dengan adanya gelombang R’ tambahan dengan berkurangnya
gelombang S di V1 dan V2 dan juga gelombang S bertakik yang dominan di I, V5
dan V6.66 Fenomena yang serupa tapi dengan vektor yang berlawanan terjadi pada
left bundle branch block (LBBB) dan dimanifestasikan sebagai gelombang
berpola RSR’ pada sadapan prekordial kiri.
Mekanisme yang terjadi pada fQRS masih spekulatif, namun diduga
berbeda dengan mekanisme terjadinya RBBB atau LBBB. Fase 2 dan fase 3
depolarisasi ventrikel pada pasien dengan fQRS tetap berlangsung secara
bersamaan, namun salah satunya akan terganggu akibat adanya daerah ventrikel
yang mengalami fibrosis / iskemia sehingga timbul aktivasi ventrikel yang
inhomogen. Hal tersebut meningkatkan risiko timbulnya aritmia dan juga
kematian. Penelitian sebelumnya menganggap fragmentasi QRS sebagai blok
konduksi peri-infark.67 Mekanisme tersebut didukung oleh temuan post mortem
pasien infark miokard dengan fQRS yang ditemukan mengalami nekrosis miokard
yang berat (fibrous) diantara jaringan miokard yang masih baik.67 Pemetaan
endokardial dan epikardial pada pasien PAK dan kardiomiopati dilatasi dengan
aritmia ventrikel menemukan gambaran EKG yang terfragmentasi disekitar
jaringan parut miokard.68,69 Hal serupa juga ditemukan pasien PAK dan
kardiomiopati dilatasi yang telah menjalani transplantasi jantung dan memiliki
kelompok otot dengan fibrosis intersitial dimana konduksi mengalami
24
perlambatan sehingga timbul bentuk “zig-zag” pada EKG yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya reentry.70,71 Keberadaan jaringan parut pada miokard
seperti beberapa penelitian diatas dianggap sebagai substrat patologis yang
menyebabkan terganggunya proses depolarisasi sehingga timbul gelombang R
tambahan atau gelombang S atau R yang bertakik.18
Fragmentasi QRS pada Penyakit Arteri Koroner
Penelitian penelitian sebelumnya menemukan salah satu penanda aneurisma
ventrikel adalah pola rsR’ atau fragmentasi QRS pada EKG.19,72 Reddy dkk.19
menemukan fQRS tidak hanya ditemukan pada sadapan prekordial, namun dapat
juga ditemukan pada sadapan ekstremitas. Lokasi timbulnya fQRS ditemukan
berhubungan dengan abnormalitas gerakan dinding regional pada ekokardiografi.
Dugaan bahwa fQRS merupakan penanda adanya jaringan parut pada miokard
menjadi dasar penelitian Das dkk.18 pada tahun 2006 yang menemukan bahwa
fQRS adalah penanda infark yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih
tinggi dari gelombang Q sebagaimana dibuktikan pada pemeriksaan sidik perfusi
miokard (SPM) menggunakan SPECT. Lokasi fQRS pada penelitian tersebut
ditemukan berhubungan dengan lokasi lesi arteri koroner. Fragmentasi QRS pada
>2 sadapan anterior (V1-V5) timbul akibat rusaknya miokard karena lesi di arteri
anterior desenden kiri (LAD). Fragmentasi QRS pada >2 sadapan lateral (I, aVL,
dan V6) diakibatkan lesi pada arteri sirkumflek kiri (LCX). Fragmentasi QRS
pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF) diakibatkan rusaknya miokard akibat
lesi pada segmen inferior atau arteri koroner kanan (RCA).18
25
Penelitian Das dkk.73 selanjutnya melibatkan 998 orang pasien yang
dievaluasi PAK. Kematian akibat semua sebab lebih tinggi (34% banding 26%)
dan kejadian kardiovaskular (infark miokard, kematian jantung, kebutuhan
revaskularisasi) ditemukan lebih tinggi (50% banding 28%) pada pasien dengan
fQRS dibandingkan pasien tanpa fQRS selama periode follow up 57 minggu.
Penelitian Mahenthiran dkk.22 melibatkan 155 pasien dengan fQRS yang
menjalani pemeriksaan SPM. Pasien dengan fQRS ditemukan memiliki gangguan
fungsi (fraksi ejeksi) lebih rendah, gangguan perfusi lebih berat, dan jaringan
parut regional yang sesuai dengan lokasi fQRS pada EKG (sensitivitas 75%,
spesifitas 94%). Penelitian Ozdemir dkk.74 yang melibatkan 261 pasien yang
menjalani pemeriksaan SPM juga menemukan kelompok fQRS memiliki
prevalensi iskemia (defek reversible) dan infark (defek menetap) sebanyak 4,38
kali dan 5,95 kali lebih tinggi dibandingkan group kontrol tanpa fQRS. Penelitian
Tangcharoen dkk.75 dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) jantung
menemukan pasien dengan fQRS memiliki prevalensi lesi miokard yang lebih
tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS (24,5% banding 12,2%). Setelah
disesuaikan dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya, analisis regresi
multivariabel keberadaan fQRS pada EKG ditemukan sebagai prediktor kuat
adanya jaringan parut pada miokard (OR 4,26, P=0,026).
26
Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG, pada SPM ditemukan defek di inferior.18
Studi Retrospektif Wang dkk.33 melibatkan 1.151 pasien yang menjalani
SPM memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian Das.18 Wang dkk.33
menemukan fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam
mendeteksi gangguan perfusi miokard. Tibrewela dkk.35 juga tidak menemukan
hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya jaringan parut pada pemeriksaan
SPECT ataupun stenosis bermakna pada angiografi. Penelitian Ahn dkk. 34 juga
menemukan bahwa fQRS tidak lebih baik dari gelombang Q dalam
memprediksikan infark (defek menetap) pada pemeriksaan Ga-MRI.
27
Fragmentasi QRS pada Sindrom Koroner Akut
Sejak penelitian pertama oleh Das dkk.18 telah ada banyak penelitian yang
mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca
infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel kiri
(sensitivitas 50%, spesifitas 94,5%),19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20,21
meningkatnya risiko kejadian kardiovaskular mayor.23,24,27 dan kematian pada
pasien SKA.25-27 Risiko kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung
pada pasien pasca infark juga semakin tinggi seiring banyaknya temuan fQRS
pada sadapan jantung.28
Penelitian lanjutan Das dkk.25 melibatkan 896 pasien SKA menemukan
fQRS pada 224 pasien (51%) dengan infark miokard dan hanya pada 17 pasien
(3.7%) pasien angina tidak stabil. Gelombang Q baru timbul pada 122 (28%)
pasien dengan infark miokard (23% pada pasien NSTEMI) dan 2 (0.4%) pada
pasien angina tidak stabil. Fragmentasi QRS ditemukan sebagai penanda infark
dengan sensitivitas sebesar 55% pada kasus infark miokard (50% pada NSTEMI)
dengan spesifitas sebesar 96%.25 Studi Guo dkk.29 menemukan fQRS pada kasus
NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh koroner mana yang
bertanggung jawab dengan sensitivitas (77,1%) dan spesifitas (71,5%) total yang
lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.
28
Gambar 2.7. Gambaran angiografi dengan aterosklerosis difus pada pasien NSTEMI dengan fQRS pada V2-V4.29
Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada pasien STEMI dihubungkan
dengan temuan hitung jenis leukosit, kadar CKMB dan Troponin yang lebih
tinggi, waktu pain to ballon time yang lebih lama, skor killip yang lebih tinggi,
gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya
gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS.30 Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal
sehingga jaringan miokardium yang mengalami infark lebih luas.30
29
Gambar 2.8. Gambaran fQRS pada pasien STEMI posterolateral
Penelitian Cetin dkk.31 menemukan bahwa pasien dengan fQRS yang timbul
saat masuk rawat atau timbul setelah tindakan IKP primer memiliki marka
inflamasi dan biomarka jantung yang lebih tinggi, pain to ballon time yang lebih
lama, durasi QRS lebih panjang, keterlibatan arteri koroner lebih banyak, dan
gelombang Q abnormal yang lebih sering dibandingkan pasien yang tidak
memiliki fQRS atau yang fQRS-nya menghilang. Fragmentasi QRS yang menetap
pasca IKP primer sangat berhubungan dengan rendahnya penurunan elevasi
segmen ST dan parameter reperfusi miokard.31 Temuan tersebut serupa dengan
temuan Erdem dkk. yang menemukan bahwa keberadaan fQRS berhubungan
dengan kegagalan reperfusi pada pasien IMA dengan ST elevasi. Pasien STEMI
dengan fQRS ditemukan memiliki grade TIMI Myocardial Perfusion (TMP) dan
fraksi ejeksi yang lebih rendah.32
Sheng dkk.24 pada sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 300
pasien IMA menemukan insidensi aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan kematian
pada pasien yang memiliki fQRS sebesar 13,6%, 29,2% dan 23,7%. Nilai tersebut
secara bermakna lebih besar (nilai p <0,05) dibandingkan pasien yang tidak
30
memiliki fQRS. Angka kejadiannya secara bermakna lebih tinggi (nilai p <0,01)
pasien STEMI dengan fQRS dibandingkan NSTEMI. Pasien IMA dengan fQRS
yang menjalani IKP tidak mengalami penurunan kejadian aritmia yang bermakna,
sedangkan gagal jantung dan kematian ditemukan lebih rendah secara bermakna
(nilai p 0,031 dan <0,001).24 Berdasarkan penelitian tersebut, temuan fQRS pada
pasien NSTEMI dapat digunakan sebagai salah satu indikasi tindakan
revaskularisasi segera.
Fragmentasi QRS pada Kelainan Jantung Lainnya
Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien dengan kardiomiopati
dilatasi (DCM), temuan ini meningkatkan kemungkinan timbulnya kontraksi
prematur ventrikel (PVC) dan kematian mendadak.76 Temuan fQRS juga
menandakan keberadaan jaringan parut miokard yang dibuktikan melalui Ga-MRI
pada pasien bukan PAK.77 Homsi dkk. menemukan fQRS dapat ditemukan pada
sarkoidosis jantung dengan sensitivitas sebesar 100% dan spesifitas 80% yang
dibuktikan melalui MRI dengan kontras gadolinium (Ga-MRI).78 Peters dkk.
menemukan bahwa fQRS pada > 2 sadapan dapat ditemukan pada 190 dari 360
orang pasien dengan Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD),
sedangkan gelombang epsilon pada amplifikasi sadapan prekodial kanan dan
ekstremitas ditemukan pada 159 kasus.79 Sehingga keberadaan fQRS dapat
dijadikan salah satu penanda EKG pada pasien dengan kecurigaan klinis ARVD.
Fragmentasi QRS sering ditemukan pada pasien dengan sindrom Brugada,
terutama pada kelompok yang pernah mengalami ventrikular fibrilasi.80 Uji klinis
31
acak PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE (PRELUDE)
menemukan fQRS bermanfaat untuk mengidentifikasi kandidat implantasi ICD
pada pasien sindrom Brugada.81 Pasien dengan Acquired Long QT-Syndrome
(ALQTS) yang rentan mengalami torsade de pointes memiliki gangguan
repolarisasi yang ditandai dengan pemanjangan interval QT dan pemanjangan
puncak hingga akhir gelombang T yang menandakan dispersi transmural atau
intraventrikular.82 Fragmentasi QRS ditemukan pada sebagian besar (81%) pasien
ALQTS dengan riwayat sinkope atau torsade de pointes. Walau onset torsade de
pointes adalah triggered activity akibat early after depolarization, jaringan parut
pada miokard yang muncul sebagai fQRS dapat menjadi subtrat yang
menyebabkan aritmia reentrant pada kelompok pasien tersebut.83
Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien pasca koreksi kelainan
jantung bawaan. Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien Tetralogy of
Fallot (TOF) post koreksi dan dihubungkan dengan adanya jaringan parut pasca
operasi yang lebih luas, fraksi ejeksi yang lebih rendah dan ukuran ventrikel
kanan yang lebih besar.84 Fragmentasi QRS dapat juga ditemukan pada stenosis
katup mitral akibat penyakit jantung rematik dan dihubungkan dengan temuan
ejeksi fraksi yang lebih rendah, hipertensi pulmonal, kelas fungsional New York
Heart Association (NYHA) yang lebih rendah dan mitral valve area yang lebih
rendah.85 Proses inflamasi dan degenerasi pada katup jantung diduga
mengakibatkan kerusakan miokardium sehingga timbul fQRS.
32
Pengaturan EKG untuk Deteksi Fragmentasi QRS
Pengaturan pemeriksaan elektrokardiografi untuk mendeteksi fQRS pada
beberapa penelitian adalah dengan rentang high-pass filter 0.05-20 Hz (biasanya
0.15Hz), low pass filter 100-150 Hz dan AC Filter 50-60Hz dengan kecepatan 25
mm/s dan amplitudo 10 mm/mV tetap.18,73,77 Low pass filter digunakan untuk
mengurangi bising yang timbul akibat aktivitas listrik dan otot saat perekaman
EKG. Ambang frekwensi yang umum digunakan dapat menyaring spike kecil
yang timbul sehingga fQRS tidak terdeteksi, untuk menghindari hal tersebut Das
menyarankan penggunaan low pass filter dengan frekuensi 100-150 Hz.
Gambar 2.9. Dampak pengaturan low pass filter pada EKG
Keterangan : EKG dengan low pass filter 35Hz hanya menunjukkan 2 spike dalam kompleks QRS
(kiri). Dengan merubah ambang frekwensi dari 35 menjadi 150 Hz, dapat ditemukan 3 spike baru
dalam komplek QRS (kanan).
33
2.1.4. Hubungan Fragmentasi QRS dengan Skor GRACE
Pasien IMA dengan fragmentasi QRS pada pemaparan sebelumnya
ditemukan memiliki daerah infark lebih luas,30 hitung jenis leukosit serta
biomarka jantung lebih tinggi,30 kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka
kematian lebih tinggi.25-28 Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS semakin
tinggi angka perawatan kembali yang terjadi karena gagal jantung jantung dan
kematian pada pasien pasca IMA.28 Beratnya komplikasi gagal jantung yang
terjadi pada SKA tergambarkan dalam klasifikasi killip yang menjadi salah satu
variabel skor GRACE. Penelitian El-Menyar dkk.86 mempelajari klasifikasi killip
pada 6.704 pasien SKA mendapatkan semakin tinggi kelas killip, fraksi ejeksi dan
tekanan darah sistolik ditemukan lebih rendah sedangkan laju jantung, kadar
serum kreatinin, dan nilai GRACE ditemukan lebih tinggi (p<0,001). Berdasarkan
hal tersebut kemungkinan besar terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok pasien IMA dengan fQRS dibandingkan tanpa fQRS, pasien IMA
dengan fQRS akan memiliki temuan skor GRACE yang lebih tinggi.
Kemungkinan tersebut diperkuat temuan Stavileci dkk.52 yang mempelajari
makna fQRS pada 296 pasien dengan STEMI dan menemukan pasien dengan
fQRS berisiko 2 kali lebih besar memiliki skor GRACE yang tinggi (>120).
2.2. Kerangka Pikiran
Sindrom koroner akut adalah manifestasi akut penyakit kardiovaskular
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien
infark miokard dengan ST elevasi sudah jelas. Stratifikasi risiko menjadi bagian
34
yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana pasien NSTEMI atau unstable angina.10
Skor GRACE disarankan penggunaannya dalam panduan ESC10 karena terbukti
lebih akurat13,14 dibandingkan skor risiko lainnya. Namun penggunaan skor
GRACE terbentur kompleksitas sistem skoring tersebut sehingga membutuhkan
bantuan komputer atau smartphone dan serangkaian pemeriksaan yang jarang bisa
dikerjakan di Indonesia. Dibutuhkan parameter yang mudah, murah, tersedia luas
dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu modalitas stratifikasi risiko untuk memandu tatalaksana SKA yang optimal.
Pemeriksaan EKG yang rutin dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua
syarat tersebut dan fQRS menjadi salah satu penanda baru yang berpotensi dapat
digunakan untuk memandu tatalaksana SKA.
Fragmentasi QRS timbul akibat gangguan konduksi karena adanya jaringan
miokard yang mengalami fibrosis. Pasca infark keberadaan fQRS ditemukan lebih
sensitif dan spesifik sebagai penanda infark miokard dibandingkan gelombang
Q.18 Depresi segmen ST atau inversi gelombang T adalah penanda iskemia yang
selama ini digunakan untuk diagnosis pasien NSTEMI atau UA.16 Penelitian Das
dkk.25 menemukan bahwa fQRS dapat menjadi penanda infark yang dapat
membedakan pasien NSTEMI dari pasien UA dengan sensitivitas sedang (50%)
dan spesifitas yang tinggi (96%). Guo dkk. bahkan menemukan sensitivitas dan
spesifitas fQRS lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T untuk
memprediksi arteri koroner yang menjadi penyebab SKA.29 Penelitian lainnya
menemukan pasien SKA dengan fQRS memiliki daerah infark yang lebih luas,30
hitung jenis leukosit serta biomarka jantung yang lebih tinggi,30 kejadian aritmia
35
yang lebih sering,23,24 dan angka kematian yang lebih tinggi25-28 dibandingkan
pasien SKA tanpa fQRS. Studi terbaru oleh Shen dkk. bahkan menyimpulkan
fQRS dapat digunakan sebagai indikasi perlunya intervensi cepat pada kasus
NSTEMI.24
Fragmentasi QRS telah banyak dihubungkan dengan prognosis yang lebih
buruk pada pasien SKA, walau demikian hingga kini belum ada sistem stratifikasi
risiko yang menggunakan fQRS sebagai salah satu variabel yang bermakna.
Penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fragmentasi QRS dengan
sistem skoring, khususnya GRACE belum ada. Penelitian retrospektif Stavileci
dkk.52 mencari hubungan temuan fQRS yang sempit pada pasien STEMI dengan
keluaran klinis menemukan fQRS yang sempit meningkatkan risiko mendapatkan
skor GRACE yang tinggi (>120) hingga 2 kali lipat. Penelitian yang menemukan
bahwa pasein IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa fQRS dapat memperluas khasanah pengetahuan di bidang
tatalaksana SKA dan memungkinkan penggunaan fQRS sebagai parameter EKG
yang mudah dan murah untuk membantu identifikasi pasien infark miokard
berisiko tinggi yang dapat diuntungkan dari terapi yang lebih agresif.
36
2.3. Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 2.10. Kerangka Pemikiran
Sindrom Koroner Akut
Unstable Angina STEMI NSTEMI
fQRS (-) fQRS (+)
Leukosit & biomarka jantung lebih tinggi30
Daerah infark lebih luas30,31
Gagal Jantung lebih berat, fraksi ejeksi lebih rendah20,21,23
Kelas Killip yang tinggi89
Laju jantung é
Kadar kreatinin é
Tekanan darah sistolik ê
Risiko terjadinya henti jantung é
Skor GRACE é
STEMI : prognosis
NSTEMI : memandu
tatalaksana dan prognosis1
Hubungan antara
fQRS(+) dan skor GRACE?
FOKUS PENELITIAN
37
2.4. Premis-premis
Berdasarkan fakta-fakta empiris objektif yang telah dijabarkan diatas, maka
disusun premis-premis sebagai berikut :
Premis 1 :
Fragmentasi QRS adalah penanda EKG baru akibat proses depolarisasi ventrikel
inhomogen pada daerah infark29 atau fibrosis.18,76
Premis 2 :
Pasien IMA dengan fQRS memiliki daerah infark lebih luas, biomarka jantung
lebih tinggi,30 fraksi ejeksi lebih rendah,21 komplikasi gagal jantung lebih sering
dan berat, kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka kematian lebih tinggi.25-28
Premis 3 :
Panduan ESC10 menyarankan penggunaan skor GRACE karena lebih akurat.13,14
Premis 4 :
Risiko mendapatkan skor GRACE yang tinggi (>120) dua kali lebih besar pada
pasien STEMI dengan fQRS.52
Premis 5 :
Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS (> 3) pada pasien IMA, semakin
tinggi angka kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung.28
2.5. Hipotesis
Berdasarkan premis-premis diatas dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna akan lebih tinggi
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
38
BAB III
SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Subjek dan Bahan Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien yang terdiagnosis infark miokard akut
(STEMI dan NSTEMI) berdasarkan kriteria European Society of Cardiology /
American Heart Association yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr.
Hasan Sadikin yang memenuhi kriteria inklusi.
3.1.1. Ukuran Sampel
Penetapan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan
formula estimasi besar sampel untuk uji beda dan rata-rata sebagai berikut:
𝑛 = 𝜎!! + 𝜎!! 𝑍!!!/! + 𝑍!!!
!
𝜇2− 𝜇1
Keterangan : n = jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, σ1= Standar deviasi grup 1, σ2= Standar deviasi grup 2, µ1 = rata - rata grup 1, µ2 = rata - rata grup 2
Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan 95% (𝑍!!!/! = 1,96) dan
- 8 pasien dengan komorbitas berat lain (6 pasien gagal ginjal kronis, 1 haematemesis melena pada sirosis hepatis, 1 pasien PPOK eksersebasi akut, dan 1 pasien asma eksersebasi akut)
- 3 pasien meninggal dalam 24 jam pertama
52
Data rekam medik pasien seperti usia, jenis kelamin, kedatangan sejak onset
nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin, faktor risiko yang dimiliki, tekanan darah
sistolik, laju jantung, nilai leukosit, gula darah sewaktu, nilai ureum, kreatinin,
troponin T, CKMB, kelas killip dan riwayat henti jantung dicatat. Data mengenai
ada tidaknya fQRS dalam EKG dibaca oleh penilai independen. Skor GRACE dan
risiko kematian selama perawatan di RS dan dalam 6 bulan kedepan dihitung
menggunakan aplikasi resmi GRACE 2.0. Seluruh data yang diperoleh kemudian
diolah dengan menggunakan program SPSS ver 20.
Uji normalitas data numerik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
mengingat data yang digunakan berjumlah >50. Hasil uji normalitas menunjukkan
seluruh variabel numerik dalam penelitian ini tidak terdistribusi normal, sehingga
data numerik disajikan menggunakan nilai median dan rentang (minimum-
maksimum). Data kategorik disajikan menggunakan nilai frekuensi dan
persentase. Karakteristik dasar 256 subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1.
Setelah dilakukan analisis data didapatkan median usia 56 (31 – 86) tahun,
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan (200 (78,1%) banding 56
(21,9%)). Median waktu kedatangan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin adalah 8 (1-
168) jam. Sebanyak 112 (43,8%) orang datang <6 jam setelah timbul keluhan
nyeri dada. Faktor risiko utama PAK yang dimiliki subjek penelitian adalah
merokok 76,2% diikuti oleh hipertensi 55,5%, diabetes 12,1%, dan riwayat
keluarga memiliki penyakit jantung atau meninggal mendadak 10,2%. Faktor
risiko dislipidemia tidak bisa dihitung karena data yang tidak lengkap. Sebanyak
52% subjek penelitian memiliki 2 faktor risiko atau lebih (multipel).
53
Median tekanan darah sistolik 130 (70-230) mmHg, median laju jantung 80
(42-128) kali/menit. Median nilai leukosit sebesar 12.100 (4.080-27.300)/mcL,
median gula darah sewaktu (GDS) sebesar 135 (74-633) mg/dL, median ureum 29
Tekanan darah sistolik 130 (70-230) 130 (70-200) 0,587 Laju jantung 77 (44-127) 88 (42-128) 0,002
Nilai leukosit 11.800
(4080-27.300) 12.900
(4800-21.400) 0,074
GDS 134 (74-633) 136 (81-594) 0,795 Ureum 29 (4-102) 31 (14-197) 0,004 Kadar kreatitinin 0,9 (0,1-3,99) 0,96 (0,44-19) 0,037 Kadar troponin T 0,3 (0,1-2) 1,1 (0,1-2) <0,001 Kadar CKMB 66 (15-786) 103 (12-989) 0,010 Riwayat Henti Jantung 5 (3,3%) 4 (3,8%) 0,831 Komplikasi Gagal Jantung (Kelas Killip II-IV)
32 (21,2%) 36 (34,3%) 0,02
Skor GRACE 101 (48-162) 112 (67-194) 0,001 Risiko Kematian di RS (%) 1,8 (0,2-23) 2,5 (0,6-44) 0,002 Risiko Kematian/6 bulan (%) 4,3 (0,8-23) 5,95 (1,4-62) <0,001 Skor GRACE > 120 34 (22,5%) 41 (39%) 0,004 Keterangan : Analisis statistik menggunakan chi-square untuk data kategorik dan t-test untuk data numerik, p bermakna bila nilainya < 0,05
Pasien IMA dengan fQRS berjumlah 105 (41%) orang, mereka yang
memiliki skor GRACE >120 ditemukan lebih banyak dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS (39% banding 22,5%; p=0,004). Setelah dilakukan perhitungan
estimasi risiko pasien IMA dengan fQRS memiliki risiko lebih besar (OR 2,2 kali;
58
IK 95% 1,3−3,8) mendapatkan skor GRACE >120 dibandingkan pasien IMA
tanpa fQRS. Kejadian gagal jantung ditemukan tebih tinggi pada pasien IMA
dengan fQRS (34,3% banding 21,2%; p=0,02). Pasien IMA dengan fQRS
memiliki risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung
dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.
4.4. Pembahasan
Rata-rata usia pasien IMA dalam penelitian ini adalah 56 tahun, lebih tinggi
dibandingkan usia rata-rata pasien STEMI dalam penelitian Juwana dkk.37 di RS
Puri Cinere Jakarta yaitu 54 tahun. Usia rata-rata tersebut lebih rendah
dibandingkan pasien STEMI di klinik Isala Belanda (mean 63 tahun) dan juga
pasien IMA di perancis dalam penelitian Montalescot dkk.92 (mean 61 tahun).
Rata-rata usia pasien STEMI ditemukan lebih muda dibandingkan pasien
NSTEMI (mean 60 banding 65 tahun; p=<0,0001) pada penelitian Montaleskot
dkk.92 Usia rata-rata pasien STEMI pada penelitian ini juga ditemukan lebih muda
dibandingkan pasien NSTEMI.
Mayoritas pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin pria (78,1%),
temuan ini serupa dengan proporsi di Belanda (75%)37 dan Perancis (76%).92
Secara tradisional PAK dianggap sebagai penyakit yang terutama dialami laki-
laki, risiko laki-laki mendapatkan PAK di usia 40 tahun lebih besar dibandingkan
wanita (50% banding 33%).93 Hal tersebut mengakibatkan wanita lebih jarang
menjalani pemeriksaan atau terapi untuk SKA dibandingkan laki-laki.94,95 Pasien
wanita dengan infark miokard memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
laki-laki.96,97 Penelitian terbaru yang dikerjakan oleh Shacham dkk.98 menemukan
59
pasien wanita dengan infark miokard mengalami gangguan fungsi sistolik dan
diastolik yang lebih berat dibandingkan laki-laki walau telah mendapat perlakuan
yang sama.
Pasien IMA yang merokok dalam penelitian ini jauh lebih banyak (76,2%)
dibandingkan pasien IMA di Belanda (31%)37 atau Perancis (36,6%).92 Salah satu
alasan yang menyebabkan tingginya hal tersebut adalah regulasi anti-terbakau
yang buruk dan cukai rokok yang relatif murah di Indonesia, akibatnya konsumsi
rokok di Indonesia terus meningkat dari 173 milyar rokok di 2004 menjadi 265
milyar rokok di 2010. Prevalensi perokok di Indonesia merupakan yang tertinggi
di dunia dimana 67,4% pria dan 4,5% wanita merokok.99
Profil faktor risiko kardiovaskular pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin
yang memiliki kemiripan dengan pasien IMA di RS Puri Cinere dalam penelitian
Juwana dkk.37 adalah merokok (76,2% dan 68%) dan tekanan darah tinggi (55,5%
dan 46%), faktor risiko lainnya seperti diabetes (12,1% dan 36%) dan riwayat
keluarga (10,2% dan 32,%) berbeda cukup jauh. Faktor yang dapat menjelaskan
adanya perbedaan tersebut adalah kelas sosioekonomi yang dimiliki pasien. RSUP
Dr. Hasan Sadikin adalah RS pemerintah yang banyak mengelola pasien tidak
mampu, sedangkan pasien RS Puri Cinere adalah RS Swasta yang kebanyakan
pasiennya memiliki status sosioekonomi menengah keatas. Penelitian Adedoyin
dkk.100 di Nigeria menemukan semakin tinggi kelas sosial ekonomi semakin
tinggi tekanan darah sistolik (r=0,255; p<0,01) dan gula darah puasa (r=0,270;
p<0,01). Penelitian tersebut memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang
dikerjakan di negara maju dimana kelas sosial ekonomi justru berbanding terbalik
60
dengan kejadian sindroma metabolik101 dan timbulnya beragam faktor risiko
kardiovaskular.102 Faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah akses
terhadap pendidikan dan informasi yang lebih baik di negara maju. Minnesota
heart study103 menemukan pendidikan memiliki hubungan terbalik dengan
tekanan darah, merokok, indek massa tubuh dan berhubungan positif dengan
kebiasaan berolah raga dan pengetahuan kesehatan.
Pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin dan RS Puri Cinere umumnya
memiliki faktor risiko lebih banyak jika dibandingkan dengan pasien IMA dalam
penelitian Montalescot dkk.92 dimana faktor risiko utamanya adalah dislipidemia
(49%) diikuti oleh tekanan darah tinggi (47,1%), merokok (36,6%), diabetes
(15,6%), dan riwayat keluarga (11,1%). Faktor risiko kardiovaskular yang lebih
banyak tersebut mungkin menjadi penyebab mengapa pasien IMA di RSUP Dr.
Hasan Sadikin dan RS. Puri Cinere dalam penitian Juwana dkk.37 memiliki usia
lebih muda dibandingkan penelitian serupa di negara maju.
Tabel 4.4. Perbandingan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Pasien IMA
RS Dr. Hasan Sadikin
RS Puri Cinere
Klinik Isala Belanda
Perancis (OPERA)
Merokok 76,2% 68% 31% 36,6%
Tekanan Darah Tinggi 55,5% 46% 42% 47,1%
Diabetes 12,1% 36% 12% 15,6%
Dislipidemia - 46% 19% 49%
Faktor Risiko Keluarga 10,2% 32% 37% 11,1%
Faktor Risiko >2 52% - - - Sumber: 1) Juwana dkk. Primary coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction in
Indonesia and the Netherlands: a comparison. Netherlands heart journal. 2) Montalescot dkk. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year outcomes in acute
myocardial infarction as defined by the ESC/ACC definition (the OPERA registry). European heart journal.
61
Profil faktor risiko pasien NSTEMI ditemukan berbeda dibandingkan pasien
STEMI. Faktor risiko tekanan darah tinggi ditemukan lebih banyak pada pasien
NSTEMI dibandingkan STEMI (70,6 banding 50%; p=0,003). Pasien NSTEMI
juga ditemukan memiliki faktor risiko kardiovaskular >2 lebih banyak
dibandingkan STEMI (64,7 banding 47,3%; p=0,014). Temuan ini serupa dengan
penelitian di perancis92 yang menemukan pasien NSTEMI memiliki faktor risiko
hipertensi (54,3 banding 44%; p=<0,0001) dan diabetes (19,7 banding
13,8%;p=<0,001) yang lebih banyak dibandingkan STEMI. Faktor yang diduga
mempengaruhi profil faktor risiko yang berbeda tersebut adalah usia pasien
NSTEMI yang umumnya lebih tua dibandingkan pasien STEMI sehingga faktor
risiko yang dimilikinya pun menjadi lebih banyak.
Median waktu kedatangan ke RS setelah timbul keluhan nyeri pada
penelitian ini sekitar 8 jam, lebih lama dibandingkan median waktu kedatangan
pasien IMA ke RS di perancis yaitu 5,9 jam.92 Temuan tersebut serupa dengan
temuan Juwana dkk.37 yang menemukan pasien STEMI yang datang ke RS Puri
Cinere lebih lama dibandingkan ke klinik Isala Belanda (6,9 banding 3,6 jam).
Sebanyak 36% pasien IMA datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin lebih 12 jam,
hanya 43% pasien yang datang dibawah 6 jam. Faktor yang diduga dapat
menyebabkan faktor kedatangan ke RS yang lebih lama di Indonesia
dibandingkan negara maju adalah sarana dan infrastruktur transportasi yang masih
terbatas serta pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai sindrom
koroner akut.37
62
Waktu kedatangan pasien ke RS sejak timbul keluhan nyeri ditemukan lebih
cepat pada pasien STEMI dibandingkan NSTEMI (median 7 banding 11,5 jam;
p=0,010). Temuan itu serupa dengan waktu kedatangan pasien STEMI di perancis
yang lebih cepat dibandingkan pasien NSTEMI (median 4 banding 6,5 jam;
p=<0,0001). Waktu kedatangan pasien STEMI yang lebih cepat dibandingkan
pasien NSTEMI diduga akibat presentasi klinis pasien STEMI yang lebih buruk
dibandingkan pasien NSTEMI. Gagal jantung lebih banyak terjadi pada pasien
STEMI dibandingkan NSTEMI (32,4 banding 24,5%; p=0,001). Kelas killip pada
penelitian ini secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada pasien STEMI
dibandingkan NSTEMI (p=0,001). Temuan tersebut diikuti oleh temuan leukosit