KEPEMIMPINAN DALAM PROFESI KEPENDIDIKAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Profesi Pendidikan
Dosen Pengampu: Asih Widi Wisudawati, M.Pd
Disusun oleh:
M. Alvian Madnur (10670016)
Wulantika Virginia (126700)
Alfiannisa Fadhila (126700)
Rezky Fazryatu M. (12670018)
Fatihah Husniah (12670042)
Samrotul Ilmi (126700)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah member rahmat serta
ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat
pada waktunya. Taklupa kami ucapkan terimakasih kepada ibu Asih Widi Wisudawati selaku
dosen pengampu mata kuliah profesi kependidikan yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang
telah mendukung dan membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini menjelaskan apa saja macam-macam gaya kepemimpinan dan
karakteristiknya .Makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah profesi
kependidikan. Telah disadari bahwa kami hanya manusia biasa tempat dimana terjadi banyak
kesalahan karena tiada gading yang tak retak, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada
kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan kita. Kami mohon kritik serta saran dari rekan-
rekan yang membaca demi mencapai kesempurnaan makalah ini. Atas kritik dan saran yang
membangun, kami ucapkan terima kasih. Selamat membaca.
Yogyakarta, 20 Februari 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi tidak hanya cukup mencapai taraf efektivitas dalam menjalankan
fungsi utamanya akan tetapi harus mampu melakukan inovasi dan perubahan secara
berkelanjutan agar dapat berkompetisi dalam menghadapi persaingan global.
Organisasi yang efektif adalah organisasi yang tidak hanya mampu bertahan hidup
untuk menjaga kelangsungan aktivitas organisasi semata akan tetapi harus mampu
mengembangkan produk maupun jasa secara lebih berkualitas. Karena itu, organisasi
di era global saat ini tidak hanya mampu bertahan hidup saja, akan tetapi mampu
melakukan pengembangan sumber daya manusia melalui “individual learning”
maupun“group learning” untuk menuju sebuah“learning organization”.
Sekolah merupakan pusat pendidikan yang di dalamnya terdapat pengelolaan
yang sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang unggul dan
terciptanya mutu pendidikan yang lebih baik. Sekolah sebagai organisasi dengan
system terbuka yang senantiasa mampu beradaptasi dan peka terhadap perubahan atau
perkembangan yang terjadi. Setiap aktivitas yang ada di sekolah harus mengarah pada
proses pembelajaran dikarenakan pada hakikatnya sekolah merupakan organisasi
pembelajar (learning organization). Akan tetapi pada kenyataannya, sekolah sebagai
organisasi pembelajar yang baik memang masih jauh dari apa yang di harapkan.
Namun sekolah berusaha membuka diri dengan sebuah wacana baru yang merupakan
sesuatu yang sangat penting agar terjadi perubahan paradigma dan visi yang baru
yang akan menggerakkan sistem pendidikan Indonesia berubah kearah yang lebih
baik dan dapat diukur.
Masalah kepemimpinan pendidikan saat ini menunjukan kompleksitas baik
dari segi komponen manajemen pendidikan maupun lingkungan yang mempengaruhi
keberlangungan suatu pendidikan. Persoalan yang muncul bisa spontan, bisa
berulang-ulang sehingga diperlukan interaksi yang kreatif dan dinamis antar kepala
sekolah , guru dan siswa.
Kepemimpinan merupakan bagian penting dari manajemen yaitu
merencanakan dan mengorganisasi akan tetapi peran utama kepemimpinan adalah
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini
merupakan bukti bahwa pemimpin dapat menjadi manajer yang lemah apabila
perencanaannya jelek yang menyebabkan kelompok berjalan kearah yang salah.
Akibatnya walaupun dapat menggerakkan tim kerja, namun mereka tidak berjalan
kearah pencapaian tujuan organisasi dalam hal menyikapi tantangan globalisasi yang
ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat ketat dan tajam.
Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai
petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya
serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah maka terdapat upaya dalam
hal mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian
upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan dan tujuan pendidikan tidak akan
tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang
baik. Sehingga dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin
yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana pengertian dari kepemimpinan?
2. Apa saja gaya kepemimpinan?
3. Bagaimanakah hakikat kepemimpinan?
4. Bagaimanakah kepemimpinan dalam dunia pendidikan (guru, kepala sekolah,
pemerintah)?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah profesi kependidikan.Selain itu juga, penulisan makalah ini bertujuan
untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai gaya kepemimpinan
dalam dunia pendidikan.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1. Sebagai pemenuhan salah satu tugas mata kuliah profesi kependidikan,
2. Menambah wawasan penulis dan pembaca makalah ini dalam hal gaya
kepemimpinan dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemimpinan
Menurut Wirana (2002) dalam Sagala (2013), kepemimpinan berasal dari akar kata
“pemimpin” yang berarti adalah orang yang dikenal oleh para pengikutnya dan berusaha
mempengaruhi para pengikutnya untuk merealisasikan visinya (Sagala, 2013: 143).
Secara umum istilah kepemimpinan memiliki berbagai batasan menurut pendapat para
ahli. Good (1973:313) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu
kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing dan
mengarahkan atau mengelola orang lain agar mereka mau berbuat sesuatu demi
terciptanya tujuan bersama. Seseorang yang ingin diakui sebagai pemimpin harus
memiliki kelebihan dalam beberapa fungsi, yakni: mempengaruhi, membimbing sampai
pada mengelola orang lain. Apabila seseorang pemimpin tidak dapat menjalankan semua
fungsi itu, maka kelompok tidak akan menerima pemimpin tersebut sebagai pemimpin
yang fungsional (Burhanuddin, 1990: 61-62).
Wiles (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan segenap bentuk bantuan
yang dapat diberikan oleh seseorang bagi penetapan dan pencapaian tujuan kelompok.
Sedangkan menurut Siagian (1983:97) menyatakan bahwa kepemimpinan harus diartikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela, mampu
dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dengan efisien, efektif dan ekonomis. Dalam pengertian kepemimpinan
dibatasi dari segi manajemen mengingat banyaknya variasi dalam mengemukakan
pengertian kepemimpinan itu, sehingga walaupun ada bermacam definisi kepemimpinan
menurut versi yang berbeda, kita dapat membuat generalisasi lain yang berlaku untuk ke
semua bentuk organisasi (Burhanuddin, 1990: 62).
Menurut Koontz (1984:506) kepemimpinan adalah sebagai pengaruh, seni atau proses
mempengaruhi orang-orang, sehingga mereka mau berjuang bekerja secara sukarela dan
penuh antusias ke arah pencapaian tujuan kelompok. Konsep tersebut dapat diperluas
dengan tidak hanya sekedar mau bekerja, tetapi juga mempunyai kemauan yang disertai
perasaan penuh semangat dan kepercayaan. Semangat mencerminkan kegairahan dalam
bekerja, penuh kesungguhan, dan intensitas dalam pelaksanaan kegiatan. Memimpin
berarti membimbing, mengarahkan, menuntun, dan merintiskan jalan. Tugas-tugas
pemimpin yang pokok adalah menolong suatu kelompok dengan segala kemampuan yang
ia miliki untuk mencapai tujuan kelompok itu secara efektif. Pemimpin bukan berdiri di
belakang kelompok untuk mendorong dan membangkitkannya, melainkan menempatkan
diri mereka di depan kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Ibarat dirigen
(pemimpin orkes), ia mempunyai fungsi untuk menghasilkan suara yang benar-benar
terkoordinasi dan tempo yang pas melalui usaha-usah instrumentalis yang terintegrasi
pula. Sehingga suatu group orkes dapat menyuguhkan irama musik yang asyik atau tidak
bergantung pada kualitas kepemimpinan sang dirigen tersebut (Burhanuddin, 1990: 62).
Dari beberapa penjelasan di atas dapa kita garis bawahi bahwa kepemimpinan atau
kegiatan memimpin merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segenap
kemampuan yang dimilikinya untuk mempengaruhi, mendorong, mengarah dan
menggerakkan orang-orang yang dipimpin supaya mereka mau bekerja dengan penuh
semangat dan kepercayaan dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi (Burhanuddin, 1990:
63).
B. Gaya kepemimpinan dalam pendidikan
Kegiatan menggerakan atau memberi motivasi orang lain agar melakukan tindakan-
tindakan yang selalu terarah pada pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan oleh
seorang pemimpin dengan berbagai cara. Cara itu mencerminkan sikap dan pandangan
pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya dan juga memberikan gambaran tentang
bentuk (gaya) kepemimpinan yang dijalankannya (Nawawi, 1981: 91).
Secara teoritis dapat dibedakan tiga bentuk kepemimpinan yang dalam prakteknya
mungkin dijalankan secara murni dan mungkin pula diwujudkan secara bersama-sama
sehingga berbentuk kombinasi. Bentuk-bentuk kepemimpinan yang dimaksud adalah:
1. Kepemimpinan Otoriter
Bentuk kepemimpinan otoriter adalah yang paling banyak dikenal karena
tergolong yang paling tua. Kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di tangan
seseorang atau sekelompok kecil orang yang disebut atasan sebagai penguasa.
Sejumlah orang lain yang dipimpin yang jumlahnya lebih banyak disebut bawahan
yang kedudukannya tidak lebih daripada pelaksana kehendak atau keputusan
atasan. Pihak atasan memandang dirinya lebih dalam segala hal bila dibandingkan
dengan pihak bawahan dimana phak bawahan kualitas kemampuannya dipandang
jauh di bawah kemampuan atasannya. Pihak atasan bertindak sebagai penguasa
atau penentu yang tidak dapat dibantah dan orang lain harus tunduk pada
kekuasaannya dengan mempergunakan ancaman dan hukuman sebagai alat dalam
menjalankan kepemimpinannya (Nawawi, 1981: 91.).
Cara memimpin yang dikembangkan disebut denga “working on his group”
dimana kegiatannya hanya melaksanakan perintah dari atasan. Bawahan tidak
diberi kesempatan untuk berinisiatif dan mengeluarkan pendapat-pendapatnya.
Kreativitas dalam bekerja dipandang sebagai penyimpangan walaupun tidak
mustahil kegiatan-kegiatan yang diinisiatifkan oleh bawahan lebih efisien dan
efektif bila dibandingkan dengan perintah dari atasan. Instruksi atau perintah
atasan tidak boleh ditafsirkan dan harus dilaksanakan secara tertib dan konsekuen
tanpa membuat kesalahan-kesalahan. Keputusan atasan dipandang sebagai sesuatu
yang terbaik, oleh karena itu harus dilaksanakan tanpa komentar dan pertanyaan-
pertanyaan. Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan instruksi dianggap sebagai
penyelewengan, walaupun bersifat perbaikan yang mengakibatkan kesempurnaan
kerja. Kesalahan itu harus dijatuhi sanksi dengan tujuan agar tidak diulangi atau
terjadi lagi. Hanya atasan yang boleh berpikir tentang kegiatan yang akan
dilaksanakan yang pada gilirannya ditetapkan sebagai keputusan sebagai hak
monopoli dari atasan (Nawawi, 1981: 91-92).
Kepemimpinan otoriter ini tidak ada pelimpahan wewenang pada bawahan.
Wewenang sepenuhnya berada pada satu orang yang berkedudukan sebagai
pemimpin. Bawahan hanya menerima pelimpahan tanggung jawab dalan
melaksanakan keputusan atasan. Pemimpin memiliki hak veto untuk
menghentikan atau mengubah kegiatan yang sedang dilaksanakan setiap saat
ketika atasan menganggap kegiatan tersebut tidak sesuai dengan kehendaknya.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kepemimpinan
bentuk ini pelimpahan tanggung jawab tidak disertai dengan pelimpahan
wewenang (Nawawi, 1981: 92.).
Di lingkungan pendidikan khususnya pada lembaga pendidikan formal atau
sekolah, sikap kepemimpinan otoriter tampak dari ucapan Kepala Sekolah sebagai
pucuk pimpinan dalam ungkapan sehari-hari seperti: “sekolah saya” atau “anak
buah saya” atau “pegawai saya” atau “murid saya” dan lain-lain. Semua ungkapan
tersebut menunjukkan manifestasi dari sikap pemimpin yang bersifat otoriter.
Sikap itu muncul karena pemimpin memandang orang lain sebagai objek yakni
sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya melalui kekuasaan
yang dimilikinya (Nawawi, 1981: 92.).
Akibat-akibat negatif dalam kepemimpinan otoriter di bidang pendidikan
adalah sebagai berikut:
a. Kepemimpinan otoriter dapat mematikan kreativitas dan inisiatif guru.
Guru menjadi seorang penurut yang tidak mau dan tidak mampu
berinisiatif, takut mengambil keputusan, dan hanya menunggu instruksi
dari atasan. Kepemimpinan ini tidak mengembangkan sifat-sifat
kepemimpinan yang positif di kalangan guru-guru karena guru
berpendapat lebih baik bekerja sesuai dengan perintah atasan dari pada
melaksanakan inisiatif sendiri yang akan dipandang sebagai suatu
kesalahan dan akan dijatuhi sanksi.
b. Guru dan murid dipaksa bekerja keras, patuh, dan diliputi dengan perasaan
takut dan ketegangan dikarenakan terus menerus dibayangi dengan
ancaman hukuman. Guru tampaknya memiliki kesabaran, walaupun
sebenarnya di balik kesebaran itu berkembang usaha membangkang dan
melawan secara diam. Disiplin dan kepatuhan hanya diwujudkan di depan
atasan. Sikap itu muncul sebagai usaha untuk mendapatkan pengakuan
tentang hak-haknya di dalam organisasi. Hak sebagai manusia dan sebagai
petugas yang ikut berperan dalam usaha mencapai tujuan dan agar diikut
sertakan dalam mengambil bagian dalam setiap kegiatan di dalam
organisasi.
c. Sekolah menjadi statis dikarenakan rapat dan musyawarah antara atasan
dan guru atau antar guru dengan guru dipandang tidak diperlukan lagi
karena akan membuang waktu. Segala sesuatu cukup diputuskan oleh
atasan saja agar lebih cepat dilaksanakan. Akibat dari sikap atasan yang
otoriter adalah suasana pertemuan pada umumnya berlangsung kaku dan
dipaksakan. Rapat atau pertemuan yang diadakan tidak lebih dari pada
sebagai alat untuk menyampaiakan instruksi atau perintah dan kehendak
atasan (Nawawi, 1981: 92-93.).
Kepemimpinan otoriter bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah objek yang
dapat diatur menurut kehendak pemimpin. Kepemimpinan otoriter pada dasarnya
kurang tepat bila dilaksanakan secara murni di lingkungan lembaga pendidikan.
Kepemimpinan seperti itu akan mengakibatkan pendidikan tidak mampu mengikuti
perkembangan pengetahuan serta teknologi yang sangat berpengaruh terhadap
peningkatan mutu dan relevansi lembaga pendidikan (Nawawi, 1981: 94).
2. Kepemimpinan Laissez Faire
Kepemimpinan laissez faire merupakan kebalikan dari bentuk kepemimpinan
otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol dikarenaka dalam realitasnya
kepemimpinan dilakukan dengan memberikan kebebasan sepenuhnya pada orang-
orang yang dipimpin untuk berbuat dan mengambil keputusan secara
perseorangan. Sepanjang orang yang dipimpin merasa mampu mengambil
keputusan sendiri dan melaksanakannya sendiri pula, maka pemimpin tidak akan
berfungsi dimana pemimpin hanya berfungsi sebagai penasehat. Kepemimpinan
seperti ini kurang tepat jika dilaksanakan secara murni di lingkungan lembaga
pendidikan dikarenakan setiap anggota kelompok akan bergerak sendiri-sendiri
sehingga semua aspek manajemen adminitratif tidak dapat diwujudkan dan
dikembangkan (Nawawi, 1981: 94-95.).
3. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan
terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk kepentingan kemajuan
dan perkembangan organisasi. Hubungan antara pemimpin dan orang-orang yang
dipimpin diwujudkan dalam bentuk hubungan relationship yang didasarkan pada
prinsip saling mengharagai dan saliang menghormati. Setiap orang dihargai dan
dihormati sebagai manusia yang memiliki kemampuan, kamauan, minat, pendapat
dan lain-lain yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, setiap orang harus
diikut sertakan dalam semua kegiatan organisasi sesuai posisi masing-masing yang
memiliki wewenang dan tanggungjawab yang sama penting untuk mencapai
tujuan bersama. Keputusan-keputusan merupakan hasil musyawarah dan mufakat
sehingga tidak dirasakan sebagai paksaaan. Setiap orang akan bekerja dengan
sungguh-sungguh tanpa perasaan takut dan tertekan (Nawawi, 1981: 94-95).
Kepemimpinan demokratis merupakan bentuk kepemimpinan yang paling
serasi bila diterapakan di lingkungan lembaga pendidikan karena memungkinkan
setiap orang berpartisipasi secara aktif dalam mengembangakan dan memajukan
organisasi. Setiap saran dan pendapat sebagai pencerminan inisiatif dan
kreativitas, selalau dipertimbangkan bersama untuk diwujudkan demi kepentingan
bersama (Nawawi, 1981: 96).
Para ahli menyatakan bahwa tidak ada kepemimpinan yang baik untuk semua situasi karena
masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Ketiga bentuk kepemimpinan
tersebut dapat saling mengisi dalam prakteknya di lembaga pendidikan. Gaya kepemimpinan
yang ideal adalah gaya kepemimpina yang menggunakan semua gaya yang ada sebaik
mungkin pada situasi yang mendukung dan memenuhi kebutuhan kinerja kepemimpinan itu
sendiri. Hal ini berarti situasilah yang mungkin menentuka gaya apa yang akan digunakan
karena tidak mungkin menerapkan satu gaya secara konsisten (Sagala, 2013: 151).
Ada serangkaian yang harus dilaksanakan dalam kepemimpinan kependidikan;
a. Proses serangkaian tindakan dalan sistem pendidikan.
b. Mempengaruhi dan memberi teladan.
c. Memberi perintah dengan cara persuasi dan manusiawi tetapi tetap
menjunjung tinggi disiplin dan aturan yang dipedomani.
d. Pengikut mematuhi perintah sesuai kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing.
e. Menggunakan authority dan power dalam batas yang dibenarkan.
f. Menggerakkan atau mengerahkan semua personel dalam institusi guna
menyelesaikan tugas sehingga tercapai tujuan, meningkatkan hubungan kerja
di antara personel, membina kerjasama, menggerakkan sumberdaya
organisasi, dan memberi motivasi kerja.
C. Komponen Kepemimpinan Dalam Pendidikan
Berangkat dari pengertian kepemimpinan dalam pendidikan diatas, terdapat 3
komponen yang dominan dalam menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah atau
menjadi baik dan tidaknya pendidikan, yaitu pemerintah, kepala sekolah dan guru (ketika di
dalam kelas).
1. Pemerintah
Eksistensi pemerintah dalam prespektif kepemimpinan pendidikan telah termaktub
pada pasal 10 UU No. 2 Tahun 2003, dimana pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pada pasal 11 berisikan
kewajiban pemerintah untuk memberi pelayanan serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu dan tidak diskriminatif serta kewajiban pemerintah untuk menjamin
tersediannya dana. Pada pasal 59 ayat 1 pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan (Ibid)
2. Kepala Sekolah.
Pembaharuan suatu lembaga pendidikan perlu lebih ditekankan pada faktor budaya
yang antara lain berupa kepemimpinan kepala sekolah yang kuat (strong leadership).
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang visioner, mampu membangun budaya
dan proses organisasi yang efektif dan iklim pembelajaran yang kondusif.
7 Ibid. 8 Edmonds. R, Some School Work and More Can, dalam Social Policy, 9 (2), 28-32. 9
F. Hallinger & K. Leithwood, Introduction: Exploring The Impact of Principal Leadeship,
School Effectiveness and School Improvement, 206-218
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara
kepemimpinan pendidikan yang efektif dengan sekolah yang efektif. Penelitian Edmonds
mengemukakan, sekolah-sekolah yang dinamis yang senantiasa berupaya meningkatkan
prestasi kerjanya dipimpin oleh kepala sekolah yang baik (Edmonds. R, 28-32) dan penelitian
Hallinger dan Lithwood menyimpulkan bahwa sekolah yang efektif senantiasa dipimpin oleh
kepala sekolah yang efektif pula (F. Hallinger & K. Leithwood, 206-218). Kedua penelitian
tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kepala sekolah merupakan pemimpin dan salah satu
agen perubahan sekolah yang terpenting. Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan yang
kuat menurut Blumberg dan Greenfield adalah kepala sekolah yang mampu memerankan
dirinya dalam delapan peran yaitu: organisator (the organizer), pengakrobat berdasarkan nilai
(the value-based juggler), penolong sejati (the authentic helper), perantara (the broker),
humanis (the humanist), katalis (the catalyst), rasionalis (the 6
rationalist), dan politicus (the politician) (Blumberg & W. Greenfield). Di negara kita, model
sekolah yang efektif secara kebijakan maupun praktiknya terwadahi dalam program
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau MPMBS (Depdiknas, 2004: 14).
Kinerja kepemimpinan kepala sekolah dalam kaitannya dengan MBS adalah segala upaya
yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah dalam
mengimplementasikan MBS di sekolahnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara
efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam
MBS dapat dilihat berdasarkan kreteria berikut:
a. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran
dengan baik, lancar dan produktif;
b. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan;
c. Mempu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat
melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan
pendidikan;
d. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah;
e. Bekerja dengan tim menajemen serta;
f. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan (E. Mulyasa, 126).
3. Pendidik (Guru)
Dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip
pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran
terhadap peserta didik adalah sebagai berikut :
a. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan
dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).
b. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi,
memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar
mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber
(resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti
demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses pembelajaran
berlangsung (during teaching problems).
c. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa,
menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement) atas
tingkat keberhasilan proses pembelajaran berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi
produknya.
d. Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin
Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher
counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik
yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa,
prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu
pemecahannya (remedial teaching) (dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com)
Wina Senjaya mengedepankan peran guru sebagai fasilitator, guru berperan
memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran
(Senjaya, 2008: 56). Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola hubungan guru-siswa yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan
kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai
“atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan
pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001:45).
Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti
instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
D. Telaah fenomenologis kritis kepemimpinan pendidikan
1. Pemerintah
Kepemimpinan mampu melahirkan pendidikan, demikian juga pendidikan mampu
melahirkan kepemimpinan. Namun, kita tidak dapat memungkiri bahwa kekuasaan yang
dimiliki oleh pemimpin adalah elemen penting dalam usaha untuk membuat sesuatu. Maka
kepemimpinanlah yang berperan membuat pendidikan ke arah yang lebih baik atau
sebaliknya. Seiring dengan hak dan kewajiban pemerintah, kepemimpinan pemerintah selama
decade 2000-an dalam pendidikan seringkali dipersoalkan, contoh sulitnya pemerintah
merealisasikan anggaran pendidikan 20 %. Pada akhirnya semuanya berujung pada sebuah
pertanyaan apakah pendidikan yang notabene adalah investasi jangka panjang
dikesampingkan pemerintah dalam pembangunan 5 tahunnya ? sebab hasil pendidikan ini
mungkin tidak akan muncul dalam 5 tahun masa
kepemimpinannya, bisa jadi efeknya baru terasa 10 atau 15 tahun kemudian. Untuk
menghasilkan sistem pendidikan yang berkualitas, kepemimpinan yang berkualitas mutlak
harus terpenuhi terlebih dahulu. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas kepemimpinan,
dapat dilihat dari cara pandangnya terhadap sesuatu, seperti pendidikan misalnya seorang
pemimpin akan lebih memperhatikan aspek manusia daripada sistem. Selama ini pemerintah
lebih sibuk mengutak–atik sistem pendidikan namun tidak memiliki pengaruh apa–apa
terhadap fakta di lapangan. Kita pernah mengalami sistem CBSA, KBK, dan sekarang KTSP
serta apa lagi di kemudian hari. Lantas, adakah perubahan yang terjadi selain nama ? adakah
peningkatan kualitas pendidikan kita ? Satu hal lagi yang harus dimiliki pemimpin adalah
kepemilikan ide dan kefahaman teknis implementasinya. Ide seorang pemimpin dalam
pendidikan akan menjadi tujuan pendidikan selama masa pemerintahannya, akan menjadi
kredo pendidikannya, sedangkan kefahaman teknis akan memberitahunya perihal jalan yang
harus ditempuh untuk realisasi idenya. Yang harus dipertanyakan pada pemerintah sekarang
ini adalah adakah ide yang mereka miliki tentang pendidikan, dan bagaimana jalan yang
harus ditempuhnya ? Namun dari jawaban pemerintah dengan BHP, KTSP dan UN serta hasil
yang diperoleh, nampaknya sudah jelas jawabannya bahwa belum mampu berjalan denga
baik. Khusus persoalaan UN seharusnya kewenangan pemerintah hanyalah sebatas
melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan, bukan memberikan pengujian. Sebab yang
mengetahui proses pendidikan anak di sekolah adalah guru sehingga seharusnya hanya guru
yang berhak memberikan ujian. Artinya realisasi dari UN itu tidak konsisten dengan
kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Peristiwa yang paling actual terkait dengan kebijakan pemerintah adalah lambatnya
pencairan dana BOS. Terlepas dari siapa yang harus dipersalahkan, dalam prespektif
komunikasi politik jelas menunjukkan adanya miss communication antara pemerintah daerah
dan pusat. Sementara konsekwensi dari lambatanya pencairan dana BOS tersebut harus
diderita oleh sekolah-sekolah selaku garda terdepan pelaksana pendidikan. Kejadian ini
sering kali terjadi tidak hanya menyangkut dana BOS, termasuk juga tunjangan guru dan
karyawan yang konsekwensinya secara psikologis berpengaruh pada kinerja.
2. Kepala sekolah
Sebagai pemimpin yang SK-nya ditentukan oleh Pimpinan Daerah TK II (Bupati atau
Wali kota), maka kepala sekolah sering kali lebih menunjukkan gaya kepemimpinannya
sebagai pejabat dari pada seorang pendidik. Kecenderungan kepala sekolah menjadi alat
politik praktis, seperti kampanye terselubung demi memenangkan calon tertentu marak
terjadi. Persoalanya, bagimana kepemimpinan kepala sekolah akan efektif jika sering kali
terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan atau ketidak beranian kepala sekolah membuat
terobosan karena mainstream kebijakan sudah diputuskan melalui MKKS (musyawarah
kelompok kepala sekolah) yang justru tidak memihak pada nilai-nilai pendidikan akan tetapi
lebih memihak pada kepentingan kekuasaan atau yang lain.
Kewenangan kepala sekolah sebagai pemimpin tunggal di lembaga seringkali
menciptakan kecendrungan KKN dalam berbagai urusan terutama berkaitan dengan
pengelolahan dana. Memang secara teori eksistensi komite sekolah dan juga masyarakat luas
mempunyai kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana, namun justru eksistensi komite
sekolah seringkali hanya digunakan alat stempel dari kebijakan kepala sekolah. Mestinya di
sekolah dibantu oleh dewan legeslatif terdiri atas guru dan tokoh masyarakat dan dipilih oleh
civitas sekolah, yang bertugas 11
mengesahkan, mengontrol dan mengawasi realisasi kebijakan tersebut sebagaimana di
perguruan tinggi ada forum pemilihan rektor sehingga dalam bahasa politik akan terjadi cek
and belance . Dengan ini diharapkan kebijakan kepala sekolah akan lebih terarah dan
akuntabilitas serta transparansi pengelolaan dana sekolah dapat lebih dipertanggung
jawabkan.
3. Guru (Pendidik)
Bagi seorang guru, sekalipun sudah bergelar Sarjana bahkan Doctor, belumlah cukup
untuk dapat dikatakan sebagai seorang profesional yang pada kenyataannya pelayanan
pendidikannya belum dirasakan manfaatnya oleh peserta didik. Penelitian Tindakan Kelas
adalah salah satu upaya agar pelayanan pendidikan benar-benar dapat lebih dirasakan
manfaatnya oleh peserta didik sebagai costumer utama jasa guru. Dalam PTK terkandung
penerapan prinsip Total Quality Management yakni usaha perbaikan praktik pembelajaran
secara terus-menerus berdasarkan data dan semangat kolaboratif untuk membangun learning
community. Di samping itu, PTK juga dapat mengembangkan kemampuan dan budaya
membaca di kalangan guru, yakni mengembangkan kebiasaan membaca dan menuliskan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas-tugas profesionalnya sebagai wujud dari
profesionalismenya.
Pada kenyataannta justru PTK menjadi persoalan bagi guru dikarenakan PTK adalah
titik kelemahan para guru dimana dalam budaya membaca para guru saja sangatlah rendah,
bahkan hasil penelitian 2008, tercatat 13 ribu guru di Indonesia menggunakan bukti palsu
demi kepentingan sertifikasi guru. Motivasi dalam hal sertifikasi adalah meningkatkan
keprofesionalitas dan sekaligus kesejahteraan guru, namun kenyataannya di lapangan(de
sellon) tidak sesuai dengan kerangka idealnya (desain), seperti pembayaran tunjangan yang
tertunda-tunda terutama di lingkungan Kemenag, proses rekrutmen yang acak-acakan dan
penuh dengan kepentingan baik ditingkat sekolah maupun ditingkat dinas kabupaten/kota.
Hal tersebut menyebabkan banyak kalangan guru yang kecewa dan secara psikologis
mempengaruhi kinerja guru dan belum lagi terdapat guru yang sudah tersertifikasi dan
tunjangannya cair sementara yang lain belum, padahal masa kerjanya sama, ini jelas
menimbulkan masalah tersendiri, sehingga ada ungkapan “beda pendapat itu biasa, tapi kalau
beda pendapatan itu luarbiasa”, artinya embrio kecemburuan social ekonomi itu mulai terjadi
di dunia pendidikan.
E. Hakekat Kepemimpinan
Di dalam suatu kelompok masyarakat selalu muncul seorang pemimpin yang dapat
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku anggota masyarakat kearah tujuan tertentu,
sehingga pemimpin dianggap mewakili aspirasi masyarakat, pemimpin dapat
memperjuangkan kepentingan anggota, dan pemimpin dapat mewujudkan harapan
sebagian besar orang. Selain beberapa faktor yang mendasari lahirnya pemimpin pada
kenyataannya pemimpin mempunyai kecerdasan dan wawasan lebih luas dibandingkan
dengan rata-rata pengikutnya, sehingga sangat wajar bila kehadiran pemimpin sangat
dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat
(Wahyudi, 2009: 119).
Pemimpin menggunakan kemampuan dan kecerdasannya untuk memanfaatkan
lingkungan dan potensi yang ada pada organisasi dalam usaha untuk memenuhi harapan,
dengan kata lain pemimpin berusaha melibatkan anggota organisasi untuk mencapai
tujuan. Kemampuan untuk menggerakkan, mengarahkan dan mempengaruhi anggota
organisasi sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi sebagai wujud
kepemimpinannya. Kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tujuan
tertentu sebagai indikator keberhasilan seseorang pemimpin (Wahyudi, 2009: 119).
Definisi kepemimpinan terus mengalami perubahan sesuai dengan peran yang
dijalankan dan kemampuan untuk memberdayakan bawahan atau anggota, sehingga
timbul inisiatif untuk berkreasi dalam bekerja. Inisiatif pemimpin harus direspon sehingga
dapat mendorong timbulnya sikap mandiri dalam bekerja dan berani mengambil keputusan
dalam rangka percepatan pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian kepemimpinan
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan, mengarahkan,
sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam
bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan (Wahyudi, 2009: 119-120.).
Penerapan kepemimpinan sangat ditentukan oleh situasi kerja atau keadaan anggota
atau bawahan dan sumber daya pendukung organisasi. Karena itu jenis organisasi dan
situasi kerja menjadi dasar pembentukan pola kepemimpinan seseorang. Sebagai contoh
kepemimpinan dalam bidang pendidikan tentunya berbeda dengan kepemimpinan pada
organisasi swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan (Wahyudi, 2009: 120.).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kepemimpinan atau kegiatan memimpin merupakan usaha yang dilakukan
oleh seseorang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk
mempengaruhi, mendorong, mengarah dan menggerakkan orang-orang yang
dipimpin supaya mereka mau bekerja dengan penuh semangat dan
kepercayaan dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi.
2. Gaya kepemimpinan terdiri atas tiga bentuk yaitu:
a. Bentuk kepemimpinan otoriter adalah yang paling banyak dikenal
karena tergolong yang paling tua. Kepemimpinan ini menempatkan
kekuasaan di tangan seseorang atau sekelompok kecil orang yang
disebut atasan sebagai penguasa.
b. Kepemimpinan laissez faire merupakan kebalikan dari bentuk
kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol
karena dalam realitas kepemimpinan dilakukan dengan memberikan
kebebasan sepenuhnya pada orang yang dipimpin untuk berbuat dan
mengambil keputusan secara perseorangan. Sepanjang orang yang
dipimpin merasa mampu mengambil keputusan sendiri dan
melaksanakannya sendiri pula, maka pemimpin tidak akan berfungsi,
pemimpin hanya berfungsi sebagai penasehat.
c. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis,
dan terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk
kepentingan kemajuan dan perkembangan organisasi.
3. Di dalam kelompok masyarakat selalu muncul seorang pemimpin yang dapat
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku anggota masyarakat kearah tujuan
tertentu, sehingga pemimpin dianggap mewakili aspirasi masyarakat,
pemimpin dapat memperjuangkan kepentingan anggota, dan pemimpin dapat
mewujudkan harapan sebagian besar orang.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin. 1990. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan.
Malang: Bumi Aksara.
Nawawi, Hadari. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
Sagala, Syaiful. 2013. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: ALFABETA.
Wahyudi. 2009. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajar. Bandung:
ALFABETA.