BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari terus berkembanga menuju
modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan
juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan
masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah
terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita
lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana
pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lainnya.
Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia
belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada
dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk
mengkerdilkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul
1
apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk
sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang
dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar
biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Sulitnya penanggulangan tindak
pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak
pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak
sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan
menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus menerus dalam
waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas
hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut
memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari
banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada
pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan
keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan dan
juga para penegak hukum di Indonesia.
2
Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi
pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung
terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi
hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya
pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk
mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara
ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi
masyarakat Indonesia.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang
menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber
kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini,
sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun
kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan,
namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit
penaggulangan maupun pemberantasannya.1
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di
negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di
1 Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004, hal. 5.
3
akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat
kecil hingga pejabat tinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis mengambil dua
rumusan masalah yang dianggap penting untuk dibahas, yaitu:
1. Apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap
tindak pidana korupsi di Indonesia.
4
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa
latin: corruptio berarti penyuapan, corruptore artinya merusak) gejala dimana
para pejabat, badan- badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari
korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral,
kebejatan dan ketidakjujuran. Dalam pengertian lain dapat dikatakan sebagai
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya. Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan
pengertian korupsi sebagai berikut:
a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).
b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
dan sebagainya).
c. Koruptor (orang yang korupsi).
Secara harfiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.
Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan
membusuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta
5
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan. Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas:
a. Korupsi atau penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
b. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud
curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan
keuangan negara. Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan
perkembangan Bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan
merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini
akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun Bangsa
Indonesia yang lebih makmur dan jujur2.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Charmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan
yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi
yang dikemukan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction
injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan
mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan
perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to
misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga
2 W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999, hal 18
6
digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang
perekonomian umum).
Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifies
the public and welfare, with or without the implied paymen of money, is ussually
considered corrup (pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah,
ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,
pengaruh kedudukan sosial atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan
dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap
sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang
diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption
includes purchase of vote with money, promises of office or special favors,
coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decisio, or
goverenmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk
memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan,
intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam
jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi atau
keputusan yang menyangkut pemerintahan).
B. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah
4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak
7
pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara
tindak pidana korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganinasir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
8
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
C. Jenis-Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan
menjadi:3
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara
pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan
secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang
suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,
kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan
akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi
korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan
3 Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta. 1992. Hal. 192-193
9
diperoleh di masa mendatang.
5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-
Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat
berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu
orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang
sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata
memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah,
dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan
menyalahgunakan wewenang.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian
tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:
a. Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kelalaian
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.
Pasal 53 Ayat (1) KUHP Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena sendiri.
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan
menurut Pasal 340 KUHP Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.
5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
11
menurut Pasal 308 KUHP.
Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui
orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan,
menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan
maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana
tersebut dalam Psal 305 dan 306 dikurangi separuh.
b. Unsur Objektif
1. Sifat melawan hukum.
2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan
kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP.
Pasal 415 KUHP Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara
waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan kenyatan sebagai akibat.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian
tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik
tindak pidana korupsi seperti dikemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak
12
pidana korupsi yang dapat penulis inventarisir dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 adalah 4:
1. Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum.
2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.
3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang ain.
4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut
diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara.
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
4 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
13
9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan
curang tersebut.
10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.
11. Dengan sengaja Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau
14
korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat dan
dipahami bahwa unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui
karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelakunya
kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya
penyebab sehingga seorang terdakwa koruspi bebas dari jeratan hukum karena
tidak terpenuhinya unsur- unsur tersebut.
B. Jenis-Jenis Penjatuhan Hukuman Terhadap Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-
undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan
hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
1. Pidana Mati, dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-
undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2. Pidana Penjara
a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
15
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).5
b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3).
c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam
ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan
terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi. (Pasal 21).
5 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, hal. 7
16
d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal
28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
3. Pidana Tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut.
1. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama
1 (satu) tahun.
3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
4. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
5. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
17
untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun
1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.6
a. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu
Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan
ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui
procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut7:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
6 Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal. 14-15
7 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, hal. 31.
18
dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh
tersebut dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus
berkantor.
Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak
pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam
perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak
murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya
terdapat dalam KUHP.8
8 Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005, hal 33-24
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh
birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif
terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam
birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan
melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-
kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya
berdampak pada perusahaannya sendiri.
Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah
pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan
militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi
terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor
perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai
politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi
terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat
koperasi dan yayasan.
Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah,
pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi
biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga.
Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya
peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Strategi
20
pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness
dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun
terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang
wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai
perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan
penanganan secara hukum.
Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan
prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan
muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan
kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya
dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari
konflik kepentingan.
Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun,
maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui:
(1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak
politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4)
Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi.
Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika
dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan
instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat
negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal
ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan
uang lintas negara.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004.
2. Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002.
3. Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010
4. Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008.
5. Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.
6. Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, 1992.
7. Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
8. W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999.
22
23