1
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF
PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata Lamarck)
IGNASIUS SUNUTRI SUSANTO
C34063436
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2
RINGKASAN
IGNASIUS SUNUTRI SUSANTO. C34063436. Aktivitas Antioksidan dan
Komponen Bioaktif pada Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck).
Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.
Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) merupakan hama padi yang
merugikan bagi dunia pertanian. Keong mas selain dimanfaatkan sebagai bahan
pangan dan pakan, juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk penyakit
kulit, liver dan ayan. Kajian ilmiah mengenai khasiat keong mas bagi kesehatan
manusia masih belum banyak dilakukan, sehingga pengujian ilmiah lebih lanjut
perlu dilakukan, di antaranya ialah uji aktivitas antioksidan dan uji kualitatif
komponen bioaktifnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan
zat gizi (air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan
dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong mas. Pengujian yang
digunakan meliputi analisis proksimat, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dengan
metode DPPH, dan uji fitokimia.
Keong mas pada penelitian ini berasal dari perairan sawah padi Desa
Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor.
Rendemen cangkang dan isi cangkang keong mas berturut-turut sebesar 27,10%
dan 48,35%, sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
Rendemen operkulumnya sebesar 1,46%. Isi cangkangnya mengandung air
sebesar 81,19%, protein sebesar 10,30%, lemak sebesar 0,51%, abu sebesar
4,07%, abu tidak larut asam sebesar 0,30% dan karbohidrat sebesar 3,93%.
Ekstrak kasar keong mas memiliki aktivitas antioksidan yang terlihat dari
nilai IC50 yang diperoleh. Nilai IC50 dari ekstrak kloroformnya sebesar
3458,37 ppm, ekstrak etil asetatnya sebesar 1662,36 ppm dan ekstrak metanolnya
sebesar 1270,47 ppm. Ekstrak kasar keong mas ini mengandung 5 dari
9 komponen bioaktif yang diuji, yaitu alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat dan
asam amino bebas. Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak
aktivitas fisiologis yang positif bagi kesehatan tubuh manusia, sehingga keong
mas dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan baku pembuatan
produk nutraceutical.
i
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF
PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata Lamarck)
IGNASIUS SUNUTRI SUSANTO
C34063436
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
ii
Judul : AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN
BIOAKTIF PADA KEONG MAS
(Pomacea canaliculata Lamarck)
Nama : Ignasius Sunutri Susanto
NRP : C34063436
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M
NIP. 1959 1013 1986 01 2 002 NIP. 1983 0405 2005 01 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil
NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : ……………………….
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Aktivitas
Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Keong Mas (Pomacea canaliculata
Lamarck)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
Ignasius Sunutri Susanto
C34063436
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada
Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini,
terutama kepada:
1. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M sebagai dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dengan penuh kesabaran.
2. Ir. Anna C. Erungan, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan pada penulis.
3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. sebagai Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
4. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl. Biol, sebagai Ketua Program Studi
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5. Keluarga terutama Bapak dan Mbak Ariek, yang telah memberikan bantuan
doa, semangat dan materil pada penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
6. Sabri Sudirman, Azwin Apriandi, Laili Izzati, Aulia Azka, Made Suhandana
dan Fauziah Naryuningtyas, yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan
penelitian ini.
7. Bu Siti, Bu Emma, Bu Ika dan Mbak Lastri yang telah banyak membantu
penulis selama melakukan penelitian di laboratorium.
8. Kak Alim, Kak Rijan, Kak Dila, Kak Dede, Kak Luh Putu Ari, Kak Teta, Kak
Dewi dan Kak Ary Aprilan atas bantuan, masukan, dan nasihatnya dalam
penyusunan proposal penelitian ini dahulu.
iv
v
9. Teman-teman THP 43, terutama Nanda Tika, Molly Hesamestyna, Patmawati
Wahyudi, Hilda Dasa Indah dan Zehra Khalisi yang telah memberikan
semangat dan bantuan dalam penelitian awal dan penyusunan skripsi ini.
10. Adik-adik THP 44, terutama Suhana Sulastri yang telah membantu penulis
dalam mengumpulkan sampel pada penelitian awal.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini, penulis
mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan laporan penelitian
ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Maret 2010
Ignasius Sunutri Susanto
C34063436
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Probolinggo, Propinsi Jawa
Timur pada tanggal 2 Maret 1988 sebagai anak ketiga dari tiga
bersaudara pasangan Martinus Sukarjo dan Bernadet Suprapti
(Almh.).
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDK
Mater Dei Probolinggo (tahun 1994-2000), selanjutnya penulis
melanjutkan pendidikannya di SLTPK Mater Dei Probolinggo (tahun 2000-2003).
Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Probolinggo dan lulus
pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di
Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan, seperti Paduan Suara Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Agria
Swara sebagai anggota divisi PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia)
tahun 2008-2009 dan 2009-2010, UKM Keluarga Mahasiswa Katolik IPB sebagai
anggota, dan OMDA Forum Mahasiswa Probolinggo (FMP) sebagai anggota.
Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Fisika TPB tahun ajaran
2007-2008 dan 2008-2009, asisten praktikum m.k. Biokimia Hasil Perairan tahun
ajaran 2008-2009 dan 2009-2010, asisten praktikum m.k. Teknologi Penanganan
dan Transportasi Biota Perairan tahun ajaran 2009-2010, asisten praktikum
m.k. Fisiologi, Formasi, dan Degradasi Hasil Perairan tahun ajaran 2009-2010,
asisten praktikum m.k. Biotoksikologi Hasil Perairan tahun ajaran 2009-2010,
asisten praktikum m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan tahun
ajaran 2009-2010 dan asisten praktikum m.k. Teknologi Pengolahan Hasil
Perairan tahun ajaran 2009-2010. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai
kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.
Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan
penelitian yang berjudul ” Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada
Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)” di bawah bimbingan
Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xi
1 PENDAHULUAN …………………………………………………..... 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………..... 1
1.2 Tujuan …………………………………………………………….. 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………... 4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Mas (Pomacea canaliculata
Lamarck) ……………………………………………………….… 4
2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas ..…………………..... 8
2.3 Antioksidan ………………………….……………………............ 10
2.3.1 Fungsi antioksidan …………………..…………………….. 11
2.3.2 Jenis-jenis antioksidan ……………...……………………... 14
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan ……………………………... 16
2.4 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH ..…………….... 18
2.5 Antioksidan BHT (Butylated Hydroxytoluene) …………………... 21
2.6 Ekstraksi Komponen Bioaktif ……………………………………. 22
2.7 Komponen Bioaktif ………………………………………………. 23
2.7.1 Alkaloid ………………………………………………….... 24
2.7.2 Steroid/triterpenoid ………………………………………... 26
2.7.3 Flavonoid ………………………………………………….. 27
2.7.4 Saponin ……………………………………………………. 28
2.7.5 Fenol hidrokuinon ………………………………………..... 29
2.7.6 Karbohidrat ………………………………………………... 30
2.7.7 Gula pereduksi …………………………………………….. 31
2.7.8 Peptida …………………………………………………….. 32
2.7.9 Asam amino ………………………………………………... 33
3 METODOLOGI ……………………...…..…………………………... 35
3.1 Waktu dan Tempat …………………………….....….………….… 35
3.2 Bahan dan Alat ………………………......……..….……………... 35
3.3 Metode Penelitian ……………………………….………………... 36
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel …………………........... 36
vii
viii
3.3.2 Analisis proksimat ..…………….…..…………………….... 37
1) Analisis kadar air (AOAC 2005) ………………………. 37
2) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) …………………… 37
3) Analisis kadar protein (AOAC 1980) ………………….. 38
4) Analisis kadar abu (AOAC 2005) ……………………… 39
5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut
SNI 01-3836-2000 (BSN 2000) ………………………… 39
3.3.3 Analisis aktivitas antioksidan ………………………............ 39
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988 dalam
Darusman et al. 1995) …………………...…………….. 39
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam
Hanani et al. 2005) ……………………………………. 44
3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984) …………………………….. 45
4 HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….... 47
4.1 Karakteristik Keong Mas …………………………………………. 47
4.1.1 Rendemen …………………………………………………. 48
4.1.2 Kandungan gizi ……………………………………………. 50
1) Kadar air ……………………………………………….. 51
2) Kadar lemak …………………………………………… 52
3) Kadar protein ………………………………………….. 53
4) Kadar abu ……………………………………………… 54
5) Kadar abu tidak larut asam ……………………………. 54
6) Kadar karbohidrat ……………………………………... 55
4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif Keong Mas ……………………….. 56
4.2.1 Ekstrak kasar ………………………………………………. 56
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar ……………………. 58
1) Alkaloid ………………………………………………... 60
2) Steroid …………………………………………………. 62
3) Flavonoid ………………………………………………. 63
4) Karbohidrat ……………………………………………. 65
5) Asam amino ……………………………………………. 66
4.3 Aktivitas Antioksidan …………………………………………….. 67
5 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 75
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 75
5.2 Saran ………………………………………………………………. 75
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 76
LAMPIRAN ……………………………………………………………... 83
viii
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Komposisi kimia keong mas ……………………..….……….. 9
2. Komposisi asam amino tepung keong mas ….……………….. 10
3. Jenis-jenis pelarut yang umum digunakan dalam ekstraksi ….. 23
4. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang
dan operkulum keong mas …………………………………… 47
5. Hasil uji proksimat keong mas ………………………………. 51
6. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong mas …………………. 60
7. Hasil uji aktivitas antioksidan ………………………………... 70
ix
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) ……..…………... 4
2. Perbedaan keong mas jantan dan betina ...……………………… 6
3. Siklus hidup keong mas ………………………………………… 7
4. Reaksi inisiasi dan propagasi ………………………………….... 11
5. Reaksi terminasi ……………………………………………….... 12
6. Skema umum autooksidasi asam lemak tidak jenuh …………… 13
7. Reaksi antioksidan senyawa fenolik dengan radikal peroksi ....... 15
8. Reaksi penghambatan oleh antioksidan primer terhadap radikal
lipid …………………………………………………………….. 16
9. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi
tinggi …………………………………………………………… 17
10. Absorbansi maksimum DPPH pada λ = 517 nm ………………. 19
11. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2)
DPPH …………………………………………………………... 20
12. Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT) ………………. 21
13. Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas ………………..... 22
14. Struktur kimia asam amino …………………………………….. 33
15. Diagram alir proses ekstraksi keong mas ……………………..... 42
16. Keong mas yang diambil dari sawah padi Desa Carang Pulang… 47
17. Rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas … 49
18. Ekstrak kasar keong mas ……………………………………….. 57
19. Rendemen ekstrak kasar keong mas …………………………..... 57
20. Perubahan warna yang mengindikasikan reaksi peredaman
DPPH …………………………………………………………… 69
21. Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya .... 70
22. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar keong mas dengan
rata-rata persen inhibisinya ……………………………………… 71
23. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar keong mas ……………………. 72
x
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Lokasi pengambilan keong mas ...………………………….….. 84
2. Proses pengambilan keong mas dalam transek (1 x 1) m2 …...... 84
3. Cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas …………... 84
4. Perhitungan rendemen keong mas ……….……………………. 85
5. Perhitungan analisis proksimat keong mas …………………..... 85
6. Data rendemen ekstrak kasar keong mas ……………………… 86
7. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya ..…... 87
8. Perhitungan persen inhibisi dan IC50 ..………………………… 89
9. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak keong mas ..………………. 92
10. Gambar-gambar selama proses ekstraksi ...……..…………….. 93
xi
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keong mas atau golden apple snail (GAS) merupakan moluska air tawar
yang berasal dari dataran hujan di sepanjang Sungai Paraguay dan Parana yang
memotong Paraguay, Brazil, Bolivia dan Argentina. Di Asia, keong mas pertama
kali dikenal sebagai hama padi di Taiwan sejak tahun 1979, dan kini telah menjadi
hama padi paling merugikan di negara-negara penyedia beras, seperti Filipina,
Vietnam, Thailand dan Indonesia (Joshi 2005).
Keong mas awalnya hanya menyerang 12 distrik sawah padi di wilayah
Jawa Barat-Indonesia pada tahun 1995, dan empat tahun kemudian meningkat
menjadi 16 distrik (Joshi 2005). Areal persawahan yang telah diberi treatment
moluskosida, jumlah keong mas masih tetap meningkat. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Nurjanah et al. (1996) yang menyatakan bahwa keong mas memiliki
daya tahan yang tinggi terhadap pestisida ataupun moluskosida hingga dosis yang
cukup tinggi. Akibat segala kerusakan yang ditimbulkan oleh spesies ini, maka
keong mas dikategorikan sebagai salah satu dari 100 spesies asing invasi yang
paling merugikan di dunia (the world’s 100 worst invasive alien species)
(Joshi 2005).
Pandangan mengenai keong mas yang hanya sebagai suatu hama
merugikan dan hewan yang tidak memiliki manfaat, tidaklah sepenuhnya benar.
Sampai saat ini, keong mas telah dimanfaatkan menjadi sumber pakan dan pangan
di negara-negara penghasil beras yang diserang hama GAS. Keong mas diberikan
sebagai pakan pada ternak itik, ayam broiler, burung puyuh, budidaya ikan patin,
ikan gabus, ikan sidat, udang, kepiting dan lobster air tawar. Pemberian pakan
berbasis protein keong mas pada ternak burung puyuh (Coturnix coturnix) dan
budidaya ikan gabus (Chana striata) serta ikan sidat (Anguilla sp.), memberikan
pertumbuhan yang baik pada hewan-hewan budidaya tersebut (Sulistiono 2007).
Pemanfaatan keong mas saat ini tidak terbatas sebagai bahan pangan dan
pakan saja, tetapi juga sebagai obat untuk penyakit liver (Sulistiono 2007).
Nurjanah et al. (1996) menambahkan bahwa keong mas juga digunakan sebagai
obat untuk penyakit kulit dan penyakit ayan. Kajian ilmiah lebih mendalam
2
mengenai khasiat keong mas bagi kesehatan manusia masih belum banyak
dilakukan. Semuanya ini masih merupakan pembuktian empiris dari pengalaman
para pengguna, sehingga perlu dilakukan pengujian ilmiah lebih lanjut terhadap
keong mas. Pengujian ilmiah yang perlu dilakukan khususnya uji aktivitas
antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktifnya, mengingat keong mas
berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku produk nutraceutical.
Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah
oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat
inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Rohman dan
Riyanto (2005) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang dapat
menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit
karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan. Musthafa et al. (2000) menyatakan
bahwa penyebab yang mendasari berbagai macam keadaan patologis termasuk
penyakit aterosklerosis pada umumnya dan penyakit jantung koroner pada
khususnya adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa oksigen
reaktif yang sitotoksik, dapat berdampak negatif terhadap membran sel, DNA dan
protein seperti halnya enzim yang ada dalam tubuh.
Tubuh tidak memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan,
sehingga apabila terjadi paparan radikal bebas berlebih, maka
tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar tubuh)
(Waji dan Sugrani 2009). Penyakit liver yang diduga terjadi karena rusaknya sel-
sel hati akibat oksidasi radikal bebas, dapat diobati dengan keong mas karena
senyawa antioksidan yang dikandungnya dapat meregenerasi sel-sel hati yang
rusak akibat oksidasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keong mas sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku produk nutraceutical yang
mampu mencukupi kebutuhan antioksidan eksogen tubuh manusia, sehingga
proses oksidasi oleh radikal bebas dalam tubuh dapat ditanggulangi.
Uji kualitatif untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam
keong mas juga perlu dilakukan. Komponen-komponen bioaktif yang terkandung
dalam tubuh keong mas ini, diduga memiliki banyak manfaat biologis bagi
kesehatan tubuh manusia. Pengujian ini mutlak diperlukan sebagai langkah awal
untuk mengetahui potensi pemanfaatan keong mas ke depan sebagai produk
3
nutraceutical, sehingga penggunaannya tidak hanya terbatas sebagai obat penyakit
kulit, liver, atau ayan saja.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan
zat gizi (air, lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam), aktivitas antioksidan
dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong mas (Pomacea canaliculata
Lamarck) dari Desa Carang Pulang, Bogor.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)
Keong mas atau golden apple snail (GAS) merupakan salah satu jenis
moluska air tawar yang berasal dari dataran hujan di sepanjang Sungai Paraguay
dan Parana yang memotong Paraguay, Brazil, Bolivia dan Argentina. Di Asia,
keong mas pertama kali dikenal di Taiwan pada tahun 1979 dan saat ini
telah tersebar luas di seluruh penjuru benua Asia. Seiring dengan proses
penyebarannya, keong mas kini telah menjadi salah satu hama padi yang paling
berbahaya di negara-negara penghasil beras di Asia, seperti Filipina, Vietnam,
Thailand dan Indonesia (Joshi 2005).
Klasifikasi keong mas (Pomacea canaliculata) menurut Lamarck (1822)
adalah sebagai berikut (Pennak 1989; Cazzaniga 2002):
Filum : Molusca
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Prosobranchiata
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Ampullariidae
Genus : Pomacea
Spesies : Pomacea canaliculata
Bentuk morfologi keong mas dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck)
Keong mas hidup di kolam, sawah beririgasi dan kanal. Keong mas
membenamkan diri pada tanah lembab selama musim kering. Keong mas dapat
bertahan hidup hingga 6 bulan dengan melakukan estivasi dengan cara menutup
5
operkulum dan membenamkan diri dalam tanah. Keong mas menjadi aktif
kembali ketika tanah tempat hidupnya tergenang air. Keong mas dapat bertahan
hidup pada kondisi lingkungan yang keras, seperti pada perairan tercemar atau
perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini
dikarenakan keong mas memiliki insang (ctenidium) dan organ menyerupai paru-
paru, sehingga memungkinkan keong mas dapat bertahan hidup di dalam dan di
luar air. Keong mas akan melakukan migrasi jika tinggi permukaan air hanya
setengah dari tinggi cangkangnya (DA-PhilRice 2001; Joshi 2005).
Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan untuk
membedakan antara keong mas dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada
habitat yang sama. Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan
daging berwarna putih krem hingga emas kemerah-merahan atau oranye. Ukuran
tubuhnya sangat beragam dan bergantung pada ketersediaan makanan. Ukuran
diameter cangkang keong mas dapat mencapai 4 cm dengan berat 10-20 gram
(Ardhi 2008). Tahap keong mas memiliki sifat destruktif adalah ketika ukuran
cangkangnya sebesar 10 mm (sebesar biji jagung) hingga 40 mm (sebesar bola
ping pong) (DA-PhilRice 2001). Keong mas memiliki umbilicus terbuka.
Operkulum yang menutupi lubang aperture terbuat dari kitin dan merupakan
operkulum tipe konsentris (Pennak 1989).
Keong mas jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan fisik yang
dapat dilihat langsung oleh mata biasa. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk
operkulum dan lengkungan cangkang. Keong mas betina memiliki operkulum
berbentuk cekung (a1), sedangkan operkulum berbentuk cembung (a2) dimiliki
oleh keong mas jantan. Cangkang keong mas betina dewasa melengkung ke arah
dalam (b1), sedangkan cangkang keong mas jantan dewasa melengkung ke arah
luar (b2) (DA-PhilRice 2001). Pada sebuah sawah, jumlah keong mas betina
diduga memiliki jumlah dua kali lebih banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa
keong mas jantan tidak memiliki daya tahan hidup selama daya tahan hidup keong
mas betina (Joshi 2005). Perbedaan antara keong mas jantan dan betina dapat
dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2. Perbedaan keong mas jantan dan betina (Sumber: DA-PhilRice 2001)
Keong mas merupakan hewan herbivora yang sangat rakus dan bersifat
nocturnal. Keong mas dapat menghancurkan semaian padi yang baru ditanam
selama masih terdapat air dalam sawah tersebut. Keong mas memotong pangkal
semaian padi muda dengan menggunakan gigi radula dan mengunyah pelepah
daun padi yang lunak (Joshi 2005). Istilah hewan herbivora tidaklah cocok bila
disematkan pada keong mas karena hewan ini juga memakan keong-keong jenis
lain, seperti Biomphalaria glabrata (Paulinyi dan Paulini 1972) dan Bulinus sp.
yang merupakan inang perantara parasit trematoda yang menyebabkan penyakit
gatal dan schistosomiasis (Sulistiono 2007), serta memiliki sifat kanibalisme,
sehingga keong mas lebih cocok dikategorikan sebagai hewan omnivora.
Keong mas biasanya bertelur pada malam hari dan menempelkan telur-
telurnya pada beberapa tanaman, daun-daunan dan benda-benda keras seperti
batu, pancang dan ranting yang tidak terendam air. Telur-telurnya berwarna
merah cemerlang, kemudian berubah menjadi merah muda cerah ketika akan
menetas. Telur-telur ini akan menetas setelah 7-14 hari (DA-PhilRice 2001).
Seekor keong mas betina dewasa mampu menghasilkan telur 50-500 butir dalam
satu kali bertelur atau 1000-1200 butir dalam sebulan. Telur-telur tersebut
mempunyai tingkat kemampuan menetas (hatching rate) hingga 80%
(DA-PhilRice 2003; Joshi 2005). Siklus hidup keong mas dapat dilihat pada
Gambar 3.
7
Gambar 3. Siklus hidup keong mas (Sumber: DA-PhilRice 2001)
Kemampuan telur-telur keong mas untuk menetas sangat dipengaruhi oleh
kelembaban udara, tingkat oksigen di udara, keberadaan predator terestrial dan
kanibalisme keong mas dewasa. Jika telur-telur tersebut terendam air, maka
keberhasilan telur-telur tersebut untuk menetas akan berkurang. Telur-telur
tersebut dapat bertahan jika lama waktu telur-telur tersebut tercelup air cukup
pendek. Akan tetapi, jika waktu tercelupnya cukup lama dan terjadi berulang kali,
maka tingkat toleransi telur-telur tersebut akan menurun. Air diduga dapat
mengurangi ketersediaan oksigen di sekitar telur sehingga berpengaruh pada
pertumbuhan embrio (Horn et al. 2008).
Kanibalisme terjadi ketika telur-telur tersebut dimakan oleh keong-keong
dewasa. Kanibalisme ini tidak terbatas pada tindakan memakan telur-telur saja,
tetapi keong-keong dewasa tersebut juga memakan juvenil-juvenil keong mas
yang baru menetas. Kanibalisme ini terjadi karena keong-keong dewasa
membutuhkan nutrisi lebih saat terjadi defisiensi nutrisi di habitatnya. Defisiensi
nutrisi yang terjadi diduga terkait dengan defisiensi protein ataupun kalsium.
Kalsium sangat dibutuhkan oleh keong-keong untuk pembentukan dan
perkembangan ukuran cangkang (Horn et al. 2008).
Keong mas di sawah memberikan risiko bahaya pada kesehatan petani,
karena keong mas merupakan inang parasit cacing nematoda Angiostrongylus
cantonensis (Parastrongylus cantonensis) atau rat lung worm yang dapat
menyebabkan eosinophilic meningoencephalitis atau meningitis pada
manusia. Selain itu, keong mas juga merupakan inang cacing Catadiscus
8
pomaceae (Joshi 2005). Catadiscus pomaceae merupakan trematoda yang hidup
pada saluran pencernaan Pomacea canaliculata. Genus Catadiscus ini biasanya
ditemui pada hewan amfibi dan reptil, serta parasit pada moluska. Jika dilihat dari
siklus hidup cacing ini, keong mas menjadi terinfeksi oleh encysted metacercariac
yang terdapat pada tanaman atau substrat lain, ketika keong tersebut sedang
makan (Hamann 1992). Keong mas harus dimasak sampai matang terlebih dahulu
sebelum dikonsumsi untuk mematikan cacing-cacing parasit tersebut (Joshi 2005).
2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas
Pemanfaatan keong mas, baik dibidang penyediaan pangan maupun pakan,
merupakan salah satu bentuk usaha pengendalian keong mas yang merupakan
hama berbahaya bagi sektor pertanian, khususnya pertanian padi. Penggunaan
moluskosida dalam mengendalikan keong mas, justru malah membunuh
organisme non-target, seperti ikan ataupun organisme bermanfaat lainnya
yang hidup pada habitat yang sama dengan keong mas (Joshi 2005).
Nurjanah et al. (1996) menambahkan bahwa keong mas memiliki resistensi tinggi
terhadap pestisida ataupun moluskosida dalam dosis tinggi sekali pun. Fakta
tersebut menunjukkan bahwa usaha pengendalian populasi keong mas yang tidak
melibatkan senyawa kimia, seperti pestisida dan moluskosida mutlak diperlukan.
Beberapa bentuk pengendalian keong mas tanpa menggunakan bahan
kimia, diantaranya pemanfaatan predator atau musuh alami dari keong mas, yaitu
semut merah yang memakan telur-telur keong mas, tikus yang memakan daging
keong, ikan mas hias atau koi, serta itik-itik karnivora yang memakan daging serta
keong-keong muda (DA-PhilRice 2001; Ako dan Tamaru 2006). Hasil penelitian
Aditya dan Raut (2005) menunjukkan bahwa lintah jenis Glossiphonia weberi
juga merupakan predator potensial keong mas di India. Lintah-lintah ini mampu
membunuh maksimum 3 ekor keong per hari.
Pemanfaatan tanaman beracun juga diterapkan untuk mengendalikan
populasi keong mas, seperti gugo (Entada phaseikaudes K Meer), sambong
(Blumea balsamifera), gabihan (Monochoria vaginalis), tembakau (Nicotina
tabacum L), calamansi (Citrus microcarpa Bunge), makabuhay (Tinospora
rumphii Boerl) dan buah paprika merah. Bagian tanaman ini, seperti daun dan
buah, diletakkan pada kanal yang dibuat untuk menjebak keong mas agar
9
terperangkap dalam kanal tersebut dan memakan tanaman beracun itu
(DA-PhilRice 2001).
Pengumpulan keong-keong di areal persawahan juga termasuk salah satu
usaha pengendalian hama keong mas ini. Keong-keong yang terkumpul biasanya
diolah menjadi bahan pangan ataupun pakan bagi ternak. Pengolahannya sebagai
bahan pangan telah banyak dilakukan, seperti fortifikasi daging keong mas dalam
pembuatan kerupuk keong mas (Nurjanah et al. 1996), fortifikasi daging keong
mas dalam pembuatan cracker “chicharon” (DA-PhilRice 2001; Joshi 2005);
pembuatan kecap, sate keong, pepes keong, sambel keong, dendeng dan menu
keong lainnya (Sulistiono 2007). Keong mas juga digunakan sebagai obat
penyakit kulit, penyakit kuning, penyakit liver dan ayan (Nurjanah et al. 1996;
Sulistiono 2007). Daging keong mas sebanyak 100 gram mengandung energi
sebesar 83 kalori, fosfor 61 mg, sodium 40 mg, potasium 17 mg, riboflavin 12
mg, niacin 1,8 mg, vitamin C, zinc, tembaga, mangan dan iodium
(DA-PhilRice 2001). Komposisi kimia keong mas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia keong mas
Komposisi Kimia Daging Lumat
Segar1)
Daging Segar
2) Daging Segar
3)
Kadar air (%) 84,70 82,37 77,60
Kadar protein (%) 9,33 8,69 12,20
Kadar lemak (%) 0,91 0,78 0,40
Kadar abu (%) 1,43 1,47 3,20
Kadar serat kasar (%) 3,10 6,68 -
Karbohidrat (%) 0,10 - 6,60 Sumber: 1) Nurjanah et al. (1996)
2) Kamil et al. (1998)
3) DA-PhilRice (2001)
Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak juga telah banyak
dikembangkan. Dalam bentuk segar, keong mas digunakan sebagai pakan sumber
protein untuk ternak itik, ayam broiler, burung puyuh, budidaya ikan patin, ikan
gabus, ikan sidat, udang, kepiting dan lobster air tawar. Pemberian pakan berbasis
protein keong mas pada ternak burung puyuh (Coturnix coturnix) dan budidaya
ikan gabus (Chana striata) serta ikan sidat (Anguilla sp.), memberikan
pertumbuhan yang baik pada hewan-hewan budidaya tersebut (Sulistiono 2007).
10
Daging keong mas yang akan digunakan untuk fortifikasi tepung ikan
(pakan), harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas atau tepung siput
murbei. Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong
mas memiliki kadar air 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak
1,27-1,43%, kadar abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar
garam 0,56-1,69%. Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling
tinggi adalah leusin (44,8 mg/g protein) dan terendah adalah metionin
(10,54 mg/g protein). Jenis asam amino esensial yang paling defisien adalah
triptofan, sedangkan lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas, ternyata
pada tepung keong mas ini memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g protein)
dan tidak menjadi asam amino pembatas, sehingga dapat digunakan sebagai
suplemen pakan yang kurang lisin. Komposisi asam amino esensial pada tepung
keong mas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam amino tepung keong mas
Jenis Asam Amino Kandungan
% mg/g protein
Arginin 4,3962 43,962
Histidin 1,3822 13,822
Isoleusin 2,3479 23,479
Leusin 4,4812 44,812
Lisin 4,1290 41,290
Metionin 1,0540 10,540
Fenilalanin 2,0372 20,372
Tirosin 1,9742 19,742
Treonin 2,4245 24,245
Valin 2,6055 26,055 Sumber: Kamil et al. (1998)
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah
oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat
inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Rohman dan
Riyanto (2005) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang dapat
menghambat reaksi radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit
karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan. Tubuh tidak memiliki sistem
pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
11
berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar tubuh)
(Waji dan Sugrani 2009).
2.3.1 Fungsi antioksidan
Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan
yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan
minyak. Antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen-
komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga banyak mengandung ikatan
rangkap dalam strukturnya (Siagian 2002). Musthafa dan Lawrence (2000)
menambahkan bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir
atau meredam dampak negatif dari radikal bebas.
Mekanisme kerja antioksidan pada umumnya dapat dimengerti setelah
mekanisme proses oksidasi lemak dalam bahan makanan atau pada sistem
biologis dipahami dengan baik. Oksidasi lemak terdiri atas 3 tahapan utama, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi. Pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu
senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat
dari hilangnya satu atom hidrogen, terjadi pada tahap inisiasi (1). Tahap
selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (2). Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang
asam lemak menghasilkan hidrogen peroksida dan radikal asam lemak baru (3)
(Siagian 2002). Reaksi inisiasi dan propagasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Inisiasi : RH R• + H
• (1)
Propagasi : R• + O2 ROO
• (2)
: ROO• + RH ROOH + R
• (3)
Gambar 4. Reaksi inisiasi dan propagasi (Sumber: Siagian 2002)
Hidrogen peroksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan
terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek
seperti aldehida dan keton yang bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak.
Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi
melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks yang non radikal (4)
(Siagian 2002). Reaksi terminasi dapat dilihat pada Gambar 5.
12
Terminasi : ROO• + ROO
• non radikal (4)
: R• + ROO
• non radikal
: R• + R
• non radikal
Gambar 5. Reaksi terminasi (Sumber: Siagian 2002)
Antioksidan dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan fungsinya (Siagian 2002;
Hariyatmi 2004), yaitu:
1. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan cara
menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E.
2. Tipe pereduksi yang mampu mentransfer atom H atau oksigen dan bersifat
pemulung, contohnya vitamin C.
3. Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe2+
dan Cu2+
),
contohnya flavonoid, asam sitrat dan EDTA.
4. Antioksidan seluler yang mampu mendekomposisi hidrogen peroksida
menjadi bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal SOD, katalase,
glutation peroksidase.
Antioksidan umumnya ditambahkan pada lemak, minyak, atau makanan
yang banyak mengandung lemak. Penambahan ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya ketengikan pada makanan. Penyebab ketengikan pada lemak atau
minyak tersebut adalah senyawa-senyawa yang merupakan produk akhir dari
reaksi autooksidasi. Reaksi autooksidasi merupakan suatu reaksi berantai dimana
inisiator dan propagatornya adalah radikal bebas (Rita et al. 2009). Pembentukan
radikal bebas ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat
reaksi, seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidrogen peroksida, logam-
logam berat (Cu, Fe, Co, dan Mn), logam porifirin (hematin, hemoglobin,
mioglobin, dan klorofil), serta enzim-enzim lipoksidase (Winarno 2008).
Penghilangan atau deaktivasi radikal bebas asam lemak maupun radikal bebas
peroksi akan menghentikan atau memutuskan reaksi oksidasi yang terjadi pada
tahap awal. Hal ini diharapkan akan memperlambat pembentukan senyawa-
senyawa yang dapat menimbulkan ketengikan (Rita et al. 2009). Antioksidan
sebaiknya ditambahkan ke lipid seawal mungkin untuk menghasilkan efek
maksimum. Antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal
13
mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipid terjadi
dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam
(Trilaksani 2003). Reaksi autooksidasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Skema umum autooksidasi asam lemak tidak jenuh (Sumber: Fennema 1996)
Peranan antioksidan pada kesehatan manusia sangatlah banyak. Hasil
penelitian Musthafa dan Lawrence (2000) menunjukkan bahwa antioksidan
berperan dalam menghambat proses aterosklerosis, yang merupakan komplikasi
dari penyakit diabetes mellitus dan sangat berperan untuk menyebabkan terjadinya
penyakit jantung koroner. Musthafa et al. (2000) menyatakan bahwa penyebab
yang mendasari berbagai macam keadaan patologis termasuk penyakit
aterosklerosis pada umumnya dan penyakit jantung koroner pada khususnya
adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang
sitotoksik, dapat berdampak negatif terhadap membran sel, dinukleotida (DNA)
dan protein seperti halnya enzim yang ada dalam tubuh. Hasil penelitian
Musthafa et al. (2000) ini memberikan informasi bahwa radikal bebas dapat
digunakan sebagai predictor aterosklerosis pada umumya dan aterosklerosis pada
14
penyakit diabetes ataupun penyakit jantung koroner pada khususnya. Antioksidan
juga berperan dalam menekan proliferasi (perbanyakan) sel kanker, karena
antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas (blocking agent)
(Trilaksani 2003). Selain itu, antioksidan juga berperan sebagai agen antiaging
yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar matahari dan
radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada kulit
(Suryowinoto 2005).
2.3.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan terdapat secara alami dalam tubuh, tetapi tubuh tidak
memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi
paparan radikal berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen
(Waji dan Sugrani 2009). Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi dua
kategori dasar, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Saat ini,
ketertarikan masyarakat pada antoksidan alami meningkat tajam baik untuk
digunakan dalam bahan pangan ataupun sebagai material obat menggantikan
antioksidan sintetik. Hal ini dikarenakan antioksidan sintetik justru berpotensi
menyebabkan penyakit kanker (Wang 2006).
Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol,
gosipol, karoten dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan.
Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah
tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam bentuk α, β, γ,
δ-tokoferol. Tokoferol ini mempunyai banyak ikatan rangkap yang mudah
dioksidasi sehingga akan melindungi bahan dari oksidasi. Kandungan tokoferol
yang terdapat dalam minyak yang dimurnikan akan menurun. Dalam beberapa
lemak tertentu, tokoferol mengendap, tetapi lemak tersebut tetap tidak mudah
tengik karena terdapat suatu senyawa yang dapat mengaktifkan tokoferol yang
mengendap tersebut (Winarno 2008).
Antioksidan alami tidak hanya terbatas pada antioksidan yang dihasilkan
oleh tumbuhan saja, tetapi juga antioksidan yang terdapat dalam tubuh manusia
dan hewan, seperti glutathione (GSH) dan jaringan thiol lainnya, heme protein,
koenzim Q, bilirubin dan urates, serta beberapa antioksidan enzim seperti
superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT), glutathione peroxidase
15
(GSH-POD) dan glutathione-S-transferase (GST) (Vattem dan Shetty 2006).
Pada buah-buahan, juga terdapat antioksidan enzim, diantaranya SOD, CAT,
GSH-POD, guaiacol peroxidase (G-POD), ascorbate peroxidase (AsA-POD),
monodehydroascorbate reductase (MDAR), dehydroascorbate reductase
(DHAR) dan glutathione reductase (GR). Antioksidan enzim ini mempunyai
kapasitas untuk menetralisir dan menurunkan kelebihan radikal bebas yang
terbentuk karena kondisi stres. Antioksidan enzim berperan sebagai katalis yang
dapat bekerja pada satu atau lebih dari tiga fase pembentukan radikal bebas, yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi (Wang 2006).
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa
fenol yang biasanya agak beracun. Penambahan antioksidan ini harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna
yang tidak diinginkan, efektif dalam konsentrasi rendah (0,01-0,02%), larut dalam
lemak, dapat tahan pada kondisi pengolahan pangan pada umumnya, mudah
didapat dan ekonomis. Bahan makanan yang memakai antioksidan,
penggunaannya harus dicantumkan (Siagian 2002; Winarno 2008). Empat macam
antioksidan yang sering digunakan adalah butylated hydroxyanisole (BHA),
butylated hydroxytoluene (BHT), propylgallate (PG), dan nordihidroquairetic
acid (NDGA) (Winarno 2008).
Kombinasi beberapa antioksidan sintetik dapat menimbulkan sinergisme.
BHA yang dikombinasikan dengan PG akan lebih efektif daripada yang
digunakan secara terpisah, tetapi kombinasi BHT dengan PG menimbulkan
sinergisme negatif. Cara kerja antioksidan sintetik ini agak berbeda dengan
antioksidan alami. Antioksidan sintetik berfungsi sebagai donor hidrogen yang
diperlukan oleh radikal bebas, terutama radikal peroksi (ROO•) untuk membentuk
hidrogen peroksida (ROOH) (Siagian 2002; Winarno 2008). Reaksi pendonoran
hidrogen oleh senyawa fenolik pada radikal peroksi disajikan pada Gambar 7.
ROO• + AH2 ROOH + AH
•
AH• + AH
• A + AH2
Gambar 7. Reaksi antioksidan senyawa fenolik dengan radikal peroksi (Sumber: Siagian 2002)
16
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan
Antioksidan memiliki dua fungsi berdasarkan cara kerjanya. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom
hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R•, ROO
•) atau mengubahnya ke bentuk
lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan
lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di
luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida
ke bentuk lebih stabil (Trilaksani 2003).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipid dapat menghambat atau mencegah autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk pada reaksi
tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi
dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru. Radikal-radikal
antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal antioksidan
(Trilaksani 2003). Reaksi penghambatan radikal bebas oleh antioksidan pada
tahap inisiasi dan propagasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Inisiasi : R• + AH RH + A
•
(radikal lipid)
Propagasi : ROO•
+ AH ROOH + A•
Gambar 8. Reaksi penghambatan oleh antioksidan primer terhadap radikal lipid (Sumber: Trilaksani 2003)
Konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju
oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap
bahkan antioksidan tersebut justru menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi dipengaruhi oleh struktur antioksidan, kondisi dan
sampel yang akan diuji (Trilaksani 2003). Reaksi antioksidan konsentrasi tinggi
yang justru bertindak sebagai prooksidan dapat dilihat pada Gambar 9.
17
AH + O2 A• + HOO
•
AH + ROOH RO• + H2O + A
•
Gambar 9. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Sumber: Trilaksani 2003)
Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan
reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan
oleh 4 macam mekanisme reaksi (Rita et al. 2009), yaitu:
1. pelepasan hidrogen dari antioksidan.
2. pelepasan elektron dari antioksidan.
3. adisi asam lemak ke cincin aromatik pada antioksidan.
4. pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari
antioksidan.
Studi lebih lanjut mengamati bahwa ketika atom hidrogen labil pada suatu
antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak
efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme penghambatan dengan
pemberian hidrogen lebih baik dibanding pemberian elektron. Beberapa peneliti
percaya bahwa pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama,
sementara pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipid adalah
reaksi sekunder (Trilaksani 2003).
Antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer,
sekunder dan tersier. Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenous
atau enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila
dapat memberikan atom hidrogen secara tepat kepada senyawa radikal, kemudian
radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa
radikal bebas, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini
adalah superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutathione peroxidase
(GSH-POD) (Suryowinoto 2005).
Antioksidan sekunder (antioksidan eksogenous) berfungsi menangkap
senyawa radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh
antioksidan sekunder adalah vitamin C dan esternya, vitamin E, beta
karoten, asam urat, asam sitrat, bilirubin, serta albumin (Trilaksani 2003;
18
Suryowinoto 2005). Antioksidan sekunder ini sering ditambahkan pada lemak
dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut
dapat memberi efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan
primer. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih mekanisme
berikut (Trilaksani 2003):
a. memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan),
b. meregenerasi antioksidan utama,
c. mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan,
d. menangkap oksigen, dan
e. mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen.
Kelompok antioksidan tersier berperan dalam memperbaiki kerusakan
sel-sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Contoh kelompok
antioksidan ini adalah sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksidan
reduktase yang berfungsi memperbaiki DNA pada inti sel. Adanya enzim-enzim
yang dapat memperbaiki DNA ini, diharapkan dapat berguna untuk mencegah
penyakit kanker (Suryowinoto 2005).
2.4 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada
kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal
bebas. Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl
(DPPH) yang memiliki rumus molekul C18H12N5O6 dan Mr=394,33
(Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006). Metode uji aktivitas antioksidan
dengan menggunakan radikal bebas DPPH banyak dipilih karena metode ini
sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel
(Hanani et al. 2005). Kapasitas antioksidan pada uji ini bergantung pada struktur
kimia dari antioksidan. Pengurangan radikal DPPH bergantung pada jumlah grup
hidroksil yang ada pada antioksidan, sehingga metode ini memberikan sebuah
indikasi dari ketergantungan struktural kemampuan antioksidan dari antioksidan
biologis (Vattem dan Shetty 2006).
19
Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu
kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004;
Suratmo 2009). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini memiliki satu
elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak
reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan sebuah
warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan
etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan Umiyah 2005; Vattem dan
Shetty 2006). Absorbansi maksimum DPPH pada panjang gelombang 517 nm
terbukti dari grafik spektra sinar tampak (360-720 nm) yang diuji oleh Amrun dan
Umiyah (2005), seperti yang terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Absobansi maksimum DPPH pada λ = 517 nm (Sumber: Amrun dan Umiyah 2005)
Absorbsi maksimum dari radikal DPPH dalam larutan etanol ataupun
metanol pada 517 nm dipertimbangkan sebagai sebuah kekurangan utama dari
pengujian ini, karena dapat mengendapkan sebagian besar protein dan
menurunkan aktivitas dari sebagian besar fenolik hidroksida monovalen.
Ketergantungan pada jumlah grup hidroksil juga berakibat pada perbedaan
kecepatan kinetik dari reaksi antara antioksidan dan radikal DPPH, serta
menyebabkan fluktuasi pada waktu reaksi secara signifikan, sehingga disarankan
untuk setiap sampel yang berbeda diperlukan standarisasi waktu reaksi dan model
kinetik yang berbeda (Vattem dan Shetty 2006).
Ketika sebuah antioksidan mampu mendonorkan hidrogen yang beraksi
dengan radikal DPPH, reaksi ini akan memberikan peningkatan kompleks non
radikal dan menurunkan radikal DPPH yang ditandai dengan terbentuknya warna
kuning. Penurunan pada absorbsi dapat diukur secara spektrofotometrikal dan
dibandingkan dengan sebuah kontrol etanol atau metanol untuk mengkalkulasikan
aktivitas scavenging radikal bebas DPPH (Vattem dan Shetty 2006). Ketika
20
DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer
elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari
DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan,
maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi
pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara
stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap
oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Suratmo 2009). Struktur
kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2)
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH (Sumber: Molyneux 2004)
Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat
dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat
(antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang
tersubstitusi para dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
untuk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal
fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali
dengan radikal DPPH. Tahap terakhir adalah pembentukan kompleks antara
radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara
zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi
dari struktur molekulnya (Suratmo 2009).
Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan
hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value)
atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value). Nilai ini
dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan
21
berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas
antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50
antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-
0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml
(Blois 1958 dalam Molyneux 2004).
2.5 Antioksidan BHT (Butylated Hydroxytoluene)
Butylated hydroxytoluene (BHT) merupakan salah satu contoh antioksidan
jenis sintetik, yang berperan sebagai senyawa yang mudah bereaksi dengan
oksigen (Rita et al. 2009). BHT (2,6-di-tert-butyl-4-methylphenol) memiliki
rumus molekul C15H24O dan Mr=220,36. BHT dapat meleleh pada suhu 69,44 oC
dan mendidih pada suhu 265 oC. Bentuknya berupa butiran putih dan stabil pada
kondisi penggunaan dan penyimpanan yang normal, tidak panas dan tidak lembab
(Scholar Chemistry 2008). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12. Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT) (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)
BHT banyak ditambahkan pada produk pangan sebagai antioksidan yang
berfungsi untuk mencegah ketengikan. Bahan pangan yang biasa diberi tambahan
BHT adalah lemak, minyak, atau bahan makanan yang mengandung asam lemak
tak jenuh tinggi. Salah satu contohnya minyak kelapa sawit. Menurut Herawati
dan Akhlus (2006), penambahan 200 ppm BHT mampu menahan kadar peroxida
pada RBD minyak kelapa sawit dibawah 2 meq/kg selama 210 menit, sedangkan
tanpa menggunakan BHT diperoleh 2 meq/kg hanya dalam waktu 30 menit. Hasil
penelitian Hanani et al. (2005) menunjukkan bahwa BHT memiliki IC50 pada
konsentrasi 3,81 ppm, sehingga antioksidan sintetik BHT dapat dikategorikan
22
sebagai antioksidan yang memiliki aktivitas yang kuat. Mekanisme reaksi BHT
dengan radikal bebas dengan cara mendeaktifasi senyawa radikal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)
BHT dapat menyebabkan kematian 50% (LD50) hewan uji tikus secara oral
pada konsentrasi 980 mg/kg, dan pada kelinci secara dermal sebesar 500 mg/Mild
(Scholar Chemistry 2008). Penambahan BHT dalam bahan makanan diduga dapat
menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, sehingga penggunaannya
mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa seperti Rumania, Swedia dan
Australia (Rita et al. 2009).
2.6 Ekstraksi Komponen Bioaktif
Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen zat aktif suatu bahan
dengan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari proses ini adalah untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984). Proses ekstraksi berdasarkan media
pengekstraknya dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu solvent extraction,
supercritical fluids extraction, steam destilation dan headspace techniques
(Beek 1999). Metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah solvent extraction.
Proses dasar ekstraksi komponen bioaktif dari suatu bahan, umumnya
terdiri dari 3 tahap. Tahap awal, pelarut yang diasumsikan memiliki solubilitas
yang cukup akan merusak membran permukaan bahan dan melarutkan komponen
bioaktif yang bebas (tidak berikatan dengan komponen lain). Tahap kedua,
pelarut akan masuk ke dalam material sampel dan memutus matrix effect
(komponen bioaktif yang berikatan dengan komponen-komponen lain), sehingga
23
kompenen bioaktif akan terbebas dan larut dalam pelarut. Tahap kedua ini juga
menyebabkan membran menjadi lebih bersifat permeabel. Tahap akhir,
komponen bioaktif yang terdapat pada bagian terdalam bahan akan berdifusi
secara berlahan karena membran menjadi lebih bersifat permeabel (Beek 1999).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi tipe
solvent extraction atau ekstraksi yang menggunakan pelarut dengan metode
maserasi. Metode ini dipilih karena cukup mudah diterapkan dan murah, pelarut
yang digunakan tidak terlalu banyak, serta dapat memberikan hasil ekstrasi yang
baik dan selektif. Walaupun begitu metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu
komponen bioaktif harus mampu larut dalam pelarut tanpa adanya pengadukan
atau pemanasan yang lambat (Beek 1999).
Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan proses ekstraksi bertingkat
yang merupakan salah satu bentuk ekstraksi tipe solvent extraction.
Salamah et al. (2008) mendefinisikan ekstraksi bertingkat sebagai proses ekstraksi
yang dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, pelarut
yang kepolarannya menengah (semipolar) dan pelarut polar. Pelarut-pelarut yang
dapat digunakan dalam proses ekstraksi bertingkat ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat adalah rendemen ekstrak yang
diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses ekstraksi tunggal. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian Prabowo (2009).
Tabel 3. Jenis-jenis pelarut yang umum digunakan dalam ekstraksi
Jenis Pelarut Titik Beku (oC) Titik Didih (
oC)
Air 0 100
Etanol -98 65
Etanol -117 78
Propanol -127 97
Aseton -95 56
Etil asetat -84 77
Heksana -98 69
Benzena 6 80
Kloroform -63 61 , Sumber: Lehninger (1988)
2.7 Komponen Bioaktif
Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang
terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis.
24
Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik seperti
polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas
pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang
memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida
(Kannan et al. 2009). Penapisan komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan
metode uji fitokimia yang meliputi komponen karbohidrat, gula pereduksi,
peptida, asam amino (metabolit primer), alkaloid, steroid, flavonoid, saponin dan
fenol hidrokuinon (metabolit sekunder) (Harborne 1984; Harborne 1999).
Fitokimia atau fitonutrien, merupakan cabang ilmu yang mempelajari
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup
struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alami
dan fungsi biologis. Senyawa fitokimia tidak hanya terdapat pada tumbuhan
(phytoo) saja, tetapi juga terdapat pada jaringan tubuh hewan (zoo). Fitokimia
biasanya lebih merujuk pada senyawa yang ditemukan pada tumbuhan ataupun
hewan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, tetapi memiliki efek
yang menguntungkan bagi kesehatan atau memiliki peran aktif dalam pencegahan
penyakit (metabolit sekunder). Senyawa ini berbeda dengan apa yang diistilahkan
sebagai nutrisi dalam pengertian tradisional karena ketiadaan senyawa ini tidak
akan menyebabkan penyakit defisiensi, asalkan tetap mengkonsumsi pangan
yang mengandung zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak
(Astawan dan Kasih 2008).
2.7.1 Alkaloid
Komponen alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang paling
banyak ditemukan di alam. Alkaloid umumnya dapat didefinisikan sebagai
substasi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan
tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik. Alkaloid biasanya
tidak berwarna dan sebagian besar berbentuk kristal dengan titik lebur
tertentu, tetapi ada pula yang berbentuk amorf atau cairan pada suhu ruang.
Secara organoleptik, alkaloid akan terasa pahit di lidah (Harborne 1984;
Kutchan 1995; Putra 2007).
Menurut Hegnauer, senyawa alkaloid diklasifikasikan menjadi
3 kelompok, yaitu alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid dan pseudoalkaloid.
25
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas
fisiologis yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung
nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino dan biasanya
terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalakaloid merupakan
amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat
dalam cincin heterosiklik. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam
amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Alkaloid dikategorikan sebagai hasil metabolisme sekunder, dimana
kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi
organisme yang menghasilkannya (Kutchan 1995). Dari segi biogenetik, alkaloid
diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang
menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid
jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol (Lenny 2006).
Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi
Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam
iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap
oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketid dan jalur mevalonat juga ditemukan
dalam biosintesis alkaloid (Lenny 2006; Putra 2007).
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada pula yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Beberapa contoh senyawa alkaloid yang
telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, diantaranya adalah nikotin
(stimulan pada syaraf otonom), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat
batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif menjelang operasi), kokain
(analgesik), piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker),
ergotamin (analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi
ereksi), mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan
obat kanker) (Putra 2007).
Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan sejauh ini belum diketahui secara
pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan bahwa alkaloid diperkirakan sebagai
26
pelindung tumbuhan dari serangan hama dan penyakit, pengatur tumbuh, atau
sebagai basa mineral untuk mempertahankan keseimbangan ion (Putra 2007).
Hasil penelitian Porto et al. (2009) menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada
daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan
dan berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
2.7.2 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang tersusun
oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon
asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar
terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna,
jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit
dikarakterisasi. Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi
triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan
warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid dapat digolongkan
menjadi 4 grup komponen, yaitu triterpenoid sebenarnya, steroid, saponin
dan cardiac glycoside. Triterpenoid umumnya memiliki rasa yang pahit
(Harborne 1984). Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah
produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki
kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan
dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya.
Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, asam
empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan
pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Prekursor pembentukan steroid
adalah kolesterol atau fitosterol. Menurut Bose et al. (1997), profil steroid yang
terdapat pada hemolimfa Achatina fulica (salah satu jenis gastropoda hermaprodit
air tawar) meliputi progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione
dan cortisol. Progesterone terkandung lebih banyak pada fase jantan dan
menurun pada fase betina, dimana saat itu laju konversi kolesterol menjadi
17-β-estradiol dan 4-androstene-dione lebih tinggi dibandingkan dengan profil
27
steroid yang lain. Jumlah steroid yang terdapat pada hemolimfa ini diyakini
sebagai hasil mekanisme biosintesis aktif dari gastropoda tersebut. Sumber dari
steroid reproduksi ini jelas berasal dari gonad dan kelenjar reproduksi tambahan.
Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid
yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi,
walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan.
Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik karena steroid
memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit.
2.7.3 Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu
larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika
diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid mengandung sistem aromatik
konjugasi dan dapat menunjukkan pita penyerapan yang kuat pada spektrum
wilayah UV dan sinar tampak (Harborne 1984; Astawan dan Kasih 2008).
Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air (polar). Komponen
ini dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tertinggal pada lapisan aqueous, diikuti
dengan pemisahan ekstrak menggunakan petroleum ether. Flavonoid pada
tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam
aglikon. Flavonoid dapat dikelompokan menjadi 9 kelas, yaitu anthosianin,
proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone,
flavanon, serta isoflavon (Harborne 1984). Komponen flavonoid pada tanaman
yang dikonsumsi oleh hewan herbivora, dapat tersimpan dalam tubuh hewan
tersebut. Contohnya adalah quercetin yang tersimpan dalam sayap kupu-kupu
setelah melewati proses pencernaan makanan (Harborne 1999).
Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan
dan Kasih 2008). Hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) yang
menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum
ternum memiliki aktivitas antioksidan, walaupun kapasitas peredaman radikal
bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut berbeda-beda.
Komponen flavonoid tersebut merupakan turunan dari quercetin (dari yang terkuat
ke yang paling lemah), yaitu guaijaverin, hyperoside, isoquercitrin dan quercetin-
3-metil-eter.
28
Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardivaskuler dengan cara
menurunkan laju oksidasi lemak. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Pada kasus penyakit
jantung, penghambatan oksidasi LDL oleh flavonoid dapat mencegah
pembentukan sel-sel busa dan kerusakan lipid (Astawan dan Kasih 2008). Selain
itu, flavonoid juga memiliki fungsi sebagai antibakteri, anti-inflamasi, antitumor,
antialergi, dan mencegah osteoporosis. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian
yang telah dilakukan. Hasil penelitian Sukadana (2009) menunjukkan bahwa
komponen flavonoid yang diisolasi dari buah belimbing manis memiliki aktivitas
antibakteri pada bakteri Gram positif (S. aureus) pada konsentrasi 500 ppm dan
bakteri Gram negatif (E. coli) pada konsentrasi 100 ppm. Hasil penelitian
Al-Meshal et al. (1985) menunjukkan bahwa fraksi flavonoid yang diisolasi dari
tumbuhan Catha edulis Forsk memiliki aktivitas anti-inflamasi pada dosis
200 mg/kg. Aktivitas anti-inflamasi ini juga dimiliki oleh komponen flavonoid
tergeranilasi dari ekstrak daun sukun yang diisolasi oleh Syah et al. (2006), yaitu
2-geranil-2’,4’,3,4-tetrahidroksidihidrokalkon, dimana komponen ini telah
diketahui memiliki efek biologis yang potensial sebagai inhibitor 5-lipooksigenase
yang berperan dalam proses alergi, inhibitor katepsin K yang merupakan enzim
sistein protease yang terlibat dalam proses terjadinya osteoporosis, serta sebagai
obat antitumor yang telah dipatenkan.
2.7.4 Saponin
Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna
akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau
genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,
diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan
glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).
Saponin merupakan agen aktif permukaan dengan sifat yang menyerupai
sabun. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam etanol
dan metanol pekat yang dingin. Kehadirannya dapat dideteksi dengan mudah
karena komponen ini mampu membentuk busa dan dapat menyebabkan hemolisis
sel darah. Hemolisis darah merah oleh saponin ini merupakan hasil interaksi
29
antara saponin dengan senyawa-senyawa yang terdapat pada permukaan membran
sel, seperti kolesterol, protein dan fosfolipid. Saponin terkadang bersifat racun
pada ternak (saponin pada alfalfa) dan memiliki rasa yang manis (glycyrrhizin
pada akar kayu manis) (Harborne 1984; Muchtadi 1989).
Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan
kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem
imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian
Cui et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dari tumbuhan herbal Dioscorea
nipponica Mak. yang biasa digunakan sebagai obat penyakit cardiovascular
(penyakit jantung, hyperlipaemia, dan tonsilitis) ternyata mengandung komponen
furostanol saponin yang tergolong dalam steroidal saponin, yaitu
26-O-β-D-glucopyranosyl-furost-5(6),20(22)-dien-3β,26-diol. Selain untuk
kesehatan, saponin juga dapat digunakan sebagai agen bioaktif pengendali
nyamuk. Hasil penelitian Wiesman dan Chapagain (2003) menunjukkan bahwa
ekstrak saponin yang diisolasi dari Quillaja saponaria dan Balanites aegyptiaca
mampu digunakan sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex
pipiens, tetapi aman bagi mamalia.
2.7.5 Fenol hidrokuinon
Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan
satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil
atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut
berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola
sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat
alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana,
fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah sedikit (Harborne 1984;
Harborne 1999).
Pigmen quinon alami berada pada kisaran warna kuning muda hingga
hitam. Quinon mengandung kromatofor dasar yang sama dengan kromatofor
benzoquinon, yang terdiri dari dua grup karbonil yang berkonjugasi dengan dua
ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, quinon dapat dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon, antraquinon, dan
isoprenoid quinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis dan memiliki
30
sifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon terdapat pada respirasi seluler
(ubiquinon) dan fostosintesis (plastoquinon) (Harborne 1984).
Hasil penelitian Escudero et al. (2008) menunjukkan bahwa komponen
polifenol yang diisolasi dari daun Piper aduncum L. memiliki aktivitas
antioksidan dan menurunkan kandungan hidrogen peroksida secara in-vivo.
Komponen polifenol tersebut meliputi asam gallat, asam klorogenat, katekin, dan
quercetin yang dilaporkan memiliki nilai IC50 1-8 ppm.
2.7.6 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa). Karbohidrat
berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan
infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1984). Karbohidrat
mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang berbeda-beda. Karbohidrat
umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat
umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).
Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan
dapat dipecah menjadi D-glukosa. Karbohidrat dalam tubuh hewan dapat
dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian dari gliserol lemak, tetapi
sebagian besar karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dimakan sehari-
hari, terutama bahan makanan yang berasal dari tumbuhan (Winarno 2008).
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Komponen tersebut aktif secara optis, merupakan komponen
alifatik polihidroksi, yang biasanya sangat larut air. Komponen ini sukar untuk
mengkristal bahkan dalam keadaan murni sekalipun, dan biasanya diisolasi
dengan mereaksikannya dengan komponen lain (Harborne 1984). Pada tubuh
manusia, karbohidrat berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan protein tubuh
yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme
lemak dan protein (Winarno 2008).
Karbohidrat umumnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok
berdasarkan ukuran molekulernya, yaitu monosakarida, oligosakarida, dan
31
polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari
5-6 atom C (fruktosa, glukosa), oligosakarida merupakan polimer dari
2-10 monosakarida (sukrosa), dan polisakarida merupakan polimer yang terdiri
lebih dari 10 monomer monosakarida yang membentuk rantai lurus ataupun
bercabang (Harborne 1984; Winarno 2008).
2.7.7 Gula pereduksi
Gula pereduksi merupakan kelompok gula atau karbohidrat yang mampu
mereduksi senyawa pengoksidasi. Monosakarida akan segera mereduksi
senyawa-senyawa pengoksida seperti ferisianida, hidrogen peroksida, atau ion
kupri (Cu2+
). Gula dioksidasi pada gugus karbonil dan senyawa pengoksidasi
menjadi tereduksi pada reaksi ini. Sifat gula pereduksi ini dapat berguna dalam
analisis gula, dengan mengukur jumlah dari senyawa pengoksidasi yang tereduksi
oleh suatu larutan gula tertentu, dapat dilakukan pendugaan konsentrasi gula.
Prinsip tersebut berguna dalam menganalisis kandungan gula dalam darah dan air
seni untuk diagnosa diabetes mellitus (Lehninger 1988).
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan
pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan
laktosa mempunyai gugus OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Salah satu metode untuk mengukur jumlah gula pereduksi ini dapat
digunakan larutan Fehling. Larutan Fehling merupakan larutan alkali
tembaga (II) yang mengoksidasi aldosa menjadi aldonat, dalam prosesnya akan
tereduksi menjadi tembaga (I) yang mengendap sebagai Cu2O yang berwarna
merah bata. Reagen lain yang dapat digunakan dalam mengukur jumlah gula
pereduksi adalah reagen Nelson-Somogyi dan Benedict. Aldosa termasuk gula
pereduksi, begitu juga dengan ketosa. Ketosa dalam suasana alkali larutan
Fehling, akan terisomerasi menjadi aldosa, sehingga dalam reagen Benedict
yang tidak alkali hanya komponen aldosa yang dapat terdeteksi, tetapi ketosa
tidak (Fennema 1996).
32
2.7.8 Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari
molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Dua molekul asam amino
yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipeptida, tiga molekul asam amino
yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida, dan begitu seterusnya.
Istilah oligopeptida digunakan untuk kelompok yang memiliki ≤ 10 residu asam
amino. Jika terdapat banyak asam amino yang bergabung dengan cara demikian,
maka akan menghasilkan struktur yang disebut polipeptida. Transisi dari
polipeptida menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian
protein umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat
molekul sekitar 10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009).
Peptida dengan panjang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisis
sebagian dari rantai polipeptida yang panjang dari protein, yang dapat
mengandung ratusan asam amino (Lehninger 1988). Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan
energi. Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis
daripada sintesis (Winarno 2008).
Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata. Salah
satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam pusat
sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh yang
dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan reseptor
spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan morfin,
heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul < 5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
33
2.7.9 Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-karbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008). Struktur
kimia asam amino secara umum dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 124. Struktur kimia asam amino (Sumber: Fennema 1996)
Perbedaan antar asam amino alami, hanya terletak pada gugus rantai R
yang berikatan dengan atom α-karbon. Sifat-sifat fisiko-kimia dari asam amino,
seperti kelarutan, reaksi kimia, pontensial ikatan hidrogen, sangat bergantung
pada gugus rantai R tersebut (Fennema 1996). Gugus rantai R ini dapat berupa
alifatik, aromatik, residu heterosiklik, atau gugus fungsional lainnya yang
berikatan (Belitz et al. 2009).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik) berada dalam bentuk ion
dipolar atau disebut juga zwitter ion. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino
mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat
ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Gugus karboksilnya tidak
terdisosiasi, sedangkan gugus aminonya menjadi ion pada pH yang rendah
(misalnya pH 1,00). Gugus karboksil terdisosiasi pada pH tinggi (misalnya
pH 11,00), sedangkan gugus aminonya tidak (Winarno 2008).
Asam amino dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat interaksi gugus
rantai R dengan air menjadi dua kelompok besar (Fennema 1996;
Belitz et al. 2009), yaitu:
34
1) Asam amino polar (hidrofilik), yaitu asam amino yang larut dalam air dan
dibedakan menjadi asam amino polar bermuatan (Arg, Asp, Glu, His dan
Lys), serta asam amino polar tak bermuatan (Ser, Thr, Asn, Gln dan Cys).
2) Asam amino non polar (hidrofobik), yaitu asam amino yang memiliki
tingkat kelarutan terbatas dalam air. Asam amino ini memiliki gugus
rantai R alifatik (Ala, Ile, Leu, Met, Pro dan Val) atau aromatik (Phe, Trp
dan Tyr).
35
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2009 sampai
Februari 2010. Sampel diambil dari sepetak sawah di Desa Carang Pulang,
Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Proses preparasi
sampel dan penghitungan rendemen dilakukan di Laboratorium Karakteristik
Bahan Baku. Proses ekstraksi (maserasi) dilakukan di Laboratorium Bioteknologi
Hasil Perairan 1. Proses evaporasi ekstrak dilakukan di Laboratorium
Penelitian 1, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Analisis kadar abu, kadar abu tak larut asam, uji aktivitas antioksidan dan
uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan,
Bioteknologi Hasil Perairan 2 dan Biokimia Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis kadar
air, kadar lemak, dan kadar protein dilakukan di Laboratorium Konservasi Satwa
Langka dan Harapan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah keong mas
(Pomacea canaliculata Lamarck). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,
asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl
red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0,10 N, pelarut lemak
(n-heksana p.a.), larutan HCl 10% dan larutan AgNO3 0,10 N. Bahan-bahan yang
diperlukan dalam proses ekstraksi dan evaporasi meliputi pelarut kloroform p.a.,
pelarut etil asetat p.a., pelarut metanol p.a. dan es batu. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak keong mas, kristal
1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), metanol p.a., antioksidan sintetik BHT
(butylated hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer,
pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat
(uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air panas, larutan
HCL 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon),
36
peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict (uji Benedict),
pereaksi Biuret (uji Biuret) dan larutan Ninhidrin 0,10% (uji Ninhidrin).
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi transek (1x1) m2,
pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, alumunium foil, gegep, desikator,
oven, kompor listrik, tanur pengabuan, kertas saring Whatman 42 bebas abu,
kapas bebas lemak, labu lemak, kondensator, tabung Soxhlet, penangas air, labu
Kjeldahl, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, gelas
ukur, blender, orbital shaker, rotary vacuum evaporator, corong kaca, botol gelas,
gelas piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS, pipet tetes, vortex dan
sendok plastik.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap pengambilan
sampel, tahap perhitungan rendemen, tahap analisis kimia keong mas berupa
analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu, dan abu tak larut asam), tahap
pembuatan ekstrak kasar keong mas, uji kuantitatif aktivitas antioksidan dan uji
fitokimia.
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel
Pengambilan sampel keong mas dilakukan di sebuah areal sawah padi
Desa Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten
Bogor berukuran (19 x 7) m2. Lokasi tempat pengambilan sampel ini dapat dilihat
pada Lampiran 1. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengumpulkan keong-
keong dalam sepetak sawah menggunakan transek berukuran (1 x 1) m2 di setiap
titik pada petak sawah tersebut (Lampiran 2). Keong-keong tersebut kemudian
dimasukan dalam wadah plastik. Setelah sampel diperoleh, pertama-tama
dilakukan identifikasi dan dilanjutkan dengan pengambilan secara acak 30 ekor
keong dari seluruh keong mas yang terkumpul untuk diukur berat totalnya. Tiga
puluh ekor keong mas ini merupakan jumlah minimum yang harus diambil untuk
mewakili populasi keong mas yang terdapat pada sawah tersebut. Sampel
kemudian dihitung rendemennya (cangkang, isi cangkang dan operkulum) dengan
rumus:
Rendemen % =Bobot contoh (g)
Bobot total (g)× 100%
37
Seluruh keong mas yang telah dikeluarkan dari cangkangnya, dibagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan bagian yang akan diuji kadar air,
lemak, protein, abu, dan abu tidak larut asam. Bagian kedua merupakan bagian
yang akan dikeringkan dan nantinya akan diekstrak untuk diuji aktivitas
antioksidan dan fitokimia.
3.3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
air, lemak, protein, abu dan abu tidak larut asam.
1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau
hingga beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang
kembali.
Perhitungan kadar air :
Kehilangan berat g = berat sampel awal g − berat setelah dikeringkan (g)
Kadar air berat basah =Kehilangan berat (g)
Berat sampel awal (g)× 100%
2) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada
kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus
dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan
disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak
(n-heksana p.a.). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang
ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat
38
destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan
sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator
sampai beratnya konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak:
% Kadar lemak =W3 − W2
W1× 100%
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak kosong (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium
dan 3 ml H2SO4 p.a. pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang
lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu
Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam
labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan
2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda
(1:2). Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka
proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,10 N sampai
terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan
blanko dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% N = ml HCl − ml blanko × N HCl × 14,007
mg contoh × faktor koreksi alat∗× 100%
*) Faktor koreksi alat = 2,5
% Kadar Protein = % N × faktor konversi∗
*) Faktor Konversi = 6,25
39
4) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi.
Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1
jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
Berat abu g = berat sampel dan cawan akhir g − berat cawan kosong (g)
Kadar abu berat basah =Berat abu (g)
Berat sampel awal (g)× 100%
5) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI 01-3836-2000
(BSN 2000)
Abu hasil penetapan kadar abu total dilarutkan dalam 25 ml HCL 10% dan
dididihkan selama 5 menit. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas
saring Whatman bebas abu dan dicuci dengan air suling sampai bebas klorida
(dengan peraksi AgNO3). Kertas saring Whatman kemudian dikeringkan dalam
oven. Abu yang telah kering kemudian diabukan kembali dalam tanur dengan
menggunakan wadah cawan porselen. Cawan porselen tersebut kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga beratnya tetap (BSN 2000).
Kadar abu tidak larut asam ditentukan dengan rumus:
Kadar abu tidak larut asam berat basah =Berat abu (g)
Berat sampel awal (g)× 100%
3.3.3 Analisis aktivitas antioksidan
1) Ekstraksi bahan aktif (Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995)
Pada tahap ini ada beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi
bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, isi cangkang keong mas yang telah
diambil dari areal persawahan segera dikeringkan dengan panas matahari selama
3 hari. Tujuan dari proses pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air
dalam bahan. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa air tipe III dalam bahan
berada dalam jumlah yang rendah, sehingga proses pembusukan, hidrolisis
komponen bioaktif dan oksidasi dalam sampel selama dilakukannya maserasi
40
dapat dihindari. Bila sebagian air tipe III dihilangkan, maka aw akan turun hingga
0,80 (batas maksimal) sehingga pertumbuhan mikroba dapat dikurangi dan reaksi-
reaksi kimia yang bersifat merusak, seperti hidrolisis atau oksidasi lemak dapat
dihindari. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia (Winarno 2008).
Kadar air yang berkurang dalam sampel juga sangat berguna saat
dilakukannya proses evaporasi. Ketika proses ekstraksi dilakukan pada sampel
basah, air akan bermigrasi dari bahan ke dalam lingkungan (pelarut) dalam jumlah
cukup banyak. Air yang memiliki titik didih lebih tinggi dari pelarut, akan sangat
sukar dan lama untuk dipisahkan dari ekstrak dengan menggunakan pemanasan
suhu rendah (sesuai titik didih pelarut). Apabila pemanasan dilakukan dengan
menggunakan suhu tinggi, yaitu suhu 100 oC pada tekanan udara 1 atm
(760 mm Hg), maka komponen bioaktif yang memiliki sifat antioksidan
dikhawatirkan dapat rusak oleh panas. Sampel yang kering diduga akan
menyumbangkan air dalam jumlah yang kecil pada larutan ekstrak.
Isi cangkang keong mas yang telah kering kemudian dihaluskan dengan
blender, sehingga diperoleh tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil
(bubuk/tepung) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat
berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif
dapat berjalan dengan maksimal.
Langkah selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi
yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988 dalam
Darusman et al. 1995). Metode ini digunakan tiga macam pelarut berdasarkan
tingkat kepolarannya yaitu kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semi polar)
dan metanol p.a. (polar). Ketiga pelarut ini dipilih karena memiliki titik didih
yang lebih rendah dari titik didih air, sehingga dapat mudah diuapkan saat proses
vacuum evaporasi (500 mm Hg, 50 oC). Pada tekanan udara 1 atm (760 mm Hg),
kloroform memiliki titik didih sebesar 61 oC, metanol sebesar 65
oC dan etil asetat
sebesar 77 oC. Pelarut etanol tidak dipilih untuk menggantikan pelarut metanol
(polar) karena titik didihnya jauh lebih tinggi dibandingkan metanol, yaitu 78 oC
(Lehninger 1988).
41
Menurut Prabowo (2009), kekurangan dari proses ekstraksi bertingkat
adalah rendemen ekstrak yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan proses
ekstraksi tunggal. Proses ekstraksi bertingkat ini justru dipilih karena penelitian
ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif yang
terdapat dalam keong mas berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat
ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama
berdasarkan tingkat kepolarannya, tanpa harus komponen bioaktif tersebut terlarut
pada pelarut lain yang bukan merupakan pelarutnya. Hal semacam ini diduga
dapat terjadi pada proses ekstraksi tunggal menggunakan metanol. Metanol
merupakan pelarut polar yang juga dapat melarutkan komponen non polar dan
semipolar di dalamnya. Hal yang tidak diinginkan tersebut dapat dihindari
dengan melakukan proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan ekstraksi
menggunakan pelarut non polar (kloroform p.a.) terlebih dahulu, dilanjutkan
dengan pelarut semipolar (etil asetat p.a.) dan terakhir menggunakan pelarut polar
(metanol p.a.).
Sampel sebanyak 25 g yang telah dihancurkan, dimaserasi dengan pelarut
kloroform p.a. sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan
menggunakan orbital shaker 8 rpm. Hasil maserasi yang berupa larutan
kemudian disaring dengan kertas saring Whatman 42 sehingga diperoleh filtrat
dan residu. Residu yang dihasilkan selanjutnya dimaserasi dengan etil asetat p.a.
sebanyak 100 ml selama 48 jam dengan diberi goyangan menggunakan orbital
shaker 8 rpm, sedangkan filtrat ekstrak kloroform yang diperoleh dievaporasi
hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evapotator
pada suhu 50 oC.
Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Residu yang dihasilkan dimaserasi dalam pelarut metanol p.a.
sebanyak 100 ml dan dimaserasi selama 48 jam dengan diberi goyangan
menggunakan orbital shaker 8 rpm. Filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh
dievaporasi sehingga semua pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary
vacuum evapotator pada suhu 50 oC.
Hasil maserasi ke-3 dengan pelarut metanol, disaring dengan kertas saring
Whatman 42. Filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievaporasi sehingga semua
42
pelarut terpisah dari ekstrak menggunakan rotary vacuum evapotator pada suhu
50 oC, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Proses ini akan menghasilkan
ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol yang kental. Proses
ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram alir proses ekstraksi keong mas (Sumber: Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995)
Proses ekstraksi (maserasi) pada penelitian ini dilakukan selama 2 hari
saja. Hasil penelitian Rita et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin lama waktu
ekstraksi, maka berat rendemen ekstrak yang dihasilkan akan semakin besar. Hal
ini dikarenakan semakin lama waktu pengekstraksian, maka jumlah ekstrak yang
mengalami kontak dengan sampel akan semakin banyak sehingga ekstrak yang
dihasilkan akan semakin besar. Namun, lama ekstraksi pada penelitian
Sampel kering
Maserasi dengan kloroform
selama 24 jam
Penyaringan
Residu
Maserasi dengan etil
asetat selama 24 jam
Penyaringan
Evaporasi
Ekstrak kloroform
Maserasi dengan
metanol selama 24 jam
Residu
Penyaringan
Residu
Filtrat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak etil asetat
Filtrat Evaporasi
Ekstrak metanol
43
Rita et al. (2009) ini, hanya berkisar 30-90 menit saja. Berbeda dengan hasil
penelitian Salamah et al. (2008) yang menunjukkan bahwa lamanya waktu
ekstraksi (maserasi) selama 1 hari, 2 hari dan 3 hari tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap jumlah rendemen ekstrak yang dihasilkan, oleh
karena itu penelitian ini menggunakan lama ekstraksi (maserasi) selama 2 hari
saja.
Penelitian ini menggunakan orbital shaker dalam proses ekstraksi.
Kelemahan dari metode solvent extraction ini adalah komponen bioaktif harus
mampu larut dalam pelarut tanpa adanya pengadukan atau pemanasan yang
lambat (Beek 1999). Kelemahan metode ini dapat diatasi dengan memberikan
perlakuan goyangan, sehingga dalam penelitian ini metode ekstraksi secara
maserasi dikombinasikan dengan memberikan perlakuan goyangan menggunakan
orbital shaker. Orbital shaker dipilih karena alat ini dapat memberikan goyangan
secara orbital yang dapat memberikan efek menyerupai pengadukan pada
campuran pelarut dan sampel, sehingga diharapkan komponen bioaktif yang tidak
dapat terlarut tanpa adanya proses pengadukan dapat terlarut dengan baik.
Pemanasan dalam proses ekstraksi dihindari untuk mencegah rusaknya komponen
bioaktif yang tidak tahan panas di awal penelitian, karena itu proses ekstraksi
dilakukan pada suhu ruang selama 2 hari.
Rotary vacuum evaporator juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu pada
proses pemekatan ekstrak keong mas. Rotary vacuum evaporator bekerja
berdasarkan prinsip diagram fase air, yaitu ketika tekanan udara diturunkan maka
titik didih pelarut akan turun. Tekanan yang digunakan adalah tekanan vacuum
(500 mm Hg) sehingga suhu yang dapat digunakan untuk menguapkan air adalah
± 50 oC. Pelarut-pelarut yang digunakan dalam penelitian ini umumnya
mempunyai titik didih di bawah titik didih air, sehingga akan mudah menguap
jika dipanaskan pada suhu 50 oC dengan tekanan vacuum (500 mm Hg). Pada
tekanan vacuum (500 mm Hg) dan suhu di bawah 50 oC, lebih dari 95%
kandungan nutrisi, vitamin, ferment dan komponen bioaktif lainnya dapat
diselamatkan. Pemanasan dengan suhu rendah ini dapat mengurangi terjadinya
oksidasi (Orsat dan Raghavan 2006), oleh karena itu penelitian ini menggunakan
rotary vacuum evaporator pada temperatur 50 oC.
44
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam Hanani et al. 2005)
Ekstrak kasar keong mas dari hasil ekstraksi bertingkat menggunakan
pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a. (semi polar), dan pelarut
metanol p.a. (polar), dilarutkan dalam metanol p.a. dengan konsentrasi 200, 400,
600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan
kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut metanol p.a. dengan
konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat
dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi
1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu
rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah
dibuat, masing-masing diambil 4,50 ml dan direaksikan dengan 500 µl larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang
gelombang 517 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan
perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,50 ml
pelarut metanol dengan 500 µl larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan
blanko ini dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu, aktivitas antioksidan
dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan
persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
% inhibisi =absorbansi blanko − absorbansi sampel
absorbansi blanko× 100%
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)
dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan
regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan
y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari
masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang
akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan
sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk
mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.
45
3.3.4 Uji fitokimia (Harborne 1984)
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong mas yang memiliki
aktivitas antioksidan. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji steroid/triterpenoid,
flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin.
Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).
a. Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi
Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi
Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi
Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2
dengan 0,50 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi
100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat
dengan cara 10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,50 gram iodin dan
2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam
labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara
0,80 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air.
Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam
20 ml air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan
2,30 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini
berwarna jingga.
b. Steroid/ triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Lalu, 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat
ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk
pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau, menunjukkan reaksi
positif.
c. Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,10 mg dan 0,40 ml
amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang
46
sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Warna merah, kuning atau
jingga yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d. Saponin (uji busa)
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
e. Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya
senyawa fenol dalam bahan.
f. Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan.
g. Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna hijau,
kuning, atau endapan merah bata yang terbentuk menunjukkan adanya gula
pereduksi.
h. Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Larutan berwarna ungu yang terbentuk
menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.
i. Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan Ninhidrin
0,10%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Larutan
berwarna biru yang terbentuk menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam
amino.
47
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Keong Mas
Morfologi keong mas yang diambil dari areal sawah padi Desa Carang
Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor dapat
dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Keong mas yang diambil dari sawah padi Desa Carang Pulang
Sampel keong mas yang diperoleh, kemudian dipreparasi untuk
mengeluarkan isi cangkang (daging dan jeroan), serta memisahkannya dari
operkulum yang masih menempel. Bentuk cangkang, isi cangkang dan
operkulum keong mas kemudian diamati karakteristik fisiknya. Hasil pengamatan
karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas dapat dilihat
pada Tabel 4. Bentuk cangkang, isi cangkang dan operkulumnya dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Tabel 4. Hasil pengamatan karakteristik fisik cangkang, isi cangkang dan
operkulum keong mas
Karakteristik Fisik Cangkang Isi Cangkang Operkulum
Warna
Coklat gelap
dengan pola
garis-garis
hitam.
Daging:
krem kecoklatan.
Jeroan:
Coklat, hitam dengan
bintik-bintik putih
(saluran dan kelenjar
pencernaan) dan
merah muda (gonad).
Coklat gelap.
Tekstur Keras.
Daging: kenyal.
Jeroan:
lunak dan mudah
hancur bila ditekan.
Tipis, keras
tetapi mudah
dipatahkan.
48
Keong mas yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna cangkang
coklat gelap dan terdapat pola garis-garis hitam yang mengarah ke lubang
aperture, umbilicus terbuka dan diameternya pun bervariasi. Komponen
penyusun cangkang keong mas adalah kalsium karbonat. Isi cangkang keong mas
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian daging (otot kaki) dan bagian jeroan.
Bagian daging berwarna krem kecoklatan dan teksturnya kenyal, sedangkan
bagian jeroan ada yang berwarna hitam dengan bintik-bintik putih, coklat dan
merah muda. Bagian yang berwarna coklat dan hitam dengan bintik-bintik putih
adalah saluran dan kelenjar pencernaan, sedangkan bagian yang berwarna merah
muda adalah gonad. Bagian jeroan ini bersifat lunak dan mudah hancur bila
ditekan. Operkulum keong mas mengandung kitin, tipe konsentris dan berwarna
coklat gelap. Operkulum keong mas ini tipis dan keras, tetapi mudah untuk
dipatahkan.
Proses karakterisasi ini dilakukan guna mengetahui sifat dari bahan baku
yang digunakan. Sifat bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja, tetapi
juga sifat kimia. Hal ini dikarenakan sifat fisik maupun kimia dari bahan baku
yang digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakteristik fisik
keong mas yang digunakan dalam penelitian ini telah diamati dan dijelaskan di
atas, sehingga perlu dilakukan pengukuran rendemen dan analisis kandungan gizi
keong mas dengan uji proksimat.
4.1.1 Rendemen
Rendemen merupakan presentase perbandingan antara berat bagian bahan
yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendemen digunakan
untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai
rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga
pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.
Perhitungan rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas
dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai rendemen cangkang, isi cangkang dan
operkulum keong mas dapat dilihat pada Gambar 17.
49
27,10
48,35
1,46
0
10
20
30
40
50
60
Cangkang Isi cangkang Operkulum
Ren
dem
en
(%
)
Bagian tubuh
Gambar 17. Rendemen cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas
Rendemen isi cangkang keong mas hampir mencapai setengah dari berat
keseluruhan keong mas utuh, yaitu 48,35%. Hal ini menunjukkan bahwa isi
cangkang keong mas sangat potensial bila dimanfaatkan lebih lanjut sebagai
sumber asam amino esensial dalam pangan ataupun pakan nantinya. Hal ini
dibuktikan oleh hasil penelitian Kamil et al. (1998) yang menunjukkan bahwa
tepung keong mas mengadung asam amino esensial yang lengkap. Asam amino
esensial ini sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, salah satunya asama amino
lisin. Jumlah asam amino lisin yang cukup tinggi (41,29 mg/g protein) pada
tepung keong mas, menunjukkan bahwa keong mas juga dapat dimanfaatkan
sebagai suplemen pada bahan pangan atau pakan yang kurang lisin, mengingat
lisin sering menjadi komponen asam amino pembatas dalam pakan ternak.
Rendemen cangkang keong mas yang tidak terlalu besar, yaitu 27,10%,
menunjukkan bahwa bagian cangkang keong mas cukup potensial apabila
dimanfaatkan lebih lanjut. Cangkang keong mas tersusun dari molekul-molekul
kalsium dalam bentuk kalsium karbonat (Suwignyo et al. 2005; Castro dan
Huber 2007), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium setelah
melalui proses pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu. Proses pengolahan dan
pemurnian perlu dilakukan untuk menghilangkan pigmen-pigmen pada lapisan
pertama cangkang Gastropoda, yaitu pada lapisan periostrakum yang melindungi
lapisan kalsium karbonat di bawahnya. Kalsium karbonat terdapat pada 3 lapisan
50
di bawah periostrakum, yaitu lapisan prismatik, lapisan lamella dan lapisan
hypostracum (Suwignyo et al. 2005).
Operkulum keong mas mengandung molekul-molekul kitin
(Pennak 1989), akan tetapi rendemennya yang sangat kecil (1,46%) tidak
memungkinkan operkulum tersebut untuk dimanfaatkan dalam industri
pembuatan kitin-kitosan karena tidak akan ekonomis dan efektif. Hal ini
dikarenakan industri pembuatan kitin-kitosan memerlukan bahan baku yang
cukup banyak.
Hasil perhitungan pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa cangkang, isi
cangkang dan operkulum memiliki rendemen masing-masing sebesar 27,10%,
48,35% dan 1,46%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan, maka
jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini dikarenakan sisa berat yang hilang
selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan
tidak terikat dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan dan
ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi berat air yang hilang ini
mencapai 23,09%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup
rapat lubang aperture.
4.1.2 Kandungan gizi
Kandungan gizi pada isi cangkang keong mas dapat diketahui melalui
analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan
untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya
kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam
keong mas diperoleh melalui perhitungan by difference. Selain analisis proksimat
(kadar air, lemak, protein dan abu), pengujian kadar abu tidak larut asam juga
dilakukan. Pengujian kadar abu tidak larut asam pada sampel keong mas
dilandasi karena keong mas merupakan golongan Gastropoda yang hidup di
perairan tawar berlumpur dan menempel pada substrat. Keong mas diduga
mengandung residu abu tidak larut asam yang berasal dari mineral-mineral dalam
lumpur yang ikut masuk ke dalam saluran pencernaannya, ketika keong mas
sedang melakukan aktivitas makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong
mas dapat dilihat pada Tabel 5 dan cara perhitungannya dapat dilihat pada
Lampiran 5.
51
Tabel 5. Hasil uji proksimat keong mas (n=2)
Komponen Kandungan (% bb)
Kadar air 81,19
Kadar lemak 0,51
Kadar protein 10,30
Kadar abu 4,07
Kadar abu tidak larut asam 0,30
Kadar karbohidrat 3,93
1) Kadar air
Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem hidup dan
mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini
karena air mengisi semua bagian dari tiap sel, air merupakan medium tempat
berlangsungnya transport nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme, dan
transfer energi kimia (Lehninger 1988). Kandungan air dalam bahan makanan
ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut
(Winarno 2008).
Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah
air yang terkandung dalam isi cangkang keong mas. Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa keong mas memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 81,19%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kadar air daging keong
mas yang telah diuji oleh Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) pada
penelitian-penelitian terdahulu. Nilai tersebut sedikit berbeda dengan nilai kadar
air keong mas yang diuji oleh Departemen Pertanian Filipina, yaitu 77,60%
(DA-PhilRice 2001). Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya pengaruh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang diduga kuat menjadi penyebab
perbedaan ini adalah sifat genetik antara keong mas yang terdapat di Indonesia
berbeda dengan keong mas yang terdapat di Filipina. Faktor eksternal yang
diduga berpengaruh adalah habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda. Sifat
genetik, habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda ini diduga berpengaruh pada
kadar komponen gizi lain dalam tubuh keong mas, seperti kadar protein dan kadar
lemak. Jika proporsi kedua zat gizi ini berbeda dalam tubuh organisme, maka
kadar air dalam tubuh organisme tersebut pun akan berbeda proporsinya.
Prinsip analisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
mengukur berat air bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan
52
bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III
(Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang
hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya kadar
air tipe III ini pada keong mas, dapat menyebabkan keong mas mudah sekali
mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.
Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya
enzim protease seperti katepsin.
2) Kadar lemak
Analisis kadar lemak yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada isi cangkang keong mas.
Lemak sendiri merupakan komponen yang dibentuk dari unit struktural yang
bersifat hidrofobik. Lemak larut pada pelarut organik (non polar) dan tidak larut
dalam air (polar) (Belitz et al. 2009), sehingga penelitian ini menggunakan pelarut
organik n-heksana yang bersifat non polar, untuk mengekstrak lemak dari dalam
bahan (isi cangkang keong mas).
Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini karena 1 gram lemak dapat
menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar dibandingakn dengan
energi yang dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat atau protein, yaitu 4 kkal. Lemak
juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (vitamin
A, D, E dan K) (Winarno 2008; Belitz et al. 2009).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong mas mengandung lemak
dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,51%. Nilai ini tidak jauh
berbeda dengan hasil pengujian kadar lemak keong mas yang dilakukan oleh
Nurjanah et al. (1996), Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina
(DA-PhilRice 2001), dimana kadar lemak keong mas pada penelitian-penelitian
tersebut berkisar antara 0,40% hingga 0,91%.
Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air dalam
keong mas sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak
53
akan turun drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar
air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).
Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar
air yang terkandung dalam bahan jumlahnya cukup tinggi.
Kandungan lemak keong mas ini lebih rendah daripada kandungan lemak
pada daging jenis keong air tawar lainnya dari famili Viviparidae, yaitu sebesar
2,80% (Krzynowek dan Murphy 1987). Perbedaan ini dapat terjadi karena
pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, habitat, ukuran dan tingkat kematangan
gonad.
3) Kadar protein
Protein merupakan makromolekul yang dibentuk dari asam amino-asam
amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam
tubuh, serta berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan
sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang
tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung
fosfor, belerang dan ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam seperti
besi dan tembaga (Winarno 2008).
Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar
jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasil analisis proksimat
keong mas yang disajikan pada Tabel 4. Nilai kadar protein keong mas
merupakan nilai terbesar kedua setelah kadar air. Komponen lemak, abu, abu
tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan
protein.
Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong mas memiliki
protein dalam jumlah sedang, yaitu sebesar 10,30%. Jumlah ini tidak jauh
berbeda dengan kadar protein daging keong mas yang diuji oleh
Nurjanah et al. (1996), tetapi jumlah tersebut sedikit berbeda dengan kadar protein
keong mas yang dikemukakan oleh Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian
Filipina (DA-PhilRice 2001), yaitu sebesar 8,69% dan 12,20%. Variasi ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu habitat, umur, makanan yang dicerna, laju
metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.
54
Walaupun hasil analisis menunjukkan bahwa keong mas mengandung
protein dalam jumlah yang terbilang sedang, akan tetapi hasil penelitian
Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas mengandung asam amino
esensial yang cukup lengkap, yaitu sebanyak 9 asam amino esensial, kecuali
triptofan (Tabel 2). Asam amino lisin yang biasanya menjadi asam amino
pembatas, ternyata pada tepung keong mas memiliki skor kimia yang cukup
(41,29 mg/g protein), oleh karena itu keong mas dapat dimanfaatkan sebagai
suplemen pada bahan pangan atau pakan yang kurang lisin.
4) Kadar abu
Bahan makanan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya
merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat anorganik atau
kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar tetapi
komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu
(Winarno 2008).
Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan bahwa keong mas
mengandung mineral dalam jumlah yang cukup tinggi, yaitu sebesar 4,06%. Nilai
tersebut jauh berbeda dengan nilai kadar abu keong mas yang diuji oleh
Nurjanah et al. (1996), Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina
(DA-PhilRice 2001). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh
perbedaan habitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan
perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme
akuatik yang hidup di dalamnya. Data kadar abu tersebut menunjukkan bahwa
lingkungan perairan sawah padi di Desa Carang Pulang menyediakan asupan
mineral yang cukup tinggi bagi organisme perairan yang hidup di dalamnya.
Selain itu juga, masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan
yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini
nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing
bahan.
5) Kadar abu tidak larut asam
Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,
yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak
larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau
55
logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam
juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam
proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).
Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong
mas mengandung residu abu tak larut asam sebesar 0,30%. Nilai kadar abu yang
diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang disyaratkan oleh
Food Chemical Codex (1991) yang diacu oleh Basmal et al. (2003) untuk produk
kappa-karaginan food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari
material-material abu yang tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat
keong mas hidup, seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Material tak larut asam
ini ikut masuk ke dalam saluran pencernaan keong mas ketika keong mas sedang
melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat
diekskresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Nurjanah (2009) dan Adriyanti (2009) pada lintah laut
(Discodoris sp.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup menempel
pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lintah laut
yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang lebih
rendah daripada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh
Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa
komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar.
6) Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di
permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan
tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak
digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari
karbohidrat sebesar 17 kJ/g atau sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat
juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan
makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lainnya (Winarno 2008).
Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference
menunjukkan bahwa keong mas mengandung karbohidrat sebesar 3,93%. Hasil
56
perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode
penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar
juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Pengertian tersebut
menegaskan bahwa nilai kadar karbohidrat keong mas pada penelitian ini relatif
sama dengan kadar karbohidrat keong mas pada penelitian Nurjanah et al. (1996),
tetapi nilai tersebut cukup berbeda dengan hasil perhitungan kadar karbohidrat
yang diperoleh oleh Kamil et al. (1998) dan Departemen Pertanian Filipina
(DA-PhilRice 2001), yaitu sebesar 6,68% dan 6,60%. Variasi ini dapat terjadi
karena perbedaan habitat dan lingkungan hidup, perbedaan ketersediaan bahan
pangan, serta dominasi jenis bahan pangan yang dimakan mengingat keong mas
merupakan hewan omnivora.
Kadar karbohidrat yang terhitung ini diduga berupa glikogen dan
serat kasar. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terdapat pada hewan
umumnya berbentuk glikogen (Winarno 2008). Selain itu, hasil penelitian
Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas
juga mengandung komponen serat kasar, yang mana komponen ini justru
mendominasi kadar karbohidrat pada keong mas (Tabel 1).
4.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif Keong Mas
Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen zat aktif suatu bahan
dengan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari proses ini adalah untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984). Proses ekstraksi pada penelitian ini meliputi
proses pengeringan sampel, penghancuran sampel menjadi bentuk bubuk,
maserasi dalam pelarut dengan penggoyangan menggunakan orbital shaker,
penyaringan dan evaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator. Sampel
yang digunakan merupakan keseluruhan isi cangkang (jeroan dan daging) keong
mas. Proses ekstraksi yang dilakukan merupakan ekstraksi bertingkat
menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), etil asetat p.a. (semipolar) dan
metanol p.a. (polar).
4.2.1 Ekstrak kasar
Proses evaporasi filtrat dari masing-masing hasil maserasi pelarut akan
menghasilkan ekstrak kasar keong mas yang kental dan berbeda tingkat
57
kepolarannya. Selain itu, masing-masing ekstrak juga memiliki karakteristik yang
berbeda-beda pula. Ekstrak kloroform berwarna coklat tua dan pekat, ekstrak etil
asetat memiliki warna coklat tua yang lebih muda dibandingkan warna ekstrak
kloroform, sedangkan ekstrak metanol memiliki warna coklat kehijauan. Ketiga
ekstrak tersebut berbentuk pasta kental dan memiliki aroma khas menyerupai
produk petis. Ekstrak kasar keong mas tersebut dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Ekstrak kasar keong mas (Kiri-kanan: ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol)
Hasil ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki tingkat
kepolaran yang berbeda-beda, akan menghasilkan rendemen ekstrak yang
berbeda-beda pula. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara jumlah
ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak. Rendemen
ekstrak dinyatakan dalam persen, sama halnya dengan nilai rendemen bahan.
Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada diagram
batang Gambar 19. Proses perhitungan rendemen ekstrak dari masing-masing
pelarut dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 19. Rendemen ekstrak kasar keong mas
1,590,79
8,21
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kloroform Etil Asetat Metanol
Ren
dem
en
(%
)
Jenis pelarut
58
Diagram batang di atas menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki
persentase rendemen terkecil, yaitu 0,79%, sedangkan ekstrak metanol merupakan
ektrak yang memiliki rendemen terbesar, yaitu 8,21%. Data tersebut
menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang paling banyak terkandung dalam
jaringan tubuh keong mas merupakan komponen bioaktif yang memiliki sifat
polar karena dapat larut pada pelarut polar, yaitu metanol. Komponen bioaktif
keong mas yang bersifat non polar dan semipolar terdapat dalam jumlah yang
lebih kecil.
Hasil ekstrak yang diperoleh akan sangat bergantung pada beberapa faktor,
yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta
perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Harborne 1984;
Darusman et al. 1995; Rita et al. 2009). Hasil penelitian Salamah et al. (2008)
menunjukkan bahwa maserasi dengan jenis pelarut yang berbeda akan
menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda pula. Pernyataan tersebut
mendukung hasil penelitian ini, dimana kadar komponen bioaktif yang bersifat
polar, semipolar dan nonpolar terdapat dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan pelarut yang berbeda akan melarutkan senyawa-senyawa yang
berbeda-beda bergantung tingkat kepolarannya dan tingkat ketersediaanya dalam
bahan yang diekstrak.
Kandungan komponen biaktif yang bersifat polar pada filum Molusca
umumnya terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan komponen-
komponen bioaktif lain yang bersifat non polar dan semipolar. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian ini, dimana kadar ekstrak metanol (polar) keong mas terdapat
dalam jumlah yang paling banyak. Pernyataan di atas juga didukung oleh hasil
penelitian Salamah et al. (2008) pada kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.)
dan Nurjanah (2009) pada lintah laut (Discodoris sp.), yang mana ekstrak polar
dari masing-masing komoditas tersebut terdapat dalam jumlah yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan ekstrak semipolar dan non polar.
4.2.2 Komponen bioaktif pada ekstrak kasar
Ekstrak kasar keong mas yang diperoleh dari proses ekstraksi tepung
keong mas menggunakan pelarut kloroform p.a. (non polar), pelarut etil asetat p.a.
59
(semipolar) dan pelarut metanol p.a. (polar) diuji kandungan komponen bioaktif
menggunakan metode uji fitokimia. Uji ini akan menunjukkan komponen bioaktif
apa saja yang terlarut pada masing-masing pelarut.
Uji fitokimia dipilih karena uji ini dapat mendeteksi komponen bioaktif
yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga termasuk
metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein
dan peptida (Kannan et al. 2009). Penapisan komponen bioaktif pada masing-
masing ekstrak dilakukan dengan metode uji fitokimia yang meliputi pengujian
komponen karbohidrat, gula pereduksi, peptida, asam amino (metabolit primer),
alkaloid, steroid, flavonoid, saponin dan fenol hidrokuinon (metabolit sekunder)
(Harborne 1984; Harborne 1999). Uji firokimia yang dilakukan dalam penelitian
ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, uji
Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia pada pada
masing-masing ekstrak kasar keong mas dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak
metanol keong mas mengandung komponen bioaktif yang lebih banyak
dibandingkan dua ekstrak lainnya. Komponen bioaktif pada ekstrak metanol
meliputi komponen alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat dan asam amino.
Komponen bioaktif yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat diantaranya komponen
steroid, flavonoid dan karbohidrat, sedangkan ekstrak kloroform hanya
mengandung komponen steroid dan karbohidrat saja. Diagram batang pada
Gambar 20 menunjukkan bahwa ekstrak kloroform memiliki rendemen yang lebih
besar dari ekstrak etil asetat, sehingga dapat ditarik dua hipotesis awal, yaitu
ekstrak kloroform mengandung komponen lain selain kedua komponen bioaktif
yang dikandungnya dan/atau ekstrak kloroform mengandung komponen steroid
atau karbohidrat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etil asetat.
Hal ini dikarenakan ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi pada penelitian
ini masih berupa ekstrak kasar, sehingga perlu diuji lebih lanjut menggunakan
kromatografi untuk mengetahui komponen lain apa saja yang terkandung dalam
ekstrak tersebut beserta kadarnya. Hasil uji fitokimia ini menunjukkan bahwa
keong mas mengandung 5 dari 9 komponen yang diuji dengan metode fitokimia
Harborne (1984).
60
Tabel 6. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong mas
Uji Fitokimia
Jenis Pelarut
Standar (warna) Kloroform
Etil
Asetat Metanol
Alkaloid:
a. Dragendorff
b. Meyer
c. Wagner
-
-
-
-
-
-
+
-
+
Endapan merah atau jingga
Endapan putih kekuningan
Endapan coklat
Steroid/triterpenoid + + + Perubahan dari merah
menjadi biru/hijau
Flavonoid - + +
Lapisan amil alkohol
berwarna
merah/kuning/hijau
Saponin - - - Terbentuk busa
Fenol Hidrokuinon - - - Warna hijau atau hijau biru
Molisch + + + Warna ungu antara 2 lapisan
Benedict - - - Warna hijau/kuning/endapan
merah bata
Biuret - - - Warna ungu
Ninhidrin - - + Warna biru
1) Alkaloid
Komponen alkaloid didefinisikan sebagai substasi dasar yang memiliki
satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem
siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini hanya
ditemukan pada ekstrak kasar metanol (polar) keong mas. Alkaloid umumnya
larut pada pelarut organik (non polar), sedangkan beberapa kelompok
pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Pelarut
organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a., tetapi
ekstrak dari pelarut tersebut tidak menunjukkan reaksi positif adanya alkaloid.
Ekstrak yang menunjukkan reaksi positif mengandung alkaloid justru ekstrak
metanol (polar). Hal ini menunjukkan bahwa keong mas tidak mengandung
alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung
protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Menurut Hegnauer, protoalakaloid
merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino
tidak terdapat dalam cincin heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan
61
komponen alkaloid yang tidak diturunkan dari prekursor asam amino dan
biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol keong mas ini dapat
digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari keong mas sendiri.
Menurut Kutchan (1995), alkaloid digolongkan sebagai metabolit sekunder karena
kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi
organisme yang menghasilkannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
komponen alkaloid pada keong mas ini juga berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
dimakan oleh keong mas, mengingat keong mas merupakan hewan omnivora.
Alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin
dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang
menurunkan alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid
indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi
Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam
iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol (Lenny 2006). Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam
jaringan tubuh keong mas yang turut menghasilkan alkaloid. Hasil penelitian
Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa keong mas mengandung asam amino
esensial lisin dan fenilalanin, serta asam amino non esensial tirosin, tetapi tidak
mengandung asam amino esensial triptofan. Informasi tersebut menunjukkan
bahwa komponen alkaloid yang dihasilkan oleh keong mas melalui reaksi
Mannich dalam tubuhnya diduga merupakan alkaloid jenis alisiklik dan
isokuinolin.
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Alkaloid pada ekstrak keong mas ini
diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis alkaloid yang
ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria brachyceras yaitu
brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga berperan sebagai
pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid jenis isokuinolin
diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin, dan diduga pula
62
memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinin (Putra 2007). Hal ini
menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut tentang jenis alkaloid
yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan menggunakan reagen alkaloid,
kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS dan NMR) (Harborne 1984).
Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan jelas, maka fungsi fisiologisnya
pun dapat ditentukan dengan tepat.
2) Steroid/triterpenoid
Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi triterpenoid
adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan warna biru-hijau
pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid merupakan komponen dengan
kerangka karbon yang tersusun oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis
dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid memiliki struktur siklik yang
kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol, aldehid, atau asam karboksilat.
Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan
komponen aktif yang sulit dikarakterisasi (Harborne 1984).
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks,
hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini
steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Steroid yag
terdeteksi pada ekstrak keong mas ini diduga merupakan hormon adrenal dan
hormon seks (progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan
cortisol) seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan
Gastropoda air tawar seperti keong mas (Bose et al. 1997). Steroid ini diduga
memiliki efek peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi.
Aktivitas anti-inflamasi ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Silva et al. (2002)
bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki
aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang
tidak diinginkan.
Komponen triterpenoid yang terdeteksi pada ekstrak kasar keong mas ini
diduga juga memiliki aktivitas antitumor. Hal ini dikarenakan triterpenoid pada
keong mas termasuk triterpenoid alami. Menurut hasil penelitian Setzer (2008),
63
triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena mempunyai kemampuan
menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi
aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini
menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.
Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa komponen
triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar keong mas yang
memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari pembentukan
triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984),
sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut organik (non polar).
Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila triterpenoid/steroid terdeteksi
pada ekstrak kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) keong
mas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa triterpenoid/steroid juga
terdeteksi pada ekstrak metanol (polar). Hal ini dapat terjadi mengingat metanol
merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang
bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
3) Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu
larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika
diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid dapat dikelompokan menjadi
9 kelas, yaitu anthosianin, proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon,
biflavonil, chlacone dan aurone, flavanon, serta isoflavon. Flavonoid pada
tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam
aglikon (Harborne 1984).
Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa hanya ekstrak etil asetat
dan ekstrak metanol saja yang mengandung komponen bioaktif flavonoid, yang
ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol.
Flavonoid yang larut pada pelarut polar seperti metanol, menunjukkan bahwa
komponen flavonoid bersifat polar. Flavonoid umumnya merupakan komponen
larut air, sehingga dapat diekstrak dengan etanol 70 % dan tertinggal pada lapisan
aqueous (Harborne 1984). Hal ini diduga karena flavonoid berikatan dengan gula
64
sebagai glikosida, sehingga flavonoid memiliki sifat polar dan dapat larut pada
pelarut polar. Gugus gula inilah yang memberikan sifat polar pada flavonoid
karena gula juga bersifat polar (larut air). Sedangkan, flavonoid yang terlarut
pada pelarut semipolar seperti etil asetat, menunjukkan juga bahwa flavonoid
tersebut juga memiliki sifat kurang polar. Hal ini diduga karena flavonoid
tersebut berada dalam bentuk aglikon yang bersifat kurang polar, sehingga terlarut
pada pelarut semipolar.
Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan
(Astawan dan Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian
Bernardi et al. (2007) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid
yang diisolasi dari Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan, walaupun
kapasitas peredaman radikal bebas DPPH oleh masing-masing komponen
flavonoid tersebut berbeda-beda. Komponen flavonoid yang terdeteksi pada
ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol keong mas, diduga juga memiliki aktivitas
antioksidan. Ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol keong mas ini telah diuji
aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH dan hasilnya menunjukkan bahwa
dua ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan walaupun aktivitasnya lemah.
Hal ini ditandai dengan nilai IC50 dari ekstak etil asetat dan ekstrak metanol keong
mas berturut-turut sebesar 1662,36 ppm dan 1270,47 ppm. Flavonoid pada kedua
ekstrak keong mas ini diduga turut memberikan andil dalam aktivitas antioksidan
yang terukur ini. Pembahasan mengenai aktivitas antioksidan dari masing-masing
ekstrak kasar keong mas, dapat dilihat pada subbab selanjutnya.
Senyawa flavonoid dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan cara
menurunkan laju oksidasi lemak. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa
flavonoid dapat menurunkan hiperlipidemia pada manusia. Penghambatan
oksidasi LDL pada kasus penyakit jantung oleh flavonoid, dapat mencegah
pembentukan sel-sel busa dan kerusakan lipid (Astawan dan Kasih 2008). Selain
itu, flavonoid juga memiliki fungsi sebagai antibakteri, anti-inflamasi, antitumor,
antialergi, dan mencegah osteoporosis. Hal ini terbukti dari hasil penelitian
Al-Meshal et al. (1985); Syah et al. (2006) dan Sukadana (2009).
65
4) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa)
(Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul
yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak
beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar keong mas
positif mengandung karbohidrat. Hasil pengujian ini mendukung hasil analisis
proksimat karbohidrat keong mas, yaitu sebesar 3,93%. Hasil penelitian
Nurjanah et al. (1996) dan Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa hampir
sebagian besar komponen karbohidrat yang terkandung dalam tubuh keong mas
merupakan komponen serat kasar yang juga termasuk dalam golongan
karbohidrat. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga pelarut
yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi, sehingga
karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak kasar
keong mas bukanlah komponen serat kasar, tetapi komponen glikogen yang
terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda.
Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen, dan dapat
dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008).
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,
perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing
(Harborne 1984). Pada tubuh manusia, karbohidrat berguna untuk mencegah
ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan
berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).
Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan
pereaksi Molisch ini tidak diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula
pereduksi pada ketiga ekstrak kasar keong mas menggunakan pereaksi Benedict.
Hal ini diduga karena gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong
mas ini didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada
66
pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi
komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja,
seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi
menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi
tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah
bata (Fennema 1996). Pengujian kandungan gula pereduksi menggunakan
pereaksi Fehling pada ketiga ekstrak keong mas perlu dilakukan untuk
meyakinkan hal tersebut.
5) Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).
Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin
0,10% menunjukkan bahwa hanya ekstrak metanol keong mas saja yang positif
mengandung komponen asam amino. Hasil pengujian ini didukung oleh hasil
penelitian Kamil et al. (1998) mengenai kandungan asam amino pada tepung
keong (Tabel 2). Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino
yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non
protein (bukan penyusun protein). Asam amino-asam amino yang terlarut pada
pelarut metanol ini merupakan asam amino yang memiliki sifat polar (hidrofilik),
baik yang bermuatan ataupun yang tidak bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin
(asam amino polar bermuatan), treonin (asam amino polar tak bermuatan) seperti
yang dikemukakan dalam hasil penelitian Kamil et al. (1998) pada Tabel 2.
Hasil penelitian Kamil et al. (1998) ini juga menunjukkan bahwa keong
mas mengandung asam amino-asam amino non polar, seperti isoleusin, leusin,
valin, fenilalanin dan tirosin (Tabel 2). Hasil pengujian menunjukkan bahwa
ekstrak kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak
mengandung asam amino. Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non
67
polar ini terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong mas yang
digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin
0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.
Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini tidak didahului
dengan hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada
ketiga ekstrak. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul
asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan
menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino
dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat (Lehninger 1988;
Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen yang berikatan
peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah terhidrolisis
sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang terdeteksi
pada uji Ninhidrin ekstrak metanol. Pembentukan ikatan peptida memerlukan
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi,
sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah
hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).
4.3 Aktivitas Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat menunda atau mencegah
oksidasi lipid, asam nukleat, atau molekul-molekul lain, dengan cara menghambat
inisiasi atau propagasi reaksi oksidasi berantai (Wang 2006). Keberadaan
senyawa antioksidan ini dalam suatu bahan dapat dideteksi dengan melakukan uji
aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan pada tiga ekstrak kasar keong mas
yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, dilakukan dengan menggunakan
metode uji DPPH.
Metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan (Molyneux 2004). Metode pengujian ini berdasarkan pada
kemampuan substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas.
Radikal bebas yang digunakan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH)
(Vattem dan Shetty 2006). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang
stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol
(Molyneux 2004; Suratmo 2009). Sifat stabil ini dikarenakan radikal bebas ini
68
memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul
tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan
memberikan sebuah warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada
517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan
Umiyah 2005; Vattem dan Shetty 2006).
Metode uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas
DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, peka dan hanya
memerlukan sedikit sampel, akan tetapi jumlah pelarut pengencer yang diperlukan
dalam pengujian ini cukup banyak. Metanol dipilih sebagai pelarut karena
metanol dapat melarutkan kristal DPPH (Molyneux 2004; Suratmo 2009) dan juga
memiliki sifat yang dapat melarutkan komponen non polar di dalamnya,
mengingat ketiga ekstrak yang diuji memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-
beda.
Antioksidan pembanding yang digunakan pada penelitian ini adalah
antioksidan sintetik BHT (butylated hydroxytoluene). Larutan BHT pada
penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm melalui proses
pengenceran larutan stok BHT 250 ppm. Konsentrasi larutan ekstrak kasar keong
mas yang diuji dengan metode DPPH ini adalah sebesar 200, 400, 600 dan
800 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh melalui proses pengenceran dari
masing-masing larutan stok ekstrak kasar keong mas 1000 ppm. Perhitungan
pembuatan larutan stok dan proses pengencerannya dapat dilihat pada
Lampiran 7.
Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila
senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal DPPH,
yang ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat
(Molyneux 20004). Perubahan warna ini hanya tampak pada larutan BHT yang
diberi larutan DPPH 1 mM dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC,
sedangkan pada larutan ekstrak kasar keong mas yang telah diberi perlakuan sama
tidak terlalu menunjukkan perubahan warna yang mencolok. Hal ini diduga
karena konsentrasi ekstrak kasar keong mas yang diuji terlalu kecil dan jauh dari
nilai konsentrasi ekstrak yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50% (IC50).
Perubahan warna yang mengindikasikan adanya reaksi peredaman radikal bebas
69
DPPH oleh senyawa antioksidan pada larutan BHT dan larutan ekstrak keong
mas, dapat dilihat pada Gambar 20.
BHT + DPPH 1 mM Ekstrak Kloroform + DPPH 1 mM
Ekstrak Etil Asetat + DPPH 1 mM Ekstrak Metanol + DPPH 1 mM
Gambar 20. Perubahan warna yang mengidikasikan reaksi peredaman DPPH
Intensitas perubahan warna yang terjadi pada larutan BHT dan larutan
ekstrak kasar keong mas ini dapat diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Setelah itu, perhitungan
persen inhibisi dan IC50 dari antioksidan BHT dan masing-masing ekstrak kasar
keong mas dapat dilakukan. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan
untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi
suatu bahan. IC50 sendiri merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan
untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH. Nilai IC50 ini dapat
didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya
50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya
semakin tinggi (Molyneux 2004). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat
70
y = 14,32x - 20,34
R² = 0,909
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10
% I
nh
ibis
i
Konsentrasi (ppm)
dilihat pada Lampiran 8. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan masing-masing
ekstrak kasar keong mas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil uji aktivitas antioksidan
Sampel % Inhibisi IC50
(ppm)
IC50 Rata-rata
(ppm)
BHT 2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm
4,91 12,55 23,67 79,37 89,45
200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm
Ekstrak Kloroform
0,19 5,70 8,84 10,93 2912,50 3458,37±771,98
3,99 6,65 9,51 10,74 4004,25
Ekstrak
Etil Asetat
5,04 9,79 17,20 25,09 1547,47 1662,36±162,48
7,32 10,55 14,64 24,71 1777,25
Ekstrak
Metanol
0,66 13,69 24,43 27,47 1222,33 1270,47±68,08
6,27 12,74 25,76 28,14 1318,61
Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam
penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana
dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar
3,81 ppm. Pada penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm.
Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh
Hanani et al. (2005) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa
antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat
(<50 ppm) menurut klasifikasi Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian
aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT
yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya
Tabel 7 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar keong mas juga
memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT, walaupun aktivitasnya tergolong
71
lemah. Ketiga ekstrak kasar keong mas ini memiliki kekuatan penghambat yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pengujian aktivitas
antioksidan dari masing-masing ekstrak kasar menghasilkan hubungan antara
konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan dengan persen inhibisinya, yang dapat
dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar keong mas dengan
rata-rata persen inhibisinya, ∆ = ekstrak metanol, □ = ekstrak etil
asetat dan ◊ = ekstrak kloroform
Grafik pada Gambar 21 dan 22 merupakan kurva regresi linear yang
digunakan untuk menentukan nilai IC50 dari BHT dan ketiga ekstrak keong mas.
Persamaan regresi linear secara umum adalah y = a + bx, dimana a merupakan
intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak, dan b merupakan kemiringan atau
gradiennya (Walpole 1997). Grafik regresi linear umumnya digunakan untuk
mengetahui hubungan fungsional (pengaruh atau meramalkan pengaruh) antara
variabel yang mempengaruhi (lambang x) dan variabel yang dipengaruhi
(lambang y) (Usman dan Akbar 2008). Variabel yang mempengaruhi pada kedua
grafik (Gambar 21 dan 22) adalah konsentrasi, sedangkan variabel yang
dipengaruhi adalah persen inhibisi (% inhibisi).
Koefisien arah regresi linear dinyatakan oleh huruf b yang juga
menyatakan perubahan rata-rata y untuk setiap perubahan x sebesar 1 bagian.
Huruf a merupakan bilangan konstan (Usman dan Akbar 2008). Grafik pada
Gambar 21 dan 22 menunjukan bahwa konsentrasi dan % inhibisi memiliki
hubungan yang positif dan berkorelasi kuat (r), terihat dari nilai b pada persamaan
y = 0,014x - 0,238
R² = 0,966
y = 0,029x - 0,784
R² = 0,975
y = 0,042x - 3,826
R² = 0,950
0
5
10
15
20
25
30
35
0 200 400 600 800 1000
% I
nh
ibis
i
Konsentrasi (ppm)
72
3458,37
1662,361270,47
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Kloroform Etil Asetat Metanol
Rata
-rata
IC
50
(pp
m)
Jenis pelarut
regresi linearnya yang bernilai positif, serta nilai determinasinya (r2) yang lebih
besar dari 0,90. Hal ini berarti semakin besar konsentrasinya maka semakin besar
pula % inhibisi yang dihasilkan. Hubungan tersebut dibuktikan oleh data
% inhibisi yang meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi BHT atau
ekstrak yang ditambahkan, seperti yang tertulis pada Tabel 7. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa persentase
penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan ikut
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Hal serupa juga
terjadi pada hasil pengujian aktivitas antioksidan BHT.
Positif atau negatifnya nilai a tidak akan memberikan pengaruh pada
kemiringan atau arah kurva regresi linear yang dihasilkan, tetapi akan
mempengaruhi besar nilai y yang dihasilkan (Lampiran 8 poin b dan c). Hal ini
dikarenakan nilai a merupakan konstanta yang dapat menambah atau mengurangi
nilai y yang akan diperoleh dan berperan sebagai faktor koreksi. Jika nilai a
positif, maka setiap kenaikan 1 bagian nilai x akan menyebabkan nilai y
bertambah sebanyak a, begitu pula sebaliknya. Positif atau negatifnya nilai a
dapat disebabkan oleh adanya pencilan, adanya asumsi yang tidak terpenuhi, serta
faktor-faktor lainnya.
Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan
hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value)
atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value) seperti
yang disebutkan di atas. Nilai ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat
yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH (Molyneux 2004).
Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar keong mas dari ketiga pelarut yang digunakan,
dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar keong mas
73
Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi
(Molyneux 2004). Diagram batang pada Gambar 23 ini menunjukkan bahwa
ekstrak metanol keong mas memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dari
dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC50-nya yang terkecil, yaitu
1270,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform keong mas merupakan ekstrak yang
memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-
nya yang terbesar, yaitu 3458,37 ppm.
Walaupun rendemen ekstrak etil asetat lebih sedikit dari rendemen
kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada
ekstrak etil asetat terdapat komponen flavonoid yang terdeteksi melalui uji
fitokimia, sedangkan pada ekstrak kloroform tidak. Flavonoid diketahui sangat
efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008).
Peran flavonoid sebagai antioksidan ini terbukti dari hasil penelitian
Bernardi et al. (2007) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid
yang diisolasi dari tumbuhan Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan.
Komponen flavonoid pada ekstrak metanol keong mas juga terdeteksi,
akan tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat dari ekstrak etil asetat keong mas.
Hal ini diduga karena pada ekstrak metanol keong mas juga terkandung
komponen alkaloid. Alkaloid juga telah diketahui memiliki aktivitas antioksidan.
Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang menunjukkan bahwa
komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu brachycerine,
memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari radiasi
sinar UV (UV-B dan UV-C).
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50
kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang
apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50
berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). Menurut
klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar keong mas tersebut memiliki aktivitas
antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC50-nya lebih besar dari 0,20 mg/ml
atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas antioksidan BHT.
Data-data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki
aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada
74
ketiga ekstrak kasar keong mas. Hal ini terlihat dari nilai IC50 BHT yang jauh
berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak kasar keong mas. Nilai
IC50 antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar keong
mas. Hal ini dapat terjadi karena ekstrak keong mas yang digunakan dalam
pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar (crude). Ekstrak kasar ini
masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan.
Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi.
Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak
dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari
ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
Contohnya adalah komponen flavonoid yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat
dan ekstrak metanol. Komponen flavonoid murni dari ekstrak keong mas diduga
memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal
ini menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar keong mas
tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan tersebut diperoleh, maka
pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.
Ekstrak kloroform keong mas yang bersifat non polar tidak sepenuhnya
benar jika dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan yang paling lemah, walaupun
hasil pengujian dengan metode DPPH menunjukan bahwa nilai IC50-nya cukup
besar. Hal ini daqpat terjadi apabila pelarut yang digunakan untuk melarutkan
ekstrak, memiliki sifat kepolaran yang berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut
yang digunakan untuk melarutkan ekstrak dan kristal DPPH pada penelitian ini
adalah metanol yang bersifat polar, sehingga diduga komponen bioaktif yang
bersifat non polar pada ekstrak kloroform tidak terlarut sepenuhnya pada pelarut
ini, baik pada ulangan 1 ataupun ulangan 2. Jumlah komponen bioaktif yang
terlarut pun pada masing-masing ulangan akan berbeda dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan dari masing-masing ulangan. Hal ini
terbukti dari nilai IC50 ekstrak kloroform pada Tabel 7, dimana selisih nilai IC50
antara ulangan 1 dan ulangan 2 sangat besar yang tentunya juga akan
memperbesar nilai standar deviasinya. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak
yang terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini
mengisyaratkan bahwa perlu dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan
75
menggunakan metode pengujian lainnya yang universal, baik untuk komponen
bioaktif yang bersifat polar, semipolar, ataupun non polar. Metode uji DPPH
merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi
komponen antioksidan yang bersifat polar, karena kristal DPPH hanya dapat larut
dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol
seperti yang dikemukakan oleh Molyneux (2004); Amrun dan Umiyah (2005);
serta Vattem dan Shetty (2006).
76
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) yang berasal dari perairan
sawah padi di Desa Carang Pulang, Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor memiliki rendemen cangkang (27,10%) dan isi cangkang
(48,35%) yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan lebih lanjut,
tetapi rendemen operkulumnya yang cukup kecil (1,46%) tidak ekonomis apabila
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan kitin dan kitosan. Isi
cangkang keong mas ini mengandung air yang cukup tinggi (81,19%), lemak yang
rendah (0,51%), protein dalam jumlah sedang (10,30%), abu (4,07%), abu tidak
larut asam (0,30%) dan karbohidrat (3,93%).
Ekstrak keong mas mengandung 5 komponen bioaktif yang terdeteksi
melalui uji fitokimia, yaitu komponen alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat dan
asam amino. Ekstrak keong mas ini memiliki aktivitas antioksidan karena adanya
komponen alkaloid dan flavonoid. Komponen-komponen bioaktif ini selain
memiliki aktivitas antioksidan, diduga juga memiliki banyak aktivitas fisiologis
yang positif bagi tubuh manusia. Hal ini menunjukan bahwa keong mas
berpotensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk
nutraceutical yang memiliki banyak khasiat bagi kesehatan tubuh manusia.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa identifikasi senyawa-senyawa bioaktif lainnya dalam
ekstrak keong mas dengan GCMS, pemurnian dan pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak murni, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada ekstrak
murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Pengujian aktivitas antioksidan
menggunakan metode lainnya, seperti metode NBT dan Oxygen Radical
Absorbance Capacity (ORAC) Assay, juga perlu dilakukan. Penentuan komposisi
asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu, proses
pemisahan pelarut dari ekstrak, hendaknya mengkombinasikan rotary vacuum
evaporator (≤50 oC) untuk memisahkan pelarut dari ekstrak dan oven vacuum
(≤50 oC) untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak.
77
DAFTAR PUSTAKA
Aditya G, Raut SK. 2005. Feeding of the leech Glossiphonia weberi on the
introduced snail Pomacea bridgesii in India. Aquatic Ecology
(39):465-471.
Ako H, Tamaru C. 2006. Efforts at golden apple snail control in Hawaii.
http://pestalert.applesnail.net/conferences/icam07/hawaii.htm/.
[1 Desember 2009].
Al-Meshal IA, Tariq M, Parmar NS, Ageel AM. 1985. Anti-inflammatory activity
of the flavonoid fraction of khat (Catha edulis Forsk). Agents and
Actions 17:3-4.
Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil
(DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah
sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114.
Andriyanti R. 2009. Ekstraksi senyawa aktif antioksidan dari lintah laut
(Discodoris sp.) asal perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1980. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
___________________________________________. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Ardhi Y. 2008. Keong mas, aman dan berkualitas.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/03/10/4147/Ke
ong.Mas.Aman.dan.Berkualitas/. [1 Desember 2009].
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Basmal J, Syarifudin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium
hidroksida terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstraksi dari
Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9(5):95-103.
Beek TAV. 1999. Modern Methods of Secondary Product Isolation and Analysis.
Di dalam: Walton NJ, Brown DE, editor. Chemical from Plants:
Prespectives on Plant Secondary Products. London: Imperial College
Press. hlm 91-186.
78
Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry. Ed rev ke-4. Verlag:
Springer.
Bernardi APM, Lopez-Alarcon C, Aspee A, Rech S, Poser GLV, Bride R, Lissp
E. 2007. Antioxidant activity of flavonoids isolated from Hyperincum
ternum. J Chil Chem Soc 52(4):1326-1329.
Bose R, Majumdar C, Bhattacharya S. 1997. Steroids in Achatina fulica
(Bowdich): steroid profile in haemolymph and in vitro release of
steroids from endogenous precursors by ovotestis and albumen gland.
Comp Biochem Physiol 116C(3):179-182.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering dalam Kemasan,
SNI 01-3836-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Castro P, Huber ME. 2007. Marine Biology. Ed ke-6. Boston: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Cazzaniga NJ. 2002. Old species and new concepts in the taxonomy of Pomacea
(Gastropoda: Ampullariidae). Biocell 26(1):71-81.
Cui CB, Xu C, Gu QQ, Chu SD, Ji HH, Jing G. 2004. A new furostanol saponin
from the water-extract of Dioscorea nipponica Mak., the raw material
of the traditional Chinese herbal medicine wei ao xin. Chinese
Chemical Letters 15(10):1191-1194.
[DA-PhilRice] Department of Agricultural-The Philippine Rice Research
Institute. 2001. Management Option for The Golden Apple Snail.
Maligaya: Department of Agriculture-The Philippine Rice Research
Institute.
Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Naskah Seminar:
Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan,
bunga karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan
Seribu. Buletin Kimia. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Escudero MR, Escudero FR, Remsberg CM, Takemoto JK, Davies NM, Yanez
JA. 2008. Identification of polyphenols and anti-oxidant capacity of
Piper aduncum L. The Open Bioactive Compounds Journal 1:18-21.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Hamann MI. 1992. Catadiscus pomaceae sp. n. (trematoda, Paramphistomatidae)
from Pomacea canaliculata (Lamarck, 1801) (Prosobranchia,
Ampullariidae). Mem. Inst. Oswaldo Cruz 87(1):9-14.
79
Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian 2(3):127-133.
Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.
__________. 1999. Classes and Functions of Secondary Products from Plants. Di
dalam: Walton NJ, Brown DE, editor. Chemical from Plants:
Prespectives on Plant Secondary Products. London: Imperial College
Press. hlm 1-25.
Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal
bebas pada lanjut usia. MIPA 14(1):52-60.
Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT sebagai antioksidan minyak sawit pada
perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8.
Horn KC, Johnson SD, Boles KM, Moore A, Siemann E, Gabler CA. 2008.
Factors affecting hatching success of golden apple snail eggs: effect of
water immersion and cannibalism. Wetlands 28(2):544-549.
Joshi RC. 2005. Managing Invasive Alien Mollusc Species in Rice. Maligaya:
Department of Agriculture-The Philippine Rice Research Institute.
Kamil, Zahiruddin W, Sumaryanto H. 1998. Pengaruh metode pengolahan
terhadap mutu tepung siput murbei (Pomacea sp.). Buletin Teknologi
Hasil Perikanan 5(2):24-26.
Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer
effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open
Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.
Krzynowek J, Murphy J. 1987. Proximate Composition, Energy, Fatty Acid,
Sodium, and Cholesterol Content of Finfish, Shellfish, and their
Products. Amerika Serikat: Department of Commerce.
Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of
medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070.
Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida [makalah].
Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
80
Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
for estimating antioksidan activity. Songklanakarin J Sci Technol
26(2):211-219.
Muchtadi D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Bogor:
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Musthafa Z, Lawrence GS. 2000. Peran antioksidan dalam penghambatan
aterosklerosis pada tikus wistar diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran 127:32-33.
Musthafa Z, Lawrence GS, Seweang A. 2000. Radikal bebas sebagai predictor
ateroskelrosis pada tikus wistar diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran 127:30-31.
Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai
Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah, Fitrial Y, Suwandi R, Daritri ES. 1996. Pembuatan kerupuk keong mas
(Pomacea sp.) dengan penambahan tepung beras ketan dan flavor
udang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 2(2):43-51.
Orsat V, Raghavan GSV. 2006. Dehydration Technologies to Retain Bioactive
Components. Di dalam: Shi J, editor. Functional Food Ingredients and
Nutraceuticals: Processing Technologies. Boca Raton: CRC Press. hlm
173-191.
Paulinyi HM, Paulini E. 1972. Laboratory observation on the biological control of
Biomphalaria glabrata by a species of Pomacea (Ampullariidae).
Bulletin of The World Health Organization (46):243-247.
Pennak RW. 1989. Fresh-Water Invertebrates of The United States. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.
Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea
obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Putra SE. 2007. Alkaloid: senyawa organik terbanyak di alam. http://www.chem-
is-try.org/artikel_kimia/biokimia/alkaloid_senyawa_organik_terbanyak
di_alam/. [20 Februari 2010].
81
Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari
daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan
tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI 2009. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober
2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8.
Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning
(Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi
Indonesia 16(3):136-140.
Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen
bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa
antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132.
Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on steroid contents
determined in beef. Journal of Food Chemistry 76:83-88.
Scholar Chemistry. 2008. Material safety data sheet: butylated hydroxyl toluene.
http://www.scholarchemistry.com/msds/BHT.pdf. [19 Januari 2010].
Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a
molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal
1:13-17.
Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Silva BP, Sousa AC, Silva GM, Mendes TP, Parente JP. 2002. A new bioactive
steroidal saponin from Agave attenuata. Z Naturforsch 57C:423-428.
Sukadana IM. 2009. Senyawa antibakteri golongan flavonoid dari buah belimbing
manis (Averrhoa carambola Linn.L). Jurnal Kimia 3(2):109-116.
Sulistiono. 2007. Keong mas, sumber pakan dan obat-obatan.
http://anekaplanta.wordpress.com/2007/12/26/keong-mas-sumber-
pakan-dan-obat-obatan/. [1 Desember 2009].
Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai
antioksidan. http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_
205_1.pdf. [21 Desember 2009].
Suryowinoto S. 2005. Mengenal beberapa senyawa pada tanaman yang berperan
sebagai antiaging. InfoPOM 6(3):7-11.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air.
Depok: Penebar Swadaya.
82
Syah YM, Achmad SA, Bakhtiar E, Hakim EH, Juliawaty LD, Latip J. 2006. Dua
flavonoid tergeranilasi dari daun sukun (Artocarpus altilis). Jurnal
Matematika dan Sains 11(3):100-104.
Trilaksani W. 2003. Antioksidan: jenis, sumber, mekanisme kerja dan peran
terhadap kesehatan [makalah]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Usman H, Akbar RPS. 2008. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality.
Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor.
Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press. hlm
229-251.
Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid
(quercetin) [makalah]. Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA,
Universitas Hasanuddin.
Walpole RE. 1997. Pengantar Statistik Ed. Ke-3. Sumantri B, penerjemah.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to
Statistic 3rd
edition.
Wang SY. 2006. Fruits with High Antioxidant Activity as Functional Foods. Di
dalam: Shi J, editor. Functional Food Ingredients and Nutraceuticals:
Processing Technologies. Boca Raton: CRC Press. hlm 371-413.
Wiesman Z, Chapagain BP. 2003. Laboratory evaluation of natural saponin as a
bioactive agent against Aedes aegypti and Culex pipiens. Dengue
Bulletin 27:168-173.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.
Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998.
Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil
Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1. Lokasi pengambilan keong mas
Lampiran 2. Proses pengambilan keong mas dalam transek (1 x 1) m2
Pengukuran Suhu Perairan Pengumpulan Keong Mas
Lampiran 3. Cangkang, isi cangkang dan operkulum keong mas
Cangkang Isi Cangkang
85
Operkulum
Lampiran 4. Perhitungan rendemen keong mas
Berat total : 273 gram
Berat cangkang : 74 gram
Berat isi cangkang : 132 gram
Berat operkulum : 4 gram
a. % Rendemen cangkang = 74 gram
273 gram× 100 % = 27,10%
b. % Rendemen isi cangkang = 132 gram
273 gram× 100 % = 48,35%
c. % Rendemen operkulum = 4 gram
273 gram× 100 % = 1,46%
Lampiran 5. Perhitungan analisis proksimat keong mas
a. Kadar air
% Kadar air U1 = 1,1075 −0,2199 gram
1,1075 gram× 100% = 81,14%
% Kadar air U2 = 1,1141 −0,2089 gram
1,1141 gram× 100% = 81,25%
% Kadar air rata-rata = 81,14% + 81,25%
2= 81,19%
b. Kadar lemak
% Kadar lemak U1 = 0,0106 gram
2,0412 gram× 100% = 0,52%
% Kadar lemak U2 = 0,0103 gram
2,0524 gram× 100% = 0,50%
% Kadar lemak rata-rata = 0,52% + 0,50%
2= 0,51%
c. Kadar protein
% Kadar protein U1 = 19,25−0 ml ×0,09 N×14×6,25
586,500 mg ×2,5× 100% = 10,34%
86
% Kadar protein U2 = 12,70−0 ml ×0,09 N×14×6,25
390 mg ×2,5× 100% = 10,26%
% Kadar protein rata-rata = 10,34% + 10,26%
2= 10,30%
d. Kadar abu
% Kadar abu U1 = 0,210 gram
5,045 gram× 100% = 4,17%
% Kadar abu U2 = 0,200 gram
5,040 gram× 100% = 3,97%
% Kadar abu rata-rata = 4,16% + 3,97%
2= 4,07%
e. Kadar abu tidak larut asam
% Kadar abu tidak larut asam U1 = 0,015 gram
5,045 gram× 100% = 0,30%
% Kadar abu tidak larut asam U2 = 0,015 gram
5,040 gram× 100% = 0,30%
% Kadar abu tidak larut asam rata-rata = 0,30% + 0,30%
2= 0,30%
f. Kadar karbohidrat (by difference)
% Kadar karbohidrat = 100% - (81,19 + 0,51 + 10,30 + 4,07)%
= 3,93%
Lampiran 6. Data rendemen ekstrak kasar keong mas
Jenis
Pelarut Ulangan
Berat Sampel
Kering (g)
Berat Ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
Rata-rata
(%)
Kloroform 1 25 0,414 1,66
1,63±0,04 2 25,02 0,400 1,60
Etil Asetat 1 25 0,074 0,30
0,79±0,69 2 25,02 0,320 1,28
Metanol 1 25 2,010 8,04
8,21±0,25 2 25,02 2,100 8,39
a. Ekstrak kloroform
% Rendemen ekstrak U1 = 0,414 gram
25 gram× 100% = 1,66%
% Rendemen ekstrak U2 = 0,400 gram
25,02 gram× 100% = 1,60%
% Rendemen rata-rata = 1,66%+1,60%
2= 1,63%
b. Ekstrak etil asetat
% Rendemen ekstrak U1 = 0,074 gram
25 gram× 100% = 0,30%
87
% Rendemen ekstrak U2 = 0,320 gram
25,02 gram× 100% = 1,28%
% Rendemen rata-rata = 0,30%+1,28%
2= 0,79%
c. Ekstrak metanol
% Rendemen ekstrak U1 = 2,010 gram
25 gram× 100% = 8,04%
% Rendemen ekstrak U2 = 2,100 gram
25,02 gram× 100% = 8,39%
% Rendemen rata-rata = 8,04%+8,39%
2= 8,21%
Lampiran 7. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya
a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol)
Konsentrasi = berat DPPH
Mr×
1000
ml Volume
0,001 M = berat DPPH
394 g/mol×
1000
50 ml
berat DPPH = 0,001M ×394
g
mol ×50 ml
1000= 0,0197 g
DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml
Stok BHT 250 ppm = 250 mg
1 L×
1 L
1000 mL× 50 mL
= 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
BHT 2 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 2 ppm = V2 × 250 ppm
= 10 ml ×2 ppm
250 ppm= 0,08 ml
0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 4 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 4 ppm = V2 × 250 ppm
= 10 ml ×4 ppm
250 ppm= 0,16 ml
0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
88
BHT 6 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 6 ppm = V2 × 250 ppm
= 10 ml ×6 ppm
250 ppm= 0,24 ml
0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 8 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 8 ppm = V2 × 250 ppm
= 10 ml ×8 ppm
250 ppm= 0,32 ml
0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml
Stok ekstrak 1000 ppm = 1000 mg
1 L×
1 L
1000 mL× 50 mL
= 50 mg = 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
Ekstrak 200 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 200 ppm = V2 × 1000 ppm
= 10 ml ×200 ppm
1000 ppm= 2 ml
2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 400 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 400 ppm = V2 × 1000 ppm
= 10 ml ×400 ppm
1000 ppm= 4 ml
4 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 600 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 600 ppm = V2 × 1000 ppm
= 10 ml ×600 ppm
1000 ppm= 6 ml
6 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 800 ppm = V1 × M1 = V2 × M2
= 10 ml × 800 ppm = V2 × 1000 ppm
= 10 ml ×800 ppm
1000 ppm= 8 ml
8 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
89
Lampiran 8. Perhitungan persen inhibisi dan IC50
a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT
Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorbansi % Inhibisi Persamaan regresi linear IC50 (ppm)
Blanko 0 1,052
4,91 BHT
2 0,920 12,55
y = 14,32x – 20,34 4 0,803 23,67
6 0,217 79,37
8 0,111 89,45
1) Persen inhibisi
BHT 2 ppm = 1,052−0,920
1,052× 100% = 12,55%
BHT 4 ppm = 1,052−0,803
1,052× 100% = 23,67%
BHT 6 ppm = 1,052−0,217
1,052× 100% = 79,37%
BHT 8 ppm = 1,052−0,111
1,052× 100% = 89,45%
2) IC50
y = 14,32x – 20,34
50 = 14,32x – 20,34
70,34 = 14,32x
x = 4,91 ppm
IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm.
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak kloroform keong mas
Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorbansi
%
Inhibisi
Persamaan regresi
linear
IC50
(ppm)
Rataan
IC50
(ppm)
Blanko 0 1,052
2912,50
Kloroform
1
200 1,050 0,19
y = 0,018x – 2,425
3458,37
±
771,98
400 0,992 5,70
600 0,959 8,84
800 0,937 10,93
Kloroform
2
200 1,010 3,99
y = 0,012x + 1,945 4004,25 400 0,982 6,65
600 0,952 9,51
800 0,939 10,74
90
Ulangan 1
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−1,050
1,052× 100% = 0,19%
400 ppm = 1,052−0,992
1,052× 100% = 5,70%
600 ppm = 1,052−0,959
1,052× 100% = 8,84%
800 ppm = 1,052−0,937
1,052× 100% = 10,93%
2) IC50
y = 0,018x – 2,425
50 = 0,018x – 2,425
52,425 = 0,018x
x = 2912,50 ppm
IC50 untuk ekstrak kloroform ulangan 1 adalah 2912,50 ppm.
Ulangan 2
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−1,010
1,052× 100% = 3,99%
400 ppm = 1,052−0,982
1,052× 100% = 6,65%
600 ppm = 1,052−0,952
1,052× 100% = 9,51%
800 ppm = 1,052−0,939
1,052× 100% = 10,74%
2) IC50
y = 0,012x + 1,949
50 = 0,012x + 1,949
48,051 = 0,012x
x = 4004,25 ppm
IC50 untuk ekstrak kloroform ulangan 2 adalah 4004,25 ppm.
c. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak etil asetat keong mas
Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorbansi
%
Inhibisi
Persamaan regresi
linear
IC50
(ppm)
Rataan
IC50
(ppm)
Blanko 0 1,052
1547,47
Etil Asetat
1
200 0,999 5,04
y = 0,034x – 2,614
1662,36
±
162,48
400 0,949 9,79
600 0,871 17,20
800 0,788 25,09
Etil Asetat
2
200 0,975 7,32
y = 0,028x + 0,237 1777,25 400 0,941 10,55
600 0,898 14,64
800 0,792 24,71
91
Ulangan 1
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−0,999
1,052× 100% = 5,04%
400 ppm = 1,052−0,949
1,052× 100% = 9,79%
600 ppm = 1,052−0,871
1,052× 100% = 17,20%
800 ppm = 1,052−0,788
1,052× 100% = 25,09%
2) IC50
y = 0,034x – 2,614
50 = 0,034x – 2,614
52,61 = 0,034x
x = 1547,47 ppm
IC50 untuk ekstrak etil asetat ulangan 1 adalah 1547,47 ppm.
Ulangan 2
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−0,975
1,052× 100% = 7,32%
400 ppm = 1,052−0,941
1,052× 100% = 10,55%
600 ppm = 1,052−0,898
1,052× 100% = 14,64%
800 ppm = 1,052−0,792
1,052× 100% = 24,71%
2) IC50
y = 0,028x + 0,237
50 = 0,028x + 0,237
49,763 = 0,028x
x = 1777,25 ppm
IC50 untuk ekstrak etil asetat ulangan 2 adalah 1777,25 ppm.
d. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak metanol keong mas
Sampel Konsentrasi
(ppm) Absorbansi
%
Inhibisi
Persamaan regresi
linear
IC50
(ppm)
Rataan
IC50
(ppm)
Blanko 0 1,052
1222,33
Metanol 1
200 1,045 0,66
y = 0,046x – 6,227
1270,47
±
68,08
400 0,908 13,69
600 0,795 24,43
800 0,763 27,47
Metanol 2
200 0,986 6,27
y = 0,039x – 1,426 1318,61 400 0,918 12,74
600 0,781 25,76
800 0,756 28,14
92
Ulangan 1
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−1,045
1,052× 100% = 0,66%
400 ppm = 1,052−0,908
1,052× 100% = 13,69%
600 ppm = 1,052−0,795
1,052× 100% = 24,43%
800 ppm = 1,052−0,763
1,052× 100% = 27,47%
2) IC50
y = 0,046x – 6,227
50 = 0,046x – 6,227
56,227 = 0,046x
x = 1222,33 ppm
IC50 untuk ekstrak metanol ulangan 1 adalah 1222,33 ppm.
Ulangan 2
1) Persen inhibisi
200 ppm = 1,052−0,986
1,052× 100% = 6,27%
400 ppm = 1,052−0,918
1,052× 100% = 12,74%
600 ppm = 1,052−0,781
1,052× 100% = 25,76%
800 ppm = 1,052−0,756
1,052× 100% = 28,14%
2) IC50
y = 0,039x – 1,426
50 = 0,039x – 1,426
51,426 = 0,039x
x = 1318,61 ppm
IC50 untuk ekstrak metanol ulangan 2 adalah 1318,61 ppm.
Lampiran 9. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak keong mas
a. Ekstrak kloroform
93
b. Ekstrak etil asetat
c. Ekstrak metanol
Lampiran 10. Gambar-gambar selama proses ekstraksi
Proses maserasi sampel kering Proses pengadukan dengan orbital shaker
Proses filtrasi hasil maserasi Filtrat hasil filtrasi
94
Rotary vacuum evaporator Vacuum pump
Proses evaporasi filtrat Ekstrak pekat hasil evaporasi