BAB 1
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever(DHF) adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot, atau nyeri sendi yang disertai oleh leukopenia ,ruam , limfdenopati,
trombositopeni, dan diathesis hemoragic. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan Hematokrit).
Infeksi virus dengue telah muncul di Indonesia sejak abad ke 18, dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter kebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue dikenal
sebagai penyakit demam lima hari (Vijf Daagse Koorts) kadang disebut juga demam
sendi (Knokkel Koorts). Disebut demikian oleh karena demam menghilang dalam lima
hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala hebat. Pada saat itu Infeksi
virus dengue merupakan penyakit yang ringan dan tidak pernah menyebabkan kematian,
tapi sejak tahun 1968 mulai dilaporkan adanya pasien demam berdarah yang meninggal
di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Demam dengue banyak terjangkit didaerah tropis dan subtropis. Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam dengue tiap tahunnya. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi ditambah dengan sanitasi
lingkungan yang tidak bagus. WHO memperkirakan lebih dari 500.000 dari 50 juta kasus
demam dengue memerlukan perawatan di rumah sakit. Lebih dari 40% penduduk dunia
hidup didaerah endemis demam dengue. Indonesia sebagai negara tropis dengan angka
kejadian Dengue yang tinggi, memang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya
penyebaran wabah dengue di masyarakat. Jutaan orang mengalami Dengue dan sebagian
besar didominasi oleh anak-anak. Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali
dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tapi konfirmasi virology baru pada tahun 1970.
Pada saat ini DBD sudah endemis dibanyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975
penyakit ini telah terjangkit di pedesaan.
DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan
umur di Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia
sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun. DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin
untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan
penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan
penanganan yang cepat dan tepat.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
den-1, den-2, den-3 dan den-4, melalui perantara nyamuk aedes aegypti atau aedes
albopictus. Dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala
perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan
trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau
lebih dari harga normal.
2.2 Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara
global. Sebanyak 2,5 – 3,0 triliyun penduduk di seluruh dunia memiliki risiko menderita
penyakit ini. Di seluruh dunia 50 – 100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya
sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak
– anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan
sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya.
Gambar 2.1 Distribusi DBD di Dunia Tahun 2005
2
2.3 Etiologi dan Transmisi
Demam Berdarah Dengue diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue
merupakan RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan
kapsul lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae,
genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60
nm, mempunyai RNA positif sense yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif
terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7.
Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula
Aedes albopictus betina. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk
Aedes aegypti):
Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih
Hidup di dalam dan di sekitar rumah
Menggigit/menghisap darah pada siang hari
Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap
semut dan lain-lain.
Gambar 2.2 Aedes aegypti betina .
Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka
virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu
virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk.
3
Dalam satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan bahkan sampai ratusan ribu
sehingga siap untuk ditularkan kepada orang lain. Jika nyamuk tersebut menggigit
seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah
orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya
tidak membeku.
Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.
Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti tersebut akan terkena demam
berdarah dengue. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue
tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya terdapat virus dengue.
Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus
dengue, dia akan sakit demam ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai
perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang
menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan
yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga
karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi
viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan
melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.6
4
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial.
Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS
yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga
juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada gambar 2.3 Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
5
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga
serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulapati konsumtif ( KID; koagulasi intravaskular deseminata ), ditandai
dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan
6
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif
pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan
akan memperberat syok yang terjadi.
Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue
dapat tidak menunjukan gejala (Asimtomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu
demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat demam
berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue ( SSD ).
2.5.1 Demam Dengue ( DD )
Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2 – 7 hari dengan dua atau
lebih manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, manifestasi
perdarahan dan leukopenia.
7
2.5.2 Demam Berdarah Dengue ( DBD )
Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DD dengan
kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih yaitu :
a. Uji torniquet positif
b. Petekie, ekimosis atau purpura
c. Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi )
d. Hematemesis dan Melena
e. Trombositopenia (< 100000/mm3)
f. Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi satu atau lebih yaitu : (a). Peningkatan hematokrit lebih dari 20%
dibandingkan standar umur dan jenis kelamin, (b). Penurunan hematokrit lebih
atau sama dengan 20% setelah mendapat pengobatan cairan, (c). Tanda
perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia
2.5.3 Sindrom Syok Dengue
Kriteria yang telah disebutkan diatas, ditambah dengan manifestasi kegagalan
sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi
(sesuai umur), kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah
Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
2.5.4 Derajat Penyakit DD / DBD
Ada 4 derajat penyakit DD/DBD sesuai kriteria WHO (1997) :
Derajat I : Deman tinggi disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet (uji rumple leed positif).
8
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan
nyata lain (petekie, perdarahan gusi, perdarahan hidung, hematemesis,
melena).
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakanh berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
1986 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan
untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan ( Overdiagnosis ).
Kriteria Klinis :
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas berlangsung terus menerus selama
2 – 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji torniquet positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis / melena.
c. Pembesaran hati
d. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratoris :
a. Trombositopenia ( 100.000 / mm3 atau kurang )
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih,
menurut standar umur dan jenis kelamin.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan
atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau
terjadi perdarahan. Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan trombositopenia
mendukung diagnosis DBD.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
9
Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
1. Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah padapenderita DHF.
Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untukmendeteksi kelainan
sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positifjika terdapat lebih dari 10 ptechiae
dalam diameter 2,8 cm di lengan bawahbagian depan termasuk lipatan siku.
Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akantampak sebagai
bercak merah kecil pada permukaan kulit yang disebut Ptechiae.
2. Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakanterjadi
kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanyaakan keluar dan
menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikankadar hemoglobin >14 gr/100
ml.Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli danfotoelektrik
(cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah metode
fotoelektrik.
Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darahdiubah menjadi
cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi kalium ferrisianida dan kalium sianida.
Absorbansi larutandiukur pada panjang gelombang 540 nm/filter hijau.
3. Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinyahemokonsentrasi, yang
merupakan indikator terjadinya perembesanplasma.Nilai peningkatan ini lebih dari
20%.Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro danmikro.
Prinsip : Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100ml darah dan
disebut dengan % dari volume darah itu.
4. Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien
didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu dilakukan pengulangan
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebutnormal atau menurun.Penurunan jumlah
trombosit < 100.000 /μl atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang pandang dengan rata-rata
pemeriksaan10 lapang pandang pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yangmelisiskan semua sel
kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalambilik hitung dan dihitung dengan menggunakan
faktor konversi jumlah trombosit per μ/l darah.
10
5. Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosisringan sampai
lekopenia ringan.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yangmelisiskan semua sel
kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitungdengan menggunakan faktor konversi jumlah
lekosit per μ/l darah.
6. Pemeriksaan Bleding time (BT)
Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjangmenutup
kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlahtrombosit dalam darah
berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalamdarah akan menyebabkan terjadinya
gangguan hemostatis sehingga waktuperdarahan dan pembekuan menjadi memanjang.
Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahansetelah dilakukan
penusukan pada kulit cuping telinga danberhentinya perdarahan tersebut secara spontan.
7. Pemeriksaan Clothing time (CT )
Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguanhemostatis.
Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunyamulai dari
keluarnya darah sampai membeku.
8. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik ataulimfosit plasma biru
≥ 4 % dengan berbagai macam bentuk :monositoid,plasmositoid dan blastoid. Terdapat
limfosit Monositoid mempunyaihubungan dengan DHF derajat penyakit II dan IgG
positif, dan limfositnon monositoid (plasmositoid dan blastoid) dengan derajat penyakit I
danIgM positif. (E.N Kosasih,1984).
Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis
lekosit.
9. Pemeriksaan Imunoessei dot-blot
Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, danIgM positif
menandakan infeksi primer.Tes ini mempunyai kelemahankarena sensitifitas pada infeksi
sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksiprimer lebih rendah, dan harganya relatif lebih
mahal.
Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat oleh anti human
IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis silang di strip nitrosellulosa.
11
Untuk mendiagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF) dapat dilakukan
pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat
ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium yakni :
- Trombositopenia (< 100.000 / mm3) , Hb dan PCV meningkat (> 20%) leukopenia
(mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis.
- Pemeriksaan serologik yaitu titer CF (complement fixation) dan anti bodi HI
(Haemaglutination ingibition), yang hasilnya adalah:
- Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibodi HI adalah kurang dari 1/20
dan akan meningkat sampai < 1/1280 pada stadium rekovalensensi pada infeksi
kedua atau selanjutnya, titer antibodi HI dalam fase akut > 1/20 dan akan
meningkat dalam stadium rekovalensi sampai lebih dari pada 1/2560.
- Apabila titer HI pada fase akut > 1/1280 maka kadang titernya dalam stadium
rekonvalensi tidak naik lagi.
- Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulangkali (setiap jam atau 4-6
jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan) faal haemostasis x-foto dada,
elektro kardio gram, kreatinin serum.
- Laboratorium:
Trombositopenia (< 100.000/ uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%.
Secara singkat, pemeriksaan penunjang yang menunjukkan DHF :7,8
a. Darah
1) Trombosit menurun.
2) HB meningkat lebih 20 %
3) HT meningkat lebih 20 %
4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
5) Protein darah rendah
6) Ureum PH bisa meningkat
7) NA dan CL rendah
b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).
1) Rontgen thorax : Efusi pleura.
2) Uji test tourniket (+)
2.8 Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus,
atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis
12
chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet
positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu
jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri
pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas
terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia.
Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder.
2.9 Penatalaksanaan DHF Pada Anak
Fase demam
Prinsip tatalaksana DBD fase demam sama dengan tatalaksana DD.
Antipiretik: paracetamol 10 – 15 mg/kg BB/kali, 3 kali/hari.
Perbanyak asupan cairan oral.
13
Monitor keadaan anak (tanda-tanda syok) terutama selama 2 hari saat suhu turun.
Monitor trombosit dan hematokrit secara berkala.1,9
Penggantian volume plasma
Anak cenderung menjadi dehidrasi. Penggantian cairan sesuai status dehidrasi
pasien dilanjutkan dengan terapi cairan rumatan.
Jenis cairan adalah kristaloid : RL, 5% glukosa dalam RL, atau NaCl.1,9
Tabel 3. Kebutuhan cairan pada rehidrasi ringan-sedang
Berat Badan (Kg)Jumlah Cairan
(ml/kg BB/hari)
< 7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
>18 88
Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan
Berat Badan (Kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg BB (untuk BB di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg BB (untuk BB di atas 20 kg)
Jenis cairan
14
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer laktat
(RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau
dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam
larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.1,9
Tabel 5. Kriteria rawat inap dan memulangkan pasien
Kriteria rawat inap Kriteria memulangkan pasien
Ada kedaruratan:
• Syok
• Muntah terus menerus
• Kejang
• Kesadaran turun
• Muntah darah
• Berak hitam
Hematokrit cenderung meningkat setelah 2 kali
pemeriksaan berturut-turut
Hemokonsentrasi (Ht meningkat = 20%)
Tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Trombosit > 50.000/uL
Tidak dijumpai distres
pernafasan
Bagan 1. Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat I dan II
15
Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hematokrit ≥20%
16
DBD derajat I atau derajat II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala Klinis: demam 2-7 hari uji tourniquet positif atau perdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkat trombositopeni (ringan)
Pasien masih dapat minumBeri minum sebanyak 1-2 liter/hariatau satu sendok makan tiap 5 menitJenis minuman: air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu, oralit.Bila suhu >38,5oC beri parasetamolBila kejang beri obat antikonvulsif
Pasien tidak dapat minumPasien muntah terus-menerus
Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hariAwasi perdarahanPeriksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Pulang (kriteria pulang)- tidak demam selama 24 jam tanpa antiprelik- nafsu makan membaik- secara klinis tampak perbaikan- Ht stabil- tiga hari setelah syok teratasi- jumlah trombosit > 50.000/ml- tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Ht naik dan atau trombosit turun
Perbaikan klinis dan laboratoris
Pasang infus NaCl 0,9%: dekstrosa 5% (1:3), tetesan rumatan sesuai berat badan Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Infus ganti ringer laktat (RL)(tetesan disesuaikan)
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
17
DBD derajat II dengan peningkatan HT 20%
Monitor tanda-tanda vital / nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
tidak gelisahnadi kuattekanan darah stabildiuresis cukup(1 ml/kgBB/jam)Ht turun(2 kali pemeriksaan)
gelisahdistres pernapasanfrekuensi nadi naikHt tetap tinggi/naikdiuresis kurang/tidak ada
Tanda vital memburukHt meningkat
5 ml/kgBB/jam
Sesuaikan tetesan
3 ml/kgBB/jam
bila tanda vital/Ht stabil dan diuresis cukup
Cairan awal
RL / RA / NaCl 0,9% atau RLD5 / NaCl 0,9% + D5, 6-7 ml / kgBB / jam
Perbaikan Tidak ada perbaikan
Tetesan dikurangi
Perbaikan
IVFD stop pada 24-48 jam
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jamPerbaikan
Tanda vital tidak stabil
Distres pernafasanHt naikTek. Nadi ?20 mmHg
Ht turun
Transfusi darah segarKoloid
10-20 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Perbaikan
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi2. Penggantian volume (cairan kristaloid isononis)Ringer laktat/NaC. 0,9%20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit,apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balans selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Kesadaran membaikNadi teraba kuatTekanan nadi > 20 mmHgTidak sesak napas/sianosisEkstremitas hangatDiuresis cukup 2 ml/kgBB/jam
Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vitalTanda perdarahanDiuresisHb, Ht, trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jamHt stabil dalam 2x pemeriksaan
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jamsetelah syok teratasi
Syok tidak teratasi
1. Lanjutkan cairan 20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma Dekstran/FPP 10-20 (max30) ml/kgBB/jam
3. Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam
Syok teratasi
Syok belum teratasi
Ht turun Ht tetap tinggi/naik
Transfusi darah segar 10 ml/kgBB diulang sesuai
kebutuhan
Koloid 20 ml/kgBB
Kesadaran menurunNadi lembut/tidak terabaTekanan nadi < 20 mmHgDistres pernapasan/sianosisKulit dingin dan lembabEkstreminitas dinginPeriksa kadar gula darah
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 l/menit)2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer laktat/NaC. 0,9% 20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila :
- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/µl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.
2.10 Komplikasi
18
a. DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti pendarahan ginjal,
otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh kehabisan darah dan cairan
serta menyebabkan kematian.
b. Ensepalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung
terjadi edema otak dan alkalosis.
c. Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
d. Disorientasi, prognosa buruk.
e. Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
f. Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan.
2.11 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik.
DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong.
Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi
penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada
kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.
BAB 3
KESIMPULAN
19
Demam dengue adalah suatu infeksi arbovirus (arthropod borne virus) akut,
ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes. Virus dengue termasuk group B arthropod borne
virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae,
yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4.
Patokan diagnosis DHF berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Demam
tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, minimal uji
torniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain (ptekia, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena, Pembesaran hati, Syok yang
ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤20 mmHg), tekanan
darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul
sianosis di sekitar mulut.9 Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif.
\
20