Page 1
Refrat
ASPEK REHABILITASI MEDIK PADA PASIEN STROKE
Oleh :
Ilma Rizkia R G0004017
Ari Prasetyo N G0004053
Noviana Amurwani P.R G0003142
Mabruratussania M G0004146
Firman Kusuma G0004099
Desi Widiyanti G0004073
Andhika Arie P G0003047
Amelya Augustina A G0002030
Ipung Indri H G0004120
Kiki Dwi Qori Ayatulloh G0004132
Lignawati G0004139
Arif Hidayat G0004054
Pembimbing
Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2009
1
Page 2
HALAMAN PENGESAHAN
Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian Rehabilitasi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Refrat ini telah disetujui dan dipresentasikan :
Hari : Kamis
Tanggal : 17 September 2009
Oleh :
Ilma Rizkia R G0004017
Ari Prasetyo N G0004053
Noviana Amurwani P.R G0003142
Mabruratussania M G0004146
Firman Kusuma G0004099
Desi Widiyanti G0004073
Andhika Arie P G0003047
Amelya Augustina A G0002030
Ipung Indri H G0004120
Kiki Dwi Qori Ayatulloh G0004132
Lignawati G0004139
Arif Hidayat G0004054
Mengetahui dan menyetujui
Pembimbing
Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM
2
Page 3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayatNya sehingga penulis mampu menyelesaikan refrat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik di SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Refrat ini dapat tersusun dengan baik berkat bimbingan, petunjuk, dan bantuan maupun sarana dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM., selaku pembimbing sekaligus kepala bagian SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Para staf SMF Rehabilitasi Medik selaku pembimbing pada SMF Rehabilitasi Medik
3. semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian refrat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan refrat ini. Semoga saran dan koreksi dapat penulis jadikan masukan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Surakarta, September 2009
Penulis
3
Page 4
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. STROKE
Definisi 2
Etiologi 2
Jenis Stroke 3
Faktor Resiko 13
Patofisiologi 14
Diagnosa 17
Pemeriksaan Penunjang 21
Tatalaksana 26
Komplikasi 28
B. REHABILITASI MEDIS PADA PASIEN STROKE
Tujuan Rehabilitasi Medis 30
Progam dan Tim Rehabilitasi Medis Pasien Stroke 31
Pola Pendekatan Rehabilitasi Medik Stroke 33
4
Page 5
Pedoman Dasar Penanganan Post Stroke 34
Program Post Stroke 37
Fisioterapi 37
Okupasi terapi 39
Speech terapi 45
Terapi bladder 48
Terapi Bowel 49
Terapi ganguan integritas kulit 50
Psikoterapi 51
BAB III KESIMPULAN 61
DAFTAR PUSTAKA 62
5
Page 6
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak (GPDO) dengan awitan akut,disertai manifestasi klinis berupa
defisit neurologi klinis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun
infeksi susunan saraf pusat.
Stroke masih merupakan penyebab kecacatan nomer satu di dunia dan
penyebab kematian nomer tiga di dunia. Dua pertigastroke terjadi di negara
berkembang.pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik
dan 20% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring
pertambahan usia.
Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah memungkinkan penderita
untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan produktivitas
seoptimal mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi yang
komplek. Walaupun kemampuan fungsional dapat didapatkan kembali segera
setelah serangan stroke, penyembuhan adalah proses yang terus menerus.
6
Page 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. STROKE
I. Definisi
Stroke menurut WHO tahun 1983 adalah sindroma klinis dengan
gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat
menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa
penyebab lain kecuali gangguan vaskular. Stroke adalah sindrom klinis yang
awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal
yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian,
dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatic (Arif Manjoer, 2000).
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran
darah otak. Stroke dapat terjadi akibat pembentukan trombus disuatu arteri
serebrum akibat embolus yang mengalir keotak dan tempat lain ditubuh atau
akibat perdarahan otak (Elizabeth J. Corwin, 2001). Stroke adalah disfungsi
neurology yang mempunyai awitan yang mendadak dan berlangsung 24 jam
sehari sebagai akibat dari cedera cerebrovaskuler (Huddak and Gallo, 1996).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya
supplay darah kebagian otak (Brunner and Suddarth, 2001).
II. Etiologi
a. Trombosis Cerebral
Terjadi pada pembuluh darah yang oklusi sehingga menyebabkan
iskemik, jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti
disekitarnya, trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang tidur / bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan
7
Page 8
tekanan darah yang dapat menyebabkan iksemik cerebral, tanda dan gejala
neurologis yang memburuk dalam 48 jam setelah trombosis otak :
atherosklerosis, buffer coagulasi pada polysitemia, arthiritis (radang pada
otak).
b. Emboli
Merupakan penyumbatan balutan darah otak oleh bekuan darah,
lemak, udara pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang
terlepas dan menyumbat sistem arteri, cerebral emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan emboli : katup-katup jantung yang rusak akibat Rhematic Heart
Desease (RHO), miocard infark, fibrilasi, endocaditis.
c. Hipoxia umum dan Hipoxia setempat
Hipoxia yang parah, cardiac pulmonary arrest, cardiac out put
kurang akibat dari aritmia, spasme arteri otak serebral yang disertai sakit
kepala, faktor resiko terjadinya stroke adalah DM, perokok, obesitas,
peminum alkohol.
d. Perdarahan intraserebral
Merupakan perdarahan di dalam jaringan otak
e. Perdarahan subarakhnoidal
Merupakan perdarahan di ruang subarakhnoid, yang disebabkan
oleh karena pecahnya suatu aneurisma atau arterio-venous malformation.
III. Jenis Stroke
1. Klasifikasi Berdasarkan Penyebab
a. Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh
darah.
8
Page 9
Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak.
Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam arteri
karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat
serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke
sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan
mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.
Arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa
juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain,
misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli
serebral, yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani
pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan
irama jantung (terutama fibrilasi atrium).
Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak
terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam
aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi
menyebabkan menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-
obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh
darah di otak dan menyebabkan stroke.
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang
pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan
menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang
banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung
yang abnormal.
9
Page 10
Gambar 1. Stroke Iskhemik
Serangan Iskemik Sesaat (TIA)
Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah
gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah
ke otak untuk sementara waktu. TIA lebih banyak terjadi pada usia setengah
baya dan resikonya meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Kadang-
kadang TIA terjadi pada anak-anak atau dewasa muda yang memiliki penyakit
jantung atau kelainan darah.
Penyebabnya biasanya karena serpihan kecil dari endapan lemak
dan kalsium pada dinding pembuluh darah (ateroma) bisa lepas, mengikuti
aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil yang menuju ke otak,
sehingga untuk sementara waktu menyumbat aliran darah ke otak dan
menyebabkan terjadinya TIA. Gejala TIA terjadi secara tiba-tiba dan biasanya
berlangsung selama 2-30 menit, jarang sampai lebih dari 1-2 jam, tergantung
kepada bagian otak mana yang mengalami kekuranan darah. Jika mengenai
arteri yang berasal dari arteri karotis, maka yang paling sering ditemukan
10
Page 11
adalah kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan. Jika
mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, biasanya terjadi pusing,
penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.
Gejala lainnya yang biasa ditemukan adalah hilangnya rasa atau
kelainan sensasi pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
kelemahan atau kelumpuhan pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi
tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda,
pusing, bicara tidak jelas, sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang
tepat ,tidak mampu mengenali bagian tubuh gerakan yang tidak biasa,
hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih Ketidakseimbangan dan
terjatuh Pingsan. Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi
pada TIA gejala ini bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA cenderung
kambuh; penderita bisa mengalami beberapa kali serangan dalam 1 hari atau
hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun. Sekitar sepertiga kasus TIA berakhir
menjadi stroke dan secara kasar separuh dari stroke ini terjadi dalam waktu 1
tahun setelah TIA.
Gambar 3. Pengangkatan Aterosklerotik Penyebab TIA
11
Page 12
b. Stroke Hemoragik
Pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan
yang melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Terdapat dua jenis utama
pada stroke yang mengeluarkan darah : intracerebral hemorrhage dan
subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di dalam
tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya
disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda
dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke.
Pecah dan retak : Penyebab Hemorrhagic Stroke
Ketika pembuluh darah pada otak lemah, tidak normal, atau
dibawah tekanan yang tidak semestinya, stroke yang mengeluarkan
darah bisa terjadi. Pada stroke yang mengeluarkan darah, pendarahan
bisa terjadi di dalam otak, sebagai intracerebral hemorrhage. Atau
12
Page 13
pendarahan bisa terjadi diantara bagian dalam dan tengah lapisan pada
jaringan yang melindungi otak (pada ruang subarachnoid), sebagai
subarachnoid hemorrhage.
Gambar 2. Stroke Hemoragik
Tabel 1. Perbedaan Gejala Klinik Pada Stroke Iskemik dan Hemoragik
No. Iskemik hemoragik
1. Gejala/ anamnesa
a. Onset
b. Waktu kejadian
c. Nyeri kepala
d. Kejang
e. Penurunan kesadaran
Sub akut
Bangun pagi
(-)
(+)
(+)
Akut
Waktu aktif
(+++)
(++)
(+++)
2. Gejala obyektif
a. Koma
b. Bradikardi
c. Papil oedema
d. Kaku kuduk
e. Reflex babinski
(+) kec.
Thrombosis a.
basilaris
(+) hari ke 4
Jarang positif
Jarang positif
(+) sampai dengan
odem otak
(++++)
(++)
Sering positif
(+++)
(+) bilateral
13
Page 14
Gambar 4. Stroke Hemoragik dan Stroke Iskhemik
2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi
a. Posterior Cerebral Arteri sroke (PCA Stroke)
Kira-kira 5-10% kasus stroke merupakan stroke PCA. Pasien
yang menderita stroke PCA dapat menunjukkan gejala klinik
neurologis yang berbeda-beda. Akibat yang paling sering terjadi pada
stroke PCA adalah gangguan visual dan sensorik. Secara umum
pasien dengan PCA menunjukkan gejala kronik disability yang lebih
ringan dibandingkan dengan kelainan pada arteri serebri anterior,
serebri media atau basilaris.
Pada pasien dengan sroke PCA akan mengalami gangguan
neurologis dan keluhan berupa: kehilangan penglihatan secara
mendadak, kebingungan, nyeri pada daerah belakang kepala,
paresthesia, kelemahan lengan, mual, pusing, kehilangan daya ingat
dan gangguan berbahasa. Pasien kadang mengeluh menabrak waktu
berjalan, tidak melihat benda-benda disisi jalan atau hanya melihat
hanya sebelah halaman saat membaca.
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya
hemianopsia yang sudah komplit, disebabkan oleh kelainan pada
lobus occipital kontralateral. Buta sentral atau macular dapat terjadi
jika ada bagian occipitalis yang masih intak karena suplai darah dari
arteri serebri media. Buta kortikal terjadi bila kedua arteri serebri
posterior mengalami infark. ( Christopher Luzzio, 2001)
14
Page 15
Gambar 1. CT scan kepala menunjukan area hipodense pada lobus
occipitalis kanan dengan infark pada arteri serebri posterior
b. Stroke Arteri serebri media (MCA stroke)
Arteri serebri media merupakan arteri serebri yang paling besar
dan merupakan arteri yang paling sering terkena CVA
(Cerebrovascular Accident). Arteri serebri media mensuplai sebagian
besar permukaan otak, ganglia basalis serta bagian anterior dan
posterior capsula interna. Penyebab sumbatan paling sering pada arteri
serebri media adalah emboli yang berasal dari jantung, yaitu 50% dari
total stroke arteri serebri media atau dari plak aterom di karotis (Daniel
Slater and Sarah. 2001 ).
Pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah Brain CT
scan. Pemeriksaan ini selain berguna untuk menyingkirkan adanya
perdarahan otak juga dapat memperlihatkan gambaran infark serta
teritori dari cabang arteri yang terkena. CT scan pada oklusi arteri
media umumnya memberi gambaran hipodens berbentuk weidge-
shaped, pial-teritorial dan melingkupi subkortikal, basal gangglia dan
kapsula interna. Adanya gambaran hiperdens pada arteri besar terdapat
pada kasus-kasus stroke arteri serebri media dan menunjukkan adanya
trombus di arteri serebri media (Hyperdens Middle Cerebral Artery).
15
Page 16
Gambar 2. Pemeriksaan CT scan tampak area hipodens pada lobus
temporalis kiri dengan infark pada arteri serebri media
c. Anterior serebral arteri stroke
Gejala klinik adalah ( David A Wolk et al, 2001)
a. Kelemahan, stroke pada arteri serebri anterior menyebabkan
kelemahan pada tungkai baik otot distal dan proksimal serta
kelemahan pada otot distal lengan yang lebih ringan.
b. Gejala ekstrapiramidal, gangguan gerak jarang terjadi pada stroke
arteri serebri anterior
c. Gangguan sensorik
d. Gait apraksia
e. Inkontinensia, dapat terjadi baik inkoninensia urin atau fecal, kelainan
otot sphingter disebabkan oleh kerusakan pada anterior girus singuli,
medial superior girus frontalis, atau superolateral girus frontalis.
f. Neglect sindrom
g. Akinetik mutisme dan abulia
h. Gangguan mood
i. Afasia.
16
Page 17
Gambar.3 CT scan kepala tampak area hipodens pada lobus frontalis
d. Stroke arteri basilaris
1. Arteri basilaris media dan proksimal
Gejala kliniknya yaitu Quadriparesis yang asimetris, kadang
didapatkan kelemahan dari otot-otot mata bilateral, wajah, faring,
laring dan lidah. Disartria, disfonia dan disfagia.( John MW. 2001 )
2. Arteri basilaris distal
Kelainan pada daerah ini ditandai dengan kelainan pada penglihatan,
okulomotor, dan gangguan kepribadian. Kadang tidak didapatkan
gangguan motorik yang signifikan. .( John MW. 2001 )
3. Cabang arteri basilaris
Didapatkan gejala berupa ataksia, hemiparesis dan disartria. .( John
MW. 2001)
Gambar 4. CT Scan kepala tampak area hipodense oleh karena
iskhemik pada arteri basilaris.
17
Page 18
IV. Faktor Resiko Stroke
a. Hipertensi. Kenaikan tekanan darah 10 mmHg saja dapat meningkatkan
resiko terkena stroke sebanyak 30%. Merupakan faktor yang dapat
diintervensi.
b. Arteriosklerosis, hiperlipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, usia
lanjut, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah tepi, hematokrit tinggi,
dan lain-lain.
c. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin)
dan obat-obatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama
pada wanita perokok atau dengan hipertensi.
d. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia,
kelainan koagulopati, dan kelainan darah lainnya.
e. Beberapa penyakit infeksi, misalnya lues, rematik (SLE), herpes zooster,
juga dapat merupakan faktor resiko walaupun tidak terlalu tinggi
frekuensinya.
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Genetik
Faktor resiko yang dapat diubah/ diobati/ dikendalikan/ diperkecil :
a. Hipertensi
b. Diabetes Melitus
c. Penyakit Jantung
d. Riwayat TIA/ stroke sebelumnya
e. Merokok
f. Kolesterol tinggi
g. Hiperurisemia
18
Page 19
h. Infeksi
i. Darah kental, hiperagregasi
platelet
j. Obesitas
k. Alkoholisme
l. Obat-obatan (kokain, amfetamin,
extasy, heroin, pil kontrasepsi dll)
V. Patofisiologi Stroke
Otak yang hanya 2% dari berat seluruh badan relative menerima banyak
darah (15% dari seluruh darah yang dipompa oleh jantung per menit). Otak
selanjutnya memakai 20% kalori dari seluruh oksigen yang diperlukan badan
manusia. Dari hal ini tampak bahwa fungsi otak sangat tergantung dari aliran
darah yang mengalir ke otak.
Pada seorang dewasa yang tidak sakit aliran darah ke otak adalah 50-60
ml/ 100 gram jaringan otak /menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang
kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram, adalah 700-840 ml per menit. Bila
aliran darah ke otak ini turun hingga 18 ml/100 gram jaringan otak/ menit maka
akan terjadi penghentian aktivitas listrik dari neuron (EEG datar, dan gangguan
dari evoced potentials), tetapi struktur sel masih baik, hingga gejala klinis masih
reversible. Ini yang disebut ischemic penumbra, yaitu suatu daerah dimana sel
inaktif, tetapi masih dapat berfungsi lagi bila perfusi menjadi normal kembali
(Chandra. B, 1994).
Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteria
karotis interna dan satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan
vertebrobasilare. Otak yang berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang
merupakan ruang tertutup mempunyai susunan sirkulasi yang sesuai dengan
lokasinya. Konsekuensi dari kedudukan otak dalam suatu ruang tertutup ialah,
19
Page 20
bahwa volume otak ditambah dengan volume liquor dan ditambah dengan
volume darah harus merupakan angka tetap (konstante). Inilah yang disebut
dengan hukum Monroe Kellie. Hokum ini berimplikasi bahwa perubahan
volume salah satu unsure tersebut akan menyebabkan perubahan kompensatorik
terhadap unsur-unsur lainnya oleh karena pada umumnya volume otak dan
volume likuor selalu berubah karena bermacam-macam pengaruh, maka volume
darah selalu akan menyesuaikan diri. Factor-faktor penyesuaian peredaran darah
serebral dapat dibagi dalam factor ekstrinsik dan intrinsic.
Adapun factor-faktor ekstrinsik yang berpengaruh pada sirkulasi
serebral adalah terutama tekanan darah sistemik, kemampuan jantung untuk
memompa darah ke sirkulasisistemik, kualitas pembuluh darahkarotikovertebral
dan kualitas darah yang menentukan viskositasnya. Sedangkan factor intrinsic
yaitu autoregulasi arteri serebral dan factor-faktor biokimiawi regional (Mahar
Mardjono, Priguna Sidharta. 2004).
Pengaliran Darah ke Otak dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:
1. Tekanan Perfusi. Tekanan untuk memompa darah ke otak disebut tekanan
perfusi (TP). Otak mempunyai kemampuan “otoregulasi” yaitu kemampuan
otak untuk mengatur agar aliran darahnya tetap konstan. Kemampuan mengatur
arteriola untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan untuk dilatasi
bila tekanan darah sistemik menurun (pada tekanan darah 50-150 mmHg). Hal
lain yang mempengaruhi Tekanan perfusi adalah Cardiac Output (CO) atau
curah jantung. 2. Keadaan Pembuluh Darah. Bila ada arteriosklerosis,
trombosis, dan emboli, penampang pembuluh darah akan menyempit, bahkan
menjadi tersumbat. Ini disebut sebagai tahanan pembuluh darah otak atau
resistensi jaringan (RJ). 3. Faktor Darah Sendiri, disebut juga faktor
hemereologi, yaitu menyangkut kekentalan dan viskositas darah, sifat-sifat sel
darah, misalnya fleksibilitas sel darah merah dan kemampuan darah untuk
koagulasi.
20
Page 21
Mekanisme terjadinya stroke telah banyak mengalami kemajuan sejak
Prof. Dennis Choi dan Prof. Justin A. Zivin (1991) mengemukakan teorinya.
Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi
kerusakan ( baik karena infark maupun perdarahan). Neuron neuron di daerah
tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan
glutamate, yang selanjutnya akan membanjiri sel sel disekitarnya. Glutamate ini
akan menempel pada membrane sel neuron di sekitar daerah primer yang
terserang. Glutamate akan merusak membrane sel neuron dan akan membuka
kanal kalsium (calcium channel). Kemudian terjadilah influks kalsium yang
mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan
glutamate, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron disekitarnya.
Terjadilah lingkaran setan.
Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu
charged oxygen molecules (seperti nitric acide atau NO), yang akan merombak
molekul lemak di dalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan
terjadilah influks kalsium.
Aliran darah ke otak melalui pembuluh darah dipengaruhi oleh hukum
dari Hagen-Poiseuille yang mengatakan :
Q = Δ P π r4 / 8 L n
Q = aliran darah
Δ P = pressure gradient
R = radius pembuluh darah
L = panjangnya pembuluh darah
N = viskositas darah
Dari hukum ini yang dapat digunakan untuk pengobatan adalah:
pressure gradient,radius pembuluh darah, dan viskositas. Mengenai radius
pembuluh darah dapat dikatakan bahwa pemberian vasodilator ternyata tidak
dapat melebarkan darah di daerah infark, karena pada umumnya pembuluh
21
Page 22
darah di daerah infark sudah menunjukkan dilatasi maksimal akibat akumulasi
karbonmonoksida di daerah infar, yang menyebabkan asidosis. Pemberian
vasodilator hanya akan melebarkan pembuluh darah di daerah sehat, dan justru
akan menarik darah dari daerah iskemik ke daerah sehat. Dengan demikian
gejala klinis akan lebih berat (Chandra. B., 1994).
VI. DIAGNOSA
Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang
diduga mengalami stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk
evaluasi dan terapi. Pertama-tama, dokter akan menanyakan riwayat medis
pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya dan melakukan
pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan
menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian.
Pengetahuan sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan
penilaian (Anonim, 2002).
Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan
pada satu sisi tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak
kemungkinan lain yang mungkin bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi
lain yang dapat serupa stroke meliputi:
Tumor otak
Abses otak (kumpulan nanah di dalam otak karena bakteri atau jamur)
Sakit kepala migrain
Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma
Meningitis atau encephalitis
Overdosis karena obat tertentu
Ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga
menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke.
Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang
sama. Pada saat dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan
22
Page 23
pemeriksaan fisik, perawat akan mulai memonitor tanda-tanda vital pasien,
melakukan tes darah dan melakukan pemeriksaan EKG ( elektrokardiogram)
(Anonim, 2002).
Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah
penggunaan skala stroke. The American Heart Association telah
mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem saraf untuk membantu
penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi
agresif mungkin diperlukan.
Skor stroke Siriraj
(2,5 x derajat kesadaran)+(2 x muntah)+(2 x nyeri kepala)x(0,1 x tekanan
diastolic)-(3 x tanda ateroma)-12
Dimana
Derajat kesadaran 0=kompos mentis; 1=somnolen; 2=spoor/koma
Muntah 0=tidak ada; 1=ada
Nyeri Kepala 0=tidak ada; 1=ada
Ateroma 0=tidak ada; 1=salah satu atau lebih (diabetes, angina,
penyakit pembuluh darah)
Hasil= skor>1 : perdarahan supratentorial
Skor< -1 : infark serebri
(Dewanto, 2007)
Skor strok Gajah Mada
Penurunan
kesadaran
Nyeri kepala babinski Jenis stroke
+
+
-
-
-
+
-
+
-
-
+
-
-
+
-
Hemoragik
Hemoragik
Hemoragik
Iskemik
iskemik
23
Page 24
(Dewanto, 2007)
Skor Stroke (Djoenaidi,1988)
Skor stroke hemoragik dan non-hemoragik
Tanda/Gejala Skor
T.I.A. sebelum serangan 1
Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
Mendadak (beberapa menit - 1 jam)
Pelan-pelan (beberapa jam)
6.5
6.5
1
Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
Waktu istirahat/duduk/tidur
Waktu bangun tidur
6.5
1
Sakit kepala waktu serangan
Sangat hebat
Hebat
Ringan
Tak ada
10
7.5
1
0
Muntah
Langsung habis serangan
Mendadak (beberapa menit - jam)
Pelan-pelan (1 hari atau lebih)
Tak ada
10
7.5
1
0
24
Page 25
Kesadaran
Hilang waktu serangan (langsung)
Hilang mendadak (beberapa menit - jam)
Hilang pelan-pelan (1 hari atau lebih)
Hilang sementara kemudian sadar pula (sepintas)
Tak ada
10
10
1
1
0
Tekanan darah
Waktu serangan sangat tinggi (> 200/110)
Waktu MRS sangat tinggi (> 200/110)
Waktu serangan tinggi (> 140/110 - < 200/110)
Waktu MRS tinggi (> 140/110 - < 200/110)
Tekanan darah tinggi tak terkontrol
7.5
7.5
1
1
7.5
Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk hebat
Kaku kuduk ringan
Tak ada
10
5
0
Fundus okuli
Perdarahan subhyaloid
Perdarahan retina (flame shaped)
Normal
1
7.5
0
Pupil
Isokor
Anisokor
Pinpoint kanan
Midriasis kanan dan kiri
0
10
10
10
25
Page 26
Kecil + reaksi lambat
Kecil + reaktip
10
Skor Total :
Bila skor > 20 termasuk stroke hemoragik, skor < 20 termasuk stroke non-
hemoragik. Ketepatan diagnostik dengan sistim skor ini 91.3% untuk stroke
hemoragik, sedangkan pada stroke non-hemoragik 82.4%. Ketepatan diagnostik
seluruhnya 87.5%
Terdapat batasan waktu yang sempit untuk menghalangi suatu stroke
akut dengan obat untuk memperbaiki suplai darah yang hilang pada bagian otak.
Pasien memerlukan evaluasi yang sesuai dan stabilisasi sebelum obat
penghancur bekuan darah apapun dapat digunakan (Anonim, 2002).
VII. Pemeriksaan penunjang
Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan
penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang
disebut CT scan otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk mencari
perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang sangat berbeda dengan stroke
yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. CT Scan berguna untuk
menentukan:
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
menyingkirkan lesi non vaskuler
26
Page 27
Gambar 5 CT Scan stroke
Gambar 5. CT Scan Stroke Hemoragic dan Stroke Iskemik
27
Page 28
MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan
gelombang magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang
dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi
ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat
selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI
dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih
baik diperlukan untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang
dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di
dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti kuat
suatu MRI (Brunner and Suddarth, 2002).
.
28
Page 29
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga
digunakan untuk secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif
(tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA
(magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan diffusion
weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik
ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke
bagian otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat
mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan
CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali
29
Page 30
lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke
(Brunner and Suddarth, 2002).
Computerized tomography dengan angiography:
menggunakan zat warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan,
gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan informasi tentang
aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran
darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih,
CT angiography menggeser angiogram konvensional (Brunner and
Suddarth, 2002).
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain
yang kadang-kadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa
kateter panjang dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan)
dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil.
Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang
paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan
hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah
perdarahan jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur
ini juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri
carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah
dipertimbangkan untuk dilakukan (Brunner and Suddarth, 2002).
.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-
invasif (tanpa injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang
suara untuk menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah pada
arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak) (Brunner
and Suddarth, 2002).
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung
sering dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli.
30
Page 31
Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang dilakukan
dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun melalui
esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung.
Monitor Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya
tetap menempel pada dada selama 24 jam atau lebih lama untuk
mengidentifikasi irama jantung yang abnormal (Julio, 1997).
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive
protein yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat
memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah
tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena
pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah
perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening mencari infeksi potensial,
anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu
dipertimbangkan (Julio, 2000).
VIII. TATALAKSANA
A. Medikamentosa
Tissue plasminogen activator (TPA)
Terdapat peluang untuk menggunakan alteplase (TPA) sebagai obat
pembasmi bekuan darah untuk memecahkan bekuan darah penyebab stroke.
Makin awal obat tersebut diberikan, makin baik hasilnya dan makin
berkurangnya potensi komplikasi perdarahan dalam otak.
31
Page 32
Pedoman American Heart Association yang terbaru
merekomendasikan jika obat ini digunakan, TPA harus diberikan dalam 3
jam setelah pertama kali munculnya gejala. Normalnya, TPA diinjeksikan
ke dalam vena pada lengan. Batas waktu pemakaian dapat diperpanjang
sampai 6 jam jika diberikan dalam tetesan langsung ke pembuluh darah
yang tersumbat. Ini biasa dilakukan oleh seorang ahli radiologi intervensi,
dan tidak semua rumah sakit mempunyai akses terhadap teknologi ini.
Untuk stroke sirkulasi bagian bawah yang melibatkan sistem
vertebrobasilar, batas waktu terapi dengan TPA dapat diperpanjang hingga
lebih lama sampai 18 jam (Brunner and Suddarth, 2002).
Heparin dan aspirin
Obat-obat untuk darah yang kental (antikoagualan; seperti, heparin)
juga kadang-kadang digunakan untuk menerapi pasien stroke dengan
harapan terjadi peningkatan pemulihan pasien. Namun tidaklah jelas, apakah
penggunaan antikoagulan memperbaiki hasil akhir pengobatan stroke atau
secara sederhana membantu mencegah stroke berikutnya (subsequent
stroke). pada pasien tertentu, aspirin diberikan setelah munculnya stroke
benar-benar memberikan efek pemulihan yang walaupun kecil tapi terukur.
Dokter yang menerapi akan menentukan obat-obatan yang digunakan
berdasasrkan kebutuhan spesifik pasien (Brunner and Suddarth, 2002).
Mengelola masalah medis lainnya
Pengontrolan tekanan darah tinggi dan kolesterol merupakan kunci
untuk mencegah kejadian stroke di masa dtang. Pada Transient Ischemic
Attack (TIA), pasien mungkin diberikan obat meskipun tekanan darah dan
kadar kolesterolnya masih bisa diterima. Pada stroke akut, tekanan darah
akan dikontrol dengan ketat untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
(Brunner and Suddarth, 2002)..
32
Page 33
Pada pasien dengan diabetes, kadar gula darah (glukosa) sering
meningkat setelah stroke. pengendalian kadar glukosa pada pasien ini dapat
meminimalkan ukuran stroke. akhirnya, oksigen dapat diberikan kepada
pasien stroke jika memang diperlukan (Brunner and Suddarth, 2002).
IX. Komplikasi
Komplikasi pada stroke sering terjadi dan menyebabkan gejala klinik stroke
menjadi semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus dikenali sejak dini
sehingga dapat dicegah agar tidak semakin buruk dan dapat menentukan terapi
yang sesuai.Komplikasi pada stroke yaitu:
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama): ( Anonim, 2003 )
1) Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi, dapat
menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat, terjadi peningkatan
tekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian.
2) Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke,merupakan penyebab kematian mendadak pada
stroke stadium awal.sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita
gangguan ritme jantung.( Chalela Julio and Smith Teresa, 1997 )
3) Kejang: kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik
dan pada umumnya akan memperberat defisit neurologis.
4) Nyeri kepala
5) Gangguan fungsi menelan dan asprasi
b. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama): ( Anonim, 2002 )
1. Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama, merupakan salah satu
komplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering, terjadi kurang
lebih pada 5% pasien dan sebagian besar terjadi pada pasien yang
33
Page 34
menggunakan pipa nasogastrik. ( Chalela Julio and Smith Teresa,
2000 )
2. Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi. ( Chalela Julio and Smith Teresa,
2000 )
3. Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke.
Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien
stroke. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke
ini.
4. Stroke rekuren
5. Abnormalitas jantung
6. Deep vein Thrombosis (DVT)
7. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin
c.Komplikasi jangka panjang
1) Stroke rekuren
2) Abnormalitas jantung
3) Kelainan metabolik dan nutrisi
4) Depresi
5) Gangguan vaskuler lain: Penyakit vaskuler perifer.
( Smith Teresa, 2000 )
B. REHABILITASI MEDIS PADA PASIEN
STROKE
Stroke adalah penyebab kematian ketiga dan penyebab kecacatan jangka
panjang di Amerika Serikat. Kurang lebih 4 juta orang Amerika hidup dengan
stroke dan segala efeknya. Menurut National Stroke Association, pada penderita
stroke :
10% sembuh total
34
Page 35
25% sembuh dengan sedikit gangguan minor
40% didapatkan gangguan tingkat sedang hingga lanjut yang memerlukan
perawatan khusus
10% memerlukan perawatan khusus dengan perawat di rumah atau melalui
fasilitas jangka panjang (long-term facility)
15% meninggal
14% mengalami stroke ulangan satu tahun pasca stroke yang pertama
(National Institutes of Neurological and Disorder of Stroke, 2007)
Aspek dari stroke yang memerlukan rehabilitasi medis, antara lain:
1. Kelemahan (hemiparesis) atau paralisis (hemiplegia), bisa terjadi pada salah
satu sisi yang dapat mempengaruhi tubuh secara keseluruhan.
2. Spastisitas, kekakuan otot,dan nyeri akibat spasme otot.
3. Masalah yang berkaitan dengan keseimbangan dan koordinasi tubuh.
4. Masalah yang berkaitan bahasa.
5. Mengabaikan salah satu sisi tubuh (bodily neglect or inattention)
6. Nyeri dan masalah yang berkaitan dengan sensasi tubuh.
7. Masalah yang berkaitan dengan memori, kemampuan berfikir, perhatian, dan
belajar.
8. Kesulitan menelan
9. Masalah berkaitan dengan control terhadap bowel atau bladder
10. Fatigue
11. Emosi yang labil
12. Depresi
13. Kesulitan menyelesaikan tugas sehari-hari
14. Mengabaikan efek dari stroke itu sendiri
(Joel Stein et al, 2009)
I. Tujuan Rehabilitasi Medis
35
Page 36
Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah memungkinkan penderita
untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan produktivitas seoptimal
mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi yang komplek.
Walaupun kemampuan fungsional dapat didapatkan kembali segera setelah
serangan stroke, penyembuhan adalah proses yang terus menerus.(Anonim,2007)
Keberhasilan rehabilitasi tergantung pada:
Tingkat kerusakan otak
Skill dari tim rehabilitasi medis
Kerja sama keluarga dan teman penderita. Perhatian dan dukungan
dari keluarga adalah factor terpenting di dalam rehabilitasi medis
Waktu rehabilitasi. Semakin awal memulai program rehabilitasi, akan
semakin besar peluang mendapatkan kembali kemampuan dan skill penderita
yang hilang (Anonim,2007)
.
II. Progam dan Tim Rehabilitasi Medis Pasien Stroke
Beberapa tipe dari program rehabilitasi
1. Hospital programs yaitu pada perawatan fase akut atau rehabilitasi di rumah
sakit.
2. Perawatan jangka panjang dengan tim rehabilitasi yang terlatih (Long-term
care facility)
3. Out patient programs
4. Home-based programs
(Anonim,2008)
Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini:
1. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan
2. Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan lengan dan tangan
3. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan
36
Page 37
4. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam merawat
orang yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan mereka hadapi.
(Anonim,2008)
Tim rehabilitasi:
1. Dokter (spesialis rehabilitasi medis, neurologists, internis, ahli geriatri dan
dokter keluarga)
2. Perawat rehabilitasi medis (Rehabilitation nurses)
3. Physical therapists : membantu untuk mengembalikan fungsi fisik penderita
dengan evaluasi dan pemecahan terhadap masalah yang berkaitan dengan
gerakan, keseimbangan, dan koordinasi.
4. Occupational therapists: melatih kemampuan untuk beraktifitas sehari hari
5. Speech-language pathologists: memberikan terapi wicara dan meningkatkan
kemampuan berbahasa.
6. Pekerja sosial medis
7. Psikolog: menangani kesehatan mental dan emosi pasien
8. Therapeutic recreation specialists: membantu pasien untuk kembali menekuni
aktifitas yang mereka sukai seperti sebelum stroke.
(Anonim,2008)
III. Pola Pendekatan Rehabilitasi Medik Stroke
Intensitas dari pelayanan rehabilitasi adalah prediktor kesembuhan pasien
stroke yang paling sederhana, terutama pada permulaan terapi hingga terapi yang
intensif. Pola pendekatan yang sering digunakan, secara garis besar dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Compensatory Approach
Compensatory Approach adalah pola pendekatan unilateral dimana
tujuan dari pola pendekatan ini adalah untuk membentuk suatu kompensasi
dari sekitarnya yang memungkinkan kemandirian yang lebih besar dari
37
Page 38
penderita dan mengurangi ketunaan. Pola pendekatan ini secara langsung
diperlukan untuk mendukung fungsi eksekutif penderita. Akan tetapi, pada
pendekatan ini, tidak menuntut teratasinya disfungsi eksekutif itu sendiri
(David A. Gelber et al, 1995).
2. Neuro Developmental Treatment (NDT) Approach
Pendekatan Neuro-Developmental Treatment (NDT) adalah
pendekatan berdasar pemecahan masalah, yaitu pada pemeriksaan dan terapi
terhadap gangguan (impairments) dan keterbatasan fungsional (functional
limitations) dari individu dengan kelainan neurogis, pasien anak dengan CP,
dan pasien dewasa dengan stroke atau trauma pada otak. Pada pasien tersebut
terdapat kelainan postur dan gerakan yang menimbulkan keterbatasan
aktifitas. NDT memfokuskan pada analisis dan terapi terhadap gangguan dari
sensorimotor dan keterbatasan fisik dimana physical therapists (PT),
occupational therapists (OT), dan speech and language pathologists (SLP)
berada. Pendekatan NDT merupakan pola pendekatan bilateral yang
didasarkan pada inhibisi reaksi postural yang abnormal, fasilitasi reaksi
postural yang normal dan re-learning (Janet M Howle, 2002).
Pemeriksaan dan evaluasi yang menyeluruh merupakan dasar dari
terapi ini. Pemeriksaan dimulai dengan identifikasi terhadap kemampuan
pasien dan keterbatasannya. Pendekatan NDT menganggap individu sebagai
satu kesatuan dan mengenali bahwa setiap ekspresi dari seseorang –psikologi,
emosi, kognisi, persepsi, dan fisik- bernilai dan berkontribusi terhadap
berbagai macam fungsi. Pemeriksaan memfokuskan pada identifikasi
fungsional pasien dan keterbatasan mereka. Juga menganalisis hasil evaluasi,
mengutamakan efektifitas postur dan gerakan, serta menyimpulkan efek
sistemik yang mempengaruhi dari fungsi (Janet M Howle, 2002).
Hasil yang diharapkan dari intervensi NTD adalah pasien dapat
menggunakan posture yang baru atau mendapatkan kembali postur atau
38
Page 39
gerakan sehingga kemampuan hidup yang efektif dapat didapatkan kembali.
Strategi ini dapat mengurangi gangguan sekunder yang dapat menyebabkan
keterbataasan dan kecacatan lainnya (Janet M Howle,2002).
Pendekatan dengan NTD berlanjut semakin lengkap karena adanya
informasi yang baru, teori baru, dan model yang konsisten pada clinical
evidence yang bertumpu pada ilmu pengetahuan tentang gerakan (movement
sciences). Sebagai tambahan, karena terjadi perubahan karekteristik dari
populasi dengan kelainan system saraf pusat, pola pendekatan ini akan
berkembang memenuhi kebutuhan pasien (Janet M Howle,2002).
Berdasarkan uji control dan trial, dari kedua macam pola pendekatan
tersebut tidak ada yang lebih unggul dibandingkan metode pendekatan yang
lain. Tidak ada perbedaan dalam efektikitas terapi berdasarkan pendekatan
neurodevelopmental maupun nonneurodevelopmental. Efektifitas keduanya
sama berkaitan dengan status fungsional dan kualitas hidup dari pasien post
stroke selama 1 tahun sejak onset pertama stroke. Keduanya tidak didapatkan
perbedaan yang signifikan pada skor cara berjalan, kemampuan motor
ekstremitas atas, ataupun skor pengukuran tingkat ketergantungan (Functional
Independence Measure/FIM) dimana pengukuran dilakukan selama perawatan
di rumah sakit, dan setelah follow up 6-12 bulan. Tidak terdapat perbedaan
yang signifikan lama perawatan (length of stay) rehabilitasi medis antara
keduanya. Data ini menunjukkan bahwa baik pendekatan compensatory dan
NDT keduanya mempunyai efektifitas yang sama dalam mengatasi
hemiparesis pada stroke, yaitu pada functional outcomes, gait measures, and
upper extremity motor skill ( T. Hafsteinsdottir et al, 2005).
IV. Pedoman Dasar Penanganan Post Stroke
39
Page 40
Terapi rehabilitasi dimulai saat perawatan akut RS setelah kondisi
kesehatan pasien stabil (sering terjadi pada 24-48 jam setelah serangan stroke).
(National Institut of Health, 2008)
1-3 hari Bedside
Positioning. Pasien dianjurkan untuk sering mengubah posisi
sementara dia berbaring di tempat tidur.
Pressure areas (kurangi tekanan pada daerah yang sering
tertekan, misal : lutut, sakral)
Awali dengan latihan PROM (Passive Range of Motion) dan
AROM (Active Range of Motion). PROM adalah suatu
pergerakan dimana terapist secara aktif membantu gerakan
pasien pada suatu anggota tubuhnya secara berulang,
sedangkan AROM adalah suatu pergerakan yang dilakukan
oleh pasien tanpa bantuan dari penterapi. Hal ini bertujuan
untuk memperkuat anggota badan yang mengalami
kerusakan akibat stroke.
3-5 hari Evaluate ambulation. Menilai kemampuan pasien dalam
menggerakkan anggota tubuhnya.
Evaluate ST/OT. Menilai kemampuan pasien dalam hal
berbicara dan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Berikan sling jika terjadi subluksasi bahu
7-10
hari
Aktivitas berpindah. Pasien berpindah mulai bangun dari
posisi tidur ke posisi duduk, kemudian berpindah dari tempat
tidur ke kursi.
Aktivitas sebelum berjalan. Setelah aktivitas berpindah
berhasil dilakukan, pasien berusaha berdiri dari kursi dan
melatih kekuatan tungkainya untuk persiapan berjalan.
40
Page 41
Latihan ADL : latihan perawatan pagi hari seperti mandi,
berpakaian, dan menggunakan toilet.
Evaluasi psikologi. Menilai gangguan emosional pasien
seperti adanya perasaan takut, gelisah, frustasi, marah, dan
perasaan sedih karena kehilangan kemampuan fisik dan
mental mereka.
Komunikasi, menelan. Pada pasien stroke akan mengalami
kelainan pada fungsi kognitif dan komunikasi, kemampuan
berbahasa dan kemampuan untuk menelan. Maka diperlukan
Speech therapist untuk melatih pasien ini.
2-3
minggu
Team / family planning. Untuk merawat dan mengembalikan
keadaan dan fungsi anggota tubuh pasien stroke diperlukan
suatu team yang multidisipliner. Team rehabilitasi tersebut
terdiri dari psikiater, ahli saraf, ahli neuropsikologi, ahli
psikologi, perawat, case manager, pekerja sosial, physical
therapist, ocupational therapist, speech therapist, ahli gizi,
ahli terapi rekreasi.
Therapeutik home evaluation
3-6
minggu
Home program. Pasien diharapkan dapat menyesuaikan
program rehabilitasinya dan mengikuti sesuai jadwal nya
sendiri. Kekurang dari home program adalah peralatan
khusus yang kurang untuk melakukan terapi. Namun,
perawatan dirumah memberikan kesempatan pasien untuk
melatih kemampuannya dan mengembangkannya dalam
lingkungan hidup yang sebenarnya.
Independent ADL dan Transfer dan mobility. Pasien
diharapkan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan
berpindah tempat maupun berjalan tanpa bantuan orang lain
41
Page 42
(berusaha mandiri).
10-12
minggu
Follow up untuk mengetahui seberapa besar perkembangan
hasil dari terapi pasien.
Review Fungctional Abilities. Memberikan tes untuk menilai
sampai dimanakah kemampuan pasien dalam menggunakan
fungsi anggota tubuhnya.
Discuss of rehabilitation Team and Family.
V. Program Post Stroke
1. Fisioterapi
Penanganan fisioterapi pasca stroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi
pasien untuk dapat meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya. Berbagai
metode intervensi fisioterapi seperti pemanfaatan electrotherapy, hidrotherapy ,
exercise therapay (Bobath method, Proprioceptive Neuromuscular Facilitation,
Neuro Developmental Treatment, Sensory Motor Integration, dll.) telah terbukti
memberikan manfaat yang besar dalam mengembalikan gerak dan fungsi pada
pasien pasca stroke. Akan tetapi peran serta keluarga yang merawat dan
mendampingi pasien juga sangat menentukan keberhasilan program terapi yang
diberikan. Kemampuan anggota keluarga memberikan penanganan akan
berdampak sangat baik bagi pemulihan pasien (Jowir,2008).
Penanganan fisioterapi pasca stroke pada prinsipnya adalah proses
pembelajaran sensomotorik pada pasien. Akan tetapi interaksi antara pasien dan
fisioterapis amat sangat terbatas, lain halnya dengan keluarga pasien yang
memiliki waktu relatif lebih banyak. Dampak lain adalah jika pemahaman
anggota keluarga kurang tentang penanganan pasien stroke maka akan
menghasilkan proses pembelajaran sensomotorik yang salah pula. Hal ini justru
akan memperlambat proses perkembangan gerak (Jowir,2008).
42
Page 43
Ada beberapa bentuk metode atau tipe latihan yang dapat diaplikasikan
oleh pasien stroke diantaranya adalah :
a.) Conservative/Tradisional :
Metode latihan ini terkesan umum dan latihan-latihannya pun didasarkan
penekanan pada pencegahan & perawatan kontraktur dengan mempertahankan
luas gerak sendi atau latihan Range Of Motion (ROM exercises).
Memperkenalkan mobilisasi dini ke pasien dengan cara pengoptimalan sisi yang
sehat untuk mengkompensasi sisi yang sakit. Tipe jenis latihannya adalah
penguatan dengan menggunakan tahanan (Jowir,2008).
b.) Propioseptive Neuromuscular Fascilitation (Metode PNF)
Metode latihan ini bertujuan untuk merangsang respon mekanisme neuromuskuler
melalui stimulasi proprioseptor. Bertujuan memfasilitasi pola gerakan sehingga
mencapai “functional relevant” dengan tujuan memfasilitasi irradiasi impuls
untuk tubuh bagian lain yang berhubungan dengan gerakan utama. Menggunakan
rangsangan proprioseptif (streetching/peregangan otot, active movement/gerakan
sendi dan resisted/tahanan terhadap kontraksi otot sebagai input sensorik yang
didesain untuk memfasilitasi kontraksi otot spesifik) (Jowir,2008).
Tehnik-tehnik dari PNF dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pemberian tahanan maksimal
2. Traksi & aproksimasi sendi
3. Quick stretch
4. Cutaneous pressure (hold & grip)
5. Gerakan sinergis (untuk memperkuat gerakan yang lemah)
6. Mempergunakan aba-aba yang sederhana (verbal)
7. Pola gerak : spiral – diagonal
(Jowir, 2008)
c.) Movement Therapy/Brunnstorm
43
Page 44
Konsepnya adalah reedukasi otot menggunakan latihan refleks. Dasar teorinya
adalah kerusakan susunan syaraf pusat telah menyebabkan evolusi terbalik &
regresi kembali ke pola gerak filogenetik yang lebih tua (terjadi sinergi dan
refleks primitive). Sinergi & refleks primitive ini dianggap sebagai bagian normal
dari proses penyembuhan sebelum terbentuk pola baru. (Jowir,2008)
2. Okupasi terapi
Okupasi terapis mendesain sebuah aktivitas yang bersifat terapeutik
atau bertujuan. Memberikan latihan dalam perawatan diri maupun latihan untuk
dapat mandiri dan kembali bekerja. Salah satu intervensi yang penting adalah
melatih keluarga atau orang lain yang merawat penderita tentang beberapa cara
mencegah komplikasi, memotivasi penderita untuk melakukan
kegiatan/aktifitas. Adapun program yang diberikan meliputi: (Fahrudin,2008)
a. Program Kognitif
Pelaksanaan program ini terdiri dari beberapa komponen, antara lain;
(Oliver Godefroy,2005)
1. Arousal
Pasien dilatih untuk memberikan respon secara konsisten pada sensori input,
misal; membuka mata, gerakan mata mengikuti suatu benda.
2. Orientasi
Pasien dilatih untuk mengidentifikasi orang, tempat dan waktu serta situasi.
3. Attending Behaviour
Pasien dilatih untuk memfokuskan perhatian pada objek/target di lingkungan
sekitar
4. Recognition (pengenalan)
Pasien dilatih untuk dapat mengenal suatu objek, wajah, dan lainnya yang
sebelumnya sudah diperlihatkan.
44
Page 45
5. Memori
Pasien dilatih untuk memanggil kembali informasi yang sudah diberikan pada
waktu yang sebentar atau yang sudah lama tersimpan.
6. Kategorisasi
Pasien dilatih untuk mengkategorikan objek dan konsep.
7. Concept formation
Pasien dilatih untuk membayangkan kualitas serta arti dari suatu objek atau
peristiwa kemudian menggambarkannya kualitas dan arti tersebut pada semua
objek atau peristiwa yang tepat.
8. Sequencing
Pasien dilatih dalam menyusun informasi atau objek menurut peraturan yang
khusus, atau kemampuan untuk menyusun informasi atau objek dengan cara
yang logis.
9. Problem Solving
Pasien dilatih untuk mengenal masalah, menjabarkan masalah,
mengidentifikasi alternatif rencana, memilih rencana, menyusun tahap-tahap
perencanaan, mengerjakan rencana tersebut, serta mengevaluasi hasil.
10. General Learning
Pasien dilatih untuk dapat menerima informasi, peraturan-peraturan, strategi-
strategi dalam mempelajari sesuatu dan menerapkannya pada situasi yang
mirip secara tepat.
11. Integration of Learning
Pasien dilatih untuk dapat menerapkan konsep dan perilaku yang sebelumnya
sudah dipelajari ke dalam situasi yang baru.
12. Synthesis of Learning
Pasien dapat menerapkan konsep dan perilaku yang dipelajari sebelumnya ke
dalam situasi yang baru.
45
Page 46
b. Program Sensorik
Program ini meliputi komponen-komponen antara lain:
1. Sensori awareness : pasien dilatih unruk dapat menerima, mendeteksi,
megorientasi, dan melokasikan sensori.
2. Proses sensori, yang meliputi;
a. Tactile
Pasien dilatih untuk dapat menganalisa, membedakan serta melokasikan
rangsangan dari reseptor sentuhan pada kulit termasuk membedakan jari-jari.
b. Propioceptive
Pasien dilatih untuk menginterprestasikan rangsangan dari otot-otot, sendi
serta jaringan-jaringan lain di dalam yang berhubungan dengan posisi dari
bagian anggota tubuh dengan lainnya.
c. Vestibular
Pasien dilatih dalam mengiterpretasikan stimuli dari reseptor bagian dalam
telinga tentang posisi dari kepala ke badan, kepala ke arah vertikal, akselerasi
dan deselerasi.
d. Visual
Pasien dilatih untuk menginterprestasikan, membedakan, dan melokalisasi
rangsangan lewat mata termasuk penggunaan peripheral dan fokus ketajaman
mata dalam respon terhadap sinar atau gelap, fiksasi, tracking dan scanning.
e. Auditory
Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, melokalisasi rangsangan
dari reseptor-reseptor auditory di dalam telinga.
f. Gustatory
46
Page 47
Pasien dilatih untuk menginterprestasikan, membedakan, melokalisasi dari
reseptor-reseptor rasa di mulut.
g. Olfactory
Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, dan menempatkan
rangsangan dari reseptor-reseptor pembauan di dalam hidung.
h. Temperatur
Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, dan menempatkan
rangsangan dari reseptor-reseptor suhu di kulit.
i. Vibration (getaran)
Pasien dilatih dalam menginterprestasikan, membedakan dan menempatkan
rangsangan dari reseptor-reseptor getaran di dalam kulit.
3. Keterampilan sensori, yang meliputi;
a. Stereognosis
Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi suatu objek (ukuran, bentuk,
tekstur) melalui sentuhan.
b. Graphestesia
Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi simbol-simbol atau bentuk tulisan
melalui sentuhan pada kulit.
c. Kinesthesia
Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi arah dan tujuan gerakan sendi.
d. Body Scheme
Pasien dilatih untuk dapat menghubungkan internal awareness dengan bagian
tubuh-tubuh lainnya, termasuk membedakan bagian kanan dan kiri serta
membedakan bagian-bagian tubuh.
e. Form Constancy
Pasien dapat mengenal bentuk-bentuk dan objek pada berbagai jenis, posisi
dan ukuran secara keseluruhan.
f. Spatial Relationship
47
Page 48
Pasien dilatih untuk dapat menerima dirinya dalam hubungannya dengan
objek lain atau oebjek yang berhubungan dengan dirinya.
g. Orientasi Thopografik
Pasien dilatih untuk dapat menentukan lokasi objek melalui rute lokasi yang
diberikan.
h. Visual Closure
Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi objek atau bentuk yang tidak
lengkap.
i. Figure Ground
Pasien dilatih untuk dapat membedakan bagian depan dan belakang dari suatu
objek.
c. Program Motorik
Pelaksanaan program ini meliputi berbagai komponen sebagai berikut:
(Scottish Intercollegiate Networks, 2002)
1. Kematangan reflek;
Pasien dilatih untuk mematangkan reflek primitif dan integrasi sensori.
2. Range of Motion (Lingkup Gerak Sendi);
Pasien dilatih untuk dapat menggerakan semua sendi dalam batas normal.
3. Muscle tone (tonus otot), kekuatan, dan endurance (daya tahan);
Pasien dilatih untuk dapat memperoleh kembali tonus yang normal,
meningkatkan kekuatan otot,
serta meningkatkan durasi ketahanan otot.
4. Kontrol postural;
Pasien dilatih untuk dapat mempertahankan posisi dan kelurusan dari kepala,
leher, trunk dan kelurusan ekstremitas saat dilakukan reaksi equilibrium.
5. Perkembangan motorik kasar;
48
Page 49
Pasien dilatih untuk dapat melakukan gerakan motorik kasar seperti;
berguling, duduk, berdiri, berlari, skipping, loncat dll.
6. Koordinasi motorik kasar;
Pasien dilatih untuk menggunakan group otot yang besar untuk mengontrol
gerakan seperti bilateral standing, reciprocal leg movement dalam bersepeda,
melempar bola, dan menangkap bola.
7. Koordinasi motorik halus; manipulasi, dan ketangkasan;
Pasien dilatih untuk dapat mengontrol gerakan seperti; mengambil pulpen,
menulis surat, memutar mur dan baut.
8. Hand Skills;
Pasien dilatih untuk dalam melakukan dan mempertahankan fungsi tangan
dalam hal pola memegang (grasp pattern).
d. Program Psikososial
Pelaksanaan program ini meliputi; ( Joel Stein et al,2005 )
1. Keterampilan psikologi;
Pasien dilatih untuk memiliki identitas diri, konsep diri, mood yang baik,
minat, inisiasi aktivitas, terminasi aktivitas, stres manajemen, kontrol diri,
kemampuan diri yang realistis, dan ekspresi diri.
2. Keterampilan sosial;
Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi dengan baik, bersosialisasi, memiliki
peran yang sesuai, berparitisipasi dalam group, serta hubungan interpersonal.
e. Terapi Group
Pelaksanaan program terapi group ini adalah melatih pasien, khususnya pada
komponen-komponen sebagai berikut;
1. Hubungan sosial
49
Page 50
Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi menggunakan kesopanan, kontak mata,
gerak-gerik, mendengar, serta ekspresi diri yang tepat dan benar dalam
berhubungan dengan aktivitas-aktivitas sosial.
2. Sosialisasi dan percakapan
Pasien dilatih untuk dapat menggunakan verbal dan nonverbal komunikasi
dalam berinteraksi di dalam berbagai kegiatan sosial.
3. Perilaku peran
Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi peran-peran yang dapat diterima
oleh masyarakat/sosial.
4. Dyadic interaction (hubungan satu – satu)
Pasien dilatih untuk dapat memelihara dan berpartisipasi dalam hubungan one
to one, berupa kerjasama dengan satu orang dalam menyelesaikan suatu
aktivitas.
5. Interaksi antar group
Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi dengan berbagai group yang berbeda.
3. Speech terapy
Speech therapy adalah penyediaan pelayanan yang diberikan oleh
health care profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki
komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa,
termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan. Pelayanan speech
therapy diberikan oleh speech therapist, yang mengetahui kelainan ucapan dan
bahasa. Speech therapist adalah seseorang yang tamat dari pendidikan tinggi,
misalnya perawat, dokter atau occupational therapists. Program speech therapy ini
selalu berkembang, sehingga seorang terapis harus selalu mengikuti
perkembanganya (Farida Aini, 2008).
Tujuan utama dari speech therapy adalah mengembalikan kemampuan
dalam berkomunikasi yang akurat. Tujuan spesifik meliputi :
50
Page 51
1. Kejelasan dalam ucapan.
2. Kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana.
3. Kemampuan membuat perhatian.
4. Kemampuan mengeluarkan kata-kata yang solid/jelas dan dapat
dimengerti.
Gangguan berbicara dapat kita masukkan dalam tiga kelompok, yaitu ;
1. Gangguan artikulasi (Articulation disorders)
Gangguan artikulasi juga diketahui sebagai gangguan phonologikal, melibatkan
ketidakmampuan individu menghasilkan suara yang jelas dan kesulitan
mengkombinasikan bunyi yang serasi dengan kata-kata. Timbul bunyi yang tidak
lazim seperti penggantian, penghilangan, penyimpangan atau penambahan kata-
kata sehingga kalimat kurang bisa dimengerti. Gangguan ini dapat dikategorikan
menjadi 2 yaitu ; gangguan artikulasi motorik (terjadi kerusakan di susunan otak
pusat atau perifer), dan gangguan artikulasi fungsional (ini belum diketahui
penyebabnya).
2. Gangguan kelancaran berbicara (fluency disorders)
Ganggan komunikasi yang diakibatkan adanya perpanjangan atau pengulangan
dalam memproduksi bunyi suara. Gangguan kelancaran berbicara termasuk dalam
abnormalitas kelancaran aliran suara yang keluar, contohnya adalah gagap.
3. Gangguan suara (voice disorders)
Gangguan suara merupakan gangguan berkomunikasi yang diakibatkan oleh
adanya ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat. Hal ini
biasanya disebabkan oleh abnormalitas fungsi laring, saluran pernafasan.
Terdapat ketidakmampuan menghasilkan suara yang berkualitas, nada, resonan
dan durasi yang efektif.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal-hal
sebagai berikut :
51
Page 52
1. Disatria (kesulitan berbicara akibat kasus neurologik), ditunjukkan dengan
berbicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggungjawab untuk menghasilkan bicara.
2. Disfasia atau afasia (hilangnya kemampuan mengekspresikan diri sendiri atau
mengerti bahasa), terutama ekspresif (ketidakmampuan untuk mengekspresikan
diri; dihubngkan dengan area lobus frontal) atau reseptif (ketidakmampuan
mengerti apa yang dikatakan orang lain; sering dihubungkan dengan lobus
temporal kiri).
a. Aculcullia ; dyscalculia adalah kesukaran dalam mengerjakan matematika
atau simbul-simbul angka umum
b. Agnosia adalah kegagalan untuk mengenali benda-benda yang sudah
dikenal sebelumnya dengan merasakannya melalui indera. Macam-macamnya
adalah ; auditory agnosia, color agnosia, tactile agnosia dan visual object
agnosia.
c. Agraphia, dysgraphia adalah gangguan kemampuan menulis kata-kata
d. Alexia; dyslexia adalah kesukaran membaca
e. Anomia, dysnomia adalah kesukaran menyeleksi kata-kata yang tepat
terutama kata benda.
f. Paraphasia adalah menggunakan kata-kata yang salah, pengantian
kata,kesalahan tata bahasa, diobservasi pada bahasa dengan mulut dan tulisan.
g. Perseveration adalah pengulangan terus menerus dan otomatis pada satu
aktivitas atau kata atau kalimat yang tidak tepat.
3. Apraksia (ketidakmampuan melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya),
seperti terlihat saat klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir
rambutnya.
Verbal apraxia adalah kesukaran dalam pembentukan dan
menghubungkan katakata yang dimengerti walaupun susunan otot-otot utuh.
52
Page 53
Pada dasarnya terdapat minimal empat hal yang harus dilakukan pada
klien aphasia, yaitu sebagai berikut ;
1. Meningkatkan harga diri positif
Klien aphasia harus banyak diberikan pengalaman psikologis karena cenderung
mengalami depresi, marah, frustasi, takut akan masa depan dan hilangnya
harapan. Oleh karena itu dibutuhkan kesabaran dan pengertian dari lingkungan
sekitar. Perawat harus menerima klien apa adanya, tidak memaksakan hal yang
tidak klien bisa, berikan dukungan, ciptakan lingkungan tenang, serba
membolehkan dan anjurkan klien bersosialisasi.
2. Meningkatkan kemampuan komunikasi
Klien aphasia perlu dipimpin untuk dalam upaya meningkatkan ketrampilan
berkomunikasi. Petingnya peningkatan kemampuan berbicara, menulis, membaca
dan berbahasa. Klien dapat dibantu dengan papan komunikasi, gambar-gambar
sesuai kebutuhan.
3. Meningkatkan stimulasi pendengaran
Klien dianjurkan untuk mendengar dengan teliti. Berbicara adalah berfikir keras
dan penekanya pada berfikir. Klien harus berfikir dan menyusun pesan-pesan
yang masuk dan merumuskan suatu respon. Perawat harus ingat saat berbicara
dengan klien harus memperhatikan klien dan membicarakan hal-hal pokok pikiran
saja.
4. Membantu koping keluarga
Sikap keluarga merupakan hal penting dalam menolong klien meyelesaikan
masalahnya. Oleh karena itu anggota keluarga didorong untuk melakukan secara
alamiah dan menyenangkan klien dengan cara yang sama seperti sebelum sakit.
Mereka harus sadar akan kemampuan klien dalam berbicara sehingga keluarga
dapat memaklumi jika klien mogok bicara bila kontrol emosi menurun atau
menangis dan tertawa tanpa sebab. Jelaskan adanya kelompok pendukung seperti
53
Page 54
perkumpulan stroke, kelompok terapi aphasia, dapat membantu dalam sosialisasi
dan memotivasi klien untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan.
4. Terapi bladder: treatment inkontinensia urin
Inkontinensia urin adalah gangguan eliminasi urin (incontinensia urin)
yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Terapi ini bertujuan agar pasien mampu
mengontrol eliminasi urinya. Pada terapi ini direncanakan beberapa terapi
seperti :
a) Mengidentifikasi pola berkemihnya
b) Pembatasan input cairan selama malam hari
c) Mengajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan
kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)
d) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal
yang telah direncanakan
e) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per
hari bila tidak ada kontraindikasi)
(Scottish Intercollegiate Networks, 2002)
Tujuan dari tindakan tersebut antara lain :
a) Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih
yang berlebih
b) Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis
c) Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih
54
Page 55
d) Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih
e) Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal.
(Scottish Intercollegiate Networks, 2002)
5. Terapi bowel: treatment inkontinensia alvi
Inkontinensia alvi adalah gangguan eliminasi alvi (konstipasi)
berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat. Terapi ini
bertujuan agar pasien tidak mengalami konstipasi, dapat defekasi secara spontan
dan lancar tanpa menggunakan obat. (Scottish Intercollegiate Networks, 2002)
Rencana tindakan :
a) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi
b) Auskultasi bising usus
c) Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat
d) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi
e) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien
f) Pemberian pelunak feses (laxatif, suppositoria, enema)
Tujuan tindakan tersebut adalah :
a) Pasien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi
b) Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik
c) Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi
reguler
d) Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang
sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
e) Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto
abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik
55
Page 56
f) Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan
massa feses dan membantu eliminasi
6. Terapi ganguan integritas kulit
Gangguan integritas kulit adalah gangguan integritas kulit berhubungan
dengan tirah baring lama. Tujuannya adalah pasien mampu mempertahankan
keutuhan kulit. (Scottish Intercollegiate Networks, 2002).
Rencana tindakan :
a) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika
mungkin
b) Rubah posisi tiap 2 jam
c) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang
menonjol
d) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan
pada waktu berubah posisi
e) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi
f) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap
kulit
Tujuan :
a) Meningkatkan aliran darah kesemua daerah
b) Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
c) Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
d) Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler
e) Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan
f) Mempertahankan keutuhan kulit
7. Psikoterapi
56
Page 57
Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang
paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas
menderita depresi, sedangkan pasien stroke yang dirawat di rumah sakit, sekitar
30%-40% menderita depresi (Amir, 2005).
Depresi Pasca Stroke (DPS)
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah
gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu.
Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama dengan symptom DPS.
Sekitar 50% pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan
adanya kesedihan, kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari,
hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit berkonsentrasi dan
berpikir, serta pikiran-pikiran tentang kematian (Amir, 2005).
Depresi perlu diidentifikasi secara dini, makin dini penatalksanaan
makon baik prognosisnya. medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi
kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau terapi gabungan antara terapi cahaya
dan medikasi (Amir, 2005).
Patofisiologi Depresi Pasca Stroke
Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh
disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoni-nergik dan noradrenergik terletak di
batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke
korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis
dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh deplesi
serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis (Amir, 2005).
Respons biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi
hemisfer kiri menyebab-kan penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi
peninggian regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya
57
Page 58
lesi hemisfer kanan menyebabkan pe-ninggian regulasi serotonin (karena
mekanisme kompensasi yang bersifat protektif terhadap depresi (Amir, 2005).
Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neuro-
hormonal. Teori neurofisiologik penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin
terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau menyeluruh pada depresi atau
beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien depresi (Amir,
2005).
Klasifikasi DPS
1. Lesi Korteks dan Subkorteks
Tidak terdapat kejadian depresi yang bermakna antara lesi di korteks
dengan subkorteks. Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara
bermakna pada lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi di
hemisfer kanan. Bila dilihat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks
frontal kiri anterior lebih sering mengalami depresi dibendingkan
dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior (Amir, 2005).
2. Lesi Sirkulasi Serebri Media dan Posterior
Lesi sikulasi serebri posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporo-
oksipital dari lesi batang otak / serebelum. Depresi mayor/minor
terjadi pada serebri media berbeda dengan lesi di batang
otak/serebelum. Hal ini karena lesi di batang otak biasanya kecil dan
tidak begitu merusak jaras biogenik amin yang berperan penting dalam
memodulasi emosi (Amir, 2005).
3. Lesi Hemisfer Kanan
58
Page 59
Riwayat psikiatrik dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan
yang menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna bila
dibandingkan dengan pasien lesi di hemisfer kanan yang tidak depresi.
Meskipun lesi anterior kiri dan posterior kanan berhubungan dengan
depresi pascastroke, tidak semua pasien dengan lesi ini menjadi
depresi. Pasien depresi lebih sering mempunyai riwayat keluarga atau
pribadi menderita depresi dibandingkan dengan pasien non depresi,
lokasi bukanlah faktor tunggal dalam trejadinya depresi pascastroke
(Amir, 2005).
Diagnosis
Gejala klinis depresi :
Gambaran emosi
Mud depresi, sedih atau murung
Iritabilitas, ansietas
Ikatan emosi berkurang
Menarik diri dari hubungan interpersonal
Preokupasi dengan kematian
Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri
Gambaran kognitif
Mengritik diri sendiri, perasaan tk berharga, rasa bersalah
Pesimis, tidak ada harapan, putus asa
Bingung, konsentrasi buruk
Tak pasti dan ragu-ragu
Berbagai obsesi
Keluhan somatic
Gangguan memori
Ide-ide mirip waham
59
Page 60
Gambaran vegetatif
Lesu dan tak ada tenaga
Tak bisa tidur atau banyak tidur
Tak mau makan atau banyak makan
Penurunan berat badan atau penambahan berat badan
Libido terganggu
Variasi diurnal
(Amir, 2005)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
a. Pola tidur
Latensi REM memendek waktu antara masuk tidur dengan mulai tidur REM
(indikator paling baik) sering terbangun, terbangun dini hari, penurunan tidur
NREM peningkatan densitas REM (frekuensi gerakan bola mata cepat pada
tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan untuk depresi.
b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal
Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap
TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).
c. Bila setelah pengobatan Dexamethasone suppression test (DST) positif,
merupakan indikator hasil terapi yang buruk.
Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak cukup baik (terlalu
banyak positif palsu dan negatif palsu)
(Amir, 2005)
Penatalaksanaan Depresi
Terapi Farmakaologi
60
Page 61
Antidepresan
1. Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresan terbaru.
2. Jika tak berhasil, pertimbangkan antidepresan trisiklik, atau MAOI (terutama
pada depresi "atipikal") atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak
berhasil.
3. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa antidepresan
dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar.
4. Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk
beberapa bulan, kemudian diturunkan.
5. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan jangka panjang. Anti
depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi.
(Amir, 2005)
Antidepresan dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan
setelah remisi. Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan
antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik
atipik juga terlihat efektif (Amir, 2005).
Terapi Non Farmakologi
Psikoterapi
Psikoterapi untuk DPS dapat diberikan secara individu, kelompok, atau
pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien
dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang
sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan
psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya.
1. Terapi kognitif (TK)
Depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan ketrampilan dan
memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini
bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang
61
Page 62
sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-
pasien depresi.
2. Terapi perilaku
Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam
tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan.
3. Terapi kelompok
Beberapa keuntungan terapi kelompok.
1. Biaya lebih murah
2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan problem
yang sama
3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktekkan
ketrampilan perilaku interpersonal yang baru
4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru
Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan
juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi lebih berat terapi
individu lebih efektif.
4. Terapi perkawinan
Psikoterapi berorientasi tilikan (insight) Jangka terapi cukup lama, dapat
berguna pada pasien depresi minor kronik tertentu dan beberapa pasien
dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik
5. Deprivasi tidur parsial
Bangun mulai di pertengahan malam dan tetap jaga sampai malam berikutnya,
dapat membantu mengurangi gejala-gejala depresi mayor buat sementara
(Amir, 2005).
Terapi Kejang Listrik (TKL)
Menjadi terapi pilihan bila :
a. Obat tak berhasil
62
Page 63
b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh diri yang
akut).
c. Pada beberapa depresi psikotik.
d. Pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya pasien tua
yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90% pasien memberikan
respons (Amir, 2005).
Latihan fisik
Lari dan berenang dapat memperbaiki depresi, dengan mekanisme
biologis yang belum dimengerti dengan baik. Ketika seorang pasien stroke telah
siap untuk pulang ke rumah, seorang perawat sebaiknya datang ke rumah selama
periode waktu tertentu sampai keluarga terbiasa dengan merawat pasien dan
prosedur untuk memberikan bermacam obat. Terapi fisik dapat dilanjutkan di
rumah (Amir, 2005).
Pada akhirnya pasien bisa ditinggalkan di rumah dengan satu atau
lebih orang yang menjaganya, yang sekarang mendapati hidupnya telah sangat
berubah.
Merawat pasien stroke di rumah dapat sangat mudah atau sangat tidak
mungkin. Pada waktunya, ini akan menjadi jelas bahwa pasien harus ditempatkan
pada fasilitas perawatan yang terlatih karena perawatan yang sesuai tidak dapat
diberikan di rumah walaupun keluarga bermaksud baik untuk merawatnya.
Macam-macam rehabilitasi fisik yang dapat diberikan adalah :
1. Bed exercise
a) Positioning
b) Range of movement
c) Breathing
d) Bridging
2. Latihan duduk
3. Latihan berdiri
63
Page 64
4. Latihan mobilisasi
5. Latihan ADL (activity daily living)
Bed Exercise
Latihan Positioning (Penempatan) yang meliputi :
Berbaring telentang Gerakan menekuk dan
meluruskan siku
Latihan mobilisasi
Latihan pindah
64
Page 65
dari kursi roda ke mobil Latihan berpakaian
Latihan membaca Latihan mengucapkan huruf
A,I,U,E,O
65
Page 66
BAB III
KESIMPULAN
Stroke menurut WHO tahun 1983 adalah sindroma klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan
kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali
gangguan vaskular. Etiologi stroke ada beberapa macam diantaranya karena
trombosis cerebral, emboli, Hipoxia umum dan Hipoxia setempat, hipoxia yang
parah, perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoidal.
Klasifikasi stroke dapat dibagi berdasarkan penyebab dan berdasarkan
lokasi lesi. Stroke dapat menyebabkan kematian atau kecacatan jangka panjang
dengan segala efeknya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran dari berbagai disiplin ilmu
kedokteran., diantaranya rehab medik. Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah
memungkinkan penderita untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan
produktivitas seoptimal mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi
yang komplek. Penanganan penderita stroke diantaranya fisioterapi, okupasi terapi,
speech terapi, terapi bladder, terapi bowel, terapi ganguan integritas kulit dan
psikoterapi.
66
Page 67
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nurmiati, 2005. Diagnosis dan Penatalaknasaan Depresi Pascastroke. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Anonim. 2003. Komplikasi pada penderita Stroke. http://www.strokebethesda.com.
Anonim. 2002. Stroke Hemoraghic, Stroke Iskehmik, Serangan Stroke Sesaat http://www.medicastore.com
Anonim. 2007. Pencegahan Stroke Sekunder.www.strokebethesda.com
Anonim. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien Stroke. http://qittun.blogspot.com/2008/08/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan_14.html
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2 Penerbit Jakarta: EGC. Pp : 26-28
Chandra, 1994. Neurologi Klinik. Stroke, Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Unair/ RSUD Dr Soetomo. Pp l:29-31.
Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. 2007. Cardiac Complication of Stroke.
Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. 2000. Stroke-related pulmonary complications and abnormal respiratory patterns. J Neurol sci
Christopher Luzzio, MD. 2001. Posterior Cerebral Artery Srtoke. http://www.emedicine.com/Posteriorcerebralstroke
Corwn Elizabeth, 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Daniel I Slater, MD., Sarah A Curtin, MD. 2001. Middle Cerebral Artery Stroke. http://www.emedicine.com/Middlecerebralstroke
67
Page 68
David A. Gelber, M.D. B. Josefczyk, M.D. Denyse Herrman, P.T., M.S. David C. Good, M.D. Steven J. Verhulst, Ph.D. 1995. Comparison of Two Therapy Approaches in the Rehabilitation of the Pure Motor Hemiparetic Stroke Patient. http://nnr.sagepub.com/cgi/content/abstract/9/4/191
David A Wolk, Brett Cucchiara, and Scott E Kasner. 2001. Anterior serebral Artery Stroke Syndromes.Neurology MedLink.
Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :EGC
Fahrudin. 2008. Program Perkembangan Okupasi Terapi pada Area Tumbuh Kembang di RSU Purworejo.http://cantik-pernik.blogspot.com/2008/12/program-pelayanan-okupasi-terapi-pada.html
Farida Aini. 2008. Speech Therapy pada Klien Stroke. Available at : http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/makalah-speech-therapy.pdf
Huddak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi VI, volume II, Jakarta: EGC
Janet M Howle . 2002. Neuro-Developmental Treatment Approach: Theoretical Foundations and Principles of Clinical Practice. http://www.ndta.org
Joel Stein, Richard L Harvey, Richard F Macko .2009. Stroke Recovery and Rehabilitation. http://books.google.co.id/books
John MW., Jose B., Basilar Artery Stroke. 2001. Neurology MedLink
Jowir. 2008. Fisioterapi All in One : Latihan pada Stroke. Available at : http://seripayku.blogspot.com/2008/06/latihan-pada-stroke.html
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2004. Pp: 274.
Mansjoer, Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus. Pp : 36-38
National Institutes of Neurological and Disorder of Stroke. 2007. Stroke Rehabilitation Information. http://www.ahrq.gov/
68
Page 69
National Institut of Health, 2008. Post-Stroke Rehabilitation Fact Sheet. http://www.ninds.nih.gov/
Olivier Godefroy, Julien Bogousslavsky. 2005. The Behavioral and cognitive neurology of stroke . http://books.google.co.id/books.
Smith Teresa L, MD. 2000. Medical Complication of Stroke. A multicenter study, stroke
Scottish Intercollegiate Networks. 2002. Management of Patients with Stroke. http://www.sign.ac.uk/pdf/sign78.pdf
T Hafsteinsdottir, A Algra, L Kappelle, M Grypdonck. 2005. Neurodevelopmental Treatment After Stroke: a Comparative Study http://jnnp.bmj.com/cgi/content/abstract/76/6/788
69