Page 1
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Pendahuluan
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata, atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubun yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Ikterus sebaiknya diperiksa dalam cahaya
terang siang hari, dengan melihat sclera mata. Karena ikterus yang paling ringan lebih
mudah terlihat pada jaringan permukaan yang kaya jaringan elastin seperti sklera mata
dan jaringan dibawah lidah, dan kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-
2,5 mg/dl, jika ikterus sudah terlihat dengan jelas maka kadar bilirubin mungkin sekitar
angka 7 mg/dl. Kadar normal serum bilirubin adalah berkisar antara 0,3-1,0 mg/dl.
Untuk pendekatan diagnosa terhadap pasien ikterik perlu dipikirkan yaitu apakah
peninggian bilirubin direk atau indirek dan apabila yang meninggi bilirubin indirek
(unconjugated), apakah disebabkan oleh produksi yang meningkat, pengambilan (uptake)
yang berkurang atau gangguan dalam konyugasi. Apabila yang meningkat bilirubin direct
(conjugated) apakah intrahepatik atau ekstrahepatik.
Patofisiologi
Pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase yaitu: 1) Pembentukan bilirubin
(fase pra hepatik), 2) Transpor plasma (Fase prehepatik), 3) Liver uptake (fase intra
hepatik), 4) Konyugasi (fase intrahepatik), 5) Ekskresi bilirubin (fase pasca hepatik).
Fase prahepatik
1. Pembentukan bilirubin: Sekitar 80%-85% bilirubin diproduksi dari pemecahan sel
darah merah yang matang dalam monosit-makrofag sistem. Sedangkan 20% sisanya
dihasikkan dari protein heme yang berasal dari sumsum tulang dan hati. Rata-rata
masa hidup sel darah merah adalah 120 hari. Setiap hari sekitar 50 ml darah dipecah,
dan sekitar 250-350 mg bilirubin dihasilkan.
Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
perantaraan enzim hemeoksigenase, enzim lain biliverdin reduktase merubah
biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama pada sel sistem
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
1
Page 2
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
retikuloendotelial. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab
utama peningkatan pembentukan bilirubin.
2. Transpor plasma: Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi
ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui
membran glomerulus , karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan dengan albumin
ini dapat melemah pada keadaan asidosis dan dengan beberapa obat seperti
sulfonamid dan salisilat. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat dengan mudah mencapai
jaringan seperti susunan saraf pusat, fenomena ini menjelaskan efek neurotoksik yang
ditimbulkan oleh hiperbilirubinemia neonatal.
Fase intrahepatik
3. Liver uptake : Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat pada albumin akan dibawa ke
sel hepar tempat sel tersebut berdosiasi dan bilirubin memasuki sel hepar (hepatosit)
melalui difusi atau transport melalui membran plasma. Proses ambilan dan
penyimpanan bilirubin selanjutnya dalam hepatosit meliputi pengikatan bilirubin
dengan protein protein pengikat anion sitoplasmik, khususnya ligandin yang
mencegah aliran bilirubin kembali kedalam plasma.
4. Konjugasi: Bilirubin tak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut dalam air,
kecuali bila jenis bilirubin terikat dengan dengan molekul albumin, karena albumin
tidak terdapat dalam empedu, maka bilirubin harus dikonversi menjadi derivat yang
larut air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan
oleh konjugasi bilirubin pada asam glukoronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid.
Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh
enzim bilirubin glukoronil transferase.
Fase pascahepatik
5. Ekskresi bilirubin: Bilirubin konjugasi dikeluarkan kedalam empedu, setelah
dikeluarkan kedalam empedu , bilirubin terkonjugasi akan diangkat lewat saluran-
saluran bilier kedalam duodenum. Bilirubin terkonjugasi tidak diabsorpsi kembali
oleh mukosa usus. Jenis bilirubin ini akan diekskresikan tanpa perubahan kedalam
tinja atau dimetabolis oleh bakteri ileum dan kolon menjadi urobilinogen.
Urobilinogen dapat diserap kembali dari usus halus serta kolon dan memasuki
sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen portal diambil oleh hepar dan dieksresikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
2
Page 3
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
kembali kedalam empedu, dan sisanya akan memasuki hepar serta diekskresikan
oleh ginjal. Mekanisme ini disebut fase intestinal metabolisme bilirubin. Dalam
kondisi normal , ekskresi urobilinogen ke dalam urin tidak lebih dari 4 mg. Kalau
ambilan hepatik dan dan ekskresi urobilinogen terganggu (misalnya pada penyakit
hepatoseluler), atau produksi bilirubin mengalami peningkatan yang sangat besar
(misal pada hemolisis), ekskresi urobilinogen tiap hari kedalam air kemih dapat
meningkat secara bermakna. Berbeda dengan kolestasis atau obstruksi bilier ekstra
hepatik akan menggangu fase intestinal metabolisme bilirubin dan menimbulkan
penurunan secara nyata produksi serta ekskresi urobilinogen kedalam urin. Dengan
demikian, pengukuran kadar urobilinogen dalam urin dapat dijadikan alat yang
berguna untuk membedakan keadaan yang mungkin merupakan penyebab
hiperbilirubinemia.
Urin dalam keadaan normal tidak mengandung bilirubin yang terdeteksi lewat
pengukuran kadar yang biasa dilakukan di klinik, karena bilirubin tak terkonjugasi
yang terikat albumin tidak akan tersaring oleh glomerulus ginjal. Karena tidak
terdapat proses sekresi bilirubin dalam tubulus ginjal, bilirubin tak terkonjugasi tidak
diekskresi kedalam urin. Berbeda dengan bilirubin terkonjugasi, dimana merupakan
molekul polar yang tidak terikat albumin, fraksi ini dengan jumlah yang signifikan
akan akan beredar dalam bentuk tidak terikat, kemudian akan disaring oleh
glomerulus renal dan muncul dalam urin. Adanya bilirubin dalam urin menunjukkan
bukti adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi dan dapat dijadikan sarana yang
berguna untuk perbedaan secara dini dalam mengevaluasi gejala ikterus. Garam-
garam empedu akan meningkatkan filtrasi bilirubin konjugasi, dan dengan keadaan
yang berkaitan pada peningkatan garam-garam empedu yang beredar (misalnya
kolestasis, obstruksi bilier ekstrahepatik), ekskresi bilirubin lewat ginjal
memperlihatkan kenaikan yang bermakna.
Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin
Kita harus bisa menentukan apakah keadaan ikterus pada pasien disebabkan oleh
hiperbilirubinemia terkonjugasi atau tidak terkonjugasi. Tanpa adanya pengukuran
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
3
Page 4
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
kimiawi yang tersedia, cara pendekatan yang sederhana adalah dengan menentukan
apakah terdapat bilirubin dalam urin. Tidak adanya bilirubin dalam urin menunjukkan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi karena pigmen ini tidak akan tersaring oleh
glomerulus renal, sebaliknya, keberadaan bilirubin dalam urin menunjukkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Pendekatan dalam penyusunan klasifikasi ikterus dapat
dilihat dibawah ini
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
A. Overproduksi
1. Hemolisis
2. Eritropeisis inefektif
B. Penurunan ambilan hepatik
1. Puasa yang lama
2. Sepsis
C. Penurunan konjugasi bilirubin (penurunan aktivitas enzim hepatik glukoronil
tranferase)
1. Defisiensi herediter enzim transferase
a. Sindrom Gilbert (defisiensi transferase ringan)
b. Sindrom Crigler-najjar tipe II (defisiensi transferase sedang)
c. Sindrom Crigler-Najjar tipe I (tidak adanya transferase)
2. Ikterus neonatal (defisiensi transferase neonatal)
3. Defisiensi transferase yang didapat (akuisita)
a. inhibisi obat (misalnya: kloramfenikol)
b. ikterus ASI (inhibisi transferase reversibel)
c. Penyakit hepatoseluler (hepatitis, sirosis)
4. Sepsis
Hiperbilirubinemia terkonjugasi
A. Gangguan ekskresi hepatic
1. Kelainan familial atau herediter
a. Sindrom dubin Johnson
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
4
Page 5
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
b. Sindrom rotor
c. Kolestasis intrahepatik rekuren
d. Ikterus kolestasis pada kehamilan
2. Kelainan yang didapat
a. Penyakit hepatoseluler (misalnya: hepatitis virus, hepatitis karena
obat, sirosis)
b. Kolestasis karena obat (misalnya: kontrasepsi oral, androgen,
klorpromazin)
c. Penyakit hepar alkoholik
d. Sepsis
e. Keadaan pasca bedah
f. Nutrisi parenteral
g. Sirosis bilier
B. Obstruksi bilier ekstrahepatik
1. Obstruksi intraduktal
a. Batu empedu
b. Malformasi bilier (Misalnya: striktur, atresia, kista koledokus)
c. Infeksi (misalnya: ascaris)
d. Malignitas (kolangiokarsinoma, karsinoma ampularis)
e. Kolangitis sklerosing
2. Kompresi saluran bilier
a. Malignitas (misalnya karsinoma pankreas, limfoma, metastase ke
kelenjar limfe portal)
b. Inflamasi (misalnya: pankreatitis)
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
1. Hemolisis
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua
atau yang mengalami hemolisis akan menimbulkan peningkatan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering terjadi
akibat hemolisis intravaskuler (misalnya yang berkaitan dengan kelainan autoimun,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
5
Page 6
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
mikroangiopati, atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar.
Produksi bilirubin yang berlebihan dicerminkan dalam bentuk peningkatan kadar
bilirubin yang mencapai 3mg/dl – 4mg/dl dengan dominasi oleh bilirubin tidak
terkonjugasi.
2. Sindroma gilbert
Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang menjadi
penting secara klinis karena kedaan ini sering disalahartikan penyakit hepatitis kronis.
Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3% -5% penduduk
dan ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik
secara tidak sengaja. Patogenesisnya adalah gangguan ambilan bilirubin oleh hepar.
Dimana ambilan bilirubin oleh hepatosit memerlukan disosiasi molekul pigmen non
polar dari albumin, transportasi memintasi membran sel, dan npengikatan pada
ligandin. Pada sirosis hepatis mekanisme ini tidak terjadi, Sindroma gilbert dapat
dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan test faal hati yang normal, tidak
terdapatnya empedu dalam urin dan fraksi bilirubin indirect yang dominan. Hemolisis
dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia retikulositosis. Histologi hati normal,
namun biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis.
3. Sindroma crigler-najjar
Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh kekurangan
glukoroniltransferase dan terdapat dalam dua bentuk. Pasien dengan otosom resesif
tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya
meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan otosom resesif tipe II
(sebagian=parsial) mempunyai kadar bilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dl, <
342 mmol/L) dan biasanya bisa hidup sampai dewasa tanpa mengalami kerusakan
neurologik. Fenobarbital, yang dapat merangsang kekurangan glukoroniltransferase,
dapat mengurangi kuning.
4. Hiperbilirubinemia shunt primer
Keadaan yang jarang, yang bersifat jinak dan familial dengan produksi yang
berlebihan early labeled bilirubin.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
6
Page 7
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Hiperbilirubinemia konjugasi
1. Non kolestasis
2. kolestasis
Hiperbilirubinemia konjugasi nonkolestasis
1. Sindroma dubin johnson
Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.
Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga
bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom
gilbert hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu yang
terdapat pada urin.
2. Sindroma rotor
Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom dubin johnson, tetapi hati tidak
mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolik nyata yang lain ditemukan.
Hiperbilirubinemia konjugasi kolestasis
1. Kolestasis intra hepatik
Istilah kolestasis lebih disukai daripada ikterus obstruktif sebab obstruktif bersifat
mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana
saja dari mulai sel hati(kanalikuli) sampai tingkat ampula vater. Untuk kepentingan
klinis membedakan penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat
penting. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis, keracunan
obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis karena autoimun. Penyebab
yang kurang sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan,
karsinoma metastasik dan penyakit-penyakit lain yang jarang.
Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis) dan kelainan
autoimun merupakan penyebab tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu
transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus.Hepatitis A merupakan
penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus secara akut.
Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkanikterus pada tahap awal (akut) tapi
bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
7
Page 8
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit menahun juga disertai gejala
kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosa salah sebagai hepatitis akut.
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan
mengakibatkan kolestasis. Pemakainan alkohol secara terus-menerus dapat
menyebabkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengam berbagai tingkat
ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, dan biasanya dengan
manifestasi ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis.
Hepatitis karena alkohol biasanya sering menunjukan gejala ikterus dan sering timbul
akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati
ditandai dengan transaminase yang tinggi.
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering
mengenai kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga
kelompokyang lebih tua bisa dikenai.dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada
sistim bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer
dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupaka penyakit hati bersifat
progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok
adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning
merupakan gejala yang timbul kemudian.
Kolangitis sklerosisng primer (primary sclerosing cholangitis/PSG) merupakan
penyakit kolestatik lain, yang lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan sekitar 70%
menderita penyakit peradangan usus. PSG bisa menjurus ke kolango-karsinoma.
Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen,
penisillin, obat kontrasepsi oral, klorpromazin(torazin) dan steroid estrogenik atau
anbolik.
2. Kolestasis ekstrahepatik
Obstruksi total saluran bilier eksatra hepatik akan menimbulkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terutama bentuk konjugasi, yang disertai dengan bilirubinuria
yang nyata serta tinja yang akholik. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas,
konsentrasi bilirubin mengalami kenaikan yang progresif dan mencapai puncaknya
pada tingkat 510-680 u mol/l (30-40 mg/dl). Obstruksi parsial saluran bilier
ekstrahepatik juga dapat menimbulkan ikterus jika klirens bilirubin kedalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
8
Page 9
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
duodenum tidak mampu mengimbangi level produksi pigmen. Pada kasus-kasus
semacam itu, tekanan intrabilier biasanya meningkat (hingga mencapai level yang
mendekati 250 mmhg). Peningkatan tekanan ini menggangu sekresi bilirubin oleh
hepatosit yang selanjutnya memperbesar ketidakseimbangan antara produksi dan
klirens bilirubin. Pada obstruksi bilier parsial, derajat ikterus dan bilirubiuria
tergantung pada banyak faktor, termasuk adanya penyakit hepatoseluler atau
kolangitis yang terjadi secara bersamaan dan dapat mengakibatkan ekasaserbasi
ganguan ekskresi bilirubin oleh hepatosit. Cadangan fungsi hepar begitu besar
sehingga oklusi saluran bilier intrahepatik tidak akan menimbulkan gejala ikterus
kecuali bila drainase empedu dari segmen parenkim hepar yang besar (lebih dari
75%) terganggu. Salah satu dari dua duktus hepatikus yang penting atau sejumlah
besar radikula sekunder dapat tersumbat tanpa meninmbulkan ikterus. Sebaliknya
penyempitan difus saluran bilier intrahepatik bahkan tanpa obstruksi total dapat
menimbulkan ikterus lewat cara yang analog dengan obstruksi parsial saluran
ekstrahepatik.
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstra hepatik adalah batu duktus
koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah struktur
jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus,
pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan kolangitis sklerosing. Kolangitis
mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan
juga pada obstruksi mekanisme empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek back up konstituen empedu(yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalan masuknya usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan
campuran hiperbilirubinemia dengan kelebiha bilirubin konjugasi masuk kedalam
urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran
cerna usus halus. Peningkatan garam empedu sirkulasi selalu diperkirakan sebagai
penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubunganya belum jelas
sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K, gangguan
sekresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hiperprotombinemia. Pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
9
Page 10
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
keadaan kolestasis yang berlangsung lama(primary billiary cirrhosis), gangguan
penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan
menyerapan osteoporosis dan osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis di hati dan esterefikasi yang
berkurang dalam darah kolesterol turut berperan, kadar trigliserida tidak terpengaruh.
Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan
abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.
Manifestasi klinis kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik
Tidak jarang kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan kolestasis
intrahepatik, padahal membedakan keduanya sangat penting. Gejala awal terjadinya
perubahan warna urin yag menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus)
menyeluruh adalah tanda terjadinya klinis adanya kolestasis. Kolestasis kronik bisa
menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasis karena pruritus, perdarahan
diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit(xantelasma atau xantoma). Gambaran
seperti diatas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik seperti
anoreksia, mual, muntah, demam, atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab
penyakit dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat menjadi petunjuk
etiologinya
Diagnosis
Langkah pertama adalah memikirkan apakah hiperbilirubinemia disebabkan oleh
hemolisis atau penyakit hepatobiliaris. Perbadaan ini paling mudah dilengkapi dengan
mengukur fraksi bilirubin direk dan indirek. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang
utama menunjukkan adanya gangguan hemolitik akibat penghancuran sel darah merah
intravaskuler terakselerasi atau resorbsi hematoma yang besar. Pengecualian terhadap
keadaan ini adalah sindroma gilbert, yang lain, yang lebih jarang, ganguan herediter
glukoronosil transferase dan gagal hepar stadium akhir. Ikterus yang disertai dengan
hiperbilubinemia terkonjugasi primer (> 50%) diakibatkan oleh satu dari 3 kelompok
ganguan, termasuk penyakit hepatoseluler, obstruksi biliaris intrahepatik (kolestasis) dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
10
Page 11
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
obstruksi biliaris ekstrahepatik. Tujuan awal adalah penentuan kategori mana dari
penyakit yang menjelaskan ikterus pasien. Pusat dari penentuan ini adalah evaluasi klinis
yang cermat, yang termasuk riwayat, pemeriksaan fisik, tes fungsi hati dasar dan hitung
darah lengkap. Dengan menggunakan alat yang sederhana, dokter yang berpengalaman
dapat menentukan semua sifat ikterus pada kebanyakan kasus. Lebih penting lagi, hasil
evaluasi klinis mengarahkan dokter pada kemajuan logis mengenai uji pencitraan, tes
serologis dan evaluasi patologik. Evaluasi klinis awal harus terfokus pada gambaran
penyakit pasien yang membedakan antara penyakit hepatoseluler, kolestasis intrahepatik
dan obstruksi biliaris ekstrahepatik.
Riwayat penyakit rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan
diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis kurang atau gangguan laboratorium yang
berlebihan. Anamnesa yang dibuat juga harus berisi lamanya gejala berlangsung ada dan
sifat nyeri abdomen, demam atau gejala peradangan lainnya, perubahan selera makan,
berat badan, kebiasaan buang air besar. Perhatikan juga adanya riwayat transfusi darah,
penggunaan obat-obat intravena, hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti,
dan pengunaan alkohol. Riwayat pengobatan juga harus dicermati, obat-obat tertentu
yang dapat menyebabkan baik kolestasis, seperti anabolik steroid dan klorpromazin,
maupun nekrosis sel hati, seperti asetaminofen atau isoniazid. Riwayat antralgia merujuk
pada hepatitis virus akut. Penyakit virus juga harus diperhatikan pada pasien yang pernah
bepergian ke negara-negara berkembang endemik hepatitis E, yang ditularkan secara
enteral atau negara asia timur yang penyebaran hepatitis B dan C secara parenteralnya
luas. Pruritus seringkali dikaitkan dengan kolestasis kronik berasal baik dari obstruksi
ekstrahepatik ataupun penyakit kolestatik hati seperti kolangitis sklerosing atau sirosis
kandung empedu primer. Sebaliknya, tinja yang akolik sering terjadi pada pasien
obstruksi kandung empedu ekstrahepatik akibat tumor, koledokolitiasis, atau secara
sekunder akibat kelainan kandung empedu kongenital seperti peradangan kista
koledukus. Adanya tinja akolik dan heme-positif (tinja perak) merujuk pada tumor traktus
biliaris distal seperti ampula, periampula atau kolangiokarsinoma. Gabungan ini juga
terdapat pada pasien karsinoma pankreas yang menyebar pada traktus biliaris atau
duodenum. Ikterus, dalam kaitannya dengan operasi kandung empedu dimasa lalu,
mengarahkan pada penyakit batu yang kambuh atau masih tersisa, striktur biliaris, atau
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
11
Page 12
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
obstruksi berulang yang akibat tumor membesar. Akhirnya, keadaan yang telah ada
sebelumnya atau yang telah mendasari terjadinya penyakit hepatobilier harus
dihilangkan. Misalnya, penyakit radang usus, terutama kolitis ulseratif, berkaitan dengan
kolangitis sklerotikan. Kehamilan merupakan faktor predisposisi kolestasis, steatosis, dan
gagal hati akut. Gagal jantung kanan dapat mengakibatkan kongesti hepatik dan
kolesatasis, sepsis dapat mengakibatkan ganguan transpor bilirubin tertentu atau
kolestasis intrahepatik luas.
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan (bagian kepala/kaput)
sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice).
Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning
sklera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan
(greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan pada kolestasis
intrahepatik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik juga penting untuk mengarahkan evaluasi selanjutnya.
Ekskoriasi menunjukkan adanya kolestasis lama atau obstruksi bilier berat, dan ikterik
yang berwarna kehijauan mengarahkan pada penyakit hati tertentu yang berat atau
kronik, seperti sirosis biliaris, kolangitis sklerotikans, hepatitis kronik berat, atau
obstruksi akibat keganasan yang lama. Demam dan nyari di epigastrium atau kuadran
kanan atas seringkali berkaitan dengan koledokolitiasis dan kolangitis atau kolesistitis.
Sebaliknya, obstruksi biliaris akibat keganasan menampakkan ikterik yang tidak sakit.
Hati yang membesar dan lunak mengarahkan pada peradangan hati akut atau tumor hati
yang cepat membesar, sedangkan kandung empedu yang teraba merujuk pada obstruksi
biliaris akibat tumor ganas. Adanya splenomegali dapat merupakan petunjuk adanya
hpertensi portal, dari hepatitis kronik aktif, alkoholik berat atau hepatitis virus akut, atau
sirosis. Sirosis juga berkaitan dengan keadaan hiperestrogen yang memberikan gejala
ginekomastia, atrifi testis, atau angioma laba-laba. Atrofi testis dapat nyata pada sirosis
akibat penyakit hati alkohol atau hemokromatosis. Eritema palmaris, telangiektasis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
12
Page 13
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
wajah, dan kontraktur dupueytren juga dihubungkan dengan sirosis, terutama akibat
menkonsumsi alkohol secara kronik. Pengurusan atau limphadenopati merujuk pada
keganasan, bila splenomegali tanda-tanda ini mengarah pada tumor pankreas yang
menyumbat pembuluh darah splannikus atau limphoma yang bermetastasis. Pada pasien
dengan riwayat yang mengarah pada keganasan, perhatikan terutama pada temuan yang
menyokong tumor primer, yaitu tinja heme-positif, massa pada payudara atau abdomen,
benjolan tiroid, dan limphadenopati supraklavikular. Temuan fisis yang dikaitkan dengan
penyakit hati spesifik adalah pelebaran pembuluh darah leher dan refluks hepatojuguler
(gagal jantung kanan), Xantoma (sirosis biliaris primer), dan cincin kaiser-fleisccher
(penyakit wilson)
Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
Pemeriksaan laboratorium awal harus ditujukkan pada pembagian bilirubin
serum. Bila terjadi hiperbilirubinemia yang didominasi oleh bilirubin tak terkonjugasi
(indirek), maka pikirkanlah gangguan hemolisis seperti autoimun atau anemia hemoliti,
mikroangiopati, kegagalan sumsum tulang, atau resorpsi hematom yang besar. Penyebab
paling sering peningkatan bilirubin tak terkonjuasi adalah sindroma gillbert, suatu
keadaan yang diwariskan akibat defisiensi ringan glukoronil transferase hepar. Penderita
sindroma gillbert mengalami berbagai peningkatan bilirubin tak terkonjugasi didalam
sirkulasi, terutama dalam hubungannya dengan stres fisis, demam, infeksi atau bedah
yang sedang berlangsung, puasa, atau peminum alkohol berat. Kelainan metabolisme
ringan ini tidak mengeluarkan gejala selain ikterik, dan tidak berkaitan dengan kelainan
enzim hati, atau pengaruh jangka panjang lainnya.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi (direk) biasanya berasal dari gangguan sel hepar
dan penyakit kolestatik hati, atau obstruksi bilier ekstrahepatik. Karena kerja glukuronil
tranferase hati kebanyakan normal, pembentukan bilirubin glukuronida yang adekuat
dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati berat. Pada pasien hiperbilirubinemia
terkonjugasi primer, adanya dan sifat enzim hati abnormal merupakan petunjuk penting
mengenai sifat proses yang sedang berlangsung. Hiperbilirubinemia terkonjugasi tanpa
kelainan enzim hati jarang terjadi, tetapi dapat dijumpai pada kehamilan, sepsis, atau
setelah dioperasi. Naiknya bilirubin terkonjugasi saja merupakan manifestasi utama dua
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
13
Page 14
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
kelainan yang diturunkan, yaitu sindroma rotor dan dubin-johnson, dan dapat juga
dijumpai pasien kolestasis intrahepatik benigna yang kambuh. Peningkatan
aminotransferase yang tidak sebanding dengan enzim hati lainnya, merujuk pada
perusakan sel-sel hati, terutama hepatitis toksik, virus, atau iskemi, sedangkan
peningkatan alkalin posfatase, 5’1-nukleo-tidase dan atau gama-glutamil transpeptidase
lebih mengarah pada kolestasis intrahepatik atau obstruksi ekstra hepatik. Walaupun pola
ini tidak dapat dipakai sebagai patokan diagnostik, hal-hal tersebut penting sebagai
petunjuk pemeriksan.
Pasien yang pemeriksaan klinis dan anamnesisnya mengarah kepada sel hepar
harus menjalani pemeriksaan hepatitis virus, keracunan obat, kongesti hepar, dengan
gejala seperti gagal ventrikel kiri atau obstruksi akut vena hepatika, atau hepatitis
iskemia. Pada keadan klinis, pemeriksaan serologis amat penting dalam menegakkan
diagnosis, atau menyingkirkan diagnosis hepatitis A, Hepatitis B akut dan kronik,
hepatitis C dan D. Penyebab umum hepatitis toksis adalah asetaminofen, isoniazid, dan
obat anestesi halogen . penyakit hati alkohol terutama rentan terhadap keracunan
asetaminofen, yang mungkin timbul dalam dosis terapeutik pada orang tertentu. Pasien
yang sel hatinya dicurigai rusak, biopsi hati dapat memberikan keterangan diagnostik dan
prognostik yang penting. Hasil biopsi perkutan, transjugular, atau laparoskopi juga
meberikan informasi penting bagi terapi yang optimal. Peranan pencitraan hepatobilier
pada pasien ini tidak jelas. Pada beberapa kasus, identifikasi lesi fokal menggunakan
tomografi terkomputasi (CT Scan), Ultrasonografi (USG), atau pencitraan magnetik
(MRI) dapat meningkatkan ketepatan diagnostik. Teknik pencitraan ini juga dapat
membantu menegakkan diagnosis adanya deposisi lemak hati, sirosis, atau penumpukan
besi hepar yang berlebihan pada hemokromatosis. Ultrasonografi merupakan cara yang
sangat sensitif untuk mendeteksi adanya asites. Berdasarkan adanya analisis doppler, cara
ini mengungkapkan keutuhan dan arah aliran vena porta dan vena hepatika, kadang-
kadang dapat berfungsi sebagai alat diagnostik non-invasif untuk trombosis vena porta
dan sindroma butt-chiari.
Pencitraan hepatobiliaris. Untuk pasien yang menjalani evaluasi klinis dan
kimiawi hati menunjukkan kolestasis atau obstruksi biliaris ekstrahepatik, pencitraan
biliaris merupakan alat diagnostik dini yang penting untuk membedakan penyabab
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
14
Page 15
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
intrahepatik dengan obstruksi ekstra hepatik. USG dan pemindaian CT mendeteksi
duktus biliaris ekstrahepatik yang berdilatasi dengan sensitivitas yang besar. Pada
keadaan tidak ada riwayat pembedahan hepatobiliaris sebelumnya, spsifisitas tes ini
untuk mengidentifikasi duktus ekstrahepatik yang berdilatasi adalah diatas 90 %. Kedua
tekhnik merupakan indikator massa pankreas, portal dan intrahepatik yang sensitif dan
juga efektif didalam mendiagnosis obstruksi biliaris dari batu terimpaksi atau tumor.
Selain itu, USG mempunyai arti yang sangat efektif dalam mendeteksi batu dalam
kandung empedu dan sedikit lebih sensitif dibandingkan CT Scan. Teknik pencitraan
diangap kurang snsitif dalam mendeteksi koledokolitiasis. Kedua teknik ini gagal
mendeteksi sekitar 40% batu dalam duktus, maskipun uji yang terseleksi mendukung
bahwa CT Scan sedikit lebih baik saat mendeteksi batu dalam duktus yang tidak
berdilatasi.
Pada pasien dengan tanda klinis dan radiografik obstruksi biliaris ekstrahepatik,
evaluasi selanjutnya haru ditunjukkan langsung untuk menentukkan penyebab obstruksi
dan menunjukkan kesembuhan yang cepat. Massa yang diidentifikasi dengan USG, CT
Scan atau MRI, biasanya dapat diperoleh dengan biopsi perkutaneus langsung secara
radiografi. Definisi dan kesembuhan selanjutnya dari obstruksi biliaris ekstrahepatik
sering dapat dileengkapi dengan kolangiografi endoskopik atau perkutaneus. Ditangan
dokter yang berpengalam, duktus biliaris yang berdilatasi dapat dinilai secara perkutan
pada lebih dari 90% pasien, duktus tidak berdilatasi pada 70%. Kolangiografi
transhepatik perkutan (PTC) terutama berguna untuk pencitraan dan drainase pasien
dengan pasien obstruksi biliaris diatas bifurcatio duktus empedu dan pada pasien yang
mengalami obstruksi tidak dapat sembuh selama kolangiografi endoskopik. Pengumpulan
empedu untuk analisis sitologi juga dapat memberikan identifikasi lesi yang mengalami
obstruksi. Endoskopi kolangio pankkreatografi retrograde (ERCP) sering merupakan
teknik yang lebih disukai untuk mendiagnosis dan mengobati obstruksi biliaris distal.
Selain kolangiografi, ERCP memberikan kesemopatan untuk inspeksi dan biopsi ampula
vater dan duodenum yang mengelilingi (daerah yang sering dari tumor yang menyumbat
duktus biliaris), visualisasi duktus pankreas untuk mendeteksi tanda batu duktus pankreas
atau tumor pankreas kecil, dan biopsi langsung epitel duktus empedu dan caput pankreas.
PTC dan ERCP dapat menghilangkan obstruksi maligna dan disolusi atau membuat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
15
Page 16
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
fragmen batu duktus. ERCP juga memberikan kesempatan untuk kesembuhan jangka
panjang penyakit batu melalui papilotomi endoskopik, dan merupakan pendekatan yang
lebih disukai terhadap batu intraduktur yang tetap ada setelah pembedahan atau
kolesistektomi laparoskopik.
Untuk pasien dengan tanda klinis kolestasis yang mepunyai duktus dengan kaliber
normal, perhatian harus terfokus pada kolestasis intrahepatik yang disebabkan oleh
sirosis biliaris primer, obat-obat atau toksin (termasuk etanol) dan obstruksi
ekstrahepatik tanpa dilatasi duktus, yang dapat disebabkan oleh kolangitis sklerosing
primer atau kemoterapi arteri intrahepatik dan kadang-kadang terlihat pada pasien dengan
AIDS, dan kolangiokarsinoma. Jika gambaran klinis lebih mendukung kkolestasis atau
sirosis biliaris, biopsi hati dapat meberikan arah diagnosis langsung. Sebaliknya
kolangiografi dengan analisis sitologik empedu dan atau biopsi epitel duktus merupakan
indikasi pada pasien yang mempunyai gejala mendukung obstruksi ekstra hepatik, seperti
pasien dengan ikterus dan duktus yang tidak berdilatasi pada keadaan berat badan turun,
lifadenopati atau penyakit usus inflamasi.
Biopsi hati
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik, walaupun
demikian, bisa timbul uga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh yang kurang
berpengalaman. Biopsi aman pada umumnya pada kasus dengan kolestasis, namun yang
berbahaya pada keadaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus
disingkirkan dulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum dilakukan biopsi.
Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis supurativa, kolangitis bukan keadaan
emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan alat
penunjang khusus jika ada. Jika diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan sangat
membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakan jika jika ditemukan tanda pelebaran
saluran bilier., terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif. Pemeriksaan lebih
lanjut dengan kolangiogafi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat dipertimbangkan. Jika
pada pemeriksaan ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran saluran empedu, sangat
mungkin lebih cenderung ke masalah intrahepati, dan biopsi sangat dianjurkan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
16
Page 17
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Jika alat penunjang tersebut diatas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis
harus dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan
ekstrahepatik dan kolestasis memburuk progresif.
Pendekatan klinis
Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat terjadi
karena banyak memakan makanan yang mengandung beta karoten (seperti pepaya,
wortel, dan melon) berbeda dengan ikterus yang sesungguhnya, keadaan diatas
(karotenemi) tidak mengakibatkan warna kuning di sklera atau peningkatan bilirubin.
Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme
bilirubin. Ikterus dapat disebabkan oleh karena berbagai sebab mulai dari yang bersifat
jinak sampai kepada keadaan yang bisa membahayakan jiwa. Tahap awal ketika akan
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada
apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau non-konjugasi.
Tes paling sederhana adalah dengan melihat apakah terdapat bilirubin didalam
urin atau tidak, dan kemudian dipastikan dengan pemeriksaan bilirubin dalam darah.
Pemeriksaan jasmani harus dipusatkan pertama-tama kepada keluhan utama dan
perjalanan penyakitnya, kemudian pada pemeriksaann fisis melihat adanya tanda-tanda
apakah penyakit ini akut atau sebenarnya penyakit yang kronik. Jika ikterus ringan tanpa
warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia
indirek yang mungkin disebabkan oleh penyakit sindrom gilbert dan bukan oleh karena
penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna air seni
yang gelap jelas menandakan penyakit hati atau bilier.
Pembagian diagnosis banding ke dalam penyebab prehepatik, intrahepatik, dan
post hepatik walaupun mempunyai kekurangan namun masih dapat membuat
penatalaksanaan lebih mudah. Misalnya penyebab ikterus prehepatik termasuk hemolisis
dan penyerapan hematom, yang akan menyebabkan peningkatan bilirubin nonkonjugasi
(indirek). Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubinemia nonkonjugasi maupun
konjugasi. Bilirubin konjugasi (direk) meningkat bisa diakibatkan karena hepatitis
infeksios, alkohol, reaksi obat dan kelainan autoimun. Kelainan posthepatik dapat pula
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
17
Page 18
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
meningkatkan bilirubin konjugasi. Pembentukan batu merupakan keadaan paling sering
yang bersifat jinak dalam kelompok kelainan post hepatik yang menyebabkan kuning.
Diagnosis banding akan mengikutsertakan juga berbagai keadaan lain seperti
infeksi di saluran empedu, pankreatitis dan keganasan. Jika terdapat penyakit
hepatobilier, apakah penyakitnya akut atau kronik, apakah penyakitnya disebabkan
penyakit hati primer atau diakibatkan penyakit sistemik yang mengikutsertakan hati.
Apakah penyakit penyebab kuning ini: hepatitis virus, alkohol, atau karena obat. Jika
mengarah ke kolestasis apakah mengarah ke intra atau ekstrahepatik. Apakah dibutuhkan
tindakan operasi. Apakah ada komplikasi. Riwayat penyakit yang rinci sangat
dibutuhkan, sebab kesalahan diagnosis dapat diakibatkan keputusan klinis yang kurang
tepat dan terlalu mempercayai data laboratorium.
Jika terdapat tanda-tanda adanya hipertensi portal, asites, perubahan kulit
seyogyanya mengarah ke penyakit kronis dari pada proses akut. Seringkali pasien melihat
warna gelap air senio lebih dahulu dari pada warna kuning kulit, karenanya warna gelap
urin bisa dipakai sebagai ukuran awal mulanya penyakit. Jika terdapat keluhan mual dan
muntah yang mendahului terjadinya warna kuning pada kulit keadaan tersebut
menandakan kearah hepatitis akut atau sumbatan duktus koledokus oleh karena batu. Jika
ada sakit perut atau menggigil lebih cenderung yang terakhir. Adanya anoreksis dan
malaise yang timbul perlahan dan tidak timbul nyata lebih menjurus ke hepatitis kronis.
Penyakit sistemik patut dicurigai misalnya jika terdapat peninggian tekana vena
jugularis yang menjurus ke adanya dekompensasio kordis atau perikarditis kontriktif pada
pasien dengan hepatomegali dan asites. Status gizi kurang yang menjurus kepadakeadaan
kaheksia dengan hati yang membesar dan keras dan iregular sering disebabkan oleh
keganasan daripada sirosis.
Limfadenopati yang difus mengarah kepada adanya mononukleosis infeksiosa
pada kasus ikterus yang akut dan leukemia pada penyakit kronis. Adanya hepatomegali
tanpa adanya penyakit hati kronik bisa diakibatkan oleh penyakit infiltratif (limfoma,
amiloidosis) walaupun biasanya ikterusbersifat minimal atau bahkan tidak ada, dalam
keadaan ini perlu dipikirkan adanya skistosomiasis dan malaria yang sering memberikan
gambaran seperti itu jika terjadi didaerah endemik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
18
Page 19
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis
lebih bersifat sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput
pankreas).
Penemuan laboratorium
Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan alkali fosfatase yang
normal menunjukan kemungkinan proses hemolisis atau penyakit gilbert syndrome, ini
dipastikan dengan fraksionas bilirubin. Sebaiknya beratnya ikterus danfraksionas
bilirubin tidak membantu untuk membedakanikterus hepatoselular dari ikterus kolestatik.
Peninggian aminotransferase >500U lebih mengarah ke hepatitis atau keadaan hipoksia
akut, peninggian fosfatase alkali yang tidak proporsional lebih mengarah kepada
kolestatik atau kelainan infiltratif. Pada keadaan yang disebut belakangan bilirubin
biasanya normal atau hanya naik sedikit saja. Bilirubin diatas 25 sampai 30 mg/dl (428-
513umol/L) seringkali disebabkan hemolisis atau disfungsi ginjal menyertai pada
keadaan penyakit hepatobilier yang berat. Penyakit yang disebut terakhir saja jarang
mengakibatkan keadaan ikterus yang berat.
Kadar albumin yang rendah dan globulin yang tinggi menunjukan adanya
penyakit yang kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian
vitamin K (5-10mg IM selama 2-3hari) lebih mengarah kepada keadaan kolestatik
daripada proses hepatoseluler. Namun hal ini tidak bisa terlalu dipastikan karena pada
pasien dengan penyakit hepatoselulerpun pemberian vitamin K bisa juga memberikan
perbaikan.
Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan (imaging) sangat berharga untuk mendiagnosis penyakit
infiltratif dan kolestatik. Pemeriksaan sosografi perut, CT, dan MRI sering bisa
menemukan metastasik dan penyakit fokal pada hati dan telah menggantikan
pemeriksaan nuklir scan untuk maksud tersebut. Namun demikian pemeriksaan ini
kurang bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit hepatoseluler (seperti sirosis) sebab
penemuannya sendiri bersifat tidak spesifik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
19
Page 20
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Pemeriksaan biopsi hati perkutan mempunyai arti yang sangat penting, namun
jarang dibutuhkan pada pasien ikterus. Pemeriksaan peritonoskop (laparoskopi)
memunkinkan untuk memeriksa langsung hati dan kandung empedu dan bermanfaat
untuk pasien tertentu. Laparotomi diagnostik jarang diperlukan pada pasien dengan
kolestasis atau hepatosplenomegali yang belum bisa diterangkan penyebabnya.
Pengobatan
Pengobatan ikterus sangat bergantuing pada penyakit penyebabnya. Beberapa
gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis
intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan
irreversible (seperti pada keadaan sirosis billier primer) biasanya responsif terhadap
kolestiramin 4-16g/hari PO dalam dosis terbagi dan yang akan mengikat garam empedu
di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya
membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10mg/hari SK untuk 2-3 hari.
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang
ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen
vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorhea yang
berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium
chain trigliceride.
Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan,
ekstraksi batu empedu duktus, atau insersi stent dan drainase via kateter untuk striktur
(sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang
non operable, drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan
melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan
pengeluaran batu telah menggantikan laparotomi pada pasien dengan batu di duktus
koledokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu
pengeluaran batu di saluran empedu.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
20
Page 21
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
Kesimpulan
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata, atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubun yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah.
Secara singkat mekanisme umum yamg menyebabkan hiperbilirubinemia dan
ikterus adalah:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. gangguan pengambilan bilirubin tak terjonjugasi oleh hati
3. gangguan konjugasi bilirubin
4. penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik
dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis
Untuk pendekatan diagnosa terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali
patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi. Selain
itu dilakukan anamnesa yang terinci, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan radiologi. Dari semua cara pendekatan diagnosa, anamnesa tetap
merupakan cara yang terbaik untuk mengetahui apa penyebab terjadinya ikterus dan
hiperbilirubinemia, sehingga pengobatan dapat mencapai hasil yang maksimal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
21
Page 22
Ikterus David Gunawan Putra (406067006)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman Ali. PENDEKATAN KLINIS PADA PASIEN IKTERUS . Dalam: Aru
W (Ed). Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. Jilid Satu. Edisi keempat. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta,2006: 422-425..
2. Lindseth GN. DISORDER OF THE LIVER, GALLBLADDER, AND
PANCREAS. In: Price SA and Wilson LM (Ed). Pathophysiology CLINICAL
CONCEPTS OF DISEASE PROCESSES. 6th Edition. Mosby. St. Louis, Missouri.
2003: 368-401.
3. Halfman CJ. Laboratory Diagnosis of Jaundice. www.medicineNet.com, 2002.
4. Kaplan LM. Jaundice. In: Isselbacher KJ and Braunwald E (Ed). HARRISON’S
PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE . 13th Edition. McGraw-Hill Book
Singapore. 2003: 263-269.
5. Sherlock S, Dooley. Jaundice. . In : DISEASES OF THE LIVER AND BILIARY
SYSTEM. 9th Edition, Blackwell Scientific Publication. London, Edinburgh,
Boston, Melbourne, Paris, Berlin, Vienna. 1993;199-213.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamRSPI Sulianti SarosoFK-UNTAR
22