Top Banner

of 33

REFERAT PREEKLAMSIA PUNYA 2005

Jul 06, 2015

Download

Documents

desi_m
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

REFERAT PENGENDALIAN TEKANAN DARAH PRE-OPERATIF PADA PASIEN PREEKLAMPSIA

Disusun oleh :

Patricie Yuandita Ni Made Primasari Dewi Luvita Mustofa Khrisnanto Nugroho Desi Mutiarati

K1A005002 K1A005006 K1A005010 K1A005012 K1A005015 K1A005021

Dosen Pembimbing Dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI JURUSAN KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 20091

Lembar Pengesahan

Telah Dipresentasikan dan Disetujui Referat dengan Judul

PENGENDALIAN TEKANAN DARAH PRE-OPERATIF PADA PASIEN PREEKLAMPSIA

Pada Tanggal :

Oktober 2009

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kegiatan Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO

Disusun oleh : Patricie Yuandita Ni Made Primasari Dewi Luvita Mustofa Khrisnanto Nugroho Desi Mutiarati K1A005002 K1A005006 K1A005010 K1A005012 K1A005015 K1A005021

Dosen Pembimbing

Dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC

2

BAB I PENDAHULUAN

Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau lebih kurang 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007). Salah satu penyebab morbiditas dan mortilitas ibu dan janin adalah preeklampsia (PE) yang menurut WHO angka kejadiannya berkisar antara 0,51%38,4% (WHO, 2006).Preeklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan dengan kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrupsio plasenta (Gibson, Paul. 2009). Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. (Chapman, 2006). Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi pre eklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi.

3

Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat referat dengan judul Pengendalian Tekanan Darah Pre-Operatif Pada Pasien Preeklampsia

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengaturan Normal Tekanan DarahTekanan darah pada manusia merupakan hasil perkalian antara curah jantung/cardiac output (CO) dengan resistensi perifer atau tahanan vascular perifer. Cardiac output adalah volume darah yang dipompa oleh tiap-tiap ventrikel per menit, bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung (Sherwood, 2006). Secara fisiologis pengaturan darah baik pada pasien normal maupun pasien hipertensi dipertahankan oleh pengaturan dari waktu ke waktu dari curah jantung dan resistensi perifer melalui 3 lokasi anatomis utama, yaitu arteriole, venula pascakapiler (vesel kapasitans) dan jantung. Lokasi kontrol anatomis keempat yang turut mengatur tekanan darah adalah ginjal. Ginjal memiliki peranan penting dalam regulasi jangka panjang tekanan darah dan keseimbangan hydro-electrolyt dengan mengatur jumlah volume cairan intravaskuler (Benowitz, 2004; Thomas, 2007). Baroreseptor yang dimediasi oleh syaraf otonom, bekerja sama dengan mekanisme humoral, temasuk di dalamnya sistem renin-angiotensin, yang akan berkoordinasi dengan keempat lokasi anatomis utama untuk mempertahankan tekanan darah. Kondisi ini terjadi saat aliran daraj ke ginjal turun, maka tubuh akan terjadi aktivasi saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah dan pelepasan Renin dari apparatus juxta glomerula ginjal. Sekresi Renin akan memicu pelepasan Angiotensinogen

5

dari hepar, yang selanjutnya akan diubah menjadi Angiotensin I, kemudian Angiotensin I akan diubah menjadi Angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang berasal dari pulmo. Angiotensin II inilah yang akan berpengaruh terhadap tekanan darah karena memacu pelepasan vasopresin dan retensi Natrium melalui pengaktifan horman Aldosteron (Renin-Angiotensin-Aldosteron). Pada akhirnya ada bagian lain yang turut mempengaruhi tekanan darah yaitu pelepasan hormon pada endotelium yang turut mengatur resistensi vaskuler (Stevenson, 2003). Apabila mekanisme pengaturan tekanan darah gagal, maka akan terjadi kondisi baik hipertensi maupun hipotensi. Hipotensi dapat terjadi pada kondisi intoksikasi pestisida yang menghambat AcHE, sehingga terjadi aktivasi berlebihan pada sistem muskarinik, yang salah satu akibatnya adalah penurunan tekanan darah. Pengontrolan tekanan darah secara spesifik terjadi melalui mekanisme sebagai berikut: 1. Autoregulasi Terjadi jika jaringan kurang suplai oksigen, kemudian akan terjadi vasokontriksi untuk meningkatkan aliraan darah ke jaringan. 2. Mediator Kimia Mediator kimia yang berperan dalam mengatur tekanan darah adalah platelet, endothelial sel, histamine, dan prostaglandin. 3. Medula Oblongata Merupakan salah satu bagian dari bataang otak (Trunchus enchepali), berfungsi sebagai pusat control simpatetik, mengakibatkan vasokontriksi

6

pembuluh darah perifer, dilatasi arteri koronaria dan peningkatan kontraksi otot jantung. 4. Endokrin Hormon yang dihasilkan oleh glandula adrenal maupun renal merupakan substansi yang dapat meningkatkan tekanan darah. Hormon Epinefrin yang dihasilkan oleh glandula adrenal merupakaan neurotransmitter adrenergik yang merupakan reseptor dari sistem saraf simpatis, ADH yang dihasilkan oleh neurohipofisis berfungsi untuk mencegah diuresis saat tubuh kurang cairan, sedangkan Renin yang dihasilkan oleh renal dan aldosteron yang dihasilkan oleh glandula adrenal bagian cortex berperan dalam retensi Natrium (Martini, 2001)

B. FARMAKOLOGI DASAR OBAT HIPERTENSI1.

Vasodilator Mekanisme kerja obaat vasodilator adalah sebagai berikut:

Obat-obaat antihipertensi yang termasuk golongan vasodilator antara lain (Ganiswarna, 2004) : a. Hidralazin Bekerja dengan cara merelaksasi secara langsung otot polos arteriol dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan, kemungkinan sama

7

seperti kerja obat nitrat organik dan sodium nitroprusid, yaitu melepaskan NO (Nitrogen Oksida) yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil dalam sel otot polos pembuluh darah. b. Minoksidil Bekerja lebih poten dan lebih lama dibanding Hidralazin, mekanise kerjanya obaat ini mengalami penambahan gugus sulfat di hati sebelum aktif sebagai vasodilator yang poten, kerjanya langsung pada sel otot polos vaskular dengan meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap K+, sehingga terjadi hiperpolarisasi. c. Sodium Nitroprusid Merupakan short acting vasodilator, kerjanya maksimal 1-2 menit, dan efek hilang segera setelah obat dihentikan. Mekanisme kerjanya adalah gugus nitroso pada molekul natrium nitroprusid akan dilepaskan menjadi NO sewaktu kontak dengan eritrosit. NO mengaktifkan enzim guanilat siklase pada otot polos pembuluh darahdan menyebabkan dilatasi arteriola dan venula. d. Diazoksid Bekerja dengan cara mempengaruhi otot polos arteriol secara

langsung, mengaktifkan kanal K+ yang sensitif ATP, sehingga terjadi hiperpolarisasi dan ini menyebabkan dilatasi arteriol, vena tidak dipengaruhi.

8

2. Calcium Channel Blocker Mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan cara merangsang otot jantung dan otot polos vascular, ion Ca2+ terutama berperan dalam peristiwa kontraksi. Ion Ca2+ dalam sitoplasma akan berikatan dengan kalmodulin, menimbulkan fosforilasi myosin light chain dan kontraksi. Pemberian obat ini menyebabkan hambatan terhadap masuknya ion kalsium ke dalam sel otot pada pembuluh darah, sehingga terjadi dilatasi arteriol yang jauh lebih aktif dibanding dilatasi vena. Berdasarkan struktur kimianya, obat golongan CCB dibedakan menjadi 5 golongan (Ganiswarna, 2001) : a.b. c. d. e.

Dihidropiridin (DHP) : Nifedipin, Amlodipin, Nikardipin Difenilakilamin Benziotiazepin Piperazin Lain-lain : Verapamil, Golapamil, Tiapamil : Diltiazem : Sinarazin, Flunarazin : Prenilamin, Preheksilin.

3. Diuresis Obat diuresis ada 4 jenis, yaitu (Farmakologi Atlas Bergambar, 2004) :a.

Peghambat Karbonik Anhidrase (Asetazolamid) Azetazolamid merupakan suatu Sulfonamid tanpa aktivitas

antibakteri. Obat ini penggunaannya jarang karena kurang efektif dibandingkan dengan golongan loop diuretics dan golongan Tiazid. Mekanisme kerjanya Obat dari golongan ini menghambat karbonik anhidrase yang terletak di dalam sel dan membran apikal epitel pada

9

tubulus contortus proximal . Enzim karbonik anidrase sendiri berfugngsi mengkatalisis reaksi CO2 dan H2O menjadi H+ dan HCO3- . Penurunan kemampuan untuk menukar Na+ dengan H+ terjadi dengan adanya obat ini , sehingga terjadi diuresis ringan .b.

Loop Diuretics / High-ceiling diuretics (Bumetanid , Furosemid , Torsemid , dan Asam Etakrinat) . Merupakan obat diuretik yang bekerja pada pars ascendens loop henle . Dibandingkan dengan semua kelas diuretik lain , obat-obat diuretik yang termasuk golongan ini memiliki efektivitas yang tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh. Mekanisme kerja Loop Diuretik bekerja dengan cara menghambat kotransport Na+/K+/Cl- dari membran limen pars ascendens ansa henle . Karena itu , reabsorbsi Na+ , K+ ,dan Cl- akan menurun. Loop diuretic merupakan obat diuretik paling efektif karena pars ascendens ansa henle bertanggungjawab untuk reabsorbsi sekitar 25-30 % NaCl yang disaring , dan di bagian distalnya tidak mampu untuk

mengkompensasi kenaikan muatan Na+. Loop diuretic bekerja cepat , bahkan di antara pasien dengan fungsi ginjal yang terganggu atau yang tidak bereaksi terhadap Tiazid atau diuretik lain. c. Tiazid Derivat Tiazid bekerja terutama pada tubulus distal untuk menurunkan reabsorbsi Na+ dengan menghambat Kotransporter Na+/Cl- pada membran lumen. Obat-obat dari golongan ini memiliki sedikit efek pada tubulus proximal . Akibatnya obat-obat ini meningkatkan

10

konsentrasi Na+ dan Cl- pada cairan tubulus dan keseimbangan asam basa biasanya tidak dipengaruhi. Hal ini karena tempat kerja dari derivat Tiazid ialah membran lumen , obat-obat ini harus diekskresikan ke dalam lumen tubulus untuk menjadi efektif. Oleh karena itu , dengan menurunnya fungsi ginjal , diuretik Tiazid kehilangan efektivitasnya.d.

Diuresis Hemat Kalium Ada dua jenis : 1) Antagonis Aldosteron (Spironolakton) 2) Triamteren dan Amilorid

4. Simpatolitik Obat antihipertensi golongan simpatolitik bekerja dengan cara

menghambat reseptor alfa dan beta adrenergik yang merupakan reseptor dari sistem saraf simpatis. a. Alfa bloker Bekerja menghambat reseptor alfa 1 adrenergik pada pembuluh darah terhadap efek Epinefrin dan Norepinefrin yang menyebabkaan vasokontriksi arteriol. Hambatan pada reseptor ini mengakibatkan dilatasi arteriol, sehingga menurunkan resistensi perifer. Yang termasuk obat golongan ini adalah Klonidin, Metildopa, dan Guanafasin b. Beta Bloker Bekerja menghambat reseptor beta adrenergik, dimana reseptor beta salah satunya terdapat pada jantung. Hambatan terhadap reseptor beta

11

mengakibatkan penurunan denyut nadi (heart rate),sehingga cardiac output akan turun, diikuti penurunan tekanan darah.

5. MgSO4 Obat ini banyak digunakan pada kasus preeklampsia dan eklampsia. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara antagonis dengan Ca2+, sehingga Ca2+ tidak dapat masuk ke dalam otot polos. Kondisi ini akan menimbulkan relaksasi pembuluh darah.

C. KLASIFIKASI HIPERTENSI PADA KEHAMILAN 1. Hipertensi kronis (Chronic Hypertension) Diagnosis hipertensi kronik didasarkan pada riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau kenaikan tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg sebelum kehamilan minggu ke-20 dengan minimal dua kali pengukuran menunjukkan hasil yang relatif sama. (Smith, Melanie. 2006). Wanita dengan hipertensi kronik memiliki resiko tinggi untuk terjadi preeklampsia dan eklampsia, yang dapat membahayakan ibu ataupun bayinya. Gangguan pertumbuhan janin dan placental abruption (lepasnya plasenta dari uterus) juga merupakan komplikasi dari hipertensi kronik. (Smith, Melanie. 2006). Walaupun hipertensi kronik beresiko tinggi untuk terjadinya komplikasi, beberapa wanita dengan hipertensi kronik ringan sampai sedang tidak mengalami komplikasi. Pada beberapa kasus, hipertensi kronik memburuk selama kehamilan. Hampir 15-25% wanita dengan hipertensi kronik menderita superimposed preeklampsia,

12

yang beresiko tinggi terjadi komplikasi pada ibu dan bayi. (Smith, Melanie. 2006) 2. Hipertensi Hypertension) Merupakan hipertensi yang telah ada di luar kehamilan yang diperberat dengan adanya kehamilan. a. Superimposed preeklampsia Superimposed preeklampsia adalah kelainan darah tinggi yang biasanya muncul setelah 20 minggu dan ditandai oleh adanya hipertensi kronik dan proteinuria. Diagnosis superimposed preeklampsia yang diperberat kehamilan (Pregnancy-Aggravated

ditegakkan bila tekanan darah lebih dari 140/90 pada waktu sebelum kehamilan 20 minggu, dan terjadi protein dalam urin >300 mg dalam 24 jam. Edema pada muka dan tangan dapat muncul, tapi bukan merupakan diagnosis untuk superimposed preeklampsia. (Smith, Melanie. 2006). Superimposed preeklampsia yang disebabkan oleh hipertensi kronik beresiko tinggi terjadi komplikasi untuk ibu dan bayi, seperti hipertensi ensefalopati, kegagalan jantung, gangguan pada ginjal, gangguan pertumbuhan janin, kematian janin, placental abruption, sindrom HELLP, dan kelahiran premature. (Smith, Melanie. 2006) b. Superimposed eklampsia Superimposed eklampsia adalah kelainan darah tinggi yang biasanya muncul setelah 20 minggu dan ditandai oleh adanya hipertensi kronik, proteinuria dan disertai kejang atau koma. Diagnosis

13

superimposed eklampsia ditegakkan bila tekanan darah lebih dari 140/90 pada waktu sebelum kehamilan 20 minggu, terjadi protein dalam urin >300 mg dalam 24 jam, dan disertai kejang atau koma. (Smith, Melanie. 2006). 3. Kehamilan Hypertension) a. Hipertensi Gestational Hipertensi gestasional merupakan hipertensi yang muncul setelah 20 minggu kehamilan, tanpa adanya tanda-tanda preeklampsia, dan diikuti oleh kembali normalnya tekanan darah setelah melahirkan. Wanita yang terdiagnosis hipertensi gestasional, sekitar 30% yang menginduksi hipertensi (Pregnancy-Induced

berkembang menjadi preeklampsia sehingga memerlukan monitoring yang intensif. (Gibson, Paul. 2009) Walaupun penyebab pasti dari hipertensi gestasional belum diketahui, sepertinya merupakan reaksi penolakan imunolgik terhadap kehamilan. Hal ini lebih berbahaya dibandingkan hipertensi kronik, karena terdapat perubahan pada tubuh ibu selain peningkatan tekanan darah. Terdapat perubahan kimia dalam tubuh sebagai reaksi maladaptive yang dapat memicu timbulnya kejang. (Gibson, Paul. 2009) Edema otak merupakan penyebab dari kejang, lethargi, dan gangguan penglihatan. Ginjal ibu udah terserang, mempengaruhi filtrasi, memperburuk edema, dan mengakibatkan hilangnya protein

14

dalam urin. Pembuluh darah menjadi konstiksi, berpengaruh terhadap tekanan darah, dan refleks menjadi hiperaktif. (Gibson, Paul. 2009) Tanda dan gejala hipertensi gestasional adalah tekanan darah tinggi, edema, hiperproteinuria, dan hiperrefleksia.(Carson, Michael. 2008) b. Preeklampsia Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007) Untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan darah yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Atau apabila kenaikan tekanan darah diastolic naik 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 90 Hg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan. (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007) Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin melebihi 0,3 gr/liter dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2 + atau 1 gr/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau

15

midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007) Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila satu atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan: (1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolic 110 mmHg atau lebih; (2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam 24 jam, 3 atau 4 + pada pemeriksaan kualitatif; (3) oliguria, urin 400 ml atau kurang dalam 24 jam; (4) keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium; (5) edema paru-paru atau sianosis. c. Eklampsia Eklampsia adalah pre-eklampsia yang disertai kejang dan atau koma. Kejang dapat terjadi dalam kehamilan, selama persalinan dan pada saat nifas. Kejang dapat terjadi lebih dari satu kali dan berlangsung 60-75 detik dan biasanya disusul dengan koma. (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007) Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak segera diobati, akan timbul kejang. Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang, maka diagnosis eklampsia tidak diragukan lagi. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari (1) epilepsy;

16

dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil muda dan tanda preeklampsia tidak ada; (2) kejang karena obat anastesia; apabila obat anastesia lokaltersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang; (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, dll. (Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. 2007).

D. PREEKLAMPSIA Preeklampsia didefinisikan sebagai : kenaikan tekanan darah yang menetap minimal sistolik 140 mmHg, atau tekanan diastolik minimal 90 mmHg, yang muncul setelah 20 minggu kehamilan pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal, dengan proteinuria 300 mg protein dengan waktu pengumpulan 24 jam (Gambling, 2004). Preklampsia dianggap sebagai ringan bila tidak ada faktor yang menambah berat kondisinya. Faktor yang menambah berat kondisi ini dan menyebabkan preeklampsia dianggap sebagai berat adalah :1.

Tekanan darah 160mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada 2 kali pengukuran dengan minimal 6 jam terpisah dalam kondisi pasien istirahat, diagnosis tidak boleh ditunda bila tekanan darah diastolik melebihi 100mmHg

2.

Proteinuria 5 garam dalam 24 jam ( atau 3+ pada 2 sampel random dengan jeda pengukuran paling tidak 4 jam)

3. Oligouria : urin output kurang dari 500 ml dalam 24 jam

17

4. Gangguan serebral atau visual : sakit kepala, penglihatan kabur, atau penurunan kesadaran 5. Edema pulmonum atau sianosis 6. Nyeri epigastrik atau nyeri abdomen kanan atas (yang disebabkan oleh penarikan kapsul Glisson pada edema hepar) 7. Ruptur hepatik ( sangat jarang ) 8. Gangguan fungsi liver 9. Terombositopenia 10. Restriksi perkembangan fetus (Gambling, 2004).

Patogenesis terjadinya hipertensi pada preeklampsia Fetus mendapatkan 50% gen dari ayahnya, yang hal ini berarti bahwa alograft paternal berinteraksi dengan jaringan maternal membentuk trofoblas. Trofoblas kemudian bermigrasi ke desidua maternal setelah implantasi. Aliran intervilosa terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu, yang pada wanita hamil normal akan terjadi invasi trofoblastik kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu. Pada wanita dengan preeklampsia, ada kegagalan invasi trofoblastik kedua. Kegagalan ini mengakibatkan resistensi aliran darah yang tinggi dan aliran sirkulasi uretroplasenta yang rendah. Sehingga konsekwensi yang terjadi adalah iskemia plasenta dan hipoksia plasenta. Dari sinilah berbagai proses imunologik yang menyebabkan preeklampsia timbul (Morgan et al., 2002).

18

Perubahan sistim kardiovaskular Peningkatan tekanan darah salah satunya dapat disebabkan oleh hiperaktivitas tonus sistem syaraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler perifer. Peningkatan tekanan darah merupakan usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Hal ini didasarkan pada penelitian dengan menggunakan microneurografik untuk mengukur aktivitas syaraf simpatik posganglion. Hasilnya

menunjukkan bahwa tekanan dan aktivitas simpatik lebih tinggi pada preeklampsia bila dibandingkan kontrol yaitu wanita hamil normal. Peningkatannya terukur tiga kali wanita hamil normal dan dua kali wanita dengan hipertensi (Gambling, 2004). Pada wanita preeklampsia terjadi penurunan volume darah. Menurut penelitian Mabie et al., 1989, yang mendukung ini adalah : terjadi penurunan volume plasma, sedangkan tekanan pengisian normal dipertahankan dengan redistribusi volume intravaskuler ke sirkulasi sentral. Jadi dapat dipahami bahwa tekanan vena sentral tetap normal walupun secara keseluruhan terjadi hipovolemia. Peneliti pada kasus ini mengemukakan pendapat bahwa pasien preeklampsia seolah olah mengalami venokonstriksi, yang berarti berada pada resiko terjadinya kongesti pulmo dan edema jika diberikan cairan secara eksesif. Penelitian Pouta et al., 1996, mendukung teori ini dengan menunjukkan bahwa bolus cairan intravena menghasilkan peningkatan tekanan vena sentral yang lebih besar pada wanita preeklampsia (Gambling, 2004).

19

Perubahan hemodinamik Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan hasil yang sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya. Kebanyakan penelitian terbaru menunjukkan adanya peningkatan curah jantung sebelum onset terjadinya gejala dan bila dilakukan penelitian silang menunjukkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer bersamaan dengan munculnya sindrom klinik (Gambling, 2004). Pada preeklamsi memperlihatkan tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal, resistensi vaskuler sistemik yang tinggi dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik (Cunningham et al, 2001) Kesimpulan para ahli menyatakan bahwa penemuan perubahan hemodinamik pada preeklamsia sangat bervariasi dan kompleks. Perubahan hemodinamik mengikuti perjalanan penyakit, umur kehamilan dan respon terhadap terapi (Mabie et al., 1989).

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium awal pada wanita yang memiliki tekanan darah tinggi setelah 20 minggu kehamilan meliputi : 1.Hemoglobin dan hematokrit Hemokonsentrasi mendukung diagnosis preeklampsia dan juga merupakan indikator beratnya penyakit. Tetapi harus diingat bahwa hemoglobin mungkin menurun pada hemolisis 2.Hitung trombosit Trombosit yang rendah menunjukkan preeklampsia yang berat

20

3.Sekresi protein urin Hipertensi yang berkaitan dengan preeklampsia dengan proteinuria harus dipertimbangkan sebagai preeklampsia, baik preeklamsia murni maupun superimpose 4.Serum kreatinin Bila disertai dengan oligouria maka berarti preeklampsia berat 5.Asam urat Peningkatan kadar asam urat pada preeklamsi, bisa diakibatkan karena berkurangnya sekresi asam urat dari ginjal. 6.Serum transaminase Melihat keterlibatan hepar yang berarti preeklampsia menjadi berat 7. Ekskresi kalikrein urin Kalikrein adalah suatu regulator penting tekana darah, berkurangnya

ekskresi zat ini dapat mendahului terjadinya preeklamsi. 8. Metabolisme Kalsium Pada preeklamsi dapat terjadi hipokalsiuria 9.LDH, hapusan darah, profil koagulasi, albumin Hipoalbumin mengindikasikan adanya kebocoran endotelial yang masif. Pemeriksaan yang lain untuk mencari bukti terjadinya hemolisis (Gambling, 2004).

21

Target terapi hipertensi pada preeklampsia Pada wanita dengan preeklampsia dan fetus yang masih imatur, pengelolaannya termasuk memperlambat kejadian hipertensi tanpa

membahayakan baik ibu maupun kesehatan janinnya. Pada akhirnya ditujukan untuk menunggu sampai fetus menjadi matur, memberi kesempatan pematangan servik dan meningkatkan probabilitas kelahiran pervaginam (Gambling, 2004). Penelitian dengan atau tanpa kontrol penggunaan obat hipertensi untuk menurunkan tekanan darah pada wanita dengan preeklampsia, bertujuan untuk memperlama gestasi dan meningkatkan keluaran perinatal. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa antihipertensi meningkatkan keluaran perinatal ketika dibandingkan dengan perawatan di rumah sakit. Disisi lain, tidak ada penelitian bahwa antihipertensi bisa menutupi perkembangan penyakit (Morgan et al., 2002). Bila tekanan darah tidak turun, dianjurkan dirawat dan pemberian obat antihipertensi. Obat antihipertensi yang dapat digunakan adalah metildopa atau nifedipin. Batas hipertensi yang diterapi adalah diastolik 105-110 mmHG atau MAP 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah untuk mempertahankan diastolik 90-105 mmHg atau MAP antara 105-125 mmHg (Gambling, 2004).

E. PENGENDALIAN HIPERTENSI PADA SEKSIO SESARIA Tak peduli berapapun umur kehamilan, hal-hal berikut ini mengharuskan untuk mengakhiri kehamilan : 1. Hipertensi berat yang menetap 24-48 jam

22

2. Gangguan ginjal progresif 3. Trombositopenia progresif 4. Tanda-tanda akan terjadinya eklampsi 5. Bukti adanya kegawatan janin (Gambling, 2004).

Pengendalian tekanan darah pada seksio sesaria dengan epidural anestesi Kebanyakan pasien telah mendapatkan terapi antihipertensi oleh bagian obstetri, atau bahkan dengan tambahan magnesium sulfat. Dengan level blok sensoris T4 maka bisa diberikan efedrin dan bolus kristaloid jika tensi turun sampai dengan dibawah 100 sistolik atau penurunan MAP 20% dari nilai sebelum dilakukan induksi epidural (Ramanathan et al., 1991). Mekanisme secara umum kristaloid memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah, sehingga cardias output bisa naik dan tensi bisa di pertahankan dalam kondisi normal. Pemberian vasopresor, seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk pencegahan maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan. Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi miokar, curah jantung, tekanan darah dampai 50%,tetapi sedikit sekali menurunkan vasokonstriksi pembulu darah uterus. Menurut penyelidikan Wreight. efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehinggamenghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi.Guthe menganjurkan pemberian efedrin 25 - 50 mg IM sebelum dilakukan induksi. Ini dapat mengurangi insidensi hipotensi

23

sampai 24%. Tetapi cara ini sering menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja sinergistik dengan obat oksitosik. Penulis lain menganjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau terjadi hipotensi atau sudah terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya 10 mg yang diulang sampai tekanan darah kembali ke awa1. Bayi yang dilahirkan dengan cara ini mempunyai skor Apgar sangat baik; pemeriksaan pH dan baseexcessnya dalam batas normal, dan sikapneurologi bayi setelah 4 - 24 jam dilahirkan sangat baik. (Basuki, 1984) Penurunan ringan tekanan darah 20-30 mmHg sistolik atau 10-15 mmHg diastolik tidak memerlukan terapi segera, biasanya hanya diberikan cairan bolus RL 200-500 ml, kecuali bila hipotensi ini simptomatis. Tetapi bila hipotensi persisten bisa diberikan efedrin 5-10 mmHg IV (Gambling, 2004).

Pengendalian tekanan darah pada seksio sesaria dengan spinal anestesi Banyak ahli anestesi yang setuju bahwa epidural dan spinal anestesi aman digunakan pada preeklampsia ringan. Untuk mencegah hipotensi pada spinal diberikan kristaloid 500 ml dan koloid 500 ml. Untuk mengurangi efek hipotensi diberikan bupivacaine dosis rendah 9-12 mg (1,2-1,6 ml) dengan ditambahkan fentanyl 10 mikro atau morfin 0,1-0,15 mg (Gambling, 2004). Baik ekspansi volume maupun efedrin profilaksis tidak bisa secara konsisten mencegah hipotensi pada anestesi spinal. Tetapi beberapa ahli anestesi berpendapat bahwa wanita dengan preklamsia berat mengalami lebih sedikit kejadian hipotensi bila dibandingkan dengan wanita hamil normal.

24

Sebuah penelitian kohort menunjukkan bahwa wanita dengan preklampsi kemungkinan mengalami hipotensi adalah 6 kali lebih kecil bila dibandingkan dengan wanita hamil normal (Aya et al., 2003). Pada spinal anestesi terjadi perubahan kardiovaskuler pada ibu yang pertama kali diblok pada analgesi subaraknoid yaitu serabut saraf preganglionik otonom, yang merupakan serat saraf halus (serat saraf tipe B). Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi penurunan tahanan pembuluh tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh darah tepi karena terjadi dilatasi arterial, arteriol dan post-arteriol. Pada umumnya serabut preganglionik diblok dua sampai empat segmen dikranial dermatom sensoris yang diblok. Besarnya perubahan kardiovaskular tergantung pada banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila terjadi hanya penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan. Tetapi bila disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi berat. Perubahan

hemodinamik pada pasien yang menjalani seksio cesaria dengan blok subaraknoid telah diselidiki oleh Ueland. Pada posisi terlentang terjadi penurunan rata-rata tekanan darah dari 124/72 mmHg menjadi 67/38 mmHg; penurunan rata-rata curah jantung 34% (dari 5400 menjadi 3560 ml/menit) dan isi sekuncup 44% (62 menjadi 35 ml). Sedangkan denyut jantung mengalami kenaikan rata-rata 17% (90 menjadi 109 kali/menit). Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan rata-rata curah jantung 52% (2880 ml/menit) dan isi sekuncup 67% (42,2 ml); sedangkan denyut jantung menurun 11 kali/menit, disertai kenaikan rata-rata tekanan sistolik 21,8 mmHg, diastolik 6,3 mmHg, kenaikan tekanan vena

25

sentral dari 4,9 menjadi 6,75 cm H2 O. Keadaan ini disebabkan karena masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam sirkulasi utama akibat kontraksi uterus. Menurut laporan Wollmann8 setelah induksi pada pasien yang berbaring lateral tanpa akut hidrasi sebelumnya, tekanan arteri rata-rata turun dari 89,2 3,3 menjadi 64,0 3,6 mm- Hg, tekanan vena sentral ratarata turun dari 6,0 0,9 menjadi 2,0 0,9 cm H2 O. Setelah bayi lahir tekanan arteri rata-rata menjadi 86,0 13 mmHg dan tekanan vena sentral menjadi 12,6 2,0 cm H2 O (hipotensi yang telah diatasi dengan akut hidrasi memakai 1000 ml cairan dekstrosa 5% di dalam laktat atau Ringer). Pasien tersebut diblok setinggi T2 T6. Insidensi hipotensi (tekanan sistolik turun di bawah 100 mmHg, atau penurunannya lebih dari 30 mmHg dari pada sebelum induksi) dapat mencapai 80%. Keadaan ini diseba oleh mekanisme kompensasi dengan kenaikan venokonstriktor neurogenik. (Rambulangi, 2003)

Pengendalian tekanan darah pada seksio sesaria dengan anestesi umum Anestesiolog biasanya dimintai konsul untuk seksiosesaria emergensi pada pasien preeklampsia dengan indikasi seperti telah disebutkan sebelumnya. Pada saat akan dilakukan seksio sesaria umumnya pasien telah menerima beberapa obat hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya. Obat hipetensi ini biasanya diberikan oleh ahli obstetri, dan pada umumnya yang diberikan adalah obat hipertensi per oral atau sub lingual. Menjadi tugas anestesiolog untuk menilai tekanan darah preoperatif pada pasien ini. Anestesiolog menilai apakah obat hipertensi cukup adekuat, adakah obat yang

26

berinteraksi dengan obat hipertensi seperti MgSO4, serta bagaimana respon parturien terhadap obat yang diberikan (Gambling, 2004). Masalah yang paling kritis adalah bagaimana anestesiolog menjaga tekanan darah yang optimum seperti target terapi yang telah disebutkan sebelumnya, disamping memikirkan bagaimana menumpulkan refleks peningkatan tekanan darah sewaktu dilakukan laringoskopi dan intubasi. Hal yang penting lainnya adalah mengontrol tekanan darah setelah pasien dilakukan intubasi maupun setelah bayi bisa dilahirkan (Aya et al., 2003).. Peningkatan tekanan darah yang hebat setelah dilakukan intubasi menaikkan resiko terjadinya perdarahan intrakranial. Walaupun insiden ini sangat jarang tetapi perdarahan intra kranial secara statistik masih merupakan penyebab utama kematian parturien. Peningkatan tekanan darah juga akan meningkatkan konsumsi oksigen miokardium, mencetuskan terjadinya aritmia, dan mengganggu aliran darah uterus yang pada akhirnya dapat membahayakan janin (Gambling, 2004). Secara umum ada beberapa metode untuk menumpulkan respon hipertensi pada waktu intubasi : 1. Mendalamkan anestesi dengan agen inhalasi selama 5-10 menit. 2. Memberikan bolus opioid fentanyl 2,5-5 mikrogram/kgBB, sufentanyl 0,25-0,5 mikrogram/kgBB, atau ramifentanyl 0,5-1 mikrogram/kgBB. 3. Memberikan lidokain intravena 1,5 mg/kgBB. 4. Blokade beta-adrenergik dengan menggunakan esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB, propranolol 1-3 mg atau labetalol 5-20 mg. 5. Memberikan NTG atau SNP 0,5-1 mikrogram/kgBB.

27

6. Menggunakan anestesia topikal (Morgan et al., 2002). Diperlukan teknik dan modifikasi khusus pada parturien dengan eklampsia karena selain memperhatikan kestabilan tekanan darah parturien, anestesiolog juga harus memperhatikan keselamatan fetus (Gambling, 2004). Beberapa ahli memilih menggunakan SNP. Dimulai dengan infus SNP 0,5 mikrogram per menit, dan kemudian ditritasi sesuai dengan respon tekanan darah. Target tekanan darah yang hendak dicapai adalah berkisar 140 mmHg sistolik (Gambling, 2004). Ahli lain menggunakan labetalol 20 mg, diikuti dengan 10 mg sampai maksimum 1 mg/kgBB selama minimal jangka waktu 10 menit. Jika dibutuhkan labetalol dapat diulangi tiap sepuluh menit sampai dosis maksimum 220-300 mg atau diberikan dengan infus kecepatan 2 mg/menit (Ramanathan et al., 1991). Fentanyl 100 mikrogram digabung dengan droperidol 5 mg juga terbukti bisa menumpulkan refleks hipertensi karena intubasi. Bisa diulang fentanyl 100 mikrogram atau ditambahkan trimetaphan 2,5 mg jika memang dibutuhkan. Disisi lain ada penelitian yang menyatakan bahwa droperidol adalah obat yang mencetuskan aritmia jantung sehingga keamanannya diragukan. Banyak juga yang memilih hanya menggunakan fentanyl 1-3 mikrogram/kgBB, karena dianggap cukup untuk menumpulkan refleks hipertensi karena intubasi. Setiap penggunaan opioid harus diberitahukan kepada tim resusitasi neonatus, bahwa neonatus telah terpapar dengan dosis opioid yang moderat (Lawes et al., 1987).

28

NTG memiliki onset yang cepat dan dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang mendadak. Oleh karena itu NTG digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Penggunaan NTG cocok untuk bisa

menumpulkan refleks kenaikan tekanan darah karena laringoskopi dan intubasi. Biasanya diberikan dosis kecil 50-100 mikrogram intravena. Mekanisme penurunan tekanan darah adalah dengan degradasi NTG menjadi nitrit oksida, yang hasil akhirnya akan merelaksasi sistem vaskuler. Efeknya lebih terasa pada sistem vena, jadi efek utamanya terutama menurunkan preload. Penelitian menunjukkan bahwa NTG bisa tetap mempertahankan perfusi uteroplasental (Grunewald et al.,1993). Ekspansi volume plasma dibutuhkan sebelum pemberian NTG pada wanita dengan preklampsia berat. NTG harus dilarutan menjadi konsentrasi 100 mikrogram/ml (50 mg/500ml), diberikan dengan dosis awal 0,5 mikrogram/kgBB/min sampai dosis yang diinginkan tercapai (Cotton et al., 1986). Nifedipine merupakan antagonis kalsium, menghambat pemasukan kalsium ekstraseluler ke otot polos, efeknya lebih dominan pada otot arteri dan arterioler. Efek samping yang umum adalah takikardi, flushing, sakit kepala. Biasanya diberikan 10 mg oral, dan dapat diulang 30 menit kemudian, dengan dosis pemeliharaan 10-20 mg tiap 3-6 jam. Dosis sublingual tidak dianjurkan karena pada beberapa penelitian menunjukkan kejadian hipotensi yang berlebihan. Nifedipin juga bisa digunakan untuk menumpulkan refleks kenaikan tekanan darah pada waktu larigoskopi dan intubasi (Kumar et al., 1993)

29

Profil hemodinamik diltiazem dapat dikatakan memiliki sifat seperti nifedipin, tetapi diltiazem lebih sering digunakan sebagai anti aritmia, terutama aritmia supraventrikuler. Selain memiliki karakteristik anti aritmia, diltiazem juga memiliki efek hipotensi dan sering digunakan sebagai agen hipotensif durante operasi. Penggunaan pada pasien preeklampsia belum didukung penelitian yang memadai. Tetapi beberapa ahli menyarankannya sebagai pilihan alternatif pengendalian tekanan darah pada eklampsia terutama untuk menumpulkan refleks akibat laringoskopi dan intubasi. Biasanya diberikan 10-20 mg, dilanjutkan dengan drip infus dengan kecepatan 5-15 mikrogram/kgBB/menit. Dosis ditritasi sesuai dengan respon hemodinamik.

30

BAB IIIRANGKUMAN

Preklampsia adalah gangguan multisitem dengan etiologi yang belum diketahui secara jelas. Preeklampsia merupakan penyebab kematian tertinggi pada wanita hamil. Sel endotelial vaskuler kelihatannya menjadi tempat utama terjadinya proses eklampsia. Preeklampsia ditandai dengan hipertensi, yang berkaitan erat dengan sirkulasi yang hiperdinamik dan adanya peningkatan resistensi vaskuler sistemik. Pengendalian tekanan darah pre-operatif bertujuan mengurangi efek samping akibat tingginya tensi, disamping juga mencegah kenaikan tekanan darah pada saat kritis, yaitu terutama pada waktu laringoskopi atau intubasi. Bermacam obat dengan mekanisme dan tempat kerja yang berbeda dapat digunakan dengan mempertimbangkan kondisi pasien preeklamsia dan tidak membahayakan janin.

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Aya, AGM., Mangin, R., Vialles, N., et al., 2003, Patients with Severe Preeclampsia Experience Less Hypotension During Spinal Anesthesia for elective Cesarean Delivery than Healthy Parturients., Br J Anaesth, 867-872

2.

Basuki,

Gunawarman1984.

Analgesia

Subaraknoid

Pada

Seksio

Cesaria.available.www.hhtp//penggunaan efedrin pada pasien hipotensi. 13 Oktober 2009.3.

Benowitz, NL., 1999. Cardiovascular-Renal Drugs. In : Basic and Clinical Pharmacology, Ed Katzung, BG., 9th ed., McGraw Hill, Toronto, 160-80 Carson, Michael. (2008) Hypertension in Pregnncy.

4.

http://www.gynob.com/htiup.htm. Accessed on October 13th, 2009.5. 6.

Chapman, 2006, Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran, EGC : Jakarta Cotton, DB., Longmire, S., Jones, MM., 1986. Cardiovascular alteration in severe pregnancy-induced hypertension : Effect of intravenous nitroglycerine coupled with blood volume expansion. Am J Obstet Gynecol ,154, 1053-9

7.8.

Farmakologi Atlas Bergambar edisi 2. 2004. EGC : Jakarta Gambling, DR., 2004. Hypertensive Disorder. In : Obstetric Anesthesia, Principles and Practice, Ed Chesnut, DH., 3rd ed., Elsevier Mosby, USA, 794-835

9.

Ganiswarna, Sulistia. G. 2005. Farmakologi dan Terapi edisi 4.FKUI : Jakarta. Gibson, Paul. (2009) Hypertension and Preganancy.

10.

http://emedicine.medscape.com. Accessed on October 13th, 2009.11.

Grunewald C., Faxelius G., Lagercrantz H., 1993, Effect ofd nitroglycerine on the uterine and umbilical circulation in severe preeclampsia, Obster Gynecol, 86, 600-604

12.

Kumar N., Batra, YK., Gopalan, S., 1993. Nifedipine Attenuates the Hypertensive Response to Tracheal Intubation in Pregnancy-induced Hypertension. Can J Anaesth, 40,329-33

13.

Lawes, EG.,Downing, JW., Duncan, PW., et al.. 1987. Fentanyl-Droperidol Suplementation of Rapid Sequence Induction in The Presence of Severe 32

Pregnancy-induced and pregnancy-aggravated Hypertension, Br J Anaesth, 59, 1381-9114.

Mabi, WC., Ratts, TE., Sibai, BM., 1989. The central hemodynamics of severe preeclampsia. Am J Obstet Gynecol, 161, 1443-8 Martini, Frederic H. 2001. Fundamental of Anatomy & Physiology. fifth edition. New Jersey : Prentice Hall. Morgan, GD., Mikhail, MS., Murray, MJ. Et al., 2002. Clinical Anesthesiology, 3rd ed., Lange Medical Book, Toronto Ramanathan, J., Coleman, P., Sibai, B., 1991, Anesthetic Modification of Hemodynamic and Neuroendocrine Stress Responses to Caesarean Delivery in Women with Severe Preeclampsia, Anesth and Analg, 772-79

15.

16.

17.

18.

Rambulangi, John. 2003. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

19. 20.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC: Jakarta Smith, Melanie. (2006) Hypertension in Pregnancy. http://www.healthline.com. Accessed on October 13th, 2009.Stevensom, Fraizer dan Shreelaata Datta. 2003. Renaal and Urinary Systems. Elsevier Mosby : Philadelphia.

21.

Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 edisi 4. EGC: Jakarta. Wibowo, Budiono and Trijatmo Rachimhadi. (2007) Preeklampsia dan Eklampsia. Dalam: Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

22.

33