BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangPajak merupakan kontrubusi wajib kepada Negara
yang terutang oleh orang pribadi/badan yang bersifat memaksa
menurut UU dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan
digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rayat (definisi menurut UU KUP No. 28 Tahun 2007). Dari definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor
pajak, diperlukan perangkat hukum yang mengatur perpajakan terhadap
rakyat. Prinsip yang utama adalah keadilan pengenaan pajak.
Keadilan akan tercapai jika adanya kepastian undang-undang.
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan,
membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan
hak dari setiap Warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk
peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan
kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut.Salah satu
jenis pajak yang paling potensial adalah Pajak Penghasilan (PPh).
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subjek
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu
tahun pajak. Salah satu pajak penghasilan tersebut adalah Pajak
Penghasilan Pasal 23, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan atas
penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau Bentuk Usaha Tetap
(BUT) yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasai dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21,
seperti dinyatakan dalam UU Pajak Penghasilan Pasal 23 No. 36 Tahun
2008. Yang melatar belakangi adanya PPh Pasal 23 adalah:1. Adanya
tambahan penghasilan (dijelaskan lebih lanjut dalam pembahasan 3.3)
yang belum dikenai potongan PPh Pasal 21,2. Diperlukannya tarif dan
cara perhitungan yang berbeda dari PPh Pasal 21,3. Diperlukannya
regulasi khusus dan kerangka hukum yang jelas dan tepat untuk
mengatur pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 23.Hal tersebut di
atas lah yang akhirnya mendasari adanya PPh Pasal 23 di Indonesia
yang berlaku hingga saat ini.
1.2 Ruang LingkupRuang lingkup dari makalah ini adalah:1.
Tentang PPh Pasal 232. Pemotong PPh Pasal 233. Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 234. Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal
235. Penghasilan yang Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 236.
Tarif dan Cara Perhitungan PPh Pasal 237. Saat Terutang,
Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 238. Surat Pemberitahuan Masa
dan Bukti Pemotongan
1.3 Tujuan PenulisanAdapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:1. Mengetahui latar belakang adanya PPh Pasal 23,2. Menambah
wawasan mengenai PPh Pasal 23,3. Melatih kecakapan dalam dalam
penguasaan materi perpajakan terutama PPh Pasal 23,4. Mengerti
pentingnya pemahaman materi perpajakan tentang PPh Pasal 23 sebagai
warga Negara yang kelak akan menjadi Wajib Pajak,5. Mendapatkan
gambaran mengenai PPh Pasal 23 agar kelak dapat menerapkannya
ketika telah memenuhi kriteria menjadi seorang Wajib Pajak.
BAB IILANDASAN TEORI2.1 Tentang PPh Pasal 23PPh (Pajak
Penghasilan) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam
Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang
oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya. Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap.Salah satu sistem pemungutan pajak adalah with holding
tax (pemotongan pajak melalui pihak ketiga) yang diterapkan pada
PPh Pasal 23. Penelitian terhadap pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan PPh Pasal 23 sangat diperlukan agar tidak terjadi
kesalahan dalam proses tersebut yang dapat mengakibatkan kekurangan
atas jumlah pajak yang seharusnya disetor ke kas negara. Kekurangan
tersebut dapat mengakibatkan kerugian baik bagi Wajib Pajak
dikarenakan adanya sanksi dari kantor pajak maupun bagi negara
karena berkurangnya penerimaan dari sektor pajak.
BAB IIIPEMBAHASAN
3.1 Pemotong PPh Pasal 23Pemotong pajak PPh Pasal 23 terdiri
atas:1. Badan pemerintah,2. Subjek Pajak badan dalam negeri,3.
Penyelenggara kegiatan,4. Bentuk usaha tetap,5. Perwakilan
perusahaan di liar negeri lainnya,6. Orang pribadi sebagai Wajib
Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23, yaitu:a. akuntan,
arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali
Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas; ataub. orang pribadi yagn
menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran
berupa sewa.
3.2 Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 (selanjutnya disebut sebagai
Wajib Pajak Pasal 23) terdiri atas:1. Wajib pajak dalam negeri
(orang pribadi dan badan);2. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
3.3 Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 23Penghasilan yang
dikenakan PPh Pasal 23 (selanjutnya disebut sebagai Objek Pajak PPh
Pasal 23 sesuai dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008, yaitu:1.
Dividen,2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lainnya
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang,3. Royalti,4. Hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara
kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan,5. Sewa dan
peghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) UU PPh,6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain
jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 UU PPh.
3.4 Penghasilan yang Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal
23Beberapa jenis penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh
Pasal 23 (bukan Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat (4)
UU No. 17 Tahun 2000, yaitu:1. Penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada Bank, 2. Sewa yang dibayarkan atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi,3. Deviden yang
diterima ole: perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah,
yayasan, dan organisasi sejenis,4. Bunga obligasi yang diterima
atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha,5. Bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi.6. Sisa Hasil Usaha Koperasi yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggotanya, yang bunganya kurang dari Rp. 240.000 / bulan.
Berdasarkan KMK No. 522/KMK.04/1998,7. Bunga simpanan yang tidak
melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
3.5 Tarif dan Cara Perhitungan PPh Pasal 23Pasal 23 ayat (1) UU
No. 36 Tahun 2008 menetapkan tarif sebagai berikut:1. 15% dari
jumlah bruto atas:a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang
pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;b. hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.2. 2% dari
jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.3. 2% dari
jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.4. 2% dari jumlah bruto atas imbalan
jasa lainnya, yaitu:a. Jasa penilai;b. Jasa Aktuaris;c. Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;d. Jasa
perancang;e. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan
oleh BUT;f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;g. Jasa
penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain
migas;h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;i.
Jasa penebangan hutanj. Jasa pengolahan limbahk. Jasa penyedia
tenaga kerjal. Jasa perantara dan/atau keagenan;m. Jasa di bidang
perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukanKSEI dan
KPEI;n. Jasa kustodian/penyimpanan-/penitipan, kecuali yang
dilakukan oleh KSEI;o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau
sulih suara;p. Jasa mixing film;q. Jasa sehubungan dengan software
komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;r. Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksis. Jasa perawatan /
pemeliharaan / pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon,
air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksit. Jasa maklonu.
Jasa penyelidikan dan keamanan;v. Jasa penyelenggara kegiatan atau
event organizer;w. Jasa pengepakan;x. Jasa penyediaan tempat
dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain
untuk penyampaian informasi;y. Jasa pembasmian hama;z. Jasa
kebersihan atau cleaning service;aa. Jasa katering atau tata
boga.5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari
tarif PPh Pasal 23,6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah
seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
diabayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;b.
Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material
(dibuktikan dengan faktur pembelian);c. Pembayaran kepada pihak
kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga(dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai
dengan perjanjian tertulis);d. Pembayaran penggantian biaya
(reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang
nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga
(dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga).Jumlah bruto tersebut tidak
berlaku:a. Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa
katering;b. Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
jasa, telah dikenakan pajak yang bersifat final;
Cara perhitungan PPh Pasal 23 untuk masing-masing Objek Pajak
dapat dilihat pada tabel 2.1Tabel 2.1Penghitungan PPh Pasal
23No.Objek PajakBesarnya PPh Pasal 23
1.Dividen15% x jumlah dividen
2.Bunga15% x jumlah bunga
3.Royalti15% jumlah royalty
4.Sewa2% x jumlah sewa
5.Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf e15% x jumlah hadiah/penghargaan/bonus
6.Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2)2% x jumlah sewa
7.Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain2% x jumlah imbalan(tidak
termasuk PPN)
3.6 Saat Terhutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh PPh Pasal 231.
PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau
pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Yang
dimaksud saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat
pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode
pembukuan yang dianutnya.2. PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh
Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi
atau Kantor Pos Indonesia.3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.4. Pemotong PPh Pasal 23 harus
memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan
yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong.5. Pelaksanaan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara
desentralisasi
Jika jatuh tempo batas akhir untuk pelaporan ataupun penyetoran
PPh Pasal 23 yang bersangkutan bertepatan dengan tanggal merah atau
hari libur atau hari Sabtu atau libur nasional, maka penyetoran
ataupun pelaporan bisa dilakukan pada atau dihari kerja
selanjutnya.Bukti Potong (BP) pajak penghasilan Pasal 23
HARUS/WAJIB diberikan kepada Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak
Orang Pribadi oleh pihak pemotong pajak.
3.7 Surat Pemberitahuan Masa dan Bukti PemotonganLampiran
ILampiran IILampiran III
BAB IVKESIMPULAN DAN REKOMENDASI4.1 Kesimpulan PPh Pasal 23
merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan ke penghasilan (dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan) selain yang
telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, Subjek Pajak atau
penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23
adalah WPDN dan BUT, PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, PPh Pasal 23 harus disetorkan oleh
Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim
berikutnya, Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
4.2 RekomendasiAdapun, rekomendasi atau saran yang dapat saya
berikan sebagai penulis makalah ini adalah:1. Hendaknya pemotong
pajak (PPh Pasal 23) yang berwenang menjaga kepatuhan dalam dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan terutama sebagai pemotong
pajak,2. Proses sosialisasi peraturan perpajakan sebaiknya berjalan
rutin, mengingat banyaknya aturan baru yang terbit atau bahkan
aturan lama yang belum dimengerti sepenuhnya oleh WPDN dan BUT,3.
Perhitungan PPh Pasal 23 harus dilaksanakan berdasarkan atau
mengkuti ketentuan terbaru. Maka dari itu Wajib Pajak hendaknya
terus mengikuti perkembangan informasi mengenai ketentuan dan tarif
PPh Pasal 23,4. Bagi WPDN dan BUT yang telah menjalankan
kewajibannya sebagai Wajib Pajak yang berkinerja baik, hendaknya
tetap mempertahankan atau lebih ditingkatkan lagi kinerjanya untuk
menghindari salah perhitungan di kemudian hari.
Lampiran I (Bukti Pemotongan PPh Pasal 23)
Lampiran II (Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal
26)
Lampiran III (Petunjuk Pengisian Formulir Daftar Bukti
Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26)
13