Page 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial
berdasarkan hasil diskusi kami ini dengan tepat waktu.
Di dalam laporan hasil diskusi tutorial ke-tiga pada blok empat belas ini, kami akan
membahas skenario mengenai seorang perempuan mengeluhkan nyeri perut bagian kanan
atas dan mata kekuningan.
Demikian skenario beserta learning objectives-nya yang telah kami diskusikan pada
pertemuan-pertemuan tutorial minggu kedua blok digestive. Semoga hasil diskusi tutorial ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
untuk lebih memahami mengenai penyakit-penyakit yang dapat menganggu sistem digestive.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan turut membantu
dalam penyelesaian laporan ini, masukan sangat kami harapkan untuk perbaikan dalam
pembuatan laporan tutorial selanjutnya.
Jumat, 30 Oktober 2015
Kelompok Tutorial VI Semester V
1
Page 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... 1
Daftar Isi.......................................................................................................... 2
I. Pendahuluan
1.1 Skenario 3 Blok 14............................................................................... 3
1.2 Keywords.............................................................................................. 3
1.3 Learning Objectives.............................................................................. 3
1.4 Mind Map............................................................................................. 4
II. Pembahasan
2.1 Hepatitis................................................................................................ 5
2.2 Kolelitiasis............................................................................................ 19
2.3 Kolesistitis............................................................................................ 29
2.4 Metabolisme Bilirubin.......................................................................... 33
2.5 Analisis Skenario.................................................................................. 35
III.Penutup
3.1 Kesimpulan......................................................................................... 36
IV. Daftar Pustaka.......................................................................................... 37
2
Page 3
SKENARIO III
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang dengan keluhan nyeri di perut atas bagian kanan
sejak 1 hari yang lalu. Awalnya kemarin perut mulai terasa tidak nyaman, selanjutnya mulai
memberat. Pagi tadi setelah sarapan ia merasakan nyeri yang hebat di perut atas bagian
kanan. Selain nyeri, pasien mengatakan tadi malam ia demam dan menggigil. Ia mengira ia
terkena infeksi saluran kemih karena beberapa hari ini urinenya berwarna agak gelap. Pasien
juga menceritakan bahwa suaminya mengomentari matanya yang menurut sang suami
menjadi kekuningan. Ia menjadi khawatir karena ia baca di internet mata kuning merupakan
salah satu tanda hepatitis.
KEYWORDS
- Seorang perempuan, berusia 40 tahun
- Nyeri perut bagian kanan atas dan tidak nyaman
- Nyeri memberat
- Setelah sarapan mengeluhkan nyeri yang sangat hebat
- Pada malam hari demam dan menggigil
- Urine yang berwarna gelap
- Mata pasien kekuningan
1.3 LEARNING OBJECTIVE
Definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi, pencegahan, prognosis dari hepatitis, kolelitiasis, dan kolesistitis,
metabolisme bilirubin, serta analisis skenario.
3
Page 4
1.4 Mind Map
4
Hasil Anamnesis:1. Nyeri perut bagian kanan atas dan tidak
nyaman2. Nyeri memberatSetelah sarapan 3. mengeluhkan nyeri yang sangat hebat 4. Pada malam hari demam dan menggigil5. Urine yang berwarna gelap6. Mata pasien kekuningan
Perempuan, berusia 40 tahun
Penegakan diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding:1. hepatitis, 2. kolelitiasis3. kolesistitis
Page 5
II. PEMBAHASAN
2.1 HEPATITIS
2.1.1 DEFINISI HEPATITIS
Hepatitis merupakan istilah untuk penyakit peradangan pada hati (liver). Peradangan
terjadi karena adanya toxin yang berada pada liver. Penyakit ini dapat menyeran g pada
semua orang, tak terkecuali orang yang memiliki kekebalan tubuh yang sangat baik. Hepatitis
ini bisa berakibat fatal apabila tidak ditanggulangi secara lanjut oleh si penderita. Hepatitis
yang dialami penderita selama kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, sedangkan hepatitis
yang dialami lebih dari 6 bulan disebut hepatitis kronis.
2.1.2 EPIDEMIOLOGI HEPATITIS
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan India untuk jumlah
penderita hepatitis.Di Indonesia infeksi HVA banyak mengenai anak usia< 5 tahun dan
biasanya tanpa gejala. Anak-anak ini merupakan sumber penularan bagi orang dewasa di
sekitarnya dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih berat.
Ahli kesehatan dari Divisi Hepatologi, Depatemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Ali Sulaiman memperkirakan sejumlah 13 juta penduduk
Indonesia mengidap hepatitis B dan empat juta penduduk lainnya menderita hepatitis C.
Meskipun belum mendapatkan angka pasti penderita penyakit yang menyerang fungsi
hati tersebut, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tjandra
Yoga Adhitama, memperkirakan sekitar 20 juta orang di Indonesia menderita Hepatitis B dan
C.
Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih
merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari
39,8-68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi
dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan di bawah standar. Lebih dari 75% anak
dari berbagai benua Asia, Afrika, India, menunjukkan sudah memiliki antibody anti-HAV
pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan
asimtomatik atau sekurangnya aniktertik.
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar dari 2,5% di
Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan
endemisitas sedang sampai tinggi. Di negara-negara Asia diperkirakan bahwa penyebaran
5
Page 6
perinatal dari ibu pengidap hepatitis merupakan jawaban atas prevalensi infeksi virus
hepatitis B yang tinggi. Hampir semua bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBeAg positif
akan terkena infeksi pada bulan kedua dan ketiga kehidupannya. Adanya HbeAg pada ibu
sangat berperan penting untuk penularan.Walaupun ibu mengandung HBsAg positif namun
jika HBeAg dalam darah negative, maka daya tularnya menjadi rendah. Data di Indonesia
telah dilaporkan pada tahun 1993, bahwa dari hasil pemantauan pada 66 ibu hamil pengidap
hepatitis B, bayi yang mendapat penularan secara vertical adalah sebanyak 22 bayi (45,9%).
Prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan
angka di antara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti HCV pada hepatitis virus akut
menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A
akut (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%). Untuk
hepatitis D, walaupun infeksi hepatitis ini erat hubungannya dengan infeksi hepatitis B, di
Asia Tenggara dan Cina infeksi hepatitis D tidak biasa dijumpai pada daerah dimana
prevalensi HBsAg sangat tinggi. Laporan dari Indonesia pada tahun 1982 mendapatkan hasil
2,7% (2 orang) anti HDV positif dari 73 karier hepatitis B dari donor darah. Pada tahun 1985,
melaporkan, di Mataram, pada pemeriksaan terhadap 90 karier hepatitis B, terdapat satu anti
HDV positif (1,1%).
Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memperluas program imunisasi hepatitis B ke
4 propinsi yaitu mencakup seluruh kabupaten dipropinsi NTB, Bali, D.I. Yogyakarta, dan 5
kabupaten di Jatim.
Kemudian pada tahun1992/1995 imunisasi telah dikembangkan di 6 Propinsi lainnya,
yaitu di Lampung, DKI Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Kalimantan Barat.
Selanjutnya pada tahun 1996/1997 dikembangkan secara nasional ke 27 Propinsi
dengan tahapan sebagai berikut: Prioritas khusus untuk propinsi dengan endemisitas tinggi,
yaitu Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur; propinsi lainnya masing-masing
satu kabupaten/kotamadya dalam tahap awal pengembangan.
Akhirnya, pada satu Maret 1997 vaksin hepatitis B dimasukkan kedalam program
immunisasi rutin. Pada tahun 2003, ditingkatkan dengan mencakup bayi baru lahir dengan
pemberian Hepatitis B – Uniject pada bayi usia 0 – 7 hari dan kini telah dilaksanakan di
seluruh Indonesia serta telah berhasil menurunkan prevalensi hepatitis B pada anak di bawah
4 tahun dari 6,2 persen menjadi 1,4 persen.
6
Page 7
Hepatitis A merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di dunia. Hepatitis
A terjadi secara sporadis di seluruh dunia, dengan kecenderungan pengulangan siklus
epidemi.Di dunia prevalensi infeksi virus hepatitis A sekitar 1.4 juta jiwa setiap tahun dengan
prevalensi tertinggi pada negara berkembang. Epidemi yang terkait dengan makanan atau air
yang terkontaminasi dapat meletus eksplosif, seperti epidemi di Shanghai pada tahun 1988
yang mempengaruhi sekitar 300 000 orang.
Infeksi Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, dengan tingkat prevalensi yang
berbeda-beda antar negara. Pembawa infeksi kronis merupakan reservoir utama, di beberapa
negara, khususnya di negara-negara belahan timur, 5-15 dari semua orang membawa virus,
meskipun sebagian besar tidak menunjukkan gejala. Pasien dengan infeksi HIV, 10% adalah
pembawa kronis hepatitis B. Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa 1,5 juta orang
terinfeksi hepatitis B, dan diperkirakan 300.000 kasus baru terjadi setiap tahunnya. Sekitar
300 orang ini mati dengan hepatitis fulminan akut, dan 5-10% dari pasien yang terinfeksi
hepatitis B kronis menjadi pembawa virus.Sekitar 4000 orang mati per tahun karena sirosis
hatiterkait hepatitis B dan 1000 karena karsinoma hepatoseluler.Sekitar 50% dariinfeksi di
Amerika Serikat menular secara seksual.
Sebelum skrining donor untuk anti-HCV (1992), HCV adalah penyebab paling umum
pasca transfusi hepatitis di seluruh dunia, jumlahnya untuk sekitar 90% dari penyakit ini di
Amerika Serikat. Studi yang dilakukan pada 1970 menunjukkan bahwa sekitar 7% dari
penerima transfusi menderita hepatitis NANB, dan bahwa sampai 1% dari darah unit
mungkin berisi virus. Pengenalan skrining anti-HCV telah mengurangi transmisi hingga
hampir 100%.
Saat ini diAmerika Serikat, HCV menyumbang sekitar 20% dari kasus hepatitis virus
akut, kurang dari 5% berhubungan dengan transfusi darah. Prevalensi anti-HCV tertinggi
pada pengguna narkoba suntik dan penderita penyakit darah (hingga 98%), sangat bervariasi
pada pasien hemodialisis (<10% -90%), prevalensi rendah pada heteroseksual dengan mitra
seksual multipel, pria homoseksual, pekerjakesehatan dan kontak keluarga orang terinfeksi
HCV (1% -5%), dan terendah didonor darah sukarela (0,3% -0,5%). Dalam populasi umum
bervariasi (0,2%-18%). Daerah prevalensi tinggi meliputi negara-negara di belahan timur,
Negara-negara Mediterania dan daerah-daerah tertentu di Afrika dan Eropa Timur.
Penyakit hepatitis A ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian
setiap tahunnya.Secara global, virus hepatitis merupakan penyebab utama viremia yang
7
Page 8
persisten. Di Indonesia berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, hepatitis A masih
merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar 39,8-
68,3%. Pada tahun 2002-2003 terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) hepatitis dengan 80%
penderita berasal dari kalangan mahasiswa. Dari data penderita hepatitis pada mahasiswa
menunjukkan 56% mahasiswa tersebut terbiasa makan di warung atau pedagang kuliner kaki
lima dengan hygiene sanitasi yang tidak baik.
Pada tahun 2010, prevalensi penyakit infeksi virus hepatitis A mencapai angka 9.3%
dari total penduduk 237.6 juta jiwa. Di sumsel tahun 2007 dengan jumlah penduduk
7.019.964 jiwa, prevalensi hepatitis A adalah 0.2-1.9%.
Di Indonesia, kurang lebih 10 persen (3,4-20,3%) dari populasi adalah pembawa virus
hepatitis B (HBV). Prevalensi ini tidak menurun. Di Jakarta, hampir 9 persen pengguna
narkoba suntikan (IDU) HBsAg+ (mempunyai infeksi HBV kronis, dan dapat menular pada
orang lain). Namun di Asia-Pasifik, kebanyakan penularan terjadi dari ibu-ke-bayi, dan 90
persen anak yang terinfeksi tetap mempunyai infeksi kronis waktu menjadi dewasa. Penyakit
hepatitis biasanya juga didapat karena seseorang telah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi, susu, atau air. Pada tahun 2001, ada lebih dari 10.000 kasus infeksi hepatitis
akut dilaporkan di AS.
Ada empat serotipe HBV yang umum di Indonesia: adw di Sumatera, Java, Kalsel,
Bali, Lombok, dan Maluku Utara; ayw di NTT/NTB lain dan Maluku; adr di Papua; ayr di
Manado; dan campuran di Kalimantan, Sulawesi dan Sumbawa. Sementara genotipe B paling
umum di Indonesia, tetapi juga ada C dan D. Dampak dari perbedaan serotipe dan genotipe
tidak jelas.
2.1.3 ETIOLOGI HEPATITIS
Hepatitis merupakan istilah untuk penyakit peradangan pada hati (liver). Peradangan
terjadi karena adanya toxin yang berada pada liver. Penyakit ini dapat menyeran gpada semua
orang, tak terkecuali orang yang memiliki kekebalan tubuh yang sangat baik. Hepatitis ini
bisa berakibat fatal apabila tidak ditanggulangi secara lanjut oleh si penderita. Hepatitis yang
dialami penderita selama kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, sedangkan hepatitis yang
dialami lebih Secara umum hepatitis disebabkan oleh virus.
8
Page 9
Hepatits bisa disebabkan karena beberapa faktor yaitu :
a. Virus
HAV HBV HCV HDV HEV
Etiologi Ukuran 27 nm
RNA strainded
Non-enveloped
Bentuk
icosahedral
Jenis
heparnavirus
genus
picornaviridae
Ukuran 42nm
DNA virus
hepatotropik
Termasuk
dalam
Hepadnavirid
ae
Ukuran 33nm
RNA virus
rantai tunggal
Termasuk
dalam
klasifikasi
Flaviviridae,
genus
hepacivirus
Ukuran 35
nm
RNA virus
rantai tunggal
Diselubungi
oleh HBsAg
Memerlukan
bantuan HBV
untuk
ekspresinya
Ukura 27-34
nm
RNA virus
b. Bakteri
c. Zak kimia
Zat kimia ( yang paling sering: karbon tetra kloroda, fosfor, kloroform dan senyawa omas )
d. Obat-obatan
Obat-obatan seperti isoniazid, halotan, asetaminofen dan antibiotik tertentu, anti metabolik
serta obat-obat anastesi
2.1.4 PATOFISIOLOGI HEPATITIS
Inflamasi yang menyebar pada hepar dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi
toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut
lobul dan unit tersebut unik karena memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan
berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar akan ikut terganggu.
Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar akan menyebabkan nekrosis dan
kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masa inflamasi, sel-sel hepar yang telah rusak akan
dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang
sehat. Oleh karenanya, sebagian besar pasien yang mengalami hepatitis dapat sembuh dari
penyakitnya dengan fungsi hepar yang tetap normal.
9
Page 10
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan
dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut
kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Kerusakan sel parenkim hati akan menyebabkan ikterus pada penderita hepatitis.
Walaupun jumlah bilirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap
normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka akan
terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut di dalam hati. Selain itu, juga terjadi
kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya, billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui
duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada
duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang
sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama
disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis).
Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam urin,
sehingga menimbulkan bilirubin urinaria dan urin berwarna gelap. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang
akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS HEPATITIS
Secara umum gejala yang paling sering muncul pada hepatitis virus akut:
a. Myalgia
b. Nausea dan muntah
c. Fatigue dan malise
d. Perubahan penciuman dan pengecapan
e. Nyeri abdomen kuadran kanan atas
f. Coryza, photophobia, dan skait kepala
g. Diare ( mungkin feses yang seperti dempul atau urin yang berwarna gelap)
2.1.6 PENEGAKANDIAGNOSIS HEPATITIS
Diagnosis Hepatitis
1. Anamnesis
a. Fase Akut
10
Page 11
Periode inkubasi sekitar 1-6 bulan.
Simptompnya bisa ikterik dan bisa anikterik. Pasien dengan
anikterik memiliki kecendrungan untuk menjadi hepatitis yang
kronis.
Hepatitis ikterik dihubungkan dengan periode prodromal, dengan
simptom:
- Anoreksia
- Mual
- Muntah
- Low grade-fever
- Mialgia
- Fatigue
- Gangguan indera penciuman dan indera pengecap
- Nyeri pada kuadran kanan atas dan area epigastrik.
Pasien hiperakut biasanya menunjukkan:
- Hepatic encephalopathy
- Somnolen
- Gangguan tidur
- Kebingungan, penurunan fungsi mental
b. Fase Kronis
Pasien dengan hepatitis kronis bisa menjadi karier yang sehat tanpa
adanya tanda dan biasanya asimptomatik.
- Pasien dengan hepatitis kronis, selama fase replikatif akan
mengeluhkan beberapa hal antara lain:
- Simptom yang mirip akut
- Fatigue
- Anorexia
- Muntah
- Rasa tidak nyaman dan nyeri pada kuadaran kanan atas
- Dekompesasi hepatic
2. Pemeriksaaan Fisik
11
Page 12
Pemeriksaan fisik biasanya menemukan bervariasi dari minimal sampai
dekompensasi hepatic.
a. Pasien dengan hepatitis akut biasanya menemukan beberapa pada
pemeriksaan fisik antara lain:
Low-grade fever (flu like syndrome)
Kuning, setelah terlihat simptompnya dan paling tidak akan tetap
kuning sampai dengan 3 bulan (rata-rata 1-3 bulan).
Hepatomegali, disertai dengan nyeri tekan di kuadran kanan atas
dan area epigastrik
Splenomegaly (5-15%)
Eritema palmar (jarang)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Akut penyakit hepatitis B
Tingginya tingkat level alanine aminotransferase (ALT) dan
aspartat aminotransferase (AST), pada rentang 1000-2000 IU / mL,
merupakan ciri khas penyakit ini, meskipun nilai-nilai 100 kali
lebih dari batas atas normal (ULN) dapat diidentifikasi . Nilai yang
lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan hepatitis icteric.
Tingkat SGPT biasanya lebih tinggi daripada tingkat SGOT.
Alkaline phosphatase (ALP) mungkin berada dalam nilai tinggi,
tetapi nilainya biasanya tidak lebih dari 3 kali batas atas normal.
Tingkat albumin dapat sedikit rendah, dan kadar zat besi serum
dapat meningkat. Dalam periode preicteric (yaitu, sebelum
munculnya penyakit kuning), leukopenia (yaitu, granulocytopenia)
dan lymphocytosis adalah yang paling umum hematologic kelainan
dan disertai dengan peningkatan dalam tingkat sedimentasi eritrosit
(ESR).
Anemia karena pemendekan masa hidup sel darah merah jarang
ditemukan, walaupun hemolisis dapat dicatat. Trombositopenia
jarang ditemukan.
Pasien dengan hepatitis parah mengalami perpanjangan waktu
prothrombin (PT).
12
Page 13
Beberapa penanda virus dapat diidentifikasi dalam serum dan hati.
HbsAg (antigen Australia) dan HBeAg (penanda infektivitas)
adalah penanda pertama yang dapat diidentifikasi dalam serum.
HBcAb (IgM) setelah itu muncul.
Bagi pasien yang sembuh, serokonversi untuk HBsAb dan HBeAb
diamati, dan HBcAb adalah dari kelas IgG. Pasien dengan HbsAg
terus-menerus selama lebih dari 6 bulan mengembangkan hepatitis
kronis.
b. Hepatitis B kronis tidak aktif
Pembawa sehat memiliki SGOT normal dan SGPT yang
meningkat, dan tanda-tanda infektivitas (yaitu, HBeAg, HBV
DNA) dapat negatif.
HbsAg, IgG HBcAb dari jenis, dan HBeAb juga ditemukan di
dalam serum.
c. Hepatitis B Aktif Kronis
Pasien memiliki nilai yang ringan hingga sedang elevasi dari
aminotransferases (kurang dari atau sama dengan 5 kali ULN).
SGPT biasanya lebih tinggi daripada tingkat SGOT. Sangat
tingginya kadar ALT dapat diamati selama eksaserbasi atau
reaktivasi dari penyakit, dan mereka dapat disertai dengan
gangguan fungsi sintetik hati (yakni, penurunan kadar albumin,
kadar bilirubin meningkat, dan berkepanjangan PT). HbsAg dan
HBcAb dari jenis IgG atau IgM (dalam kasus reaktivasi)
teridentifikasi dalam serum.
Jika tingkat SGOT lebih tinggi daripada tingkat SGPT, diagnosis
sirosis harus dikecualikan. Jaringan-antibodi spesifik, seperti
antismooth muscle antibodi (ASMAs) (20-25%) atau antinuclear
antibodi (ANAs) (10-20%), dapat diidentifikasi. Jaringan-antibodi
spesifik, seperti antibodi terhadap kelenjar tiroid (10-20%), juga
dapat ditemukan. Peningkatan sedikit kadar faktor rematoid (RF)
biasanya ditemukan.
13
Page 14
d. Komplikasi Sirosis
Pada tahap awal, temuan virus hepatitis kronis dapat ditemukan.
Kemudian, dapat diidentifikasi kadar albumin rendah,
hyperbilirubinemia, PT memanjang, jumlah platelet dan jumlah sel
darah putih rendah, dan tingkat AST lebih tinggi daripada tingkat
SGPT.
Tingkat ALP dan gamma-glutamil transpeptidase (GGT) dapat
sedikit meningkat.
e. Derajat
Berdasarkan pada komponen inflamasi, dibagi menjadi:
Grade Explanation
Grade 0
Grade 1
Grade 2
Grade 3
Grade 4
Grade 0 – Portal inflammation only, no activity
Grade 1 – Minimal portal inflammation and patchy
lymphocytic necrosis, with minimal lobular
inflammation and spotty necrosis
Grade 2 – Mild portal inflammation and lymphocytic
necrosis involving some or all portal tracts, with mild
hepatocellular damage
Grade 3 – Moderate portal inflammation and
lymphocytic necrosis involving all portal tracts, with
noticeable lobular inflammation and hepatocellular
change
Grade 4 – Severe portal inflammation and severe
lymphocytic bridging necrosis, with severe lobular
inflammation and prominent diffuse hepatocellular
damage
2.1.7 TATALAKSANA HEPATITIS
14
Page 15
Hepatitis A
Penderita yang menunjukkan gejala hepatitis A seperti minggu pertama munculnya
yang disebut penyakit kuning, letih dan sebagainya, diharapkan untuk tidak banyak
beraktivitas serta segera mengunjungi fasilitas pelayan kesehatan terdekat untuk
mendapatkan pengobatan dari gejala yang timbul seperti paracetamol sebagai penurun
demam dan pusing, vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan serta
obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah.
Pengobatan umum untuk hepatitis A adalah istirahat di tempat tidur.Juga penting
untuk minum banyak cairan, terutama bila kita mengalami diare atau muntah.Obat penawar
rasa sakit yang dijual bebas, misalnya ibuprofen dapat mengurangi gejala hepatitis A, tetapi
sebaiknya dibicarakan lebih dahulu dengan dokter.
Bila kita merasa kita mungkin terpajan pada HAV – misalnya bila seseorang dalam
rumah tangga kita baru didiagnosis hepatitis A – sebaiknya kita memeriksakan diri ke dokter
untuk membicarakan manfaat suntikan immune globulin (juga disebut sebagai gamma
globulin).Immune globulin mengandung banyak antibodi terhadap HAV, yang dapat
membantu mencegah timbulnya penyakit bila kita terpajan pada virus.Immune globulin harus
diberikan dalam dua hingga enam minggu setelah kita mungkin terpajan pada HAV.Bila kita
menerima immune globulin untuk mencegah hepatitis A, sebaiknya kita juga menerima
vaksinasi hepatitis A.
Hepatitis B
Saat ini ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B, pengobatan
tersebut tersedia dalam bentuk antiviral seperti lamivudine dan adefovir dan modulator
sistem kebal seperti InteAlfa (Uniferon).
Dengan mengambil interferon sebagai obat, tubuh akan merangsang sistem kekebalan
tubuh untuk melawan virus hepatitis B. Namun, tidak semua orang dapat mengambil
interferon karena efek samping. Dalam dua minggu pertama mengambil interferon, tubuh
dapat memperburuk gejala dan akan dapat mengalami depresi, lelah, dan menderita nyeri
otot, demam dan mual.
Meskipun interferon suntik sedikit berbeda dengan yang dihasilkan tubuh, interferon
ini dapat membantu menumpas virus dengan dua cara:o Pertama sebagai imunomodulator membantu sistem imun dalam menghentikan
perkembangbiakan virus.o Kedua sebagai antiviral – menginduksi jalur degradasi RNA melalui induksi enzim 2’-5’-
OAS sehingga mencegah replikasi virus.
Interferon yang digunakan untuk pengobatan hepatitis meliputi interferon alfa dan
pegylated interferon alfa.o Telbivudine
o Merupakan obat antivirus lain yang digunakan untuk menghentikan virus hepatitis B
dari replikasi.Ini adalah dalam bentuk pil yang harus diambil setiap hari. Terdapat
15
Page 16
hampir tidak ada efek samping tetapi jika Anda berhenti minum pil, gejala mungkin
akan memburuk. Selain itu, jika minum pil terlalu lama, virus bisa menjadi resisten
terhadap obat-obatan.o Entecavir
o Merupakan obat antivirus lain dalam bentuk pil. Pil ini harus dilakukan sekali sehari
dan jika menghentikannya, akan timbul gejala-gejala yang menjadi lebih buruk.o Lamivudine
o Mirip dengan Telbivudine tetapi tidak kuat.Ini juga merupakan pil yang harus
diminum sekali sehari.Obat antivirus ini tidak dianjurkan untuk orang dengan masalah
ginjal.o Adefovir dipivoxil
o Obat anti virus dalam bentuk pil yang mampu menghentikan virus dari replikasi.Obat
ini sangat efektif untuk orang-orang yang resisten terhadap Lamivudine.
Selain itu, ada juga pengobatan tradisional yang dapat dilakukan.Tumbuhan obat atau
herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan Hepatitis
diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh
zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat anti radang, kolagogum dan khloretik,
yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati.
Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis,
antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa), sambiloto
(Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun serut/mirten, jamur
kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata cyllindrica), rumput mutiara
(Hedyotis corymbosa), pegagan(Centella asiatica), buah kacapiring (Gardenia augusta), buah
mengkudu (Morinda citrifolia), jombang (Taraxacum officinale). Selain itu juga ada
pengobatan alternatif lain Hepatitis B seperti hijamah/bekam yang bisa menyembuhkan
segala penyakit hepatitis, asal dilakukan dengan benar dan juga dengan standar medis.
Hepatitis C
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti Interferon
alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin.Adapun tujuan pengobatan dari Hepatitis C
adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan
yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati.Pengobatan pada penderita Hepatitis C
memerlukan waktu yang cukup lama bahkan pada penderita tertentu hal ini tidak dapat
menolong, untuk itu perlu penanganan pada stadium awalnya.
PENCEGAHAN HEPATITIS
Dalam hal mencegah hepatitis ini terbagi menjadi dua kategori pencegahan penyakit
hepatitis ini.Yaitu pencegahan penyakit hepatitis secara umum dan juga pencegahan penyakit
16
Page 17
hepatitis secara khusus. Karena penyakit hepatitis ini adalah karena virus dan sebagian besar
menular melalui darah atau pun cairan tubuh yang tercemar dengan virus hepatitis ini maka
kita harus benar-benar waspada akan penularan penyakit hepatitis ini.
Yang termasuk kategori mencegah penularan penyakit hepatitis secara umum adalah
sebagai berikut :
a. Menghindari kontak seksual atau hubungan badan dengan penderita hepatitis B,
termasuk dalam hal ini kontak dengan cairan tubuh seperti ludah dan juga sperma.
b. Menghindari pemakaian alat suntik yang tidak steril ( dalam dunia kesehatan
harus menggunakan alat suntik sekali pakai ), alat tatto, alat tindik, pemakaian
narkoba yang menggunakan jenis alat suntik sebagai medianya, berganti-ganti
pasangan.
c. Pada ibu hamil untuk mengadakan skrining pada awal kehamilan serta juga
setelah memasuki trimester ke III kehamilan.
Dan yang masuk dalam mencegah dan pencegahan penyakit hepatitis secara khusus
adalah dengan melakukan imunisasi aktif. Imunisasi aktif hepatitis ini adalah bertujuan jalur
transmisi penyebaran penyakit hepatitis ini melalui program imunisasi bayi baru lahir
dan kelompok resiko tinggi tertular hepatitis.
2.1.8 KOMPLIKASI HEPATITIS
1. Hepatitis fulminan
Suatu sindrom klinis akibat nekrosis masif sel-sel hepar, sehingga terjadi gagal hati
yang berat secara mendadak.
2. Hepatitis kronik persisten
Perjalanan penyakit yang memanjang 4-8 bulan, namun biasanya dapat sembuh
kembali.
3. Hepatitis relaps
Kekambuhan setelah serangan awal akibat minum alcohol atau aktivitas fisik
berlebih.
4. Hepatitis kronik aktif (hepatitis agresif)
Kerusakan hepar permanen berlanjut menjadi sirosis. Kematian biasanya terjadi
dalam 5 tahun.
5. Sirosis hati
Sirosis hati merupakan komplikasi paling sering. Pada keadaan ini kerusakan sel-sel
hepar diganti oleh jaringan parut (sikatrik). Semakin parah kerusakan, semakin besar
jaringan parut yang terbentuk dan semakin berkurang jumlah sel hati yang sehat.
17
Page 18
Sehingga berdampak pada penurunan sejumlah fungsi sel hati sehingga menimbulkan
sejumlah gangguan pada fungsi tubuh secara keseluruhan.
6. Kanker hati (karsinoma hepatoseluler)
Kanker hati ini merupakan komplikasi lanjut yang bermakna. Penyebab utamanya
adalah infeksi HBV kronik dan sirosis
2.1.9 PROGNOSIS HEPATITIS:
Prognosis Hepatitis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
2.2 KOLELITIASIS
18
Page 19
2.2.1 DEFINISI KOLELITIASIS
Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak,
dan fosfolipid . Kejadian kolelitiasis biasanya diikuti dengan kemunculan gelaja peradangan
kandung empedu atau disebut kolesistitis.
Batu empedu menurut komposisinya dibagi menjadi 3 jenis yaitu batu pigmen, batu
kolesterol, dan batu campuran. Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari
keempat anion ini yaitu bilirubinat, karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Batu-
batu ini cenderung berukuran kecil, multiple, dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen
yang berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis kronis. Batu pigmen berwarna coklat
berkaitan dengan infeksi empedu kronis, batu semacam ini lebih jarang dijumpai.
2.2.2 EPIDEMIOLOGI KOLELITIASIS
Kejadian batu empedu dinegara – negara industri antara 10 – 15 %. Di Amerika
Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi
oleh batu kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi
sedangkan, penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada 73%
pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan
etnis. Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita.
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu empedu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu : 1. Batu kolesterol dimana komposisi
kolesterol melebihi 70%, 2. Batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang
mengandung Ca-bilirubinate sebagai komponen utama, dan 3. Batu pigmen hitam yang kaya
akan residu hitam tak terekstraksi.
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol : 1.
Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 2. Percepatan terjadinya kristalisasi
kolesterol dan 3. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus.Sedangkan patogenesis batu
pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor
diet.Kelebihan aktivitas β-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran
kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur.
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu, namun batu kandung
empedu ialah yang tersering didapat.Bila batu empedu ini tetap saja tinggal di dalam kandung
19
Page 20
empedu, maka biasanya tidak menimbulkan gejala apapun.Gejala – gejala biasanya timbul
bila batu ini keluar menuju duodenum melalui saluran empedu, karena dapat menyebabkan
kolik empedu akibat iritasi, hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus cysticus.Bila
obstruksi terjadi pada duktus koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan
kadang – kadang sirosis bilier.
Jika batu empedu tidak menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan
pengobatan.Meski demikian, banyak juga kasus batu empedu yang membutuhkan tindakan
operasi yang disebut cholecystectomy.Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan
laparoskopi atau bedah minimal.Karena hanya dengan sayatan kecil, proses pemulihannya
pun lebih cepat.Bedah minimal juga hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi
komplikasi hanya ringan saja, tidak seperti bedah terbuka.Ada pula kasus yang
mengharuskan kantong empedu diangkat.Walaupun organ ini sudah dibuang, seseorang bisa
saja melanjutkan kehidupannya dengan normal dan tetap produktif karena sebetulnya
kantong empedu hanya berfungsi sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani
pengangkatan kantong empedu, pasien sebaiknya memperhatikan pola makan yaitu dengan
membatasi asupan makanan berlemak atau berminyak.
2.2.3 ETIOLOGI KOLELITIASIS
Penyebab dari batu empedu bermacam-macam. Ada 2 tipe utama dari batu empedu :
Batu yang terbuat dari kolsterol, yang merupakan tipe paling umum.
Batu yang terbuat dari bilirubin, yang dapat terjadi ketika hemolisis yang memicu
meningkatnya bilirubin. Batu ini disebut batu pigmen.
Adapun hal-hal yang dapat mendukung terjadinya batu empedu :
Transplantasi sumsum tulang atau organ lain
Diabetes
Gagalnya kandung empedu untuk mengosongkan empedu (biasanya terjadi saat
hamil)
Sirosis hati dan infeksi traktus bilier (Batu pigmen)
Kondisi yang menyebabkan meningkatnya bilirubin seperti anemia hemolitik kronis,
termasuk anemia sickle cell
20
Page 21
Faktor risiko batu empedu memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty
(gemuk), Fourty ( 40th), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko
mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 th
tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 th dan
pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus ( DM ), baik wanita maupun pria,
berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak – anak
pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter.
FAKTOR RESIKO
a. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia> 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari
40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu
semakin tinggi. Hal ini disebabkan:
1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan
bertambahnya usia.
3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria.Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 %
pria menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Obesitas
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
21
Page 22
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko
untuk menderita kolelitiasis.Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar
kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu
dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan
berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis.Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
2.2.4 PATOFISIOLOGI KOLELITIASIS
Kolelitiasis dibagi menjadi 2 tipe besar, yaitu batu kolesterol (80%) dan batu pigmen
(20%).Batu kolesterol biasanya berisi >50% kolesterol monohidrat dan campuran antara
garam kalsium, pigmen empedu, protein, dan asam lemak.Batu pigmen tersusun atas kalsium
bilirubinat yang mengandung <20% kolesterol dan diklasifikasikan menjadi tipe “hitam” dan
“coklat”.
a. Batu Kolesterol
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam
empedu.Hati berperan sebagai metabolisme lemak.Kira-kira 80% kolesterol yang
disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian
disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa
oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.
Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi
garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu.Jika
konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi),
kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal
menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
22
Page 23
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna.Sejumlah penyelidikan
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat
jenuh dengan kolesterol.Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori
dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan
penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras untuk
menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
b. Batu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu
pigmen, tidak banyak bervariasi.Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil,
dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam,
dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.Patogenesis batu berpigmen
didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut
dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium.Bilirubin adalah suatu produk
penguraian sel darah merah.
2.2.5 MANIFESTASI KLINIS KOLELITIASIS
23
Page 24
Gejala yang paling spesifik adalah dikeluhkannya biliary colic yang konstan dan
berlangsung lama dapat hingga 5 jam pada daerah kuadran kanan atas abdomen.
Mual dan muntah sering dirasakan menyertai nyeri biliar.
Bila didapatkan demam dan rigor menandakan telah terdapat komplikasi yakni
kholesistitis, pancreatitis, cholangitis.
Keluhan seperti epigastric fullness, dyspepsia, flatulence terjadi terutama pada saat
mengkonsumsi makanan berlemak.
2.2.6 DIAGNOSIS KOLELITIASIS
Penegakkan diagnosis kolelitiasis
a. Anamnesis
- Keluhan utama :
apakah ada rasa nyeri pada daerah epigastrium yang menjalar ke derah
bahu kanan?
apakah nyerinya hilang timbul atau terjadi secara terus menerus?
Kapan mulai merasakan nyeri?
Bagaiman rasa nyeri tersebut dapat timbul?
Jika diberikan skala 1-10, nyeri yang pasien rasakan berada pada skala
berapa? (untuk menentukan derajat kesakitan yang dirasakan pasien)
Apakah rasa nyeri sampai menggangu aktivitas atau tidak?
- Keluhan penyerta :
Apakah ada demam, mual dan muntah?
- Riwayat penyakit dahulu :
Apakah dahulu pernah mengalami sakit yang sama atau ini baru yang
pertama kalinya?
Atau dahulu pernah menderita suatu penyakit?
- Riwayat penyakit keluarga ?
Apakah dalam keluarga ada yang mengalami hal yang sama atau hanya
pasien tersebut seorang?
b. Pemeriksaan Fisik
24
Page 25
- Pemeriksaan Vital Sign : tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan
suhu.
- Inspeksi : dilihat secara umum dari penampakan pada pasien, apakah pasien
terlihat kesakitan, sangat keakitan atua tidak, dilihat apakah pasien ikterik atau
anemis, kemudian dilihat pada daerah yang nyeri apakah terjadi perubahan warna,
kelainan bentuk atau terdapat penampakan yang abnormal pada daerah yang sakit.
- Palpasi : pada palpasi biasanya ditemukan nyeri tekan, dan murphy’s sign positif
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
Uji ekskresi empedu
Untuk mengukur kemampuan hati untuk mengkonjugasi dan
mengekresikan pigmen
Bilirubi direk (terkonjugasi), untuk mengukur kemampuan hati
untuk mengkonjugasi dan mengekresikan pigmen empedu.
Bilirubin ini akan meningkat bila terjadi gangguan ekresi bilirubin
terkonjugasi
Bilirubin indirek (tak terkonjugasi), bilirubin ini akn meningkat
pada keadaan hemolitik
Bilirubin serum total, merupakan bilirubin serum direk dan total
meningkat pada penyakit hepatoseluler
Biliribin urine/bilirubinia, merupakan bilirubin terkonjugasi
diekresi dalam urin, apabila kadarnya meningkat dalam serum
menandakan adanya obstruksi pada sel hati atau saluran empedu
Uji enzim serum
Dilakukan pemeriksaan Asparte aminotransferase (AST) dan alanin
aminotransferase (ALT), merukan enzim intrasel yang terutama
berada dijantung, hepar dan jaringan skelet yang dilepaskan dari
jaringan yang rusak (seperti nekrosis atau terjadi perubahan
permeabilitas sel dan akan meningkat pada kerusakan hati. Kadar
ALT akan meningkat jika terjadi obstruksi biliaris.
- Foto polos abdomen
Untuk melihat keadaan dari kandung empedu apakah terdapat penampakan yang
abnormal.
25
Page 26
- Kolangiografi hepatic perkutan
Penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier, dapat dilihat semua
komponen system bilier (duktus hepatikus, duktus koledukus, suktus sistikus dan
kandung empedu)
- ERCP (endoscopic retrograde Cholangio Pancreatograph)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukkan kedalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan kedalam duktus tersebut.
Fungsi pemeriksaan ini untuk memudahkan visualisasi langsung struktur bilier
dan memudahkan akses kedalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu juga berfungsi untuk mebedakan ikterus yang disebabkna
oleh penyakit hati dengan ikterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier, dan untuk
menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya
sudah diangkat.
2.2.7 PENATALAKSANAAN KOLELITIASIS
Konservatif
a) Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami
keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya
keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan
sehingga penanganan dapat elektif.Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk
melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan
diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.Terapi efektif pada ukuran batu kecil
dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.
b) Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu.Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi.
c) Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun
yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang
26
Page 27
benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.
Penanganan operatif
a) Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik.Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas
pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian
secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 %
sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.
b) Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah.Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma
duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya
berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan
lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari,
cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
c) Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil
dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah.
2.2.8 KOMPLIKASI KOLELITIASIS
27
Page 28
1. Kolesistisis: Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh
batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu. Komplikasi ini
dapat terjadi akut maupun kronis.
2. Kolangitis: peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh
sebuah batu empedu.
3. Hidrops: Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak
dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat
kuratif.
4. Empiema: Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
5. Kolik bilier
2.2.9 PROGNOSIS KOLELITIASIS
Kurang dari setengah pasien dengan batu empedu menjadi simtomatik. Mortalitas
untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan kurang dari 10% morbiditas. Tingkat
kematian untuk emergent kolesistektomi adalah 3-5% dengan morbiditas 30-50%.Sekitar 10-
15% pasien berhubungan dengan koledokolitiasis.Prognosis pada pasien koledokolitiasis
tergantung pada ada dan keparahan komplikasi.Semua pasien yang menolak operasi atau
tidak dapat menjalani operasi, 45% tetap asimtomatik, 55% mengalami komplikasi.
28
Page 29
2.3 KOLESISTITIS
2.3.1 DEFINISI KOLESISTITIS
Kolesistitis adalah istilah medis yang menunjukkan adanya peradangan pada kandung
empedu. Sesuai dengan namanya, kandung empedu berfungsi menampung cairan empedu
yang diproduksi hati (liver) kemudian memompanya ke dalam usus halus saat ada makanan
masuk. Fungsi cairan empedu adalah membantu mencerna lemak. Secara fisik, kandung
empedu berbentuk seperti buah pir, tetapi ukurannya lebih kecil. Letaknya pada regio perut
kanan atas, persis di bawah hepar.
2.3.2 EPIDEMIOLOGI KOLESISTITIS
Di dunia, faktor risiko utama untuk kolesistitis, memiliki peningkatan prevalensi di
kalangan orang-orang keturunan Skandinavia, Pima India, dan populasi Hispanik, dan jarang
terjadi di antara orang dari sub-Sahara Afrika dan Asia. Sejauh ini belum ada data
epidemiologis penduduk di Indonesia, insidens kolesistitis di Indonesia relative lebih rendah
di banding negara-negara barat. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka
kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun.
2.3.3 ETIOLOGI KOLESISTITIS
Penyebab terjadinya kolesistitis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.
Selain faktor-faktor di atas kolesistitis dapat juga terjadi pada pasien yang dirawat
cukup lama dan mendapat nutrisi secara parentesal pada sumbatan karena keganasan kandung
empedu, batu di saluran emepedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti
demam tifoid.
2.3.4 PATOFISIOLOGI KOLESISTITIS
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
Pembentukan empedu yang supersaturasi
Nukleasi atau pembentukan inti batu, dan
29
Page 30
Berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan
masalah terpenting dalam pebentukan semua batu, kecuali batu pigmen.
Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu
dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun dibawah harga
tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air
empedu. Dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, diselingi oleh mantel kulit yang hidrofilik dari
garam empedu dan fosfolipid (lesitin), jadi sekresi kolesterol yang berlebihan
(karena empedu adalah saluran utama yang mengeluarkan bahan inti dari badan)
atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan
yang litogenik.
Batu empedu ada dua tipe utama:
1. Batu pigmen
Batu pigmen sangat berisiko terjadi pada seseorang yang mengalami
sirosis, hemolisis, infeksi pada percabangan bilier, dan batu ini tidak bisa
dilarutkan dan pengeluarannya harus dengan operasi. Batu pigmen komposisnya
terdiri dari kalsium bilirubinat. Tidak seperti batu kolesterol, batu ini seringkali
murni, berwarna hitam pekat, dan disebut jack stones.
2. Batu kolesterol
Pada 80% kasus, kolestrerol merupakan komponen terbesar dari batu
empedu (batu kolesterol). Komposisi batu ini biasanya merupakan kalsium
karbonat, fosfat, atau bilirubin, tetapi batu-batu ini jarang terdiri dari satu
komponen saja. Batu kolesterol klasik berdiameter 1-3 cm, kuning pucat sampai
coklat, sering multipel, bulat atau persegi oleh karena aposisi yang berdesakan.
Penyakit batu kolesterol terjadi akibat beberapa defek yaitu: penjenuhan empedu
oleh kolesterol, nukleasi kolesterol monohidrat diikuti oleh retensi kristal dan
pertumbuhan batu., gangguan motorik kandung empedu yang menyebabkan
perlambatan pengosongan dan stasis
3. Batu campuran
Batu yang terbentuk dari campuran antara kolesterol dan pigmen, dimana
mengandung 20-50% kolesterol.
30
Page 31
2.2.5 MANIFESTASI KLINIS KOLESISTITIS
75% orang yang memiliki empedu tidak memperlihatkan gejala.
Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium
Nyeri tekan
Kenaikan suhu badan
Nyeri menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda.
Penderita dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar-mandir atau berguling
ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidur.
Nausea dan muntah
Bila penyakit mereda, nyeri dapat ditemukan di atas kandung empedu
2.2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS KOLESISTITIS
a. Pemeriksaan fisis:
o Teraba masa kandung empedu
o Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal (tanda murphy).
o Didapatkan ikterus, dijumpai pada 20% kasus dan umumnya derajat ringan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum
transaminase dan fosfatase alkali.
c. Pencitraan
o Foto polos abdomen: Tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya
pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak)
oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.
o Kolesistografi oral: tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada
obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistisis akut.
o Pemeriksaan ultrasonografi (USG): sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu,
batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekatan dan ketepatan USG
mencapai 90-95%.
31
Page 32
o Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n Tc6
Iminodiacetik mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak
mudah. Terlihat gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong
kolesistitis akut.
o Pemeriksaan CT scan abdomen: Kurang sensitif dan mahal tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat pada peeriksaan USG.
o Koleskintigrafi: yaitu suatu metode menggunakan agen radioaktif IV. Selanjutnya
pemindaian dilakukan pada saluran empedu untuk melihat adanya kandung empedu
dan pola biliar. Cara ini digunakan apabila tidak ada alat USG.
2.2.8 PENATALAKSANAAN KOLESISTITIS
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
o Istirahat yang cukup
o Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda.
o Berikan diet makanan cair rendah lemak dan karbohidrat
o Pemberian buah yang masak, nasi / ketela, daging tanpa lemak, kentang yang
dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti,kopi atau teh.
o Hindari telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bubu-bumbu berlemak.
2. Farmakoterapi
o Diberikan asam ursodeoksikolat (uradafalk) dan kerodeoksikolat (chenodical,
chenofalk digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil terutama terbentuk dari kolesterol .
o Mekanisme kerja ursodeoksikolat dan konodeoksikolat adalah menghambat
sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah
empedu.
2.2.8 KOMPLIKASI KOLESISTITIS
- Koledokolithiasis dan pankreatitis; merupakan komplikasi yang paling sering
- Kolangitis, abses hati, sirosis billier, empiema, ikterus obstruktif; lebih jarang terjadi
32
Page 33
2.2.9 PROGNOSIS KOLESISTITIS
Kolesistitis tanpa komplikasi memiliki prognosis yang baik, dengan tingkat kematian
sangat rendah. Pada 85% kasus, didapatkan penyembuhan secara spontan sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang
menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangrene, empiema, dan perforasi kandung empedu, fisitel, abses hati atau peritonitis
umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang adekuat pada awal serangan.
Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (˃75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek
disamping kemungkinan banyak komplikasi yang timbul pasca pembedahan.
2.4 METABOLISME BILIRUBIN
Metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik,
pascahepatik, masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga
pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada
salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
a. Fase Prehepatik
Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari
bilirubin dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan
hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya.
Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air.
Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml
plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin
yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan.
Bilirubin I (indirek) bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan
biliverdin. Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan
bukan bilirubin seperti pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan
suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang
terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan
terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti
oksidan yang kuat dalam membran, bersaing dengan vitamin E.
b. Fase Intrahepatik
33
Page 34
Di hati, bilirubin I (indirek) yang terikat pada albumin diambil pada permukaan
sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem transport difasilitasi ini
mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada
kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya. Bilirubin nonpolar (I / indirek)
akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut (II / direk). Hepatosit akan
mengubah bilirubin menjadi bentuk larut (II / direk) yang dapat diekskresikan dengan mudah
ke dalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang
dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase.
Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat
terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap,
memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan
membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi
menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
c. Fase Posthepatik
Eksresi bilirubin larut ke dalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan
mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis,
seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi
(bilirubin II).
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh
enzym bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh
bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah
urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa ke ginjal
kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian
besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk
sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.
34
Page 35
2.5 ANALISIS SKENARIO
Skenario Analisis
Perempuan, 40 tahun Resiko tinggi kolelitiasis (4F: Female, Fourty, Fatty,
Fertile)
KU : nyeri di perut atas bagian kanan
sejak 1 hari yang lalu
Terjadi karena adanya iritasi pada organ-organ di
daerah epigastrium dan sekitarnya (hati, kandung
empedu, pancreas dan lambung). Dimana organ
tersebut mengalami suatu gangguan atau kelainan
(misal: infeksi) yang akan mencetuskan nyeri yang
didukung dengan adanya ujung-ujung saraf nyeri.
Nyeri hebat di perut kanan atas setelah
sarapan
Kemungkinan apabila makanan yang dikonsumsi
tinggi kolesterol, dan kolesterol di metabolisme di
hati dan dieskresi di empedu. Sehingga jika terjadi
obstruksi pada embedu, dapat menimbulkan
nyeri.
Urin berwarna agak gelap Berhubungan dengan kelainan metabolisme
bilirubin (hiperbilirubinemia conjugated). Bilirubin
direk yang telah berhasil dikonjugasikan tidak
dapat di ekskresikan ke dalam duktus biliaris
akibat dari kekurangan ATP. Sehingga bilirubin
direk di serum meningkat dan terfiltrasi oleh
glomerulus dieksresikan di urin.
Mata menjadi kekuningan Hal ini adalah efek dari ikterus. Ikterus adalah
perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan
lainnya yang menjadi kuning karena pewarnaan
oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
sirkulasi darah. Biasanya yang pertama kali
mengalami ikterus adalah jaringan yang kaya
35
Page 36
elastin.
Kesimpulan Analisis Skenario
Berdasarkan keluhan utama dan gejala yang dialami pasien, diagnosis banding yang
didapatkan adalah hepatitis, kolelitiasis, kolesistitis. Untuk membantu menegakkan diagnosis kerja
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan serum antibodi terhadap hepatitis,
pemeriksaan pencitraan untuk melihat adanya kolelitiasis, pemeriksaan lab serum transaminase dan
fosfatase alkali untuk melihat adanya kolesistitis.
III. PENUTUP
Dalam diskusi tutorial ini, kita telah mempelajari beberapa jenis penyakit yang secara
khusus memiliki gambaran klinis nyeri perut kanan atas, tubuh berwarna kekuningan.
diagnosis banding penyakit tersebut hepatitis virus, kolesistitis dan kolelitiasis. Untuk
dapat menegakkan diagnosis secara pasti pada kasus di skenario, harus dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang lebih lanjut. Penatalaksanaan dari penyakit tergantung dari
hasil diagnosis berdasarkan etiologi yang diperoleh. Prognosis penyakit akan menjadi lebih
baik apabila penatalaksanaan secara farmakologis maupun non-farmakologis dilakukan sedini
mungkin.
36
Page 37
IV. DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. Boston: Mcgraw
Hill Companies, Inc.
IDAI. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2012.
Kumar V, Cotran RZ,. Gastroenterologi. Robbins SL, editor, 2007. Buku Ajar Patologi
robbins. Edisi 7. Vol.2. Jakarta; EGC.
Price, S.A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Jakart: EGC
Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
37