BAB IPENDAHULUAN
Demam Berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari
penyakit akibat infeksi virus dengue pada manusia sedangkan
manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam
dengue dan demam berdarah dengue. Dengue adalah penyakit daerah
tropis dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk ini
adalah nyamuk rumah yang umumnya menggigit pada siang hari.Penyakit
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia,
sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan
Jakarta, jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas
wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB
setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998. Penyebab
meningkatnya jumlah kasus dan semakin bertambahnya wilayah
terjangkit antara lain karena semakin baiknya transportasi penduduk
dari suatu daerah ke daerah lain dalam waktu singkat, adanya
pemukiman-pemukiman baru, penyimpanan-penyimpanan air tradisional
masih dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan
sarang nyamuk yang masih kurang, vector nyamuk terdapat di seluruh
pelosok tanah air (kecuali di ketinggian > 1000 m dari permukaan
air laut) dan adanya 4 serotype virus yang bersirkulasi sepanjang
tahun.Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut
(terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping
pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai
saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama
dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan
pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,
gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
BAB IILAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIENNama: Sdr. BJenis kelamin: laki-lakiUmur: 19
tahunSuku bangsa: IndonesiaAgama: Islam Pekerjaan: mahasiswaStatus
marital: belum menikahAlamat: jalan srikandi wirobolangNo register
: 13060395Tanggal masuk : 10 juni 2013 pukul 21.50
II. ANAMNESAKeluhan utama : panas
Riwayat penyakit sekarang : panas sejak 3 hari yang lalu, panas
naik turun di sertakan keringat dingin. Mual dan muntah sejak 3
hari yang lalu, muntah sebanyak 5kali. Diare sejak 3 hari yang
lalu, konsistensi encer. Pasien juga mengeluh sakit di ulu hati,
nafsu makan menurun. Pasien juga mengeluhkan pusing berputar dan
badan terasa lemas.
Riwayat penyakit dahulu :Dulu tidak pernah sakit seperti ini.
Tidak pernah masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit keluarga :Tidak ada keluarga yang sakit seperti
ini.
Riwayat social :Di lingkungan sekitar rumah tiadak ada yang
sakit seperti ini.
Riwayat alergi :Tidak ada alergi obat maupun makanan.
III. PEMERIKSAAN FISIKKeadaan umum : lemahKesadaran: compos
mentisVital sign :Tekanan darah: 120/80 mmHgNadi: 72 x/menitRR: 23
x/menitSuhu : 37,50C
Kepala Leher a/i/c/d: +/-/-/-tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening
Thorax Pulmo : retraksi otot-otot costa (-) Gerak nafas simetris
Sonor pada hemithoraks kanan dan kiriWheezing -/- , rhonki -/-Cor :
S1 S2 reguler , murmur (-)
Abdomen Inspeksi: Datar, tidak terlihat penonjolan massaPalpasi:
nyeri tekan pada adaerah epigastrium, pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-)Perkusi : timpaniAuskultasi: bising usus
normal
Ekstermitas Superior : Akral hangat, odema (-),uji tourniqet
(+), petekie (+)Inferior : Akral hangat, odema (-),uji tourniqet
(+), petekie (+)
IV. DIAGNOSISDemam Berdarah Dengue derajat II V. DIAGNOSIS
BANDING1. Chikungunya haemorragic fever2. Idiopathic
thrombocytopenic purpura3. Demam tifoid4. Malaria
VI. PENATALAKSANAAN1. Non Medikamentosa Tirah baring Minum
banyak , jenis minuman : air bening, teh manis, sirup, jus buah,
susu, oralit Diet tinggi kalori tinggi proteinObservasi tanda-tanda
vital (TD, nadi, suhu, frekuensi pernafasan) Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
2. Medikamentosa Infus IVFD RL : D5% xx tpm Cefotaxime 2x1gr
iv/12 jam Ranitidine 2x1 amp iv/12 jam Ondansentron 2x1 amp iv/12
jam Paracetamol 3x500 mg Neurodex 2x1tab Kalnex 3x500 mg
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
DARAH LENGKAPHemoglobin 16,3 g/dl13-16,5 g/dlLekosit4.020
/ul4.000-11.000 /ulTrombosit74.000 /ul150.000-350.000
/ulHematokrit49%L: 40-54% P : 35-47%
FUNGSI HATI (LFT)Billirubin direct0,13 mg/dl0,5 mg/dlBillirubin
total0,62 mg/dl1,0 mg/dlSGOT53 U/I31 U/ISGPT51 U/I31 U/I
FUNGSI GINJAL (RFT)BUN10,1 mg/dl10-20 mg/dlCreatinin0,9
mg/dl0,5-1,7 mg/dlUric acid5,3 mg/dlL : 3-7 ; P : 2-6 mg/dl
VIII. SOAP11 Juni 2013S : pasien mengeluhkan perut mules, mual
(+), muntah (-), pusing (+), panas 4 hari, BAB berwarna hitam, BAK
(+)O : KU : lemah, Kesadaran : composmentisTD : 110/70 mmHgN:
76x/mntRR: 20x/mntt: 36,80CTrombosit : 71.000 /cmmLeukosit : 2.350
/cmmA : Demam Berdarah Dengue derajat IIP : inf RLInj RanitidinInj
ondansentronInj sohobionInj cefotaximInj asam tranexamat12 Juni
2013S : pasien mengeluhkan masih pusing, panas pada malam hari,
keringat dingin pada malam hari, mual (-), muntah (-), mimisan 1x,
BAB berwarna hitam, BAK (+)O: KU : lemah, kesadaran :
composmentisTD : 110/70 mmHgN: 80x/mntRR: 20x/mntt: 36,60Cpetchie
(+), rumpled test (+)trombosit : 5.000 /cmmleukosit : 1.790 /cmmA:
Demam Berdarah Dengue derajat IIP : inf RLInj RanitidinInj
ondansentronInj sohobionInj cefotaximInj asam tranexamat
13 Juni 2013S : pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan. O :
KU : cukup, kesadaran : compos mentisTD : 110/70 mmHgN: 78x/mntRR:
18x/mntt: 36,40Cpetchie (+), rumpled test (+)trombosit : 18.000
/cmmleukosit : 2.700 /cmmA : Demam Berdarah Dengue derajat IIP :
inf RLInj RanitidinInj ondansentronInj sohobionInj cefotaximInj
asam tranexamat
14 Juni 2013S : pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan.O : KU
: cukup,kesadaran : composmentisTD : 120/80 mmHgN: 78x/mntRR:
22x/mntt: 36,50Cpetchie (+), rumpled test (+)trombosit : 53.000
/cmmleukosit : 5.150 /cmmA : Demam Berdarah Dengue derajat II P :
inf RLInj RanitidinInj ondansentronInj sohobionInj cefotaximInj
asam tranexamat
15 Juni 2013S : pasien mengatakan BAB berwarna hitam, panas (-),
mual (-), muntah (-), pusing (-)O : KU : cukup, kesadaran : compos
mentisTD : 110/70 mmHgN: 82x/mntRR: 20x/mntt: 36,30Cpetchie (+),
rumpled test (+)trombosit : 89.000 /cmmleukosit : 14.150 /cmm A :
Demam Berdarah Dengue derajat IIP : inf RLInj RanitidinInj
ondansentronInj sohobionInj cefotaximInj asam tranexamatBAB
IIITINJAUAN PUSTAKA
2.1. DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam
akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO
untuk DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari
infeksi virus dengue.
Gambar 2.1. Spektrum klinis infeksi virus dengueManifestasi
simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar
2.1.):1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau
tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2
atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau
uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue
positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita
demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama3. DBD (dengan
atau tanpa renjatan).
2.2. EtiologiVirus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne
Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus,
familio flavivisidae dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3, DEN 4.Di Indonesia pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa Rumah Sakit menunjukkan
keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi sepanjang tahun.
Serotipe DEN 3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Gambar 2.2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus
dengue
2.3. Patogenesis dan PatofisiologiTerdapat tiga faktor yang
memegang peranan pada penularan infeksi virusdengue, yaitu manusia,
virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus
yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali
kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul.Virus merupakan mikrooganisme
yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan
hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu
(host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan
tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan
baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila
daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom
syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan
serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang
telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.Patogenesis
terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan
berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu,
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.Hipotesis
kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung
oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Gambar 2.3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2.4.). Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor
III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.
Gambar 2.4. Patofisiologi perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel
kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.
2.4. Manifestasi Klinis DemamDemam tinggi yang mendadak, terus
menerus berlangsung selama 2 7 hari, naik turun (demam bifasik).
Kadang kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40 oC dan dapat
terjadi kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada
demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun
hatihati karena fase tersebut sebagai awal kejadian syok, biasanya
pada hari ketiga dari demam. Tanda-tanda perdarahanPenyebab
perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati,
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi
intravaskuler yang menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah
perdarahan bawah kulit seperti ptekia, purpura, ekimosis dan
perdarahan konjungtiva. Ptekia merupakan tanda perdarahan yang
sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetepai dapat pula
dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu,
epitaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
HepatomegaliPada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
bervariasi dari hanya sekedar diraba sampai 24 cm di bawah arcus
costa kanan. Derajat hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, namun nyeri tekan pada daerah tepi hepar berhubungan
dengan adanya perdarahan. SyokPada kasus ringan dan sedang, semua
tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun disertai
keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah,
akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini
memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada
kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah
beberapa hari demam pada saat atau beberapa saat setelah suhu
turun, antara 37, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di
sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil
sampai tidak teraba.
2.5. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi
kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam.
Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.Pada DBD
yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT,
APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk
membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai
baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini
membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih
dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan
reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih
cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini
juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini
banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
terdeteksi mulai hari ke 2.Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA
tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat
ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada
keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
USG.
2.6. DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1. Demam atau riwayat demam
akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik2. Terdapat minimal 1
manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif, petekie,
ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena3.
Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20% setelah
mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.Terdapat 4 derajat spektrum klinis
DBD (WHO, 1997), yaitu: Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas
dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan perdarahan lain. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi,
yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Keempat derajat tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.5.
berikut.
2.7. Diagnosis Banding1. Demam thyphoid2. Malaria3. Morbili4.
Demam Chikungunya5. Leptospirosis6. Idiophatic Thrombocytopenia
Purpura (ITP)
2.8. PenatalaksanaanPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat
suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian
terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara
hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut
secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan
gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang
mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat
diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat
antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada
protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai
berikut:1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 2.6).2.
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar
2.7).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
(gambar 2.8).4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD
dewasa.5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar
2.9).
Gambar 2.6. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
Gambar 2.7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat
Gambar 2.8. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit
>20%
Gambar 2.9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasaAda dua
hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti
kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik
kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai
cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang
ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain
memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.Secara umum, penggunaan
kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek
samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di
dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg
BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam
waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen
interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga
dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat
beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah
tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas
dari kemungkinan reaksi anafilaktik.Dibandingkan cairan kristaloid,
cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu pada jumlah volume
yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan
oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan
penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki
efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada
sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan
hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain
yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah
selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.Jumlah cairan yang
diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang
terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung.
Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan
berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;
sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari
berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata
kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah
antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan
sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik
serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil
(derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat
antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi
benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 2.8 dan 2.9). Pada
kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya
perdarahan internal.
2.9. PrognosisDubia ad bonam
2.10. PencegahanMemutuskan rantai penularan dengan cara :1.
Menggunakan insektisida Malathion (adultisida) dengan pengasapan
Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air bersih.2.
Tanpa insektisida Menguras bak mandi dan tempat penampungan air
bersih minimal 1x seminggu. Menutup tempat penampungan air
rapat-rapat. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas,
botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.
BAB IVKESIMPULAN
1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada
anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi,
yang biasanya memburuk pada hari kedua.2. Virus Dengue tergolong
dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN 3 merupakan serotip
yang paling banyak.3. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes
Aegypti.4. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam,
pendarahan, hepatomegali dan syok.5. Kriteria diagnosis terdiri
dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua criteria klinis
ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk
menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.6. Penatalaksanaan demam
berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala penyerta
dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.7. Terapi cairan
pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan
akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang
perlu diperhatikan adalah jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai
respon kecukupan cairan.
DAFTAR PUSTAKA
Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-6
World Health Organization. Prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi,
2001.p.5-17
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and
dengue shock syndrome in the context of the integrated management
of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and
Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi
dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,
2006.p.1774-9
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan
Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8
Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah
dengue di Indonesia. Depkes RI dan Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004
1 8