12 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Kinerja Pegawai 1. Pengertian Kinerja mengacu pada prestasi karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang ditetapkan perusahan. Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler and Poter menyatakan bahwa kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan- perbuatannya (As’ad, 2003). Menurut Mangkunegara (2000), Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Kinerja Pegawai
1. Pengertian
Kinerja mengacu pada prestasi karyawan
yang diukur berdasarkan standar atau kriteria
yang ditetapkan perusahan. Pengertian kinerja
atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier
sebagai kesuksesan seseorang di dalam
melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas
lagi Lawler and Poter menyatakan bahwa
kinerja adalah succesfull role achievement yang
diperoleh seseorang dari perbuatan-
perbuatannya (As’ad, 2003).
Menurut Mangkunegara (2000), Kinerja
adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
13
Menurut Simamora (2008), kinerja karyawan
adalah tingkat terhadap mana para karyawan
mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan.
Menurut Byars dan Rue dalam Prasetyo Utomo
(2006), kinerja merupakan derajat penyusunan
tugas yang mengatur pekerjaan seseorang.
Jadi, Kinerja adalah kesediaan seseorang atau
kelompok orang untuk melakukan kegiatan atau
menyempurnakannya sesuai dengan tanggung
jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan.
2. Penilaian Kinerja
Yang dimaksud dengan sistem penilaian
kinerja ialah proses yang mengukur kinerja
karyawan. Secara teoretikal berbagai metode
dan teknik mempunyai sasaran yang sama, yaitu
menilai prestasi kerja para karyawan secara
obyektif untuk suatu kurun waktu tertentu
dimasa lalu yang hasilnya bermanfaat bagi
14
organisasi atau perusahaan, seperti untuk
kepentingan mutasi pegawai maupun bagi
pegawai yang bersangkutan sendiri dalam
rangka pengembangan karirnya. Untuk mencapai
kedua sasaran tersebut maka digunakanlah
berbagai metode pengukuran kinerja karyawan
yang dewasa ini dikenal dan digunakan adalah:
(Husnan, 2007)
a. Rangking, adalah dengan cara membandingkan
karyawan yang satu dengan karyawan yang lain
untuk menentukan siapa yang lebih baik.
b. Perbandingan karyawan dengan karyawan,
adalah suatu cara untuk memisahkan penilaian
seseorang ke dalam berbagai faktor.
c. Grading, adalah suatu cara pengukuran kinerja
karyawan dari tiap karyawan yang kemudian
diperbandingkan dengan definisi masing-
masing kategori untuk dimasukkan kedalam
salah satu kategori yang telah ditentukan.
d. Skala grafis, adalah metode yang menilai
15
baik tidaknya pekerjaan seorang karyawan
berdasarkan faktor-faktor yang dianggap
penting bagi pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Masing-masing faktor tersebut, seperti
misalnya kualitas dan kuantitas kerja,
keterampilan kerja, tanggung jawab kerja,
kerja sama dan sebagainya.
e. Checklists, adalah metode penilaian yang
bukan sebagai penilai karyawan tetapi hanya
sekedar melaporkan tingkah laku karyawan.
Menurut Gomez (2008) dalam melakukan
penelitian terhadap kinerja yang berdasarkan
perilaku yang spesifik (Judgement Performance
Evaluation) ini maka ada delapan dimensi yang
perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
a. Quantity of work; jumlah kerja yang dilakukan
dalam suatu periode waktu tang ditentukan.
b. Quality of work; kualitas kerja yang dicapai
berdasarkan syarat- syarat kesesuaian dan
kesiapannya.
16
c. Job knowledge; luasnya pengetahuan mengenai
pekerjaan dan keterampilannya.
d. Creativeness; keaslian gagasan-gagasan yang
dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul.
e. Cooperation; kesediaan untuk bekerja sama
dengan orang lain
f. Dependability ; kesadaran dan dapat dipercaya
dalam hal kehadiran dan penyelesaian
pekerjaan.
g. Initiative; semangat untuk melaksanakan tugas-
tugas baru dalam memperbesar tanggung jawab.
h. Personal qualities; menyangkut kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas
pribadi.
3. Tujuan Penilaian Kinerja
Tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi
para karyawan dapat kita ketahui dibagi
menjadi dua, yaitu:
17
a. Tujuan evaluasi
Seorang manajer menilai kinerja dari
masa lalu seorang karyawan dengan
menggunakan rating deskriptif untuk menilai
kinerja dan dengan data tersebut berguna
dalam keputusan-keputusan promosi. demosi,
terminasi dan kompensasi.
b. Tujuan pengembangan
Seorang manajer mencoba untuk
meningkatkan kinerja seorang karyawan
dimasa yang akan datang. Sedangkan tujuan
pokok dari sistem penilaian kinerja
karyawan adalah: sesuatu yang menghasilkan
informasi yang akurat dan valid berkenaan
dengan prilaku dan kinerja anggota
organisasi atau perusahaan.
4. Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan
Pada umumnya orang-orang yang berkecimpung
dalam manajemen sumber daya manusia
sependapat bahwa penilaian ini merupakan
18
bagian penting dari seluruh proses kekaryaan
karyawan yang bersangkutan. Hal ini penting
juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut
bekerja.
a. Bagi karyawan, penilaian tersebut
berperan sebagai umpan balik tentang
berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan,
kekurangan, dan potensi yang pada
gilirannya bermanfaat untuk menentukan
tujuan, jalur, rencana dan pengembangan
karir.
b. Bagi organisasi atau perusahaan
sendiri, hasil penilaian tersebut sangat
penting artinya dan peranannya dalam
pengambilan keputusan tentang berbagai hal,
seperti identifikasi kebutuhan program
pendidikan dan pelatihan, rekruitmen,
seleksi, program pengenalan, penempatan,
promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek
lain dari proses dari manajemen sumber daya
19
manusia secara efektif.
2.1.2. Pemberdayaan
1. Pengertian
Munculnya konsep pemberdayaan ini pada
awalnya merupakan gagasan yang ingin
menempatkan manusia sebagai subyek dari
dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar
apabila konsep ini menampakkan dua
kecenderungan. Pertama, pemberdayaan
menekankan kepada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kemampuan
atau kekuatan (power) kepada masyarakat,
organisasi atau individu agar menjadi lebih
berdaya. Proses ini sering disebut sebagai
kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
Kedua, kecenderungan sekunder, menekankan
pada proses menstimulasi, mendorong dan
memotivasikan individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya.
20
Menurut Webster dalam Oxford English Dictionary
kata “Empower” mengandung dua arti. Pengertian
pertama adalah to give power or authority to, dan
pengertian kedua berarti to give ability to or enable.
Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai
memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan
atau mendelegasikan otoritas kepada pihak
lain. Sedangkan dalam pengertian kedua,
diartikan sebagai upaya untuk memberi
kemampuan atau keberdayaan.
Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa
pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang
wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya
manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan
memanfaatkan, mengembangkan dan menguasaia
iptek, serta kemampuan manajemen,
meningkatkan mutu SDM untuk dapat memenuhi
tantangan peningkatan perkembangan yang
semakin cepat, efisien dan produktif, harus
dilakukan secara terus menerus sehingga tetap
21
menjadikan SDM yang produktif
Uraian tersebut menunjukan bahwa dengan
adanya pemberdayaan pegawai tiada lain agar
manusia dalam suatu organisasi dapat lebih
meningkatkan kualitas, kesetiaan serta
tanggung jawab terhadap tugas yang
diembannya, maka perlu dilakukan suatu
pemberdayaan bagi para pegawai dalam suatu
organisasi. Dalam hal ini pimpinan memegang
peranan untuk memberdayakan para pegawainya
agar tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi dapat tercapai.
2. Tujuan Pemberdayaan
Pemberdayaan harus dimulai dari suatu
proses yang dilandasi kebenaran dan kejujuran
dalam memanfaatkan budaya, kekuasaan, dan
sumber daya lainnya dari setiap anggota
masyarakat maupun setiap anggota aparatur
pemerintah. Tujuan pemberdayaan menurut
Makmur (2007).
22
a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan
diri anggota organisasi, pemerintah, maupun
anggota masyarakat. Kepercayaan diri dan
kemandirian dalam menghadapi berbagai
hambatan atau tantangan hidup dapat
melahirkan kekuatan dan ketahanan diri
untuk tidak menggantungkan harapannya
kepada pihak lain.
b. Memiliki kegesitan dan proaktif,
pemberdayaan manusia dapat menciptakan
kegesitan memiliki daya dorong untuk
proaktif mencari kegiatan yang dapat lebih
menguntungkan.
c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan,
pengetahuan merupakan sumber keterampilan
dalam melaksanakan suatu kegiatan yang
hasilnya lebih menguntungkan.
d. Kepatuhan dan kesadaran, kehidupan
manusia senantiasa diatur oleh suatu
ketentuan hidup yang perlu ditaati dan
23
sadar untuk menciptakan keteraturan dan
keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan
maupun dalam pergaulan. Kepatuhan dan
kesadaran terhadap norma-norma sebagai
fundamental kehidupan bermasyarakat,
berorganisasi, berumah tangga, dan
sebagainya menjadi terapi yang tepat serta
mosaik dalam upaya meningkatkan
pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun
orang lain.
3. Manfaat Pemberdayaan
Jika proses pemberdayaan sudah
dilaksanakan, perlu suatu pemantauan proses
tersebut dan menilai keberhasilan. Untuk
meyakinkan bahwa segala usaha sungguh-sungguh
telah mendatangkan hasil yang sesuai dengan
usaha.
Berikut ini peneliti kemukakan beberapa
manfaat dari proses pemberdayaan baik bagi
individu maupun organisasi, menurut Stewart
24
dalam bukunya empowering people yaitu sebagai
berikut :
a. Meliputi kesempatan untuk meningkatkan
kecakapan-kecakapan baru dan pengalaman-
pengalaman yang beraneka ragam
b. Pemberdayaan juga memberi kepada staf
rasa berprestasi yang lebih besar
c. Bertambahnya efektivitas organisasi
4. Proses-dan Konsep Pemberdayaan
Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa terdapat
3 proses dalam memberdayakan pegawai, yaitu
sebagai berikut :
a. Menciptakan suasana/iklim yang
memungkinkan potensi manusia berkembang,
titik tolaknya adalah pengenalan bahwa
setiap manusia memiliki potensi yang dapat
dikembangkan, pemberdayaan adalah membangun
daya itu dengan mendorong, membangun dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk
25
mengembangkannya.
b. Memperkuat potensi atau daya
yang dimiliki manusia, upaya ini meliputi
langkah nyata, dan menyangkut penyediaan
berbagai masukan serta pembukaan pada
berbagai peluang yang membuat manusia
menjadi berdaya dan upaya utamanya adalah
peningkatan taraf pendidikan, derajat
kesehatan, dan akses pada sumber-sumber
kemajuan ekonomi.
c. Proses pemberdayaan harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah oleh
karena kekurangberdayaannya dalam
menghadapi yang kuat, dan perlu adanya
peraturan perundangan yang secara jelas
melindungi yang lemah.
Thomas dan Veltahouse (1990) menyatakan
bahwa pemberdayaan merupakan suatu yang
multifaceted yang esensinya tidak bisa dicakup
dalam satu konsep tunggal. Dengan kata lain
26
pemberdayaan mengandung pengertian perlunya
keleluasaan kepada individu untuk bertindak
dan sekaligus bertanggung jawab atas
tindakannya sesuai dengan tugas yang
diembannya. Konsep pemberdayaan ini juga
berarti bahwa seseorang akan mampu untuk
berperilaku secara mandiri dan penuh tanggung
jawab. Konsep pemberdayaan ini
dimanifestasikan dalam empat kognisi yang
merefleksikan orientasi individu atas peran
kerjanya yaitu arti (meaning), kompetensi
(competence), pendeterminasian diri (self
determination), dan pengaruh (impact).
Menurut Sedarmayanti (2007) konsep
pemberdayaan menampakkan dua kecenderungan:
a. Pemberdayaan menekankan kepada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada
masyarakat, organisasi, atau individu agar
menjadi lebih berdaya. Proses ini sering
27
disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan.
b. Menekankan pada proses menstimulasi,
mendorong, dan memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai
kecenderungan sekunder dari makna
pemberdayaan
Sedangkan menurut Spreitzer dalam
Mahardiani (2008) ditemukan empat
karakteristik umum yang dimiliki empowered
people yang juga sama dengan konsep Thomas dan
Velthouse, yaitu:
a. Sense of meaning Meaning merupakan nilai
tujuan pekerjaan yang dilihat dari
hubungannya pada idealisme atau standar
individu.
b. Sense of competence. Kompetensi lebih
merupakan kepercayaan individu akan
28
kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas
mereka dengan menggunakan keahlian yang
mereka miliki. Dimensi ini menggunakan
istilah kompetensi daripada self esteem karena
difokuskan pada kompetensi secara spesifik
pada peran pekerjaan.
c. Sense of determination. Bila kompetensi
merupakan keahlian dalam berperilaku, maka
self determination merupakan suatu perasaan
memiliki suatu pilihan dalam membuat pilihan
atau melakukan suatu pekerjaan.
d. Sense of impact. Impact atau dampak
merupakan derajat dimana seseorang dapat
memengaruhi hasil pekerjaan baik stratejik,
administratif
Khan (2007) menawarkan sebuah model
pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam
sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan
proses pemberdayaan dalam suatu organisasi.
29
Model pemberdayaan tersebut yaitu:
30
a. Desire
Tahap pertama dalam model pemberdayaan
adalah adanya keinginan dari manajemen untuk
mendelegasikan dan melibatkan pekerja.Yang
termasuk hal ini antara lain:
1) Pekerja diberi kesempatan untuk
mengidentifikasikan permasalahan yang
sedang berkembang.
2) Memperkecil directive personality dan
memperluas kesempatan kerja.
3) Mendorong terciptanya perspektif baru
dan memikirkan kembali strategi kerja.
4) Mengembangkan keahlian team dan melatih
karyawan untuk mengawasi sendiri (self
control)
b. Trust
Tahap dua adalah membangun kepercayaan
antara manajemen dan karyawan Adanya saling
percaya di antara anggota organisasi akan
tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran
31
informasi dan saran tanpa adanya rasa takut.
Hal-hal yang termasuk dalam trust antara
lain:
1) Memberi kesempatan kepada para karyawan
untuk berpartisipasi dalam pembuatan
kebijakan.
2) Menyediakan waktu dan sumber daya yang
mencukupi bagi karyawan dalam
menyelesaikan kerja.
3) Menyediakan pelatihan yang mencukupi
bagi karyawan bagi kebutuhan kerja.
4) Menghargai perbedaan pandangan dan
menghargai kesuksesan yang diraih oleh
karyawan.
5) Menyediakan akses informasi yang cukup.
c. Confident
Tahap ke tiga dalam proses pemberdayaan
adalah menimbulkan rasa percaya diri
karyawan dengan menghargai terhadap
kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal
32
yang termasuk tindakan yang menimbulkan
confident antara lain:
1) Mendelegasikan tugas yang penting kepada
karyawan
2) Menggali ide dan saran dari karyawan.
3) Memperluas tugas dan membangun jarungan
antar departemen.
4) Menyediakan jadwal job instruction dan
mendorong penyelesaian yang baik.
d. Credibility
Tahap ke empat berupa menjaga kredibilitas
dengan penghargaan dan mengembangkan
lingkungan kerja yang sehat sehingga
tercipta organisasi yang memiliki performance
yang tinggi. Hal yang termasuk credibility
adalah:
1) Memandang karyawan sebagai partner
strategis
2) Peningkatan target di semua pekerjaan.
33
3) Memperkenalkan inisiatif individu untuk
melakukan perubahan melalui partisipasi.
4) Membantu menyelesaikan perbedaan dalam
penentuan tujuan dan prioritas.
e. Accountabiliy
Tahap dalam proses pemberdayaan berikutnya
adalah pertanggungjawaban karyawan pada
wewenang yang diberikan. Dengan menetapkan
secara konsisten dan jelas tentang peran,
standar dan tujuan penilaian terhadap
kinerja karyawan, tahap ini merupakan sarana
evaluasi terhadap kinerja dalam penyelesaian
dan tanggung jawab terhadap wewenang yang
diberikan. Hal yang termasuk dalam
accountability antara lain:
1) Menggunakan jalur training dalam
mengevaluasi kinerja karyawan.
2) Memberikan tugas dan ukuran yang jelas.
3) Melibatkan karyawan dalam penentuan
standar dan ukuran.
34
4) Memberikan saran dan bantuan kepada
karyawan dalam menyelesaikan beban
kerjanya.
5) Menyediakan periode dan waktu pemberian
feedback.
f. Communication
Tahap ini merupakan tahap terakhir,
diharapkan adanya komunikasi yang terbuka
untuk menciptakan saling memahami antara
karyawan dengan manajemen. Keterbukaan ini
dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan
saran terhadap hasil dan prestasi yang
dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam
commnication antara lain:
1) Menetapkan kebijakan open door
communication.
2) Menyediakan waktu untuk mendapatkan
informasi dan mendiskusikan permasalahan
secara terbuka.
35
3) Menyediakan kesempatan untuk cross training
maupun operasional
2.1.3. Self Eficacy
1. Pengetian
Self-efficacy adalah belief atau keyakinan
seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan
menghasilkan hasil (outcomes) yang positif
(Santrock, 2001). Menurut Dale Schunk dalam
Paulus Joko Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy
mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya.
Siswa dengan Self-efficacy yang rendah mungkin
menghindari pelajaran yang banyak tugasnya,
khususnya untuk tugas-tugas yang menantang,
sedangkan siswa dengan Self-efficacy yang tinggi
mempunyai keinginan yang besar untuk
mengerjakan tugas-tugasnya.
2. Proses Terjadinya Self-efficacy
Menurut Bandura (2006), Self-efficacy berakibat
pada suatu tindakan manusia melalui beberapa
jenis proses, antara lain yaitu:
36
37
a. Proses Motivasional
Individu yang memiliki Self-efficacy tinggi
akan meningkatkan usahanya untuk mengatasi
tantangan dengan menunjukkan usaha dan
keberadaan diri yang positif. Hal tersebut
memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense
of personal-efficacy).
b. Proses Kognitif
Self-efficacy yang dimiliki individu akan
berpengaruh terhadap pola pikir yang
bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-
bentuk pengaruhnya, yaitu:
1) Jika Self-efficacy semakin tinggi maka
semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan
dan akan semakin kuat pula komitmen
terhadap tujuan yang ingin dicapai.
2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang
kompleks, individu mempunyai keyakinan
diri yang kuat dalam memecahkan masalah
yang dihadapi dan mampu mempertahankan
38
efisiensi berpikiranalitis. Sebaliknya,
jika individu bersifat ragu-ragu dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya maka
biasanya tidak efisien dalam berpikir
analitis.
3) Self-efficacy berpengaruh terhadap
antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif
dan gambaran yang diulang kembali.
Individu yang memiliki self-efficacy tinggi
akan memiliki gambaran keberhasilan yang
diwujudkan dalam penampilan dan perilaku
yang positif dan efektif. Sebaliknya
individu yang merasa tidak mampu cenderung
merasa mempunyai gambaran kegagalan.
4) Self-efficacy berpengaruh terhadap fungsi
kognitif melalui pengaruh yang sama dengan
proses motivasional dan pengolahan
informasi. Semakin kuat keyakinan individu
akan kapasitas memori, maka semakin kuat
pula usaha yang dikerahkan untuk memproses
39
memori secara kognitif dan meningkatkan
kemampuan memori individu tersebut.
c. Proses Afektif
Self-efficacy berpengaruh terhadap seberapa
banyak tekanan yang dialami oleh individu
dalam situasi-situasi yang mengancam.
Individu yang percaya bahwa dirinya dapat
mengatasi situasi-situasi yang mengancam
yang dirasakannya, tidak akan merasa cemas
dan terganggu dengan ancaman tersebut.
3. Aspek-Aspek Pembentuk Self-efficacy
Terdapat empat aspek yang dapat
mengembangkan self-efficacy, yaitu enactive mastery
experience, vicarious experience, verbal persuasion dan
emotional arousal.
a. Enactive Mastery Experience merupakan suatu
pengalaman belajar yang diperoleh melalui
learning by doing atau experiental learning. Menurut
Bandura (2006), enactive mastery experience
merupakan salah satu sumber yang memberikan
40
kontribusi paling besar dalam pembentukan
self-efficacy, karena aspek ini didasarkan pada
pengalaman-pengalaman keberhasilan pribadi.
Pada saat individu memperoleh suatu harapan
untuk menguasai suatu hal akan meningkat.
Sebaliknya, kegagalan yang berulang akan
menurunkan harapan untuk menguasai suatu
hal, apalagi jika kegagalan tersebut dialami
pada saat mengawali sesuatu yang baru.
Besarnya self-efficacy yang terbentuk dalam diri
individu bergantung pada:
1) Banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang
dialami;
2) Persepsi mengenai tingkat kesulitan;
3) Usaha yang dilakukan dalam mencapai
tujuan;
4) Pengalaman yang diingat dan
direkonstruksi oleh daya ingat;
5) Banyaknya bantuan eksternal, lingkungan
dimana individu berada.
41
b. Vicarious Experience merupakan penilaian mengenai
keyakinan diri sebagian diperoleh melalui
hasil yang dicapai oleh orang lain yang
dijadikan sebagai model. Pengalaman belajar
yang diperoleh melalui pengamatan terhadap
tampilan orang lain (modeling) dan melalui
kejelasan instruksi yang diberikan oleh
model.
c. Verbal Persuasion merupakan keyakinan akan
kemampuan diri yang diperoleh dari orang
lain yang disampaikan secara lisan.
Keyakinan yang diperoleh melalui proses ini
sifatnya lemah dan untuk jangka waktu
singkat. Selain itu, keyakinan yang
diperoleh melalui pernyataan orang lain yang
disampaikan secara terus menerus, sehingga
terbentuk keyakinan yang relatif menetap.
d. Emotional Arousal merupakan ambang ketergugahan
emosi seseorang dalam menghadapi suatu
keadaan atau situasi tertentu. Ambang
42
ketergugahan emosi pada tingkat rendah
membuat individu mudah cemas ketika sedang
menyelesaikan suatu masalah. Semakin
kompleks masalah yang harus diselesaikan, ia
akan semakin cemas karena merasa tidak
sanggup untuk menyelesaikannya, sebaliknya
apabila ambang ketergugahan emosi seseorang
tinggi maka ia tidak mudah terganggu ketika
sedang menghadapi suatu masalah. Ia akan
tetap tenang dan berusaha menyelesaikannya
dengan baik.
4. Dimensi-Dimensi Self-efficacy
Self-efficacy bersifat spesifik dalam tugas
dan situasi yang dihadapi, artinya individu
dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada satu
tugas atau situasi tertentu, namun pada tugas
dan situasi lain tidak. Self-efficacy bersifat
kontekstual, artinya bergantung pada konteks
yang dihadapi. Pada umumnya, Self-efficacy akan
memprediksi dengan baik suatu tampilan yang
43
berkaitan erat dengan keyakinan tersebut.
Berdasarkan sifat-sifat di atas, Bandura
(2006) membagi Self-efficacy menjadi tiga dimensi
yang perlu diperhatikan apabila hendak
mengukur keyakinan diri seseorang, yaitu
dimensi tingkat (level), dimensi generalisasi
(generality), dan dimensi kekuatan (strength).
Dimensi tingkat menunjukkan keyakinan individu
terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah
dengan derajat kesulitan yang berbeda-beda.
Dimensi generalisasi adalah persepsi
kompetensi individu atas tingkat pencapaian
keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas
dalam kondisi tertentu, sedangkan dimensi
kekuatan adalah tingkat kuat atau lemahnya
keyakinan (beliefs) individu mengenai
kompetensi diri yang dipersepsinya.
a. Dimensi tingkat (level)
Dimensi tingkat adalah dimensi yang
berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah
44
atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang
sebagai hasil persepsi tentang kompetensi
dirinya. Dimensi ini mengacu pada persepsi
individu terhadap kompetensi dirinya untuk
menghasilkan suatu tingkah laku yang diukur
melalui tingkatan dari tuntutan tugas yang
merepresentasikan variasi dari kesukaran
atau tantangan tugas.
Tingkat tuntutan tugas dapat
diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kepandaian/kecerdikan, usaha, ketepatan,
produktivitas, dan pengaturan diri (self
regulation). Individu dengan tingkat yang
tinggi memiliki keyakinan bahwa ia mampu
mengerjakan tugas-tugas yang sukar,
sedangkan individu dengan tingkat yang
rendah memiliki keyakinan bahwa dirinya
hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang
mudah, akibatnya akan rentan terhadap
tekanan.
45
b. Dimensi generalisasi (generality)
Dimensi generalisasi yaitu dimensi yang
berhubungan dengan luas bidang perilaku atau
tingkat pencapaian keberhasilan seseorang
dalam mengatasi atau menyelesaikan
masalah/tugas-tugasnya dalam kondisi
tertentu. Keyakinan terhadap kemampuan diri
juga berbeda dalam generalisasinya, artinya
seseorang mungkin menilai keyakinan dirinya
untuk aktivitas-aktivitas yang luas atau
hanya untuk bidang-bidang tertentu saja.
Dimensi ini dapat bervariasi dalam
beberapa hal, seperti:
1) Derajat kesamaan aktivitas
2) Modal dimana kemampuan terlihat (tingkah
laku, kognitif, afektif)
3) Kualitatif tampilan terhadap suatu
situasi.
Tingkat generalisasi yang tinggi akan
membuat individu yakin akan kompetensinya
46
untuk melaksanakan tugas dalam berbagai
situasi, sedangkan individu dengan tingkat
generalisasi rendah akan menganggap dirinya
hanya mampu melaksanakan tugas dalam situasi
tertentu.
c. Dimensi kekuatan (strength)
Dimensi kekuatan yaitu dimensi yang
berhubungan dengan tingkat kekuatan atau
kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang
dipersepsinya. Pengalaman yang berulang
dapat dengan mudah meniadakan keyakinan
terhadap kemampuan diri yang lemah. Individu
yang memiliki keyakinan (belief) yang kuat
mengenai kemampuannya akan mempertahankan
usahanya meskipun menghadapi berbagai
rintangan dan kesulitan. Individu dengan
tingkat kekuatan tinggi akan memiliki
keyakinan yang kuat akan kompetensi diri
sehingga tidak mudah menyerah atau frustrasi
dalam menghadapi rintangan dan memiliki
47
kecenderungan untuk berhasil lebih besar
daripada individu dengan kekuatan rendah.
Individu dengan tingkat kekuatan rendah
cenderung mudah terguncang oleh hambatan
kecil dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Bandura (2006) dalam artikel yang
berjudul Guide For Constructing Self-efficacy
Scales menegaskan bahwa pengukuran ketiga
dimensi tersebut di atas diduga paling
akurat untuk menjelaskan self-efficacy seseorang
karena bersifat spesifik dalam tugas dan
situasi yang dihadapinya. Seseorang dapat
memiliki keyakinan yang tinggi pada situasi
tugas atau situasi tertentu, namun pada
tugas atau situasi yang lain mungkin
berbeda.
Self-efficacy bersifat konstektual, artinya
tergantung pada konteks yang dihadapi.
Umumnya self-efficacy akan menghasilkan suatu
tampilan yang baik berkenaan dengan
48
keyakinan tersebut.
49
5. Pengaruh Self-efficacy pada Tingkah Laku
Menurut Bandura dalam Susiati (2008) self-
efficacy akan mempengaruhi bagaimana individu
merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri,
dan bertingkah laku. Self-efficacy atau
kapabilitas yang dimiliki individu akan
mempengaruhi tingkah lakunya dalam beberapa
hal, seperti:
a. Tindakan Individu, self-efficacy menentukan
kesiapan individu dalam merencanakan apa
yang harus dilakukannya. Individu dengan
keyakinan diri tinggi tidak mengalami
keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus
dilakukannya.
b. Usaha, self-efficacy mencerminkan seberapa
besar upaya yang dikeluarkan individu untuk
mencapai tujuannya. Individu dengan
keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi
akan berusaha maksimal
c. Daya tahan individu dalam menghadapi
50
hambatan atau rintangan dan kegagalan,
individu dengan self-efficacy tinggi mempunyai
daya tahan yang kuat dalam menghadapi
rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah
mengembalikan rasa percaya diri setelah
mengalami kegagalan. Individu juga
beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai
tujuan adalah akibat dari kurangnya
pengetahuan, bukan karena kurangnya keahlian
yang dimilikinya. Hal ini membuat individu
berkomitmen terhadap tujuan yang ingin
dicapainya. Apabila individu telah memiliki
pilihan karir yang sesuai dengan minatnya,
maka ia tidak akan mudah menyerah jika
menemukan hambatan dalam proses pencapaian
tujuannya. Individu akan menganggap
kegagalan sebagai bagian dari proses, dan
tidak menghentikan usahanya.
d. Ketahanan individu terhadap keadaan
tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman,
51
individu dengan self-efficacy diri tinggi
menganggap sebagai suatu tantangan, bukan
merupakan sesuatu yang harus dihindari.
Ketika individu mengalami keadaan tidak
nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan
yang diminati, ia akan tetap berusaha
bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan
tersebut dan berkonsentrasi penuh.
e. Pola pikir, situasi tertentu akan
mempengaruhi pola pikir individu. Individu
dengan self-efficacy tinggi, pola pikirnya tidak
mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan
dan tetap memiliki cara pandang yang luas
dari beberapa sisi. Cara pandang individu
yang luas memungkinkan individu memiliki
alternatif pilihan karir yang banyak dari
bidang yang diminati.
f. Stres dan depresi, bagi individu yang
memiliki self-efficacy rendah, kecemasan yang
terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan
52
membuatnya mudah merasa tertekan. Jika
perasaan tertekan tersebut berkelanjutan,
maka dapat mengakibatkan depresi. Dalam
upaya memilih karir yang sesuai dengan
minatnya, jika individu menganggap realitas
sulitnya jalur yang harus ditempuh, prospek
dunia kerja di masa depan dan sebagainya
sebagai sumber kecemasan, dan individu
meragukan kemampuannya, maka individu akan
menjadi lebih mudah tertekan.
g. Tingkat pencapaian yang akan
terealisasikan, Individu dengan self-efficacy
tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki serta mampu
menentukan bidang karir atau pendidikan
sesuai dengan minat dan kemampuannya
tersebut.
6. Manfaat dan Fungsi Self-efficacy
Self-efficacy yang merupakan salah satu faktor
determinan yang mempengaruhi perilaku individu
53
memiliki manfaat yang cukup besar dalam
kehidupan individu di antaranya, yaitu
sebagai:
a. Pembentukan Perilaku. Individu yang memiliki
Self-efficacy akan selalu menerapkan apa yang
akan dilakukannya dalam menghadapi suatu
tugas untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya.
b. Motivasi Diri. Individu yang memiliki Self-
efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas dan
kuantitas yang baik dalam melakukan segala
usahanya dan tidak akan mudah menyerah dalam
mencapai keinginannya.
c. Pola Pikir. Individu yang memiliki Self-efficacy
memiliki pola pikir yang positif, jika ia
menemui suatu masalah maka secara otomatis
otaknya akan membuat rencana untuk
menghadapi masalah tersebut. Selain itu Self-
efficacy juga berpengaruh terhadap bagaimana
individu menanggapi suatu kegagalan.
54
Kegagalan yang terjadi dianggap sebagai
keberhasilan yang tertunda, bukan merupakan
hal yang harus terus-menerus dipikirkan atau
disesali.
Wulansari (2001) menguraikan beberapa
fungsi Self-efficacy:
a. Pilihan Perilaku. Dengan adanya Self-efficacy
yang dimiliki, individu akan menetapkan
tindakan apa yang akan ia lakukan dalam
menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan
yang diiinginkannya.
b. Pilihan Karir. Self-efficacy merupakan mediator
yang cukup berpengaruh terhadap pemilihan
karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu
melaksanakan tugas-tugas dalam karir
tertentu maka biasanya ia akan memilih karir
tesebut.
c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan
pada suatu tugas. Individu yang memiliki Self-
efficacy yang tinggi biasanya akan berusaha
55
keras untuk menghadapi kesulitan dan
bertahan dalam mengerjakan suatu tugas bila
mereka telah mempunyai keterampilan
prasyarat. Sedangkan individu yang mempunyai
Self-efficacy yang rendah akan terganggu oleh
keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah
menyerah bila menghadapi kesulitan dalam
mengerjakan tugas.
d. Kualitas Usaha. Penggunaan strategi dalam
memproses suatu tugas secara lebih mendalam
dan keterlibatan kognitif dalam belajar
memiliki hubungan yang erat dengan Self-efficacy
yang tinggi.
7. Cara Meningkatkan Self-efficacy
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan
dan mengoptimalkan Self-efficacy seseorang. Kear
dalam Sudrajat (2008) menjelaskan cara-cara
sebagai berikut.
a. Menempatkan pengetahuan sebagai kunci.
Manusia perlu memahami diri sendiri, latar
56
belakang berperilaku, serta mengidentifikasi
kelebihan dan kelemahannya. Jika respons
yang selama ini belum dapat merealisasikan
harapan-harapan hidupnya, maka ia perlu
belajar lagi untuk menambah pengetahuan,
sikap, dan pengalaman-pengalamannya.
b. Seseorang tidak mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan dan bagaimana cara
melakukannya karena ia tidak mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang tepat atau
memadai. Ia harus belajar bagaimana cara
menggunakan akalnya secara efektif,
memfokuskan pada suatu kegiatan, dan
mengontrol pikirannya sebagai suatu
keterampilan yang diperlukan untuk menunjang
usaha dan pencapaian tujuannya.
c. Mau menantang asumsi sendiri. Seseorang
harus menyiapkan diri menghadapi tantangan
yang ada berdasarkan kemampuan, bakat, dan
kompetensinya. Ia perlu memperkuat mentalnya
57
dalam mengurangi rasa takut dan agar
terlihat potensi aktualnya. Keefektifan akan
meningkat bila terdapat perbedaan persepsi
terhadap realitas yang ada.
d. Ubahlah cara berpikir tentang diri
sendiri dan berbagai hal di dalamnya melalui
pemahaman dan pengaplikasian beberapa
prinsip dasar keberhasilan. Tidak diperlukan
beratus cara untuk mengubah cara berpikir,
mungkin hanya perlu menciptakan sedikit
perbedaan. Keterbatasan cara berpikir akan
berpengaruh terhadap keyakinan seseorang
tentang kemampuannya dalam menyelesaikan
tugas atau tuntutan pekerjaannya.
e. Kerjakan sesuatu oleh sendiri. Cara lain
untuk meningkatkan self-efficacy seseorang dan
mengetahui bahwa sesuatu dapat diselesaikan
oleh dirinya sendiri. Jika hal ini gagal,
coba sekali lagi dan berikan reaksi yang
positif terhadap kegagalan tersebut. Tanya
58
pada diri sendiri, apa yang akan terjadi
selanjutnya dengan dirinya, mencoba mulai
lagi dari yang terkecil serta lanjutkan
dengan cara berikutnya.
f. Jika hal ini berhasil, artinya ia
mungkin mendapat cukup informasi.
Keberhasilan menyelesaikan tugas atau
tuntutan pekerjaan ini akan turut
meningkatkan Self-efficacy, motivasi, dan
memperdalam keyakinan diri untuk mencapai
keberhasilan.
g. Lihat bagaimana orang lain berperilaku
atau bekerja. Pelajari cara pakar
berperilaku atau bekerja dan pahami caranya
bagaimana sehingga ia berhasil. Seseorang
dapat menentukan keefektifannya dengan cara
melihat hasil yang diperolehnya. Melalui
observasi terhadapnya, hal ini akan
meningkatkan kesadaran seseorang, menawarkan
berbagai pilihan, dan memperjelas gambaran-
59
gambaran yang mungkin dihasilkan dari
perilaku yang ditampilkan.
h. Tidak ada yang mustahil jika seseorang
mau berusaha. Kemudian ia meniru apa yang
dikerjakan oleh pakar melalui perilaku atau
model-model pekerjaan yang relatif sama.
Orang yang berhasil dapat membantu seseorang
mengembangkan pola pikir yang sama tentang
harapannya atas penyelesaian suatu tugas
atau pekerjaannya.
i. Merencanakan dan mempersiapkan.
Merencanakan dan mempersiapkan sesuatu dapat
membantu seseorang mencapai hasil yang lebih
baik dan berhasil mencapai tujuannya
tersebut. Mau bertukar pikiran atau ide,
menetapkan tujuan, mencatat langkah-langkah
persiapan yang diperlukan untuk meningkatkan
kualifikasi diri sendiri dalam meningkatkan
hasil, dan mengontrolnya. Melalui kegiatan
ini tidak akan terjadi pemborosan waktu dan
60
energi.
j. Segalanya dihitung. Direncanakan dan
dipersiapkan setiap hari, minggu, bulan, dan
setiap tahun sebab hidup seseorang harus
direncanakan dan dipersiapkan. Langkah
merencanakan dan mempersiapkan ini
mengarahkan pada suatu keadaan model
berpikir bahwa tidak ada yang mustahil jika
seseorang mau berusaha.
k. Gunakan pikiran dan akal sehat secara
efektif. “Jika seseorang berpikiran kalah
maka kalahlah ia”. Seseorang harus mempunyai
trik dalam meningkatkan keyakinannya yang
tidak efektif, tidak kompeten, dan banyak
hal yang semuanya memuat ungkapan tidak
mungkin. Keyakinan, identitas, dan bahasa
yang dipergunakan oleh seseorang dapat
membawanya ke arah atau keadaan yang sulit.
l. Seseorang dapat mengembalikan kendali
dirinya untuk mengubah garis kehidupannya
61
melalui penggunaan pikiran dan akal sehatnya
untuk membentuk kembali dan membuat trik
yang baru. Hanya gambaran diri yang
mempunyai kekuatanlah yang mau dilihat, atau
hanya kata-kata yang menggambarkan tentang
kekuatanlah yang mau didengarkan serta cuma
perasaan-perasaan yang berisikan pengalaman
keberhasilanlah yang mau dihayati secara
internal. Apapun yang terjadi di dalam maka
2.1.4. Budaya Organisasi
1. Pengertian
Menurut Robbins (2007) budaya organisasi
merupakan sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota yang membedakan suatu
organisasi dari organisasi lain. Sistem makna
bersama ini, bila diamati dengan lebih
seksama, merupakan seperangkat karakteristik
utama yang dihargai oleh suatu organisasi.
Budaya organisasi berkaitan dengan
bagaimana karyawan mempersepsikan
62
karakteristik dari suatu budaya organisasi,
bukan dengan apakah para karyawan menyukai
budaya atau tidak. Budaya organisasi adalah
apa yang dipersepsikan karyawan dan cara
persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan,
nilai, dan ekspektasi. Schein (1981) dalam
Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan
budaya sebagai suatu pola dari asumsi dasar
yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan
oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi
masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal yang telah berjalan cukup baik untuk
dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk
diajarkan kepada anggota baru sebagai cara
yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan
berperasaan sehubungan dengan masalah yang
dihadapinya.
Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya
melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan
pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
63
budaya organisasi memiliki iga lapisan,
lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan
yang tampak nyata tetapi seringkali tidak
dapat diinterpretasikan. Di lapisan kedua
terdapat nilai atau berbagai hal yang penting
bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat
afektif, atau keinginan. Pada lapisan ketiga
merupakan asumsi dasar yang diciptakan orang
untuk memandu perilaku mereka. Termasuk dalam
lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan
kepada individu bagaimana berpersepsi,
berpikir, dan berperasaan mengenai pekerjaan,
tujuan kinerja, hubungan manusia, dan kinerja
rekan kerja
2. Fungsi Budaya Organisasi
Robbins (2007) menyatakan bahwa budaya
menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah
organisasi, yaitu:
a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan
tapal batas, yang artinya budaya menciptakan
64
pembedaan yang jelas antara satu organisasi
dengan organisasi yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi
anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen
pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan pribadi seseorang.
d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang
artinya merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan suatu organisasi
dengan memberikan standar-standar yang tepat
untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan
oleh para karyawan.
e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme
pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku para
karyawan.
Secara alami budaya sukar dipahami, tidak
berwujud, implisit dan dianggap biasa saja.
Tetapi semua organisasi mengembangkan
65
seperangkat inti pengandaian, pemahaman, dan
aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-
hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam
mempengaruhi perilaku karyawan semakin penting
bagi organisasi.
Dengan dilebarkannya rentang kendali,
didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-
tim, dikuranginya formalisasi, dan
diberdayakannya karyawan oleh organisasi,
makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya
yang kuat. memastikan bahwa semua karyawan
diarahkan kearah yang sama. Pada akhirnya
budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi.
3. Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins dalam Umar (2008) menyatakan untuk
menilai kualitas budaya organisasi suatu
organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor
utama, yaitu sebagai berikut:
a. Inisiatif individu, yaitu tingkat
66
tanggung jawab, kebebasan dan independensi
yang dipunyai individu.
b. Toleransi terhadap tindakan beresiko,
yaitu sejauhmana para pegawai dianjurkan
untuk bertindak agresif, inovatif, dan
berani mengambil resiko.
c. Arah, yaitu sejauhmana organisasi
tersebut menciptakan dengan jelas sasaran
dan harapan mengenai prestasi.
d. Integrasi, yaitu tingkat sejauhmana
unit-unit dalam organisasi didorong untuk
bekerja dengan cara yang terkoordinasi.
e. Dukungan Manajemen, yaitu tingkat
sejauhmana para manajer memberi komunikasi
yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap
bawahan mereka.
f. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan
pengawasan langsung yang digunakan untuk
mengawasi dan mengendalikan perilaku
pegawai.
67
g. Identitas, yaitu tingkat sejauhmana para
anggota mengidentifikasi dirinya secara
keseluruhan dengan organisasinya daripada
dengan kelompok kerja tertentu atau dengan
bidang keahlian profesional.
h. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauhmana
alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi)
didasarkan atas kriteria prestasi pegawai
sebagai kebalikan dari senioritas, pilih
kasih, dan sebagainya.
i. Toleransi terhadap konflik, yaitu
tingkat sejauhmana para pegawai didorong
untuk mengemukakan konflik kritik secara
terbuka.
j. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat
sejauhmana komunikasi organisasi dibatasi
oleh hirarki kewenangan yang formal.
4. Tipe Budaya Organisasi
Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2010)
mengemukakan adanya 3 (tiga) tipe umum budaya
68
organisasi antara lain:
a. Budaya konstruktif (constructive culture)
merupakan budaya di mana pekerja didorong
untuk berinteraksi dengan orang lain dan
bekerja pada tugas dan proyek dengan cara
yang akan membantu mereka dalam memuaskan
kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang.
b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive
culture) mempunyai karakteristik menolak
keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi
dengan orang lain dengan cara yang tidak
menantang keamanan mereka sendiri.
c. Budaya agresif-defensif (aggressive-
defensive culture) mendorong pekerja mendekati
tugas dengan cara memaksa dengan maksud
melindungi status dan keamanan kerja
mereka.
5. Dampak Penerapan Budaya Organisasi
Budaya organisasi melibatkan ekspektasi,
nilai, dan sikap bersama, hal tersebut
69
memberikan pengaruh pada individu, kelompok,
dan proses organisasi (Ivancevich et.al.,
2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dampak dari budaya terhadap karyawan
menunjukkan bahwa budaya menyediakan dan
mendorong suatu bentuk stabilitas. Terdapat
perasaan stabilitas, selain perasaan identitas
organisasi yang disediakan oleh budaya
organisasi. Organisasi yang memiliki budaya
yang kuat dicirikan oleh adanya karyawan yang
memiliki nilai inti bersama. Semakin banyak
karyawan yang berbagi dan menerima nilai inti,
semakin kuat budaya, dan semakin besar
pengaruhnya terhadap perilaku.
Dalam suatu budaya kuat, nilai inti
organisasi dipegang secara intensif dan dianut
bersama secara meluas. Semakin banyak anggota
organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan
semakin besar komitmen mereka terhadap
komitmen-komitmen tersebut, maka makin kuat
70
budaya tersebut. Suatu budaya kuat akan
mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku-
perilaku anggota organisasi karena tingginya
tingkat kebersamaan dan intensitas menciptakan
suatu iklim internal dari kendali perilaku
yang tinggi.
6. Menciptakan Budaya Organisasi
Robbins (2003) menjelaskan bahwa
terciptanya budaya organisasi dimulai dari ide
pendiri organisasi. Para pendiri suatu
organisasi secara tradisional mempunyai dampak
yang besar pada pembentukan budaya organisasi.
Para pendiri mempunyai suatu visi mengenai
bagaimana seharusnya organisasi itu. Para
pendiri tidak dikendalikan oleh kebiasaan
ataupun ideologi sebelumnya. Proses pembetukan
budaya terjadi dalam tiga cara yaitu:
a. Para pendiri hanya mempekerjakan dan
menjaga karyawan yang berpikir dan merasakan
cara yang mereka tempuh.
71
b. Para pendiri mengindoktrinasikan dan
mensosialisasikan para karyawan dengan cara
berpikir dan merasa mereka.
c. Akhirnya perilaku pendiri sendiri
bertindak sebagai satu model peran yang
mendorong karyawan untuk mengidentifikasikan
diri dengan mereka dan oleh karenanya
menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan
asumsi-asumsi mereka.
Bila organisasi berhasil, visi pendiri
menjadi terlihat sebagai satu penentu utama
keberhasilan organisasi. Pada titik ini,
keseluruhan kepribadian pendiri menjadi
tertanam dalam budaya organisasi.
7. Mempertahankan Budaya Organisasi
Sekali suatu budaya terbentuk, praktik-
praktik di dalam organisasi bertindak
mempertahankan budaya dengan memberikan kepada
para karyawan seperangkat pengalaman yang
serupa. Robbins (2007) menyatakan bahwa
72
terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian
yang sangat penting dalam mempertahankan suatu
budaya, yaitu:
a. Praktik Seleksi
Tujuan utama dari proses seleksi adalah
mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-
individu yang mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan
pekerjaan dengan sukses di dalam suatu
organisasi. Proses seleksi memberikan
informasi kepada para pelamar mengenai
organisasi itu. Para calon belajar mengenai
organisasi yang akan dimasuki, dan jika
mereka merasakan suatu konflik antara nilai
mereka dengan nilai organisasi, maka mereka
dapat menyeleksi diri keluar dari kumpulan
pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi
jalan dua-arah, dengan memungkinkan pemberi
kerja atau pelamar untuk memutuskan kehendak
hati mereka jika tampaknya terdapat
73
kecocokan. Dengan cara ini, proses seleksi
mendukung suatu budaya organisasi dengan
menyeleksi keluar individu-individu yang
mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-
nilai intinya.
b. Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai
dampak besar pada budaya organisasi. Lewat
apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka
berperilaku, eksekutif senior menegakkan
norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang
organisasi, misalnya apakah pengambilan
risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan
seharusnya diberikan oleh para manajer
kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang
pantas dan tindakan apakah akan dihargai
dalam kenaikan upah, promosi, dan ganjaran
lain.
c. Sosialisasi
Tidak peduli betapa baik yang telah
74
dilakukan suatu organisasi dalam perekrutan
dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya
diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu.
Yang paling penting, karena para karyawan
baru tersebut tidak mengenal baik budaya
organisasi yang ada. Oleh karena itu,
organisasi
75
2.1.5. Hubungan Pemberdayaan dengan Kinerja
Pegawai
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa
tujuan organisasi/instansi akan dapat tercapai
dengan baik apabila pegawai dapat menjalankan
tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien. Oleh
sebab itu diperlukan adanya pemberdayaan
aparatur pemerintah agar prestasi kerja
meningkat. Pemberdayaan yang dilakukan dapat
meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat
mempercepat tercapainya tujuan organisasi
disamping dari tujuan dari pegawai itu sendiri
terwujud.(Notoadmodjo, 2007)
Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa
pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang
wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya
manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan
memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai
iptek, serta kemampuan manajemen, meningkatkan
mutu SDM untuk dapat memenuhi tantangan
76
peningkatan perkembangan yang semakin cepat,
efisien dan produktif, harus dilakukan secara
terus menerus sehingga tetap menjadikan SDM
yang produktif.
Pemberdayaan menekankan dua aspek, yaitu
pendelegasian wewenang dan pemberian stimulan.
Pendelegasian wewenang menyebabkan sebagian
wewenang yang ada pada pimpinan beralih
kebawahan. Hal ini akan memangkas jalur
birokrasi menjadi lebih pendek dan efektif
sehingga akan menaikan kinerja. Selanjutnya
pemberian stimulan promosi jabatan, gaji dan
tunjangan akan memberikan motivasi lebih kepada
pegawai dalam bekerja, sehingga kinerja pegawai
menjadi naik. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pemberdayaa dapat meningkatkan kinerja
pegawai.
2.1.6. Hubungan Self Eficacy dengan Kinerja Pegawai
Kepercayaan terhadap kemampuan diri,
keyakinan terhadap keberhasilan yang selalu
77
dicapai membuat seseorang bekerja lebih giat
dan selalu menghasilkan yang terbaik.
Kepercayaan akan kemampuan yang dimiliki akan
membuat pegawai merasa bangga. Kebanggan ini
akan ditunjukkan seorang pegawai kepada
atasannya, bahwasanya ia mampu melaksanakan
tugas secara lebih baik dan sungguh-sungguh
dari pada orang lain. Hal lain yang coba
ditunjukan adalah mencoba pekerjaan yang
menantang, dimana orang lain belum tentu bisa
melakukannya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa self efficacy dapat meningkatkan kinerja
pegawai.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dale Schunk dalam Paulus Joko
Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy mempengaruhi
siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan
Self-efficacy yang rendah mungkin menghindari
pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk
tugas-tugas yang menantang, sedangkan siswa
78
dengan Self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan