Top Banner
12 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Kinerja Pegawai 1. Pengertian Kinerja mengacu pada prestasi karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang ditetapkan perusahan. Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler and Poter menyatakan bahwa kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan- perbuatannya (As’ad, 2003). Menurut Mangkunegara (2000), Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
75

BAB II revisi

Jan 23, 2023

Download

Documents

nahwa faiha
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II revisi

12

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Kinerja Pegawai

1. Pengertian

Kinerja mengacu pada prestasi karyawan

yang diukur berdasarkan standar atau kriteria

yang ditetapkan perusahan. Pengertian kinerja

atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier

sebagai kesuksesan seseorang di dalam

melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas

lagi Lawler and Poter menyatakan bahwa

kinerja adalah succesfull role achievement yang

diperoleh seseorang dari perbuatan-

perbuatannya (As’ad, 2003).

Menurut Mangkunegara (2000), Kinerja

adalah hasil kerja secara kualitas dan

kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai

dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Page 2: BAB II revisi

13

Menurut Simamora (2008), kinerja karyawan

adalah tingkat terhadap mana para karyawan

mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan.

Menurut Byars dan Rue dalam Prasetyo Utomo

(2006), kinerja merupakan derajat penyusunan

tugas yang mengatur pekerjaan seseorang.

Jadi, Kinerja adalah kesediaan seseorang atau

kelompok orang untuk melakukan kegiatan atau

menyempurnakannya sesuai dengan tanggung

jawabnya dengan hasil seperti yang

diharapkan.

2. Penilaian Kinerja

Yang dimaksud dengan sistem penilaian

kinerja ialah proses yang mengukur kinerja

karyawan. Secara teoretikal berbagai metode

dan teknik mempunyai sasaran yang sama, yaitu

menilai prestasi kerja para karyawan secara

obyektif untuk suatu kurun waktu tertentu

dimasa lalu yang hasilnya bermanfaat bagi

Page 3: BAB II revisi

14

organisasi atau perusahaan, seperti untuk

kepentingan mutasi pegawai maupun bagi

pegawai yang bersangkutan sendiri dalam

rangka pengembangan karirnya. Untuk mencapai

kedua sasaran tersebut maka digunakanlah

berbagai metode pengukuran kinerja karyawan

yang dewasa ini dikenal dan digunakan adalah:

(Husnan, 2007)

a. Rangking, adalah dengan cara membandingkan

karyawan yang satu dengan karyawan yang lain

untuk menentukan siapa yang lebih baik.

b. Perbandingan karyawan dengan karyawan,

adalah suatu cara untuk memisahkan penilaian

seseorang ke dalam berbagai faktor.

c. Grading, adalah suatu cara pengukuran kinerja

karyawan dari tiap karyawan yang kemudian

diperbandingkan dengan definisi masing-

masing kategori untuk dimasukkan kedalam

salah satu kategori yang telah ditentukan.

d. Skala grafis, adalah metode yang menilai

Page 4: BAB II revisi

15

baik tidaknya pekerjaan seorang karyawan

berdasarkan faktor-faktor yang dianggap

penting bagi pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Masing-masing faktor tersebut, seperti

misalnya kualitas dan kuantitas kerja,

keterampilan kerja, tanggung jawab kerja,

kerja sama dan sebagainya.

e. Checklists, adalah metode penilaian yang

bukan sebagai penilai karyawan tetapi hanya

sekedar melaporkan tingkah laku karyawan.

Menurut Gomez (2008) dalam melakukan

penelitian terhadap kinerja yang berdasarkan

perilaku yang spesifik (Judgement Performance

Evaluation) ini maka ada delapan dimensi yang

perlu mendapatkan perhatian, antara lain:

a. Quantity of work; jumlah kerja yang dilakukan

dalam suatu periode waktu tang ditentukan.

b. Quality of work; kualitas kerja yang dicapai

berdasarkan syarat- syarat kesesuaian dan

kesiapannya.

Page 5: BAB II revisi

16

c. Job knowledge; luasnya pengetahuan mengenai

pekerjaan dan keterampilannya.

d. Creativeness; keaslian gagasan-gagasan yang

dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan yang

timbul.

e. Cooperation; kesediaan untuk bekerja sama

dengan orang lain

f. Dependability ; kesadaran dan dapat dipercaya

dalam hal kehadiran dan penyelesaian

pekerjaan.

g. Initiative; semangat untuk melaksanakan tugas-

tugas baru dalam memperbesar tanggung jawab.

h. Personal qualities; menyangkut kepribadian,

kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas

pribadi.

3. Tujuan Penilaian Kinerja

Tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi

para karyawan dapat kita ketahui dibagi

menjadi dua, yaitu:

Page 6: BAB II revisi

17

a. Tujuan evaluasi

Seorang manajer menilai kinerja dari

masa lalu seorang karyawan dengan

menggunakan rating deskriptif untuk menilai

kinerja dan dengan data tersebut berguna

dalam keputusan-keputusan promosi. demosi,

terminasi dan kompensasi.

b. Tujuan pengembangan

Seorang manajer mencoba untuk

meningkatkan kinerja seorang karyawan

dimasa yang akan datang. Sedangkan tujuan

pokok dari sistem penilaian kinerja

karyawan adalah: sesuatu yang menghasilkan

informasi yang akurat dan valid berkenaan

dengan prilaku dan kinerja anggota

organisasi atau perusahaan.

4. Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan

Pada umumnya orang-orang yang berkecimpung

dalam manajemen sumber daya manusia

sependapat bahwa penilaian ini merupakan

Page 7: BAB II revisi

18

bagian penting dari seluruh proses kekaryaan

karyawan yang bersangkutan. Hal ini penting

juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut

bekerja.

a. Bagi karyawan, penilaian tersebut

berperan sebagai umpan balik tentang

berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan,

kekurangan, dan potensi yang pada

gilirannya bermanfaat untuk menentukan

tujuan, jalur, rencana dan pengembangan

karir.

b. Bagi organisasi atau perusahaan

sendiri, hasil penilaian tersebut sangat

penting artinya dan peranannya dalam

pengambilan keputusan tentang berbagai hal,

seperti identifikasi kebutuhan program

pendidikan dan pelatihan, rekruitmen,

seleksi, program pengenalan, penempatan,

promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek

lain dari proses dari manajemen sumber daya

Page 8: BAB II revisi

19

manusia secara efektif.

2.1.2. Pemberdayaan

1. Pengertian

Munculnya konsep pemberdayaan ini pada

awalnya merupakan gagasan yang ingin

menempatkan manusia sebagai subyek dari

dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar

apabila konsep ini menampakkan dua

kecenderungan. Pertama, pemberdayaan

menekankan kepada proses memberikan atau

mengalihkan sebagian kekuasaan, kemampuan

atau kekuatan (power) kepada masyarakat,

organisasi atau individu agar menjadi lebih

berdaya. Proses ini sering disebut sebagai

kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

Kedua, kecenderungan sekunder, menekankan

pada proses menstimulasi, mendorong dan

memotivasikan individu agar mempunyai

kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan

apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Page 9: BAB II revisi

20

Menurut Webster dalam Oxford English Dictionary

kata “Empower” mengandung dua arti. Pengertian

pertama adalah to give power or authority to, dan

pengertian kedua berarti to give ability to or enable.

Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai

memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan

atau mendelegasikan otoritas kepada pihak

lain. Sedangkan dalam pengertian kedua,

diartikan sebagai upaya untuk memberi

kemampuan atau keberdayaan.

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa

pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang

wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya

manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan

memanfaatkan, mengembangkan dan menguasaia

iptek, serta kemampuan manajemen,

meningkatkan mutu SDM untuk dapat memenuhi

tantangan peningkatan perkembangan yang

semakin cepat, efisien dan produktif, harus

dilakukan secara terus menerus sehingga tetap

Page 10: BAB II revisi

21

menjadikan SDM yang produktif

Uraian tersebut menunjukan bahwa dengan

adanya pemberdayaan pegawai tiada lain agar

manusia dalam suatu organisasi dapat lebih

meningkatkan kualitas, kesetiaan serta

tanggung jawab terhadap tugas yang

diembannya, maka perlu dilakukan suatu

pemberdayaan bagi para pegawai dalam suatu

organisasi. Dalam hal ini pimpinan memegang

peranan untuk memberdayakan para pegawainya

agar tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu

organisasi dapat tercapai.

2. Tujuan Pemberdayaan

Pemberdayaan harus dimulai dari suatu

proses yang dilandasi kebenaran dan kejujuran

dalam memanfaatkan budaya, kekuasaan, dan

sumber daya lainnya dari setiap anggota

masyarakat maupun setiap anggota aparatur

pemerintah. Tujuan pemberdayaan menurut

Makmur (2007).

Page 11: BAB II revisi

22

a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan

diri anggota organisasi, pemerintah, maupun

anggota masyarakat. Kepercayaan diri dan

kemandirian dalam menghadapi berbagai

hambatan atau tantangan hidup dapat

melahirkan kekuatan dan ketahanan diri

untuk tidak menggantungkan harapannya

kepada pihak lain.

b. Memiliki kegesitan dan proaktif,

pemberdayaan manusia dapat menciptakan

kegesitan memiliki daya dorong untuk

proaktif mencari kegiatan yang dapat lebih

menguntungkan.

c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan,

pengetahuan merupakan sumber keterampilan

dalam melaksanakan suatu kegiatan yang

hasilnya lebih menguntungkan.

d. Kepatuhan dan kesadaran, kehidupan

manusia senantiasa diatur oleh suatu

ketentuan hidup yang perlu ditaati dan

Page 12: BAB II revisi

23

sadar untuk menciptakan keteraturan dan

keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan

maupun dalam pergaulan. Kepatuhan dan

kesadaran terhadap norma-norma sebagai

fundamental kehidupan bermasyarakat,

berorganisasi, berumah tangga, dan

sebagainya menjadi terapi yang tepat serta

mosaik dalam upaya meningkatkan

pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun

orang lain.

3. Manfaat Pemberdayaan

Jika proses pemberdayaan sudah

dilaksanakan, perlu suatu pemantauan proses

tersebut dan menilai keberhasilan. Untuk

meyakinkan bahwa segala usaha sungguh-sungguh

telah mendatangkan hasil yang sesuai dengan

usaha.

Berikut ini peneliti kemukakan beberapa

manfaat dari proses pemberdayaan baik bagi

individu maupun organisasi, menurut Stewart

Page 13: BAB II revisi

24

dalam bukunya empowering people yaitu sebagai

berikut :

a. Meliputi kesempatan untuk meningkatkan

kecakapan-kecakapan baru dan pengalaman-

pengalaman yang beraneka ragam

b. Pemberdayaan juga memberi kepada staf

rasa berprestasi yang lebih besar

c. Bertambahnya efektivitas organisasi

4. Proses-dan Konsep Pemberdayaan

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa terdapat

3 proses dalam memberdayakan pegawai, yaitu

sebagai berikut :

a. Menciptakan suasana/iklim yang

memungkinkan potensi manusia berkembang,

titik tolaknya adalah pengenalan bahwa

setiap manusia memiliki potensi yang dapat

dikembangkan, pemberdayaan adalah membangun

daya itu dengan mendorong, membangun dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimiliki serta berupaya untuk

Page 14: BAB II revisi

25

mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya

yang dimiliki manusia, upaya ini meliputi

langkah nyata, dan menyangkut penyediaan

berbagai masukan serta pembukaan pada

berbagai peluang yang membuat manusia

menjadi berdaya dan upaya utamanya adalah

peningkatan taraf pendidikan, derajat

kesehatan, dan akses pada sumber-sumber

kemajuan ekonomi.

c. Proses pemberdayaan harus dicegah

yang lemah menjadi bertambah lemah oleh

karena kekurangberdayaannya dalam

menghadapi yang kuat, dan perlu adanya

peraturan perundangan yang secara jelas

melindungi yang lemah.

Thomas dan Veltahouse (1990) menyatakan

bahwa pemberdayaan merupakan suatu yang

multifaceted yang esensinya tidak bisa dicakup

dalam satu konsep tunggal. Dengan kata lain

Page 15: BAB II revisi

26

pemberdayaan mengandung pengertian perlunya

keleluasaan kepada individu untuk bertindak

dan sekaligus bertanggung jawab atas

tindakannya sesuai dengan tugas yang

diembannya. Konsep pemberdayaan ini juga

berarti bahwa seseorang akan mampu untuk

berperilaku secara mandiri dan penuh tanggung

jawab. Konsep pemberdayaan ini

dimanifestasikan dalam empat kognisi yang

merefleksikan orientasi individu atas peran

kerjanya yaitu arti (meaning), kompetensi

(competence), pendeterminasian diri (self

determination), dan pengaruh (impact).

Menurut Sedarmayanti (2007) konsep

pemberdayaan menampakkan dua kecenderungan:

a. Pemberdayaan menekankan kepada proses

memberikan atau mengalihkan sebagian

kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada

masyarakat, organisasi, atau individu agar

menjadi lebih berdaya. Proses ini sering

Page 16: BAB II revisi

27

disebut sebagai kecenderungan primer dari

makna pemberdayaan.

b. Menekankan pada proses menstimulasi,

mendorong, dan memotivasi individu agar

mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan

hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai

kecenderungan sekunder dari makna

pemberdayaan

Sedangkan menurut Spreitzer dalam

Mahardiani (2008) ditemukan empat

karakteristik umum yang dimiliki empowered

people yang juga sama dengan konsep Thomas dan

Velthouse, yaitu:

a. Sense of meaning Meaning merupakan nilai

tujuan pekerjaan yang dilihat dari

hubungannya pada idealisme atau standar

individu.

b. Sense of competence. Kompetensi lebih

merupakan kepercayaan individu akan

Page 17: BAB II revisi

28

kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas

mereka dengan menggunakan keahlian yang

mereka miliki. Dimensi ini menggunakan

istilah kompetensi daripada self esteem karena

difokuskan pada kompetensi secara spesifik

pada peran pekerjaan.

c. Sense of determination. Bila kompetensi

merupakan keahlian dalam berperilaku, maka

self determination merupakan suatu perasaan

memiliki suatu pilihan dalam membuat pilihan

atau melakukan suatu pekerjaan.

d. Sense of impact. Impact atau dampak

merupakan derajat dimana seseorang dapat

memengaruhi hasil pekerjaan baik stratejik,

administratif

Khan (2007) menawarkan sebuah model

pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam

sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan

proses pemberdayaan dalam suatu organisasi.

Page 18: BAB II revisi

29

Model pemberdayaan tersebut yaitu:

Page 19: BAB II revisi

30

a. Desire

Tahap pertama dalam model pemberdayaan

adalah adanya keinginan dari manajemen untuk

mendelegasikan dan melibatkan pekerja.Yang

termasuk hal ini antara lain:

1) Pekerja diberi kesempatan untuk

mengidentifikasikan permasalahan yang

sedang berkembang.

2) Memperkecil directive personality dan

memperluas kesempatan kerja.

3) Mendorong terciptanya perspektif baru

dan memikirkan kembali strategi kerja.

4) Mengembangkan keahlian team dan melatih

karyawan untuk mengawasi sendiri (self

control)

b. Trust

Tahap dua adalah membangun kepercayaan

antara manajemen dan karyawan Adanya saling

percaya di antara anggota organisasi akan

tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran

Page 20: BAB II revisi

31

informasi dan saran tanpa adanya rasa takut.

Hal-hal yang termasuk dalam trust antara

lain:

1) Memberi kesempatan kepada para karyawan

untuk berpartisipasi dalam pembuatan

kebijakan.

2) Menyediakan waktu dan sumber daya yang

mencukupi bagi karyawan dalam

menyelesaikan kerja.

3) Menyediakan pelatihan yang mencukupi

bagi karyawan bagi kebutuhan kerja.

4) Menghargai perbedaan pandangan dan

menghargai kesuksesan yang diraih oleh

karyawan.

5) Menyediakan akses informasi yang cukup.

c. Confident

Tahap ke tiga dalam proses pemberdayaan

adalah menimbulkan rasa percaya diri

karyawan dengan menghargai terhadap

kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal

Page 21: BAB II revisi

32

yang termasuk tindakan yang menimbulkan

confident antara lain:

1) Mendelegasikan tugas yang penting kepada

karyawan

2) Menggali ide dan saran dari karyawan.

3) Memperluas tugas dan membangun jarungan

antar departemen.

4) Menyediakan jadwal job instruction dan

mendorong penyelesaian yang baik.

d. Credibility

Tahap ke empat berupa menjaga kredibilitas

dengan penghargaan dan mengembangkan

lingkungan kerja yang sehat sehingga

tercipta organisasi yang memiliki performance

yang tinggi. Hal yang termasuk credibility

adalah:

1) Memandang karyawan sebagai partner

strategis

2) Peningkatan target di semua pekerjaan.

Page 22: BAB II revisi

33

3) Memperkenalkan inisiatif individu untuk

melakukan perubahan melalui partisipasi.

4) Membantu menyelesaikan perbedaan dalam

penentuan tujuan dan prioritas.

e. Accountabiliy

Tahap dalam proses pemberdayaan berikutnya

adalah pertanggungjawaban karyawan pada

wewenang yang diberikan. Dengan menetapkan

secara konsisten dan jelas tentang peran,

standar dan tujuan penilaian terhadap

kinerja karyawan, tahap ini merupakan sarana

evaluasi terhadap kinerja dalam penyelesaian

dan tanggung jawab terhadap wewenang yang

diberikan. Hal yang termasuk dalam

accountability antara lain:

1) Menggunakan jalur training dalam

mengevaluasi kinerja karyawan.

2) Memberikan tugas dan ukuran yang jelas.

3) Melibatkan karyawan dalam penentuan

standar dan ukuran.

Page 23: BAB II revisi

34

4) Memberikan saran dan bantuan kepada

karyawan dalam menyelesaikan beban

kerjanya.

5) Menyediakan periode dan waktu pemberian

feedback.

f. Communication

Tahap ini merupakan tahap terakhir,

diharapkan adanya komunikasi yang terbuka

untuk menciptakan saling memahami antara

karyawan dengan manajemen. Keterbukaan ini

dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan

saran terhadap hasil dan prestasi yang

dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam

commnication antara lain:

1) Menetapkan kebijakan open door

communication.

2) Menyediakan waktu untuk mendapatkan

informasi dan mendiskusikan permasalahan

secara terbuka.

Page 24: BAB II revisi

35

3) Menyediakan kesempatan untuk cross training

maupun operasional

2.1.3. Self Eficacy

1. Pengetian

Self-efficacy adalah belief atau keyakinan

seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan

menghasilkan hasil (outcomes) yang positif

(Santrock, 2001). Menurut Dale Schunk dalam

Paulus Joko Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy

mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya.

Siswa dengan Self-efficacy yang rendah mungkin

menghindari pelajaran yang banyak tugasnya,

khususnya untuk tugas-tugas yang menantang,

sedangkan siswa dengan Self-efficacy yang tinggi

mempunyai keinginan yang besar untuk

mengerjakan tugas-tugasnya.

2. Proses Terjadinya Self-efficacy

Menurut Bandura (2006), Self-efficacy berakibat

pada suatu tindakan manusia melalui beberapa

jenis proses, antara lain yaitu:

Page 25: BAB II revisi

36

Page 26: BAB II revisi

37

a. Proses Motivasional

Individu yang memiliki Self-efficacy tinggi

akan meningkatkan usahanya untuk mengatasi

tantangan dengan menunjukkan usaha dan

keberadaan diri yang positif. Hal tersebut

memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense

of personal-efficacy).

b. Proses Kognitif

Self-efficacy yang dimiliki individu akan

berpengaruh terhadap pola pikir yang

bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-

bentuk pengaruhnya, yaitu:

1) Jika Self-efficacy semakin tinggi maka

semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan

dan akan semakin kuat pula komitmen

terhadap tujuan yang ingin dicapai.

2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang

kompleks, individu mempunyai keyakinan

diri yang kuat dalam memecahkan masalah

yang dihadapi dan mampu mempertahankan

Page 27: BAB II revisi

38

efisiensi berpikiranalitis. Sebaliknya,

jika individu bersifat ragu-ragu dalam

memecahkan masalah yang dihadapinya maka

biasanya tidak efisien dalam berpikir

analitis.

3) Self-efficacy berpengaruh terhadap

antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif

dan gambaran yang diulang kembali.

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi

akan memiliki gambaran keberhasilan yang

diwujudkan dalam penampilan dan perilaku

yang positif dan efektif. Sebaliknya

individu yang merasa tidak mampu cenderung

merasa mempunyai gambaran kegagalan.

4) Self-efficacy berpengaruh terhadap fungsi

kognitif melalui pengaruh yang sama dengan

proses motivasional dan pengolahan

informasi. Semakin kuat keyakinan individu

akan kapasitas memori, maka semakin kuat

pula usaha yang dikerahkan untuk memproses

Page 28: BAB II revisi

39

memori secara kognitif dan meningkatkan

kemampuan memori individu tersebut.

c. Proses Afektif

Self-efficacy berpengaruh terhadap seberapa

banyak tekanan yang dialami oleh individu

dalam situasi-situasi yang mengancam.

Individu yang percaya bahwa dirinya dapat

mengatasi situasi-situasi yang mengancam

yang dirasakannya, tidak akan merasa cemas

dan terganggu dengan ancaman tersebut.

3. Aspek-Aspek Pembentuk Self-efficacy

Terdapat empat aspek yang dapat

mengembangkan self-efficacy, yaitu enactive mastery

experience, vicarious experience, verbal persuasion dan

emotional arousal.

a. Enactive Mastery Experience merupakan suatu

pengalaman belajar yang diperoleh melalui

learning by doing atau experiental learning. Menurut

Bandura (2006), enactive mastery experience

merupakan salah satu sumber yang memberikan

Page 29: BAB II revisi

40

kontribusi paling besar dalam pembentukan

self-efficacy, karena aspek ini didasarkan pada

pengalaman-pengalaman keberhasilan pribadi.

Pada saat individu memperoleh suatu harapan

untuk menguasai suatu hal akan meningkat.

Sebaliknya, kegagalan yang berulang akan

menurunkan harapan untuk menguasai suatu

hal, apalagi jika kegagalan tersebut dialami

pada saat mengawali sesuatu yang baru.

Besarnya self-efficacy yang terbentuk dalam diri

individu bergantung pada:

1) Banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang

dialami;

2) Persepsi mengenai tingkat kesulitan;

3) Usaha yang dilakukan dalam mencapai

tujuan;

4) Pengalaman yang diingat dan

direkonstruksi oleh daya ingat;

5) Banyaknya bantuan eksternal, lingkungan

dimana individu berada.

Page 30: BAB II revisi

41

b. Vicarious Experience merupakan penilaian mengenai

keyakinan diri sebagian diperoleh melalui

hasil yang dicapai oleh orang lain yang

dijadikan sebagai model. Pengalaman belajar

yang diperoleh melalui pengamatan terhadap

tampilan orang lain (modeling) dan melalui

kejelasan instruksi yang diberikan oleh

model.

c. Verbal Persuasion merupakan keyakinan akan

kemampuan diri yang diperoleh dari orang

lain yang disampaikan secara lisan.

Keyakinan yang diperoleh melalui proses ini

sifatnya lemah dan untuk jangka waktu

singkat. Selain itu, keyakinan yang

diperoleh melalui pernyataan orang lain yang

disampaikan secara terus menerus, sehingga

terbentuk keyakinan yang relatif menetap.

d. Emotional Arousal merupakan ambang ketergugahan

emosi seseorang dalam menghadapi suatu

keadaan atau situasi tertentu. Ambang

Page 31: BAB II revisi

42

ketergugahan emosi pada tingkat rendah

membuat individu mudah cemas ketika sedang

menyelesaikan suatu masalah. Semakin

kompleks masalah yang harus diselesaikan, ia

akan semakin cemas karena merasa tidak

sanggup untuk menyelesaikannya, sebaliknya

apabila ambang ketergugahan emosi seseorang

tinggi maka ia tidak mudah terganggu ketika

sedang menghadapi suatu masalah. Ia akan

tetap tenang dan berusaha menyelesaikannya

dengan baik.

4. Dimensi-Dimensi Self-efficacy

Self-efficacy bersifat spesifik dalam tugas

dan situasi yang dihadapi, artinya individu

dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada satu

tugas atau situasi tertentu, namun pada tugas

dan situasi lain tidak. Self-efficacy bersifat

kontekstual, artinya bergantung pada konteks

yang dihadapi. Pada umumnya, Self-efficacy akan

memprediksi dengan baik suatu tampilan yang

Page 32: BAB II revisi

43

berkaitan erat dengan keyakinan tersebut.

Berdasarkan sifat-sifat di atas, Bandura

(2006) membagi Self-efficacy menjadi tiga dimensi

yang perlu diperhatikan apabila hendak

mengukur keyakinan diri seseorang, yaitu

dimensi tingkat (level), dimensi generalisasi

(generality), dan dimensi kekuatan (strength).

Dimensi tingkat menunjukkan keyakinan individu

terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah

dengan derajat kesulitan yang berbeda-beda.

Dimensi generalisasi adalah persepsi

kompetensi individu atas tingkat pencapaian

keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas

dalam kondisi tertentu, sedangkan dimensi

kekuatan adalah tingkat kuat atau lemahnya

keyakinan (beliefs) individu mengenai

kompetensi diri yang dipersepsinya.

a. Dimensi tingkat (level)

Dimensi tingkat adalah dimensi yang

berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah

Page 33: BAB II revisi

44

atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang

sebagai hasil persepsi tentang kompetensi

dirinya. Dimensi ini mengacu pada persepsi

individu terhadap kompetensi dirinya untuk

menghasilkan suatu tingkah laku yang diukur

melalui tingkatan dari tuntutan tugas yang

merepresentasikan variasi dari kesukaran

atau tantangan tugas.

Tingkat tuntutan tugas dapat

diklasifikasikan berdasarkan tingkat

kepandaian/kecerdikan, usaha, ketepatan,

produktivitas, dan pengaturan diri (self

regulation). Individu dengan tingkat yang

tinggi memiliki keyakinan bahwa ia mampu

mengerjakan tugas-tugas yang sukar,

sedangkan individu dengan tingkat yang

rendah memiliki keyakinan bahwa dirinya

hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang

mudah, akibatnya akan rentan terhadap

tekanan.

Page 34: BAB II revisi

45

b. Dimensi generalisasi (generality)

Dimensi generalisasi yaitu dimensi yang

berhubungan dengan luas bidang perilaku atau

tingkat pencapaian keberhasilan seseorang

dalam mengatasi atau menyelesaikan

masalah/tugas-tugasnya dalam kondisi

tertentu. Keyakinan terhadap kemampuan diri

juga berbeda dalam generalisasinya, artinya

seseorang mungkin menilai keyakinan dirinya

untuk aktivitas-aktivitas yang luas atau

hanya untuk bidang-bidang tertentu saja.

Dimensi ini dapat bervariasi dalam

beberapa hal, seperti:

1) Derajat kesamaan aktivitas

2) Modal dimana kemampuan terlihat (tingkah

laku, kognitif, afektif)

3) Kualitatif tampilan terhadap suatu

situasi.

Tingkat generalisasi yang tinggi akan

membuat individu yakin akan kompetensinya

Page 35: BAB II revisi

46

untuk melaksanakan tugas dalam berbagai

situasi, sedangkan individu dengan tingkat

generalisasi rendah akan menganggap dirinya

hanya mampu melaksanakan tugas dalam situasi

tertentu.

c. Dimensi kekuatan (strength)

Dimensi kekuatan yaitu dimensi yang

berhubungan dengan tingkat kekuatan atau

kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang

dipersepsinya. Pengalaman yang berulang

dapat dengan mudah meniadakan keyakinan

terhadap kemampuan diri yang lemah. Individu

yang memiliki keyakinan (belief) yang kuat

mengenai kemampuannya akan mempertahankan

usahanya meskipun menghadapi berbagai

rintangan dan kesulitan. Individu dengan

tingkat kekuatan tinggi akan memiliki

keyakinan yang kuat akan kompetensi diri

sehingga tidak mudah menyerah atau frustrasi

dalam menghadapi rintangan dan memiliki

Page 36: BAB II revisi

47

kecenderungan untuk berhasil lebih besar

daripada individu dengan kekuatan rendah.

Individu dengan tingkat kekuatan rendah

cenderung mudah terguncang oleh hambatan

kecil dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Bandura (2006) dalam artikel yang

berjudul Guide For Constructing Self-efficacy

Scales menegaskan bahwa pengukuran ketiga

dimensi tersebut di atas diduga paling

akurat untuk menjelaskan self-efficacy seseorang

karena bersifat spesifik dalam tugas dan

situasi yang dihadapinya. Seseorang dapat

memiliki keyakinan yang tinggi pada situasi

tugas atau situasi tertentu, namun pada

tugas atau situasi yang lain mungkin

berbeda.

Self-efficacy bersifat konstektual, artinya

tergantung pada konteks yang dihadapi.

Umumnya self-efficacy akan menghasilkan suatu

tampilan yang baik berkenaan dengan

Page 37: BAB II revisi

48

keyakinan tersebut.

Page 38: BAB II revisi

49

5. Pengaruh Self-efficacy pada Tingkah Laku

Menurut Bandura dalam Susiati (2008) self-

efficacy akan mempengaruhi bagaimana individu

merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri,

dan bertingkah laku. Self-efficacy atau

kapabilitas yang dimiliki individu akan

mempengaruhi tingkah lakunya dalam beberapa

hal, seperti:

a. Tindakan Individu, self-efficacy menentukan

kesiapan individu dalam merencanakan apa

yang harus dilakukannya. Individu dengan

keyakinan diri tinggi tidak mengalami

keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus

dilakukannya.

b. Usaha, self-efficacy mencerminkan seberapa

besar upaya yang dikeluarkan individu untuk

mencapai tujuannya. Individu dengan

keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi

akan berusaha maksimal

c. Daya tahan individu dalam menghadapi

Page 39: BAB II revisi

50

hambatan atau rintangan dan kegagalan,

individu dengan self-efficacy tinggi mempunyai

daya tahan yang kuat dalam menghadapi

rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah

mengembalikan rasa percaya diri setelah

mengalami kegagalan. Individu juga

beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai

tujuan adalah akibat dari kurangnya

pengetahuan, bukan karena kurangnya keahlian

yang dimilikinya. Hal ini membuat individu

berkomitmen terhadap tujuan yang ingin

dicapainya. Apabila individu telah memiliki

pilihan karir yang sesuai dengan minatnya,

maka ia tidak akan mudah menyerah jika

menemukan hambatan dalam proses pencapaian

tujuannya. Individu akan menganggap

kegagalan sebagai bagian dari proses, dan

tidak menghentikan usahanya.

d. Ketahanan individu terhadap keadaan

tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman,

Page 40: BAB II revisi

51

individu dengan self-efficacy diri tinggi

menganggap sebagai suatu tantangan, bukan

merupakan sesuatu yang harus dihindari.

Ketika individu mengalami keadaan tidak

nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan

yang diminati, ia akan tetap berusaha

bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan

tersebut dan berkonsentrasi penuh.

e. Pola pikir, situasi tertentu akan

mempengaruhi pola pikir individu. Individu

dengan self-efficacy tinggi, pola pikirnya tidak

mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan

dan tetap memiliki cara pandang yang luas

dari beberapa sisi. Cara pandang individu

yang luas memungkinkan individu memiliki

alternatif pilihan karir yang banyak dari

bidang yang diminati.

f. Stres dan depresi, bagi individu yang

memiliki self-efficacy rendah, kecemasan yang

terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan

Page 41: BAB II revisi

52

membuatnya mudah merasa tertekan. Jika

perasaan tertekan tersebut berkelanjutan,

maka dapat mengakibatkan depresi. Dalam

upaya memilih karir yang sesuai dengan

minatnya, jika individu menganggap realitas

sulitnya jalur yang harus ditempuh, prospek

dunia kerja di masa depan dan sebagainya

sebagai sumber kecemasan, dan individu

meragukan kemampuannya, maka individu akan

menjadi lebih mudah tertekan.

g. Tingkat pencapaian yang akan

terealisasikan, Individu dengan self-efficacy

tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki serta mampu

menentukan bidang karir atau pendidikan

sesuai dengan minat dan kemampuannya

tersebut.

6. Manfaat dan Fungsi Self-efficacy

Self-efficacy yang merupakan salah satu faktor

determinan yang mempengaruhi perilaku individu

Page 42: BAB II revisi

53

memiliki manfaat yang cukup besar dalam

kehidupan individu di antaranya, yaitu

sebagai:

a. Pembentukan Perilaku. Individu yang memiliki

Self-efficacy akan selalu menerapkan apa yang

akan dilakukannya dalam menghadapi suatu

tugas untuk mencapai tujuan yang

diinginkannya.

b. Motivasi Diri. Individu yang memiliki Self-

efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas dan

kuantitas yang baik dalam melakukan segala

usahanya dan tidak akan mudah menyerah dalam

mencapai keinginannya.

c. Pola Pikir. Individu yang memiliki Self-efficacy

memiliki pola pikir yang positif, jika ia

menemui suatu masalah maka secara otomatis

otaknya akan membuat rencana untuk

menghadapi masalah tersebut. Selain itu Self-

efficacy juga berpengaruh terhadap bagaimana

individu menanggapi suatu kegagalan.

Page 43: BAB II revisi

54

Kegagalan yang terjadi dianggap sebagai

keberhasilan yang tertunda, bukan merupakan

hal yang harus terus-menerus dipikirkan atau

disesali.

Wulansari (2001) menguraikan beberapa

fungsi Self-efficacy:

a. Pilihan Perilaku. Dengan adanya Self-efficacy

yang dimiliki, individu akan menetapkan

tindakan apa yang akan ia lakukan dalam

menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan

yang diiinginkannya.

b. Pilihan Karir. Self-efficacy merupakan mediator

yang cukup berpengaruh terhadap pemilihan

karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu

melaksanakan tugas-tugas dalam karir

tertentu maka biasanya ia akan memilih karir

tesebut.

c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan

pada suatu tugas. Individu yang memiliki Self-

efficacy yang tinggi biasanya akan berusaha

Page 44: BAB II revisi

55

keras untuk menghadapi kesulitan dan

bertahan dalam mengerjakan suatu tugas bila

mereka telah mempunyai keterampilan

prasyarat. Sedangkan individu yang mempunyai

Self-efficacy yang rendah akan terganggu oleh

keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah

menyerah bila menghadapi kesulitan dalam

mengerjakan tugas.

d. Kualitas Usaha. Penggunaan strategi dalam

memproses suatu tugas secara lebih mendalam

dan keterlibatan kognitif dalam belajar

memiliki hubungan yang erat dengan Self-efficacy

yang tinggi.

7. Cara Meningkatkan Self-efficacy

Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan

dan mengoptimalkan Self-efficacy seseorang. Kear

dalam Sudrajat (2008) menjelaskan cara-cara

sebagai berikut.

a. Menempatkan pengetahuan sebagai kunci.

Manusia perlu memahami diri sendiri, latar

Page 45: BAB II revisi

56

belakang berperilaku, serta mengidentifikasi

kelebihan dan kelemahannya. Jika respons

yang selama ini belum dapat merealisasikan

harapan-harapan hidupnya, maka ia perlu

belajar lagi untuk menambah pengetahuan,

sikap, dan pengalaman-pengalamannya.

b. Seseorang tidak mengetahui apa yang

seharusnya dilakukan dan bagaimana cara

melakukannya karena ia tidak mempunyai

pengetahuan dan pengalaman yang tepat atau

memadai. Ia harus belajar bagaimana cara

menggunakan akalnya secara efektif,

memfokuskan pada suatu kegiatan, dan

mengontrol pikirannya sebagai suatu

keterampilan yang diperlukan untuk menunjang

usaha dan pencapaian tujuannya.

c. Mau menantang asumsi sendiri. Seseorang

harus menyiapkan diri menghadapi tantangan

yang ada berdasarkan kemampuan, bakat, dan

kompetensinya. Ia perlu memperkuat mentalnya

Page 46: BAB II revisi

57

dalam mengurangi rasa takut dan agar

terlihat potensi aktualnya. Keefektifan akan

meningkat bila terdapat perbedaan persepsi

terhadap realitas yang ada.

d. Ubahlah cara berpikir tentang diri

sendiri dan berbagai hal di dalamnya melalui

pemahaman dan pengaplikasian beberapa

prinsip dasar keberhasilan. Tidak diperlukan

beratus cara untuk mengubah cara berpikir,

mungkin hanya perlu menciptakan sedikit

perbedaan. Keterbatasan cara berpikir akan

berpengaruh terhadap keyakinan seseorang

tentang kemampuannya dalam menyelesaikan

tugas atau tuntutan pekerjaannya.

e. Kerjakan sesuatu oleh sendiri. Cara lain

untuk meningkatkan self-efficacy seseorang dan

mengetahui bahwa sesuatu dapat diselesaikan

oleh dirinya sendiri. Jika hal ini gagal,

coba sekali lagi dan berikan reaksi yang

positif terhadap kegagalan tersebut. Tanya

Page 47: BAB II revisi

58

pada diri sendiri, apa yang akan terjadi

selanjutnya dengan dirinya, mencoba mulai

lagi dari yang terkecil serta lanjutkan

dengan cara berikutnya.

f. Jika hal ini berhasil, artinya ia

mungkin mendapat cukup informasi.

Keberhasilan menyelesaikan tugas atau

tuntutan pekerjaan ini akan turut

meningkatkan Self-efficacy, motivasi, dan

memperdalam keyakinan diri untuk mencapai

keberhasilan.

g. Lihat bagaimana orang lain berperilaku

atau bekerja. Pelajari cara pakar

berperilaku atau bekerja dan pahami caranya

bagaimana sehingga ia berhasil. Seseorang

dapat menentukan keefektifannya dengan cara

melihat hasil yang diperolehnya. Melalui

observasi terhadapnya, hal ini akan

meningkatkan kesadaran seseorang, menawarkan

berbagai pilihan, dan memperjelas gambaran-

Page 48: BAB II revisi

59

gambaran yang mungkin dihasilkan dari

perilaku yang ditampilkan.

h. Tidak ada yang mustahil jika seseorang

mau berusaha. Kemudian ia meniru apa yang

dikerjakan oleh pakar melalui perilaku atau

model-model pekerjaan yang relatif sama.

Orang yang berhasil dapat membantu seseorang

mengembangkan pola pikir yang sama tentang

harapannya atas penyelesaian suatu tugas

atau pekerjaannya.

i. Merencanakan dan mempersiapkan.

Merencanakan dan mempersiapkan sesuatu dapat

membantu seseorang mencapai hasil yang lebih

baik dan berhasil mencapai tujuannya

tersebut. Mau bertukar pikiran atau ide,

menetapkan tujuan, mencatat langkah-langkah

persiapan yang diperlukan untuk meningkatkan

kualifikasi diri sendiri dalam meningkatkan

hasil, dan mengontrolnya. Melalui kegiatan

ini tidak akan terjadi pemborosan waktu dan

Page 49: BAB II revisi

60

energi.

j. Segalanya dihitung. Direncanakan dan

dipersiapkan setiap hari, minggu, bulan, dan

setiap tahun sebab hidup seseorang harus

direncanakan dan dipersiapkan. Langkah

merencanakan dan mempersiapkan ini

mengarahkan pada suatu keadaan model

berpikir bahwa tidak ada yang mustahil jika

seseorang mau berusaha.

k. Gunakan pikiran dan akal sehat secara

efektif. “Jika seseorang berpikiran kalah

maka kalahlah ia”. Seseorang harus mempunyai

trik dalam meningkatkan keyakinannya yang

tidak efektif, tidak kompeten, dan banyak

hal yang semuanya memuat ungkapan tidak

mungkin. Keyakinan, identitas, dan bahasa

yang dipergunakan oleh seseorang dapat

membawanya ke arah atau keadaan yang sulit.

l. Seseorang dapat mengembalikan kendali

dirinya untuk mengubah garis kehidupannya

Page 50: BAB II revisi

61

melalui penggunaan pikiran dan akal sehatnya

untuk membentuk kembali dan membuat trik

yang baru. Hanya gambaran diri yang

mempunyai kekuatanlah yang mau dilihat, atau

hanya kata-kata yang menggambarkan tentang

kekuatanlah yang mau didengarkan serta cuma

perasaan-perasaan yang berisikan pengalaman

keberhasilanlah yang mau dihayati secara

internal. Apapun yang terjadi di dalam maka

2.1.4. Budaya Organisasi

1. Pengertian

Menurut Robbins (2007) budaya organisasi

merupakan sistem makna bersama yang dianut

oleh anggota-anggota yang membedakan suatu

organisasi dari organisasi lain. Sistem makna

bersama ini, bila diamati dengan lebih

seksama, merupakan seperangkat karakteristik

utama yang dihargai oleh suatu organisasi.

Budaya organisasi berkaitan dengan

bagaimana karyawan mempersepsikan

Page 51: BAB II revisi

62

karakteristik dari suatu budaya organisasi,

bukan dengan apakah para karyawan menyukai

budaya atau tidak. Budaya organisasi adalah

apa yang dipersepsikan karyawan dan cara

persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan,

nilai, dan ekspektasi. Schein (1981) dalam

Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan

budaya sebagai suatu pola dari asumsi dasar

yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan

oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi

masalah adaptasi eksternal dan integrasi

internal yang telah berjalan cukup baik untuk

dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk

diajarkan kepada anggota baru sebagai cara

yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan

berperasaan sehubungan dengan masalah yang

dihadapinya.

Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya

melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan

pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

Page 52: BAB II revisi

63

budaya organisasi memiliki iga lapisan,

lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan

yang tampak nyata tetapi seringkali tidak

dapat diinterpretasikan. Di lapisan kedua

terdapat nilai atau berbagai hal yang penting

bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat

afektif, atau keinginan. Pada lapisan ketiga

merupakan asumsi dasar yang diciptakan orang

untuk memandu perilaku mereka. Termasuk dalam

lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan

kepada individu bagaimana berpersepsi,

berpikir, dan berperasaan mengenai pekerjaan,

tujuan kinerja, hubungan manusia, dan kinerja

rekan kerja

2. Fungsi Budaya Organisasi

Robbins (2007) menyatakan bahwa budaya

menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah

organisasi, yaitu:

a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan

tapal batas, yang artinya budaya menciptakan

Page 53: BAB II revisi

64

pembedaan yang jelas antara satu organisasi

dengan organisasi yang lain.

b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi

anggota-anggota organisasi.

c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen

pada sesuatu yang lebih luas daripada

kepentingan pribadi seseorang.

d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang

artinya merupakan perekat sosial yang

membantu mempersatukan suatu organisasi

dengan memberikan standar-standar yang tepat

untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan

oleh para karyawan.

e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme

pembuat makna dan kendali yang memandu dan

membentuk sikap serta perilaku para

karyawan.

Secara alami budaya sukar dipahami, tidak

berwujud, implisit dan dianggap biasa saja.

Tetapi semua organisasi mengembangkan

Page 54: BAB II revisi

65

seperangkat inti pengandaian, pemahaman, dan

aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-

hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam

mempengaruhi perilaku karyawan semakin penting

bagi organisasi.

Dengan dilebarkannya rentang kendali,

didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-

tim, dikuranginya formalisasi, dan

diberdayakannya karyawan oleh organisasi,

makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya

yang kuat. memastikan bahwa semua karyawan

diarahkan kearah yang sama. Pada akhirnya

budaya merupakan perekat sosial yang membantu

mempersatukan organisasi.

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins dalam Umar (2008) menyatakan untuk

menilai kualitas budaya organisasi suatu

organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor

utama, yaitu sebagai berikut:

a. Inisiatif individu, yaitu tingkat

Page 55: BAB II revisi

66

tanggung jawab, kebebasan dan independensi

yang dipunyai individu.

b. Toleransi terhadap tindakan beresiko,

yaitu sejauhmana para pegawai dianjurkan

untuk bertindak agresif, inovatif, dan

berani mengambil resiko.

c. Arah, yaitu sejauhmana organisasi

tersebut menciptakan dengan jelas sasaran

dan harapan mengenai prestasi.

d. Integrasi, yaitu tingkat sejauhmana

unit-unit dalam organisasi didorong untuk

bekerja dengan cara yang terkoordinasi.

e. Dukungan Manajemen, yaitu tingkat

sejauhmana para manajer memberi komunikasi

yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap

bawahan mereka.

f. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan

pengawasan langsung yang digunakan untuk

mengawasi dan mengendalikan perilaku

pegawai.

Page 56: BAB II revisi

67

g. Identitas, yaitu tingkat sejauhmana para

anggota mengidentifikasi dirinya secara

keseluruhan dengan organisasinya daripada

dengan kelompok kerja tertentu atau dengan

bidang keahlian profesional.

h. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauhmana

alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi)

didasarkan atas kriteria prestasi pegawai

sebagai kebalikan dari senioritas, pilih

kasih, dan sebagainya.

i. Toleransi terhadap konflik, yaitu

tingkat sejauhmana para pegawai didorong

untuk mengemukakan konflik kritik secara

terbuka.

j. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat

sejauhmana komunikasi organisasi dibatasi

oleh hirarki kewenangan yang formal.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2010)

mengemukakan adanya 3 (tiga) tipe umum budaya

Page 57: BAB II revisi

68

organisasi antara lain:

a. Budaya konstruktif (constructive culture)

merupakan budaya di mana pekerja didorong

untuk berinteraksi dengan orang lain dan

bekerja pada tugas dan proyek dengan cara

yang akan membantu mereka dalam memuaskan

kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang.

b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive

culture) mempunyai karakteristik menolak

keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi

dengan orang lain dengan cara yang tidak

menantang keamanan mereka sendiri.

c. Budaya agresif-defensif (aggressive-

defensive culture) mendorong pekerja mendekati

tugas dengan cara memaksa dengan maksud

melindungi status dan keamanan kerja

mereka.

5. Dampak Penerapan Budaya Organisasi

Budaya organisasi melibatkan ekspektasi,

nilai, dan sikap bersama, hal tersebut

Page 58: BAB II revisi

69

memberikan pengaruh pada individu, kelompok,

dan proses organisasi (Ivancevich et.al.,

2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dampak dari budaya terhadap karyawan

menunjukkan bahwa budaya menyediakan dan

mendorong suatu bentuk stabilitas. Terdapat

perasaan stabilitas, selain perasaan identitas

organisasi yang disediakan oleh budaya

organisasi. Organisasi yang memiliki budaya

yang kuat dicirikan oleh adanya karyawan yang

memiliki nilai inti bersama. Semakin banyak

karyawan yang berbagi dan menerima nilai inti,

semakin kuat budaya, dan semakin besar

pengaruhnya terhadap perilaku.

Dalam suatu budaya kuat, nilai inti

organisasi dipegang secara intensif dan dianut

bersama secara meluas. Semakin banyak anggota

organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan

semakin besar komitmen mereka terhadap

komitmen-komitmen tersebut, maka makin kuat

Page 59: BAB II revisi

70

budaya tersebut. Suatu budaya kuat akan

mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku-

perilaku anggota organisasi karena tingginya

tingkat kebersamaan dan intensitas menciptakan

suatu iklim internal dari kendali perilaku

yang tinggi.

6. Menciptakan Budaya Organisasi

Robbins (2003) menjelaskan bahwa

terciptanya budaya organisasi dimulai dari ide

pendiri organisasi. Para pendiri suatu

organisasi secara tradisional mempunyai dampak

yang besar pada pembentukan budaya organisasi.

Para pendiri mempunyai suatu visi mengenai

bagaimana seharusnya organisasi itu. Para

pendiri tidak dikendalikan oleh kebiasaan

ataupun ideologi sebelumnya. Proses pembetukan

budaya terjadi dalam tiga cara yaitu:

a. Para pendiri hanya mempekerjakan dan

menjaga karyawan yang berpikir dan merasakan

cara yang mereka tempuh.

Page 60: BAB II revisi

71

b. Para pendiri mengindoktrinasikan dan

mensosialisasikan para karyawan dengan cara

berpikir dan merasa mereka.

c. Akhirnya perilaku pendiri sendiri

bertindak sebagai satu model peran yang

mendorong karyawan untuk mengidentifikasikan

diri dengan mereka dan oleh karenanya

menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan

asumsi-asumsi mereka.

Bila organisasi berhasil, visi pendiri

menjadi terlihat sebagai satu penentu utama

keberhasilan organisasi. Pada titik ini,

keseluruhan kepribadian pendiri menjadi

tertanam dalam budaya organisasi.

7. Mempertahankan Budaya Organisasi

Sekali suatu budaya terbentuk, praktik-

praktik di dalam organisasi bertindak

mempertahankan budaya dengan memberikan kepada

para karyawan seperangkat pengalaman yang

serupa. Robbins (2007) menyatakan bahwa

Page 61: BAB II revisi

72

terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian

yang sangat penting dalam mempertahankan suatu

budaya, yaitu:

a. Praktik Seleksi

Tujuan utama dari proses seleksi adalah

mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-

individu yang mempunyai pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan

pekerjaan dengan sukses di dalam suatu

organisasi. Proses seleksi memberikan

informasi kepada para pelamar mengenai

organisasi itu. Para calon belajar mengenai

organisasi yang akan dimasuki, dan jika

mereka merasakan suatu konflik antara nilai

mereka dengan nilai organisasi, maka mereka

dapat menyeleksi diri keluar dari kumpulan

pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi

jalan dua-arah, dengan memungkinkan pemberi

kerja atau pelamar untuk memutuskan kehendak

hati mereka jika tampaknya terdapat

Page 62: BAB II revisi

73

kecocokan. Dengan cara ini, proses seleksi

mendukung suatu budaya organisasi dengan

menyeleksi keluar individu-individu yang

mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-

nilai intinya.

b. Manajemen Puncak

Tindakan manajemen puncak juga mempunyai

dampak besar pada budaya organisasi. Lewat

apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka

berperilaku, eksekutif senior menegakkan

norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang

organisasi, misalnya apakah pengambilan

risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan

seharusnya diberikan oleh para manajer

kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang

pantas dan tindakan apakah akan dihargai

dalam kenaikan upah, promosi, dan ganjaran

lain.

c. Sosialisasi

Tidak peduli betapa baik yang telah

Page 63: BAB II revisi

74

dilakukan suatu organisasi dalam perekrutan

dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya

diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu.

Yang paling penting, karena para karyawan

baru tersebut tidak mengenal baik budaya

organisasi yang ada. Oleh karena itu,

organisasi

Page 64: BAB II revisi

75

2.1.5. Hubungan Pemberdayaan dengan Kinerja

Pegawai

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa

tujuan organisasi/instansi akan dapat tercapai

dengan baik apabila pegawai dapat menjalankan

tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien. Oleh

sebab itu diperlukan adanya pemberdayaan

aparatur pemerintah agar prestasi kerja

meningkat. Pemberdayaan yang dilakukan dapat

meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat

mempercepat tercapainya tujuan organisasi

disamping dari tujuan dari pegawai itu sendiri

terwujud.(Notoadmodjo, 2007)

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa

pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang

wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya

manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan

memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai

iptek, serta kemampuan manajemen, meningkatkan

mutu SDM untuk dapat memenuhi tantangan

Page 65: BAB II revisi

76

peningkatan perkembangan yang semakin cepat,

efisien dan produktif, harus dilakukan secara

terus menerus sehingga tetap menjadikan SDM

yang produktif.

Pemberdayaan menekankan dua aspek, yaitu

pendelegasian wewenang dan pemberian stimulan.

Pendelegasian wewenang menyebabkan sebagian

wewenang yang ada pada pimpinan beralih

kebawahan. Hal ini akan memangkas jalur

birokrasi menjadi lebih pendek dan efektif

sehingga akan menaikan kinerja. Selanjutnya

pemberian stimulan promosi jabatan, gaji dan

tunjangan akan memberikan motivasi lebih kepada

pegawai dalam bekerja, sehingga kinerja pegawai

menjadi naik. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa pemberdayaa dapat meningkatkan kinerja

pegawai.

2.1.6. Hubungan Self Eficacy dengan Kinerja Pegawai

Kepercayaan terhadap kemampuan diri,

keyakinan terhadap keberhasilan yang selalu

Page 66: BAB II revisi

77

dicapai membuat seseorang bekerja lebih giat

dan selalu menghasilkan yang terbaik.

Kepercayaan akan kemampuan yang dimiliki akan

membuat pegawai merasa bangga. Kebanggan ini

akan ditunjukkan seorang pegawai kepada

atasannya, bahwasanya ia mampu melaksanakan

tugas secara lebih baik dan sungguh-sungguh

dari pada orang lain. Hal lain yang coba

ditunjukan adalah mencoba pekerjaan yang

menantang, dimana orang lain belum tentu bisa

melakukannya. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa self efficacy dapat meningkatkan kinerja

pegawai.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dale Schunk dalam Paulus Joko

Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy mempengaruhi

siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan

Self-efficacy yang rendah mungkin menghindari

pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk

tugas-tugas yang menantang, sedangkan siswa

Page 67: BAB II revisi

78

dengan Self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan

yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Meta analisis yang dilakukan oleh Judge dan

Bono (2001) menemukan ada hubungan positif

antara self efficacy dan kinerja individual.

Penelitian yang dilakukan oleh Amir Erez dan

Timothy Judge (2001) juga menyatakan ada

hubungan yang positif dan signifikan antara self

efficacy dan kinerja individual.

2.1.7. Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja

Pegawai

Budaya organisasi merupakan persepsi

individu atau kelompok dalam organisasi

(Gibson, 2000). Budaya organisasi menentukan

identitas dari suatu kelompok, dalam kelompok

ini diartikan sebagai suatu organisasi

(Hofstede, 1996). Hasil studi Kotter dan Hesket

(1990; dalam Suharto dan Cahyono, 2005) budaya

perusahaan dapat memberikan dampak yang berarti

terhadap kinerja ekonomi jangka panjang dan

Page 68: BAB II revisi

79

perusahaan akan menjadi faktor yang bahkan

lebih penting lagi dalam menentukan

keberhasilan organisasi.

Budaya organisasi yang kuat akan memicu

karyawan untuk berpikir, berperilaku dan

bersikap sesuai dengan nilai-nilai organisasi.

Kesesuaian antara budaya organisasi dengan

anggota organisasi yang mendukungnya akan

menimbulkan kepuasan kerja dan kinerja

karyawan meningkat, sehingga akan meningkatkan

kinerja organisasi secara keseluruhan

(Sutanto, 2002).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan kinerja

pegawai telah banyak dilakukan dengan objek dan

pendekatan yang berbeda-beda.

Page 69: BAB II revisi

80

NO

NamaPeneliti

JudulPenelitiandan Lokasi

Tahun

Penelitian

Hasil Penelitian

1 Nurchasanah

AnalisisPengaruhEmpowerment, Self-efficacy DanBudayaOrganisasiTerhadapKepuasanKerjaDalamMeningkatkan KinerjaKaryawan

2008 Hasil penelitiandisimpulkan bahwaself-efficacy, danbudaya organisasiberpengaruhterhadap kepuasankerja dan kinerjakaryawan. Kepuasankerja berpengaruhpositif terhadapkinerja karyawan.Sedangkanempowerment tidakberpengaruhterhadap kepuasankerja maupunkinerja karyawan

2 RizaNasrullah

PelaksanaanPemberdayaan SumberDayaManusiaDalamMeningkatkan KinerjaPegawaiPadaKecamatanPangalenganKabupatenBandung

2008 Metode analisisyang digunakanadalah deskriptif.Hasil penelitianmenunjukkan bahwafungsiPemberdayaanSumber DayaManusia padaKecamatanPangalenganKabupaten Bandungbelum sepenuhnyaditerapkan dandilaksanakandengan baik. Belum

Page 70: BAB II revisi

81

terciptanya suatuusaha nyata bagiterciptanya SDMyang berkualitas,memiliki kemampuanmemanfaatkan,mengembangkan danmenguasai iptek,serta belumoptimal dalamkemampuanmanajemen untukdapat memenuhitantanganpeningkatanperkembangan yangsemakin cepat,efisien danproduktif

3 Siti AsihNadhiroh

PengaruhKompleksitas Tugas,OrientasiTujuan,dan Self-EfficacyTerhadapKinerjaAuditorDalamPembuatanAuditJudgment

2010 Hasil daripenelitian initernyata hanyamendukung satudari lima proseshipotesis yangdiajukan yaituorientasipenghindaran;kinerjaberpengaruhnegatif terhadapkinerja auditordalam pembuatanaudit judment.Sedangkan variabellain yaitukompleksitastugas, orientasitujuan

Page 71: BAB II revisi

82

pembelajaran danself eficacy sertaorientasi tujuanpendekatan:kinerja yangbernteraksi dengankompleksitas tugastidak berpengaruhterhadap kinerjaauditor dalampembuatan auditjudment. hal inimungkin disebabkanpengaruh variabellain sebesar 65,4%

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurchasanah (2008), Riza Nasrullaoh

(2008) dan Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah:

1.Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nurchasanah (2008) adalah obyek

penelitian, sampel dan analisis. Obyek

penelitian ini adalah Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kebumen dengan 45 responden,

analisis data menggunakan regresi linear

berganda, sedangkan obyek penelitian yang

dilakukan Nurcahasanah adalah dengan 161

responden, dengan menggunakan analisis Stuructural

Page 72: BAB II revisi

83

Equation Modeling.

2.Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Riza Nasrulloh (2008) adalah pada

jumlah variabel independen, sampel, obyek

penelitian dan analisis. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Riza Nasrulloh hanya terdapat

satu variabel independen yaitu pemberdayaan.

Jumlah sampel sebanyak 21 responden, analisis

yang digunakan adalah deskriptif.

3.Perberdaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah

pada variabel indenpenden, obyek/lokasi

penelitian dan jumlah sampel. Variabel

independen penelitian yang dilakukan oleh Siti

Asih Nadhiroh adalah Kompleksitas Tugas,

Orientasi Tujuan, dan Self-Efficacy, jumlah sampel

sebanyak 52 responden dan lokasi penelitian

Kabupaten semarang.

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN

Page 73: BAB II revisi

84

Berdasarkan kajian teori tentang kinerja

pegawai, pemberdayaan, self eficacy dan budaya

organisasi, maka dapat disusun suatu kerangka

pemikiran dalam penelitian ini seperti yang

disajikan dalam gambar berikut :

Gambar II-1 Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan (X1)

Self Eficacy (X2)

Budaya Organisasi(X3)

Kinerja Pegawai(Y)

Page 74: BAB II revisi

85

2.4 HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat

sementara terhadap masalah penelitian sampai

terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto,

2007). Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan

teoritis, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah:

H1 : Terdapat pengaruh signifikan variabel

pemberdayaan terhadap kinerja pegawai di Dinas

Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten

Kebumen.

H2 : Terdapat pengaruh signifikan variabel self eficacy

terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan

Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H3 : Terdapat pengaruh signifikan variabel budaya

organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas

Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten

Kebumen.

H4 : Terdapat pengaruh secara bersama-sama

variabel pemberdayaan, self eficacy dan budaya

Page 75: BAB II revisi

86

organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas

Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten

Kebumen.