MODAL INTELEKTUAL, FLEKSIBILITAS STRATEGI ...
Post on 18-Jan-2023
1 Views
Preview:
Transcript
MODAL INTELEKTUAL, FLEKSIBILITAS STRATEGI, KECEPATAN INOVASI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN
(Studi Usaha Kecil dan Menengah Industri Kerajinan Rotan
Provinsi Sulawesi Tengah)
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Doktor
Oleh
HARIYANTO R DJATOLA DJAMPAGAU
167020201111010
PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2020
ABSTRACT
Djampagau, Hariyanto R. Djatola. Doctoral Program in Management, Faculty ofEconomics and Business, Universitas Brawijaya. 2019. Intellectual Capital,Strategic Flexibility, Innovation Speed, and Firm Perfprmance in Small andMedium-Sized Rattan lndustry in Centralsulawesi. Promoter: Ubud Salim, Co-promoters: Rofiaty and Risna Wijayanti.
The objective of this study isto analyze and explain the effect of intellectualcapital and strategicflexibility on firm performance with the mediation of innovationspeed in smalland medium-sized rattan industry in Central Sulawesi.
This study was conducted on small and medium-sized rattan enterprisesthat are listed in the lndustry and Trade Service of Palu in Central Sulawesi. Usingsaturated sampling, all seventy listed enterprises were used as the sample. Thedata was haruested through questionnaires and interviews with company ownersand managers and was analyzed in SmartPLS.
The findings of this study prove that innovation speed increases theperformance of the enterprises. The ideas of quickly creating products andpenetrate them to the market make the products have better chances to improvethe firms' performance. The speed is proven to influence the effect of intellectualcapital on firm performance. lt also partially mediates the effect of strategicflexibility on firm performance. The competitiveness of the rattan enterprises canbe enhanced if the innovation speed is followed by improvements in theknowledge, creativity, and determination of their workforce, emphasizing onproduct quality, not quantity. The government has provided loqn, promotion,marketing, and training aids, but they have not extensively strengthened the effectof intellectual and capital and innovation speed on firm performance. Higherintellectual capital must be accompanied by better responsiveness toenvironmental changes through quicker responses to the complex environment.Therefore, the enterprises are required to apply strategic flexibility in their effort ofovercoming environmentalchanges by developing new products, which is possiblethrouEh innovation speed so that the products can enter the market earlier thanthose from their competitors and their performance improves. This researchdemonstrates the importance of business owners to imprcve intellectual capital inmore flexible business activities by using innovation speed for highercompetitiveness.
Keywords: intellectual capital, strategic flexibility, innovation speed, small andmedium-sized rattan enterprise, firm performance.
IEIFIINFDEYEISPAIETI T
DEN IEPFakuttas Ekono'ml dsn EisEis
lJniversitas BrawiiayaJt. MT- Haryd6 reB lifaiang
1'(,1H, (Oga1.66lgtBl
i
ABSTRAK
Hariyanto R. Djatola Djampagau, Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, April 2019. Modal intelektual, fleksibilitas strategi, kecepatan inovasi dan kinerja perusahaan pada studi usaha kecil menengah (UKM) industri kerajinan rotan di Provinsi Sulawesi Tengah. Promotor Ubud Salim, Ko-Promotor Rofiaty, dan Risna Wijayanti.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan pengaruh
modal intelektual, fleksibilitas strategi, terhadap kinerja perusahaan di mediasi kecepatan inovasi pada studi usaha kecil menengah (UKM) industri kerajinan rotan di Provinsi Sulawesi tengah.
Penelitian dilakukan terhadap UKM kerajinan rotan yang terdaftar di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah. Seluruh UKM kerajinan rotan yang terdaftar dijadikan sampel (sampel jenuh) sebanyak 70 UKM kerajinan rotan yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Pendekatan penelitian adalah kuantitatif. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner kemudian dilengkapi dengan wawancara dengan 70 pemilik sekaligus pengelola UKM kerajinan rotan, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SmartPLS.
Hasil penelitian membuktikan bahwa kecepatan inovasi meningkatkan
kinerja perusahaan atau UKM kerajinan rotan. Ide inovasi yang cepat diwujudkan dengan menciptakan produk dan lebih cepat memasuki pasar memilki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Kecepatan inovasi membuktikan bahwa memiliki peran pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan, dan terbukti bahwa kecepatan inovasi sebagai variabel memediasi secara parsial memiliki pengaruh fleksibilitas strategi terhadap kinerja perusahaan. Daya saing UKM kerajinan rotan dapat ditingkatkan apabila kecepatan inovasi diikuti dengan peningkatan pengetahuan, kreatifitas dan kemauan tenaga kerja berorientasi pada kualitas produk bukan kuantitas. Peran pemerintah melalui fasilitas kredit, promosi, pemasaran, dan pelatihan telah dilakukan oleh pemerintan tetapi belum berdampak luas dalam memperkuat hubungan modal intelektual dengan kecepatan inovasi dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Manakala memiliki modal intelektual yang tinggi harus peka dan cepat merespon perubahan lingkungan dengan bertindak lebih awal dengan menanggapi lingkungan yang begitu kompleks, dalam hal ini sebuah tuntutan UKM kerajinan rotan dapat menerapkan fleksibilitas strategi sebagai tanggapan untuk siap menghadapi perubahan lingkungan dengan melakukan pengembangan produk baru dengan menciptakan kecepatan inovasi dari segi waktu lebih diutamakan dari awal terciptanya sebuah ide, produk, dan cepat masuk ke pasar dibandingkan pesaing, sehingga dapat memberikan efek pada kinerja perusahaan. Kontribusi dalam penelitian ini menunjukkan kepada pemilik usaha kecil dan menengah untuk dapat meningkatkan modal intelektual dalam melakukan kegiatan bisnis secara lebih fleksibel dengan memanfaatkan kecepatan inovasi dalam persaingan untuk memperkuat daya saing.
Kata kunci : Modal Intelektual, Fleksibilitas Strategi, Kecepatan Inovasi, UKM
kerajinan rotan, Kinerja Perusahaan.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 28
1.3. Tujuan Penelitian 29
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Toritis 30
1.4.2. Manfaat Praktis 31
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
2.1.1. Hubungan modal intelektual dan kinerja perusahaan 33
2.1.2. Hubungan fleksibilitas strategi dan kinerja perusahaan 43
2.1.3. Hubungan kecepatan inovasi dan kinerja perusahaan 48
2.1.4. Hubungan modal intelektual dan inovasi 51
2.1.5. Hubungan fleksibilitas strategi dan inovasi 53
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Teori Resources Based View (RBV) 55
2.2.1.1. Sumber daya (Resources) 59
2.2.2. Intellectual Capital (Modal intelektual) 68
2.2.2.1. Definisi Modal Intelektual 68
2.2.3. Fleksibilitas strategi 86
2.2.4. Teori Inovasi 93
2.2.5. Kecepatan Inovasi 100
2.2.6. Kinerja Perusahaan 104
2.2.6.1. Definisi Kinerja Perusahaan 104
2.2.7. Usaha kecil menengah (UKM) 115
2.2.8. Integrasi teori yang digunakan dalam penelitian 120
ii
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian 124
3.2. Hipotesis Penelitian 133
3.2.1. Pengaruh modal intelektual terhadap kinerja
perusahaan 133
3.2.2. Pengaruh fleksibilitas strategi terhadap kinerja
perusahaan 135
3.2.3. Pengaruh kecepatan inovasi terhadap kinerja
perusahaan 136
3.2.4. Pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan
di mediasi kecepatan inovasi 137
3.2.5. Pengaruh fleksibilitas strategi terhadap kinerja
perusahaan di mediasi kecepatan inovasi 138
3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian 139
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian 148
4.2. Lokasi Penelitian 148
4.3. Populasi dan Sampel 149
4.4. Teknik Pengukuran Variabel Penelitian 150
4.5. Pengumpulan Data 152
4.5.1. Jenis Data 152
4.5.2. Teknik Pengumpulan Data 153
4.6. Uji Instrumen Penelitian 153
4.7. Metode Analisis Data 155
4.7.1. Analisis Statistik Deskriptif 156
4.7.2. Analisis Statistik Inferensial 157
4.7.3. Uji Efek Mediasi dengan Metode VAF 157
4.8. Informasi Kualitatif 161
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 162
5.2. Karakteristik Responden 169
5.3. Deskripsi Variabel Penelitian 173
5.3.1. Variabel Modal Intelektual (intellectual capital) 174
5.3.2. Variabel Fleksibilitas Strategi (Strategic flexibility) 177
iii
5.3.3. Variabel Kecepatan Inovasi (Innovation speed) 179
5.3.4. Variabel Kinerja Perusahaan (Performance firm) 182
5.4. Pengujian Asumsi Linieritas 184
5.5. Hasil Analisis Partial Least Square (PLS)
5.5.1. Model Pengukuran (Outer Model /Measurement Model 185
5.5.1.1. Pengujian Validitas Konstruk 185
5.5.1.2. Pengujian Reliabilitas Konstruk 188
5.5.1.3. Hasil pengujian Loading Factor 189
5.5.2. Evaluasi Model Struktural (Inner Model) 193
5.5.2.1. Goodness of fit model 193
5.5.2.2. Pengujian Hipotesis 195
5.5.2.3. Pengujian Sifat Mediasi 200
5.6. Pembahasan hasil Penelitian 206
5.6.1. Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja
Perusahaan 206
5.6.2. Pengaruh Fleksibilitas Strategi Terhadap Kinerja
Perusahaan 217
5.6.3. Pengaruh Kecepatan Inovasi Terhadap Kinerja
Perusahaan 224
5.6.4. Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja
Perusahaan di mediasi Kecepatan Inovasi 230
5.6.5. Pengaruh Fleksibilitas Strategi Terhadap Kinerja
Perusahaan di mediasi Kecepatan Inovasi 238
5.7. Implikasi Penelitian 243
5.7.1. Implikasi Teori 246
5.7.2. Implikasi Praktis 252
5.8. Keterbatasan Penelitian 253
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 255
6.2. Saran 258
DAFTAR REFERENSI
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Hubungan Resource, VRIN dan SCA 60
Gambar 2.2 Model Berbasis Sumber Daya untuk Superior Returns 64
Gambar 2.3 Componen internal Analysis, Competitive advantage dan
Strategic Advantage 65
Gambar 2.4. Kompetensi Inti 66
Gambar 2.5. Pendekatan RBV pada Kinerja dan Persaingan 68
Gambar 2.6 Gelombang Inovasi 100
Gambar 2.7 Gelombang Inovasi 101
Gambar 2.8 Integrasi teori dalam penelitian 133
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 133
Gambar 4.1 Model pengaruh langsung 159
Gambar 4.2 Model Mediasi 159
Gambar 4.3 Prosedur Analisis Mediasi dalam PLS dengan metode VAF 161
Gambar 5.1 Hubungan Stakeholder pada UKM Rotan di Provinsi
Sulawesi Tengah 169
Gambar 5.2 Diagram Jalur Pengaruh Langsung 197
v
DAFTAR TABEL
Tabel. 1.1 Perbandingan Daya saing dan Inovasi Indonesia dengan
Beberapa Negara Asean, Tahun 2017 4
Tabel 1.2 Kesenjangan Hasil Penelitian Sebelumnya dan Penelitian
saat ini 26
Tabel 2.1 Ringkasan Studi: Empiris hubungan modal intelektual
terhadap kinerja perusahaan 43
Tabel 2.2 Ringkasan Studi: Empiris hubungan Fleksibilitas Strategi
terhadap Kinerja Perusahaan 47
Tabel 2.3 Empat Kriteria dari SCA 61
Tabel 2.4 Konsep intellectual capital 78
Tabel 2.5 Perbandingan konsep intellectual capital menurut peneliti 79
Tabel 2.6 Definisi dan Pengukuran Kecepatan Inovasi 103
Tabel 2.7 Teori dan Hasil Penelitian Sebelumnya Terkait dengan Kinerja
Perusahaan 109
Tabel 2.8 Studies of SME Business Performance (1987-1993) 111
Tebel 2.9 Dimensi dan Ukuran kinerja perusahaan 112
Tabel 2 10. Kekuatan dan Kelemahan UKM 119
Tabel 3.1 Definisi Operasional variabel 145
Tabel 3.2 Deskripsi rentang Skor Skala Likert dalam Pengukuran Indikator
atau Item dari variabel Penelitian 147
Tabel 5.1 Karakteristik Responden 170
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Modal Intelektual 174
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi variabel Fleksibilitas Strategi 177
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi variabel Kecepatan Inovasi 180
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi variabel Kinerja Perusahaan 182
Tabel 5.6 Hasil pengujian liniearitas 184
Tabel 5.7 Hasil Evaluasi Validitas 186
Tabel 5.8 Hasil Pengujian Reliabilitas 188
Tabel 5.9 Hasil Pengujian Loading Factor Modal Intelektual 189
Tabel 5.10 Hasil Pengujian Loading Factor Fleksibilitas Strategi 190
Tabel 5.11 Hasil Pengujian Loading Factor Kecepatan Inovasi 192
Tabel 5.12 Hasil Pengujian Loading Factor Kinerja Perusahaan 192
vi
Tabel 5.13 Hasil Pengujian Goodness of fit Model 194
Tabel 5.14 Hasil Pengujian Hipotesis Pengaruh Langsung 195
Tabel 5.15 Hasil Pengujian Hipotesis Pengaruh tidak Langsung 196
Tabel 5.16 Konversi Diagram Jalur ke dalam Model Struktural 198
Tabel 5.17 Hasil Pengujian Mediasi 201
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor usaha kecil menengah (UKM) merupakan salah satu motor
penggerak perekonomian indonesia dan menjadi fokus pemerintahan sekarang.
UKM selain berperan dalam pertumbuhan pembangunan dan ekonomi, juga
memiliki kontribusi yang penting dalam mengatasi masalah pengangguran
Jumlah pelaku UMKM di Indonesia dilaporkan mencapai 49 juta dan diprediksi
menyerap lebih dari 107 juta tenaga kerja. Kontribusi sektor UMKM terhadap
produk domestik bruto (PDB) pun semakin meningkat dalam lima tahun terakhir
di mana Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat lonjakan
dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen di tahun 2016 (www.depkop.go.id/berita-
informasi/data-informasi, 2016).
Data Kementerian Koperasi dan UKM (2016) menunjukkan kondisi
terakhir UKM dibandingkan Usaha Mikro (UMi) dan Usaha Besar (UB) pada
tahun 2013 (www.depkop.go.id/berita-informasi/data-informasi/data-umkm)
sebagai berikut: Usaha Mikro sebanyak 57.189.393 atau 98,775 dari total unit
usaha sedangkan UKM sebanyak 706.327 (1,22%) dan Usaha Besar (UB) hanya
5. 066 (0,01%). Pada saat yang sama pertumbuhan UKM lebih tinggi (3,94%)
untuk Usaha Kecil dan 6,3% untuk Usaha Menengah) dibandingkan Umi (2,39%)
dan UB (1,97%).
Peran besar UKM terhadap perekonomian nasional, selain jumlah unit
usaha adalah kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan
nasional. Peran UKM tersebut ditunjukkan melalui data Kementerian Koperasi
2
2
dan UKM (2016) sebagai berikut kontribusi UKM terhadap penyerapan tenaga
kerja sebanyak 9.519.616 orang atau 8,09% dari total pekerja (117.681.244
orang) dengan pertumbuhan paling tinggi (22,80% untuk Usaha Kecil dan
21,07% untuk Usaha Menengah) dibandingkan Umi (4,77%) dan UB (12,27%).
Walaupun kontribusi UKM terhadap produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar
harga konstan lebih kecil (12,83%) untuk Usaha Kecil dan 1448% untuk Usaha
Menengah) dibandingkan Umi (30,25%) dan UB (42,44%), tetapi pertumbuhan
UKM paling tinggi, yakni 16,42% untuk Usaha Kecil dan 5,59% untuk Usaha
Menengah dibandingkan 3,85% dan 6,5 % pada Umi dan UB. Namun kontribusi
UKM terhadap ekspor non migas kecil (2,76%) untuk Usaha Kecil dam 11,54%
untuk Usaha Menengah) dibandingkan UB (84,32%), bahkan pertumbuhan
ekspor Usaha Kecil Negatif 1,41% selama tahun 2012 -2013.
Kontribusi UKM terhadap ekspor non migas yang kecil tersebut
mengindikasikan daya saing UKM secara global rendah. Rendahnya daya saing
UKM disebabkan oleh banyak faktor. Dong-Sung dan Moom (2003)
mengembangkan Model Diamond Porter menjadi Model Sembilan Faktor
penentu daya saing yang cocok untuk negara-negara sedang berkembang.
Sembilan faktor tersebut adalah (1) wirausahawan, yang menjadi sumber inovasi;
(2) politisi dan birokrat atau pemerintah; (3) pekerja; (4) manajer dan insinyur
profesional; (5) sumber daya atau faktor produksi; (6) permintaan; (7) industri
terkait dan pendukung; (8) lingkungan bisnis, yaitu strategi perusahaan, struktur
dan persaingan antar perusahaan dalam industri; dan (9) peluang yang berasal
dari faktor eksternal. Hasil kajian Kushadiani (2006), Tambunan (2008), USAID
(2013), dan ERIA SME Research Working Group (2014) menunjukakan bahwa
rendahnya daya saing UKM disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1) rendahnya
3
3
inovasi dari wirausahawan, (2) peran pemerintah yang kurang optimal, dan (3)
adanya creative-destruction yang bisa berasal wirausahawan atau dari
lingkungan bisnis khususnya persaingan antar perusahaan dalam industri.
Namun sayangnya penelitian terkait daya saing UKM masih sedikit (Frese, et al.
(2002); Romero dan Roman (2012) dan Guo, et al. (2014).
UKM Indonesia dalam tingkat persaingan global tercatat rendah dari segi
inovasi dan human capital diantara Negara di Kawasan ASEAN. Rendahnya
inovasi yang diterapkan di indonesia dapat dilihat dari Global Competitiveness
Report (2017) yang menunjukkan bahwa inovasi indonesia berada di peringkat
46 dari 135. Hal ini tidak menggembirakan dibandingkan tahun 2016 indonesia
berada pada peringkat 33 dari 139. Pengalaman di negara-negara maju
menunjukkan bahwa UKM adalah sumber dari inovasi produksi dan teknologi,
pertumbuhan wirausaha, yang kreatif, dan inovatif, penciptaan tenaga kerja
terampil dan fleksibilitas pada proses produksi untuk menghadapi perubahan
permintaan pasar yang semakin beragam segmentasinya dan semakin spesifik..
Kemampuan yang dimiliki UKM tersebut sangat ditentukan oleh sejumlah faktor.
Diantaranya adalah sumber daya manusia, penguasaan teknologi, akses ke
informasi, pasar output, dan input. Dibandingkan mitra UKM dinegara-negara
Asia seperti Taiwan, china, Thailand, dan Singapura kinerja ekspor UKM
Indonesia masih sangat lemah. Bahkan UKM di Vietnam yang baru memulai
pembangunan ekonominya sejak awal tahun 1980-an masih lebih unggul
dibandingkan UKM Indonesia.
Inovasi dalam index persaingan dalam pilar 12 menunjukkan masih
rendah yang berdampak daya saing negatif dan ini berkaitan juga dengan human
capital seperti education and skill dalam pilar 5 indonesia berada pada peringkat
4
4
77 dari 135. Di kawasan ASEAN, daya saing indonesia berada dibawah
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina (Tabel 1). Beberapa
indikator daya saing yaitu pendidikan dan ketrampilan, kapasitas inovasi, kerja
sama universitas industri dalam R&D, dan pengadaan produk teknologi maju dari
pemerintah. Namun, jika dilihat dari pengajuan paten, Indonesia menduduki
peringkat jauh lebih rendah yaitu 99 dan masih kalah dari Filipina (86) dan
Thailand (70). Fakta ini menjadi salah satu bukti lambatnya pertumbuhan dan
pengembangan inovasi di Indonesia.
Tabel 1.
Perbandingan Daya Saing Indonesia dengan Beberapa Negara ASEAN,
Tahun 2017
Country Rank
Education and skill
Rank For innovation
University-industry
collaboration in R & D
Rank Patent on Patent
Cooperation Treaty (PCT)
Singapura 14 13 7 13
Malaysia 36 26 11 36
Brunei Darussalam
56 73 79 95
Filipina 69 46 28 86
Indonesia 77 65 61 99
Thailand 84 55 41 70
Vietnam 97 76 84 53
Sumber : Global Competitiveness Report (2017).
Hal ini menujukkan masih rendah daya saing UKM indonesia berdasarkan
global competitive report tahun 2017 seperti tabel 1 yang menunjukkan
ketrampilan dan inovasi UKM indonesia diperingkat 5 setelah Filipina. Sandee
(1995) menyatakan bahwa inovasi merupakan sesuatu yang amat penting dalam
membangunkan competitive advantage bagi perusahaan, termasuk usaha kecil.
Proses inovasi berkaitan dengan proses pengembangan knowledge yang ada di
5
5
dalam perusahaan baik yang bersifat tacit maupun tacit maupun explicit (Nonaka
& Takeuchi, 1995). Artinya bahwa perusahaan yang mampu mengungkap
knowledge yang ada pada setiap individu di dalam perusahaan, yang akan
menjadi sumber kekuatan untuk membangun kecepatan inovasi yang mampu
meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu,
ketercukupan informasi sangat penting dalam menciptakan inovasi.
Daou, Alain, et al.,2013 menyatakan era modern saat ini
mempersyaratkan mutu sebagai alat untuk memenangkan persaingan.
Persaingan dapat dikuasai ketika dapat menciptakan produk baru yang berbeda
dengan pesaing dan juga produk yang sebelumnya lebih baik dengan kemasan
lagi yang agak menarik, tetapi hal ini membutuhkan kreativitas tenaga kerja
dalam berinovasi. UKM tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar
terutama menyangkut kualitas produk, desain produk, dan keunikan produk yang
dihasilkan, hal ini disebabkan rendahnya kualitas tenaga kerja dan keterbatasan
sumber dana. Rekruitmen tenaga kerja yang berkualitas UKM masih kalah
dengan perusahaan besar. Kelemahan kualitas tenaga kerja UKM juga tidak
terlepas dari kurangnya kelembagaan pemerintah yang memfasilitasi
peningkatan pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja UKM secara
berkelanjutan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kurangnya
kelembagaan pemerintah yang diperlukan, sehingga UKM merasakan
mengalami kekurangan modal intelektual. Lingkungan bisnis yang semakin
bergolak dan berubah membatasi UKM dalam mencari solusi alternatif untuk
masalah yang mereka hadapi dan menggunakan semua sumber daya tersedia
secara lebih efisien.
6
6
Tingkat kompetisi produk UKM masih rendah, hal ini disebabkan bahwa
kualitas produk, kemasan, harga jual produk masih tinggi., Menurut data
Kementerian Koperasi dan UMKM menyatakan bahwa kondisi ekonomi negara
melemah menyebabkan pendapatan usaha kecil mikro mengalami penurunan
pendapatan 40% (Kementerian, Koperasi, dan UMKM, 2015). Kondisi penurunan
ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan Chen, et al., 2005 pada
perusahaan yang sudah listing di Taiwan sebanyak 4.320 perusahaan melalui
model Pulic (2000) metode regresi linear berganda hasil penelitian menyatakan
bahwa tenaga kerja merupakan faktor penting pendorong aset strategis
dipergunakan dalam meningkatkan daya saing berkelanjutan dan investor
memandang keberhasilan perusahaan dengan mampu mengelola tenaga kerja
secara efisien, meningkatkan profitabilitas dan peningkatan pendapatan.
Partisipasi tenaga kerja pada UKM dengan tingkat pendidikan rata-rata
pada tingkat sekolah lanjutan atas (BPS, 2013) dan ketergantungan tenaga kerja
pada pemilik UKM cukup tinggi maka dampaknya proaktif tenaga kerja masih
rendah. Pengaruh lain bahwa modal manusia mempengaruhi tingkat
kewirausahaan UKM. Permasalahan ini mengakibatkan lemahnya jaringan
usaha, keterbatasan kemampuan penetrasi pasar dan diversifikasi pasar, skala
ekonomi terlalui kecil sehingga sukar menekan biaya, margin keuntungan sangat
kecil, dan lebih jauh lagi UKM tidak memiliki keunggulan kompetitif. Studi yang
dilakukan Jaka Sriyana (2010) pada 82 UKM di daerah Bantul Yogyakarta,
dengan metode statistik deskriptif dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa UKM masih menghadapi permasalahan mendasar tenaga kerja yang
berdampak pada kualitas produk, pemasaran dan sustainability usaha.
7
7
UKM mampu mengelola, mengembangkan dan mengintegrasikan sumber
daya yang dimiliki dengan menciptakan inovasi, kreatifitas, proaktifitas usaha
yang berdampak pada peningkatan daya saing dan kinerja (Neneh dan Zyl,
2012). Perusahaan dengan kemampuan bersaing dan orientasi bisnis tinggi
akan dapat melihat peluang dan selanjutnya dapat mencari pasar baru untuk
produk yang dihasilkan (Basile, 2012). Hubungan kapabilitas berinovasi dan
keunggulan kompetitif telah dibahas oleh Hofer dan Schandel (1978) yang
mengemukakan kompetensi inti bukan hanya berfokus pada produk, tetapi
perusahaan berusaha mengungkap soft skill dari human capital memiliki
knowledge yang bersifat tacit dan explicit yang bersumber dari inovasi dapat
meningkatkan daya saing (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Salah satu kunci
meningkatkan daya saing tersebut adalah mendorong laju inovasi sebuah
perusahaan agar bisa bersaing, baik di tingkat lokal, nasional, dan lingkungan
global.
Kenyataan UKM yang ada di indonesia masih kalah saing di Asia yang
dikatakan oleh presiden RI Pak Joko Widodo di istana merdeka dengan
mengundang 26 pengusaha muda, dimana beliau mengatakan bahwa
pengusaha muda harus lebih kreatif dan inovatif dalam pengembangan
produknya untuk meningkatkan perekonomian nasional. Perekonomian indonesia
bulan agustus tahun 2018 mengalami defisit yang disebabkan adanya konflik
perdagangan antara negara Amerika serikat dan China (TVRI, 2018;
Tribunnews.com, 2018), sehingga Presiden RI menghimbau pada pengusaha
muda agar lebih cepat berinovasi., sedangkan di tingkat nasional UKM di
Provinsi Sulawesi Tengah yang kalah saing dengan UKM di Cirebon yang
memproduksi kerajinan rotan lebih kreatif pada produk, proses pengelolaan lebih
8
8
terampil, teknologi juga lebih canggih dan cepat dapat informasi peluang pangsa
pasar.
Sulawesi Tengah memiliki kawasan hutan seluas 4.394.932 ha atau sama
dengan 64,60 % luas daratan Sulawesi Tengah (6.803.300 ha), yang memiliki
potensi bahan baku rotan cukup besar. Rotan dari Sulawesi tergolong kualitas
prima, sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan jenis rotan yang
sama diluar Sulawesi, dan sangat dibutuhkan oleh industri meubel rotan untuk
keperluan ekspor. Berdasarkan data hasil survey di Sulawesi Tengah terdapat 38
jenis rotan yang telah diidentifikasi potensial untuk di komersilkan . Sedangkan
jenis-jenis yang telah di perdagangkan meliputi rotan lambang, rotan batang,
rotan tohiti, rotan merah, rotan ronti, rotan susu, rotan umbul, sebagai ibukota
provinsi dan sentral perdagangan di Sulawesi Tengah, maka besarnya potensi
rotan di wilayah ini mendorong berkembangnya industri pengolahan rotan
mentah menjadi rotan polis dan rotan core di Kota Palu. Produksi rotan setengah
jadi ini diekspor ke luar negeri dan dikirim ke Pulau Jawa. Palu merupakan salah
satu sentra penghasil rotan alam terbesar di Indonesia. Produksi rotan alam di
Palu mencapai 60 persen dari produksi nasional, sehingga kementerian
Perindustrian memfasilitasi pusat riset dan inovasi untuk pengembangan industri
furnitur di Palu, Sulawesi Tengah, guna menciptakan produk unggulan rotan,
juga diharapkan mampu menarik investor (https://ekonomi.bisnis.com/menperin-
ingin-industri-berbasis-rotan-di-palu-berkembang).
Ketua Forum Parajin Rotan Palu Jamaluddin mengatakan para perajin
rotan hingga kini masih kalah saing dengan tenaga kerja yang ada di jawa seperti
cirebon, solo dan surabaya dalam mengelola rotan menjadi barang jadi yang
berinovatif dan juga UKM Sulawesi dihadapkan dengan keterbatasan teknologi
9
9
dan pasar (www.sulteng.antaranews.com). Penelitian Asngadi (2017) pada UKM
rotan di Cirebon desa Tegal wangi dengan pendekatan kualitatif menemukan
hasil bahwa UKM di Cirebon memiliki kekuatan berasal dari peran pemerintah
dan pihak akademis seperti ITB yang mengelola dan mengembangkan human
capital seperti pemilik dan tenaga kerja dengan memberikan training untuk
menambahkan pengetahuan tentang daya saing yang bersumber dari kreatif dan
inovasi tenaga kerja yang dapat menciptakan nilai diperoleh dari profitabilitas dan
penguasaan pasar. Faktanya yang ada bahwa UKM di Cirebon tidak memilki
bahan baku rotan seperti daerah lain yang memiliki bahan baku rotan, tetapi
UKM rotan cirebon memiliki tenaga kerja yang terampil.
Sumber daya perusahaan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu
berwujud, tidak berwujud dan kapabilitas organisasi (Barney, 1991) Dalam hal ini
dibutuhkan kemampuan terkait apa yang dapat dilakukan perusahaan dengan
sumber dayanya (Amit dan Schoemaker, 1993). Asumsi dasar teori RBV adalah
bahwa kemampuan perusahaan untuk bersaing sangat tergantung kepada
keunikan sumberdaya yang ada dalam organisasi (Wernefelt, 1984). RBV juga
dipandang sebagai kemampuan bersaing organisasi yang merupakan fungsi dari
keunikan serta nilai dari sumberdaya serta kapabilitas yang dimiliki oleh
organisasi tersebut. RBV juga menganggap bahwa kapabilitas merupakan
sumber utama untuk mencapai keunggulan bersaing berkelanjutan. Pendekatan
RBV menyatakan bahwa perusahaan dapat mencapai keunggulan bersaing yang
berkesinambungan dan memperoleh keuntungan superior dengan memiliki atau
mengendalikan aset-aset strategis baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
11
11
konsep kembar, mendefinisikan knowledge management sebagai seni
menciptakan nilai dari aset tidak berwujud organisasi.
Aset tidak berwujud di era milenium banyak perusahaan dituntut dan
adanya tekanan dari perubahan lingkungan yang tidak terduga, agar perusahaan
lebih fokus menggali pengetahuan yang dimiliki karyawan yang mengarah ke
arah knowledge creative. Era new economic perusahaan apapun sudah berfokus
pada pengetahuan personal yang sering disebut intangible asset. Seiring dengan
perkembangan penelitian terkait intangible asset terus mengalami perkembangan
dari sisi konsep yang mendasari pada perubahan lingkungan yang begitu
kompleks yang sering disebut intellectual capital. Intellectual capital adalah salah
satu sumber daya penting untuk kesuksesan kinerja perusahaan dalam
knowledge based economy (Pulic, 2000). Hal ini kemudian menimbulkan
masalah yaitu bila Intellectual capital adalah salah satu kunci kesuksesan
perusahaan tetapi tidak tercermin di dalam laporan keuangan, maka pengukuran
dan pengungkapan IC sebuah perusahaan adalah suatu hal yang penting untuk
dilakukan.
Namun beberapa penelitian menemukan bahwa semua komponen
intellectual capital seperti human capital, structure capital, dan relational capital
memiliki hubungan terhadap kinerja perusahaan (Wang et al. 2014; Sharabati et
al., 2010; Chen et al. (2005) menggunakan model Pulic (VAIC™) untuk menguji
hubungan antara IC dengan nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan
dengan menggunakan sampel perusahaan publik di Taiwan. Hasilnya
menunjukkan bahwa intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap nilai
pasar dan kinerja keuangan perusahaan, artinya bahwa kinerja keuangan
perusahaan dapat meningkat dan juga dapat menciptakan nilai perusahaan, hal
12
12
ini dikarenakan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya sebagai
sumber strategi dengan baik. Bahkan, Chen et al. (2005) juga membuktikan
bahwa IC dapat menjadi salah satu indikator untuk memprediksi kinerja
perusahaan di masa mendatang. Selain itu, penelitian ini juga membuktikan
bahwa investor mungkin memberikan penilaian yang berbeda terhadap tiga
komponen., sedangkan penelitian Ling (2011) berpendapat yang lain bahwa
tidak semua komponen intellectual capital (IC) berpengaruh positif terhadap
kinerja perusahaan dikarenakan tenaga kerja masih kurang berbagi pengetahuan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang dapat terciptanya nilai perusahaan.
Bahkan, Ling (2011) memberikan catatan dalam penelitian yang masih terdapat
keterbatasan;. Pertama, kesulitan dalam standardisasi pengukuran modal
intelektual terhadap kinerja perusahaan yang cocok dengan item subyektif pada
penilaian persepsi responden dengan menggunakan skala likert.. Ling (2011)
juga menyarankan untuk penelitian selanjutnya lebih komprehensif dalam
memilih kinerja perusahaan obyektif dan teori apa yang cocok menghubungkan
intellectual capital dengan kinerja perusahaan. Kedua diperlukan kehati-hatian
yang harus diperhatikan dalam penerapan model persamaan struktural, karena
konsistensi model dengan data tidak selalu menghasilkan kausalitas.
Kotey. B dan Meredith, G G,(2005) melakukan penelitian dengan data
659 UKM di New South Wales Australia, data responden yang kembali 224 UKM
hasil penelitian menyatakan nilai pemilik UKM, strategi perusahaan terkait
dengan kinerja Pemilik dibantu manajemen UKM akan berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan, sedangkan Castro, et a/., 2013 meneliti hubungan antara
budaya inovasi dengan modal intelektual dan inovasi produk, sampel 251
perusahaan di Spanyol dengan menggunakan regresi berganda hasil
13
13
menyatakan ada pengaruh positif secara langsung antara modal intelektual, dan
budaya inovasi pada inovasi produk.
Intellectual capital dipandang sebagai sumber daya yang memiliki daya
saing tinggi, memenuhi kriteria dikembangkan karena bernilai, langka, sukar,
atau mustahil ditiru dan tidak dapat digantikan sumber daya lain. Temuan
penelitian Subramaniam dan Youndt (2005), secara keseluruhan memberikan
dukungan yang kuat bahwa berbagai aspek dari sebuah organisasi pada
intellectual capital memilki keterkaitan yang mempengaruhi inovasi incremental
dan inovasi radikal serta mempunyai dampak pada kinerja perusahaan.
Keberhasilan human capital dalam menciptakan nilai perusahaan di peroleh dari
kreatif yang dimiliki atau kemampuan berasal dari dalam diri (talenta) tenaga
kerja yang terus berinovsi lebih cepat dibandingkan pesaing.
Beberapa peneliti secara singkat menyatakan hasil penelitiannya tentang
Intellectual capital tidak selalu berpengaruh positif terhadap kinerja, Intellectual
capital dan kinerja dipengaruhi berbagai faktor: seperti inovasi, desain organisasi
yang unik, kondisi pasar, perubahan teknologi (Lev, 2001; Kohli dan Jaworski,
2000). Intellectual capital di mediasi variabel innovation culture, secara tidak
langsung berpengaruh terhadap kinerja (Castro, et at, 2013). Peran budaya
perusahaan memediasi hubungan antara modal manusia (human capital) dengan
inovasi produk dan berpengaruh secara positif terhadap keunggulan bersaing.
mengenai pengembangan produk dimana Intellectual capital tidak secara
langsung mempengaruhi terhadap kinerja melainkan bahwa pengembangan
produk merupakan hasil inovasi tenaga kerja melalui mediasi iklim organisasi,
pemimpin yang partisipasi dalam keterlibatan kerja dan kepribadian proaktif ke
tenaga kerja (Tastan, 2013; Castro, et a/., 2013). Hasil kajian yang dilakukan
23
23
inovasi yang tinggi berdampak positif terhadap kinerja UKM dan strategi reaktif
UKM berdampak negatif terhadap sukses kinerja UKM.
Perbedaan temuan dari beberapa studi mengkaji hubungan fleksibilitas
strategi terhadap kinerja menyebabkan timbulnya kesenjangan yang dapat
ditelusuri lebih lanjut. Penelusuran pada kesenjangan tersebut didasarkan dari
pendapat yang dikemukakan oleh Lin, Li dan Chen (2006) bahwa fleksibilitas
strategi tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan
melainkan harus melalui hubungan dengan faktor lain, diantaranya berani
mengambil resiko, dengan asumsi bahwa melalui kemudahan akses (strategi
dalam pelayanan konsumen) pada lingkungan bisnis yang dinamis memberikan
pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Adapun ada kesenjangan hasil
penelitian tersebut terhadap isu yang telah dikemukan sebelumnya secara
ringkas disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Kesenjangan Hasil Penelitian Sebelumnya dan Penelitian saat ini
Nama Peneliti & Tahun
Temuan Gap Pengembangan
Stewart (1997); Edvinsson and Malone (1997); Bontis (1998); Sharabati et al.,(2010); Chen et al., (2005); Tan et al.,(2007)’ Wang (2014); Alipour (2012)
Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara modal intelektual dan kinerja perusahaan
Sig
Masih terdapat inkonsistensi hasil penelitian antara modal intelektual dan kinerja perusahaan
Menggunakan innovation speed (Allocca and Kesller 2006; DK Tarus,EK Sitienei (2015)
Bontis (2000), Firer dan Williams (2003); Ling (2011); Shih e al.,(2010); Mehralian et al.,
(2012); Yang dan Lin (2009);
Tdk. Sig
Berdasarkan p
IC KP
IC KP
Sumber: Hasil review Jurnal
24
24
Dari beberapa alasan tersebut diatas, maka penelitian ini diteliti dengan
judul tentang modal Intelektual (IC), fleksibilitas strategi (FS), Kecepatan Inovasi
terhadap Kinerja perusahaan (Studi UKM di Provinsi Sulawesi Tengah).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang dikemukakan
sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut.
1. Apakah modal intelektual berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan ?
2. Apakah fleksibilitas strategi berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan?
3. Apakah kecepatan inovasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan?
4. Apakah modal intelektual di mediasi kecepatan inovasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan?
5. Apakah fleksibilitas strategi di mediasi kecepatan inovasi berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah, maka
tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Menguji dan menjelaskan pengaruh signifikan modal intelektual
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan ?
2. Menguji dan menjelaskan pengaruh signifikan fleksibilitas strategi
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan?
25
25
3. Menguji dan menjelaskan pengaruh signifikan kecepatan inovasi
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan?
4. Menguji dan menjelaskan modal intelektual di mediasi kecepatan inovasi
berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan?
5. Menguji dan menjelaskan fleksibilitas strategi di mediasi kecepatan
inovasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan?
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberi manfaat bahwa teori yang digunakan dapat
menjelaskan fenomena yang ada di UKM.
1. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu manajemen
keuangan dan Manajemen strategi khususnya yang berhubungan dengan
modal intelektual, fleksibilitas strategi, kecepatan inovasi yang dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja perusahaan.
2. Peran pemilik/manajer UKM merupakan pihak yang harus berperan
dalam pengelolaan dan pemberdayaan IC dipandang dari sudut
intellectual view (Brooking, 1996). Teori yang digunakan pihak
pimpinan/manajemen disebut teori peran (Elder, 1975) untuk mengelola
dan memberdayakan IC. Teori peran (role theory) menjelaskan
bagaimana peran pemilik/manajer dalam mengelola dan memberdayakan
IC sehingga kemanfaatan IC dapat diperoleh sehingga memberikan nilai
tambah pengetahuan kepada mereka.
3. Resource Based View (Barney, 1991) menjelaskan fenomena pentingnya
pemilik UKM memandang modal perusahaan, kapabilitas dan keahlian
merupakan dasar membentuk dan menentukan strategi sesuai dengan
26
26
kompetensi intinya, yang dipergunakan menghadapi persaingan dan
untuk mencari celah peluang bisnis.
4. Resource based theory (Barney, 1986) menjelaskan fenomena
pentingnya UKM mengelola dan memberdayakan sumber daya UKM baik
yang tangible maupun intangible karena hal tersebut dapat meningkatkan
kinerja, mencapai laba dan meningkatkan daya saing. Sumber daya
memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja unggul harus memenuhi
kriteria : berharga yaitu memberikan nilai strategis bagi perusahaan;
langka : yaitu unik sulit ditemukan pesaing, tidak dapat ditiru pesaing
(difficult-to-imitate) dan sumber daya tidak dapat diganti dengan alternatif
lain.
5. Teori Fleksibilitas strategi (Shimzu dan Hitt, 2004) menjelaskan fenomena
pentingnya produk UKM harus mendapatkan nilai, diantaranya produk
berbeda dari pesaing dan unik atau keunikan sendiri bagi konsumen,
(differensiation product) atau produk berbiaya rendah dibanding pesaing
(low cost product) atau harga paling rendah di mata konsumen.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kepada pelaku industri
yang bergerak Usaha kecil dan Menengah dalam lebih berinovasi dengan cepat
responsive perubahan lingkungan yang dinamis dan juga instansi yang terkait
seperti Dinas Koperasi dan UKM di Provinsi Sulawesi Tengah, Perbankan, dan
Asosiasi Kerajinan di Provinsi Sulawesi Tengah dalam memanfaatkan informasi
dari hasil penelitian seperti:
1. Pentingnya memanfaatkan modal intelektual untuk meningkatkan kinerja
UKM di Provinsi Sulawesi Tengah
27
27
2. Menciptakan kinerja UKM yang lebih baik dengan meningkatkan
pengembangan pengetahuan pada pekerja atau karyawan dengan
bekerja sama dalam membagi ilmu mereka.
3. Mengoptimalkan modal intelektual yang dimiliki UKM untuk mendorong
terciptanya kemampuan Inovasi, sehingga mampu bersaing
4. Memanfaatkan modal intelektual yang dimiliki UKM dalam menciptakan
sebuah terobosan yang dapat menghasilkan inovasi yang baik dan
dapat meningkatkan kinerja perusahan yang menghasilkan return bagi
perusahaan.
5. Merespon dengan cepat setiap perubahan di pasar, agar UKM bisa
tetap bertahan dalam persaingan dengan memanfaatkan sumber
dayanya dan dapat menggunakan strategi fleksibel sesuai dengan
karakteristik lingkungan.
28
28
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
2.1.1. Hubungan modal intelektual dan kinerja perusahaan
Konsep intellectual capital (IC) pertama kali diperkenalkan oleh (Brooking,
1997) dan telah banyak dikaji oleh beberapa peneliti yang sudah meneliti tentang
IC. Konsep awal dari intellectual capital yang dikemukakan oleh Kreiser, et
al,.(2013) dengan menggunakan perspektif budaya yang dapat mempengaruhi
nilai bagi pelanggan dan berimplikasi pada kinerja perusahaan. Sebagai salah
satu dari fungsi pemasaran, IC menempatkan fungsi pemilik sebagai puncak dari
hirarki organisasi. IC juga menjadi pemimpin dalam menghasilkan kompetensi
Inti perusahaan dalam aktivitas daya saing dan meningkatkan kinerja. Dalam
membuat fungsi yang dominan yang dapat memberikan nilai superior bagi
pelanggan, peranan dari IC menjadi sangat penting. Peran pemilik atau
manajemen UKM dalam mengelola dan memberdayakan modal intelektual
mempunyai kedudukan penting yaitu berupa dukungan sumber daya yang
dimiliki mampu meningkatkan persaingan (the role theory) dari (Elder, 1975).
Tan, H.P., Plowman, D. and Hancock, P. (2007), dalam penelitian yang
berjudul Intellectual capital and financial returns of companies ada sampel 150
perusahaan publik di Bursa Efek Singapura dengan temuan melakukannya
empat aspek seperti hubungan H1 yaitu bahwa ada korelasi positif antara
intellectual capital (IC) dari perusahaan dan kinerjanya. Sedangkan H2 semakin
tinggi intellectual capital (IC) perusahaan semakin tinggi kinerja perusahaan di
masa depan yang menemukan hasil adanya hubungan antara intellectual capital
29
29
terhadap kinerja perusahaan. Hasil H3 menegaskan kembali temuan H2 dengan
membantu memperkuat kontribusi intellectual capital (IC) terhadap kinerja
perusahaan. Hasil lanjut memperkuat pendukung intellectual capital (IC) pada
H4 sebagai alat kompetitif dan bahwa perusahaan harus mengelola dan tumbuh
IC mereka untuk tetap kompetitif (Nonaka 1995; Bontis 1998; Brennan dan
Connell2000; Hurwitzet al. 2002). Hasil ini menunjukkan kontribusi yang lebih
tinggi dari intellectual capital (IC) ke kinerja perusahaan. Hasil ini dapat
mendukung konsep yang diajukan oleh Treacy dan Wiersema(1995). Mereka
berpendapat bahwa meskipun intellectual capital (IC) dipandang penting untuk
keberhasilan perusahaan aset dan kemampuan lainnya juga akan berkontribusi
terhadap profitabilitas dan nilai pasar perusahaan. Oleh karena itu perusahaan
dari industri yang berbeda akan memiliki berbagai berbeda aset dan kemampuan
untuk mengoperasikan bisnis mereka dan bersaing secara efektif. beberapa
lebih mengandalkan intellectual capital (IC) sementara yang lain akan lebih
bergantung pada aset keuangan atau fisik mereka untuk keberhasilan mereka.
Firer, S. and Williams, S. (2003) dengan judul penelitian Intellectual
capital and traditional measures of corporate performance dengan sampel 75
perusahaan publik di Afrika (terdaftar di Bursa Efek Johannesburg (BEJ) dari
sektor industri, Bank dan sektor jasa). Temuan penelitian telah menunjukkan
human capital (HC) tidak signifikan berkorelasi dengan sisa dua variabel
dependen. Akhirnya structural capital (SC) tidak signifikan berkorelasi dengan
salah satu variabel dependen. Secara keseluruhan hasil korelasi menyiratkan
bahwa perusahaan sampel dengan tingkat yang lebih tinggi efisiensi value added
(VA) dari modal fisik mereka dikaitkan dengan tingkat yang lebih rendah dari
produktivitas tetapi tingkat yang lebih tinggi dari nilai pasar.
30
30
Chen, M., Cheng, S. and Hwang, Y. (2005) dengan judul penelitian An
empirical investigation of the relationship between intellectual capital and firms’
market value and financial performance dengan sampel semua perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Taiwan (TSE) selama 1992-2002. Setelah menghapus 64
perusahaan data yang hilang pada variabel yang dipilih dan perusahaan dengan
nilai negatif dari ekuitas sampel akhir kita terdiri dari total 4.254 perusahaan
tahun. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien VAIC secara
signifikan positif dalam empat model kinerja keuangan menunjukkan perusahaan
pada intellectual capital lebih baik dalam hal profitabilitas dan pertumbuhan
pendapatan. Kedua variabel VACA dan VAHU berhubungan positif dengan
empat ukuran kinerja keuangan, sementara STVA hanya positif secara signifikan
pada ROE.
Mavridis, D.G. (2004) dengan judul penelitian The intellectual capital
performance of the Japanese banking sector dengan sampel penelitian data 141
dari bank 3 untuk fiskal dengan periode 1 April 2000-31 Maret 2001.). Hasil
penelitian yang difokuskan pada apa sebenarnya dari human capital (HC) dan
physical capital (CA) dan dampaknya pada "intelektual" menambahkan kinerja
berbasis nilai. korelasi positif yang signifikan ditemukan antara nilai tambah dan
physical capital. Kedua physical capital dan human capital kontribusi terhadap
nilai indeks praktek terbaik kinerja. Bank-bank berkinerja terbaik adalah mereka
yang terutama memiliki hasil sangat yang baik dalam penggunaan intellectual
capital seperti human capital dalam penggunaan hasil physical capital.
Intellectual capital merupakan interaksi dari human capital, customer
capital dan structural capital (Bontis, 1998). Human capital di dalam suatu
organisasi memiliki potensi penuh untuk membangun orientasi pasar bagi
31
31
konsumennya. Bontis (1998),(Bontis et al, 2000) dan Partiwi (2004) menemukan
hubungan positif signifikan antara human capital dan customer capital. Human
capital juga merupakan sumber inovasi dan pembaharuan bagi perusahaan.
Bontis (1998) dan Partiwi (2004) menemukan hubungan positif signifikan human
capital dan structural capital.
Namun, pada penelitian Bontis et al (2000) hubungan human capital dan
structural capital tergantung sektor industrinya. Hubungan antara human capital
dan structural capital pada industri jasa bersifat positif tidak signifikan, sedangkan
pada industri non jasa bersifat positif signifikan. Pengelolaan customer capital
yang baik akan menyebabkan kompetensi dalam aktivitas organisasi atau respon
terhadap perubahan pasar dapat dikembangkan. Bontis (1998) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan negatif customer capital dan structural capital,
sedangkan Bontis et al (2000) menemukan hubungan yang positif signifikan.
Hal tersebut berbeda dengan Partiwi (2004) yang menemukan hubungan
positif tidak signifikan. Ditinjau dari tingkat analisis organisasional, maka
structural capital akan berhubungan dengan business performance. Bontis
(1998), Bontis et al (2000) dan Partiwi (2004) menemukan hubungan positif
signifikan antara structural capital dan business performance.
Ketidakkonsistenan hasil penelitian Bontis (1998), Bontis et al (2000) dan Partiwi
(2004) mengenai hubungan customer capital dan structural capital,
menyebabkan perlunya pengujian kembali model intellectual capital dengan
model yang berbeda dengan model yang telah diuji sebelumnya. Hal ini
disebabkan hingga saat ini intellectual capital masih mencari model dan format
pengukuran.
32
32
Pulic (2000) juga berpendapat bahwa sumber daya manusia dan
kemampuan mereka dalam menciptakan efisiensi nilai tambah adalah bagian
dari intellectual capital. Fakta ini semakin meyakinkan bahwa peningkatan
efisiensi nilai tambah yang dihasilkan oleh IC sangat berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan. Pengakuan mengenai pengaruh IC dalam menciptakan nilai
perusahaan telah meningkat, namun sebuah ukuran yang tepat untuk IC masih
terus dikembangkan Pulic (2000) dalam menyarankan sebuah pengukuran tidak
langsung terhadap intellectual capital yaitu dengan mengukur efisiensi dari nilai
tambah yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual perusahaan (Value added
Intellectual Coefficient – VAIC).
Cohen (2007), dalam penelitiannya menemukan hubungan antara
intellectual capital dan kinerja UKM yang bersifat signifikan positif di sektor jasa
di yunani. Signifikansi hubungan ini diperkuat oleh fakta bahwa kinerja dihitung
berdasarkan dari angka akuntansi yang diambil oleh laporan keuangan resmi
yang diterbitkan. Aset berhubungan dengan penjualan karyawan membuat jelas
bahwa perusahaan harus melindungi memelihara dan mengembangkan aset
intelektual untuk meningkatkan hasil keuangan jangka panjang mereka. Karena
UKM memanfaatkan aset IC ini pada tingkat tertinggi sehingga dapat mendorong
perusahaan mereka meningkatkan kinerja. Manajer harus sadar bahwa IC
adalah multifaset yang membangun beberapa dimensi yang tidak dikembangkan
secara terpisah namun pada sebaliknya mereka menunjukkan ikatan yang kuat.
Kekuatan keterkaitan antar komponen IC dapat membantu, oleh karena itu
perusahaan dapat meningkatkan IC-nya tanpa harus melakukan investasi di
setiap komponen; contoh investasi pada human capital diharapkan bisa
mengarah pada simultan peningkatan modal organisasi dan pelanggannya.
33
33
Studi yang dilakukan oleh (Kreiser, et si,.2013) menjelaskan hubungan
antara kemampuan dengan kinerja perusahaan. Dalam studinya, (Kreiser, et
a/,.2013) mencoba mengembangkan pengukuran yang valid dari kemampuan IC
dan menganalisa dampaknya terhadap keuntungan bisnis. Kemampuan IC
diukur dari 3 dimensi, meliputi orientasi pelanggan, orientasi pesaing dan
koordinasi antar fungsi . Sedangkan profitabilitas diukur dengan Return On
Assets (ROA) dalam hubungannya dengan layanan yang diberikan oleh semua
pesaing selama satu tahun terakhir. Dalam mengumpulkan data, responden
diberikan pertanyaan tentang Return On Investment, Return On Assets dan
Return On Net Assets sebagai ekuivalensi. Data yang terkumpul akan
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh unit bisnis dengan keuntungan
yang dicapai oleh pesaing pada pasar yang dilayani. Secara relatif, kinerja
digunakan sebagai variabel kontrol yang akan membedakan antar unit bisnis.
Pengukuran secara subjektif pada kinerja digunakan pada perusahaan
terbuka dan unit bisnis yang dimiliki oleh perusahaan besar. Menggunakan
sampel pada unit bisnis yang terdiri dari bisnis produk komoditas dan produk non
komoditas, peneliti menemukan bahwa terdapat pengaruh positif antara
kemampuan IC terhadap tingkat keuntungan dari kedua jenis bisnis tersebut.
Dukungan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa IC berpengaruh signifikan
terhadap kinerja perusahaan dilakukan Chen et al. (2005) menggunakan model
Pulic (VAIC™) untuk menguji hubungan antara IC dengan nilai pasar dan kinerja
keuangan perusahaan dengan menggunakan sampel perusahaan publik di
Taiwan. Hasilnya menunjukkan bahwa IC berpengaruh secara positif terhadap
nilai pasar dan kinerja keuangan perusahaan. Bahkan, Chen et al. (2005) juga
membuktikan bahwa IC dapat menjadi salah satu indikator untuk memprediksi
34
34
kinerja perusahaan di masa mendatang. Selain itu, penelitian ini juga
membuktikan bahwa investor mungkin memberikan penilaian yang berbeda
terhadap tiga komponen IC (yaitu physical capital, human capital, dan structural
capital), dan Tan, et al. 2007) menggunakan 150 perusahaan yang terdaftar di
bursa efek Singapore sebagai sampel penelitian. Hasilnya konsisten dengan
peneHtian Chen et al. (2005) bahwa IC berhubungan secara positif dengan
kinerja perusahaan; IC juga berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di
masa mendatang. Penelitian ini juga membuktikan bahwa rata-rata pertumbuhan
IC suatu perusahaan berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di masa
mendatang.
2.1.2. Hubungan fleksibilitas strategi dan kinerja perusahaan
Hasil penelitian Shimizu dan Hitt (2004) meneliti tentang fleksibilitas
strategi perusahaan dengan menggunakan dimensi dari strategi fleksibel yaitu
attention, assesment dan action.. Argumentasi yang dikembangkan peneliti
didasarkan pada dinamisasi lingkungan persaingan yang menyebabkan
ketidakpastian, sehingga perusahaan periu memiliki strategi yang fleksibel guna
merespon masalah dengan cepat. Tujuan yang ingin dicapai studi ini adalah
memahami kepentingan dan kesulitannya dalam mengembangkan strategi yang
fleksibel, dalam menghadapi tantangan ketidakpastian lingkungan, perusahaan
memecahkan melalui keputusan strategis yang fleksibel, sehingga keputusan ini
akan mempengaruhi perhatian, penilaian dan tindakan perusahaan terhadap
kondisi persaingan bisnis yang dihadapi. Dalam studinya, Shi dan Daniels (2003)
menjelaskan fleksibilitas merupakan cara efektif, dimana bisnis dapat melindungi
nilai perusahaan terhadap ketidakpastian lingkungan dan perubahan. Sistem,
35
35
aplikasi dan proses bisnis mendukung adaptasi terhadap perubahan lingkungan,
sehingga kegiatan operasional dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selain
itu, fleksibilitas membantu para pengambil keputusan mengembangkan
pengetahuan.
Power dan Raid (2003) melakukan studi dengan judul "Turbulence,
Flexibility and Performance of the Long-lived Small Firm", berfokus pada
kekhawatiran baru dalam perusahaan kecil, yaitu apa yang membuat perusahaan
kecil tidak mampu bersaing dalam jangka waktu yang lama. Hipotesis dasar yang
diajukan adalah bahwa fleksibilitas dapat meningkatkan prospek jangka panjang
perusahaan kecil. Hal ini di eksplorasi dengan memeriksa penyebab perubahan
organisasi dalam perusahaan kecil, dan penyesuaian konsekuensial. Penelitian
ini didasarkan hasil studi lapangan dan menggunakan bukti dan tatap muka
wawancara dengan 63 manajer pemilik perusahaan kecil di Skotlandia. Kinerja
diukur dengan menggunakan skala Likert lebih dari 28 atribut yang berbeda.
Variabel yang digunakan adalah fleksibilitas, turbulensi dan kinerja. Estimasi
ekonometrik digunakan untuk menjelaskan hubungan antara fleksibilitas,
turbulensi dan kinerja. Hasil studi menunjukkan bahwa turbulensi memiliki
dampak negatif pada kinerja. Selanjutnya, fleksibilitas merupakan faktor yang
dikategorikan sebagai pencetus penyebab perubahan organisasi.
Asikhia (2010) melakukan studi dengan judul "Market-focused strategic
flexibility among Nigerian bank”. Tujuan studi ini adalah untuk menentukan
hubungan antara orientasi pasar dengan berfokus pada strategi yang fleksibel
dan pertumbuhan penjualan serta untuk mengevaluasi pengaruh dari faktor
lingkungan terhadap hubungan ini. Variabel yang digunakan pada studi ini
adalah Market focused strategic flexibility (MFSF), Competitive intensity, Demand
36
36
uncertainty, Technological uncertainty dan Sales growth. Pertumbuhan penjualan
mengacu pada pertumbuhan yang berkelanjutan dalam penjualan produk.
Dengan kata lain, pertumbuhan penjualan akan terjadi ketika perusahaan
memiliki beberapa pilihan strategis, seperti penggunaan sumber daya pada pasar
yang potensial sehingga dapat menangkap perubahan terhadap selera dan
kebutuhan pelanggan. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 bank
yang berada di Nigeria. Data dikumpulkan dari CEO atau direksi dan manajer
umum dari bank dengan menggunakan metode judgemental sampling. Hasil
studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara strategi yang
fleksibel den pertumbuhan penjualan serta intensitas persaingan dan turbulensi
lingkungan memoderasi hubungan antara fleksibilitas Strategi dengan
pertumbuhan penjualan.
Fleksibilitas strategi adalah integrasi dan koordinasi yang dibentuk atas
dasar komitmen dan desain aktivitas dipergunakan mengeksploitasi core
kompetensi daya saing perusahaan. (Ireland, Hoskisson, dan Hitt. 2009).
Budaya kewirausahaan yang memoderasi fleksibilitas strategi berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan (Covin dan Slevin, 1991). Budaya kewirausahaan
dipergunakan untuk mengevaluasi proses internal dan eksternal, mengukur
kemampuan sumber daya, kapabilitas dan kompetensi perusahaan (strategi
input). Selanjutnya perusahaan akan melaksanakan strategi yang fleksibel
secara hati-hati mengintegrasikan formulasi strategi dan mengimplementasikan.
Kemampuan pembentukan strategi memungkinkan kemampuan dinamis
kemampuan perusahaan dalam implementasi strategi disesuaikan dengan
kondisi lingkungan. Kerangka kemampuan dinamis menganalisis sumber dan
metode penciptaan kekayaan dan menangkap peluang pada lingkungan
37
37
teknologi yang cepat berubah. Keunggulan kompetitif perusahaan dipandang
sebagai tempat proses khas (cara mengkoordinasikan dan manggabungkan).
dibentuk posisi aset (spesifik), perusahaan (seperti portofolio parusahaan, aset
pengetahuan dan aset komplementer), dan jalur evolusi diadopsi atau
disebarkan. Keunggulan kompetitif perusahaan akan turun hal ini tergantung
pada stabilitas permintaan pasar, dan kemudahan peniruan (memperluas
internal) dan imitability(replikasi oleh pesaing).
Kerangka penciptaan kekayaan teknologi perusahaan, organisasi, dan
proses manajerial dalam perusahaan. Mengindentifikasi peluang baru dan
mengatur secara efektif dan efisien mengkombinasikan untuk menyusun strategi,
jika menyusun satu strategi berarti terlibat dalm perilaku bisnis, membuat pesaing
kehilangan keseimbangan, meningkatkan biaya saingan, dan buka termasuk
pendatang baru. (Teece, Pisano, dan Shuen, 1997). Pembentukan strategi yang
efektif meningkatkan efektivitas dan proaktif mencegah dengan mencari solusi.
Strategi ini berkaitan dangan tiga kemampuan organisasi: visi bersama,
manajemen stakeholder, dan strategi proaktif, hipotesis berdasarkan karakteristik
unik strategis UKM jalur komunikasi yang pendek dan interaksi lebih dekat dalam
UKM, kehadiran visi pendiri, fleksibilitas dalam mengelola hubungan eksternal,
dan orientasi kawirausahaan. Penelitian menemukan bahwa perusahaan dangan
praktek yang paling proaktif berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Selanjutnya, hasil menunjukkan bahwa kemampuan
mempromosikan pengembangan lingkungan dangan pendekatan proaktif dalam
UKM.
38
38
2.1.3. Hubungan Kecepatan inovasi dan kinerja perusahaan
Karpak dan Topcu, (2010) inovasi mempunyai efek besar pada
perusahan, dalam hal peningkatan daya beli konsumen akan produk yang
ditawarkan dan meningkatnya penjualan atas puasnya konsumen atas apa yang
dikonsumsi dan melakukan pembelian kembali. Keberhasilan inovasi dampak
pada kinerja perusahaan yang memperoleh pangsa pasar yang cukup besar.
Temuan ini bahwa semua jenis inovasi yang menciptakan terobosan yang baru
baik dari segi produk baru, desain kemasan yang menarik dan proses
pengembangan produk menggunakan teknologi canggih, sehingga inovasi efek
secara positif dan signifikan terkait dengan beberapa aspek kinerja perusahaan,
hasil apa yang diamati peneliti bahwa inovasi organisasi memainkan peran
mendasar untuk kemampuan inovatif karena memiliki koefisien regresi terbesar
dengan kinerja UKM di Turki .
Rofiaty, 2012. Penelitian ini berjudul “ The relationship Chain for Enhance
Innovation and the Performance Perspective from Environmental condition,
Knowledge Sharing Behavior and strategic Planning Process”. Tujuan penelitian
adalah untuk menguji dan menganalisis perspektif kinerja UKM dari kondisi
lingkungan, perilaku berbagi pengetahuan, dan proses perencanaan strategi,
pendekatan penelitian dilakukan melalui survey terhadap industri kerajinan kulit
UKM di Jawa Timur dengan subjek penelitian adalah pengusaha UKM. Dari
responden 160, hanya 148 kuesioner yang lengkap kembali serta dapat
dianalisis. Metode analisis dengan menggunakan SEM. Variabel penelitian ini
meliputi strategi, inovasi, dan kinerja bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1). Kondisi lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap prose
perencanaan strategi; 2) kondisi lingkungan mempengaruhi perilaku penguasaan
39
39
pengetahuan secara positif dan signifikan; 3) kondisi lingkungan memiliki
pengaruh signifikan terhadap inovasi; 4) perilaku penguasaan pengetahuan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja bisnis; 5) perilaku
penguasaan pengetahuan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
inovasi; 6) inovasi secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kinerja
bisnis; 7) proses perencanaan strategi memilki pengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja bisnis; 8) proses perencanaan strategi memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap inovasi; 9) kondisi lingkungan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja bisnis. Dari hasil yang didapat antara hubungan
inovasi dan kinerja bisnis memberikan hasil positif yang menunjukkan bahwa
tingginya inovasi merupakan hasil kreativitas dari human capital yang selalu
menciptakan produknya lain dari yang lain atau beda dengan produk pesaing
yang tidak dapat ditiru, sehingga secara produk yang unik memberikan efek
dalam peningkatan penjualan perusahan. Hal berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh oleh human capital bukan hanya berasal dari dalam dirinya, tetapi
juga berasal diluar seperti knowledge sharing diperoleh dari teman kerja atau di
luar tempat kerja.
Gunday, 2011. menjelaskan bahwa inovasi mempunyai keterkaitan erat
pad kinerja perusahaan. Maka dalam penelitiannya tentang inovasi di industri
manufaktur Turki, dengan menggunakan sampel 184 perusahaan manufaktur.
Kerangka teoritis telah diuji secara empiris untuk mengidentifikasi hubungan
antara inovasi dan kinerja perusahaan. penelitiannya tidak hanya
mengungkapkan bagaimana empat jenis inovasi mempengaruhi beragam aspek
kinerja perusahaan, namun juga menunjukkan bahwa kinerja inovatif
memberikan peran mediator antara jenis inovasi dan aspek kinerja perusahaan.
40
40
Keempat jenis inovasi tersebut memainkan peran positif yang signifikan terhadap
kinerja perusahaan. Temuan ini memperkuat model konseptual kami dan
menawarkan beberapa implikasi manajerial. Pertama, manajer perusahaan harus
memberi penekanan tambahan pada inovasi karena ini adalah instrumen penting
untuk mencapai daya saing yang berkelanjutan. Peningkatan kinerja inovatif
bergantung pada tingkat implementasi inovasi. Kedua, Perusahaan yang diberi
sumber daya untuk meningkatkan kemampuan inovatif mereka dapat
mengharapkan peningkatan produksi dan kinerja pasar yang lebih signifikan, jika
mereka mendorong dan menerapkan aktivitas inovasi lebih ditingkatkani. Hal ini
juga mengamati bahwa indikator kinerja pasar seperti penjualan yang merupakan
ukuran keberhasilan paling signifikan pada usaha kecil menengah (UKM) di
Turki.
Temuan ini juga kompatibel dengan Lin dan Chen (2007) pada
penelitiannya di UKM di Taiwan. Inovasi organisasi tidak hanya mempersiapkan
lingkungan yang sesuai untuk jenis inovasi lainnya, namun juga memiliki efek
yang kuat dan langsung terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan agar para manajer perlu lebih memperhatikan inovasi organisasi,
yang memiliki peran penting untuk kemampuan inovatif. Inovasi produk juga
muncul sebagai pendorong penting dalam keberhasilan yang menciptakan
kinerja perusahaan yang baik dan juga dapat menciptakan nilai perusahaan,
serta bertindak sebagai jembatan yang membawa dampak positif dari inovasi
proses terhadap perusahaan. Untuk alasan ini, manajer harus menginvestasikan
lebih banyak pada kemampuan inovatif dan mendukung usaha baru untuk
mengenalkan inovasi.
41
41
2.1.4. Hubungan modal intelektual dan inovasi
Dost et al., (2016) pada penelitiannya menemukan efek interaksi dua arah
antara sosial modal dan modal manusia memiliki hasil positif yang signifikan
yang berdampak pada inovasi. Ini menyiratkan bahwa kapan individu bekerja
dengan membagikan pengetahuannya kepada rekan kerja yang dapat
menciptakan keharmonisan dalam bekerja, sehingga tercipta inovasi yang
berdampak pada kinerja. Apabila individual bekerja secara independen mereka
mungkin tidak membagikan gagasan berharga mereka dengan rekan kerja dan
ini bisa menjadi kontraproduktif bagi organisasi. Hal ini menunjukkan secara
lebih eksplisit interaksi dua arah antara modal sosial dan manusia modal yang
menyiratkan bahwa organisasi menghasilkan inovasi saat individu saling
berkomunikasi dalam berbagi pengetahuan dan jaringan satu sama lain. Studi
terakhir menemukan bahwa Modal sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap
inovasi inkremental dan radikal kemampuan. Meskipun penulis tidak
mengembangkan hipotesis untuk variabel kontrol namun umur perusahaan
menunjukkan dampak positif yang signifikan terhadap generasi inovasi.
Temuan dalam penelitian Subramaniam dan Youndt (2005), secara
keseluruhan memberikan dukungan yang kuat bahwa berbagai aspek dari
sebuah organisasi pada modal intelektual dan keterkaitannya selektif
mempengaruhi kemampuannya untuk inovasi incremental dan inovasi radikal.
Modal organisasi secara positif mempengaruhi incremental kemampuan inovatif,
sehingga mengisyaratkan bahwa hubungan luas dan saling keterkaitan antar
individu dan kelompok di dalam organisasi. Meskipun juga menemukan modal
sosial untuk secara positif mempengaruhi kemampuan inovatif inkremental dan
radikal. Temuan ini seputar social capital menggaris bawahi pentingnya
42
42
hubungan timbal balik, kemitraan, dan jaringan kolaboratif ke organisasi yang
fleksibilitas inovasi. Hal ini juga memvalidasi beberapa bukti baru-baru yang
diberikan tentang "ambidexterous" organisasi, yang secara bersamaan dapat
mengejar inovasi inkremental dan untuk membangun jejaring sosial yang kuat
merupakan faktor dasar yang penting. Lebih luas lagi, fleksibilitas itu menemukan
pengaruh modal sosial terhadap kemampuan inovatif yang sejajar dengan
temuan dalam penelitian terbaru lainnya bahwa modal sosial adalah sumber
organisasi yang sangat penting. Misalnya, modal sosial telah ditemukan
mempengaruhi beragam hasil organisasi, seperti kesuksesan strategis.
2.1.5. Hubungan fleksibilitas strategi dan inovasi
J. Bock et al., (2012) dalam penelitiannya mencari hubungan yang sempit
dan terdefinisi dengan baik antara inovasi model bisnis dan pencapaian
fleksibilitas strategis. Sementara penelitian ini menemukan bahwa secara
praktiknya seorang manajer terdorong untuk mengharapkan perubahan desain
organisasi selama model bisnis dikaitkan dengan inovasi dan fleksibilitas
strategis. Sehingga temuan yang diperoleh menunjukkan hal yang lebih baik
tentang hubungan antara keduanya yang memberikan efek langsung ke kinerja
perusahaan.. CEO melihat bahwa perubahan struktural yang memusatkan
perhatian tanpa memberikan kontrol yang dikaitkan dengan fleksibilitas
mempunyai dampak lebih dari segi menguasai pasar dan memahami bagaimana
problematika lingkungan bisnis yang dinamis. Sehingga studi ini menegaskan
bahwa budaya yang mendukung kreativitas dikaitkan dengan fleksibilitas
strategis dapat dicapai dengan mengandalkan pada mitra. Akhirnya usaha
inovasi model bisnis secara positif memoderasi hubungan antara rekonfigurasi
dan fleksibilitas strategis. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan dengan
43
43
kontribusi penting terhadap teori dan praktik inovasi model bisnis. Desain dan
struktur organisasi merupakan ciri penting inovasi model bisnis dengan
memahami bagaimana inovator model bisnis mencapai fleksibilitas strategis
membutuhkan apresiasi bernuansa hubungan antara perubahan struktural
perhatian manajerial.
Huang Zheng, (2011) dalam penelitian ini menemukan Inovasi tidak
hanya terjadi di industri teknologi tinggi saja tapi juga bisa dicapai di sektor
teknologi rendah yang masih bersifat tradisional. UKM di China memiliki
fleksibilitas dalam beroperasi lebih mudah beradaptasi dengan perubahan pasar
dan melakukan serangan cepat dalam menghadapi persaingan. Faktor
keberhasilan UKM Tionghoa terletak pada kemampuan mengakses mentransfer
dan menerapkan teknologi. UKM Finlandia memiliki daya saing berbasis
pengetahuan kewirausahaan. Seperti yang telah kita lihat ada banyak perbedaan
dalam pola inovasi dalam spesifik negara. Tapi kita juga bisa menemukan faktor
umum juga. Singkatnya strategi inovasi integrasi yang efektif dan pembelajaran
berkelanjutan sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan
perusahaan yang beroperasi di lingkungan yang berubah dan kompleks.
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Teori Resources Based View (RBV)
Perhatian mengenai sumber daya perushaan diawali oleh Penroses pada
tahun 1959. Penrose melakukan penyelidikan bagaimana proses internal
manajemen dapat mempengaruhi perilaku (behavior) perusahaan, dengan
memahami bahwa perusahaan sebagai kumpulan kombinasi sumber daya.
Penrose mengembangkan toeri the growth of the firm. Konsep dari Penrose
menegaskan pertumbuhan perusahaan dibatasi oleh peluang yang eksis sebagai
44
44
fungsi sekumpulan sumber daya produkasi yang dikontrol/dimiliki oleh
perusahaan (Barney, 1991). Penrose juga menjelaskan bahwa proses
pembelajaran menciptakan knowledge baru dan membentukan basis
pertumbuhan organisasi melalui pengombinasian sumber daya yang ada
(Eisenhart & Santos, 2000).
Selain melihat sisi internal perusahaan dalam menaganalisis kemampuan
perusahaan untuk tumbuh, Penrose juga memberikan kontribusi dalam
mempelajari kekuatan dan kelemahan perusahaan (Baney, 2002). Lebih lanjut
teori the growth of them firm pada tahun 1980-an dikembangkan oleh Wenerfelt
(1984) melalui makalahnya berjudul “Resources_based View of the Firm”. Rumelt
(1984) dan Barney (1986) menjadikan konsep pendekatan baru the Resources-
Based View (RBV), yang kemudian menjadi salah satu pendekatan yang paling
dominan untuk melakukan analisis keunggulan bersaing yang berkelanjuta
(Bridoux, 2004).
RBV berasumsi bahwa setiap organisasi/perusahaan adalah sekumpulan
sumber daya unik dan kapabilitas yang menjadi basis strategi dan merupakan
sumber utama return perusahaan. Menurut perspekti RBV perbedaan dalam
kinerj perusahaan disebabkan terutama oleh faktor keunikan sumber daya dan
kapabilitas perusahaan bukan karena karakteristik struktur industri (Barney,
1991). Dalam konteks RBV, sumber daya (resources) adalah input untuk proses
produksi. Sumber daya dalam bentuk tunggal secara sendirian tidak akan
menghasilkan keunggulan kompetitif. Pada umumnya keunggulan kompetitif
diperoleh melalui kombinasi dan integrasi seperangkat sumber daya yang
dimilikinya.
45
45
Pandangan RBV merupakan metode untuk menganalisis dan
mengidentifikasi keunggulan strategis suatu perusahaan yang didasarkan pada
tinjauan terhadap kombinasi dari aset, keahlian, kapabilitas, dan aset tidak
berwujud yang khusus bagi suatu organisasi. Asumsi yang mendasari RBV
adalah bahwa perusahaan berbeda-beda secara fundamental karena setiap
perusahaan memiliki "kumpulan" sumber daya unik berupa aset berwujud dan
tidak berwujud serta kapabilitas organisasi untuk memanfaatkan aset tersebut.
Tiap perusahaan mengembangkan kompetensi dari sumber daya ini dan ketika
telah dikembangkan dengan baik, kompetensi ini menjadi sumber keunggulan
kompetitif perusahaan (Peace & Robinson, 2011:215).
Menurut David (2010:180) pendekatan RBV untuk memperoleh
keunggulan bersaing meyakini bahwa sumber daya internal lebih penting dari
perusahaan daripada berbagai faktor eksternal dalam upaya untuk meraih serta
mempertahankan keunggulan kompetitif. Para penganut pandangan RBV
percaya bahwa kinerja organisasi akan sangat ditentukan oleh beragam sumber
daya internal yang dapat dikelompokkan oleh tiga kategori luas: sumber daya
fisik, sumber daya manusia, dan sumber daya organisasi. Teori RBV
berpendapat bahwa sumber dayalah yang sesungguhnya membantu perusahaan
menangkap peluang dan menetralkan ancaman.
Alasan dasar RBV adalah bahwa panduan, jenis, jumlah, dan hakikat
sumber daya sebuah perusahaan harus dipertimbangkan sebagai yang pertama
dan utama dalam memilih dan menetapkan strategi yang dapat menuntun pada
keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Pengelolaan yang strategis
menurut RBV melibatkan pengembangan dan eksploitasi sumber-sumber daya
dan kapabilitas unik perusahaan, dan upaya untuk terus menerus
46
46
mempertahankan serta memperkuat berbagai sumber daya tersebut. Teori
menyatakan bahwa sangat menguntungkan bagi sebuah perusahaan untuk
menjalankan strategi yang saat ini tidak diterapkan oleh perusahaan pesaing
manapun. Ketika perusahaan-perusahaan lain tidak mampu menduplikasikan
strategi tertentu, perusahaan yang menjalankannya memiliki keunggulan
kompetitif yang berkesinambungan. Namun demikian, agar bernilai, suatu
sumber daya hendaknya langka, sulit untuk ditiru dan tidak dapat dengan mudah
dicarikan penggantinya.
Menurut Kuncoro (2005:38), model RBV, above-average returns bagi
suatu perusahaan sangat ditentukan oleh karakteristik di dalam perusahaan.
Model ini memfokuskan pada pengembangan atau perolehan sumber daya
(resources) dan kapabilitas (capabilities) yang berharga, sulit atau tidak mungkin
ditiru oleh para pesaing. Pandangan RBV berpendapat bahwa sumber daya yang
dimiliki perusahaan jauh lebih penting daripada struktur industri dalam
memperoleh dan mempertahankan aset dan kapabilitasnya. Tidak ada dua
perusahaan yang sama karena tiap-tiap perusahaan memiliki pengalaman, aset,
dan kapabilitas dan membangun budaya organisasi yang berbeda. Aset dan
kapabilitas akan menentukan efisiensi dan efektifan setiap pekerjaan yang
dilakukan perusahaan. Menurut pendekatan ini, beberapa aset (sumber daya)
kunci tertentu akan memberikan perusahaan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Walaupun demikian, sebuah perusahaan akan berhasil jika
memiliki sumber daya yang paling tepat dan paling baik untuk usaha dan
strateginya. dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan RBV, fokus perhatian
utama sebuah organisasi adalah pada sumber daya dan kapabilitas. Walupun
pendekatan RBV memfokuskan pada analisis internal organisasi perusahaan,
47
47
tetapi tidak berarti mengabaikan faktor-faktor eksternal yang penting. Pendekatan
ini mengaitkan kapabilitas internal perusahaan dengan lingkungan eksternal (apa
yang diminta dan apa yang ditawarkan pesaing).
2.2.1.1. Sumber Daya (Resources)
Sumber daya meliputi seluruh aset-aset keuangan, fisik, manusia dan
budaya yang digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan, menciptakan,
dan menjual produk atau jasanya kepada para pelanggan. Walaupun setiap
perusahaan memiliki sumber daya, tetapi tidak seluruhnya dapat dikatakan unik
dan mampu memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Agar sumber
daya dapat menjadi unik, pendekatan RBV menyatakan bahwa sumber daya
harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain sukar dalam pembuatan,
pembelian, substitusi, dan tiruannya. Jika pesaing dapat saling meniru maka
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan tidak diperoleh dan keuntungan di atas
rata-rata tidak dapat diraih.
RBV muncul sebagai suatu cara agar konsep kompetensi inti menjadi
lebih fokus dan bisa diukur untuk melakukan analisis internal yang lebih berarti.
Kunci model RBV didasarkan pada identifikasi tiga sumber daya dasar yang
merupakan fondasi utama dalam menemukan dan mengembangkan kompetensi
inti. Kompetensi inti dianggap sebagai suatu kapabilitas atau keahlian yang
berada dalam bisnis suatu perusahaan, yang telah diidentifikasikan,
dikembangkan, dan digunakan diseluruh perusahaan, akan menjadi dasar
keunggulan kompetitif vana bertahan lama. Inti dari kemamnnan RRV untuk
melakukan hal ini adalah pemisahan atas tiga jenis sumber daya inti, beberapa di
antaranya dapat menjadi landasan untuk kompetensi khusus (Peace & Robinson,
2011.215) yaitu .
48
48
1. Aset berwujud (tangible asset) merupakan sumber daya yang "paling
mudah" untuk diidentifikasikan dan seringkah ditemukan di laporan
neraca suatu perusahaan. Aset ini mencakup fasilitas produksi, bahan
baku, sumber daya keuangan, real estate, dan komputer. Aset berwujud
merupakan sarana fisik dan keuangan yang digunakan suatu perusahaan
untuk menyediakan nilai bagi perusahaan.
2. Aset tak berwujud/tanwujud (intangible asset) merupakan "sumber daya"
seperti merk, reputasi perusahaan, moral organisasi, pemahaman teknik,
paten dan merek dagang, serta akumulasi pengalaman dalam suatu
organisasi. Meskipun aset tidak dapat disentuh atau dilihat, aset-aset ini
seringkah' penting dalam menciptakan keunggulan bersaing.
3. Kapabilitas organisasi (organizational capabilities) bukan merupakan
"inpuf khusus seperti aset berwujud atau tidak berwujud, melainkan
keahlian kapabilitas dan cara untuk menggabungkan aset, tenaga kerja,
dan proses yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk mengubah
input menjadi output.
Kapabilitas atau kemampuan merupakan kompetensi inti saat
perusahaan memenuhi empat kriteria keunggulan bersaing {Valuable , Rare,
Imperfectly imitable, Non-substituable) yang berkesinambungan. Hubungan
kriteria VRIN dengan Sustained Competitive Advantage (SCA) mengacu pada
framework Barney (1991). pada Gambar 2.1.
Firm Resource Heterogeneity Firm Resource Immobility
Value Rareness
Imperfect Imitability History Dependent Causal Ambiguit Social Complexity
Substitutability
Sustained Competitive Advantage
Gambar 2.1. Hubungan Resource, VRIN dan SCA Sumber: Barney (1991:112)
Hitt et al. (2011:82) menegaskan bahwa VRIN merupakan core competences
49
49
2.2.2. Intellectual Capital (Modal Intelektual)
2.2.2.1. Definisi Modal Intelektual
Para peneliti menggunakan perspektif yang berbeda dalam menjelaskan
konsep intellectual capital, seperti (1) perspektif budaya (Naver Slater, 1990;
Cameron 2004; Kreiser et al., 2013); (2) perspektif pengetahuan (Brooking,
1997);Stewart, 1997; Sveiby, 1997; Bontis, 1998.,(3) perspektif strategi (Barney,
1998; Edvinsson dan Malone, 1997); (4) perspektif sumber daya (Pulic,
1998;Klein dan Prusak, 1994); dan (5) perspektif pengelolaan (Edvinsonsson dan
Malone, 1997).
Dengan berbagai pendekatan tersebut diatas, beberapa peneliti
memberikan penjelasan secara berbeda mengenai intellectual capital (IC),
sehingga definisi yang diberikan lebih menekankan pada bagaimana penults
memandang konsep IC. Pemikiran yang memandang bahwa modal intelektual
adalah sumber aset pengetahuan dimiliki perusahaan yang dapat digunakan
untuk menciptakan kekayaan dikemukakan Stewart, (1997). Dalam definisinya,
penulis menjelaskan bahwa intelelctual capital muncul karena adanya dorongan
dari perusahaan untuk menciptakan kekayaan dan kesejahteraan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa penciptaan kekayaan dan kesejahteraan perusahaan melalui
langkah-langkah yaitu: (1) melalui kolektivitas kemampuan dengan membentuk
tim kinerja (2) melakukan keputusan strategis dan taktis dibuat melalui
pengetahuan yang dimiliki secara lintas fungsi dan lintas divisi; (3) Divisi-divisi
dan fungsi-fungsi membuat keputusan yang dikoordinasikan dengan baik dan
mengeksekusikannya dengan penuh komitmen (4). menghasilkan aset tinggi
berupa inovasi produk baru, hasil riset pengembangan, menemukan paten baru
yang mendukung daya saing.
50
50
Narver dan Slater (1990) IC pada perspektif budaya perusahaan
mendefinisikan budaya perusahaan yang sangat efektif dan efisien dalam
menciptakan perilaku-perilaku yang diperlukan dalam penciptaan nilai superior
bagi konsumen, dan dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan performa
superior bagi perusahaan. Dalam definisi tersebut ditunjukkan bagaimana
Intellectual capital dipandang dari perspektif budaya yang dimiliki oleh
perusahaan melalui perilaku efektif dan efisien terhadap operasional perusahaan.
Berbagai dimensi nilai-nilai budaya dalam unit operasional perusahaan
menciptakan keberanian berperilaku proaktif dan keberanian pengambilan resiko
dalam bisnis (Kreiser, et al,.2013). Dalam perspektif budaya perilaku, yaitu: (1)
customer orientation, (2) competitor orientation dan (3) interfunctional
coordination. Untuk mengukur keberhasilan intellectual capital berdasarkan
perspektif budaya, menggunakan dua kriteria keputusan, yaitu long term focus
dan profitability. Dalam pengukuran ini, fokus digunakan melihat sejauh mana
perusahaan mendapatkan informasi tentang konsumen dan pesaing, serta
kemampuan menyebarkan informasi kepada setiap divisi dalam menciptakan
nilai superior.
Perspektif IC dapat didefinisikan ‘intellectual capital is defined as
knowledge resources, in the form of employees, customers, processes or
technology, which the company can mobilize in its value creation processes”
modal pengetahuan sebagai sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan,
pelanggan, proses atau teknologi yang dapat dikerahkan perusahaan dalam
proses penciptaan nilainya (Edvisson dan Malone, 1997), sedangkan menurut
Roos et al. (1997) “intellectual capital (IC) as a group of knowledge assets
owned or controlled by organisation which significantly impact value creation
51
51
mechanisms for the organization stakeholder” kelompok aset pengetahuan yang
dimiliki atau dikendalikan oleh organisasi yang secara signifikan memengaruhi
mekanisme penciptaan nilai bagi pemangku kepentingan organisasi.
Brooking (1997) IC pada perspektif pengetahuan mendifinisikan bahwa IC
sebagai aset utama strategis yang terdiri dari tiga aset utama strategis sebagai
langkah meningkatkan kualitas tenaga kerja, yang terdiri dari aset pasar, aset
manusia, aset struktural. Aset pasar berupa hubungan organisasi (relational
capital) dengan pasar baik dengan pelanggan, pesaing maupun supplier aset
manusia (human capital) yang berhubungan dengan pengetahuan, kemampuan
dan ketrampilan yang tertanam dalam karyawan dan tidak bisa diperjual belikan;
aset struktural (structural capital) berhubungan dengan teknologi. Definisi
tersebut memberikan pemahaman bahwa intellectual capital mencakup
keseluruhan aktivitas yang dilakukan pemilik UKM dalam mengeluarkan
pengorbanan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dan
perusahaan. Langkah-langkah dalam memenuhi kebutuhan perusahaan melalui
aktivitas peningkatan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja
dengan meningkatkan kualitas produksi UKM baik meningkatkan dari segi
kualitas sarana dan prasarana yang mendukung proses produksi dan juga dapat
meningkatkan penjualan, pendapatan, profitabilitas melalui aktivitas
mempertahankan kualitas hubungan dengan pelanggan.
Pemahaman secara keseluruhan tentang aktivitas yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dapat dicapai melalui pemberian
informasi tentang produk yang ditawarkan sampai pada informasi tentang
beberapa bentuk kebutuhan dan keinginan pelanggan. Dengan memahami
kebutuhan dan keinginan dari pelanggan, maka perusahaan dapat menentukan
52
52
siapa pelanggan potensialnya yang merupakan sumber kekuatan UKM untuk
memperoleh informasi, dan juga bagaimana cara yang dapat dilakukan, agar
pelanggan dapat merasakan manfaat dari produk dan jasa yang diberikan
perusahaan. Data yang diperoleh dari pelanggan kemudian ditransfer oleh
pemilik UKM menjadi sumber inspirasi untuk inovasi dan pembaharuan strategi
serta meningkatkan ketrampilan tenaga kerja, melalui interaksi antara tenaga
kerja, pelanggan membawa perbaikan yang cukup signifikan bagi UKM dan
dalam jangka panjang hubungan dangan pelanggan dapat diperoleh data detail
pelanggan. Selain itu, pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan dan
pelanggan dapat disikapi dangan peningkatan teknologi, memahami karakter dari
pesaing dan memahami produk yang dianggap pelanggan sebagai pemuas
alternatif (Lin dan Chen. 2006). Loyalitas pelanggan pada akhirnya akan
dipergunakan UKM berbagai market intelligence dalam melihat perilaku pesaing
dalam pasar identifikasi dan pemahaman terhadap pelanggan dapat menjadi
sum bar kekuatan dan kelemahan dari perusahaan, yang selanjutnya dapat
digunakan sebagai dasar untuk memformulasikan strategi.
IC yang berbentuk pengetahuan teknologi merupakan sumber daya yang
membentuk dasar kemampuan perusahaan, menentukan strategi mengelola
perusahaan dan inovasi berkelanjutan. Pengetahuan teknologi diperoleh
bersumber dari Internal dan eksternal perusahaan. dikelola dan dijadikan
intellectual capital kemudian disebar keseluruhan perusahaan (Amit dan
Schoemaker, 1993). Penyebaran ke seluruh perusahaan dilaksanakan : antar
Individu, individu ke kelompok atau dapat dilaksanakan dari kelompok kemudian
ditransfer ke individu tenaga kerja. Pemilik UKM melaksanakan pemberian
pembelajaran, infrastruktur dan insentif yang tepat untuk menghasilkan dan
53
53
menyebarkan pengetahuan. Ketika UKM melakukan investasi dalam bidang
teknologi dan mengembangkan proses atau inisiatif internalnya, sistem,
database, dan file-file modal struktural yang ditingkatkan kualitasnya. Konsep
sukses melaksanakan modal teknologi dapat dipersepsikan empat elemen (1)
sistem merupakan cara dimana proses teknologi dilaksanakan dan output, (2)
struktur yaitu penyusunan tanggung jawab dan mendefinisikan teknologi yang
dipakai dan hubungan antar tenaga kerja (3) strategi, yaitu tujuan pencapaian,
(4) budaya individu, pemikiran bersama, nilai-nilai dan norma sukses kerja
bersama.
IC pada perspektif strategi (Barney, 1998) dijelaskan sebagai
pemahaman akan keunggulan dan kelemahan jangka pendek serta kapabilitas
dan strategi jangka panjang UKM dengan para pesaing utama pada saat ini dan
pesaing potensial. Asumsi mendasar dari pandangan resources-based theory
adalah bahwa organisasi dapat berhasil jika mencapai dan mempertahankan
keunggulan kompetitif. Langkah UKM dalam tetap mempertahankan daya saing
langkah yang diambil jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya
perusahaan yang memberikan karakter unik, memenuhi kriteria berharga,
memberikan nilai strategis Definisi tersebut memberikan pemahaman strategi
yang fleksibel dari UKM mengintegrasikan informasi aspek internal dan eksternal
melalui pendekatan kontingensi. Model kontingensi yang dikembangkan dalam
penelitian ini mengkaji pengaruh sumber daya strategis dan dinamika lingkungan
terhadap kinerja usaha melalui fleksibilitas strategi. Pemahaman dari
pengembangan model penelitian ini bahwa sumber daya strategis merupakan
perwujudan seluruh aset (tangible dan intangible) dan kapabilitas yang dijadikan
sumber keunggulan kompetitif bagi UKM. Perusahaan dengan tingkat orientasi
54
54
pesaing yang tinggi akan memfokuskan pada produk yang dihasilkan dan
penjualan yang menentukan kinerja yang unggul. Pada prinsipnya, orientasi
strategi dengan dukungan IC memusatkan pada pertanyaan berikut; (1) siapa
saja pesaing; (2) cara menawarkan produk oleh pesaing; dan (3) apakah pesaing
menawarkan alternatif yang menarik (4).cara mempromosikan produk.
Pemahaman terhadap pesaing dapat disinergikan dengan pelanggan,
khususnya ketika UKM berusaha mengumpulkan informasi dan melakukan
analisis secara mendalam tentang kemampuan pesaing dalam menerapkan
teknologi (Edvinsson dan Malone, 1997).
Perspektif strategi pada konteks menghadapi pasar persaingan UKM
melaksanakan orientasi pasar untuk memperoleh data dan informasi pesaing.
Orientasi pasar persaingan dipergunakan perusahaan mendapatkan dan
menggunakan informasi dari pelanggan, membangun strategi yang akan
memenuhi kebutuhan pelanggan dan menerapkan strategi yang responsif
terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan. Secara eksplisit, perspektif
strategi menggambarkan perencanaan strategis dari sebuah perusahaan yaitu:
(1) menjelaskan dan menggunakan informasi dari konsumen, (2)
mengembangkan strategi yang akan menunjukkan kebutuhan dan keinginan
konsumen, dan (3) mengimplementasikan bahwa strategi yang telah dirumuskan
mampu merespons kebutuhan dan keinginan dari konsumen. Dukungan IC agar
perencanaan strategis dapat berjalan secara efektif, tuntutan yang dibebankan
unit bisnis, yaitu: (1) semua fungsi yang ada pada perusahaan harus mampu
menyerap semua informasi penting yang dapat mempengaruhi keputusan
pembelian konsumen, (2) keputusan perusahaan merumuskan strategi
interfungsional dan interdivision, serta (3) divisi dan fungsi mampu melakukan
55
55
koordinasi yang baik dan memiliki kepekaan komitmen tinggi terhadap
perusahaan.
IC dipandang pada perspektif sumber daya (Pulic, 1998), keberhasilan
bisnis dari UKM menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai
{value creation). Value added adalah indikator paling objektif dalam menilaii
keberhasilan bisnis. Seluruh potensi IC UKM akan menciptakan value added bagi
perusahaan yang kemudian dapat mendorong peningkatan kinerja keuangan
perusahaan. Value added dihitung sebagai selisih antara output dan input
Definisi tersebut memberikan pemahaman UKM harus melaksanakan
operasional perusahaan dengan efektifitas dan efisiensi tinggi. Efektifitas tinggi
diartikan perusahaan tidak melakukan aktivitas yang tidak bemilai, tidak ada
aktivitas pengulangan. Efisiensi tinggi diartikan bahwa UKM menghilangkan
produk cacat, jasa pelayanan yang merugikan pelanggan, selalu meningkatkan
kualitas produk dan tepat waktu. Aspek kunci dalam model adalah
memperiakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai. Perusahaan yang
berorientasi tinggi terhadap IC, dengan memanfaatkan untuk memproduksi asset
yang nilainya lebih tinggi dapat memudahkan adaptasi terhadap keinginan dan
kebutuhan pelanggan (Klein dan Prusak, 1994). Aktivitas yang dilaksanakan
pemilik UKM dalam pengelolaan dan pemberdayaan IC secara optimal
menghasHkan asset strategis perusahaan (data base, brand, trademan\, skills,
culture) dan mendorong budaya inovasi, memotivasi riset dan pengembangan,
menciptakan produk baru dan paten baru (Klein dan Prusak, 1994).
IC dipandang sebagai perspektif pengelolaan (Edvinsson dan Malone,
1997) menghubungkan klasifikasi modal intelektual dengan struktur nilai pasar.
Nilai pasar perusahaan diklasifikasikan menjadi modal keuangan dan modal
56
56
intelektual. Ukuran keberhasilan manajemen dilaporkan kinerja keuangan,
karena laporan keuangan mencerminkan keberhasilan perusahaan yang
memanfaatkan intellectual capital secara optimal. Pencapaian kinerja keuangan
UKM menciptakan peningkatan nilai perusahaan dan mendukung kemudahan
kepentingan pemilik dalam mencari sumber dana di luar perusahaan (bank,
pemerintah, BUMN). Nilai pasar dapat dipergunakan perusahaan dalam
membangun hubungan dengan pihak lain diantaranya relasi dengan supplier
potensial yang dipergunakan dalam meningkatkan kualitas daya saing,
meningkatkan konektifitas dengan pelanggan potensial bertujuan meningkatkan
loyalitas pelanggan (Brooking, 1997). UKM menciptakan budaya proaktif dalam
rangka memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan (budaya adaptif) guna
memenangkan persaingan dan mempertahankan posisi persaingan. Perspektif
pengelolaan menuntut UKM untuk melaksanakan pengelolaan administrasi
seluruh aktrfitas dengan baik dan benar. Koordinasi antar fungsi antar unit atau
bagian dilaksanakan dengan konsep saling menguntungkan. Koordinasi antar
fungsi merupakan pemanfaatan sumber daya secara terkoordinasi dalam rangka
untuk menciptakan nilai low cost dan high quality bagi produk dan jasa (Narver
dan Slater, 1990). Koordinasi antar fungsi memungkinkan penelusuran ide yang
akan dialirkan ke seluruh organisasi melalui peningkatan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan produk baru. Perusahaan yang melakukan
koordinasi antar fungsi pada sumber daya yang dimiliki membutuhkan informasi,
dan selanjutnya dapat disebarkan ke seluruh bagian perusahaan. Syarat
koordinasi antar fungsi dapat berjalan secara efektif, maka periu adanya daya
tanggap dan sentifitas dari setiap bagian/unit terhadap kebutuhan bagian/unit lain
dalam perusahaan.
57
57
Berdasarkan dari beberapa pandangan tentang intellectual capital diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa intellectual capital menggambarkan suatu
kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan dalam memahami dan memenuhi
kebutuhan serta keinginan konsumen, meningkatkan daya saing, meningkatkan
kinerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar yang ada pada
intellectual capital meliputi: (1) sekumpulan pengetahuan dan kemampuan
tenaga kerja dan perusahaan yang meletakkan kepentingan konsumen pada
urutan utama (Brooking,1997; Stewart 1997; Sveiby,1997; Bontis, 1998 Stewart,
1997; Sveiby,1997; Bontis, 1998) (2) Kemampuan perusahaan menggunakan
data dan informasi superior tentang pelanggan dan menghadapi persaingan
(Barney, 1998; Edvinsson dan Malone, 1997); dan (3) Aplikasi yang terkoordinir
dari sumber daya antar fungsi untuk penciptaan nilai budaya perusahaan dengan
memanfaatkan secara optimal sumber daya dipergunakan menciptakan nilai
pelanggan yang superior (Narver dan Slater, 1990; Cameron 2004; Kreiser, et
al., 2013; Pule, 1998; Klein dan Prusak, 1994. Edvinsson dan Malone, 1997).
Penelitian ini menggunakan UKM di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai
objek penelitian untuk mengetahui peran modal intelektual dapat meningkatkan
kinerja perusahaan atau UKM, hal ini UKM harus lebih memahami dan mampu
menerapkan konsep IC sebagai sumber pengetahuan merupakan aset UKM
yang perlu dipelihara seperti, (1) modal manusia; (2) modal organisasi; (3) modal
rasional. Untuk itu, UKM harus dapat memahami beberapa bentuk kebutuhan
dan keinginan dari pelanggan terhadap produk yang dihasilkan serta mampu
mengidentifikasi pesaing. Pemahaman dan kemampuan UKM dalam
menerapkan konsep IC tidak terlepas dari dinamika lingkungan yang dihadapi.
Menghadapi lingkungan yang dinamis, UKM harus mampu beradaptasi dengan
58
58
perubahan lingkungan yang begitu cepat, sehingga dapat bertindak dalam
pengembangan produk dan masuk ke pasar lebih cepat dari pesaing sehingga
dapat menghasilkan kinerja yang lebih balk (Kohli dan Jawroskj, 1993). Oleh
karena itu, dalam konteks usaha kecil, IC dapat dibentuk dari lingkungan internal
perusahaan melalui transformasi budaya yang dimiliki oleh pemilik kepada
karyawan. Selanjutnya, elemen-elemen budaya yang dihasilkan dan
dikembangkan oleh pemilik kepada karyawan akan menghasilkan perilaku-
perilaku yang unik bagi perusahaan dan dapat mendapatkan nilai superior bagi
pelanggan, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan perubanan
lingkungan.
Perbedaan perspektif dari para penelitian dalam menjelaskan IC
menyebabkan konsep ini berkembang dengan sangat cepat. Beberapa penelitian
sebelumnya telah menerima dan mengeksplorasi berbagai dimensi yang ada
pada IC dalam hubungannya dengan pencapaian kinerja dan pada umumnya
mampu memberikan dukungan terhadap konsep tersebut.
Tabel 2.5
Perbandingan Konsep dan Dimensi Intellectual Capital Menurut Beberapa
Peneliti
Brooking (UK) Roos (UK) Stewart (USA) Bontis (Canada)
Human-centered
assets
Keterampilan,
kemampuan dan
keahlian,kemampuan
Memecahkan masalah
dan gaya
kepemimpinan
Human capital
Kompetensi, sikap,
dan kecerdasan
intelektual
Human capital
Karyawan merupakan
aset
organisasi yang
terpenting
Human capital
Pengetahuan tingkat
individu yang tiap
pegawai miliki
Infrastructure
assets
Seluruh teknologi,
proses dan metodologi
yang memungkinkan
perusahaan untuk
berfungsi
Organisational
capital
Seluruh
organisasional,
inovasi, proses,
properti intelektual,
dan aset budaya
Sructural capital
Pengetahuan yang
melekat pada
teknologi
informasi
Structural capital
Aset non manusia
atau kapabilitas
organisasional yang
digunakan untuk
memenuhi kebutuhan
pasar
59
59
Intellectual property
Know-how, merk
dagang
dan paten
Renewal and
development
capital
Paten baru dan
usaha
pelatihan
Structural capital
Seluruh paten,
rencana, dan merk
dagang
Intellectual
property
Tidak seperti
intellectual capital,
properti intelektual
merupakan aset yang
dilindungi dan
memiliki definisi
hukum
Market assets
Merk, konsumen,
loyalitas konsumen dan
jaringan distribusi
Relational capital
Hubungan dengan
stakeholder internal
dan eksternal
Customer capital
Informasi pasar yang
digunakan untuk
memperoleh
dan mempertahankan
konsume
Relational capital
Customer capital
merupakan salah satu
pengetahuan yang
melekat dalam
hubungan
organisasional
Sumber : Bontis et al., (2000)
Teori yang mendukung pentingnya IC terhadap kinerja perusahaan
menurut Sveiby, 2001 antara lain : (a) a knowledge based theory dimana
perusahaan sangat ketergantungan terhadap pengetahuan (a) a intetllectual
capital view of the firm teori ini yang menyatakan bahwa IC merupakan faktor
penting dalam meningkatkan sumber pendapatan jangka panjang, (c) the
intangible perspective, teori yang terkait peran IC terhadap kinerja perusahaan.
IC sebagai aset tidak berwujud berharga dikelola dan dimanfaatkan yang
merangsang inovasi, kreativitas, keunggulan kompetitif, penciptaan nilai dan
peningkatan kinerja. IC terdiri dari tiga elemen yaitu human capital (IC), structural
capital (SC) dan Relational capital (RC). Ketiga komponen IC berkaitan dan
keseluruhan komponen atau tiap-tiap komponen saling terkait (Sveiby, 1997;
Bontis, 1998; Saint Onge, 1996).
1. Human Capital (HC)
Kapabilitas UKM diciptakan dan dipengaruhi modal intelektual tenaga
kerja ditunjukkan dengan tingkat produktivitas, perilaku kreatifitas dan budaya
inovasi, Nilai tingkat produktivitas perusahaan lebih didorong pengetahuan dan
60
60
ketrampilan tenaga kerja. Secara khusus Human capital merupakan
pengetahuan yang dimiliki setiap individu menjadi sumber kapabilitas
perusahaan yang dapat memberikan solusi terbaik bagi seluruh proses dan
aktivitas kerja dalam mencapai tujuan (Bontis, 1998). Human capital berbentuk
pendidikan, pelatihan formal, kreativitas, pengalaman, loyalitas, motivasi,
toleransi atas perbedaan, kapasitas tim kerja, kapasitas pembelajaran dan
kepuasan karyawan (CIMA, 2005) dan Human capital menurut Cohen et. al.,
(2014) terdiri dari skills, educational level, learning capabilities, employees’
satisfaction, employees’ loyalty, dan commitment to long term goals, sedangkan
Becker (2003) Human capital berbentuk pendidikan dan Pengalaman. Human
capital merupakan genetic inheritance; education; experience, and attitude
(Edvinsson dan Malone, 1997). Human capital dapat dikategorikan sebagai
“personal” atribut (termasuk di dalamnya adalah kecerdasan dan skill atau
keahlian. Fungsi kunci Human capital dalam implementasi praktik manajemen
sumber daya manusia adalah : (a), membangun inventarisasi kompetensi
karyawan (b). mengamati lingkungan dan menentukan kompetensi yang
dibutuhkan untuk pengembangan (c). up-grade intellectual sesuai dengan
kebutuhan (d). mengembangkan evaluasi dan system reward (IFAC,1998). Inti
HC adalah tingkat kecerdasan anggota perusahaan (Bontis, 1998). Definisi
tersebut memberikan pemahaman bahwa UKM dalam mencapai kinerja tinggi
peran pemilik terhadap pengelolaan dan pemberdayaan IC, ditunjang dengan
pengetahuan, kemampuan dan pengalaman tenaga kerja berpedoman pada
kebutuhan, keinginan pelanggan dan selalu evaluasi lingkungan persaingan.
Dalam membangun kompetensi tenaga kerja dengan tujuan
meningkatkan kapabilitas kerja maka diperiukan penilaian hasil kerja. Terkait
61
61
dengan kapasitas tenaga kerja pemilik mengevaluasi tenaga kerja dengan
mengukur kompetensi tenaga kerja dalam mendukung hasil kerja, budaya
kreatifitas dan inovatif tenaga kerja terhadap hasil kerja, melalui observasi
menilai proaktif terhadap masalah, pemecahan masalah, kerja tim, dan
kecerdasan emosional yang tinggi tenaga kerja. Peran manajerial pemilik UKM
dalam mengelola dan mengembangkan tenaga kerja, yaitu kemampuan
memotivasi, menginspirasi, merangsang intelektual, mempromosikan, jelas
mengartikulasikan tujuan, dan menunjukkan pengalaman positif (Bass, 1999).
Pemilik UKM memastikan nilai-nilai tenaga kerja sejalan dengan individu-individu
dalam perusahaan, menawarkan umpan balik yang konstruktif, dan memfasilitasi
retensi orang-orang. Bontis et al (2000) menyebutkan human capital sebagai
representasi dari individual knowledge stock suatu organisasi yang diwakili oleh
karyawannya. Secara umum, human capital menghasilkan inovasi, melalui
penemuan produk dan penyediaan jasa yang baru atau meningkatkan proses
bisnis perusahaan yang telah ada.
2. Structural Capital (SC)
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan
dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung
usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja bisnis secara keseluruhan,
misalnya: system operasional perusahaan, proses manufacturing, budaya
organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang
dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang
tinggi, tetapi jika organisasi memiliki system dan prosedur yang buruk maka
intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang
ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
62
62
Structural Capital menurut Bontis et al., (2001) adalah “Structural Capital
is the hardware, software, databases, organizational structure, patents,
trademarks and everything else of organizational capability that supports those
employees’ productivity”. Structural capital merupakan pengetahuan non-
manusia yang ada dalam perusahaan, seperti perangkat keras, perangkat lunak,
data base, struktur organisasi, paten, merek dagang dan segala sesuatu tentang
kapabilitas perusahaan yang mendukung produktivitas karyawan, atau segala
sesuatu yang ditinggalkan di kantor ketika karyawan pulang ke rumah (Bontis,
2001). Structural capital sebagai pengetahuan dalam perusahaan, berupa
rutinitas perusahaan, prosedur, system, budaya dan data base, teknologi
informasi, termasuk di dalamnya upaya perusahaan membangun mekanisme
dan struktur organisasi yang membantu karyawan dalam upaya
memaksimumkan kinerja intelektual dan kinerja bisnis secara keseluruhan
(CIMA, 2005).
Structural capital sebelumnya merujuk pada proses dan prosedur yang
ada pada perusahaan guna meningkatkan efektifitas organisasi. Structural capital
dibentuk oleh intellectual input dari karyawan tetapi “dimiliki” oleh perusahaan.
Structural capital ini dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan, misalnya iklim
organisasi. Dengan keadaan yang tidak tetap lingkungan organisasi turut
mempengaruhi structural capital. Structural capital berkontribusi pada human
capital dengan cara transfer proses dan pengetahuan melalui training, pelatihan,
tetapi semua dapat berjalan lancar, bila faktor human atau karyawannya mau
untuk belajar hal baru.
Starovic and Marr (2004) mendeskripsikan bahwa structural capital
memiliki hubungan dengan sistem dan struktur perusahaan yang dapat
63
63
membantu karyawan untuk mencapai kinerja perusahaan secara keseluruhan
dapat meningkat. Secara lebih detail, structural capital dapat diklasifikasikan
menjadi budaya perusahaan, struktur organisasi, pembelajaran organisasi,
proses operasional perusahaan dan sistem informasi. Komponen kunci
pembentuk Structural capital berupa budaya, data dan informasi, proses dan
rutinitas perusahaan (Marr, 2008).
3. Relational Capital (RC)
Relational capital atau juga disebut dengan relational capital, external
capital merupakan jaringan yang berkaitan dengan perusahaan. relational capital
tercipta oleh saling pengertian antara kebutuhan konsumen dan konsistensi
produsen. Berikut ini beberapa unsur di dalam relational capital:
1. Supplier capital : hubungan saling percaya, komitmen, dan kreativitas
supplier.
2. Alliance capital : partner yang bisa dipercaya
3. Community capital : kemampuan organisasi dan reputasi
4. Regulatory capital : kemampuan mengetahui hokum dan aturan seperti
keahlian melobi dan menjaga hubungan baik
5. Competitor capital : memahami pesaing (competitor)
Hubungan dengan konsumen ini hanya dapat di manage tetapi tidak bisa
di kontrol. Peningkatan di modal eksternal ini melibatkan hambatan dari
lingkungan luar organisasi, seperti membangun hubungan saling percaya dengan
konsumen, pemasok dan seluruh komunitas.
Keberhasilan penjualan produk tidak terlepas dari kemampuan
perusahaan dalam membangun hubungan (network) dengan para mitranya, baik
berasal dari pemasok yang handal maupun dari pelanggan yang loyal, hubungan
64
64
dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar yang merasa puas
terhadap pelayanan perusahaan. Sukses kinerja perusahaan dengan
mempertahankan hubungan perusahaan dengan pihak luar, seperti kepada
konsumen, supplier, kreditur, investor, assosiasi dan masyarakat, kerja sama
penelitian dengan departemen lain atau unit lain (IFAC, 1998). Pemilik UKM
mempertahankan hubungan dengan pihak ketiga, termasuk perjanjian lisensi,
perjanjian partnership, hubungan pendanaan, dan pengaturan kontrak kerja,
membangun jaringan, tingkat kepuasan dan loyalitas (Marr, Schiuma dan Neely,
2004). Pemilik UKM selalu menjaga hubungan dengan para mitra untuk
memperoleh kinerja optimum dan juga memperkuat usaha dalam persaingan
Modal relasional didefinisikan “relational capital is the knowledge
embedded in the marketing channels and customer relationships that an
organisation develops through the course of conducting business” modal
pelanggan adalah pengetahuan yang tertanam dalam saluran pemasaran
dan hubungan pelanggan yang dikembangkan organisasi melalui kegiatan
bisnis (Bontis et al.,2000). Relational capital adalah pengetahuan yang melekat
dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi
mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al.,2000).
Kedudukan dan fungsi RC bagi perusahaan dalam mempertahankan jasa
pelayanan dan menjaga hubungan baik dengan pihak customer yaitu
memberikan nilai lebih terhadap layanan (Dietz, Pugh, dan Wiley, 2004).
Interaksi dengan pelanggan merupakan aktivitas sulit, membutuhkan keahlian
verbal dan etika, diperlukan social sharing antara karyawan yang melayani dan
pimpinan guna membantu pemecahan masalah yang dihadapi di lapangan
selama interaksi dengan pelanggan (Rime,1987). Sharing pengetahuan dan
65
65
informasi dengan pelanggan, membangun hubungan jangka panjang dengan
pelanggan dan dampaknya meningkatkan kinerja pemasaran. Dapat disimpulkan
dalam mempertahankan daya saing, meningkatkan kemampuan adaptasi dan
meningkatkan kinerja perusahaan harus mempertahankan hubungan,
mempertahankan jaringan usaha yang telah dirintis dan mencari relasi bam
(Mageza, 2004).
2.2.3. Fleksibilitas strategi
Fleksibilitas (Flexibility) adalah kemampuan untuk beradaptasi dan
bekerja dengan efektif dalam situasi yang berbeda, dan dengan berbagai individu
atau kelompok. Fleksibilitas membutuhkan kemampuan memahami dan
menghargai pandangan yang berbeda mengenai suatu isu, menyesuaikan
pendekatan sesuai dengan perubahan situasi, dan cepat menerima dengan
mudah perubahan dalam organisasinya (Hamel, dan C. K. Prahalad (1991).
Fleksibilitas organisasi pada umumnya berasal dari teori kemampuan
beradaptasi (Weick 1982) pada lingkungan yang dinamis dengan memperhatikan
keadaan pasar. Evans (1991) mempresentasikan kerangka fleksibilitas
komprehensif dalam upaya untuk mensintesis teori dengan menggambar
kerangka secara teoritis menemukan bahwa ada dua dimensi antara lain:
a. Fleksibilitas proaktif merupakan kemampuan dari perusahaan untuk
membangun berbagai mekanisme untuk mendahului kompetisi dengan
mengumpulkan informasi dengan berusaha beradaptasi pada perubahan
lingkungan.
66
66
b. Fleksibilitas reaktif merupakan kemampuan perusahaan untuk
menanggapi perubahan dalam lingkungan dan segera bereaksi terhadap
sesuatu yang timbul atau muncul.
Kontribusi mensintesi teori kemampuan beradaptasi sangat penting untuk
penelitian di masa depan dengan memperhatikan validasi empirisnya konstruksi
fleksibilitas strategis dalam pengujian empiris dari efek proaktif dan reaktif
fleksibilitas pada kinerja perusahaan (Evans , 1991).
Matusik dan Hill (1998), mendefinisikan Strategic flexibility adalah
kemampuan perusahaan untuk merespons dengan cepat jika terjadi perubahan.
Menurut Lau (1996), flexibility strategic merupakan kemampuan perusahaan
untuk merespons ketidakpastian dengan menyesuaikan objektif yang ada
dengan didukung oleh kemampuan dan pengetahuan yang superior. Menurut
Johnson (1992), fleksibilitas strategi amat erat hubungannya dengan kapabilitas
dinamis karena sebagian dari proses kapabilitas dinamis dalam mengeksekusi
keputusan bisnis dapat ditafsirkan sebagai fleksibilitas strategis, seperti saat
perusahaan melakukan adopsi inovasi, penguatan R&D, aliansi strategis, kerja
sama operasional dalam pengembangan produk, dan sejenisnya.
Fleksibilitas strategis lebih banyak dibicarakan dalam wacana organisasi
berbasis pasar (market-based management) dan kapabilitas perusahaan untuk
mengikuti fleksibilitas tersebut dianggap sudah tersedia (given) pada
perusahaan, sebagaimana konsep organisasi berbasis pasar yang
dikembangkan oleh Best (2004). Asumsi sebaliknya juga terjadi pada kapabilitas
dinamis tersebut dibentuk terus menerus pada organisasi yang bersifat market
driven organizations (Day, 1994a, 1994b).
67
67
Voss dan Voss (2000), fleksibilitas tersebut dilakukan dalam konteks
orientasi strategis perusahaan, yakni dalam rangka membangun kinerja dan
mencapai keunggulan kompetitif yang diharapkan (Volberda, 1998). Namun,
Volberda (1998) mengingatkan agar dapat menghindari terjadinya paradoks
fleksibilitas pada berbagai tingkat persaingan. Pada kondisi lingkungan yang
lebih dinamis, kompleks, dan tidak dapat diperkirakan, relatif lebih sulit bagi
manajemen untuk mengatasinya bila desain organisasi tidak memungkinkan
untuk melakukan respons strategis.
Resource Base Theory (RBT) menyatakan perusahaan harus
mampu mernaksimalkan sumber daya strategis yang dimiliki, bagaimana
perusahaan mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang dimiliki. Fleksibilitas
sumber daya merupakan suatu kapabilitas UKM dalam memperkuat posisi
persaingan dan meningkatkan reponsibilitas terhadap perubahan
lingkungan.(Barney, 1991). Fleksibilitas sumber daya mencakup juga
kemampuan perusahaan dalam mengeksplorasi sumber daya secara efisien dan
efektif (Cadogan, et al.,2012). Mengembangkan dan mengeksplorasi
kemampuan membawa perusahaan menentukan bentuk sumber daya yang
dibutuhkan dengan cepat dan efektif, atau merubah aktivitas secara realitis.
Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sumber daya dan kemampuan, akan
membantu pemilik memilih strategi. Sumber daya yang tidak diinginkan
dipisahkan dan melakukan investasi pada sumber daya strategis yang membantu
perusahaan mempertahankan keunggulan kompetitif (Grant, 1991).
Beberapa peneliti memberikan definisi atau pemyataan mengenai
fleksibilitas strategi yaitu merupakan kemampuan perusahaan dalam
mengidentifikasi perubahan utama dari lingkungan eksternal (seperti pengenalan
68
68
terhadap teknologi baru), mempercepat komitmen sumber daya merespons
perubahan yang terjadi, dan meningkatkan komitmen sumberdaya terhadap
perusahaan, kemampuan memberikan reposisi diri pada pasar, kemampuan
merubah rencana kegiatan. atau kemampuan memperbaiki kesalahan strategi,
kemampuan merespon perubahan yang tak terduga dengan konsekuensi
menyesuaikan diri terhadap perubahan tak terduga (Shimizu dan Hitt, 2004;
Asikhia, 2010). Strategi yang fleksibel fokus perhatian terletak pada konsumen,
dan merubah strategi yang sudah ada dalam mendapatkan keuntungan melalui
peningkatan kepuasan konsumen.
Fleksibilitas harus menjadi metode yang paling hemat biaya untuk
mengatasi perubahan lingkungan dan ketidakpastian. Salah satu temuan dari
penelitian Aaker, et al.,(1984) adalah beberapa lainnya metode dianggap
sebagai tambahan atau bersama dengan fleksibilitas strategi seperti asuransi
(insurance), kontrol (control), prediksi (prediction), menghindar (avoidance) dan
perencanaan kontingensi (contingency planning).
(Zhou dan Wu 2010) merealokasikan sumber daya dengan merangsang
kreativitas dan inovasi para karyawan dalam competitive advantage (Hitt et al.
1998; Li et al. 2010; Sanchez 1995) dan menjelajahi peluang bisnis baru (Bock et
al. 2012) dengan memperhatikan pesaing memperoleh informasi dari pelanggan.
Sanchez (1995) mendefinisikan fleksibilitas strategis sebagai kemampuan
perusahaan untuk menjadi lebih mahir dalam menanggapi persaingan dengan
cepat merespon dan juga bergerak lebih lincah di saat adanya kesempatan atau
peluang (opportunity) untuk mencari segmen pasar yang kurang terlayani atau
belum tersentuh oleh pesaing. Studi Gronhmann (2003) mendefinisikannya
fleksibilitas strategi sebagai niat dan kemampuan perusahaan untuk
69
69
menghasilkan real-spesifik perusahaan dengan melakukan konfigurasi dan
rekonfigurasi proposisi nilai pelanggan yang sangat baik.
Fleksibilitas strategis mengacu pada sejauh mana suatu perusahaan
bersedia untuk mengubah itu strategi dalam menanggapi peluang ancaman dan
perubahan eksternal lingkungan "(Zahra et al. 2008 hal. 1043). Dalam
lingkungan yang berubah secara dinamis kemampuan perusahaan untuk
mengkalibrasi ulang dengan cepat strategi mereka untuk keunggulan kompetitif
(Hitt et al. 1998; Johnson et al. 2003). Fleksibilitas strategis membantu perasaan
perusahaan dengan adanya perubahan lingkungan dengan mengatasi inersia
organisasi
Tantangan mengambil keputusan terhadap ketidakpastian lingkungan
bisnis yang secara substansial berpengaruh terhadap kebijakan strategis
perusahaan dengan cara pencegahan, yaitu : mengenali permasalahan dan
bertindak tepat waktu (Shimizu dan Hitt, 2004). Pentingnya kecepatan dalam
mengenali dan merespon masalah ditekankan pada peta persaingan yang
dinamis. Proses pengambilan keputusan dalam mempertahankan strategi
fleksibel berfokus pada penggunaan tiga kemampuan: (1) memperhatikan umpan
balik negatif (attention stage ), (2) mengumpulkan dan menilai data yang objektif
negatif (assessment stage),dan (3) melakukan perubahan keseluruhan (action
stage). Umpan balik negatif berupa informasi pasar terhadap produk dan jasa
yang menyimpang. Penilaian negatif, hasil penilaian produk dan jasa tidak
memadai, cenderung pemborosan sumber daya, sehingga produk dan jasa tidak
sesuai harapan konsumen. Hasil buruk terjadi karena kesalahan strategi,
implementasi yang tidak memadai, atau mitigasi faktor lingkungan. Hambatan
penilaian: (1) pembiaran sinyal negatif oleh manajemen (2) terus tetap dengan
70
70
komitmen yang salah, cenderung investasi yang merugi (3) manajer mengejar
kepentingan pribadi (4) manajer enggan mengakui kesalahan.
Kemampuan memulai dan melakukan perubahan keseluruhan (action
stage), merupakan kesadaran manajemen terhadap kesalahan selama ini
dilaksanakan, dengan cara mengatasi hambatan, mengevaluasi sinyal negatif
secara objektif, memahami faktor-faktor yang menjadi penghambat dan mencari
solusi permasalahan secara rasional, serta membuat keputusan yang bijaksana
(Shimizu dan Hitt, 2004). Manajer memastikan bahwa hasil keputusan diukur dan
dipantau. keputusan sebagai titik akhir, keputusan perlu dilaksanakan dan
disesuaikan atau dihentikan. Berdasarkan penjelasan diatas, inti dari strategi
fleksibel mencakup tentang kemampuan perusahaan dalam mengeksplorasi
sumber daya yang dimiliki dan dalam menghadapi lingkungan yang selalu
berubah. Argumentasi yang dikemukakan Miller (1983) menyatakan bahwa
usaha kecil dicirikan sebagai organisasi yang fleksibel mencerminkan bahwa
perusahaan sang at potensial menciptakan aktivitas secara fleksibel sehingga
akan mendorong untuk menerapkan kebijakan strategi yang sesuai dengan
dinamika lingkungan. Namun, mengukur fleksibilitas strategi didasarkan dari
konsep yang dijelaskan oleh Shimizu dan Hitt (2004) meliputi tingkat perhatian,
assessment dan kemampuan perusahaan dalam menunjukkan tindakan yang
fleksibel.
a. Identifikasi Critical Fleksibilitas Strategi
Melalui konsep Shimizu dan Hitt, (2004). bahwa untuk fleksibilitas strategi
dapat dilakukan dengan tiga tahapan (a) attention stage (b). assessment stage
(c). action stage Langkah awal mengidentifikasi tujuan strategis yang terkait
dengan visi, misi, tujuan organisasi, selanjutnya identifikasi sumber daya
71
71
strategis (resource strategic).dan yang terakhir perusahaan harus mendefinisikan
aktivitas dan informasi data pendukung yang diterima guna menyusun, memilih,
menetapkan dan implementasi strategi perusahaan dan memantau dampaknya
atas implementasi strategi. Dari langkah mengidentifikasi tujuan strategis
kemudian diikuti langkah-langah critical strategy yang paling penting sangat
membantu, mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan.
Critical strategy adalah kemampuan yang dimiliki dan dibutuhkan
perusahaan untuk dapat dikembangkan. Contoh: critical intangible untuk
attention data informasi dari internal maupun eksternal, kapabilitas , komitmen
dan loyalitas karyawan, sedang untuk assessment data informasi dari konsumen,
data informasi survey pasar, inovasi terkait dengan teknologi, kemudian action
adalah pendekatan memastikan bahwa hasil keputusan diukur dan dipantau.
Keputusan sebagai titik akhir, bahwa keputusan periu dilaksanakan dan
disesuaikan atau dihentikan. Contoh: untuk tujuan strategis adalah menghentikan
implementasi strategi yang dilaksanakan, mengevaluasi tenaga kerja yang terkait
dengan pelayanan konsumen atau inovasi produk baru atau proses produk baru
yang didukung oleh komitmen tinggi dan kreativitas tenaga kerja. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa fleksibilitas strategi merupakan perhatian
perusahaan terhadap pelanggan dan pasar agar kinerjanya tetap sukses,
diperlukan kepekaan manajer dalam menilai apakah implementasi strategi
menguntungkan atau merugikan bagi perusahaan dan merupakan langkah
evaluasi strategi untuk mengambil keputusan strategis yang harus ditentukan
perusahaan terhadap implementasi strategi dihentikan atau dilanjutkan.
b. Pengukuran Fleksibilitas Strategi
72
72
Tahap ini perusahaan periu mengidentifikasi indikator-indikator tertentu
yang berfungsi sebagai alat mengukur fleksibilitas strategi. Secara umum
pengukuran kinerja didasarkan pada pencapaian antara target dan realisasi
implementasi strategi. Target dan realisasi untuk strategi apabila ada
kesenjangan, akan dilakukan evaluasi terhadap komponen implementasi strategi.
Pengukuran bisa dilaksanakan melalui ukuran keuangan dan non keuangan.
Non-keuangan misalnya kepuasan konsumen, hasil survey pasar sedang
keuangan misalnya biaya tambahan untuk pelayanan konsumen.
c. Monitoring Fleksibilitas Strategi
Tahap monitoring adalah langkah yang diambil perusahaan setelah
aktivitas implementasi strategi telah berlangsung. Apakah semua aktivitas
implementasi strategi sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, sudah
sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan perusahaan. Tahap ini merupakan
tahap evaluasi atas seluruh aktivitas yang telah dilaksanakan terutama terhadap
komponen strategi. Dari hasil evaluasi strategi ini akan menentukan langkah-
langkah kebijaksanaan perusahaan atau keputusan yang harus diambil.
2.2.4. Teori Inovasi
Schumpeter (1934) adalah satu ekonomi pertama yang mendefinisikan
inovasi. Dia mendefinisikan lima kemungkinan jenis inovasi: 1) pengenalan
produk baru atau perubahan kualitatif produk yang sudah ada (the introduction of
a new product or a qualitative change in an exiting product), 2) proses inovasi
baru bagi industri (process innovation new to an industri), (iii) pembukaan pasar
baru (the opening of a new market). (iv) pengembangan sumber-sumber baru
pasokan bahan baku atau input lainnya (the development of new sources for
73
73
supply for raw material or other inputs), dan (v) perubahan salam organisasi
industri (changes in industri organization).
Menurut Damanpour (1991), inovasi dapat berupa inovasi produk dan
inovasi proses. Inovasi produk didefinisikan sebagai produk atau jasa baru yang
diperkenalkan ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sedangkan Lukas &
Ferrell (2000) mendefinisikan inovasi produk sebagai proses memperkenalkan
teknologi baru untuk digunakan. Demanpour (1991) membedakan tiga konsep
inovasi kaitannya dengan organisasi yaitu: inovasi organisasi (organizational
innovation), tingkat inovasi (innovativeness), dan kapasitas untuk inovasi
(capacity to innovate). Selanjutnya Demanpour (1991) mendefinisikan inovasi
organisasi sebagai “adopsi dari sebuah gagasan atau perilaku baru bagi
organisasi mengadopsi “ yang mencakup tahap-tahap generasi ide-ide baru,
pengembangan dan implementasi”. Tingkat inovasi (innovativeness) didefinisikan
sebagai tingkat dimana individu atau unit adopsi relatif lebih awal dalam
mengadopsi gagasan baru dibanding anggota lainnya dalam sistem organisasi
(Avlonotis et al.,1994). Menurut Hurley & Hult (1998), tingkat inovasi lebih
merupakan aspek budaya organisasi yang mencerminkan tingkat keterbukaan
terhadap gagasan baru. Sedangkan, kapasitas untuk inovasi (Capacity to
innovate) adalah kapabilitas organisasi untuk mengadopsi dan
mengimplementasikan gagasan baru, proses, dan produk baru.
Rogers (1995) mendefinisikan inovasi sebagai ‘any idea, practice or
object that is perceived to be new an individual or other unit adoption’. Inovasi
meliputi adopsi dari produk baru atau proses yang meningkatkan daya saing dan
keuntungan secara keseluruhan. Ini meliputi cara baru dari identifikasi kebutuhan
74
74
klien yang baru maupun yang telah ada. Inovasi merupakan suatu tantangan
utama pada manajemen usaha kecil menengah.
Thompson (1965) dalam Hurley & Hult (1998) mendefinisikan inovasi
sebagai konsep yang lebih luas yang membahas penerapan gagasan, produk,
atau proses yang baru. Hurley dan Hult (1998), Roger (1983), dan Hadjimanolis
(200) dalam orientasi pasar dan inovasi (Rofiaty, 2012) mendefinisikan daya
inovasi sebagai tingkat kecepatan atau individu atau unit dalam mengadopsi ide-
ide baru dibandingkan dengan anggota-anggota lain dalam suatu sistem. Oleh
sebab itu, perusahaan dituntut untuk menciptakan pemikiran baru, gagasan baru,
dan menawarkan produk yang inovatif serta peningkatan pelayanan yang
memuaskan pelanggan. Drucker yang dikutip Hitt, Ireland, dan Hoskisson (2001)
menyatakan bahwa inovasi adalah cara-cara yang digunakan pengusaha untuk
menciptakan sumber daya baru yang memproduksi kekayaan atau
mendayagunakan sumber daya yang sudah dengan meningkatkan potensinya
untuk menghasilkan kekayaan. Roger yang kutip oleh Simamora (2003;235,
dalam Rofiaty, 2012) mengatakan “inovasi sebagai ide baru” Secara umum,
inovasi dapat dilihat sedikitnya dari dua sudut yang menguntungkan yaitu:
1. Kebaruan dalam arti sesuatu itu belum pernah dilakukan sebelumnya.
2. Kebaruan dalam arti sesuatu itu belum pernah dilakukan oleh instansi
atau perusahaan yang kini melaksanakannya.
Dalam arti yang lebih sempit, inovasi hanya terjadi bila mana sesuatu itu
sama sekali baru, tidak pernah dikerjakan sebelumnya (Levitt, 1987:172).
Menurut Keegan (1996:111) “inovasi adalah sesuatu yang baru atau berbeda
dalam arti absolut atau dalam arti situasional”. Selain itu, inovasi merupakan
kegiatan yang mengarah pada perubahan produk atau jasa (teknis) dan
75
75
administratif (manajerial) yang ditawarkan oleh perusahaan untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang dinamis. Menurut Griffin (2004;347), inovasi merupakan
pengelolaan usaha suatu organisasi untuk mengembangkan produk/jasa baru,
atau kegunaan baru dari produk/jasa yang ada. Bentuk inovasi dari Griffin
(2004:399-401) akan menjelaskan bentuk inovasi yang mungkin terjadi pada
pelaku UKM yaitu:
1) Inovasi radikal: Produk, jasa atau teknologi baru yang dikembangkan oleh
suatu organisasi yang sepenuhnya menggantikan produk, jasa atau
teknologi yang ada di dalam suatu industri.
2) Inovasi bertahap: produk, jasa atau teknologi yang memodifikasi produk,
jasa atau teknologi yang ada
3) Inovasi teknikal (technical innovation): perubahan dalam penampilan fisik
atau kinerja dari suatu produk atau jasa, atau proses fisik dimana suatu
produk atau jasa dibuat.
4) Inovasi manajerial (managerial innovation): perubahan dalam proses
manajemen dimana produk dan jasa disusun, dibangun, dan diberikan
kepada konsumen.
5) Inovasi produk (product innovation): perubahan dalam karakteristik atau
kinerja dari produk atau jasa yang ada, atau penciptaan dari produk atau
jasa yang sama sekali baru.
6) Inovasi proses (process innovation): Perubahan dalam cara produk dan
jasa dibuat, diciptakan, serta didistribusikan. Inovasi produk dan proses
adalah bagian dari inovasi teknikal..
Menurut Kotler & Keller (2012:611) Inovasi adalah barang, jasa atau ide
yang beberapa orang mempersepsikan sebagai sesuatu yang baru, tidak peduli
76
76
berapa lamanya sejarahnya. Menurut Wang & Ahmed (2004:2) Inovasi
organisasi sebagai keseluruhan kemampuan inovatif organisasi untuk
memperkenalkan produk baru ke pasar, atau membuka pasar baru, melalui
penggabungan orientasi strategis dengan perilaku inovatif dan proses.
Menurut Kotler (2000) ada 6 golongan produk baru antara lain (1) Produk
baru bagi dunia: yaitu produk baru yang menciptakan suatu pasar yang sama
sekali baru, (2) Lini produk baru: yaitu produk baru yang memungkinkana
perusahaan memasuki pasar yang telah mapan untuk pertama kalinya, (3)
tambahan pada lini produk yang telah ada: yaitu produk-produk baru yang
melengkapi suatu lini produk perusahaan yang telah mantap (ukuran, kemasan,
rasa, dan lain-lain), (4) perbaikan dan revisi produk yang telah ada: yaitu produk
baru yang memberikan kinerja yang lebih baik atau nilai yang dianggap lebih
hebat dan menggantikan produk yang telah ada, (5) penentuan kembali posisi
(Repositioning): yaitu produk yang telah ada diarahkan ke pasar atau segmen
pasar baru, dan (6) Pengurangan biaya: yaitu produk baru yang menyediakan
kinerja serupa dengan harga yang lebih murah.
Inovasi proses didefinisikan sebagai elemen baru yang diperkenalkan
dalam operasi produk dan jasa dalam perusahaan, seperti: materi bahan baku,
spesifikasi tugas, mekanisme kerja dan informasi maupun peralatan yang
digunakan untuk memproduksi produk atau jasa (Damanpour, 1991). Inovasi
proses menggambarkan perubahan dalam cara organisasi memproduksi produk
dan jasa akhir dari suatu perusahaan (Cooper, 1998 dan Utterback, 1975).
Inovasi proses mencakup tahapan dari produk baru, jasa atau pengembangan
proses, dari konsep gagasan sampai penerimaan.
77
77
OECD (2005) menyatakan inovasi adalah implementasi yang baru tau
peningkatan secara signifikan produk (barang dan jasa), atau proses, metode
pemasaran baru, atau metode organisasi baru dalam praktik bisnis, organisasi
atau tempat kerja. Persyaratan minimum untuk suatu inovasi adalah bahwa
produk, proses, pemasaran metode atau organisasi haru baru (atau meningkat
secara signifikan) bagi perusahaan. Empat jenis inovasi dibedakan dengan
dasar definisi ini (Smith, KH 2005); OECD, 2010): inovasi produk, inovasi proses,
inovasi pemasaran dan inovasi organisasi.
1) Inovasi produk adalah pengenalan barang atau jasa yang baru atau
diperbaiki secara signifikan sehubungan dengan karakteristik atau
dimaksudkan menggunakan. Hal ini termasuk perbaikan signifikan dalam
spesifikasi teknis, komponen dan bahan-bahan, dimaksudkan perangkat
lunak, keramahan pengguna atau karakteristik fungsional lain.. inovasi
produk dapat memanfaatkan pengetahuan baru atau teknologi, atau
dapat didasarkan pada penggunaan baru atau kombinasi dari
pengetahuan atau teknologi yang sudah ada.
2) Inovasi proses adalah pelaksanaan yang baru atau secara signifikan
meningkatkan produksi atau metode penyampaian. Ini termasuk
perubahan signifikan dalam teknik, peralatan dan atau perangkat lunak.
Inovasi proses dapat dimaksudkan untuk menurunkan biaya per unit
produksi atau pengiriman, untuk meningkatkan kualitas, atau
menghasilkan atau mengirimkan baru atau produk yang ditingkatkan
secara signifikan.
3) Inovasi pemasaran adalah penerapan metode pemasaran baru yang
melibatkan perubahan signifikan dalam desain produk atau kemasan,
78
78
penempatan produk, promosi produk atau harga. Inovasi-inovasi
pemasaran bertujuan untuk menangani kebutuhan pelanggan yang lebih
baik, membuka pasar baru, atau posisi produk perusahaan di pasar,
dengan tujuan meningkatkan penjualan perusahaan.
4) Inovasi organisasi adalah pelaksanaan metode organisasi baru dalam
praktik bisnis perusahaan, organisasi atau tempat kerja hubungan
eksternal. Inovasi organisasi dapat dimaksudkan untuk meningkatkan
kinerja perusahaan dengan mengurangi biaya administrasi atau biaya
transaksi, meningkatkan kepuasan kerja(dan dengan demikian
produktivitas tenaga kerja), memperoleh akses ke aset tidak dapat
diperdagangkan (seperti non-kodifikasi pengetahuan eksternal) atau
pengurangan biaya persediaan.
Wang (2012) mengatakan di era milenium perusahaan lebih gesit didalam
kompetitif, maka perusahaan bukan hanya menciptakan produk baru harus
diperhatikan, tetapi sesungguhnya bagaimana suatu produk lebih cepat masuk
ke pasar sebelumnya pesaing. Inovasi dapat hadir dalam berbagai bentuk,
seperti;
1) Kecepatan Inovasi (speed innovation), sebuah produk baru atau layanan
baru ke pasar dengan mencerminkan kemampuan perusahaan untuk
melakukan percepatan kegiatan dan tugas untuk membangun keunggulan
kompetitif terhadap pesaingnya di industri, dengan mempersingkat siklus
hidup produk;
2) Kualitas inovasi dapat didefinisikan melalui variabel seperti jumlah produk,
efektivitas, fitur, keandalan, waktu, biaya, kompleksitas, dan nilai inovasi
kepada pelanggan.
79
79
Dari beberapa definisi di atas, inovasi adalah menciptakan sesuatu yang
benar-benar baru atau meningkatkan dari yang ada (kinerja atau persepsi nilai
yang lebih besar) baik untuk barang ataupun jasa sebagai pilihan strategis
organisasi untuk meningkatkan organisasi dan membuatnya lebih kompetitif.
Inovasi dipandang sebagai kreasi dan implementasi ‘kombinasi baru’. Istilah
kombinasi baru ini dapat merujuk pada produk, jasa, proses kerja, pasar,
kebijakan dan sistem baru. Dalam inovasi dapat diciptakan nilai tambah, baik
pada organisasi maupun masyarakat luas. Oleh karenanya sebagian besar
definisi dari inovasi meliputi pengembangan dan implementasi sesuatu yang
baru. Istilah ‘baru’ bukan berarti original tetapi lebih ke newness (kebaruan). Arti
kebaruan ini, bahwa inovasi adalah mengkreasikan dan mengimplementasikan
sesuatu menjadi satu kombinasi. ’Kebaruan’ juga terkait dimensi ruang dan
waktu. ’Kebaruan’ terikat dengan dimensi ruang. Artinya, suatu produk atau jasa
akan dipandang sebagai sesuatu yang baru di suatu tempat tetapi bukan barang
baru lagi di tempat yang lain.
2.2.5. Kecepatan Inovasi
Merujuk kepada gelombang percepatan Schumpeter (the Economist,
1999) saat ini perkembangan inovasi berada di gelombang kelima yang
didominasi oleh jaringan digital, perangkat lunak, dan media baru (Gambar 2.6).
Lima tahun setelah publikasi the Economist, tahun 2004, The Natural Edge
Project 2004 melaporkan bahwa invasi telah memasuki gelombang keenam
yang dicirikan oleh antara lain produktivitas radikal sumber daya, kimia yang
ramah lingkungan, energi terbarukan, dan nanoteknologi hijau (Gambar 2.7).
Studi empiris melalui dua gambar ini membuktikan bahwa terjadi siklus Inovasi
yang makin singkat/pendek sejak tahun 1875. Gelombang inovasi pertama
80
80
menghabiskan waktu 60 tahun, kemudian makin pendek menjadi hanya 30 tahun
pada gelombang kelima, bahkan kurang dari 15 tahun pada gelombang keenam.
Gambar 2.6. Gelombang inovasi Sumber : the Economist (2004)
Pada lingkungan bisnis modern, kombinasi antara persaingan yang tinggi
dan perubahan teknologi yang cepat, permintaan pelanggan, dan praktik-praktik
bisnis membuat siklus hidup produk menjadi lebih pendek/singkat dan memberi
tekanan kepada organisasi, termasuk UKM untuk berinovasi lebih efektif dan
efisien (Huang at al., 2002). Beberapa penelitian (Mansfield, 1998; Vesey, 1991;
Murmann, 1994; Kessler & Chakrabati, 1996; Alloca & Kessler et al.,2006; Zhong
dan Ozdemir, 2010) menunjukkan bahwa kecepatan inovasi muncul sebagai
bidang penelitian yang penting.
Kecepatan inovasi didefinisikan sebagai waktu yang dilewati atau
dihabiskan antara (a) pengembangan awal termasuk gambaran dan definisi
inovasi dan (b) komersialisasi, yakni pengenalan sebuah produk ke pasar
(Mansfield, 1998; Murmann, 1994; Vesey, 1991). Definisi yang hampir sama
dikemukakan oleh Kessler & Cakrabarti (1996), bahwa kecepatan inovasi adalah
waktu yang dilewati atau dihabiskan antara ditemukannya suatu ide yang bentuk
inovasi dan pengenalan produk baik barang maupun jasa yang diluncurkan ke
pasar. Bahkan, kecepatan inovasi adalah waktu yang dihabiskan untuk
menuangkan ide-ide yang sudah ada kedalam sebuah produk sampai ke pasar.
81
81
Menurut Brown & Eisenhardt (1995), ada dua aliran bidang kajian
kecepatan inovasi yang saling terkait, yaitu tradisi yang berorientasi ekonomi dan
tradisi yang berorientasi organisasi. Tradisi yang berorientasi ekonomi digunakan
untuk menguji isu-isu makro seperti pola difusi si suatu negara dan industri serta
perbedaan antar sektor dalam kecenderungan berinovasi (Dosi, 1998;Nelson &
Winter, 1997). Tradisi yang berorientasi organisasi digunakan untuk menguji isu-
isu mikro seperti pengaruh struktur, proses, dan manusia terhadap
pengembangan produk (Cooper & Kleinschmidt, 1987;Demapour, 1991). Pada
aliran pertama, kecepatan inovasi merujuk pada tingkat dimana inovasi
didifusikan kepada seluruh populasi organisasi (Rogers, 1983), sedangkan pada
aliran kedua kecepatan inovasi merujuk pada tingkat dimana suatu produk
ditransformasikan dari ide entitas yang dapat dipasarkan (Stalk & Hout, 1990).
Penelitian ini lebih cocok dengan aliran kedua, karena analisis dilakukan
terhadap kecepatan inovasi yang pada industri kerajinan rotan.
Pada konteks mikro, terdapat beberapa tingkatan analisis kecepatan
inovasi (Kessler & Chakrabati, 1996) mengkategorikan analisis tingkat mikro
kedalam dua jenis sebagai berikut ini ; Pertama, analisis intraorganisasi dapat
dikategorikan menjadi tiga tingkat, yaitu organisasi, proyek, dan individu. Tingkat
organisasi menganalisis kebijakan umum yang dapat diadopsi organisasi untuk
mengikuti pendekatan berbasis kecepatan secara keseluruhan. Kedua, Tingkat
proyek membahas tindakan dan pendekatan proses spesifik yang dapat atau
lebih dilaksanakan untuk mempercepat pengembangan suatu proyek dari konsep
sampai ke pasar. Sementara tingkat individu membahas preferensi dan persepsi
yang dapat mempengaruhi kecepatan pengembangan produk atau proses.
Literatur tentang kecepatan inovasi mengklasifikasikan tipe analisis mulai dari
82
82
kajian konsep literatur sampai dengan pengalaman personal, survei yang
berbasis luas, analisis studi kasus atau contoh ilustrasi spesifik, dan pengujian
hipotesis yang sistematis. Pendekatan kajian konsep literatur pada dasarnya
berargumentasi dari tulisan orang lain, sebagian besar para ilmuwan.
Pengalaman individu pada pokoknya berargumentasi dari latar belakang
profesional mereka. Kemudian, survei secara luas berargumentasi tentang
pendapat atau persepsi sampel yang memberi respon secara umum.
Selanjutnya, studi kasus sistematis berargumentasi dari studi lapangan yang
lebih terkontrol dan umumnya lebih valid.
Kecepatan inovasi didefinisikan oleh beberapa peneliti sebagai
kemampuan untuk mengembangkan dan meluncurkan produk baru yang inovatif
yang lebih cepat dari pesaing atau sebelum merupakan faktor kunci untuk
mendapatkan keuntungan first-mover (Lieberman & Montgomery 1988),
mencapai kesuksesan produk (Griffin & Hauser 1992), merebut pasar (Clark
1989) memperpanjang siklus hidup (Ali Krapfel & LaBahn 1995). Tingkat dan tipe
kecepatan inovasi sebagaimana di ungkapkan oleh Kessler & Chakrabati (1996)
membawa konsekuensi pada penggunaan istilah maupun pengukuran kecepatan
inovasi terdapat perbedaan disebabkan selisih waktu antara penciptaan ide dan
pengenalan produk yang mengandung ide tersebut tepat waktu sesuai dengan
direncanakan, dibandingkan dengan waktu yang telah dihabiskan antara
penganggaran dan perencanaan atau dibandingkan antara waktu yang
dihabiskan proyek X dengan proyek Y.
83
83
2.2.6. Definisi dan Pengukuran Kinerja Perusahaan
2.2.6.1. Definisi Kinerja Perusahaan
Definisi kinerja disebut juga sebagai prestasi kerja atau dalam bahasa
inggris disebut dengan performance. Kinerja organisasi dimaksudkan sebagai
tingkat capaian (prestasi) dari organisasi dalam melakukan aktivitasnya dalam
periode tertentu (biasanya dalam satu tahun). Kinerja adalah merupakan
cerminan, apakah organisasi atau perusahaan telah berhasil atau belum dalam
usaha bisnisnya. Ada beberapa tolok ukur untuk dapat menilai kinerja
perusahaan, tetapi pada dasarnya digolongkan menjadi dua jenis, yaitu subjektif
dan objektif. Ukuran objektif biasanya berkaitan dengan profitabilitas dari hasil
penjualan produknya dan indikator subjektif profitabilitas ditentukan oleh persepsi
manajer terhadap profitabilitas kegiatan perusahaan (Zeller, Stanko dan Cleverly
dalam Wasis Budiarto dan Ristrin, 2004). Jauch dan Glueck (1999) menyebutkan
bahwa kinerja dapat dilihat dari dua aspek yaitu kualitatif dan kuantitatif.
Kinerja merupakan konsep penting dalam penelitian manajemen. Manajer
dinilai berdasarkan kinera perusahaan mereka. Kinerja yang baik mempengaruhi
kelanjutan perusahaan. Porter (1980) mendefinisikan kinerja yang baik sebagai
diatas tingkat laju pendapatan berkelanjutan selama beberapa tahun. Sebagian
besar penelitian tentang pengukuran kinerja berasal dari teori organisasi dan
manajemen strategi (Murphy at al., 1996). Venkatraman & Ramanujan (1986)
telah menunjukkan bahwa kinerja perusahaan adalah kontrak multidimensi. Para
ahli strategi memandang kinerja organisasi sebagai tiga konstruk berurutan yang
lebih luas. Perspektif yang lebih sempit dari kinerja organisasi adalah kinerja
keuangan (Financial performance), kedua yang merupakan perspektif yang lebih
luas dari kinerja organisasi adalah kinerja usaha (Business Performance) meliputi
84
84
kinerja operasional dan kinerja keuangan, dan yang ketiga yang paling luas dari
pandangan tentang kinerja organisasi adalah efektivitas (effectiveness). Ketiga
jenis kinerja ini dijelaskan sebagai berikut:
1). Kinerja Keuangan (Financial performance)
Kinerja keuangan merupakan inti domain efektivitas organisasi. Ukuran
kinerja tersebut dianggap perlu, tetapi tidak cukup untuk menentukan efektivitas
secara keseluruhan (Murphy et al., 1996). Ukuran standard berbasis akuntasi
seperti return on aset (ROA), return on sales (ROS) dan return on equity (ROE)
mengukur keberhasilan keuangan (Parker, 2000). Indikator-indikator ini benar-
benar menekankan pada profitabilitas saat ini.
2). Kinerja usaha (Business performance)
Kinerja usaha pada hakikatnya merupakan prestasi yang dicapai oleh
suatu organisasi bisnis yang dapat dilihat dari hasil kinerjanya. Hasil kinerja ini
kurang tepat apabila hanya dilihat dari satu dimensi. Para peneliti menyepakati
bahwa pengukuran kinerja usaha/perusahaan tidak hanya cukup menggunakan
ukuran tunggal (Jaworski & Kohli, 1993). Terdapat beberapa pendekatan dalam
mengukur kinerja perusahaan. Ukuran keberhasilan organisasi mencakup
profitabilitas, pertumbuhan penjualan, dan market share (Jacobson, 1987).
Konsep kinerja pada dasarnya merupakan perubahan atau pergeseran
paradigma dari konsep produktivitas. Pada awalnya, orang sering kali
menggunakan istilah produktivitas yang menyatakan kemampuan seseorang
atau organisasi dalam mencapai tujuan atas sasaran tertantu. Paradigma
produktivitas yang baru merupakan paradigma kinerja secara aktual yang
menuntut pengukuran secara aktual keseluruhan kinerja organisasi, tidak hanya
pada efisiensi atau dimensi fisik tetapi juga dimensi non fisik (intangible).
85
85
Kurniawan (2005) menyatakan bahwa kinerja merupakan penilaian atas
kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau operasi organisasi.
Simmamora (2004) menyatakan bahwa kinerja adalah pencapaian tingkat kerja
seseorang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kinerja dipengaruhi oleh
faktor-faktor: 1) Faktor individual (kemampuan dan faktor demografi); 2) Faktor
psikologis (sikap, motivasi, persepsi personality, pembelajaran); 3) Faktor
organisasi (sumber daya , Kepemimpinan, penghargaan, struktur, job design).
Terkait dengan konsep kinerja, Rummler dan Barch (1995)
mengemukakan bahwa ada tiga level kinerja yaitu:
1. Kinerja organisasi, merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level
atau unit analisis organisasi.
2. Kinerja proses, merupakan kinerja pada proses tahapan dalam
menghasilkan produk atau layanan.
3. Kinerja individu, merupakan pencapaian efektivitas pada tingkat pegawai
atau pekerjaan.
Kinerja merupakan tingkat pencapaian atas pelaksanaan pekerjaan atau
tugas tertentu. Kinerja organisasi merupakan akumulasi kinerja semua unit-unit
organisasi (penjumlahan kinerja semua orang) (Eddy Soeryanto, 2010) dalam
berbagai literatur, pengertian tentang kinerja sangat beragam, akan tetapi dari
berbagai perbedaan dapat dikategorikan dalam garis yaitu:
1. Kinerja merujuk pengertian sebagai hasil. Bernadin (2003) menyatakan
bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas
fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode tertentu.
Pengertian kinerja sebagai hasil juga terkait dengan produktivitas dan
efektivitas (Williams Richard, 2002).
86
86
2. Kinerja merujuk pengertian sebagai perilaku. Terkait dengan kinerja
sebagai perilaku, William Richard (2002) menyatakan bahwa kinerja
merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi
dan unit organisasi tempat orang pekerja.
Secara umum, kinerja didefinisikan sebagai tingkat keberhasilan di dalam
suatu pekerjaan baik dari perorangan, kelompok, maupun organisasi /
perusahaan. Wheelen dan David Hunger (2004) mendefinisikan kinerja sebagai
hasil akhir dari aktivitas dimana seleksi ukuran-ukuran untuk penaksiran kinerja
tergantung kepada unit organisasi yang dinilai dan tujuan-tujuan yang dicapai.
Tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam formulasi strategi
sebagai bagian dari proses manajemen strategis (berhubungan dengan
keuntungan, audit pemasaran, dan pengurangan biaya) harus digunakan untuk
mengukur kinerja perusahaan pada saat strategi tersebut diimplementasikan.
Bennett Silalahi (2004), kinerja adalah ungkapan intervensi kecakapan,
kemahiran, dan keahlian dalam rangka peningkatan produktivitas yang dapat
diukur dan dinilai. Intervensi ini ditujukan untuk meningkatkan kecakapan,
kemahiran dan keahlian seseorang. Kinerja dapat pula digunakan untuk menilai
suatu organisasi atau perusahaan atau unit dan divisi dalam perusahaan. Hadari
Nawawi (2001) menggunakan istilah kinerja dengan sebutan karya. Istilah karya
dimaksudkan sebagai hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat
fisik/material maupun non fisik/non material. Setiap pekerja dalam melaksanakan
tugas-tugasnya sebagaimana terdapat dalam deskripsi pekerjaan / jabatan, perlu
dinilai hasil setelah tenggang waktu tertentu.
Tsang, et al. (1999) menjelaskan bahwa kinerja dapat diukur melalui
kinerja keuangan, kepuasan pelanggan, proses internal dan pembelajaran serta
87
87
pertumbuhan. Studi yang dilakukan oleh Bititci, et al. (2000) menjelaskan bahwa
suatu bisnis dapat diukur dari; tingkat penjualan, biaya penjualan, aset yang
dimiliki, c'rtra merek dan aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan. Chong (2008)
menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam
mengukur kinerja perusahaan, yaitu pengukuran secara subjektif dan objektif.
pengukuran kinerja yang didasarkan pada pendekatan subjektif didasarkan pada
pendapat tau perkiraan yang diberikan oleh responden dengan meminta
pendapat tentang penilaian.
Berdasarkan sintesa teori dan hasil penelitian pada tabel 2.7 berikut dapat
disimpulkan bahwa kinerja usaha adalah merupakan hasil kerja yang dicapai
oleh seseorang, menurut ukuran atau target yang telah ditetapkan dan berlaku
untuk pekerjaan tertentu dalam suatu organisasi. Kinerja merupakan alat yang
dibutuhkan oleh organisasi, manajer, dan karyawan untuk mencapai sukses.
Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong kinerja
sumber daya manusia secara keseluruhan, yang direkflesikan dalam kenaikan
produktifitas.
Tabel 2.7 Teori dan Hasil Penelitian Sebelumnya Terkait dengan Kinerja Perusahaan
Topik Penemu/Peneliti Teori/Temuan
Kinerja Perusahaan
Murphy, G. B., Trailer, J. W., & Hill, R. C. (1996).
Teori yang didasarkan penelitian Muphy dkk menemukan tiga dimensi dalam pengukuran variabel kinerja perusahaan yaitu pertumbuhan penjualan, pertumbuhan karyawan, dan pangsa pasar.
Jouch & Glueck (1999)
Mengemukakan bahwa kinerja perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, mengembalikan modal, tingkat turnover dan pangsa pasar yang diraih.
Lee dan Tsang (2001)
Menurunkan kinerja usaha menjadi pertumbuhan penjualan, pertumbuhan keuntungan usaha, pertumbuhan asset perusahaan, dan pertumbuhan pangsa pasar
Gimenez dan Ventura (2003)
Pengukuran kinerja secara absolut mangacu pada pengukuran kemampuan didalam perusahaan dengan tidak mempertimbangkan
kinerja pesaing tetapi dengan melakukan
88
88
pengukuran kemampuan perusahaan dalam costs, stock-outs, and lead-time reductions.
Li et.al (2009) Kinerja bisnis diukur dengan indikator efisiensi,
growth, dan profit.
Suci (2009) Pengukuran kinerja bisnis pada UKM border menggunakan pertumbuhan penjualan, pertumbuhan asset dan profitabilitas.
Yao-Sheng Liao (2011)
Perusahaan menekankan strategi personalisasi, penggunaan kontrol perilaku akan meningkatkan kinerja perusahaan.
C López-N, ÁL Meroño-Cerdán (2011)
Variabel kinerja perusahaan yang diuji memiliki tiga item dimensi yaitu kinerja keuangan, proses, dan internal kinerja.
A.T. Karabulut (2015)
Pengaruh Strategi Inovasi terhadap Kinerja Perusahaan Suatu Studi Dilakukan di Perusahaan Manufaktur di Turki. Penelitian ini menggunakan pendekatan Balanced Scorecard untuk Kinerja Perusahaan dengan dimensi yang diukur yaitu kinerja keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran
2.2.6.2. Pengukuran Kinerja Perusahaan
Delaney dan Huselid (1996) dalam Harel dan Tzafrir (1999)
mengemukakan bahwa kinerja dapat diukur dari persepsi yang dimiliki oleh
sebuah organisasi dihubungkan dengan pesaingnya yang meliputi beberapa
aspek, seperti: kualitas produk atau jasa, pengembangan produk baru, kepuasan
pelanggan, harga produk, peningkatan penjualan, profitabilitas dan seterusnya.
Kinerja organisasi di sini diukur dengan melihat dari kinerja pemasaran (market
performance) dan dari sumber daya manusianya (human resource performance).
Agarwal et al (2003) mengukur kinerja perusahaan dengan dua dimensi
konstruk, yaitu kinerja objektif dan kinerja subjektif. Kinerja objektif berkaitan
dengan kinerja keuangan atau kinerja berdasarkan pemasaran seperti tingkat
penjualan, profitabilitas, dan pangsa pasar. Kinerja subjektif berkaitan dengan
pengukuran terhadap pelanggan dan karyawan, seperti kualitas pelayanan,
kepuasan konsumen dan kepuasan kerja karyawan. Murphy et al. (1996) meneliti
51 buah studi kajian yang telah dipublikasikan (1987-1993) dengan kinerja
Tabel 2.7 Lanjutan
Sumber : Hasil kajian teori dan penelitian sebelumnya, 2017
89
89
sebagai variabel dependen. Tabel 2.3 menunjukkan bahwa efficiency, growth,
profit dan firm size adalah empat dari dimensi paling umum dari kinerja yang
diukur. Masing-masing dari dimensi ini, antara dua dan empat ukuran spesifik
adalah yang paling banyak digunakan.
Tabel 2.8
Studies of SME Business Performance (1987-1993)
Dimension
Measure Frequency
Ratio
ROI 13
ROE 9
ROA 9
Return on Net Worth 6
Growth Change in sales 23
Change in employees 5
Dimension
Measure Frequency
Profit
Return on sales 11
Net profit margin 8 Gross profit margin 7
Size Sales level 13
Cash flow level 6
Number of employees 5
Sumber: Murphy et al. (1996)
Beberapa peneliti yang mengukur kinerja usaha pada usaha kecil dengan
indjkator-indikator pertumbuhan seperti pertumbuhan penjualan, pertumbuhan
keuntungan dan pertumbuhan aset antara lain adalah Lee & Tsang (2001);
Ferreira & Azevedo (2007), Sangen (2005), dan Suci (2009).
Ukuran kinerja parameter performance adalah suatu ukuran yang dibuat
untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja fungsi, pekerjaan maupun
kinerja industri secara umum. Dengan perkataan lain, ukuran kinerja pada UKM
dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh suatu fungsi atau bagian tertentu dari
industrinya dan orang-orang atau tenaga kerja yang bekerja di dalamnya
90
90
mencapai tujuan, baik tujuan umum maupun tujuan khusus, yang ditugaskan
kepada mereka. Ukuran tersebut dinamakan ukuran kinerja dan dapat
dinyatakan secara kuantitatif atau secara kualitatif (indrajit & Djokopranto, 2005).
Lebih lanjut pengukuran kinerja industri didefinisikan sebagai kemampuan
perusahaan untuk membuat standar yang diinginkan oleh pelanggan mereka. Hal
ini dilakukan dengan mempertimbangkan biaya produksi dan pemeliharaan yang
rendah, peningkatan kualitas produk, mengurangi persediaan barang dalam
proses, pengurangan atas biaya penanganan material dan batas waktu
penyerahan (Tracey dan Vonderembse, 2004).
Beberapa contoh ukuran kinerja perusahan subjektif telah banyak
dilakukan oleh peneliti lain, misalnya kinerja secara keseluruhan dirasakan relatif
terhadap pesaing (Kohli dan Jaworski, 1993), hasil aktiva (Narver dan Slater,
1990), laba atas investasi (Harris, 2001), kesuksesan produk baru (Pelham
dan Wilson, 1996; Frambach, et a/., 2003) dan kinerja untuk program produk
baru (Atuahene Gima, et ai, 2005), profitabilitas (Pelham dan Wilson, 1996;
Narver dan Slater, 1990), serta kinerja keuangan, meliputi pertumbuhan
penjualan, profitabilitas, yang diperoleh dari rasio Return On Investment, Return
On Sales dan Return On Equity (Venkatraman dan Ramanujam, 1996).
Ukuran kinerja di era sekarang bukan hanya dari sesi keuangan, tetapi
kinerja itu ada juga dari sesi non keuangan., sebaliknya dikombinasikan antara
keuangan dan non keuangan (Hudson, 2001; Maltz, A., Shenhar, A., & Reilly, R.
(2003); Chong 2008; Combs et al (2011),
2.2.7. Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Usaha Kecil dan Menengah (small and micro-sized enterprises /SMEs).
Dari studi literatur, Mintzberg (1973) menjelaskan usaha kecil dengan struktur
91
91
organisasi yang sederhana. Dalam penjelasannya, Mintzberg (1973)
mengemukakan sebagai berikut:
"The simple structure is characterized, above all, by what is not-elaborated. Typically, it has little or no techno structure (e.g. planning and control personnel), few support staffers, and minimal differentiation among its units. Coordination is effected largely by direct supervision".
Sedangkan Miller (1983) menjelaskan usaha kecil hanya beroperasi pada
lingkungan yang homogen dan secara umum mereka hanya dijalankan oleh
pemilik atau manajer. Usaha kecil merupakan setiap jenis usaha yang dimiliki
dan dioperasikan secara independen, tidak bersifat dominan di pasar serta tidak
teriibat dalam aktivitas pemasaran yang baru atau praktek-praktek yang bersifat
inovatif Banyak perusahaan yang dijalankan sebagai bisnis keluarga (Melin dan
Nordqvist, 2007), dan dengan demikian, perusahaan berdiri akan terpengaruh
bagaimana keluarga mempengaruhi bisnis dan ukuran perusahaan (yaitu,
perusahaan memiliki kurang dari 250 karyawan dan omset kurang dari 50 juta
euro, atau, sebagai alternatif kriteria omset, total aset membawa nilai di bawah €
43.000.000; Komisi Eropa, 2009). Pada saat yang sama, perusahaan milik
keluarga didukung nilai-nilai tertentu , dan nilai-nilai dapat mempengaruhi
kecenderungan untuk membuat perubahan penting (Habbershon, Nordqvist, dan
Zellweger, 2010).
The Bolton Committee (1971), mendefinisikan UKM dengan berdasarkan
pada perspektif "ekonomi" dan "statistik". Berdasarkan perspektif "ekonomi",
suatu perusahaan dikategorikan sebagai usaha kecil menengah jika memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Secara relatif memiliki pasar yang kecil dibandingkan dengan pangsa
pasar yang dimiliki.
92
92
b. Dikelola oleh pemilik secara pribadi dan tidak melalui struktur
manajemen formal.
c. Usaha kecil menengah bersifat independen, dalam artian tidak
membentuk bagian dengan perusahaan besar.
Berdasarkan definisi "statistik", The Bolton Committee memberikan
kriteria perusahaan kecil sebagai berikut:
a. Ukuran, kontribusi yang diberikan oleh perusahaan terhadap GDP,
tenaga kerja dan sebagainya relatif kecil.
b. kontribusi yang diberikan oleh perusahaan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu.
c. Dalam mengaplikasikan definisi usaha kecil menengah secara statistik,
perbandingan lintas negara yang berdampak pada kontribusi ekonomi
relatif kecil.
Sedangkan klasifikasi UKM untuk negara yang sedang berkembang
adalah sebagai berikut:
a. Perusahaan besar dengan jumlah karyawan minimal sebesar 100
orang atau lebih.
b. Perusahaan menengah dengan jumlah karyawan antara 20-99.
c. Perusahaan kecil dengan jumlah karyawan antara 5-19 orang.
d. Usaha mikro dengan jumlah karyawan maksimal sebesar 5 orang
Dari beberapa pendapat tersebut diatas cukup jelas bahwa tidak ada
definisi umum yang diberikan oleh para penulis mengenai UKM dan variasi ini
juga berlaku bagi industri yang berada di setiap negara. Di Indonesia, usaha
keen menengah adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan
berbagai kriteria yang dikeluarkan Departemen Perindustrian, Departemen
93
93
Koperasi dan Lembaga Perbankan. Beberapa ciri dari UKM dikemukakan oleh
Afiah (2009) sebagai berikut:
a. Manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang
tegas antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah
sekaligus sebagai pengelola dalam UKM.
b. Modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik
modal.
c. Daerah operasinya umumnya lokal, meskipun terdapat juga UKM yang
memiliki orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra
perdagangan.
d. Ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan dan
sarana prasarana relatif kecil.
Kementerian Koperasi dan UKM mendefinisikan UKM adalah: Usaha kecil
termasuk usaha mikro merupakan suatu badan usaha milik warga negara
Indonesia, baik perseorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan
bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan sebanyak-banyaknya Rp.200 Juta
atau mempunyai hasil penjualan rata-rata per tahun Rp.1 Miliar (UU No.9 tahun
1975) dan usaha tersebut berdiri sendiri. Usaha kecil adalah perusahaan (baik
yang berbadan hukum atau tidak) yang mempunyai tenaga kerja 5-9 orang
termasuk pemilik usaha atau pengusaha Usaha. menengah adalah badan usaha
milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp.
200 Juta - Rp. 10 Miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha..
Pada tanggal 4 Juli 2008 telah ditetapkan Undang-undang No. 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Definisi UKM yang
disampaikan oleh Undang-undang ini juga berbeda dengan definisi di atas.
94
94
Menurut UU No 20 Tahun 2008 ini (Bab (V pasal 6) yang disebut dengan usaha
mikro, kecil dan menengah adalah sebagai berikut:
1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah).
3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Departemen Perindustrian menetapkan bahwa industri kecil dan
menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp. 5
milyar. Sementara ituf usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga
dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp. 200 juta
95
95
dan omzet per tahun kurang dari Rp. 1 miliar (sesuai UU No. 9 tahun 1995).
Selanjutnya dijelaskan bahwa UKM tidak hanya memiliki kekuatan dalam
ekonomi, tetapi juga memiliki kelemahan. Berikut ini disajikan beberapa
kelebihan dan kelemahan dari UKM:
Tabel 2 .10 Kekuatan dan Kelemahan UKM
Kekuatan Kelemahan
Kebebasan untuk bertindak
Menyesuaikan kepada kebutuhan
setempat
Relatif lemah dalam spesialisasi
Modal dalam pengembangan
terbatas
Sulit untuk mendapat karyawan
yang cakap
2.2.8. Integrasi teori yang digunakan dalam penelitian
Penelitian ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, jika bersifat rasional atau
logis dan berlandaskan pada pengetahuan ilmiah (bisa berupa konsep atau
teori). Teori yang dibangun dalam penelitian ini menjadi sebuah konsep yang
memiliki hubungan yang berlandaskan dari teori utama (Grand Theory). Grand
theory yang digunakan di penelitian ini adalah Resources Based View (RBV)
merupakan suatu perspektif organisasi dalam bidang stratejik yang
mengfokuskan pada tingkat sumber daya organisasi, berupaya memiliki
sumberdaya yang menonjol dan memaksimalkan keseluruhan sumberdaya yang
dimiliki organisasi dibandingkan dengan pesaing. Teori RBV memandang
perusahaan sebagai kumpulan sumber daya dan kemampuan (Penrose 1959;
Wernerfelt, 1984). Perbedaan sumber daya unik dan kemampuan perusahaan
dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan kompetitif (Peteraf,
1993). Sumber daya unik merupakan keuntungan organisasi dalam memperoleh
keunggulan bersaing dan juga akan menjadi sumber keuntungan kompetitif
organisasi (Peace & Robinson, 2011).
96
96
Menurut Barney, (1991), pandangan teori berbasis sumber daya
(resource-based theory-RBT) perusahaan menyatakan bahwa perusahaan
mencapai keunggulan komparatif yang berkelanjutan dan memperoleh
keuntungan yang lebih besar dengan memiliki atau mengontrol aset-aset
strategis baik tangible assets (aset berwujud) maupun intangible assets (aset
tidak berwujud). Kelangsungan hidup perusahaan dan kinerja perusahaan bukan
hanya dihasilkan oleh aktiva perusahaan yang bersifat nyata (tangible assets)
tetapi hal yang lebih penting adalah adanya intangible assets yang berupa
sumber daya manusia (SDM) yang mengatur dan mendayagunakan aktiva
perusahaan yang ada. Bontis (1998), menyatakan seiring perkembangan new
economy pengetahuan intangible assets berkembang seiring teknologi infomasi
dan pengetahuan Intellectual capital (IC) secara sederhana dapat diartikan
sebagai modal yang berbasis pengetahuan yang dimiliki perusahaan, yang mana
IC merupakan bagian dari intangible assets tidak hanya yang bersifat tradisional
saja (seperti brand names, dan trademark), tetapi juga bentuk intangible yang
baru (seperti knowledge, technology value, dan good customer relationship).
Modal intelektual merupakan sebagian dari sumber daya yang merupakan asset
tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki oleh perusahaan. perusahan
dalam hal ini memiliki pertimbangan lain bukan hanya intellectual capital sebagai
input yang mempengaruhi secara langsung terhadap kinerja perusahaan yang
menjadikan output, sesungguhnya ada instrumen lain yaitu inovasi (Wang, 2012;
Ngah Rohana, (2009).
Secara luas bahwa kemampuan organisasi berinovasi dengan cepat
memiliki kaitannya dengan modal intelektual dalam memanfaatkan sumber
pengetahuannya. Beberapa penelitian telah menggaris bawahi terciptanya
97
97
produk baru yang bersumber dari pengetahuan organisasi yaitu modal intelektual
(Stewart, 1997) yang dapat meningkatkan kinerja yang baik dihasilkan, hal ini
diperkuat oleh Madhavan & Grover (1998) inovasi sebagai proses pengelolaan
pengetahuan menjadi hasil (Madhavan &Grover 1998) dan mencirikan
perusahaan yang inovatif sebagai sumber pengetahuan (Nonaka & Takeuchi
1995) yang dapat digambarkan bahwa begitu dekatnya hubungan antara modal
intelektual dan inovasi. Sebenarnya bahwa dalam beberapa tahun terakhir para
ilmuwan telah melihat beberapa penelitian yang ada. Secara umum penelitian
yang meneliti inovasi berkaitan dengan modal intelektual sebagai anteseden
diteliti oleh Ngah Rohana, (2009) menemukan bawah kinerja perusahan akan
tinggi, apabila modal intelektual sebagai input semakin baik dalam
pengembangan pengetahuan yang dapat terciptanya inovasi yang baik, sehingga
semakin tinggi kinerja perusahaan dihasilkan dan penelitian lain yang menyelidiki
bahwa modal intelektual sering menggunakan inovasi sebagai hasil (Ahuja, et.al.,
2000; Dougherty 1992; Tsai & Ghoshal 1998). Subramaniam & Venkatraman
(2001) teori inovasi perlu di dikembangkan lagi dalam penelitian lain yang bukan
hanya berfokus pada inovasi produk dan proses saja, melainkan perlukan di
modifikasikan lagi dengan lebih memperhatikan dan menyesuaikan live cycle
product. Schumpeter (1999) setiap produk memiliki gelombang masa untuk
bertahan di pasar, sehingga dibutuhkan waktu lebih cepat dari pesaing dalam
menciptakan, memperkenalkan, dan masuk ke pasar lebih cepat (Kessler,
(1996); Alloca & Kessler, (2006) menunjukkan bahwa kecepatan inovasi muncul
sebagai solusi mengatasi siklus hidup produk.
98
98
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Penelitian secara umum dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu
positivism dan post positivism (Creswell, 1994; Guba and Lincoln, 1994;Myers,
2009). Kedua kelompok paradigma tersebut memiliki pola dan pendekatan yang
berbeda dalam mengungkapkan suatu kebenaran ilmiah.
Penelitian dengan paradigma positivism diarahkan untuk menguji teori
dengan seperangkat hipotesis yang didesain oleh peneliti, melalui pengujian
hubungan antar variabel pengukur realitas lapangan. Berbeda dengan
paradigma positivism, paradigma post positivism bersumber dari realisme,
beranjak dari fenomena yang digalaukan (Salladien, 2004, Riyadi, 2012)
misalnya adanya rasa kekaguman pada sesuatu, ketimpangan atau adanya rasa
kebanggaan yang nantinya digunakan sebagai fokus penelitian.
Dalam konteks kepentingan, terdapat perbedaan peran teori dalam
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, fungsi teori
berperan sebagai landasan penelitian yang sangat penting dan terus
membayangi penelitian hingga akhir, sementara dalam penelitian kualitatif,
peneliti justru harus membebaskan diri dari “tawanan” suatu teori. (Kuswarno,
1999)
Dalam penelitian kuantitatif, teori dikembangkan dengan diciptakan
desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan
menganalisis data agar dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan
tujuan penelitian itu. Dengan adanya desain penelitian akan memberikan
99
99
pegangan yang jelas kepada peneliti dalam melakukan penelitiannya. (Creswell,
2010).
Berdasarkan pemahaman diatas, maka penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah positivism, yang didasarkan pada adanya isu kesenjangan
penelitian dari beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian ini mengisi gap
tersebut dengan menguji dan mengembangkan model. Dengan demikian model,
desain atau kerangka konseptual penelitian ini disusun dengan adanya
penjelasan setiap variabel masing-masing memiliki kedudukan sebagai variabel
eksogen/bebas, variabel endogen-mediasi, dan variabel endogen/terikat.
Berdasarkan studi teoritis dan empiris akan dapat diketahui banyak hipotesis
yang dapat disusun, bagaimana kedudukan masing-masing variabel dalam
hipotesis dan bagaimana hubungan variabel.
Setiap variabel yang ada pada konseptual model ini mewujudkan tujuan
hendak dicapai sebagaimana pada rumusan masalah telah diuraikan pada bab I,
maka pengujian akan di lakukan dengan menganalisis isu kesenjangan, dan
realita yang mempunyai hubungan dengan teori (Ferdinand, 2015). Penelitian ini
akan melakukan pengujian pada variabel intellectual capital, fleksibilitas strategi,
kecepatan inovasi, dan kinerja perusahaan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya masih terdapat perdebatan dan
perbedaan pandangan antara hasil intellectual capital, kinerja perusahaan (Wang
et al., 2014; Sharabati et al., 2010; Ling ,2011; Shih et al., 2010, Campbell et al.,
2012, Subramaniam abd Youndt, 2005; Yang and Lin 2009).
Menurut pandangan knowledge based view (KBV) yang berakar dan
berkembang dari resource based view (RBV) yang merupakan toeri dasar, IC
dan KM adalah dua aliran penting dalam penelitian yang membahas sumber
100
100
keunggulan kompetitif (competitive advantage) organisasi (Ricceri 2008; Hsu dan
Sabherwal 2012; Grant 1996; Simon 1965; Cyert and March 1963; Levitt and
March 1988; Huber (1991).
Pentingnya IC untuk bisnis modern telah banyak diteliti dan literatur sudah
cukup banyak. Namun hanya sejumlah kecil penelitian yang terbukti signifikan
dengan hubungan antara modal intelektual dan kinerja perusahaan. Sementara
penelitian lain berpendapat bahwa hanya beberapa (tidak semua) komponen IC
yang dikaitkan secara positif dengan kinerja perusahaan (Ling 2011; Shih et al.,
2010). Penelitian yang lainnya punya pandangan lain IC paling penting dan
berharga untuk perusahaan (Campbell et al., 2012; Subramaniam dan Youndt
2005; Sharabati et al., 2010; Yang dan Lin 2009).
intellectual capital merupakan sumber daya yang terukur untuk
peningkatan competitive advantage, maka intangible asset/intellectual capital
akan memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan (Harrison
dan Sullivan, 2000 & Chen et al., 2005). Kemudian konsep dari David (2010:24)
mengungkapkan bahwa keuntungan keuangan pada bisnis yang menggunakan
berbagai konsep manajemen strategis menunjukkan perbaikan yang signifikan
dalam kinerja keuangan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang
tanpa aktivitas perencanaan strategis yang sistematis.
Secara luas bahwa kemampuan organisasi berinovasi dengan cepat
sangat terkait dengan modal intelektualnya atau kemampuannya untuk
memanfaatkan sumber pengetahuannya. Beberapa penelitian telah menggaris
bawahi bagaimana caranya produk baru mewujudkan pengetahuan organisasi
(Stewart 1997) menggambarkan inovasi sebagai proses pengelolaan
pengetahuan (Madhavan &Grover 1998) dan mencirikan perusahaan yang
101
101
inovatif sebagai pembuatan pengetahuan (Nonaka & Takeuchi 1995). Begitu
dekatnya hubungan antara penelitian pada pengetahuan dan penelitian tentang
inovasi. Sebenarnya bahwa dalam beberapa tahun terakhir para ilmuwan telah
melihat beberapa penelitian yang ada. Sekarang secara umum untuk penelitian
yang meneliti inovasi untuk menggunakan pengetahuan atau modal intelektual
sebagai anteseden dan penelitian yang menyelidiki pengetahuan dan modal
intelektual sering menggunakan inovasi sebagai hasil (Ahuja 2000; Dougherty
1992; Subramaniam & Venkatraman 2001; Tsai & Ghoshal 1998).
Beberapa riset juga menemukan hasil bahwa inovasi akan mempunyai
pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Inovasi sendiri terbagi menjadi inovasi
produk, inovasi proses (Demanpour, 2001), inovasi manajerial, dan inovasi
teknikal (Sumiyarto, 2004), sedangkan menurut . Subramaniam, M. and Youndt,
M.A. (2005) inovasi terdiri dari kemampuan inovatif Incremental, dan kemampuan
inovatif radikal. Hasil penelitia Suaedi (2003) menghasilkan temuan bahwa
inovasi organisasi berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Hasil temuan ini
mendukung penelitian adanya hubungan antara inovasi dan kinerja yang
dilakukan oleh Schemerhom (1996), Leng dan Hall (1997), Hing (1997) dalam
Suaedi (2003), Rofiaty (2012). Sehingga inovasi terus mengalami perkembangan
teori dan konsep seiring terjadinya dinamika lingkungan yang terus mengalami
perubahan akan berdampak pada siklus hidup produk (product life cycle) menjadi
lebih pendek atau singkat, dimana akan memberi tekanan kepada organisasi
dengan lebih memperhatikan waktu yang digunakan dalam berinovasi lebih dari
pesaing dengan kata lain kecepatan inovasi (Kessler & Cakrabarti, 1996;
Schumpeter , 1999, Allocca, & Kessler,2006).
102
102
Kajian pada UKM yang mengukur kinerja keuangan pada umumnya
dengan menilai perolehan pendapatan dari penjualan (Sales), keuntungan
(Probfitability), pertumbuhan (Growth Sales dan Profit), berdasarkan penelitian
sebelumnya dari Bijmolt & Zwart (1994); Leitner (2001); Aragon Sanchez (2005);
Parera & Baker (2005); Johnsen & Mcmahon (2005); Shoobrige (2006); Wolff &
Pett (2006); Zoysa & Herath (2007); Toyli (2008); Ural (2009); Horibumi &
Tanaka (2010); Comison & Villar-Lopez (2010); Ho & Choy (2010); Sharabati &
Bontis (2010) dan Pierre (2011).
Penelitian UKM dan industri kreatif telah menjadi field yang menarik dari
banyak scholars yang melihat dari berbagi aspek seperti keunikan, daya saing,
kreativitas, inovasi maupun perannya dalam perekonomian yang lebih besar,
Berbagai temuan pada peneliti nampaknya sangat bervariatif dan imaginatif
dalam menjelaskan key factor keberhasilan UKM.
Menurut Man et al, (2002) keberhasilan UKM dipengaruhi oleh faktor
kunci yaitu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dari pemilik dan
pekerja. Selanjutnya (Man et al, 2002), mengatakan bahwa faktor kunci yang
mempengaruhi daya saing UKM adalah faktor internal, lingkungan eksternal, dan
pengaruh para pengusaha.
UKM merupakan bisnis modern yang tingkat kreativitas dan inovasi tinggi,
dalam penciptaan suatu produk yang beragam dan unik, sehingga pengelolaan
strategi lebih baik dan agresif dalam memenangkan persaingan dan lebih
memfokuskan orientasi pasar yang akan menjadi leader product. Namun, hanya
sejumlah kecil penelitian yang melakukan penelitian UKM tentang IC, fleksibilitas
strategi dan kinerja perusahaan dengan hasil penelitian yang terbukti signifikan.
103
103
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini mengembangkan model
kerangka konseptual yang akan diuji hipotesis, dan hasilnya dianalisis kedalam
pembahasan. Model konseptual penelitian dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber;
H1. Modal intelektual (X1) Kinerja perusahaan (Y3) = Janosevic, S.,
Dzenopoljac, V. and Bontis, N. (2013), Astuti (2012), Sharabati, A.A.A.,
Jawad, S.N. and Bontis, N. (2010), Shih, C.P., Chen, W.C. and
Morrison, M. (2010), Tan, et al, 2007, Mavridis, D.G. (2004), dan Firer,
S. and Williams, S. (2003).
H2. Fleksibilitas Strategi (X2) Kinerja perusahaan (Y2) = Guo, et al.
(2014); Asikhia (2011), R Rajala (2012); V. Ranjan. N Karri, (2002);
Rajshekhar et al., (2005); Shimizu, K. and Hitt, M.A. (2004); Nadkarni
dan V. K. Narayanan (2007); Fan et al., (2013) dan Sanchez (1995).
Modal Intelektual
X1
Kinerja Perusahaan
Y2
Kecepatan Inovasi
Y1
Fleksibilitas Strategi
X2
H1
H2
H3
H4
H5
104
104
H3. Kecepatan Inovasi (Y1) Kinerja perusahaan (Y2) = Rofiaty (2012);
Carbonell,p et al., (2010,2009,& 2006); Allocca et al, (2006) dan Kessler,
E. H., & Chakrabarti, A. K. (1996); Stalk, G. (1993); Starr, M. K., (1992)
H4. Modal intelektual (X1) kecepatan Inovasi (Y1) Kinerja
perusahaan (Y2) = DK Tarus,EK Sitienei (2015), Dumay et al (2013);
Wang, Z.N. and Wang, N.X. (2012); dan Subramaniam, M. and Youndt,
M.A. (2005); Dost. M et al.,(2016); Rohana et al.,(2009).
H5. Fleksibilitas Strategi (X2) kecepatan Inovasi (Y1) Kinerja
perusahaan (Y2) = Guo dan Cao, (2014); R Rajala (2012); Sanchez, R.
(1995); Johnson, J.L., et al., (2003); Hamel, Gary,C.K. Prahalad, dan
Das. T.K. (1995); AJ Bock, (2012).
3.2. Hipotesis Penelitian
Sekaran (2003) menyatakan bahwa hipotesis dapat didefinisikan sebagai
sebuah hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua variabel atau
lebih yang diungkap dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Berdasarkan
pengujian hipotesis dengan adanya penegasan perkiraan hubungan maka yang
menjadi harapannya adalah ditemukannya sebuah solusi untuk mengatasi
permasalahan data.
3.2.1. Pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan
Modal intelektual (Stewart, 1997), merupakan materi intelektual yaitu
pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, pengalaman yang digunakan
untuk menciptakan kesejahteraan. Intellectual capital dioperasionalisasikan
sebagai sumber pengetahuan yang dapat berpengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan. Pengukuran modal intelektual ini mengacu pada dimensi yang
dikemukakan oleh Edvinsson, dan Malone (1997); Bontis (1998), yang terdiri dari
tiga elemen utama yaitu: a) Human capital yang terdiri dari education;
experience, and attitude. Sedangkan dimensi: b) Structural capital, terkait dengan
116
116
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ini adalah deskriptif
explanatory research. Explanatory research merupakan penelitian yang
bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta
hubungannya antara satu variabel dengan variabel yang lain. Penelitian ini
bermaksud untuk menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian
hipotesis serta sekaligus melakukan eksplanasi terhadap variabel yang terdapat
dalam model penelitian. Sesuai tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis,
menguji dan mengkonfirmasi pengaruh intellectual capital, strategic flexibility
dengan kecepatan inovasi sebagai variabel mediasi terhadap kinerja
perusahaan.
. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu
pendekatan yang menekankan pada pengujian teori-teori atau konsep melalui
pengukuran variabel dan prosedur analisis data dengan peralatan statistik untuk
tujuan hipotesis. Pendekatan paradigma positivism akan digunakan dalam
penelitian ini sebagai metode analisis utama yang didukung dengan informasi
kualitatif melalui wawancara mendalam.
4.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sentral usaha kecil menengah (UKM) yang ada
di Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi didasarkan pada kesesuaian
antara permasalahan yang diteliti yaitu modal intelektual, fleksibilitas strategi,
kecepatan inovasi dan kinerja UKM yang menjadi sasaran dalam penelitian ini.
117
117
4.3. Populasi dan sampel
UKM kerajinan di Provinsi Sulawesi tengah berjumlah 236, tetapi dalam
penelitian hanya berfokus pada usaha, kecil, dan menengah (UKM) Kerajinan
Rotan Provinsi Sulawesi Tengah saja. Sehinga pengambilan atau pemilihan
sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sekaran, 2017;70 dan Solimun,
2019;159). Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah usaha, kecil, dan
menengah Kerajinan Rotan sebanyak 70 terdiri dari kota Palu hanya 48 UKM
dan 3 Kabupaten seperti Kabupaten Bual 5 UKM, Kabupaten Toli-Toli 7 UKM
dan Kabupaten Poso 10, maka seluruh populasi dijadikan sampel jenuh dengan
penelitian sensus. Teknik atau metode penarikan sampel menggunakan non
probability sampling dengan jenis teknik penarikan sampling yaitu sampling jenuh
adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan
sebagai sampel (Sugiyono, 2013). Hal ini sering dilakukan bila jumlah
populasinya relatif kecil, kurang dari 30 orang. Respondennya adalah pemilik
perusahaan (owner) atau pengelola perusahaan. Roscoe (1975) yang dikutip
Sekaran (2017:87) memberikan acuan umum untuk menentukan ukuran sampel :
1. Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk
kebanyakan penelitian
2. Jika sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan
sebagainya), ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat
3. Dalam penelitian mutivariate (analisis regresi berganda dan partial least
square), ukuran sampel sebaiknya 10x lebih besar dari jumlah variabel
dalam penelitian
118
118
4. Untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen
yang ketat, penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran
sampel kecil antara 10 sampai dengan 20.
4.4. Teknik Pengukuran Variabel Penelitian
Tipe variabel yang diteliti ada dua yaitu variabel eksogen (bebas) dan
variabel endogen (terikat). Variabel eksogen ada 2 (dua) yaitu modal intelektual
dan Fleksibilitas strategic (X2)., Sedangkan variabel eksogen ada 2 (dua) yaitu
kecepatan inovasi (Y1) dan kinerja perusahaan UKM (Y2). Untuk variabel
kemampuan fleksibilitas strategi, selain sebagai variabel endogen juga menjadi
variabel mediasi () pada model penelitian ini.
Pada tahap analisis data, dilakukan pengukuran pada masing-masing
Variabel penelitian sesuai dengan operasional variabel yang telah dilakukan
pada bab sebelumnya. Adapun teknik pengukuran variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Modal intelektual (X1), menggunakan 3 variabel laten, yaitu human capital
(diukur) melalui 4 item pertanyaan ); srtuctural capital (diukur melalui 4 item
pertanyaan); dan relational capital (diukur melalui 4 item pertanyaan).
Responden diminta untuk menanggapi tiap item pertanyaan yang menuntun
seberapa baik kemampuan kolektif UKM yang berhubungan dengan modal
capital untuk mengekstrasi solusi terbaik dari pengetahuan yang dimiliki
individu dalam perusahaan. Setiap item nilai berdasarkan skala likers
dengan interval penilaian mulai dari skor 1 (Sangat Tidak Setuju–STS), 2 (
Tidak Setuju–TS), 3 (Kurang Setuju), 4 (Netral-N), 5 (Agak Setuju–S), 6
(Setuju) dan 7 (Sangat Setuju–SS). Respon yang mengarah ke nilai tertinggi
119
119
(skor 7) dari tiap indikator/item pertanyaan menunjukkan besarnya
kemampuan kolektif modal intelektual yang dimiliki UKM semakin baik.
2. Fleksibilitas strategi, menggunakan 2 variabel laten, yaitu Proactive
Flexibility (diukur melalui 3 indikator item pertanyaan ); dan Reactive
Flexibility (diukur melalui 4 item pertanyaan). Responden diminta untuk
menanggapi masing – masing pertanyaan seberapa baik penerapan strategi
bersaing di UKM nya. Setiap item nilai berdasarkan skala likers dengan
interval penilaian mulai dari skor 1 (Sangat Tidak Setuju–STS), 2 ( Tidak
Setuju–TS), 3 (Kurang Setuju), 4 (Netral-N), 5 (Agak Setuju–S), 6 (Setuju)
dan 7 (Sangat Setuju–SS). Respon yang mengarah ke nilai tertinggi (skor 7)
dari tiap indikator/item pertanyaan menunjukkan besarnya penerapan
strategi yang dilakukan UKM semakin baik.
3. Kecepatan inovasi (Y1) diukur pada indikator-indikator yang terdiri dari
menjadi inisiator bagi pesaing, meluncurkan produk baru ke pasar lebih
cepat dibandingkan pesaing, pengembangan produk lebih cepat
dibandingkan pesaing, bahan baku lebih berkualitas dibandingkan pesaing,
motif produk lebih baik dibandingkan pesaing, dan melakukan desain produk
sesuai trend pasar. Responden diminta untuk menanggapi masing–masing
pertanyaan seberapa baik perolehan inovasi di UKM mereka. Setiap item
nilai berdasarkan skala likers dengan interval penilaian mulai dari skor 1
(Sangat Tidak Setuju–STS), 2 ( Tidak Setuju–TS), 3 (Kurang Setuju), 4
(Netral-N), 5 (Agak Setuju–S), 6 (Setuju) dan 7 (Sangat Setuju–SS). Respon
yang mengarah ke nilai tertinggi (skor 7) dari tiap indikator/item pertanyaan
menunjukkan besarnya perolehan inovasi yang diterima UKM semakin baik.
120
120
4. Kinerja perusahaan UKM (Y2), menggunakan 3 variabel laten, yaitu
profitability (diukur melalui 2 item pertanyaan); produktivitas (diukur melalui 2
item pertanyaan) dan market share (diukur melalui 2 item pertanyaan).
Responden diminta untuk menanggapi masing–masing pertanyaan seberapa
baik kinerja perusahaan di UKM mereka. Setiap item nilai berdasarkan skala
likers dengan interval penilaian mulai dari skor 1 (Sangat Tidak Setuju–STS),
2 ( Tidak Setuju–TS), 3 (Kurang Setuju), 4 (Netral-N), 5 (Agak Setuju–S), 6
(Setuju) dan 7 (Sangat Setuju–SS). Respon yang mengarah ke nilai tertinggi
(skor 7) dari tiap indikator/item pertanyaan menunjukkan besarnya perolehan
kinerja perusahaan yang diterima UKM semakin baik.
4.5. Pengumpulan Data
4.5.1. Jenis Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan data primer, dimana data primer merupakan data yang diperoleh
langsung melalui angket/kuesioner yang dibagikan dan diisi lengkap oleh
responden dan data primer yang lain adalah teknik wawancara secara langsung
terhadap responden sebagai data pendukung untuk melengkapi hal-hal yang
dibutuhkan dalam penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas
Usaha mikro, kecil, dan menengah, dan Koperasi di Kota Palu dan Provinsi
Sulawesi Tengah seperti jenis usaha, jumlah tenaga kerja, sumber daya, tahun
berdirinya, pendidikan pemilik usaha, dan jumlah aset.
4.5.2. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data primer yang terkumpul melalui kuesioner disampaikan dan
diambil kembali langsung dari responden. Tahapan yang akan dilakukan dalam
analisis data dari responden adalah sebagai berikut:
121
121
a. Mengidentifikasi karakteristik responden seperti jenis kelamin, umur,
pendidikan, lama berdirinya perusahaan, dan bahan baku diperoleh.
b. Menabulasi kuesioner untuk mengetahui frekuensi dan persentase
karakteristik responden. Pada tahap ini juga dilakukan pula tabulasi
jawaban responden untuk menentukan persepsi mereka terhadap item
atau indikator yang digunakan.
c. Mengevaluasi model atau outer model untuk menilai validitas dan
reliabilitas dengan menggunakan software Smart Partial least Square PLS
3.0.
d. Mengevaluasi model struktural atau inner model untuk mengetahui R
Square (R2) dan predictive relevance model (Q2) dengan menggunakan
software Smart Partial least Square PLS 3.0.
e. Menguji hipotesis pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dari
variabel yang dianalisis.
4.6. Uji Instrumen Penelitian
4.6.1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
dan kesalah suatu instrumen. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang
digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dengan
perkataan lain instrumen tersebut dapat mengukur sesuai dengan yang
diharapkan oleh peneliti. Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah validitas konstruk. Pengujian validitas konstruk ini digunakan untuk
menghitung korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan menggunakan
skor total dari konstruk yang diuji validitasnya.
122
122
Pengujian validitas instrumen menggunakan analisis faktor konfirmatori
dengan melihat hasil pengujian validitas konvergen dan validitas diskriminan dari
instrumen pengukuran. Validitas konvergen merupakan bagian dari model
pengukuran yang dalam PLS biasnya disebut outer model. Kriteria pengujian
dikatakan memiliki validitas konvergen dengan nilai factor 0,7 (Hair et.al (2014)
dan nilai p signifikan (<0,05), namun masih bisa diterima nilai loading factor dari
0,5 – 0,7 dianggap cukup valid (Chin, 1998) untuk suatu penelitian yang belum
mapan serta nilai average variance extracted (AVE) harus lebih besar dari 0,5.
Validitas diskriman yang baik ditunjukkan dari akar kuadrat AVE untuk setiap
konstruk lebih besar daripada korelasi antar konstruk (Ghozali & latan, 2012).
4.6.2. Uji Reliabilitas
Reliable atau tindaknya suatu instrumen pengambil data suatu penelitian
dapat dilakukan dengan melihat nilai koefisien reliabilitas. Nilai koefisien
reliabilitas berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai koefisien tersebut mendekati 1,
maka instrumen tersebut semakin reliable adalah menurut Guiford (1956), bahwa
nilai Cronbach Alpha adalah sebagai berikut, jika nilai reliabilitasnya antara 0,41
– 0,70 maka tingkat reliabilitasnya cukup erat. Ini bererti hasil pengukuran
konsisten.
Pengujian reliabilitas juga bisa mempergunakan loading indicator (Hair et
al., 2014) yang menyatakan bahwa reliability indicator adalah sebesar 0,70 atau
dapat lebih rendah setingkat dengan 0,60 untuk penelitian bersifat eksploratif.
Pengukuran reliability indicator juga dapat diukur dengan metode composite
reliability, dimana dinyatakan reliabel, apabila didapatkan composite reliability
sebesar 0,70 atau lebih tinggi. Pendekatan metode composite reliability untuk
123
123
penelitian eksploratif dapat mempengaruhi kisaran nilai antara 0,60 sampai
dengan 0,70 (Hair et al., 2011).
4.7. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan menggunakan
software SmartPLS versi 3.0. yang dijalankan dengan media komputer. PLS
merupakan analisis persamaan struktural berbasis varian yang secara simultan
dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model
struktural. Model pengukuran digunakan untuk uji validitas dan reliabilitas,
sedangkan model struktural digunakan untuk uji kausalitas (pengujian hipotesis
dengan model prediksi). Ghozali (2014:10) menjelaskan bahwa PLS adalah
metode analisis yang bersifat soft modeling karena tidak mendasarkan pada
asumsi data harus dengan skala pengukuran, distribusi data (distribution free)
dan jumlah sampel tertentu yang berarti jumlah sampel dapat kecil (dibawah 100
sampel).
PLS-SEM dikembangkan oleh Herman World sejak 1974. Karakteristik
dari PLS-SEM dalam pendugaan koefisien dan pengujian kelayakan model tidak
memerlukan asumsi distribusi normal dari peubah laten (Vinzi et al. 2010).
Ukuran sampel PLS SEM tidak harus besar. Selanjutnya, PLS-SEM dapat
mengatasi dengan mudah model pengukuran reflektif dan formatif dengan satu
atau lebih item pengukuran. Spesifikasi model pada PLS-SEM terdiri atas model
struktural (inner model) dilakukan untuk melihat hubungan konstruk pada nilai
signifikan dan R–square dari model penelitian, dan menggambarkan hubungan
antara peubah laten. Selanjutnya, model pengukuran (outer model) yang
menggambarkan hubungan antara peubah laten dan peubah indikator dalam
bentuk persegi panjang (rectangles) (Hair et al. 2014).
124
124
4.7.1. Analisis Statistik Deskriptif
Tujuan metode statistik deskriptif adalah untuk menggambarkan
karakteristik demografis responden seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, lama
berdirinya perusahaan, dan bahan baku diperoleh. Analisis deskriptif terhadap
karakteristik demografis responden dilakukan baik dalam frekuensi maupun
dalam persentase, selanjutnya deskripsi variabel penelitian bertujuan untuk
menggambarkan persepsi responden terhadap pernyataan mereka yang
diberikan dalam instrumen penelitian terkait dengan variabel penelitian. Mean
yang digunakan dalam analisis ini bertujuan untuk mengetahui sebaran jawaban
responden terhadap pernyataan mereka dalam instrumen penelitian.
4.7.2. Analisis Statistik Inferensial
Analisis data yang digunakan dalam metode statistik inferensial dalam
penelitian ini adalah partial least square (PLS). Alasan penggunaan PLS dengan
pertimbangan PLS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan alat analisis
lainnya, yaitu; (1) dapat menganalisis model kompleks, (2) data tidak berdistribusi
normal, (3) dapat menggunakan sampel yang kecil, dan (4) dapat menangani
missing value.
Penggunaan PLS sebagai metode analisis memerlukan beberapa langka
permodelan persamaan struktural. Langkah-langkah PLS tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Merancang model struktural (inner model) yaitu mendesain hubungan
antar variabel (konstruk) berdasarkan hipotesis penelitian.
2. Merancang model pengukuran (outer model) yaitu mendesain hubungan
antara variabel laten dengan indikatornya. Penelitian ini menggunakan
indikator reflektif, karena keberadaan indikator penelitian ditentukan oleh
125
125
konstruk atau setiap indikator harus menangkap esensi domain
konstruknya. Dalam model refleksi, setiap perubahan satu indikator akan
menyebabkan perubahan indikator lain atau setiap indikator mempunyai
korelasi dengan indikator lain.
3. Mengkonstruksi diagram jalur.
4. Pada tahapan ini dilakukan pembuatan diagram jalur yang
menggambarkan hubungan antara variabel laten(konstruk) baik eksogen
dan endogen.
4.7.3. Uji Efek Mediasi dengan Metode VAF
Efek mediasi menunjukkan hubungan antara variabel independen dan
dependen melalui variabel penghubung atau mediasi. Pengaruh variabel
terhadap variabel dependen tidak secara langsung terjadi tetapi melalui proses
transformasi yang diwakili oleh variabel mediasi (Baron dan Kenney, 1986).
Prosedur pengujian efek mediasi dilakukan dengan dua langkah (Baron
dan Kenny, 1986, Hair et al., 2011; Kock, 2011,2013 dalam Sholihin, 2014:56)
yaitu:
a) Melakukan estimasi pengaruh langsung variabel independen pada
variabel dependen, koefisien jalur c harus signifikan (lihat Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Model Pengaruh Langsung
126
126
b) Melakukan estimasi pengaruh tidak langsung secara simultan dengan
trianggle PLS-SEM Model, koefisien jalur a dan b harus signifikan
(lihat Gambar 4.2).
Pengambilan kesimpulan tentang efek mediasi (Baron dan Kenny, 1986,
Hair etal., 2011; Kock, 2011, 2013 dalam Sholihin, 2014:57) adalah:
a) Jika koefisien jalur c" dari hasil estimasi langkah kedua tetap signifikan
dan tidak berubah (c"=c) maka tidak terdapat efek mediasi.
b) Jika koefisien jalur c" nilainya turun (c"<c) tetapi tetap signifikan maka
bentuk mediasi adalah mediasi sebagian (partial mediation).
c) Jika koefisien jalur c" nilainya turun (c"<c) dan menjadi signifikan maka
bentuk mediasi adalah mediasi penuh (full mediation).
Selain melalui kedua langkah di atas, pengujian efek mediasi dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik regresi tetapi pada model yang komplek
atau hipotesis model, maka teknik regresi menjadi tidak efisien (Hartono dan
Abdillah, 2009:118). Metode variance accounted for (VAF) yang dikembangkan
oleh Preacher dan Hayes (2008) serta bootstraping dalam distribusi pengaruh
tidak langsung dipandang lebih sesuai karena tidak memerlukan asumsi apapun
tentang distribusi variabel sehingga dapat diaplikasikan pada ukuran sampel
Gambar 4.2 Model Mediasi
127
127
kecil. Pendekatan ini paling tepat untuk PLS yang menggunakan metode
resampling dan mempunyai statistical power yang lebih tinggi dari metode Sobel
(Hair et al., 2014:240).
4.8. Informasi kualitatif
Informasi kualitatif yang dimaksud dalam penelitian ini sebagai
pendukung untuk memperkuat hasil perhitungan statistik yang dapat di ceritakan
kembali yang bersumber dari hasil wawancara dengan informan. Maka secara
statistik menghasilkan signifikan atau tidak signifikan pada setiap variabel
mempunyai pengaruh atau tidak, maka dibutuhkan informasi kualitatif sebagai
informasi yang bersifat mendukung dan memperkuat yang diperoleh dari
berbagai sumber yang terkait dengan usaha kecil dan menengah (UKM) di Kota
Palu seperti:
1. Dinas UMKM dan Koperasi Provinsi Sulawesi Tengah
2. Disperindag Provinsi Sulawesi Tengah
3. KADIN
4. Asosiasi Pengusaha Kerajinan Provinsi Sulawesi Tengah
128
128
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
Provinsi sulawesi tengah memiliki rotan yang berkualitas dan berukuran
besar, sehingga banyak Industri mebel rotan yang berkembang pesat di Cirebon,
Yogyakarta, Solo, dan Surabaya hampir sebagian besarnya dipasok dari
Sulawesi tengah. Bahkan 80 persen dari total produksi rotan alam Indonesia
berasal dari daerah ini. Tercatat, ada 38 jenis rotan di Sulawesi Tengah yang
secara potensial dapat dimanfaatkan, meski saat ini baru sekitar tujuh jenis yang
telah dikomersilkan. Diantaranya rotan lambang (Calamus sp), rotan batang
(Daemonorops inops Werb), rotan tohiti (Calamus simpisipus), rotan merah
(Calamus panayuga Becc), rotan ronti (Calamus axilais), rotan susu (Calamus
sp) dan rotan umbul (Calamus shympsipus).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, produksi
rotan Sulawesi Tengah yang berasal dari delapan kabupaten/kota mencapai
19.697,31 ton. Wilayah tersebut adalah Kota Palu, Kabupaten Donggala, Parimo,
Poso, Tojo Unauna, Banggai, Morowali dan Buol. Palu sendiri tercatat sebagai
pusat produksi rotan terbesar yaitu sekitar 8.428,3780 ton.
Rotan merupakan salah satu hasil hutan yang potensial untuk
dikembangkan sebagai komoditas produksi, baik untuk kebutuhan dalam negeri
maupun untuk kebutuhan luar negeri. Produsen rotan terbesar di Indonesia
adalah pulau Sulawesi, yang dapat menyuplai ± 60 % kebutuhan nasional,
terutama dari Sulawesi Tengah. Jenis rotan mencapai 516 jenis terbanyak dari
Indonesia, khusus untuk Sulawesi terdapat 60 jenis dan dari Sulawesi Tengah 38
129
129
jenis. Dari 38 jenis yang ada di Sulawesi Tengah, secara umum yang diketahui
masyarakat sekitar 21- 22 jenis dan biasa dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada 9
jenis ditemukan dipasaran sebagai jenis rotan favorit/ komersial, khususnya ada
5 jenis digunakan sebagai bahan baku dasar untuk furniture (tohiti, batang,
lambang, noko, dan jarmasin). Komoditas rotan merupakan komoditas yang
sangat dikembangkan, baik untuk barang jadi maupun barang setengah jadi.
Komoditas rotan telah mengalami
kemajuan yang signifikan. Namun dengan keluarnya peraturan tentang
pelarangan ekspor rotan setengah jadi (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor:
35/M-DAG/PER/11/2011 atau Permendag 35), mengakibatkan UKM pengolahan
rotan banyak yang gulung tikar, sementara UKM untuk barang jadi mengalami
peningkatan jumlah UKM (hasil wawancara dengan Kepala seksi perdagangan
Dinas perdagangan provinsi sulawesi tengah, 26 September 2018).
Pengembangan industri rotan dilakukan secara terpadu oleh semua SKPD baik
di Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kota Palu, terutama dinas Perindustrian,
Perdagangan dan UKM sebagai leading sektornya. Upaya-upaya yang telah
dilakukan dalam pengembangan industri rotan antara lain:
Bidang Pendidikan dan Pengetahuan (Nonfisik)
1. Membuka jurusan Kriya rotan di SMK Negeri 5 kota Palu
2. Pelatihan teknis/bintek, diadakan oleh pemerintah kota, pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat, secara continue setiap 3 bulan secara bergantian.
3. Bantuan modal kerja melalui Kopinkra (Koperasi Industri Kerajinan Rotan)
4. PIRNAs (Pusat Inovasi Rotan Nasional) berdirinya tahun 2015
5. Magang di UKM furniture kota Palu, di UKM rotan Cirebon, dan di UKM rotan
di Solo (Jawa Tengah).
130
130
6. Bantuan pemasaran melalui promosi pameran-pameran produk, baik
pameran lokal maupun pameran nasional.
7. Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam hal memberikan pengetahuan
desain dan inovasi terbaru.
Bidang Sarana dan Prasarana (Fisik)
Hasil wawancara yang diperoleh dari para pelaku usaha selaku pemiliki
usaha mengatakan bahwa Pemerintah Kota yang dipimpin oleh Pak Rusdi
Mastura lebih banyak memperhatikan dan membina UKM industri kerajinan rotan
dan juga pemerintah Kota Palu telah melakukan kerjasama dengan Departemen
Perindustrian melalui beberapa Direktorat Jenderal. Kerjasama dilakukan dalam
hal pengembangan industri rotan di kota Palu, hasil kerjasama diantaranya;
1. Bantuan mesin/peralatan untuk UKM furniture yang terdaftar.
2. Pembangunan Gedung PPRIT (Pusat Pengembangan Industri Rotan
Terpadu)
3. senilai ± Rp. 5,5 milyar
4. Bantuan mesin rotan untuk PPRIT senilai ± Rp. 4.5 milyar
5. Bantuan mesin Rotan untuk UPT senilai ± Rp. 3,5 milyar
Kebijakan Pemerintah
Seiring dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia (2011), tentang ketentuan ekspor rotan dan produk rotan. Nomor:
35/M- DAG/PER/11/2011 (Permendag No. 35), maka pemerintah membuat
kebijakan pasar untuk UKM barang jadi (furniture), diantaranya:
1. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri (perdagangan
perindustrian & pendidikan), isi SKB tersebut adalah instruksi
pemanfaatkan produk rotan untuk dinas pendidikan yakni dengan
131
131
memberikan order pengadaan 6900 set meja kursi sekolah pada tingkat
SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA
(Sekolah Menengah Atas) untuk tahun anggaran 2012 berasal dari dana
CSR (Corporate Social Responsibility)
2. Adanya surat edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor :
530/05/DISKOP UMKM PERINDAG tanggal 3 januari 2012 ke semua
SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan sekolah di kota Palu untuk
memanfaatkan produk rotan. Berlaku sejak bulan Januari 2012.
3. Bulan April 2012, adanya MOU (Memorandum Of Understanding) antara
pemerintah, restoran dan perhotelan untuk memanfaatkan produk rotan.
Relasi dan Asosiasi UKM Rotan
Relasi pada UKM rotan terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yakni relasi yang
terlibat secara langsung dalam pengelolaan rotan; relasi yang menyediakan jasa
layanan; serta relasi penunjang pelaksanaan pengelolaan dan perdagangan
rotan (Tellu,2018). Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
1. Relasi terlibat langsung dalam pengelolaan rotan.
Relasi yang terlibat langsung dalam pengelolaan rotan terdiri atas
perotan, pedagang antara dan pengusaha/industri yang mengolah rotan
mentah menjadi rotan setengah jadi dan produk rotan jadi, untuk
selanjutnya disalurkan ke mitra perdagangan (pedagang rotan setengah
jadi dan barang jadi) dan konsumen. Berikut ini dijelaskan tiap pelaku
dalam perdagangan rotan:
a. Petani pemotong rotan (perotan).
Sebagian besar perotan berada di pelosok desa. Rotan yang dipotong
bisa berasal dari hutan alam dan hasil budidaya. Khusus untuk
132
132
Sulawesi Tengah rotan masih banyak berasal dari hasil alam. Para
perotan memberi nilai tambah (value added) pada saluran pemasaran
(rantai perdagangan), karena telah mengubah dari tanaman rotan
menjadi rotan asalan.
b. Pedagang pengumpul.
Mereka berada di lokasi yang memiliki sarana transportasi (di Desa,
atau di Kecamatan). Peran pedagang pengumpul menampung rotan
basah/rotan asalan dari perotan. Mereka belum memberi nilai tambah
pada rotan basah, mereka langsung membawa rotan ke industri
pengelola di kota Palu atau Ibu kota kabupaten lainnya.
c. Pedagang rotan dan industri pengolah.
Mereka pada umumnya berbentuk lembaga usaha yang telah
terdaftar dan memperoleh izin usaha di wilayah provinsi sulawesi
tengah. Usaha ini dikategorikan dari Dinas Perindustrian masuk pada
kelompok Usaha Menengah (UM), berdasarkan pada penilain laporan
omset usaha, dan jumlah tenaga kerjanya. Menurut Tellu (2018)
Sekitar 74,2 % diantaranya memiliki agen pembelian rotan basah di
desa/kecamatan dan agen pemasaran (gudang penampung) di sentra
industri rotan di Jawa (Cirebon, Semarang, Jepara, Solo, Surabaya
dan Jakarta) dan hanya sebagian kecil melayani pembelian lokal
(pengrajin rotan di Kota Palu). Peran industri pengelola telah
memberikan nilai tambah (value added) yang sangat besar, dimana
hasil dari rotan basah/rotan asalan menjadi produk rotan kering, rotan
setengah polis, core dan pitrit, dengan ukuran yang bervariasi. Produk
133
133
dari UKM ini merupakan produk rotan setengah jadi untuk UKM
pengrajin rotan.
d. Pengusaha furniture/kerajinan rotan
Usaha ini berada ada di provinsi sulawesi tengah dengan I kota dan 3
kabupaten dengan jumlah usaha rotan yang terbanyak ada di kota
palu, dari Dinas Perindustrian dana perdagangan karena paling
banyak UKM indusrtri kerajinan rotan dikota palu dibangdingkan
tempat lain, industri kerajinan rotan dikategorikan pada kelompok
sebagai Usaha Kecil (UK), berdasarkan pada penilain laporan omset
usaha, dan jumlah tenaga kerjanya. Mereka biasanya membeli bahan
baku rotan sekitar 15-20 % secara langsung dari pedagang
pengumpul, dan sekitar 80–85 % dibeli dari industri pengolah. Mereka
telah memberikan nilai tambah (value added) dari rotan asalan dan
rotan setengah jadi, menjadi produk jadi rotan (furniture/mebel &
handycraft rotan).
e. Konsumen
Konsumen merupakan pengguna dari produk jadi rotan berupa
furniture dan hasil kerajinan lainnya. Konsumen dibagi dalam tiga
kelompok, yakni konsumen lokal, konsumen nasional dan konsumen
luar negeri. Mayoritas di kota Palu masih melayani konsumen lokal
yang berada di kota Palu dan kabupaten di Sulawesi Tengah. Ada
pula konsumen berasal dari Sulawesi Selatan (Toraja), Sulawesi
Barat (Mamuju), Sulawesi Utara (Gorontalo dan Manado), Bali,
Jakarta, serta dari Prancis dan Belanda (melalui pemasaran di
134
134
Denpasar). Volume pembelian konsumen di luar Sulawesi Tengah
masih relatif kecil.
2. Relasi penyedia jasa layanan
Relasi yang termasuk dalam kelompok ini tidak terlibat secara
langsung dalam Pengelolaan kebutuhan dari relasi yang terlibat langsung
dalam pengelolaan dan perdagangan rotan. Relasi ini terdiri dari
pedagang yang menyediakan kebutuhan peralatan industri seperti mesin
produksi umumnya didatangkan dari Surabaya, pedagang yang
menyediakan bahan penolong pada pengelolaan industri rotan seperti
lem, paku tembak, skrup, cat, kertas amplas dan sebagainya. Jasa
pelayanan dari perbankan (BRI, BNI, Bank Mandiri, dll.) dan jasa
nonperbankan (Jamsostek, Pertamina, dll.) serta jasa transportasi dan
jasa informasi sangat dibutuhkan dalam pengembangan Industri Rotan..
3. Relasi penunjang pelaksanaan pengelola dan perdagangan rotan
Relasi dalam kelompok ini tidak terlibat secara langsung dalam
pengelolaan dan perdagangan rotan, tetapi memberi dukungan pada
pengelolaan dan perdagangan rotan. Relasi ini termasuk instansi
pemerintah melalui kebijakan- kebijakannya berhubungan dengan industri
Rotan (Dinas Perindustrian, Perdagangan dan UKM; dan Dinas
Kehutanan). Selain itu terdapat beberapa asosiasi yang berperan
memfasilitasi kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan
dan perdagangan rotan, yakni Asosiasi Pengelolaan Rotan Indonesia
(ASMINDO); Asosiasi Pedagang Rotan Indonesia (APRI); Asosiasi Petani
dan Perdagangan Rotan Seluruh Indonesia (APRASI); Asosiasi Furniture
dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI); Himpunan Masyarakat Petani
135
135
Rotan Indonesia (HIMPRI); Forum Pengrajin Rotan Kota Palu (FPRKP);
khusus yang berada di Kota Palu yakni AMKRI, HIMPRI dan FPRKP. Dari
uraian di atas dapat digambarkan hubungan stakeholder antara UKM
Rotan, pemerintah, penyedia jasa penunjang, asosiasi dan saluran
pemasaran pada untuk pengembangan rotan di Kota Palu sebagai
berikut:
Gambar 5.1. Hubungan Stakeholder pada UKM Rotan di Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber: Mastura, Tellu (2018)
5.2. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil identifikasi pada UKM yang ada di provinsi sulawesi
tengah, maka kuesioner yang diedarkan sebanyak 70 responden yang
merupakan pemilik UKM itu sendiri sekaligus juga sebagai pelaku usaha yang
menjalankan usaha tersebut. Data yang dianalisis dalam penelitian ini
didasarkan pada instrumen penelitian dalam kuisioner yang didistribusikan
PEMERINTAH PUSAT Depren, Depdag,Dephut
FORUM DAYA SAING Working Group
PEMERINTAH DAERAH Dinas Perindag Provinsi Sulteng dan Kota Palu
Bahan Baku Rotan
PROSES AWAL (Sortir,
Pembersihan,
Penggorengan)
PROSES LANJUT
Fetrit Poles
Core
INDUSTRI FURNITURE
ROTAN
Ekspor
Ekspor
Pasar Luar
Negeri
Pasar Dalam Negeri
Lembaga Litbang UNTAD, ITB, PIRNAs,lembaga
bersertifikat ISO 9000 dan 14000
JASA: Bank, Transportasi, dan
Asuransi
ASOSIASI: APRI,APRASI,ASMINDO
136
136
langsung ke seluruh responden selama 93 hari ( 28 Oktober 2018 s/d 30 Januari
2019). Tahapan kegiatan yakni menyebarkan kuisioner ke lokasi penelitian,
menjemput kuisioner, wawancara ke pemilik UKM, wawancara dengan Kepala
Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Tengah, wawancara dengan pimpinan
PIRNAs, serta pengumpulan data penunjang.
Dari seluruh instrumen penelitian yang didistribusikan, ternyata ada 3
UKM yang tidak lengkap pengisian kuisionernya dan ada 2 UKM menghilangkan
kuesioner, tetapi pemilik UKM meminta untuk mengisi kembali kuesioner
tersebut. Dengan demikian, instrument penelitian yang layak digunakan untuk
dianalisis adalah sebanyak 70 UKM atau sebesar 100 %. Karakteristik responden
bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik dari pemilik yang dijadikan
responden seperti jenis kelamin, umur/usia, lama berdirinya perusahaan dan
bahan baku diperoleh. Hasil analisis deskripsi karakteristik responden disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 5.1 Karakteristik Responden
No Karakteristik/Profil Responden Frekuensi (orang) Persentase (%)
1 Berdasarkan Jenis Kelamin
1. Laki – laki 65 92,9
2. Perempuan 5 7,1
2 Berdasarkan Usia
< 30 tahun 1 1,4
31 – 35 tahun 2 2,9
36 – 40 tahun 8 11,4
41 – 45 tahun 15 21,4
46 – 50 tahun 20 28,6
51 – 55 tahun 11 15,7
56 – 60 tahun 8 11,4
61 – 65 tahun 5 7,1
3 SD 0 0,0
SMP 2 2,9
SMA/SMK 42 60,0
137
137
No Karakteristik/Profil Responden Frekuensi (orang) Persentase (%)
D3 3 4,3
S1 22 31,4
S3 1 1,4
3 Berdasarkan Lama berdirinya perusahaan
< 5 tahun 2 2,9
6 – 10 tahun 10 14,3
11 – 15 tahun 27 38,6
16 – 20 tahun 13 18,6
21 – 25 tahun 6 8,6
26 – 30 tahun 9 12,9
31 – 35 tahun 3 4,3
4 Berdasarkan Bahan Baku diperoleh
a. Sendiri
b. Pemasok 61 87,1
c. Gabungan 9 12,9
Sumber: Data Primer diolah 2019
Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden terbesar presentasenya
berasal dari jenis kelamin laki-laki sebesar 92,9% dan yang terendah adalah
perempuan sebesar 7,1% yang dimana sebagai pemilik atau pelaku usaha dalam
mengelola UKM kerajinan rotan. Pemilik UKM kerajinan rotan ini dari kaum
perempuan kebanyakan memperluas saluran distribusi dengan membangun
tempat penjualan produk rotannya di tempat lain seperti Ibu Herawati ini
merupakan istri dari Bapak Yusuf ali bahmid (Subur I dan Subur II) dan Mbak
Irma merupakan anak dari Pak Husein (CV. Irma jaya dan CV. Irma Jaya I).
Poin kedua pada tabel diatas berdasarkan umur atau usia bahwa jumlah
pemilik UKM kerajinan rotan terbanyak pada usia antara 46-50 tahun dengan
presentase sebesar 28,6%., sedangkan pemilik UKM yang jumlah sedikit itu
berada pada usia 31- 35 tahun sebesar 2,9% dan usia kurang dari 30 tahun
sebesar 1,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah keberhasilan dari sekolah
SMK 5 palu yang menciptakan lulus yang bisa mandiri dan berjuang
Tabel 5.1 Lanjutan
138
138
mempertahankan dan memanfaatkan bahan baku rotan menjadi barang jadi.
Bahkan bukan hanya lulus SMK 5 yang bisa mengelola rotan menjadi barang
kerajinan rotan tetapi lulusan SMA bisa dalam mengelola rotan terebut, bahkan
keahlian mengelola rotan menjadi barang kerajinan dari turun-menurun.
Point ketiga berdasarkan pendidikan terakhir, pendidikan yang dimiliki
oleh pemilik UKM kerajinan rotan kebanyakan pada lulusan SMA dan SMK
sebesar 60% dan juga lulusan pendidikan yang jumlahnya terkecil adalah S3
yang dimiliki hanya satu orang saja dengan presentase sebesar 1,4%. Lulus-
lulusan SMK sebelum lulus dari sekolah para siswanya diberikan magang
terlebih dahulu di setiap UKM kerajinan rotan agar siswa ini lebih mahir dalam
membuat kerajinan rotan dan juga diberikan sebuah pengalaman bagaimana
menghadapi langsung konsumen yang banyak sekali permintaan yang diinginkan
seperti permintaan furniture yang desain dan motif yang disukai., hal ini menjadi
sebuah gambaran yang merupakan pengalaman siswa yang akan menciptakan
sebuah keberanian dalam berusaha secara mandiri, karena itu sebuah modal
awal dalam membangun sebuah usaha. Sedangkan pendidikan S3 ini
merupakan pemilik dan juga pimpinan Pusat Pengembangan Industri Rotan
Terpadu yang sering disebut para perajin rotan (PPIRT), dimana PPIRT ini
sebuah lembaga yang mediasi antara pedagang, perajin, dan pemerintah,
hadirnya PPRIT ini agar para perajin memperoleh rotan yang berkualitas bagus
dengan harga yang murah dibandingkan dibeli sama pedagang besar atau
pemasok. Bahkan, setiap UKM kerajinan rotan membeli rotan yang sudah di
sortir dan di gorengan oleh PPIRT.
point ke empat ini berdasarkan lama berdirinya perusahaan, dimana
mayoritas responden yang memiliki presentase terbesar sebesar 38,6% terdapat
139
139
pada kisaran masa waktu dari 11-15 tahun. Kemudian diikuti oleh responden
yang memiliki presentase sebesar 18,6% dengan kisaran waktu dari 16-20 tahun,
lama berdirinya perusahaan yang selanjutnya dari 6-10 tahun sebesar 14,4%,
26-30 tahun sebesar 12,9%, 31-35 tahun sebesar 4,3% dan lama berdirinya
perusahaan dengan presentase terkecil berada pada kisaran waktu < 5 tahun.,
artinya bahwa 11 tahun sebelumnya sudah mulai banyak para UKM kerajinan
rotan yang mulai berkembang dengan mengembangkan produknya dan semakin
tinggi juga tingkat pesaing dalam mengusai pasar rotan.
Berdasarkan bahan baku diperoleh, mayoritas terdapat pada item
pemasok sebesar 87,1%, karena para pemasok ini memperoleh bahan mentah
langsung dari pengumpul atau petani rotan, dimana pemasok merupakan
perusahaan besar dan memiliki modal besar seperti PT. Pantai Timur Jaya, PT.
Sontek, dan PT. Bir. Pemasok paling terkenal dikalangan perajin rotan baik lokal
maupun nasional seperti perajin di kota palu, kabupaten di sulawesi tengah, solo,
surabaya, dan cirebon. Para pemasok selalu melakukan pengirim rotan yang
sudah disortir atas kualitasnya dan juga sudah dilakukan penggorengan dan
pengeringan, kemudian dilakukan pengiriman ketika ada pesanan yang besar
dengan menggunakan conteiner.
5.3. Deskripsi Variabel Penelitian
Penelitian ini dibentuk 4 variabel penelitian yaitu intellectual capital,
strategi flexibility, innovation speed, dan performance firm. Variabel-variabel
tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi berdasarkan skor dan
jawaban dan nilai rata-rata dari masing-masing variabel.
140
140
5.3.1. Variabel Modal intelektual (intellectual capital)
Variabel modal intelektual terdiri dari 3 (tiga) variabel latent atau konstruk
,yaitu human capital, structure capital, dan relational capital, dimana setiap
variabel latent diukur melalui indikator atau variabel manifest (observed variabel)
dan juga biasa yang sering disebut variabel teramati atau butir pernyataan. Tabel
5.2 menyajikan distribusi frekuensi jawaban responden untuk variabel modal
intelektual secara keseluruhan yang ditunjukkan melalui nilai/skor dari masing-
masing butir pernyataan kuesioner.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi variabel Modal Intelektual (Intellectual capital)
Human capital Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
1 Tenaga kerja memiliki pengalaman sebelumnya
F 8 17 17 11 7 9 1 4,67
% 11,4 24,3 24,3 15,7 10,0 12,9 1,4
2 Pemilik usaha pernah menempuh pendidikan dan pelatihan
F 11 11 16 10 8 11 3 4,46
% 15,7 15,7 22,9 14,3 11,4 15,7 4,3
3 Pemilik sebelumnya bekerja ditempat lain
F 9 26 15 9 7 2 2 5,10
% 12,9 37,1 21,4 12,9 10,0 2,9 2,9
4 Berbagi pengetahuan dengan kelompok perajin rotan
F 13 15 16 11 11 3 1 4,93
% 18,6 21,4 22,9 15,7 15,7 4,3 1,4
Rerata variabel (%) 4,79
Struktur Capital Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
5 Memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak disiplin
F 14 16 14 9 11 5 1 4,91
% 20,0 22,9 20,0 12,9 15,7 7,1 1,4
6 Mencari informasi dengan media mobile
F 13 23 21 1 9 3 0 5,30
% 18,6 32,9 30,0 1,4 12,9 4,3 0,0
7 Komputer yang disediakan untuk penyimpan data base
F 3 27 26 0 9 4 1 4,99
% 4,3 38,6 37,1 0,0 12,9 5,7 1,4
Rerata variabel (%) 5,07
Relational Capital Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
8 Fokus perhatian pada pelanggan
F 5 17 21 4 8 12 3 4,41
141
141
Relational Capital Jawaban Responden
% 7,1 24,3 30,0 5,7 11,4 17,1 4,3
9 Menjaga hubungan dengan pemasok
F 10 11 25 15 9 0 0 4,97
% 14,3 15,7 35,7 21,4 12,9 0,0 0,0
10 Menjaga hubungan dengan lembaga keuangan
F 10 12 14 15 15 4 0 4,64
% 14,3 17,1 20,0 21,4 21,4 5,7 0,0
Rerata variabel (%) 4,68
Sumber: Data Primer diolah 2019
Setelah diperoleh rata-rata dari masing-masing variabel kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang peneliti tentukan berdasarkan nilai terendah
dan nilai tertinggi dari hasil kuesioner. Nilai terendah dan nilai tertinggi itu
masing-masing peneliti ambil dari banyaknya pernyataan dalam kuesioner
dikalikan dengan nilai terendah (1) dan nilai tertinggi (7) yang telah ditetapkan
untuk menentukan rentang interval sebagai berikut:
- Nilai 10 - 19 dirancang untuk kriteria “Sangat Tidak Setuju”
- Nilai 19 - 28 dirancang untuk kriteria “Tidak Setuju”
- Nilai 28 - 37 dirancang untuk kriteria “Kurang Setuju”
- Nilai 37 - 46 dirancang untuk kriteria “Ragu-Ragu”
- Nilai 46 - 55 dirancang untuk kriteria “Agak Setuju”
- Nilai 55 - 64 dirancang untuk kriteria “Setuju”
- Nilai 64 - 70 dirancang untuk kriteria “Sangat Setuju”
Tabel. 5.2 menunjukkan bahwa nilai rerata pada indikator modal struktur
sebesar 5,30 yang memiliki kontribusi lebih besar dibandingkan indikator yang
lain pada variabel modal intelektual. Artinya, sebagian besar responden
menjawab bahwa mencari informasi diluar hal yang paling penting dalam
meningkatkan usaha, dalam hal Ini usia 30-45 tahun yang selalu melakukan
browsing ke internet untuk mencari infomasi dimana daerah yang belum dilayani
pasar furniture dan handicraft tetapi kenyataan untuk bagian jawa sudah dikuasai
Tabel 5.2 Lanjutan
142
142
oleh daerah solo, surabaya, dan cirebon. Browsing memberikan informasi, agar
daerah mana saja belum disentuh oleh UKM rotan lain dan saluran distribusi
seperti apa yang akan dilakukan.
Tanggapan responden selanjutnya mean yang paling rendah sebesar
4,68 bahwa hubungan baik dengan pelanggan dapat meningkatkan keuntungan
dan pelanggan bukan hanya memberikan keuntungan tetapi pelanggan akan
merekomendasikan produk yang memiliki kualitas bagus kepada orang lain.
Pemasok dan perbankan sangat berarti bagi wirausaha, pemasok sebagai
penyalur bahan baku dan perbankan sumber dalam memperoleh modal baik
diperuntukkan untuk modal awal usaha atau pengembangan usaha lagi.
Perbankan dan pemasok sangat berarti bagi wirausaha dikarenakan menjaga
kepercayaan dari pihak bank dengan membayar angsuran kredit tetap waktu dan
jangan sampai dikatakan kredit macet, sedangkan yang berkaitan dengan
pemasok sebagai penyalur bahan baku yang memberikan dan mencari kualitas
bahan baku yang sesuai keinginan wirausaha.
Menjalin hubungan baik dengan pelanggan, pemasok dan perbankan
sangat memberikan dampak yang sangat signifikan atas kemajuan usaha,
karena pelanggan merupakan sumber keuntungan dalam meningkatnya
penjualan, sehingga bisa meningkatkan jumlah produksi lagi dan memasok
bahan baku yang lebih banyak lagi dari pemasok dan juga dengan menjaga
hubungan dengan perbankan akan memberikan arti bahwa adanya bantuan
modal yang berikan akan berdampak pada pembelian alat yang menunjang
kegiatan seperti peralatan yang berteknologi dan memperbesar saluran
distribusi.
143
143
5.3.2. Variabel Fleksibilitas Strategi (Strategic flexibility)
Variabel fleksibilitas strategi dalam penelitian ini terdiri 2 variabel laten
atau sering disebut konstruk. Variabel laten ini merupakan variabel yang tidak
dapat diukur secara langsung melainkan variabel yang diukur secara langsung
itu adalah variabel manifest atau observed variabel. observed variabel yang
diukur dapat dilihat pada tabel 5.3 menyajikan distribusi frekuensi jawaban
responden untuk variabel fleksibilitas strategi secara keseluruhan yang
ditunjukkan melalui nilai/skor dari masing-masing butir pernyataan kuesioner
sebagai berikut;
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi variabel Fleksibilitas Strategi (Strategic flexibility)
Proactive Flexibility Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
1 Lebih aktif merepons kritik dan saran konsumen
F 5 18 20 12 9 3 3 4,67
% 7,1 25,7 28,6 17,1 12,9 4,3 4,3
2 Lebih aktif Upgrade produk furniture di katalog
F 11 6 26 11 5 10 1 4,61
Proactive Flexibility Jawaban Responden Rerata
Butir SS S AS RR KS TS STS
% 15,7 8,6 37,1 15,7 7,1 14,3 1,4
3 Lebih aktif Upgrade produk handicraft di katalog
F 3 12 22 16 8 8 1 4,40
% 4,3 17,1 31,4 22,9 11,4 11,4 1,4
Rerata variabel (%) 4,56
Reactive Flexibility Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
4 Memanfaatkan Peluang Melalui Media sosial
F 14 20 20 11 4 1 0 5,37
% 20,0 28,6 28,6 15,7 5,7 1,4 0,0
5 Mendistribusi produk sesuai kebutuhan konsumen
F 6 27 17 6 14 0 0 5,07
% 8,6 38,6 24,3 8,6 20,0 0,0 0,0
6 Berkerja sama dengan situs online untuk penjualan produk
F 8 25 21 7 9 0 0 5,23
% 11,4 35,7 30,0 10,0 12,9 0,0 0,0
7 Berkerja sama dengan pemerintah untuk memperkuat produk unggulan melalui promosi
F 14 16 24 9 5 2 0 5,27
% 20,0 22,9 34,3 12,9 7,1 2,9 0,0
Rerata variabel (%) 5,24
Sumber: Data Primer diolah 2019
144
144
Setelah diperoleh rata-rata dari masing-masing variabel kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang peneliti tentukan berdasarkan nilai terendah
dan nilai tertinggi dari hasil kuesioner. Nilai terendah dan nilai tertinggi itu
masing-masing peneliti ambil dari banyaknya pernyataan dalam kuesioner
dikalikan dengan nilai terendah (1) dan nilai tertinggi (7) yang telah ditetapkan
untuk menentukan rentang interval sebagai berikut:
- Nilai 7 - 13 dirancang untuk kriteria “Sangat Tidak Setuju”
- Nilai 13 - 19 dirancang untuk kriteria “Tidak Setuju”
- Nilai 19 - 25 dirancang untuk kriteria “Kurang Setuju”
- Nilai 25 - 31 dirancang untuk kriteria “Ragu-Ragu”
- Nilai 31 - 37 dirancang untuk kriteria “Agak Setuju”
- Nilai 37 - 43 dirancang untuk kriteria “Setuju”
- Nilai 43 - 49 dirancang untuk kriteria “Sangat Setuju”
Jawaban responden menunjukkan nilai rerata yang tinggi pada tabel 5.3
adalah variabel latent reactive flexibility yang memiliki nilai rerata sebesar 5,24,
artinya era yang semakin canggih dan persaingan sangat tinggi di masa
sekarang membutuhkan sebuah kreativitas yang lebih energik, apalagi kreativitas
bukan hanya ditunjukkan secara langsung di produk, tetapi bagaimana kreativitas
yang menghasilkan barang yang cepat menyentuh hati konsumen dengan
memanfaatkan dunia maya yang sering dan selalu digunakan para konsumen
yang tidak mengenal waktu. Mindset Entrepreneur mengacu pada gaya hidup
konsumen selalu aktif di media sosial, sehingga lebih cepat bereaksi dengan
memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan produk dengan
menggunakan iklan yang menumpang pada akun media sosial dan bekerja sama
situs online untuk melakukan penjualan produk, hal ini bukan hanya dunia maya
saja harus diperkenalkan tetapi dengan bekerja sama dengan pemerintah
145
145
merupakan strategi lain untuk memperkenalkan produk melalui pameran yang
akan diselenggarakan oleh pemerintah.
Variabel proactive flexibility responden menjawab dengan nilai rerata
sebesar 4,56 artinya pelaku usaha harus lebih aktif mengetahui perubahan
lingkungan yang lebih cepat, karena kenyataan yang terjadi di lapangan
keinginan konsumen akan suatu produk cepat berubah-ubah sesuai dengan
selera dan lebih spesifik lagi sering konsumen memberitahukan kepada pelaku
usaha dengan memberikan masukan bentuk dan model sudah terlalu lama di
masa sekarang di saat konsumen berkunjung ke tempat penjualan., sehingga
adanya masukan dari pembeli pelaku usaha mencoba lebih aktif lagi dengan
melakukan pengembangan sketsa produk sesuai apa yang diinginkan konsumen
saat ini, hal ini merupakan sebuah strategi yang digunakan secara langsung
ketika konsumen bertanya apa semua model produk ini, tindakan yang lebih aktif
pada saat itu langsung menunjukkan katalog belanja yang di dalamnya berisi
bermacam-macam model dan jenis produk furniture dan handicraft yang
bervariasi atau beraneka ragam, dan pada akhir konsumen akan menentukan
apa yang disukai dan memutuskan yang mana yang akan dibeli. Cara itu sangat
praktis ketika ada konsumen ingin mengetahui seberapa aktif pelaku usaha
melayani dan merespon produk yang inginkan.
5.3.3. Variabel Kecepatan Inovasi (Innovation Speed)
Variabel kecepatan inovasi diukur dengan 6 item yang seperti menjadi
inisiator, lebih cepat meluncurkan produk ke pasar, lebih cepat melakukan
pengembangan produk dibandingkan pesaing, bahan baku lebih berkualitas,
motif produk lebih disukai, dan desain produk mengikuti tren. Butir pernyataan
ini merupakan variabel yang dapat diukur secara langsung, maka variabel yang
146
146
diukur dapat dilihat pada tabel 5.4 menyajikan distribusi frekuensi jawaban
responden untuk variabel kecepatan inovasi secara keseluruhan yang
ditunjukkan melalui nilai/skor dari masing-masing butir pernyataan kuesioner
sebagai berikut;
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi variabel Kecepatan Inovasi (innovation Speed)
Kecepatan inovasi Jawaban Responden Rerata Butir SS S AS RR KS TS STS
1 Menjadi inisiator F 11 17 18 9 10 4 1 4,91
% 15,7 24,3 25,7 12,9 14,3 5,7 1,4
2 Lebih cepat meluncurkan produk ke pasar
F 15 19 16 9 10 1 0 5,24
% 21,4 27,1 22,9 12,9 14,3 1,4 0,0
3 Lebih cepat melakukan pengembangan produk
F 10 4 26 9 2 17 2 4,31
% 14,3 5,7 37,1 12,9 2,9 24,3 2,9
4 Bahan baku lebih berkualitas F 15 22 11 4 1 14 3 4,90
% 21,4 31,4 15,7 5,7 1,4 20,0 4,3
5 Motif produk lebih disukai F 8 12 33 8 5 4 0 4,97
% 11,4 17,1 47,1 11,4 7,1 5,7 0,0
6 Desain produk mengikuti trend F 9 15 20 6 15 5 0 4,74
% 12,9 21,4 28,6 8,6 21,4 7,1 0,0
Rerata variabel (%) 4,85
Sumber: Data Primer diolah 2019.
Setelah diperoleh rata-rata dari masing-masing variabel kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang peneliti tentukan berdasarkan nilai terendah
dan nilai tertinggi dari hasil kuesioner. Nilai terendah dan nilai tertinggi itu
masing-masing peneliti ambil dari banyaknya pernyataan dalam kuesioner
dikalikan dengan nilai terendah (1) dan nilai tertinggi (7) yang telah ditetapkan
untuk menentukan rentang interval sebagai berikut:
- Nilai 6 - 11 dirancang untuk kriteria “Sangat Tidak Setuju”
- Nilai 11 - 16 dirancang untuk kriteria “Tidak Setuju”
- Nilai 16 - 21 dirancang untuk kriteria “Kurang Setuju”
- Nilai 21 - 26 dirancang untuk kriteria “Ragu-Ragu”
- Nilai 26 - 31 dirancang untuk kriteria “Agak Setuju”
147
147
- Nilai 31 - 36 dirancang untuk kriteria “Setuju”
- Nilai 36 - 42 dirancang untuk kriteria “Sangat Setuju”
Tabel 5.4 pada distribusi frekuensi jawaban responden menunjukkan hasil
dengan nilai rerata sebesar 5,24 pada item pernyataan lebih cepat meluncurkan
produk ke pasar dengan mean tertinggi diantara item pernyataan yang lain, item
pernyataan dengan nilai rerata sebesar 4,97, kemudian lanjutan menjadi inisiator
nilai rerata sebesar 4,91,bahan baku berkualitas dengan nilai rerata sebesar
4,90, Desain produk mengikuti trend dengan nilai rerata sebesar 4,74 dan nilai
rerata yang memiliki jawaban responden terendah pada item lebih cepat
melakukan pengembangan produk dibandingkan pesaing sebesar 4,31, artinya
pesaing harus di kalahkan bukan hanya produk itu cepat terima atau disukai saja
melainkan adanya waktu yang perlu diperhatikan ketika terciptanya sebuah ide,
membuat sketsa atau bentuk produk itu, waktu yang digunakan memproduksi
produk tersebut, dan sampai pada tahap akhir lebih cepat diluncurkan produk ke
pasar. Sehingga dengan memanfaatkan waktu dalam proses pengembangan
produk bisa diolah dengan baik, akan menghasilkan tanggapan konsumen
bahwa UKM tersebut menjadi inisiator. Inisiator bukan hanya dikenal dengan
produk terlebih dahulu dikenal oleh konsumen tetapi dikenal juga memiliki bahan
baku berkualitas, motif produk lebih disukai dan desain produk itu sudah
mengikuti trend sekarang. hal ini terbukti dengan adanya pembeli kembali
dilakukan oleh konsumen bukan hanya satu atau dua kali saja melainkan lebih,
dan juga data penjualan mengalami peningkatan, ini menggambarkan bahwa
konsumen bukan hanya melihat dari sisi kualitas tetapi dari sisi motif dan desain
juga konsumen menyukainya. Para pelaku usaha kerajinan rotan terus-menerus
akan melakukan pengembangan produk rotan, asalkan pemerintah tetap
209
209
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan temuan penelitian, dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Modal intelektual (Intellectual capital) tidak meningkatkan kinerja
perusahaan/UKM secara langsung, sehingga kecepatan inovasi sebagai
solusi untuk menjawab celah penelitian sebelumnya yang inkonsisten
sebagai variabel mediasi yang secara tidak langsung memiliki pengaruh
signifikan. Secara teori intellectual capital berpengaruh signifikan terhadap
kinerja perusahan, dimana kebanyakan penelitian yang dilakukan hanya
pada perusahaan besar seperti manufaktur, perbankan, farmasi, dan
asuransi, tetapi hal itu berbeda dengan industri kecil. Kenyataan ada
intellectual capital tidak di dapat generalisasi ke semua industri, karena
industri kecil seperti UKM belum banyak memiliki sumber daya yang unik
dan juga terkait very intangible seperti moral, dan sikap masih rendah dalam
memahami perubahan bisnis, sehingga masih ada peran dari pihak luar
untuk mendukung dan membina dalam menjalankan bisnis UKMnya.
2. Fleksibilitas strategi meningkatkan kinerja perusahaan/ UKM yang berarti
bahwa Fleksibilitas yang dimiliki UKM dalam menerapkan perilaku bisnis
diharapkan menghasilkan beberapa pilihan strategi yang fleksibel agar dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Fleksibilitas strategi
mengacu pada kemampuan UKM untuk bertindak atau merespons dengan
cepat mengubah kondisi kompetitif dengan menyesuaikan tujuan yang dapat
210
210
memanfaatkan sumber daya dengan mengandalkan kecepatan inovasi
dalam mengembangkan produk furniture dan handy craft dengan waktu yang
sudah tetapkan, sehingga dapat memenuhi keinginan konsumen akan
meningkatkan kinerja perusahan dengan baik.
3. Kecepatan inovasi sangat penting untuk meningkatkan kinerja perusahaan
dalam persaingan UKM industri kerajinan rotan. Daya saing UKM kerajinan
rotan juga dapat ditingkatkan apabila kecepatan inovasi diikuti dengan
creative destruction. Creative destruction dalam hal ini dilakukan melalui
peningkatan kompetensi dan mempertahankan inovasi yang telah dicapai
oleh UKM kerajinan rotan. Peningkatan kompetensi usaha dapat dilakukan
melalui efisiensi biaya, peningkatan kualitas produk, dan peningkatan
ketrampilan pekerja, sedangkan mempertahankan inovasi yang telah dicapai
dilakukan untuk memperkuat jaringan pasar, layanan kepada pelanggan,
dan inovasi dalam pengemasan produk. UKM kerajinan rotan yang dapat
meningkatkan kompetensi dan mempertahankan inovasi yang telah dicapai
menciptakan rintangan masuk bagi perusahaan baru yang akan memberikan
dorongan yang lebih kuat dalam meningkatkan daya saing.
4. Modal intelektual, kecepatan inovasi dan kinerja perusahaan memiliki
hubungan yang erat. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa kecepatan
inovasi memiliki peran dalam peningkatan kinerja perusahaan dalam
persaingan UKM kerajinan rotan, hal ini dibuktikan modal intelektual yang
dimiliki oleh pelaku usaha rotan berkembangan ketika memanfaatkan
fasilitas dari PIRNAS untuk kecepatan inovasi dalam meningkatkan kinerja
perusahaan. pemilik atau pelaku UKM ini kalang saing dari segi teknologi
misalnya mesin pembuat rangka furniture dan menguji kekuatan dan
211
211
kualitas, dimana pemilik UKM tidak memiliki alat mesin seperti itu yang
dimana hanya di miliki oleh PIRNAS. Apabila adanya pesan terkait furniture
dan handycraf yang motif dan desain dari pelanggan pemilik UKM
menggunakan fasilitas PIRNAS dan jaringan pasar kebanyakan berasal dari
PIRNAS sehingga kinerja perusahaan semakin meningkat.
5. Fleksibilitas strategi dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan baik
melalui adanya peran kecepatan inovasi. Fleksibilitas strategi dan kecepatan
inovasi merupakan dua teori memiliki pengaruh besar pada kinerja
perusahaan, dalam hal ini fleksibilitas strategi berfungsi sebagai penerapan
cara dalam memberikan solusi dari adanya perubahan lingkungan dengan
beradaptasi dengan cepat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, agar
cepat bertindak dalam menangani perubahan lingkungan dengan kecepatan
inovasi yang berfokus pada produk yang dikembangkan dengan
memperhitungkan waktu yang digunakan antara ide, penciptaan produk dan
sampai masuk pasar lebih cepat dari apa sudah dijadwalkan. Memilki
sumber daya yang dapat di katakan unggul merupakan suatu kekuatan yang
bisa diandalkan oleh UKM untuk bisa memperoleh pangsa pasar yang lebih
luas, apalagi UKM dapat terus melakukan pengembangan produk dengan
memperhatikan siklus produk yang begitu singkat dan juga perusahan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang begitu cepat berubah dengan
melakukan strategi yang cocok dengan kondisi yang dialami yang dapat
meningkatkan kinerja perusahaan.
212
212
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diberikan berkaitan dengan
intellectual capital, fleksibilitas strategi, kecepatan inovasi dan kinerja
perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Penelitian masa depan lebih cocok dengan pendekatan penelitian
Longitudinal (Longitudinal Research) merupakan jenis penelitian jangka
panjang karena memakan waktu pengamatan yang lama tentang bagaimana
dampak elemen modal intelektual pada kinerja perusahaan, karena harus
lebih mendalam mengkaji kebiasaan cara berpikir yang belum berubah dari
tenaga kerja UKM kerajinan rotan.
2. Hasil penelitian ini terbatas pada objek penelitian UKM kerajinan rotan di
Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak dapat di generalisasi ke UKM lainnya,
dan populasi hanya berjumlah kecil sebesar 70 populasi, sehingga penelitian
menyarankan penelitian masa depan memiliki sekurang 200 sampel.
3. Studi penelitian ini menyarankan penelitian masa depan dengan menambah
variabel lain yang bisa masuk seperti peran pemerintah. Kenyataan peran
pemerintah dapat meningkatkan kinerja perusahan atau UKM rotan dengan
mempercepat berinovasi, dalam hal pengelola atau pemilik UKM rotan masih
bergantung pada pemerintah yang belum bisa mandiri.
DAFTAR REFERENSI
Aaker, D.A. and B. Mascarenhas. 1984. “The Need for Strategic Flexibility,” The
Journal of Business Strategy , no. 2: 74–82.
Abdillah, W., dan J. Hartono. 2015. Partial Least Square (PLS). Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Agarwal, S., Erramilli, M.K. and Dev, C. 2003. Market Orientation and
Performance in Service Firms: Role of Innovation, Journal of Service
Marketing, 17. 68-82.
Ali A (2000). “The impact of innovativeness and development time on new
product performance for small firms”. Mark Lett 2000;11(2):151– 63.
Allocca, M. A., & Kessler, E. H. (2006). Innovation speed in small and medium
sized enterprises. Creativity and Innovation Management, 15, 279–295.
Antti Haahti, et a/., (2005). Cooperative strategy, knowledge intensity and export
performance of small and medium sized enterprises. Journal of World
Business 40 124–138.
Ashikia, O. (2011). Market-focused strategic flexibility among Nigerian banks.
Journal of Marketing Management Vol. 2(2) pp. 018-028.
Asngadi, (2017). Memahami Model Strategi Pengembangan Klaster Usaha Kecil
dan Menengah (UKM) pada studi Fenomenologi pada UKM industri Rotan
di Kabupaten Cirebon). Disertasi Universitas Brawijaya.
Avlontis, George J. dan Helen E. Salavou, 2007. Entrenerenurial orientation Of
Smes, product innovativeness, and performance, Journal of Business
Research 60 (2007) 566-575.
Bacherer, R.C., and J.G. Maurer, (1997), The Moderating Effect of Environmental
Variables on The Entrepreneurial and Marketing Orientatio of
Entrepreneur led Firms, Entrepreneurship Strategic Management Jounral,
25:23-37.
Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The moderator–mediator variable distinction
in social psychological research: Conceptual, strategic, and statistical
considerations. Journal of personality and social psychology, 51(6), 1173.
Basile, (2012). Entrepreneurial orientation in smes: risk-taking to entering
international markets. Journal of Psychology and Business
Barney, (1986). Strategic factor markets: Expectations, luck, and business
strategy. Management science,32,1512-1514
………, (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of
management, Vol 17 pp99-120
………, (2001). Resource-based theories of competitive advantage: A ten-year
retrospective on the resource based view. Journal of managemen
Barney, Ray G, WA, (2004). Capabilities, business processes, and competitive
advantage: choosing the dependent variable in empirical tests of the
resource‐based view. Strategic management Journal, 25:23-37.
Bahrami, H. and Evans, S. (2010). Super-Flexibility for Knowledge Enterprises: A
Toolkit for Dynamic Adaptation, 2nd edn. Berlin: Springer.
Bierly, P.E. III and Chakrabarti, A.K. (1996), “Technological learning, strategic
flexibility, and new product development in the pharmaceutical industry”,
IEEE Transactions on Engineering Management, Vol. 43, pp. 368-380.
Bijmolt, T.H.A., & Zwart, P.S. (1994). The impact of internal factors on the export
success of Dutch small and medium-sized firms. Journal of Small
Business Management, ProQuest, 32 (2), 69.
Bontis, N. (1998), "Intellectual capital: an exploratory study that develops
measures and models", Management Decision, Vol. 36 No. 2, pp. 63-76.
Bontis, and Fitz-enz, J., (2002). “Intellectual Capital ROI: a causal map of human
capital antecedents and consequents”, Journal of Management Review,
Vol. 3 (3). Pp 223-247.
Bontis, N, CW Choo, (2002). “The Strategic Management of Intellectual Capital
and Organizational Knowledge” Published by Oxford University Press,
New York. ISBN: 0-19-513866-X.
Bontis, N., Seleim, A. and Ashour, A. (2007), "Human capital and organizational
performance: a study of Egyptian software companies", Management
Decision, Vol. 45 No. 4, pp. 789-801.
Blackburn JD (1991). “New product development: the new time wars. In:
Blackburn JD, editor. Time-based competition: the next battleground in
American manufacturing. Homewood”, IL: Business One Irwin, 1991, pp.
4 – 21.
Carbonell, P., & Escudero, A. I. R. (2010). The effect of market orientation on
innovation speed and new product performance. Journal of Business &
Industrial Marketing, 25, 501–513.
Carbonell, P., & Rodriguez-Escudero, A. I. (2009). Relationships among team’s
organizational context, innovation speed, and technological uncertainty:
An empirical analysis. Journal of Engineering and Technology
Management, 26, 28–45.
Carbonell, P., & Rodriguez, A. I. (2006). The impact of market characteristics and
innovation speed on perceptions of positional advantage and new product
performance. International Journal of Research in Marketing, 23, 1–12.
Campbell, B.A., Coff, R. and Kryscynski, D. (2012), "Rethinking Sustained
Competitive Advantage from Human Capital", The Academy of
Management Review (AMR), Vol. 37 No. 3, pp. 376-95.
Camison, C., & Villar-Lopez. (2010). Effect of SME’s international experience on
foreign intensity and economic performance: The mediating role of
internationally exploitable assets and competitive strategy. Journal of
Small Business Management. 48 (2), 116-151
Castro, Martín-de G , and M Delgado-Verde (2013) The moderating role of
innovation culture in the relationship between knowledge assets and
product innovation. Technological Forecasting & Sosial Change 80 (2013)
351-363.
Cohen, S. and Kaimenakis, N. (2007) ‘Intellectual capital and corporate
performance in knowledge-intensive SMEs’, The Learning Organization,
Vol. 14, No. 3, pp.241–262.
Combe, IA and GE Greenley , (2012). Capabilities for strategic flexibility: a
cognitive content framework. European Journal of Marketing, Vol. 8,
No.2, pp.1456-1480.
Covin, J.G, Slevin. (1989), Strategic Management of Small Firms in Hostile and
Benign Environments, strategic management journal Bol. 10, No. 1., pp.
75-87
Chen, M., Cheng, S. and Hwang, Y. (2005) ‘An empirical investigation of the
relationship between intellectual capital and firms’ market value and
financial performance’, Journal of Intellectual Capital, Vol. 6, No. 2,
pp.159–179.
Chen, C.J., Shih, H.A. and Yang, S.Y. (2009), "The Role of Intellectual Capital in
Knowledge Transfer", Ieee Transactions on Engineering Management,
Vol. 56 No. 3, pp. 402-11.
Chen, Y.S. (2008), "The positive effect of green intellectual capital on competitive
advantages of firms", Journal of Business Ethics, Vol. 77 No. 3, pp. 271-
86.
Chen, Y.Y. and Huang, H.L. (2012), "Knowledge management fit and its
implications for business performance: A profile deviation analysis",
Knowledge-Based Systems, Vol. 27, pp. 262-70.
Chin, W. W. (1998). The Partial Least Squares Approach to Structural Equation
Modeling. Dalam G. A. Marcoulides, Modern Methods For Business
Research (hal. 295-336). London: Lawrence Erlbaum Associates.
Chin, W. W., Vinzi, V. E., Henseler, J., & Wang, H. (2010). Handbook of Partial Least Squares. Berlin: Springer
Choi, B. and Jong, A.M. (2010), "Assessing the impact of knowledge
management strategies announcements on the market value of firms",
Information & Management, Vol. 47 No. 1, pp. 42-52.
Choi, B. and Lee, H. (2002), "Knowledge management strategy and its link to
knowledge creation process", Expert Systems with Applications, Vol. 23
No. 3, pp. 173-87.
Choi, B., Poon, S.K. and Davis, J.G. (2008), "Effects of knowledge management
strategy on organizational performance: A complementarity theory-based
approach", Omega-International Journal of Management Science, Vol. 36
No. 2, pp. 235-51.
Chong, H. Gin, 2008, Measuring performance of small and medium sized
enterprises: the grounded theory approach, Journal of Business and
Public Affairs volume 2, Issue 1, 2008.
Clark KB, Fujimoto T (1991). “Product development performance”. Boston, MA:
Harvard Business School Press.
Clark KB, Wheelwright SC (1993). “Managing new product and process
development”. New York, NY: The Free Press.
Creswell John W, (2013). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches (Ed. 2). Thousand Oaks, Ca: Sage.
CW Choo dan N Bontis, (2002). “The strategic management of intellectual
capital and organizational knowledge” Oxford University Press, 2002 -
Business & Economics.
Das. T.K. (1995). Managing strategic flexibility: key to effective performance
Journal of general management, 1995 - journals.sagepub.com
Darroch, J. (2005). Knowledge management, innovation and firm performance.
Journal of Knowledge Management, 9(3), 101–115.
Darsono & Ashari. (2005). Pedoman praktis memahami laporan keuangan.
Yogyakarta: Andi.
Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Sulawesi Tengah.
Dong-Sung dan Moom (2003). From Adam Smith To Michael Porter: Evolution Of
Competitiveness Theory.
Dreyer, B and K Grønhaug, (2004). Uncertainty, flexibility, and sustained
competitive advantage. Journal of business research 57 (2004) 484-494.
Esteve, Pinado dan Pinado, 2008). Moderating influences on the firm's strategic
orientation-performance relationship. Internasional Small Business
journal, 2008 26:463.
Evans, J. S. (1991). ‘Strategic flexibility for high technology maneuvers – a
conceptual framework’. Journal of Management Studies, 28, 69–89.
Fan Z, D Wu, X Wu, (2013). Proactive and reactive strategic flexibility in coping
with environmental change in innovation, - Asian Journal of Technology
Innovation, 2013
Ferdinand, Augusty, (2006). Metode Penelitian Manajemen : pedoman Penelitian
Untuk penulisan Skripisi, tesis, Dan Disertasi Ilmu Manajemen, Edisi 2,
Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ferdinand, Augusty (2015), Metode Penelitian Manajemen: Pedoman Penelitian
untuk penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Ilmu Manajemen. Penerbit
UNDIP Press. Semarang.
Ferreira, Joao dan Susana Azevedo, 2007. Entrepreneurial Orientation as a main
Resource and Capability on Small Firm’s Growth, MPRA Paper No. 5682,
posted 09 November 2007.
Firer, S. and Williams, S. (2003) ‘Intellectual capital and traditional measures of
corporate performance’, Journal of Intellectual Capital, Vol. 4, No. 3,
pp.348–360.
Frank, Herman, Alexender Kessler dan Matthias Fink, 2010. Entrepreneurial
Orientation and Business Performance; A Replication Study, Bidding
Strategis Entrepreneurial Orientation, Jel Classification: M 13 April 2010.
Gatot, Yudoko, NK Dewi, dan M Miharja, (2015). Analisis Kebijakan Distribusi
Bahan Baku Rotan Dengan Pendekatan Dinamik Sistem Studi Kasus
Rotan Indonesia. Journal Bisnis vol. 26, no. 3, 177-191, Desember 2015
Gelderen, M von, M Frese, and R Thurik, (2000). Strategies, uncertainty and
performance of small business startups. Small Business Economics,
2000).
Gica, OA dan Balint CI (2012). Planning practices of SMEs in North-Western
region of Romania–An empirical investigation. Procedia Economics and
Finance, 2012.
Gunday, G, G Ulusoy, K Kilic, L Alpkan Effects (2011), of innovation types on firm
performance, Int. J. Production Economics 133 (2011) 662–676, journal homepage: www.elsevier.com/locate/ijpe
Guo, dan Zhi Cao (2014). Strategic flexibility and SME performance in an
emerging economy A contingency perspective. Journal of Organizational
Change Management Vol. 27 No. 2, 2014 pp. 273-298.
Ghozali, Imam, 2014. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS
22. Edisi 8. Universitas Diponegoro : Semarang.
Ghozali, Imam. 2014. Struktural Equation Modeling “ Metode Alternatif dengan
Partial Least Squares (PLS)”, penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Ghozali, Imam dan Hengky Latan. 2015. Konsep, Teknik, Aplikasi Menggunakan
PLS. Manajemen Personalia. PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Grant, R.M., 1991, ‘The resource based theory of competitive advantage:
implications for strategy formulation’, California Management Review,
33(3): 114–35.
Grant, R.M., 1993, ‘Organizational capabilities within a knowledge-based view of
the firm’, Presented at the Academy of Management Conference, Atlanta,
Georgia.
Grewal, R. and Tansuhaj, P. (2001), “Building organizational capabilities for
managing economic crisis: the role of market orientation and strategic
flexibility”, Journal of Marketing, Vol. 65, pp. 67-80.
Griffin. A (2002). “Product development cycle time for business-to-business
products” Industrial Marketing Management 31 (2002) 291– 304
H. M.A.,Herath and Mahmood, Rosli (2013). Strategic orientation based
research model of SME performance for developing countries. Review of
Integrative Business and Economics Research, 2 (1). Pp. 430-440. ISSN
2304-1013.
Hair, J., Anderson, R., Tatham, R., Black, W. (1995). Multivariate Data Analysis
with Readings. Prentice Hall International, NJ.
Hair, Josep F Jr, William C. Black, Berry J Babin, Rolp E. Anderson, 2010
Multivariate Data Analysis, Sevent Edition. Pearson Prentice Hall USA.
Hair, Joe F, Cristian M Ringel, and Marko sartedt, (2011), PLS-SEM: Indeed a
Silver Bullet, journal of Marketing Theory and Practice,Vol.19
Hair, J. F., Sarestedt, M., Ringle, C. M., & Mena, J.A. (2012). An assesement of
the use of partial least squares structural equation modeling in marketing
research. Journal of the Academy of Marketing Science.
Hair, J. F., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2013). Editorial Partial Least Square
Structural Equation Modeling: Rigorous Applications, Better Results and
Higher Acceptance. ELSEVIER, 1-12
Hair, J.F, G.Toma:s M. Hufit, Christion M. dan Marko Sarstedt. (2014). “ A primer
on partial least squares structural equation modeling ( PLS-SEM)” SAGE
Los Angeles
Hair, J. F., Hult, G.T M., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2016). A Primer on Partial
Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), 2 end ed.
Thousand Oaks, CA :Sage.
Harrigan, K.R. (1985). Strategic Flexibility. A Management Guide for Changing
Times. Lexington, MA: Lexington Books.
Hamel, Gary, C. K. Prahalad, Howard Thomas dan Don O. Neal,. (1998).
Strategic flexibility : Managing in a Turbulent Environment, John Wiley &
Sons, New York.
Haindl, G. (2002). Tacit knowledge in the process of innovation. Ekonomicky
Casopis,50, 107–120.
Hirobumi, T., & Tanaka,Y. (2010). Entrepreneurial orientation and business
performance of small and medium scale enterprises of Hambantota
District Sri Lanka. Asian Social Science. 6 (3).
Hitt ; Hokisson ; Harrison, (1999). Human capital and Strategic Competitiveness
in the 1990s, Journal of Management Development, Bol 13, No 1.
………, Ireland, R. D, And Hoskisson, R.E, (1999a). Strategic management:
Competitiveness and Globalization (3rd ed). CincinnatiL South-Western
Publishing.
………, Hoskisson, R. E., dan Kim, H. (1997). International diversification:
Effetcts on innovation and firm performance in product –diversified firms.
Academy of management Journal. 40;767-777.
Hitt, Michael A. t, Ireland R. Duane, David G. Sirmon, and Cheryl A, (2011).
Strategic Entrepreneurship: Creating Value for Individuals, Organizations,
and Society. Acad manage perspect may 2011 25:2 57-75
Hitt, M.A., Keats, B.W. and DeMarrie, S.M. (1998). Navigating in the new
competitive landscape: Building strategic flexibility and competitive
advantage in the 21st century. Academy of Management Executive, 12,
pp. 22–42.
Hurley, R.F. and Hult, G.T.M. (1998), “Innovation, market orientation, and
organizational learning: an integration and empirical examination”, Journal
of Marketing, Vol. 62 No. 3, pp. 42-54.
H Guo, Z Cao, (2014). “Strategic flexibility and SME performance in an emerging
economy: A contingency perspective” Journal of Organizational Change
Management Vol. 27 No. 2, 2014 pp. 273-298.
Hsu, I.C. and Sabherwal, R. (2011), "From Intellectual Capital to Firm
Performance: The Mediating Role of Knowledge Management
Capabilities", Ieee Transactions on Engineering Management, Vol. 58 No.
4, pp. 626-42.
Hsu, I.C. and Sabherwal, R. (2012), "Relationship between Intellectual Capital
and Knowledge Management: An Empirical Investigation", Decision
Sciences, Vol. 43 No. 3, pp. 489-524.
Hsu, Y.H. and Fang, W.C. (2009), "Intellectual capital and new product
development performance: The mediating role of organizational learning
capability", Technological Forecasting and Social Change, Vol. 76 No. 5,
pp. 664-77.
Ho, G.T.S. & Choy, K.L. (2010). An examination of strategies under the financial
tsunami. Industrial Management & Data Systems, 110 (9), 1319-1336.
Homburg. Christian, Krohmer Harley, dan P. John Workman, (2004), A strategy implementation perspective of market orientation. Journal of Business Research Volume 57, Issue 12, December 2004, Pages 1331-1340.
Hussi, T. (2004), "Reconfiguring knowledge management-combining intellectual
capital, intangible assets and knowledge creation", Journal of Knowledge
Management, Vol. 8 No. 2, pp. 36-52.
Indrawati, S (2012). Development with a Theme (ICSMED 2012) Based on local
Competencies, International Conference on Small and Medium
Enterprise, Procedia Economics and Finance 4 (2012) 59-67.
Ittner CD, Larcker DF (1997). “Product development cycle time and
organizational performance”. J Mark Res 1997;XXXIV:13– 23 (February).
Jacobson, Robert and David A. Aaker (1987), "The Strategic Role of Product
Quality," Journal of Marketing, 51 (Oc-tober), 31-44.
Janosevic, S., Dzenopoljac, V. and Bontis, N. (2013) ‘Intellectual capital and
financial performance in Serbia’, Knowledge and Process Management,
Vol. 20, No. 1, pp.1–11.
Johnson, J.L., Lee, R.P.-W., Saini, A. and Grohmann, B. (2003), “Market-focused
strategic flexibility: conceptual advances and an integrative model”,
Journal of Academy of Marketing Science, Vol. 31 No. 1, pp. 74-89.
Flexibility in open innovation 1385
Johnsen, P.C., & Mcmahon, R.G.P. (2005). Cross-industry differences in SME
financing behaviour: An Australia perspective. Journal of Small Business
and Enterprise Development; 12 (2), 160.
J Alberto Aragon Correa, Nuria., et al (2008). Environmental strategy and
performance in small firms: A resource-based perspective, Journal of
Environmental Management, Volume 86, Issue 1, January 2008, Pages
88-103.
Kapasuwan, Supara., Jerman Rose dan Chiung-Hui Tseng, (2007). The
Synergistic Effects of Strategic Flexibility and Technological Resources on
Performance of SMEs. Journal of Small Business & Entrepreneurship.
Keats, BW dan Hitt, (1988). A causal model of linkages among environmental
dimensions, macro organizational characteristics, and performance,
Academy of management journal.
Kementerian, Koperasi, dan UMKM (2015). www.depkop.go.id/berita-
informasi/data-informasi/laporan-tahunan.
Kenneth, R Andrews (1971). The concept of corporate strategy, New York, books.google.com
Kessler, E. H, MA Allocca, N Rahman , 2007. “External Knowledge Accession
and Innovation Speed in the Small and Medium Sized Enterprise (SME), Small Enterprise Research, 15:1, 1-21
Kessler, E. H., & Bierly, P. E. III, (2002). Is faster really better? An empirical test of the implications of innovation speed. IEEE Transactions on Engineering Management, 49, 2–12.
Kessler E.H, Chakrabarti AK. Speeding up the pace of new product development.
J Prod Innovation Manage 1999;16(3):231– 47 (May). Kessler, E. H., & Chakrabarti, A. K. (1996). Innovation speed: A conceptual
model of context, antecedents, and outcomes. The Academy of Management Review, 21, 1143–1191.
Kohli. Ak dan BJ Jaworski, (1990). Market orientation: the construct, research
propositions, and managerial implications. The Journal of Marketing, 1990 – JSTOR.
Kotey. B, GG Meredith (2005). Relationships among owner/manager personal
values, business strategies, and enterprise performance, Journal of small
business.
Kreiser. PM, LD Marino dan DF Kuratko (2013). Disaggregating entrepreneurial
orientation: the non-linear impact of innovativeness, proactiveness and
risk-taking on SME performance. Small Business Economics.
Leitão J., & Franco, M. (2008). Individual entrepreneurship capacity and
performance of SMEs. University of Beira Interior [On-line] Available at
http://mpra.ub.uni muenchen.de/8179/MPRA Paper No. 8179.
Liao. J, JR Kickul, H Ma, 2009’ Organizational Dynamic Capability and
Innovation: An Empirical Examination of Internet Firms” Journal of small
business. Wiley Online Library.
Lin. Bou Wen, Li Po Chien, dan Ja Shen Chen (2006). Social capital, capabilities,
and entrepreneurial strategies: a study of Taiwanese high-tech new
ventures. Technological Forecasting and Social Change, Volume 73,
Issue 2, February 2006, Pages 168-181.
Lind Douglas, William Marchal, dan Samuel Wathen. (2018). ‘Statistical
Techniques in Business and Economics 17th Edition, Mc Graw Hill.
Ling, Y.H. (2011), "The influence of intellectual capital on organizational
performance—Knowledge management as moderator", Asia Pacific
Journal of Management, pp. 1-28.
Ling, Y.H. (2013), "The influence of intellectual capital on organizational
performance-Knowledge management as moderator", Asia Pacific Journal
of Management, Vol. 30 No. 3, pp. 937-64.
Lev, B (2001). Intangibles: Management, Measurement, and Reporting, The
Brookings Institution, Washington, DC.
Lee. Y, J Shin, dan Y Park. (2012). The changing pattern of SME's
innovativeness through business model globalization. Technological
Forecasting and Social Change, 2012
Lopez, Carolina., Nicolas., Angel L., Merono Cerdan (2011). “Strategic
Knowledge management, innovation and performance”, International
Journal of Information Management Volume 31, Issue 6, December 2011,
Pages 502-509
Maditinos, D., Chatzoudes, D., Tsairidis, C. and Theriou, G. (2011), "The impact
of intellectual capital on firms' market value and financial performance",
Journal of Intellectual Capital, Vol. 12 No. 1, pp. 132-51.
Marr. B dan G Schiuma, A Neely (2004). Intellectual capital–defining key
performance indicators for organizational knowledge assets. Business
Process Management.
……….,(2008). Impacting Future Value: How to manage your Intellectual Capital,
The Society of Management Accountants of Canada.
Maria, P.K.,(2012). Kapabilitas Kewirausahaan dan Profitabilitas : Peran
Moderasi Fleksibitas Stategi, JRAK, Volume 8, No, 2 Agustus 2012.
Maltz, Alan C. , Shenhar , Aaron J. , and Reill, Richard R, (2003). Beyond the
Balanced Scorecard: Refining the Search for Organizational Success
Measures. Jurnal Long Range Planning Volume 36, Issue 2, April 2003,
Pages 187-204.
Mavridis, D.G. (2004) ‘The intellectual capital performance of the Japanese
banking sector’, Journal of Intellectual Capital, Vol. 5, No. 1, pp.92–115.
Mastura R. (2011). Implementasi pengembangan kompetensi inti industri daerah
Palu. Power Point Presentasi Visi Misi Walikota Palu. Mintzberg, H & Quin (1991) The Strategy Process. Englewood Cliffs: Prentice
Hall Mintzberg, H. (1994) The Rise and Fall of Strategy Planning. London: Prentice
Hall Mehralian, G., Rasekh, H.R., Akhavan, P. and Ghatari, A.R. (2013), "Prioritization
of intellectual capital indicators in knowledge-based industries: Evidence
from pharmaceutical industry", International Journal of Information
Management, Vol. 33 No. 1, pp. 209-16.
Mehralian, G., Rajabzadeh, A., Sadeh, M.R. and Rakesh, H.R. (2012)
‘Intellectual capital and corporate performance in Iranian pharmaceutical
industry, Journal of Intellectual Capital, Vol. 13, No. 1, pp.138–158.
Meyer MH, Utterback JM (1995). “Product development cycle time and
commercial success”. IEEE Trans Eng Manage 1995;42(4):297 –304
(November).
Muchtolifah. (2008). Pengaruh sumber daya manusia, orientasi pasar, orientasi
kewirausahaan terhadap strategi bersaing dan kinerja rumah sakit.
Disertasi, Program Doktor Ilmu Manajemen, Program Pascasarjana
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Nandakumar, M.K., Jharkharia, S. and Nair, A.S. (2014). Organisational
Flexibility and Competitiveness. New Delhi: Springer India.
Nadkarni, S., Nareyanan, V.K., 2007. Strategic schemas, strategic flexibility, and
firm performance: the moderating role of industry clockspeed. Strategic
Manage- ment Journal 28, 243–270.
Neneh. NB dan JH Van Zyl, (2012). Achieving optimal business performance
through business practices: Evidence from SMEs in selected areas in
South Africa. Southern African Business Review.
Nelson, Bruce dan Max Coulthard, 2005. The impact of Entreprenurial
Orientation On Performance. In Australia Franchise Firms, Monash
University Business and Economics, Working Paper.
Nunnally, J. (1978), Psychometric Theory, McGraw-Hill, New York, NY.
Nonaka, I. and Takeuchi, H. (1995) The Knowledge-creating Company: How
Japanese Companies Create the Dynamics ofInnovation, Oxford
University Press, New York, NY and Oxford.
Nonaka, I. and von Krogh, G. (2009), "Tacit Knowledge and Knowledge
Conversion: Controversy and Advancement in Organizational Knowledge
Creation Theory", Organization Science, Vol. 20 No. 3, pp. 635-52.
OECD (2005). Oslo Manual: Proposed guidelines for collecting and interpreting
technological innovation data. 2nd ed. Paris: OECD Publising.
Oluikpe, P. (2012), "Developing a corporate knowledge management strategy",
Journal of Knowledge Management, Vol. 16 No. 6, pp. 862-78.
Okweita. B, dan JK Grabara (2013). Innovations' influence on SME's enterprises
activities. Procedia Economics and Finance, Volume 6, 2013, Pages 194-
204
Oyedijo. A dan RO Akewusola, (2012). Oganizational Strategy and Firm
Performance: A Test of Miles and Snow‟ s Model Using 34 Paint
Manufacturing SMEs in Southwestern Nigeria. Journal of Research in
International.
Penrose, E.T. 1958. The theory of the growth of the firm. New York: Wiley.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (2011). Ketentuan ekspor
rotan dan produk rotan. Nomor: 35/M-DAG/PER/11/2011. Jakarta:
Menteri Perdagangan R.I.
Porter, Michael E. (1980), Competitive Strategy. New York: The Free Press
Porter. ME, M Goold, K Luchs (1996). From competitive advantage to corporate
strategy. Managing the multibusiness, 1996 - books.google.com
………,(2011). Competitive advantage of nations: creating and sustaining
superior performance. books.google.com.
Pulic, A (1998) Measuring the performance of intellectual potential in knowledge
economy, 2nd McMaster Word Congress on Measuring and Managing
Intellectual Capital by the Austrian Team for Intellectual Potential).
………,(2000) VAIC™ an accounting tool for IC management, Journal technologi
management ISSN: 0267-5730 Online ISSN: 1741-5276.
Partiwi, Dwi Astuti, 2004, Hubungan intellectual Capital dengan Business
Performance, Tesis Universitas Diponegoro.
Ricceri, F. (2008), Intellectual Capital and Knowledge Management: strategic
management of knowledge resources, Routledge.
Rudianto,R.P dan Siregar, S.V. (2012). Kualitas Laporan Keuangan UMKM serta
Prospek Implementasi SAK ETAP, jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia Volume 9-No.1, Juni 2012.
Rofiaty, 2012. The Relationship Chain For Enhance Innovation and the
performance Perspective from Environmental Condition, Knowledge
Sharing, Behavior and Strategic Palnning Process, A Study on Industry
Centre in East Jawa, Journal of Basic and Applied Scientific Research, 2
(8): 7842-7851.
Rofiaty, 2019. The relational model of entrepreneurship and knowledge
management toward innovation, strategy implementation and improving
Islamic boarding school performance. Journal of Modelling in
Management, Publisher: Emerald Publishing Limited ISSN: 1746-5664
Publication date: 19 June 2019. https://doi.org/10.1108/JM2-05-2018-
0068.
Romero. I dan JA Martínez-Román (2012). Self-employment and innovation.
Exploring the determinants of innovative behavior in small businesses.
Research Policy, Volume 41, Issue 1, February 2012, Pages 178-189.
Roos, G., Roos, G., Pike, S. and Fernstrom, L. (2007), Managing intellectual
capital in practice, Routledge.
Roos, J., Roos, G., Dragonetti, N.C. and Edvinsson, L. (1997), Intellectual capital,
Macmillan Business.
Sande, H. (1995), Innovation Adoption in Rural Industry: Technological Change
in Roof Tile Cluster in Central Java, Indonesia, PhD diss., Vrije
Universiteit Amsterdam.
Sandulli. FD, PMA Baker, dan JI López, (2013). Can small and medium
enterprises benefit from skill-biased technological change. Journal of
Business Research. Volume 66, Issue 10, October 2013, Pages 1976-
1982.
Sanchez, R., Heene, A. and Thomas, H., 1996, Dynamics of Competence-Based
Competition: Theory and Practice in the New Strategic Management, New
York: John Wiley.
Sanchez. R, (1995). Strategic flexibility in product competition. Strategic
management journal, Volume16, Issue Special Issue 1995 Pages 135-
159.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: Skill-Building Approach. 4th
Edition, John Wiley & Sons, New York.
……….., U. 2006. Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Ed. 4 Buku, Salemba
Empat.
Seleim, Ahmed A.S, dam Omar E.M Khalil (2011). “ Understanding the
knowledge management-intellectual capital relationship: a two-way”
Journal of Intellectual Capital Vol. 12 No. 4, 2011 pp. 586-614
Singh. RK dan SK Garg, (2008). Strategy development by SMEs for
competitiveness: a review. An International Journal, Volume: 15 Issue: 5,
2008.
Suci Rahayu P. (2009). Peningkatan kinerja melalui Orientasi Kewirausahan,
kemampuan Manajemen, dan Strategi Bisnis (Studi pada industri kecil
menengah Bordir di Jawa Timur) dalam Jurnal manajemen dan
Kewirausahan Vol 11 No.1.
Sugiyono, (2013). Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D.,
Bandung: ALFABETA.
Suliyanto, 2009, Kesesuaian (FIT) Antara Lingkungan dengan Orientasi Starategi
untuk meningkatkan Kinerja Usaha Kecil Menengah (UKM): sebuah
model pengembangan teoritis, performance. Vol 10 No. 01, September
2009 (p.88-101).
Supartman. (2011). Produk kerajinan rotan andalan UMKM SULTENG [On-line]
Available at http://www.kumperindag.sulteng.go.id. 17 Februari 2019.
Solimun, 2004, Pengukuran Variabel dan Pemodelan Statistik, Malang:
Pascasarjana Universitas Brawijaya.
……….,. 2010. Analisis Multivariat Pemodelan Struktural Metode Partial Least.
Square- PLS. Penerbit CV. Citra: Malang.
………..,Armanu dan Adji Achmad. (2018). Metodologi Penelitian Kuantitatif
Perspektif Sistem Universitas Brawijaya (UB) Press.
Suardhika. I Nengah, Ubud Salim, Eka Afnan Troena, dan Armanu Thoyib (2012)
Integrasi Sumber Daya Strategis, Orientasi Kewirausahaan dan Dinamika
Lingkungan sebagai Basis Strategi Bersaing serta Pengaruhnya terhadap
Kinerja Usaha (Studi pada Usaha Kecil & Menengah di Bali), Vol 10, No 1
(2012).
Sushil and Stohr, E.A. (2014). The Flexible Enterprise. New Delhi: Springer India.
Schumpeter, J.A. (1934). Theory of economic development. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Schoonhoven BC, Eisenhardt KM, Lyman K. (1990). ‘Speeding products to
market: waiting time to first product introductions in new firms”.
1990;35:177–207
Sharabati, A.A.A., Jawad, S.N. and Bontis, N. (2010), "Intellectual capital and
business performance in the pharmaceutical sector of Jordan",
Management Decision, Vol. 48 No. 1-2, pp. 105-31.
Sherman DJ, Souder WE, Jenssen SA (2000). “Differential effects of the primary
forms of cross functional integration on product development cycle time”.
J Prod Innovation Manage 2000;17(4):257– 67 (July).
Shimizu, K. and Hitt, M.A. (2004), “Strategic flexibility: organizational
preparedness to reverse ineffective strategic decisions”, Academy of
Management Executive, Vol. 18, pp. 44-59.
Sholihin, M. dan D. Ratmono. 2013. Analisis SEM-PLS dengan WrapPLS 3.0
untuk Hubungan Non-Linear dalam Penelitian Sosial & Bisnis. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
Shih, C.P., Chen, W.C. and Morrison, M. (2010), "The Impact Of Intellectual
Capital On Business Performance In Taiwanese Design Industry", Journal
of Knowledge Management Practice, Vol. 11 No. 1, pp. 1-16.
Slack. Nigel, (1983). Flexibility as a Manufacturing Objective International Journal
of Operations & Production Management, Volume: 3 Issue: 3, 1983.
Spender, J.C. (1996), "Making knowledge the basis of a dynamic theory of the
firm", Strategic Management Journal, Vol. 17, pp. 45-62.
Stewart, T. and Ruckdeschel, C. (1998), "Intellectual capital: The new wealth of
organizations", Performance Improvement, Vol. 37 No. 7, pp. 56-59.
Stalk, G. 1993. Time and innovation. Canadian Business Review, 17(3): 15-18. Starr, M. K. 1992. Accelerating innovation. Business Horizons, 35(4): 44-51.
Subramaniam, M. and Youndt, M.A. (2005), "The influence of intellectual capital
on the types of innovative capabilities", Academy of Management Journal,
Vol. 48 No. 3, pp. 450-63.
Starovic, D. and B. Marr. 2004. Understanding Corporate Value: Managing and
Reporting Intellectual.
Sveiby. karl erik, (1997). The Intangible Assets Monitor, Journal of Human
Resource Costing & Accounting, Volume: 2 Issue: 1,
Tan, J. dan Wang, L. (2010). Flexibility–efficiency tradeoff and performance
implications among Chinese. Journal of business research, Journal of
Business Research, Volume 63, Issue 4, April 2010, Pages 356-362
Tastan. Seçil Bal, (2013). The Influences of Participative Organizational Climate
and Self-Leadership on Innovative Behavior and the Roles of Job
Involvement and Proactive Personality: A Survey in the Context of SMEs,
Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 75, 3 April 2013,
Pages 407-419.
Teece, D.J., Pisano, G. and Shuen, A., 1997, ‘Dynamic capability and strategic
management’, Strategic Management Journal, 18 (7): 09–33.
Teece, D.J., Pisano, G. and A. Shuen., 1994, ‘Dynamic capabilities and strategic
management’, CCC working paper No. 94–9.
Tellu, T. (2007). Karakteristik rotan dan saluran pemasarannya di Propinsi
Sulawesi Tengah. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
Makassar.
Tidor Adriana, Cristian Gelmereanu, dan Paul Baru ef al., (2012). Diagnosing
Organizational Culture for SME Performance, Procedia Economics and
Finance, Volume 3, 2012, Pages 710-715
Toyli, J., & Hakkinen, L.(2008). Logistics and financial performance: An analysis
of 424 finnish small and medium-sized enterprises. International Journal
of Physical Distribution & Logistics Management, 38 (1), 57-80.
Thornhill, S (2006), Knowledge, innovation and firm performance in high- and
low-technology regimes Journal of Business Venturing 21 687– 703
The Global Competitiveness Report (2017). www3.weforum.org/...2017/
05FullReport/ TheGlobalCompetitivenessReport2016-2017.
The Global Competitiveness Report (2016). www3.weforum.org/docs/gcr/...2016/
Global_Competitiveness_Report_2015-2016
Ubud Salim, 2011, Manajemen Keuangan Strategi: Panduan Memperbaiki
Kinerja Keuangan dan Profit, Penerbit UB Pres, Malang.
Ulum, Ihyaul, (2007). Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan Perbankan di Indonesia. Tesis. Semarang : Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Ural, T. (2009). The effects of relationship quality on export performance : A
classification of small and medium-sized Turkish exporting firms operating
in single export-market ventures. European Journal of Marketing, 43 (1/2),
139-168.
Venkatraman, N., and Ramanujam, V, (1986). Measurement of Business
Performance in Strategy Research. Academy of Management Review
11:423-444.
Vinzi, V. E., Chin, W. W., Henseler, J., & Wang, H. (2010). Handbook of Partial
Least Squares. Berlin: Springer.
Volberda, H.W. (1998). Building the Flexible Firm: How to Remain Competitive. Oxford: Oxford University Press.
Wernerfelt, B. 1984. A resource-based view of the firm. Strategic Management
Journal, 5: 171-180.
Walsh. K, CA Enz, dan l Canina, (2008). The impact of strategic orientation on
intellectual capital investments in customer service firms, Journal of
Service Research,.
Wang. C dan E Walker, (2011). Explaining the lack of strategic planning in SMEs:
The importance of owner motivation, ecu publications pre. 2011.
Wang, Z., Wang, N. and Liang, H. (2014), "Knowledge sharing, intellectual capital
and firm performance", Management Decision, Vol. 52 No. 2, pp. 230-58.
Wang, Z.N. and Wang, N.X. (2012), "Knowledge sharing, innovation and firm
performance", Expert
Wang, zhining nianxin wang jinwei cao xinfeng ye , (2016),"The impact of
intellectual capital - knowledge management strategy fit on firm
performance", Management Decision, Vol. 54 Iss 8 pp.
Widjajani dan Gatot Yudoko, (2008). Keunggulan Kompetitif Industri Kecil
Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumber Daya : Studi Kasus
pengusaha industri kecil logam kiara Condong Bandung. Jurnal teknik
industri Vol 10, no.1, Juni 2008 : 50-64
Weerawardena, J. and O’Cass, A. (2004), “Exploring the characteristics of the
market-driven firms and antecedents to sustained competitive advantage”,
Industrial Marketing Management, Vol. 33 No. 5, pp. 419-28.
Wolff, A.J., & Pett, T.L. (2006). Small-firm performance: Modeling the role of
product and process improvements. Journal of Small Business
Management, 44 (2), 268-284.
Yang, C.C. and Lin, C.Y.Y. (2009), "Does intellectual capital mediate the
relationship between HRM and organizational performance? Perspective
of a healthcare industry in Taiwan", International Journal of Human
Resource Management, Vol. 20 No. 9, pp. 1965-84.
Yang, J. (2010), "The knowledge management strategy and its effect on firm
performance: A contingency analysis", International Journal of Production
Economics, Vol. 125 No. 2, pp. 215-23.
Youndt, M.A., Subramaniam, M. and Snell, S.A. (2004), "Intellectual capital
profiles: An examination of investments and returns", Journal of
Management Studies, Vol. 41 No. 2, pp. 335-61.
Xiaobo Wu and V. Sivalogathasan, 2013, Intellectual Capital for Innovation
Capacity: A Conceptual Model For Innovation, international Journal Of
Trade, Economics and Finance, Vol. No. 3, June 2013.
Zirger BJ, Hartley (1994). “A conceptual model of product development cycle
time”. J Eng Technol Manage 1994;11:229–51.
top related