BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes Definisi. BAB 2... · adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro, ... namun peran utamanya adalah untuk membentuk
Post on 10-Mar-2019
217 Views
Preview:
Transcript
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Diabetes
2.1.1 Definisi
Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena
adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro,
2005). Luka diabetes terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan
pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak ditangani dengan
manajemen yang baik, hal itu akan berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat
diamputasi (Prabowo, 2007).
2.1.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Pada pasien dengan diabetik, sering kali mengalami gangguan
pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan gangguan sensasi
saraf terutama pada bagian tubuh perifer atau yang dikenal dengan “diabetic
peripheral neuropathy” (Tanenberg, 2009). Efek sirkulasi inilah yang
menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang
berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot, kelenjar
dan organ visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom menyebabkan
terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah.
Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian
antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau
10
untuk kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada neuropati autonomi
ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, anhidrosis, yang memudahkan kulit
menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan infeksi dan
mengningkatkan risiko untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena
adanya neuropati perifer yang mempengaruhi pada saraf sensori dan sistem motor
yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa tekanan, nyeri, dan perubahan
temperatur (Suriadi, 2004; Tanenberg, 2009). Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan
tekanan yang biasanya terjadi pada kaki juga menjadi faktor risiko yang memicu
terjadinya luka, sehingga berisiko tinggi infeksi dan terjadinya amputasi (Rowe,
2014).
Infeksi pada penderita DM terjadi karena kondisi hiperglikemia merusak
respon immunologi, hal ini menyebabkan leukosit gagal melawan patogen yang
masuk, selain itu iskemia menyebabkan penurunan suplai darah yang
menyebabkan antibiotik juga tidak efektif sampai pada luka (Suriadi, 2007).
Lobmann et al. (2005), menerangkan hubungan gangguan fungsi sel,
ketidakseimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan faktor pertumbuhan (growth
factor). Dijelaskan bahwa pada kaki diabetes terjadi peningkatan apoptosis
fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi
memanjang, terbukti dengan adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar di
dalam luka. Neutrofil granulosit mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α
dan interleukin-1 β (IL-1β). Kedua sitokin ini merangsang sintesa matrix
metaloprotease (MMP), menyebabkan degradasi matrik protein dan faktor
11
pertumbuhan sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak
terkoordinasi.
2.1.3 Klasifikasi Luka Diabetes
Luka diabetes menurut Wagner dapat dibedakan kedalam lima grade, yaitu
(Clayton dan Elasy, 2009):
- Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa melibatkan jaringan bawah kulit
- Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang/pembentukan abses
- Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomyelitis
- Grade 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa
selulitis
- Grade 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
2.1.4 Fase Penyembuhan Luka
Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase, yaitu (Orsted et al, 2004;
Rothenberg, 2013; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009):
a. Fase Hemostasis
Setelah terjadi kerusakan jaringan kulit pada saat luka, trombosit berperan
dalam penutupan dari kerusakan pembuluh darah. Pembuluh darah itu
sendiri akan mengalami penyempitan dalam merespon cedera, tapi spasme
ini akhirnya akan rileks. Trombosit mengeluarkan zat vasokontriksi untuk
membantu proses ini, namun peran utamanya adalah untuk membentuk
bekuan darah stabil untuk menutup pembuluh darah yang rusak. Trombosit
diaktifkan dan mengeluarkan glikoprotein perekat yang memicu agregasi
trombosit. Trombosit juga megeluarkan faktor-faktor yang berinteraksi dan
12
merangsang kaskade pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang
pada gilirannya memulai pembentukan fibrin dari fibrinogen. Jaring fibrin
memperkuat agregat trombosit menjadi bekuan hemostatik stabil (Orsted et
al, 2004; Rothenberg, 2013).
Akhirnya, trombosit juga mengeluarkan faktor pertumbuhan, sebagai salah
satu faktor pertama dalam memulai langkah penyembuhan selanjutnya.
Faktor pertumbuhan ini melibatkan neutrofil dan monosit (memulai tahap
berikutnya penyembuhan luka), merangsang sel-sel epitel dan fibroblas.
Hemostasis terjadi dalam beberapa menit dari cedera awal kecuali pada
pasien yang memiliki gangguan pembekuan.
b. Fase Inflamasi
Secara klinis, inflamasi (fase kedua penyembuhan luka) bermanifestasi
sebagai eritema, bengkak, dan hangat, sering timbul nyeri atau dikenal
dengan istilah ”rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini biasanya
berakhir hingga 4 hari pasca luka terjadi. Respon inflamasi menyebabkan
pembuluh darah mengalami kebocoran, melepaskan plasma dan neutrofil ke
jaringan sekitarnya. Neutrofil memfagosit debris dan mikroorganisme serta
menyediakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Selama proses
pencernaan bakteri dan selular debris, neutrofil mati dan melepaskan enzim
intraseluler ke matriks sekitarnya yang kemudian mencerna jaringan. Fibrin
kemudian mengalami pemecahan sebagai respon pembersihan dimana
produk hasil degradasinya merangsang sel berikutnya yang terlibat dalam
13
proses tersebut seperti fibroblas dan sel epitel. Hal ini diperantarai oleh mast
cell lokal (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Penyembuhan luka memerlukan koordinasi aktivitas dan hubungan antar sel
yang baik. Sel berhubungan satu sama lain melalui protein terlarut yang
disebut sitokin dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan
tersebut dikeluarkan oleh suatu sel dan berikatan dengan reseptor pada sel
target. Ketika sitokin berikatan dengan sel target, ia menstimulasi migrasi
sel. Disisi lain faktor pertumbuhan menstimulasi sel target untuk membelah
dan memproduksi atau mensintesis sel baru sampai mengeluarkan substansi
seperti kolagen yang diperlukan dalam pembentukan matriks ekstraselular.
Matriks ekstraselular juga berperan aktif dalam penyembuhan luka dengan
interaksi sel-sel melalui reseptor bernama integrin, merangsang aktivasi
platelet, migrasi epitel dan pergerakan fibroblas. Monosit di sirkulasi
berdiferensiasi menjadi makrofag setelah sel tersebut keluar dari pembuluh
darah dan melakukan kontak dengan matriks ekstraselular (Orsted et al,
2004; Rothenberg, 2013).
c. Fase Proliferasi
Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah terjadinya luka dan biasanya
berlangsung sampai hari ke 21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka
dan kesehatan pasien. Hal ini ditandai dengan angiogenesis, deposisi
kolagen, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi dan epitelisasi luka.
Secara klinis, proliferasi ditandai oleh berwarna kemerahan pada jaringan
atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan kulit dan
14
kadang-kadang subdermal jaringan pada luka yang lebih dalam, serta
kontraksi luka. Dalam fase ini pertumbuhan lapisan luar pembuluh darah
kapiler dan sel-sel endotel. Proses ini disebut angiogenesis. Sel keratinosit,
yang bertanggung jawab untuk epitelisasi (Orsted et al, 2004; Rothenberg,
2013).
Dalam penyembuhan luka, sel-sel di bawah pengaruh faktor pertumbuhan
membelah untuk menghasilkan sel-sel baru, yang bermigrasi ke tempat luka
di bawah pengaruh sitokin. Ada keseimbangan antara MMP dan TIMPs
sehingga terdapat pertumbuhan jaringan baru. Pada luka kronik, sebaliknya,
di mana fase penyembuhan terhenti, pembelahan sel dan migrasi ditekan,
terdapat sitokin inflamasi dan MMP yang tinggi dan, rendahnya tingkat
TIMPs dan faktor pertumbuhan. Respon ini adalah karakteristik dari
keadaan inflamasi kronik. Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah
bakteri, adanya jaringan nekrotik, iskemia kronik atau trauma berulang.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor
pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan trombosit (Orsted et al,
2004; Rothenberg, 2013).
d. Fase Remodelling
Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling dan penataan kembali
jaringan luka dari jaringan kolagen untuk menghasilkan tensil dengan
kekuatan yang lebih besar. Sel-sel utama yang terlibat dalam proses ini
adalah fibroblas. Fase remodeling bias memerlukan waktu hingga dua tahun
15
setelah luka terjadi. Selama fase ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh darah
menghilang dan jaringan memerkuat susunannya. Remodelling mencakup
sintesis dan pemecahan kolagen (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Tabel 1. Fase Penyembuhan luka
Fase Penyembuhan
Luka
Waktu Sel yang Berperan Fungsi atau
Aktivitas
Hemostasis Segera Platelet Pembekuan darah
Inflamasi Hari 1-4 Neutrofil
Makrofag
Fagositosis
Proliferasi (granulasi
dan kontraksi)
Hari 4-21 Makrofag
Limfosit
Angiosit
Neutrosit
Fibroblas
Keratinosit
Membentuk kembali
kerusakan jaringan
Memperbaiki kembali
fungsi kulit
Penutupan luka
Remodelling
(Maturasi)
Hari 21-2 tahun Fibrosit Meningkatkan
kekuatan tensil
Sumber: Orsted et al, 2004; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009
Indikator penyembuhan luka dilihat dari kontinuitas lapisan kulit dan
kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas normal. Meskipun
proses atau fase penyembuhan luka sama bagi setiap orang, namun hasil yang
dicapai tergantung dari kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, luasnya
luka dan penatalaksanaan luka itu sendiri. Seorang yang muda dan sehat akan
mencapai proses yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mengalami masalah
kekurangan gizi, dan disertai oleh penyakit sistemik seperti DM (Purwaningsih,
2014).
Pada penderita DM, apabila kadar glukosa dalam tubuh tidak terkendali
akan menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di lokasi
radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bekterisid menurun
16
sehingga apabila ada mikroorganisme pada luka akan sulit untuk dimusnahkan
oleh fagosistosis-bakterisia intraseluler. Kondisi hiperglikemia merupakan media
pertumbuhan bakteri yang subur, sehingga kondisi ini meningkatkan risiko
terjadinya infeksi. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetik, yaitu kuman
aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerobik seperti
Clostridium perfringens, Clostridium novy, Clostridium septikum (Riyanto, 2007).
Pada DM, terjadi peningkatan mediator-mediator inflamasi, memicu
respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronik, namun keadaan ini dianggap
sebagai inflamasi derajat rendah, karena hiperglikemia sendiri menimbulkan
ganggguan mekanisme pertahanan seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting
dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan
secara ketat oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut lemah dan
angiogenesis terganggu sehingga terjadi gangguan penyembuhan luka (Tellechea
et al, 2010).
Menurut Schultz dan Mast, luka kronik dapat dicirikan dengan adanya
penurunan aktivitas mitogenesis (fibroblas, keratinosit, dan sel endotel vaskular),
peningkatan sitokin pro-inflamasi (seperti TNFa, IL-1β, dan TGF-β1),
ketidakseimbangan aktivitas protease (peningkatan aktivitas MMP dan penurunan
aktivitas TIMP), penurunan sitokin yang meningkatkan proliferasi (EGF dan
TGF-β), penurunan proliferasi dan migrasi fibroblas, perubahan fenotif fibroblas,
penurunan sintesis kolagen dan peningkatan produksi ROS dan NO
(Purwaningsih 2014).
17
Proses proliferasi juga akan sulit diprediksi pada pasien DM dikarenakan
sel basal keratinosit pada luka kronik sulit diaktivasi oleh tubuh. Selama proses
proliferasi berlangsung, sel-sel akan bermigrasi ke dalam matriks sementara dan
fibroblas luka memperoleh fenotipe kontraktil yang akan merubah menjadi
miofibroblas. Tipe sel ini memainkan peran utama dalam kontraksi luka (Werner
dan Groce, 2003).
Selain adanya mekanisme penyembuhan luka tingkat selular yang bekerja
dalam tubuh, jangka waktu penyembuhan luka juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang dapat mengurangi efisiensi penyembuhan, seperti area sekitar luka
yang kurang higienis, efek samping dari pengobatan, gangguan vaskularissi pada
luka berupa kondisi yang hipoksia, kebiasaan mengkonsumsi alkohol atau
merokok, dan kurangnya suplai nutrisi. Penyembuhan luka juga akan dipengaruhi
oleh faktor seperti infeksi bakteri yang menghasilkan biofilm, kadar kalium, dan
cairan luka. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas
fagositosis neutrofil polimorfonuklear (polimorphonuclear neutrophil/PMN).
Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeuroginosa. Manifestasi klinis akibat adanya hambatan tersebut, yaitu proses
inflamasi akan berlangsung lama dan kerusakan jaringan baru saat memasuki fase
proliferasi (Guo dan DiPietro, 2010).
Penelitian lain menyebutkan ion kalium (K+) dalam sel dapat menghambat
proliferasi yang berkaitan erat dengan respon fisiologis dari sel limfosit.
Hambatan kalium juga akan menyebabkan aktivasi sel terganggu dan akan
menimbulkan efek imunosupresif (Pardo, 2004). Sementara, pada cairan yang
18
dihasilkan dari luka kronik sangat berisiko menghambat proses proliferasi sel
fibroblas baru karena cairan bersifat apoptosis atau mengandung jaringan mati.
Cairan yang mengandung jaringan mati ini akan menghambat konsistensi migrasi
dari hormon faktor pertumbuhan dan sitokin. Hal ini menyebabkan pemanjangan
fase inflamasi dan memperlama proses penyembuhan luka (Moffat, Martin, dan
Smithdale, 2007)
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka secara umum adalah
faktor intrinsik, yaitu (Purwaningsih, 2014):
a. Usia Pasien. Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan
penyembuhan jaringan. Semakin tua usia maka jaringannya akan semakin
kurang lentur.
b. Nutrisi. Pada proses penyembuhan luka faktor nutrisi sangat penting. Pada
pasien yang mengalami penurunan tingkat diantaranya serum albumin, total
limposit dan transferin adalah merupakan resiko terhambatnya proses
penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka tidak hanya dipengaruhi oleh
protein saja, vitamin A, E, dan C juga mempengaruhi dalam proses
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan
berkurangnya makrofag yang konsekuensinya rentan terhadap infeksi,
retardasi epitelialisasi, dan sistesis kolagen. Defisiensi vitamin E
berpengaruh terhadap produksi kolagen. Sedangkan defisiensi vitamin C
dapat menyebabkan kegagalan fibroblas untuk memproduksi kolagen,
mudahnya terjadi ruptur pada kapiler dan rentan terhadap infeksi.
19
c. Hipovolemia. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi
dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
d. Hematoma. Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka
secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika
terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat
diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
e. Edema. Adanya edema dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen
karena adanya gerakan peningkatan tekanan interstisial pada pembuluh.
f. Insufisiensi Oksigen Jaringan. Diakibatkan karena adanya gangguan fungsi
organ paru, kardiovaskular, ataupun karena adanya vasokonstriksi setempat.
Selain itu terdapat juga faktor ekstrinsik, yaitu (Purwaningsih, 2004;
Suriadi, 2004):
a. Perawatan Jaringan. Cedera dan lambatnya penyembuhan dapat terjadi
karena perawatan jaringan yang kasar.
b. Teknik Pembalutan Tidak Tepat. Pembalutan yang terlalu kecil dapat
dimungkinkan terjadinya invasi mikroorganisme. Sedangkan pembalutan
yang terlalu ketat akan mengakibatkan pengurangan suplai oksigen dan
nutrisi ke jaringan
c. Benda Asing. Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan
menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat.
Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah
putih), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan
nanah (“Pus”).
20
d. Medikasi Steroid. Medikasi steroid dapat menyamarkan adanya infeksi
dengan mengganggu proses inflamasi normal.
e. Antikoagulan. Penggunaan antikoagulan pada luka dapat menyebabkan
hemoragi.
f. Psikososial. Berbagai jenis faktor psikosial dapat memberikan efek
merugikan pada penyembuhan luka seperti buruknya pemahaman dan
penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan
dengan perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body
image.
2.1.6 Manajemen Luka Diabetes
Manajemen luka diabetes merupakan tanggung jawab multidisplin. Tim
yang terlibat dalam manajemen luka diabetes antara lain perawat, dokter,
podiatris, dan perawat spesialis diabetes untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi hasil perawatan (Potter dan Perry, 2006).
Tujuan manajemen luka diabetes adalah menjaga kerusakan lebih lanjut
dan memaksimalkan kualitas hidup selanjutnya. Intervensi untuk mencapai tujuan
ini adalah dengan melakukan edukasi preventif, dan menjalankan program yang
ditetapkan. Manajemen luka diabetes nonsurgical terdiri dari menjaga moist pada
lingkungan luka, debridement jaringan nekrotik, mengurangi tekanan pada area
luka, meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas (Hess, 2002). Pengelolaan
luka diabetes berhubungan dengan pengurangan penekanan, pengendalian infeksi,
perbaikan iskemia dan menjaga lingkungan luka yang dapat meningkatkan proses
penyembuhan.
21
Pengurangan penekanan pada area luka dengan mengistirahatkan dan
mengelevasikan ekstremitas harus dilakukan sesegera mungkin. Cara yang
digunakan adalah dengan menggunakan alat bantu jalan, misalnya dengan
menggunakan kruk, walker atau kursi roda. Selanjutnya adalah pengendalian
infeksi. Pada umumnya luka diabetes mengalami infeksi mikroorganisme
sehingga harus dilakukan kultur luka. Kultur luka yang harus dilakukan adalah
kultur luka bagian dalam akan menunjukkan hasil yang lebih reliable terhadap
kondisi luka. Dengan kultur antibiotik yang diberikan akan lebih sensitif.
Selanjutnya, perawatan luka. Perawatan luka yang diberikan pada pasien harus
dapat meningkatkan proses penyembuhan luka. Pembersihan luka dilakukan
minimal dua kali dalam sehari. Perawatan yang bersifat memberi kehangatan dan
lingkungan yang moist pada luka (Sartika, 2008). Balutan luka yang bersifat
lembab dapat memberikan lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan
suatu proses penyembuhan luka dan mencegah terjadinya trauma atau kerusakan
ulangan yang memperparah kondisi luka. Kondisi luka yang lembab pada
permukaan luka dapat meningkatkan proses perkembangan perbaikan kondisi
luka, mencegah dehidrasi jaringan dan nekrosis sel. Kondisi ini juga dapat
meningkatkan interaksi antara sel dan faktor pertumbuhan (Carolina, 2014).
2.1.7 Kriteria Penyembuhan Luka
Push Score (length x widht, tissue type, exudate amount) adalah salah satu
acuan dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan mengalami
proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap
cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004).
22
Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang,
jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 2009).
2.2 Tanaman Kembang Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.)
2.2.1 Deskripsi dan Taknosonomi Tanaman
Tanaman kembang sepatu ( Hibiscus rosa sinensis Linn.) merupakan
anggota tanaman yang dikelompokkan dalam family Malvaceae. Tanaman ini
tumbuh sebagai tanaman perdu hijau.
Tanaman kembang sepatu tumbuh di
daerah dataran rendah sampai
pegunungan. Tanaman kembang sepatu
dengan nama ilmiah Hibiscus rosa
sinensis Linn. dideskripsikan pertama
kali oleh Linneaeus pada tahun 1753.
Deskripsi Linneaeus merujuk pada
tanaman dengan tipe bunga double
berwarna merah, yang ditemukan di sekitar bangunan kuil di Cina. Beers dan
Howie (1990) menjelaskan bahwa kata pertama penunjuk spesies yaitu rosa
memiliki arti mawar, dan kata kedua penunjuk spesiesnya (sinensis), memiliki arti
berasal dari Cina. Dengan demikian, secara istilah, tanaman ini diartikan sebagai
bunga Hibiscus mawar yang berasal dari Cina (Hajar, 2011).
Gambar 1. Tanaman Kembang
Sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.)
23
Tanaman ini memiliki berbagai nama lain di berbagai negara diantaranya
tanaman mawar china, dasani, gudhal, gurhal, jaba, joba, mandaar, sadaphool,
senicikobia, japaphool, japa, japakusam, jasum, jasunt, jaswand, jia pushpa,
kante, mandasa, sambathoo chedi, senitoa dan yaloyalo. Adapun taksonomi
tanaman kembang sepatu adalah sebagai berikut (Kumar dan Singh, 2012;
Pekamwar S.S et al, 2013).
a. Kingdom: Plantae
b. Subkingdom: Tracheobionta – (Vascular plants)
c. Super division: Spermatophyta – (Seed plants)
d. Division: Magnoliophyta –(Flowering plants)
e. Class: Magnoliopsida – (Dicotyledons)
f. Subclass: Dilleniidae
g. Order: Malvales
h. Family: Malvaceae
i. Genus: Hibiscus
j. Species: Hibiscus rosa-sinensis Linn.
Tanaman ini dapat mencapai tinggi kurang lebih tiga meter, dengan
karakteristik batang bulat, berkayu, keras, diameter kurang lebih sembilan
sentimeter, berwara ungu ketika muda dan setelah tua berwarna putih dengan
cokelat melintang (Iqbal dan Sulistyorini, 2014). Kembang sepatu memiliki akar
silindris dengan panjang 5-15 cm dan diameter dua sentimeter. Akar memiliki
rasa manis. Bunga kembang sepatu terdiri dari 5 kelopak, berwarna merah dengan
diameter sekitar tiga inci. Selain warna merah juga terdapat warna putih, orange,
24
kuning dan merah muda. Buah jarang terbentuk, berukuran panjang tiga
sentimeter berbentuk kapsul (Nwachukwu dan Mbagwu, 2007)..
Tanaman kembang sepatu memiliki daun yang sederhana, alternate,
stipulate, petiolate atau multifoliate. Daun tunggal, dengan ujung yang runcing,
pangkal tumpul, tepi bergerigi kasar, tulang daun menjari, anjang 10-16 cm, lebar
5-11 cm, daun berwarna hijau (Nwachukwu dan Mbagwu, 2007). Bagian tanaman
kembang sepatu yang dapat digunakan antara lain bunga, daun dan akarnya
(Kumar dan Singh, 2012). Penggunaan daun kembang sepatu sebagai alternatif
dalam mengatasi masalah kesehatan masih rendah. Dalam masyarakat umum,
tanaman asli daerah tropis dan sub-tropis ini secara luas dibudidayakan sebagai
tanaman hias ataupun dijadikan tanaman pagar pembatas (Siregar dan Nurlela,
2011).
2.2.2 Kandungan Kimia dan Khasiat Daun Kembang Sepatu dalam Proses
Penyembuhan Luka
Daun kembang sepatu mengandung kandungan bioaktif seperti glikosida,
steroid, triterpens, fenol, flavonoid, saponin dan tannin. Komponen fenol total
pada daun kembang sepatu setara dengan 48,4 mg catechol /g berat kering dan
flavonoid setara dengan 24,26 mg quercetin /g berat kering (Faten et al, 2012;
Patel et al, 2012). Kandungan lainnya adalah cyanidin, kalsium oksalat, tiamin,
riboflavin, niasin, asam malvalat, alkaloid, asam askorbat dan β-Sitosterol (Kate
dan Lucky, 2010; Patel et al, 2012; Pekamwar et al, 2013).
Berbagai penelitian menunjukkan daun kembang sepatu dapat
dimanfaatkan dalam bidang kesehatan diantaranya mengatasi androgenic alopecia
25
, memperbaiki fungsi ginjal , mengurangi keasamaan lambung dan penanganan
ulkus peptikum , obat demam pada anak-anak, obat batuk dan obat sariawan (Kate
dan Lucky, 2009; Mandade et al, 2011; Pac et al 2014).
Terkait dengan penyembuhan luka, ekstrak daun kembang sepatu memiliki
aktivitas sebagai antidiabetes. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sachdewa
(2001) yang menemukaan bahwa ekstrak daun kembang sepatu dengan dosis 250
mg/Kg memiliki aktivitas hipoglikemik setara dengan tolbutamide. Penelitian
sejenis juga dilakukan oleh Moqbel et al. (2011) yang menyatakan bahwa ekstrak
daun kembang sepatu memiliki efek insulinotropik alami dan agen hipoglikemik.
Daun kembang sepatu memiliki aktivitas antifungi terhadap Rhizoctonia
solani hingga 34,50%, aktivitas anti-inflamasi, merangsang pertumbuhan rambut,
analgesik, antipiretik, anatibakteri dan anatioksidan. Flavonoid memiliki efek
antimikroba, antivirus, anti-ulcerogenic, anti-neoplastik, antioksidan,
antihepatotoksik, antihipertensi, hipolipidemik, dan aktivitas anti-inflamasi.
Aktivitas anti-inflamasi flavonoid terjadi di kedua fase inflamasi yaitu fase
proliferasi dan eksudatif (Rathee et al, 2009). Penelitian telah menunjukkan
bahwa efek ini disebabkan penghambatan enzim yang terlibat dalam biosintesis
prostaglandin (misalnya, lipoksigenase, fosfolipase, dan siklooksigenase)
(Manthey, 2000). Flavonoid memiliki kemampuan immunomodulator yang dapat
mengaktivasi makrofag (Titisanti, 2005). Makrofag yang aktif berfungsi untuk
melakukan fagositosis, memproduksi TNF, perbaikan jaringan (fibroblast
stimulating factor, fibrinectin, kolagenase), sitokin dan memproduksi hormon
pertumbuhan. Hormon pertumbuhan bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi
26
dan proses mitogen fibroblas yang penting dalam proses penyembuhan luka serta
berperan pada reepitelisasi dan angiogenesis. Efek perlindungan dari flavonoid
dalam sistem biologikal adalah kapasitasnya untuk mentransfer elektron kepada
radikal bebas, mengikat katalis logam, mengaktifkan antioksidan enzimatik,
mengurangi radikal α-tocopherol, dan menghambat oksidase (Heim et al, 2002).
Kemampuan untuk membasmi radikal bebas utamanya disebabkan karena
reaktifitas yang tinggi dari gugus hydroxyl flavonoid dengan reaksi sebagai
berikut ;
F-OH + R. F-O.+ RH
Efek chelating dari flavonoid dengan menetralkan ion besi dari kelebihan
besi dalam sel hepar, sehingga menghambat kerusakan oksidatif.
Kandungan lainnya adalah saponin. Saponin merupakan komponen
sekunder yang ditemukan dalam banyak tanaman dapat berbentuk busa stabil
dalam larutan yang mengandung air, seperti sabun. Secara kimiawi, saponin
sebagai sebuah grup yang meliputi glycosylated steroid, triterpenoids dan steroid
alkaloids. Sebagai antioksidan, saponin mempunyai kekuatan mereduksi, aktivitas
membasmi radikal superoksida, aktivitas mengikat logam, dan antibakteri (Li et
al, 2007). Aktivitas ini berpengaruh pada kontraksi luka dan meningkatkan
kecepatan dalam epitelisasi luka. Daun kembang sepatu juga mengandung tanin.
Berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif DNA dengan
dua cara, yaitu mengikat logam terutama besi dan secara langsung membasmi
radikal bebas. Kandungan triterpen meningkatkan penyembuhan luka dengan efek
astringent dan antimikroba (Ambiyani, 2013). Selain itu efek antioksidan eksogen
27
dalam mengurangi dampak ROS dilaporkan merupakan strategi penting dalam
peningkatan proses penyembuhan luka, misalnya asam askorbat. Asam askorbat
juga berperan dalam penutupan luka saat terjadi pendarahan dan memberikan
perlindungan lebih dari infeksi mikroorganisme patogen (Naidu, 2003).
2.2.3 Ekstraksi Daun Kembang Sepatu
Ektraksi serbuk kering jaringan tumbuhan dapat dilakukan secara
maserasi, perkolasi, refluks atau sokhletasi dengan menggunakan pelarut yang
tingkat kepolarannya berbeda-beda. Daun kembang sepatu di ekstrak dengan cara
maserasi (Harbone, 1996; Kristanti, dkk.,, 2008).
Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk menarik komponen
yang kita inginkan, dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungan dari maserasi
adalah lebih praktis, pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan perkolasi
dan tidak memerlukan pemanasan, sedangkan kekurangannya adalah waktu yang
dibutuhkan lebih lama. Serbuk simplisia daun kembang sepatu sebanyak 100
gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian direndam dengan etanol 95%
sebanyak 750 ml, ditutup dengan menggunakan alumunium foil dan dibiarkan
selama 5 hari sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari, sampel yang direndam
tersebut disaring dengan kertas saring menghasilkan filtrat 1 dan ampas 1. Ampas
yang ada kemudian direndam kembali dengan etanol 95% sebanyak 250 ml,
ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 2 hari sambil sesekali
diaduk. Setelah 2 hari sampel tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring
menghasilkan filtrat 2 dan ampas 2. Filtrat 1 dan 2 dicampur menjadi satu, lalu
dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan pemanasan 34-40OC dan
28
dikentalkan dengan waterbath, sehingga diperoleh filtrat kental daun kembang
sepatu. Filtrat ditimbang dan disimpan dalam wadah gelas tertutup sebelum
digunakan (Kairupan, Fatimawali, Lolo, 2014).
2.3 Sediakan Obat Topikal
Kata topikal berasal dari bahasa Yunani, topikos yang artinya berkaitan
dengan daerah permukaan tertentu (Koesoemawati, dkk., 2002). Dalam literatur
lain disebutkan kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau
tempat. Secara luas obat topikal didefi nisikan sebagai obat yang dipakai di
tempat lesi (Sharma, 2008). Obat topikal adalah obat yang mengandung dua
komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif
merupakan komponen bahan topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat
pembawa adalah bagian inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau
padat yang membawa bahan aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa
mudah diaplikasikan, mudah dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan
secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan
kemudian mudah dilepaskan.
Untuk mendapatkan sifat zat pembawa seperti tersebut, maka
ditambahkanlah bahan atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam
memaksimalkan fungsi dari zat pembawa (Yahhendri dan Yenny, 2012).
Sediaan topikal secara umum dilihat dari aspek farmakokinetik,
menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang
diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya
29
didistribusikan secara sistemik (Yahhendri dan Yenny, 2012). Perjalanan sediaan
topikal secara umum, setelah diaplikasikan akan melewati tiga kompartemen,
yaitu: permukaan kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum
dapat berperan sebagai reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat
masih berkontak dengan permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak
dapat dihilangkan dengan cara digosok atau terhapus oleh pakaian. Unsur
vehikulum sediaan topikal dapat mengalami evaporasi, selanjutnya zat aktif
berikatan pada lapisan yang dilewati seperti pada epidermis dan dermis. Pada
kondisi tertentu sediaan obat dapat membawa bahan aktif menembus hipodermis.
Sementara itu, zat aktif pada sediaan topikal akan diserap oleh vaskular kulit pada
dermis dan hipodermis (Schaefer et al, 2008).
Ketika sediaan topikal diaplikasikan pada kulit, terjadi tiga reaksi, yaitu
(Yahhendri dan Yenny, 2012):
a. Solute vehicle interaction: interaksi bahan aktif terlarut dalam vehikulum.
Idealnya zat aktif yang terlarut dalam vehikulum tetap stabil dan mudah
dilepaskan. Interaksi ini telah ada dalam sediaan.
b. Vehicle skin interaction: merupakan interaksi vehikulum dengan kulit. Saat
awal diaplikasikan, fungsi reservoir kulit terhadap vehikulum.
c. Solute Skin interaction: interaksi bahan aktif terlarut dengan kulit. Saat suatu
sediaan diaplikasikan ke kulit, absorpsinya akan melalu tiga fase, yaitu lag
phase, rising phase, falling phase.
30
1) Lag phase
Periode ini merupakan saat sediaan diaplikasikan dan belum melewati
stratum korneum, sehingga pada saat ini belum ditemukan bahan aktif
obat dalam pembuluh darah.
2) Rising phase
Fase ini dimulai saat sebagian sediaan menembus stratum korneum,
kemudian memasuki kapiler dermis, sehingga dapat ditemukan dalam
pembuluh darah.
3) Falling phase
Fase ini merupakan fase pelepasan bahan aktif obat dari permukaan kulit
dan dapat dibawa ke kapiler dermis.
Gambar 2. Penetrasi Melalui Tiga Kompartemen Kulit (Schaefer et al, 2008)
31
Penetrasi sediaan topikal melewati beberapa macam jalur. Jalur pertama
adalah penetrasi transpidermal. Penetrasi transpidermal dapat secara interseluler
dan intraseluler. Penetrasi interseluler merupakan jalur yang dominan, obat akan
menembus stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid yang
mengelilingi sel korneosit. Difusi dapat berlangsung pada matriks lipid protein
dari stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum obat akan
menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya, hingga akhirnya berdifusi ke
pembuluh kapiler. Penetrasi secara intraseluler terjadi melalui difusi obat
menembus dinding stratum korneum sel korneosit yang mati dan juga melintasi
matriks lipid protein startum korneum, kemudian melewatinya menuju sel yang
berada di lapisan bawah sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis
dan berdifusi ke kapiler. Jalur kedua yaitu penetrasi secara transfolikuler.
Beberapa zat aktif dengan molekul kecil tidak hanya melewati sel-sel kornium,
tetapi juga melewati rute folikular. Obat berdifusi melalui celah folikel rambut
dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler (Cross dan Robert,
2008).
Tingkat penyerapannya sediaan topikal dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu sebagai berikut (Ansel, 1995).
a. Bahan aktif yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus menyatu pada
permukaan kulit dalam konsentrasi yang cukup.
b. Konsentrasi bahan aktif merupakan faktor penting, jumlah obat yang
diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu,
32
bertambah sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu
pembawa.
c. Penggunaan bahan obat pada permukaan yang lebih luas akan menambah
jumlah obat yang diabsorpsi.
d. Absorpsi bahan aktif akan meningkat jika pembawa mudah menyebar ke
permukaan kulit.
e. Ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya saat sediaan diaplikasikan.
f. Pada umumnya, menggosokkan sediaan akan meningkatkan jumlah bahan
aktif yang diabsorpsi.
g. Absorpsi perkutan akan lebih besar bila sediaan topikal dipakai pada kulit
yang lapisan tanduknya tipis.
h. Pada umumnya, makin lama sediaan menempel pada kulit, makin banyak
kemungkinan diabsorpsi.
Salah satu sediaan topikal adalah gel. Gel merupakan sediaan setengah
padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel organik dan anorganik.
Sediaan gel memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sediaan topikal
lainnya yaitu mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk
area berambut, tidak lengket, kemampuan penyebaran yang baik pada kulit, efek
dingin karena impermeable terhadap air dan pelepasan obat yang baik. Penetrasi
gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan pada
kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Rute difusi jalur
transfolikuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel membentuk lapisan
33
absorpsi (Panjaitan, dkk., 2012, Lachman et al, 2008; Voight, 1994; Yahhendri
dan Yenny, 2012).
Cara aplikasi sediaan obat topikal pada umumnya disesuaikan dengan lesi
pada permukaan kulit. Salah satu metode aplikasi gel adalah dengan dioleskan.
Banyaknya sediaan yang dioleskan disesuaikan dengan luas dam kelainan pada
kulit.
Penambahan cara oles sediaan dengan menggosok dan menekan juga
dilakukan pada obat topikal dengan tujuan memperluas daerah aplikasi namun
juga meningkatkan suplai darah pada area lokal, memperbesar absorpsi sistemik.
Penggosokan ini mengakibatkan efek eksfoliatif lokal yang meningkatkan
penetrasi obat (Schaefer et al, 2008). Sediaan topikal akan dapat memberikan
efek terapeutik secara sistemik apabila obat yang diberikan tersebut dapat
menembus lapisan kulit dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik (Ansel, 1989).
2.4 Pengaruh Pemberian Aloksan Terhadap Tikus Galur Wistar sebagai
Hewan Model Diabetes Melitus
Percobaan penelitian mengenai penyembuhan luka diabetes dengan
menggunakan hewan model berupa tikus galur wistar didasarkan pada patogenesis
penyakit DM pada manusia yang bersifat kronik. Kondisi patologis pada hewan
model bertujuan untuk melakukan melihat efektivitas terapi pada luka diabetes
dengan kondisi DM. Meskipun demikian, kondisi patologis hewan model tersebut
tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara nyata pada manusia.
34
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
hewan model untuk menghasilkan kondisi diabetes eksperimental (hiperglikemia)
secara cepat. Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat
pirimidin sederhana. Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6 - tetraoxypirimidin;
2,4,5,6-primidinetetron; 1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron (IUPAC) dan Mesoxalylurea
5-oxobarbiturat acid. Rumus kimia aloksan adalah C4H2N2O4. Aloksan murni
diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat. Aloksan adalah senyawa kimia
tidak stabil dan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009).
Aloksan merupakan zat kimia yang sering digunakan dalam induksi hewan
model DM dimana zat ini secara selektif merusak sel β pankreas. Kerusakan sel
ini akibat induksi aloksan diduga karena reduksi aloksan menghasilkan radikal
hidroksil yang dapat menyebabkan kematian sel β pankreas. Hal tersebut dapat
menyebabkan kondisi ‘alloxan diabetes’ (Lenzen, 2007). Dosis aloksan 150
mg/kgBB yang diinjeksi secara intraperitoneal dipilih karena dosis ini merupakan
dosis optimal untuk menyebabkan kondisi diabetes yang stabil dalam jangka
waktu yang lama (Szkudelski, 2001). Setelah 3 hari injeksi aloksan, dilakukan
pengambilan darah dari ekor tikus untuk mengukur kadar glukosa darah tikus
karena dalam waktu 12-48 jam pasca induksi aloksan telah terjadi kondisi
hiperglikemia yang menetap (Lenzen, 2007). Hewan coba yang belum diberikan
makanan diambil dari kandang, kemudian diambil sampel darahnya dari bagian
ekor dengan cara ditusuk menggunakan jarum steril, darah dikeluarkan dari ekor
tikus, diaplikasikan pada glucose strip dan dilihat hasilnya pada monitor. Setiap
tikus dievaluasi dan dilihat tingkat keberhasilan peningkatan gula darahnya, untuk
35
hewan coba yang tidak berhasil mengalami peningkatan gula darah yang
diinginkan, hewan coba akan dilakukan induksi ulang (Carolina, 2014).
2.5 Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
2.5.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
Tikus putih diklasifikasikan sebagai berikut (Sugiyanto, 1995).
a. Filum: Chordata
b. Subfilum: Vertebrata
c. Classis: Mammalia
d. Subclassis: Placentalia
e. Ordo: Rodentia
f. Familia: Muridae
g. Genus: Rattus
h. Species: Rattus norvegicus
2.5.2 Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar memiliki sifat karakteristik relatif resisten
terhadap infeksi dan memiliki kemampuan sangat cerdas. Tikus tidak seperti
mencit yang fotofobik dan cenderung berkumpul dengan sesamanya sehingga
aktivitasnya pun tidak terganggu oleh kehadiran manusia (Setiawan, 2010). Tikus
putih galur wistar memiliki ciri kepala lebar, telinga panjang, dan mempunyai
ekor yang panjangnya tidak melebihi panjang tubuhnya, berbulu putih, mata
berwarna merah, moncong tumpul, telinga dan mata kecil. Memakan segala
36
(omnivora) namun lebih menyukai daging dan kacang, ahli berenang, bisa
memanjat namun tidak ahli (Sugiyanto, 1995).
Dalam penelitian biasanya lebih sering menggunakan tikus jantan sebagai
binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil yang lebih
stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan
seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan
metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil
dibandingkan tikus betina (Ratnaningtyas, 2010). Tikus galur wistar jantan jarang
berkelahi dibandingkan dengan mencit jantan. Tikus galur wistar bisa tinggal
sendirian dalam kandang dan hewan ini memiliki ukuran tubuh lebih besar
dibandingkan dengan mencit yaitu dengan panjang 18-25 cm, sehingga untuk
percobaan di laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan dibandingkan
dengan mencit (Setiawan, 2010).
Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan beberapa alasan tikus
putih galur wistar digunakan dalam penelitian karena memiliki banyak
keunggulan. Pertama, banyak gen tikus wistar relatif mirip dengan manusia.
Kedua, sebagai binatang menyusui (mammalia), tikus galur wistar memiliki organ
yang lengkap dan kemampuan berkembang biak tikus galur wistar sangat tinggi,
sangat cocok digunakan dalam eksperimen masal. Selain hal tersebut, tipe bentuk
badan tikus tersebut kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya
relatif cepat bermanifestasi, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan manusia
(Setiawan, 2010).
37
2.5.3 Persiapan Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur Wistar
Tikus putih galur wistar akan diberikan penomoran sesuai dengan
kelompok sampel dan kemudian dimasukkan ke kandang sesuai dengan
kelompok, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
2.5.4 Persiapan Pakan dan Minum Tikus Putih (Rattus novergicus L.)
Galur Wistar
Komposisi pakan standar pada tikus dapat sedikit bervariasi, misalnya
protein 20-25% (tetapi hanya 12% kalau protein itu lengkap dengan semua asam
amino esensial dengan konsentrasi yang benar); lemak 5%; karbohidrat 45-50%;
serta kasar kira-kira 5% dan abu 4-5%. Seekor tikus dewasa makan sekitar 12-20
g makanan/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pemberian dilakukan pada
pagi atau sore hari. Minum diberikan dengan menggunakan botol ukuran 150 cc
dan ditempatkan diatas kandang. Pakan yang diberikan yaitu BR-1 (broiler 1).
Jenis minuman yang diberikan adalah air meneral. Pakan dan minum tikus
diberikan secara ad libitum.
2.5.5 Kandang Hewan Coba Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Galur
Wistar
Kandang hewan coba terbuat dari kotak plastik yang bagian atasnya
ditutup dengan menggunakan kawat besi yang telah dipilin. Dilengkapi juga
dengan tempat untuk minum. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2
untuk sepasang bibit tikus dan 1.080 cm2 cukup untuk seekor induk dengan 14
anak. Pada waktu disapih, kurang lebih 10 ekor tikus dapat ditempatkan di
38
kandang yang lebih besar. Apabila tikus sudah mencapai dewasa, maka 4-5 ekor
tikus adalah jumlah terbanyak yang dapat ditempatkan dalam kandang dengan
ukuran tersebut. Tikus akan dibuat hidup secara alami dalam kandang pada suhu
ruangan berkisar antara 20-25oC (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Untuk
makanannya, diberikan secara langsung ke tikus dengan cara menaburkan ke
dalam kotak setiap hari yaitu pada pagi atau sore hari. Kandang dan tempat
minum tikus dibersihkan dengan menggunakan sabun, kemudian kotak kandang
dijemur hingga kering dan di dalamnya diberikan alas dengan menggunakan
serbuk kayu. Pembersihan kandang dan penggantian serbuk kayu dilakukan
minimal setiap seminggu sekali (Carolina, 2014).
top related