9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes 2.1.1 Definisi Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro, 2005). Luka diabetes terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak ditangani dengan manajemen yang baik, hal itu akan berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007). 2.1.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya luka. Pada pasien dengan diabetik, sering kali mengalami gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan gangguan sensasi saraf terutama pada bagian tubuh perifer atau yang dikenal dengan “diabetic peripheral neuropathy” (Tanenberg, 2009). Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot, kelenjar dan organ visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom menyebabkan terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau
30
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Luka Diabetes Definisi. BAB 2... · adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro, ... namun peran utamanya adalah untuk membentuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Diabetes
2.1.1 Definisi
Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena
adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh (Pusponegoro,
2005). Luka diabetes terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan
pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak ditangani dengan
manajemen yang baik, hal itu akan berlanjut menjadi ulkus bahkan dapat
diamputasi (Prabowo, 2007).
2.1.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Penyakit neuropati dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi
terjadinya luka. Pada pasien dengan diabetik, sering kali mengalami gangguan
pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan gangguan sensasi
saraf terutama pada bagian tubuh perifer atau yang dikenal dengan “diabetic
peripheral neuropathy” (Tanenberg, 2009). Efek sirkulasi inilah yang
menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang
berdampak pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot, kelenjar
dan organ visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom menyebabkan
terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah.
Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian
antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, dan atau
10
untuk kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada neuropati autonomi
ini akan menyebabkan kulit menjadi kering, anhidrosis, yang memudahkan kulit
menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan infeksi dan
mengningkatkan risiko untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah karena
adanya neuropati perifer yang mempengaruhi pada saraf sensori dan sistem motor
yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa tekanan, nyeri, dan perubahan
temperatur (Suriadi, 2004; Tanenberg, 2009). Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan
tekanan yang biasanya terjadi pada kaki juga menjadi faktor risiko yang memicu
terjadinya luka, sehingga berisiko tinggi infeksi dan terjadinya amputasi (Rowe,
2014).
Infeksi pada penderita DM terjadi karena kondisi hiperglikemia merusak
respon immunologi, hal ini menyebabkan leukosit gagal melawan patogen yang
masuk, selain itu iskemia menyebabkan penurunan suplai darah yang
menyebabkan antibiotik juga tidak efektif sampai pada luka (Suriadi, 2007).
Lobmann et al. (2005), menerangkan hubungan gangguan fungsi sel,
ketidakseimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan faktor pertumbuhan (growth
factor). Dijelaskan bahwa pada kaki diabetes terjadi peningkatan apoptosis
fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi
memanjang, terbukti dengan adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar di
dalam luka. Neutrofil granulosit mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α
dan interleukin-1 β (IL-1β). Kedua sitokin ini merangsang sintesa matrix
metaloprotease (MMP), menyebabkan degradasi matrik protein dan faktor
11
pertumbuhan sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak
terkoordinasi.
2.1.3 Klasifikasi Luka Diabetes
Luka diabetes menurut Wagner dapat dibedakan kedalam lima grade, yaitu
(Clayton dan Elasy, 2009):
- Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa melibatkan jaringan bawah kulit
- Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang/pembentukan abses
- Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomyelitis
- Grade 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa
selulitis
- Grade 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah
2.1.4 Fase Penyembuhan Luka
Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase, yaitu (Orsted et al, 2004;
Rothenberg, 2013; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009):
a. Fase Hemostasis
Setelah terjadi kerusakan jaringan kulit pada saat luka, trombosit berperan
dalam penutupan dari kerusakan pembuluh darah. Pembuluh darah itu
sendiri akan mengalami penyempitan dalam merespon cedera, tapi spasme
ini akhirnya akan rileks. Trombosit mengeluarkan zat vasokontriksi untuk
membantu proses ini, namun peran utamanya adalah untuk membentuk
bekuan darah stabil untuk menutup pembuluh darah yang rusak. Trombosit
diaktifkan dan mengeluarkan glikoprotein perekat yang memicu agregasi
trombosit. Trombosit juga megeluarkan faktor-faktor yang berinteraksi dan
12
merangsang kaskade pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang
pada gilirannya memulai pembentukan fibrin dari fibrinogen. Jaring fibrin
memperkuat agregat trombosit menjadi bekuan hemostatik stabil (Orsted et
al, 2004; Rothenberg, 2013).
Akhirnya, trombosit juga mengeluarkan faktor pertumbuhan, sebagai salah
satu faktor pertama dalam memulai langkah penyembuhan selanjutnya.
Faktor pertumbuhan ini melibatkan neutrofil dan monosit (memulai tahap
berikutnya penyembuhan luka), merangsang sel-sel epitel dan fibroblas.
Hemostasis terjadi dalam beberapa menit dari cedera awal kecuali pada
pasien yang memiliki gangguan pembekuan.
b. Fase Inflamasi
Secara klinis, inflamasi (fase kedua penyembuhan luka) bermanifestasi
sebagai eritema, bengkak, dan hangat, sering timbul nyeri atau dikenal
dengan istilah ”rubor et tumor cum calore et dolore”. Fase ini biasanya
berakhir hingga 4 hari pasca luka terjadi. Respon inflamasi menyebabkan
pembuluh darah mengalami kebocoran, melepaskan plasma dan neutrofil ke
jaringan sekitarnya. Neutrofil memfagosit debris dan mikroorganisme serta
menyediakan garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Selama proses
pencernaan bakteri dan selular debris, neutrofil mati dan melepaskan enzim
intraseluler ke matriks sekitarnya yang kemudian mencerna jaringan. Fibrin
kemudian mengalami pemecahan sebagai respon pembersihan dimana
produk hasil degradasinya merangsang sel berikutnya yang terlibat dalam
13
proses tersebut seperti fibroblas dan sel epitel. Hal ini diperantarai oleh mast
cell lokal (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Penyembuhan luka memerlukan koordinasi aktivitas dan hubungan antar sel
yang baik. Sel berhubungan satu sama lain melalui protein terlarut yang
disebut sitokin dan faktor pertumbuhan. Sitokin dan faktor pertumbuhan
tersebut dikeluarkan oleh suatu sel dan berikatan dengan reseptor pada sel
target. Ketika sitokin berikatan dengan sel target, ia menstimulasi migrasi
sel. Disisi lain faktor pertumbuhan menstimulasi sel target untuk membelah
dan memproduksi atau mensintesis sel baru sampai mengeluarkan substansi
seperti kolagen yang diperlukan dalam pembentukan matriks ekstraselular.
Matriks ekstraselular juga berperan aktif dalam penyembuhan luka dengan
interaksi sel-sel melalui reseptor bernama integrin, merangsang aktivasi
platelet, migrasi epitel dan pergerakan fibroblas. Monosit di sirkulasi
berdiferensiasi menjadi makrofag setelah sel tersebut keluar dari pembuluh
darah dan melakukan kontak dengan matriks ekstraselular (Orsted et al,
2004; Rothenberg, 2013).
c. Fase Proliferasi
Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah terjadinya luka dan biasanya
berlangsung sampai hari ke 21 pada luka akut, tergantung pada ukuran luka
dan kesehatan pasien. Hal ini ditandai dengan angiogenesis, deposisi
kolagen, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi dan epitelisasi luka.
Secara klinis, proliferasi ditandai oleh berwarna kemerahan pada jaringan
atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan kulit dan
14
kadang-kadang subdermal jaringan pada luka yang lebih dalam, serta
kontraksi luka. Dalam fase ini pertumbuhan lapisan luar pembuluh darah
kapiler dan sel-sel endotel. Proses ini disebut angiogenesis. Sel keratinosit,
yang bertanggung jawab untuk epitelisasi (Orsted et al, 2004; Rothenberg,
2013).
Dalam penyembuhan luka, sel-sel di bawah pengaruh faktor pertumbuhan
membelah untuk menghasilkan sel-sel baru, yang bermigrasi ke tempat luka
di bawah pengaruh sitokin. Ada keseimbangan antara MMP dan TIMPs
sehingga terdapat pertumbuhan jaringan baru. Pada luka kronik, sebaliknya,
di mana fase penyembuhan terhenti, pembelahan sel dan migrasi ditekan,
terdapat sitokin inflamasi dan MMP yang tinggi dan, rendahnya tingkat
TIMPs dan faktor pertumbuhan. Respon ini adalah karakteristik dari
keadaan inflamasi kronik. Ini mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah
bakteri, adanya jaringan nekrotik, iskemia kronik atau trauma berulang.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor
pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan trombosit (Orsted et al,
2004; Rothenberg, 2013).
d. Fase Remodelling
Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling dan penataan kembali
jaringan luka dari jaringan kolagen untuk menghasilkan tensil dengan
kekuatan yang lebih besar. Sel-sel utama yang terlibat dalam proses ini
adalah fibroblas. Fase remodeling bias memerlukan waktu hingga dua tahun
15
setelah luka terjadi. Selama fase ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh darah
menghilang dan jaringan memerkuat susunannya. Remodelling mencakup
sintesis dan pemecahan kolagen (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).
Tabel 1. Fase Penyembuhan luka
Fase Penyembuhan
Luka
Waktu Sel yang Berperan Fungsi atau
Aktivitas
Hemostasis Segera Platelet Pembekuan darah
Inflamasi Hari 1-4 Neutrofil
Makrofag
Fagositosis
Proliferasi (granulasi
dan kontraksi)
Hari 4-21 Makrofag
Limfosit
Angiosit
Neutrosit
Fibroblas
Keratinosit
Membentuk kembali
kerusakan jaringan
Memperbaiki kembali
fungsi kulit
Penutupan luka
Remodelling
(Maturasi)
Hari 21-2 tahun Fibrosit Meningkatkan
kekuatan tensil
Sumber: Orsted et al, 2004; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009
Indikator penyembuhan luka dilihat dari kontinuitas lapisan kulit dan
kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan aktivitas normal. Meskipun
proses atau fase penyembuhan luka sama bagi setiap orang, namun hasil yang
dicapai tergantung dari kondisi biologis masing-masing individu, lokasi, luasnya
luka dan penatalaksanaan luka itu sendiri. Seorang yang muda dan sehat akan
mencapai proses yang lebih cepat dibandingkan dengan yang mengalami masalah
kekurangan gizi, dan disertai oleh penyakit sistemik seperti DM (Purwaningsih,
2014).
Pada penderita DM, apabila kadar glukosa dalam tubuh tidak terkendali
akan menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi kemotaksis di lokasi
radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bekterisid menurun
16
sehingga apabila ada mikroorganisme pada luka akan sulit untuk dimusnahkan
oleh fagosistosis-bakterisia intraseluler. Kondisi hiperglikemia merupakan media
pertumbuhan bakteri yang subur, sehingga kondisi ini meningkatkan risiko
terjadinya infeksi. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetik, yaitu kuman
aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerobik seperti