4
TINJAUAN PUSTAKA
Narkoba
Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi
seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh
manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain
sebagainya (Kurniawan 2008). Narkoba dibagi dalam 3 jenis :
1. Narkotika
2. Psikotropika
3. Zat adiktif lainnya
Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat
berat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009).
Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :
a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya
adiktif sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat
digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu
pengetahuan. Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak
murni berupa bubuk.
b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin dan
turunannya, benzetidin, betametadol.
c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya adiktif
ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:
codein dan turunannya (Martono 2006).
Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
prilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 tahun 1997).
5
Jenis psikotropika dibagi atas 4 golongan :
a. Golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat
untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk
pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya seperti esktasi
(menthylendioxy menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul),
sabu-sabu (berbentuk kristal berisi zat menthaphetamin).
b. Golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk
menyebabkan sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan
dan penelitian. Contoh : ampetamin dan metapetamin.
c. Golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal,
fleenitrazepam.
d. Golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitra zepam, diazepam
(Martono 2006).
Rehabilitasi
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 996 tahun 2002, rehabilitasi
adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan medis, psikologis, sosial, dan religi agar pengguna narkoba yang
menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional
seoptimal mungkin. Sarana pelayanan rehabilitasi merupakan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan
ketergantungan narkoba berupa kegiatan pemulihan dan pengembangan secara
terpadu baik fisik, mental, sosial, dan agama. Program rehabilitasi yang
digunakan yaitu therapeutic community.
Therapeutic community (TC) merupakan lingkunga yang bebas dari obat-
obatan, dimana individu dengan masalah ketergantungan hidup bersama dengan
satu cara yang terstruktur dan terorgaanisasi dalam rangka membuat perubahan
dan memungkinkan kehidupan yang terbebas dari obat-obatan di masyarakat
luar nantinya. TC merupakan program rumahan yang memiliki perencanaan
tinggal selama 15 sampai 24 bulan (Holbrook et al. 2002). TC memfokuskan
pada resosialisasi dari individu dan penggunaan seluruh komunitas dari program
residen. TC merupakan treatment yang terstruktur dan menjadi konfrontasional
6
dengan aktivitas yang dirancang untuk membantu residen menguji kepercayaan
diri, konsep diri serta, pola perilaku yang salah.
Tahapan dalam Program TC
a. Primary
Dalam pusat treatment diajukan sebagai metoe de Leon dalam Armna
(2008). Selama periode kurang lebih 6-12 bulan residen akan tinggal
bersama dengan teman sebayanya. Di dalam lingkungan yang memiliki
struktur hirarkis dan dalam suasana penerimaan dan kenyamanan,
mereka akan belajar untuk mengekspresikan diri dan merubah perilaku
mereka dengan bantuan encounter groups dan metode therapeutic.
Melalui metode ini dipercayai residen akan mencapai tahapan baru dalam
identitas diri dan mendapatkan self insight yang lebih baik.
b. Re-entry
Setengah tahun berikutnya, residen akan berpindah secara bertahap dari
pusat treatment dan kembali ke rumahnya masing-masing. Pendekatan
pada tahap ini lebih kepada perseorangan dan residen secara perlahan
namun pasti melanjutkan kembali hubungan dengan dunia luar. Setelah
lulus dari program residen akan mencapai tahapan baru dalam identitias
sosial, bersamaan dengan insight yang lebih baik dalam tempatnya di
lingkungan.
Kecanduan obat dan alkohol adalah penyakit kompleks. Menurut National
National Institute on Drug Abuse (NIDA), kecanduan narkoba adalah penyakit
otak kronis. Hal ini dianggap penyakit otak karena penelitian telah menunjukkan
bahwa obat dan alkohol secara fisik mengubah struktur otak dan kerja otak.
Secara khusus, obat-obatan dan alkohol mengubah bidang otak yang dapat
mengakibatkan gangguan penilaian, kurangnya kontrol diri, ketidakmampuan
untuk mengatur emosi, dan kurangnya motivasi, memori atau fungsi belajar.
Kecanduan menyebabkan perubahan fisik maupun yang psikologis. Perubahan
fisik sering dapat menyebabkan ketidakseimbangan biokimia berat (atau
memperburuk kerentanan yang sudah ada), kekurangan gizi, dan masalah
pencernaan. Obat-obatan dan alkohol hanya sementara mengubah mood
seseorang atau keadaan emosional. Setelah efek hilang, pengguna sering
mencari lagi dosis jangka pendek (Miller 2010).
Selain itu, ketidakseimbangan biokimia, kecenderungan genetik (yaitu,
kebutuhan gizi, metabolisme), alergi makanan, pilihan diet yang buruk, tekanan
7
psikologis atau mental, terkena racun dan tekanan sosial dapat membuat
seseorang lebih rentan terhadap kecanduan atau membuat lebih sulit bagi
seseorang untuk tetap bersih dan sadar. Akibat dari obat-obatan antara lain
(Miller 2010):
1. Bahan kimia otak yang disebut neurotransmitter rusak.
2. Hipoglikemia atau gula darah rendah, yang menyebabkan berbagai gejala
seperti kecemasan, kelelahan, depresi dan serangan panik, serta fungsi
adrenal menurun.
3. Masalah pencernaan seperti pertumbuhan jamur berlebih, Leaky Gut
Syndrome, dan malabsorpsi zat gizi.
4. Alergi makanan atau sensitif terhadap makanan seperti jagung, gandum,
gula, dan produk susu.
5. Kekurangan zat gizi, asam amino, vitamin, dan mineral.
Program pemulihan yang dilakukan secara tradisional membantu banyak
orang di seluruh dunia. Program holistik yang berakar pada gizi dilaporkan
sukses besar. Kathleen Des Maisons, Ph.D. dan presiden Pemulihan Radiant di
Burlingame, California, melaporkan tingkat keberhasilan 92 persen pecandu
alkohol dengan program gizi. Joan Mathews Larson, direktur pusat pemulihan
kesehatan, melaporkan tingkat pemulihan 70 persen seseorang ketergantungan
obat dengan malnutrisi. Selain aspek-aspek psikologis dari kecanduan, program
gizi fokus pada aspek fisik dari kecanduan. Mereka bekerja untuk memperbaiki
ketidakseimbangan biokimia, memperbaiki kekurangan gizi, dan mengelola
masalah pencernaan, memperbaiki dan menstabilkan tingkat energi, suasana
hati, dan kejernihan mental, yang menyebabkan keberhasilan pemulihan
(Atkinson 2009 dalam Miller 2010).
Makanan yang tepat dan gizi yang penting dalam program pemulihan
ketergantungan untuk menjaga tubuh dan otak kuat dan berfungsi dengan baik.
Masalah biokimia dan kesehatan dapat dikurangi dengan mengubah kebiasaan
makan dan pilihan makanan (Miller 2010).
Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari
perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen
dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian
makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi
(Depkes 2003).
8
Penyelenggaraan makanan institusi merupakan suatu proses
menyelenggarakan makanan bagi kelompok individu yang biasanya
diselenggarakan di perusahaan dan industri, sekolah, universitas, asrama, rumah
sakit, panti jompo, institusi khusus (lembaga permasyarakatan, asrama atlet, dan
asrama haji), child care centre, dan akademi militer. Penyelenggaraan makanan
institusi dilaksanakan dalam jumlah besar dengan jumlah 50 porsi atau lebih.
Pendapat lain menyatakan bahwa penyelenggaraan makanan institusi atau
massal minimal 1000 porsi sekali penyelenggaraan (Mukrie et al. 1990).
Pelaksanaan penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan anggaran
belanja makanan, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan,
penyediaan, penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran bahan makanan,
persiapan, pengolahan, penyaluran makanan hingga pencatatan, dan pelaporan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Manajemen penyelenggaraan makanan
sendiri sebenarnya berfungsi sebagai sistem dengan tujuan untuk menghasilkan
makanan yang berkualitas baik (Mukrie et al. 1990).
Fungsi-fungsi manajemen dalam gizi institusi mencakup perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi perencanaan meliputi
perencanaan ruangan, perencanaan peralatan, perencanaan menu, dan
perencanaan anggaran. Fungsi pengorganisasian meliputi struktur organisasi,
kepegawaian, serta pengarahan dan koordinasi. Fungsi pelaksanaan meliputi
pembelanjaan, penerimaan, penyimpanan, pengolahan, penyajian/
pendistribusian serta higiene dan sanitasi pangan. Fungsi pengawasan meliputi
pengawasan makanan, pegawai, dan biaya. Apabila manajemen pengelolaan
gizi institusi baik maka pangan yang tersedia bagi seseorang atau sekelompok
orang dapat tercukupi (Uripi 2003).
Menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya detail atau rincian
hidangan untuk setiap waktu makan. Perencanaan menu adalah serangkaian
kegiatan menyusun berbagai hidangan dengan variasi dan komposisi yang
serasi dan seimbang (DBGM 1991).
Menurut Mukrie et al. (1990), perencanaan menu adalah serangakaian
kegiatan menyusun berbagai hidangan dalam variasi yang serasi untuk
manajemen penyelenggaraan makanan di institusi. Perencanaan menu yang
baik mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Memudahkan pelaksanaan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
9
b. Dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi esensial yang
dibutuhkan tubuh.
c. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur.
d. Menu dapat disusun dengan biaya yang tersedia.
e. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin.
Langkah-langkah dalam perencanaan menu yang harus diperhatikan
adalah menentukan menu standar atau menu pilihan; menetapkan siklus menu
yang akan direncanakan, siklus 5 hari, 7 hari, 10 hari atau lebih; menentukan
waktu siklus yang digunakan; menetapkan jenis bahan makanan yang akan
digunakan dalam satu siklus menu dan menentukan frekuensi pemakaian tiap
jenis bahan makanan; menyusun menu dan memeriksa kembali menu yang telah
disusun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan menu diantaranya yaitu
kecukupan gizi, macam, dan peraturan institusi, kebiasaan makan, jenis dan
jumlah orang yang dilayani, peralatan dan perlengkapan yang tersedia, jenis dan
jumlah pegawai, jenis pelayanan yang diberikan, musim/iklim dan keadaan
pasar, sertra dana yang tersedia. Menu yang direncanakan harus sesuai dengan
kebiasaan individu dan golongan. Kebiasaan makan seseorang ditentukan oleh
faktor kejiwaan, faktor sosial budaya, agama dan kepuasan, latar belakang
pendidikan, dan pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari, serta tempat asal
dan demografinya.
Setelah perencanaan kebutuhan bahan makanan telah dilaksanakan
maka akan dilakukan pembelian bahan tersebut. Pembelian bahan makanan
adalah rangkaian kegiatan dalam penyediaan macam dan jumlah serta
spesifikasi bahan makanan tertentu dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di institusi. Proses ini dapat dilakukan dengan beberapa
prosedur yaitu pembelian langsung ke pasar, pelelangan, pembelian
musyawarah, pembelian yang akan datang, serta pembelian tanpa tanda tangan.
Semua pesanan, penerimaan, dan pengeluaran uang dari bahan makanan harus
dicatat dengan cermat dan kontinyu (Mukrie et al 1990).
Perencanaan kebutuhan makanan adalah kegiatan untuk menetapkan
jumlah, macam/jenis dan kualitas bahan makanan yang dibutuhkan untuk kurun
waktu yang panjang atau kurun wuktu pendek. Kebutuhan bahan makanan
direncanakan setelah menu dibuat. Taksiran kebutuhan bahan makanan dihitung
berdasarkan menu, standar porsi, jumlah konsumen, jumlah hari serta
10
pemakaian bahan makanan per hari atau per putaran menu. Taksiran kebutuhan
bahan makanan diusahakan sedekat mungkin dengan kebutuhan nyata, tidak
berlebih atau kurang (DBGM 1990).
Pembelian bahan makanan yang efisien membutuhkan prosedur
penerimaan bahan makanan yang baik sebagai pelengkap keseluruhan sistem
agar dapat berjalan dengan lancar. Penerimaan bahan makanan didasarkan atas
order/pesanan bahan makanan yang menyediakan macam, jumlah dan kualitas
bahan makanan (DBGM 1990)
Menurut Fadyati (1988), petugas yang bertanggung jawab di bagian
pembelian harus mempertimbangkan beberapa hal. Antara lain. Jumlah bahan
makanan yang diperlukan untuk tiap porsi, cara-cara yang digunakan dalam
membeli bahan makanan, daya tahan bahan makanan, bahan makanan
substitusi jika tidak terdapat di pasaran, fasilitas ruang penyimpanan, harga yang
tidak tetap dan bervariasi, seta baik dan aman dikonsumsi. Petugas bagian
pembelian juga harus mengetahui kualitas bahan makanan yang dibeli yaitu
meliputi warna, ukuran, bentuk, tingkat keempukan, rasa, tekstur, dan tingkat
kematangannya sehingga dengan memperoleh bahan makanan yang berkualitas
baik maka akan diperoleh hasil yang prima pula.
Penerimaan bahan makanan merupakan suatu kegiatan meliputi
pemeriksaan, meneliti, mencatat, dan melaporkan macam, kualitas, dan
kuantitas bahan makanan yang diterima sesuai dengan pesanan serta spesifikasi
yang telah ditetapkan (Depkes RI 2003).Terdapat tiga prinsip utama dalam
penerimaan bahan makanan yaitu jumlah bahan yang diterima harus sesuai
dengan yang tercantum pada faktur pembelian, mutu bahan makanan yang
diterima sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang diminta, dan harga
bahan makanan harus sesuai dengan kesepakatan awal (Yulianto & Santoso
1995).
Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut
pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, serta penyaluran
bahan makanan sesuai dengan peralatan untuk persiapan pemasakan bahan
makanan. Bagi institusi besar, penyimpanan dapat bertindak sebagai stok bahan
makanan atau persediaan bahan makanan dan sistem penyimpanannya
dipusatkan. Metode penyimpanan bahan makanan yang baik harus
memperhatikan prinsip First in First Out (FIFO) yang artinya bahan makanan
terdahulu diletakkan terdepan atau teratas. Setiap bahan makanan yang diterima
11
diberi tanggal penerimaan untuk mempermudah penerapan FIFO (Yulianto &
Santoso 1995).
Tujuan penyimpanan bahan makanan diantaranya yaitu:
1. Memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan makanan
yang disimpan.
2. Melindungi bahan makanan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan,
dan gangguan lingkungan lainnya.
3. Melayani kebutuhan jenis dan jumlah bahan makanan dengan mutu dan
waktu yang tepat.
4. Menyediakan persediaan bahan makanan dalam jenis, jumlah, dan mutu
yang memadai (Depkes RI 1993).
Pengolahan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan yaitu
persiapan dan pemasakan. Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak
diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci,
memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk,
mengayak, membentuk, dst). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan
makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan (Mukrie
et al 1990).
Pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk
mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap
dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses
pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan
kandungan gizi, mempertahankan bahkan menambah rasa dan membuat
makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990).
Pendistribusian makanan merupakan serangkaian kegiatan untuk
menyalurkan makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan
konsumen yang dilayani baik makanan biasa maupun makanan khusus (Depkes
2003). Cara pendistribusian dibagi menjadi dua yaitu, sentralisasi dan
desentralisasi. Pada sistem sentralisasi makanan langsung dibagikan
menggunakan tempat (plato) dan membutuhkan kesiapan peralatan, tenaga, dan
tempat yang baik. Cara yang kedua adalah desentralisasi yaitu membagi
makanan dalam jumlah besar kemudian dikirim ke unit-unit, setelah sampai di
unit-unit, makanan dibagikan menjadi porsi-porsi kecil (Mukrie et al. 1990).
12
Kebutuhan Gizi
Tubuh manusia terdiri dari berbagai sel dan jaringan hidup yang
memerlukan sejumlah zat gizi untuk dapat menjalankan fungsinya secara
optimal. Zat gizi adalah komponen kimia (unsur dan senyawa) yang terkandung
dalam makanan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Secara sederhana gizi
diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan makanan dan kesehatan
tubuh.
Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi
dari konsumsi makanan. Kekurangan/kelebihan konsumsi zat gizi dari
kebutuhan, terutama bila berlangsung lama dalam jangka waktu yang
berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap
selanjutnya dapat menimbulkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1992).
Kebutuhan gizi antar individu bervariasi, ditentukan atau dipengaruhi oleh
jenis kelamin, umur, ukuran tubuh (berat badan dan tinggi badan), keadaan
fisiologis (hamil atau menyusui), aktivitas fisik, serta metabolisme tubuh. Secara
sederhana, penentuan kebutuhan gizi perorangan dapat dilakukan dengan
menggunakan tabel Angka Kebutuhan dan Kecukupan Gizi (AKG) perorangan
yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) (Hardinsyah et
al. 2002).
Kebutuhan zat gizi perorangan yang dianjurkan selalu didasarkan pada
standar berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, dan
tambahan untuk ibu hamil dan menyusui. Standar berat badan ini didasarkan
pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang sehat pada
kelompok usia tersebut. Penggunaan AKG terutama dalam hal energi dan
protein yang sensitif dengan penambahan berat badan, untuk perencanaan
konsumsi pangan berbeda dengan penilaian konsumsi pangan. Untuk
perencanaan konsumsi pangan, AKG yang tercantum dalam tabel digunakan
apa adanya, karena tujuan perencanaan konsumsi pangan adalah untuk
mencapai berat badan ideal. Namun, untuk penilaian konsumsi pangan
digunakan berat badan aktual. Penyesuaian kebutuhan energi dan protein yang
tercantum dalam AKG karena adanya perbedaan berat badan aktual dengan
berat ideal yang tercantum tabel digunakan rumus (Hardinsyah et al. 2002) :
Kebutuhan i i berat badan aktual sehat kg
berat badan dalam daftar K K
Menurut Almatsier (2008) penilaian angka kebutuhan gizi dilakukan
berdasarkan umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Komponen utama yang
13
menentukan kebutuhan energi adalah Angka Metabolisme Basal (AMB).
AMBdipengaruhi oleh umur, gender, berat badan, dan tinggi badan. Penentuan
AMB dan kebutuhan energi masing-masing dilakukan dengan rumus sebagai
berikut:
1. M , erat badan Tinggi badan - , Umur
2. Kebutuhan Energi = AMB x faktor aktivitas
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jumlah dan jenis pangan
yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu
(Hardinsyah &Martianto 1992). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kualitas gizi
seseorang akan lebih baik jika mengkonsumsi pangan yang beragam. Namun,
hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, sosial dan
budaya, kesehatan serta perilaku dalam menyusun menu sehari-hari.
Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai
gizi dan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki
atau diketahui oleh sesorang yang didapatkan dari pengamatan indrawi.
Pengetahuan gizi akan mampu mengatasi keterbatasan konsumsi makanan
yang diakibatkan oleh kemiskinan atau keterbatasan akses keluarga terhadap
pangan. Dengan pengetahuan gizi yang baik, pengolahan dan pemanfaatan
pangan yang tersedia dapat lebih optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi
(Harper et al. 1986).
Pendapatan seseorang tidak mutlak mempengaruhi konsumsi pangan
karena pendapatan akan ditransformasikan menjadi pengeluaran yang terdiri dari
pengeluaran pangan dan non pangan. Pada konsep tradisional, konsumsi
pangan akan semakin baik dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini tidak
terjadi jika pengeluaran non pangan seperti pendidikan dan pembelian barang-
barang lebih besar daripada pengeluaran pangan. Pengeluaran pangan yang
meningkat belum tentu meningkatkan pembelian makanan dengan gizi yang
lebih bermutu (Berg 1986).
Pemilihan orang dewasa muda terhadap makanan pada umumnya tidak
memperhatikan faktor kesehatan. Orang dewasa muda lebih memilih makanan
yang rasanya sesuai dengan selera dan harganya sesuai dengan daya beli.
Namun, tidak demikian halnya dengan usia dewasa madya akhir dan lanjut usia
awal yang lebih memperhatikan faktor kesehatan dan memilih makanan yang
sehat bagi dirinya (Santrock 2002).
14
Survey konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri
konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya
maupun jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan
makanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan
tersebut. Data survey pangan dapat menunjukkan cukup tidaknya konsumsi
individu, keluarga, dan kelompok tertentu suatu masyarakat atau penduduk bila
dibandingkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan (Suhardjo et al. 1988).
Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, dihitung jumlah pangan yang
dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif, penilaian melihat frekuensi makan,
frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan, dan kebiasaan makan (food
habit). Pada cara kuantitaif, terdapat lima metode yang sering digunakan untuk
pengukuran konsumsi makanan individu yaitu metode recall 24 jam, metode
estimated food records, metode penimbangan makanan, metode dietary history,
dan metode frekuensi makanan (Supariasa et al. 2001).
Weighing method
Prinsip metode ini adalah mengukur secara langsung berat setiap jenis
pangan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989). Metode penimbangan langsung ini
dilakukan dengan pengamatan, penimbangan dilakukan sendiri oleh tenaga
pengambil data. Metode ini merupakan metode yang paling akurat, karena
dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang
dikonsumsi. Disamping kelebihan tersebut ada beberapa kekurangannya, yaitu
mahal, memakan banyak waktu, kadang-kadang responden segan atau malu
atau tidak memperkenankan bila makanannya harus dipindah-pindahkan dari
tempatnya untuk ditimbang, serta mungkin responden mengubah-ubah pola
konsumsi pangan dari kebiasaannya sehari-hari dengan kehadiran peneliti
Kusharto & Sa‟diyyah 200 .
Kelebihan metode penimbangan adalah data lebih teliti karena benar-
benar merupakan penimbangan langsung. Kekurangannya adalah waktu dan
biaya cuku mahal, responden dapat mengubah kebiasaan mereka apabila
dilakukan dalam waktu yang cukup lama, tenaga penimbang harus terampil dan
harus ada kerjasama yang baik antara responden dan peneliti (Supariasa et al.
2001).
15
Recall Method
Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu metode
penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu. Metode ini dapat menaksir
asupan gizi individu (Gibson 2005). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah
dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu (biasanya recall 24
jam). Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan
dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversikan dalam
satuan berat Kusharto & Sa‟diyyah 200 .
Kelebihan metode recall ini antara lain mudah, cepat, murah dan dapat
digunakan untuk menanyakan responden yang buta huruf. Kelemahannya yaitu
mengandalkan daya ingat dari responden dan recall 1 x 24 jam belum dapat
menggambarkan rata-rata konsumsi siswa dalam 1 hari (Supariasa et al. 2001).
Menurut Owen et al. (1993), metode recall ini membutuhkan enumerator yang
terlatih dalam mengumpulkan informasi konsumsi makanan dalam satu hari.
Food Record (Catatan Pangan)
Food record sering juga disebut dengan food diary atau buku harian
pangan. Cara ini menuntut motivasi dan pengertian kedua belah pihak, di
samping itu juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Responden diminta
mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama paling sedikit
3 hari dalam seminggu, 2 hari biasa dan 1 hari libur. Catatan harus rinci,
termasuk cara makanan dipersiapkan dan dimasak, jika terdiri dari berbagai
bahan pangan, misalkan untuk gado-gado atau capcai, jenis dan jumlah bahan
mentahnya perlu ditulis disamping resep pembuatannya dan jumlah orang yang
menyantap masakan tersebut. Ukuran porsi makanan sebaiknya dicatat dengan
mengacu pada ukuran rumah tangga (URT). Makanan yang telah terukur ini
kemudian disalin dalam „gram‟. Zat gi i yang terkandung dicari pada DK M dan
jika merupakan makanan kemasan, kandungan gizi dilihat pada label. Kesalahan
yang banyak terjadi yaitu responden tidak mampu mengkuantifikasi dengan
tepat. Kekeliruan ini dapat diatasi dengan cara meminta responden untuk
menimbang sendiri makanan dan minuman yang telah dikonsumsi pada waktu
tertentu (Arisman 2010).
Kelebihan metode food record adalah murah, cepat dan dapat
menjangkau sampel dalam jumlah besar, dapat mengetahui sampel dalam
jumlah besar, hasil cukup akurat. Kelemahannya yaitu membebani responden,
tidak cocok untuk responden yang buta huruf, memerlukan kejujuran dan
16
kemampuan responden dalam mengkuantifikasi jumlah konsumsi (Supariasa et
al.). Selain itu, menurut Owen et al. (1993), kualitas pengumpulan data
menggunakan food record dapat ditingkatkan dengan melakukan review secara
individu tentang record yang telah dilakukan. Review juga harus dilakukan oleh
enumerator yang terlatih untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditulis
responden dan untuk mengetahui data-data yang lupa ditulis oleh responden.
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi
optimal dapat tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan
secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja, dan kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang
maupun gizi lebih dapat menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut
(Almatsier 2004).
Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang
penting untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena
penyakit namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa et al. 2001).
Riyadi (2006) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat
menurunnya ketahanan fisik dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.
Soekirman (2000) menyatakan bahwa status gizi dapat ditentukan
dengan beberapa ukuran-ukuran gizi tertentu atau kombinasinya. Beberapa cara
pengukuran status gizi antara lain yaitu pengukuran antropometri, klinik, dan
laboratorik. Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran
antropometrik karena metodenya relatif paling sederhana dibanding pengukuran
klinik dan laboratorik.
Metode antropometri menggunakan pengukuran terhadap dua dimensi
yaitu dimensi pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi
menurut umur dan derajat gizi, sehingga bermanfaat terutama pada keadaan
terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri
juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat.
Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi
tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak diperoleh (dengan tingkat
kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi
2003). Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan dengan relatif cepat,
17
mudah, dan menggunakan alat pengukur yang reliabel, sehingga teknik dan
peralatannya dapat dikalibrasi dan distandarisasi (Gibson 2005).
Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan
untuk menilai status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan
atas menurut umur, dan resiko lingkar pinggang dengan pinggul. Diantara
keempat indeks tersebut, indeks massa tubuh (IMT) adalah indeks yang paling
mudah diukur dan diinterpretasikan (Supariasa et al. 2001).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan sebuah instrumen sederhana yang
dapat digunakan untuk menilai status gizi. Pemakaian IMT khususnya untuk
melihat kekurangan dan kelebihan berat badan. Namun, IMT tidak dapat
diterapkan pada keadaan khusus (Supariasa et al. 2001). Perhitungan IMT
adalah sebagai berikut:
MT berat badan kg
(tinggi badan (m))2
Nilai IMT yang didapatkan dari perhitungan kemudian disesuaikan dengan
klasifikasi yang ada seperti di bawah ini (Supariasa et al. 2001).
Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT.
Klasifikasi Status Gizi IMT
Kurus <18.50
Kurus tingkat berat <16.00 Kurus tingkat sedang 16.00-16.99 Kurus tingkat ringan 17.00-18.49
Normal 18.50-22.99
Lebih 23.00-30.00 Overweight ≥ 2 .00 At Risk 23.00-27.50 Obese ≥ 2 .60 Obese kelas I 27.60-30.99 Obese kelas II ≥40.00
Sumber: WHO (2005)