Teori Belajar Arthur William Brownell
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus
yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor
internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan
dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan
pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-
unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang
datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses
internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan
menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus
yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak
tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana
seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon
stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada
cara-cara seseorang menggunakaan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa
siswa sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, fungsi guru
adalah menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling
tinggi, dan siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru
adalah a) memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi
secara bermakna dan relevan dengan siswa, b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri, dan c) membimbing siswa untuk
menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.
Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para
ahli tentang pentingnya memahami tingkat berpikir kritis siswa. Pada dasarnya suatu materi
pelajaran matematika ini dapat dimengerti dengan baik apabila siswa yang belajar sudah siap
menerimanya. Psikologi belajar dan teori belajar pada umumnya berkaitan dengan bagaimana
anak belajar. Sejak psikologi dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu, beberapa tokoh
mengembangkan teori belajar masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku
maupun aspek kognitif.
Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar pendidikan
yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif.. Di antaranya
aliran Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike, Ausubel, Gagne,
Pavlov dan teori tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner,
Brownell, Dienes dan Van Hiele. Dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli
psikologi, mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah
mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori pembelajaran yang
muncul.
1.2. Perumusan Masalah
Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan
Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.
1.4. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Brownell
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang
mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his
point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence
of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for
children's mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya
pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam
perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya
ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930.
Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah
sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)
yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan
hafal/ulangan).
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang
lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L.
Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan
lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan.
Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran
sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan
dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh
siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau
menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
a. Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai
kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan
pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada
kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran
matematika.
a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik,
bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin
dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru
memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai
reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 =
4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan
2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya
akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui
penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar
berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons
otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka
relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini
merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak.
Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab
pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa
dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya
(mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill
(balapan).
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini
adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam
pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting,
tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti
oleh para siswa.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-
prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar untuk mengukur
kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung
saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan
kemampuan untuk menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek
matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa
yang dipelajarinya. Anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.
Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis
dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan
atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan
berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas
tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the
significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam
kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat
intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika
yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan
bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya
sebagai kemahiran.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika
mereka mempelajari konsep matematika. Teori belajar William Brownell dikenal seebagai
meaning theory.
Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri seolah nampak
jelas, yakni pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas,
kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat
dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran
yang dapat menutupi kelemanhan-kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana
matematika saat itu mempnyai karakteristik sebagai berikut ;
1. Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan,
statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2. Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan
dan ketrampilan berhitung.
3. Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4. Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
6. Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7. Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8. Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik
diskusi.
9. Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila
konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini
dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan
kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran
matematika, siswa sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial
manusia maupun segi intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang
dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana
prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang
dipelajari.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan
hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan
pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil
dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi
anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak
dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin
formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan
yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang
menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh
anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada
siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat
belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan
usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran
operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya
diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika
dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi
bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang
telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
Http://nurrahmanmechy.blogspot.com/2009/05/teori-belajar-matematika-teori-belajar 9182.html. Diunduh tanggal 1 Oktober 2011.
Karso, dkk. 2000. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas terbuka
http://thabilkharisma.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-arthur-william-brownell.html
Psikologi Pembelajaran Matematika (BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)
3 Mei 2014
iqbalzonecoolz diary belajar dan pembelajaran, BROWNELL, DIENES, VAN HIELE Tinggalkan komentar
Rate This
(BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)
a) Teori William Arthur Brownell
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar
Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
b) Teori Zoltan Paul Dienes
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan
dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian, anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
c) Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut:
Tahap pengenalan (Visualisasi).
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar, mempunyai 12 rusuk, dll.
Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang.
1. Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).
Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.
http://iqbalzonecoolz.wordpress.com/2014/05/03/psikologi-pembelajaran-matematika-brownelldienesvan-hiele/
TEORI PEMBELAJARAN ( PAVLOV, BARUDA, PIAGET, DEWEY, BROWNELL, DIENES )
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal
memberikan yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti
norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma kesusilaan,
harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang di utamakan adalah
kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga bahwa hasil yang di capai tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan. Berbicara mengenai teori belajar dan mengajar
matematika berarti berbicara mengenai ”bagaimana” dan ”kepada siapa” suatu topik matematika
diajarkan.
Belajar dan mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep mengajar berarti guru
menyampaikan semua pengetahuan matematika yang diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa
kini mengajar lebih diupayakan pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru
sehingga siswa dapat belajar. Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered).
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar
pendidikan (Suherman, 29). Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses
mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada
yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang
belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja,
masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai
pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar. Berdasarkan etimologi
perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Di sisi lain
matematika dipadang sebagai ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya dan terbagi dalam tiga bidang, yaitu
aljabar, analisis dan geometri. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa teori pembelajaran adalah
suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada
aneka sumber yang memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang “hidup” dan
menarik.
Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Secara pragmatis, teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan
yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Siswa-siswa yang berprestasi tinggi umumnya
merupakan pembelajar-pembelajar mandiri yang disiplin dan efektif. Sebuah model
pembelajaran mandiri meliputi tiga komponen : evaluasi dan monitor diri sendiri, perancang
tujuan dan perencanaan strategi ; melaksanakan rencana dalam tindakan, dan memonitor hasil
serta menyempurnakan strategi-strategi. Pembelajaran mandiri memberi anak tanggung jawab
atas proses belajar mereka. Kemampuan memonitor diri berkembang dimasa remaja. Sehingga,
banyak suasana lingkungan memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula lingkungan
yang menekannya (Csikszentmihalyi, 1996: Strenberg, Grigorenko, dan Singer.2004).
Orang-orang yang mendorong kreativitas anak seringkali bertumpu pada keingintahuan
alami anak. Mereka menyediakan latihan-latihan dan aktivitas yang menstimulasi anak untuk
menemukan pemecahan-pemecahan mendalam terhadap masalah, alih-alih menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban. Howard Gardner (1993) yakin
bahwa ilmu pengetahuan, penemuan, dan museum anak menawarkan kesempatan yang banyak
untuk menstimulasi kreativitas anak. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu
ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem
informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain diluar titik
fokus itu seperti lingkungan juga selalu diperlukan untuk menjelaskan proses belajar.
Pembelajaran menurut aliran kognitif, yang mana dalam pembelajaran kognitif menitik beratkan
belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat pengalaman pribadi ini di kemukakan
oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada
kurikulum berbasis tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Jadi siswa di tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran
kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif di dalam proses pembelajaran karena di dalam
pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di sini tidak menjadi objek
pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini sangat penting
karena mengingat proses belajar yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses
komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan
keterampilan yang sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk
secara aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas
mengembangkan potensi, bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian belajar bagi seorang anak didik?
2. Bagaimana teori-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya?
3. Bagaimana Metode Pembelajaran Matematika?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian belajar bagi seorang anak didik.
2. Untuk mengetahui pembagian-pembagian teoro-teori psikologi pembelajaran matematika
dan tokoh-tokohnya.
3. Untuk mengetahui metode pembelajaran matematika.
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
Banyak orang yang beranggapan, bahwa yang di maksud dengan belajar adalah mencari
ilmu atau menuntut ilmu. Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah belajar
itu, akan memperoleh jawaban yang bermacm-macam. Perbedaan pendapat orang tentang arti
belajar itu disebabkan karena adanya kenyataan, bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-
macam. Menurut James O. Wittaker, belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah
laku di timbulkan atau di ubah melalui latihan atau pengalaman. Para ahli seperti John Locke
pada abad 7 mengemukakan pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang
menentukan dalam perkembangan anak, sebab kejiwaan anak ketika di lahirkan adalah ibarat
secarik kertas yang masih bersih. Dan pernyataan ini di perkuat juga oleh tokoh B Watson (1908-
1920) yaitu tokoh Empirisme terkenal dengan behavioristik mengatakan karena jiwa manusia
waktu di lahirkan masih bersih, maka untuk menjadikannya sesuai dengan yang dikehendaki
kepadanya tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan.
Seorang psikolog dari Amerika Kuno yaitu William James mengungkapkan hasil
temuannya bahwa anak yang di lahirkan di tengah-tengah campuran cahaya dan keributan, maka
semakin bertambah pula pengetahuan baik berupa penganutan, penglihatan atau karena adanya
rangsangan dari luar sehingga anak dapat membedakan dan memisah-misahkan antara cahaya,
dengan demikian anak telah mulai mengalami “ proses belajar “. Pendidikan sering di tafsirkan
sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang kelak mampu berdiri sendiri
dan mengejar cita-cita.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat di simpulkan bahwa tujuan
bimbingan pada umumnya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membantu
pilihan yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran terhadap situasi yang kritis dalam
hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri
(John KJ, 1945). Menurut pengamatan dan pengalaman Dines bahwa terdapat anak-anak yang
menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang
sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin “sukar “ matematika yang di pelajari makin
kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang
sukar, rumit, dan banyak memperdayakan.
Di sisi lain Sears mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang banyak di pengaruhi
oleh pengaruh hubungan antar orang tua dan anak, saudara, lingkungan, majalah, koran, siaran
televisi dan lain-lain. Sehingga tak satupun orang yang mempunyai kepribadian yang sama di
sebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama pengaruh dari orang tua karena latar belakang
kepribadian dan kemampuan orang tua berbeda-beda. Maka dari itu hendaknya orang tua selalu
berusaha menjadi contoh kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Soepartinah Pakasi yang hendaknya kehidupan
keluarga “Conducive” bagi, dan membantu pembentukan kepribadian-kepribadian yang kita
inginkan sebagai orang tua, sebagai warga negara tyang berpedomana pada Pancasila dan
Filsafat Negara. Dengan demikian, anak/remaja akan berangsur-angsur melepas identifikasinya
terhadap orang-orang lain sehingga ia mampu menjadi dirinya sendiri.
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Psikologi Pembelajaran Matematika
Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia
melakukan perubahan-perubahan kualitif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua
aktivitas dan prestasi hidup manusia tak lain adalah hasil dari belajar. Menurut rumusan G.A
Kimble belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi
sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena
kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan saraf, atau dengan kata lain bahwa
mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang
belajar. Di samping itu terdapat paham atau pemikiran lain yang menitikberatkan kepada
rangsangan dan jawaban yang lebih di kenal dengan teori “RJ” (rangsangan jawaban) bahwa
tingkah laku diperoleh dari proses belajar dengan cara merangsang dari luar, yang mungkin dapat
terjadi berulang-ulang dan dengan penguatan melalui cara yang langsung atau tidak langsung
memberikan dorongan untuk memberikan jawaban.
Pendidikan sering di artikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan
yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita. Untuk dapat tercapainya manusia yang
dewasa, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka perlu dicegah dari pengaruh negatif dan
timbulnya gangguan dalam perkembangan anak. Salah satu usaha mencegah gangguan
perkembangan kepribadian anak adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan
penyuluhan merupakan salah satu “upaya nyata” dan telah banyak peranannya dalam ikut
membentuk manusia dan masyarakat yang sehat mental. Para ahli di bidangnya memberikan
batasan mengenai bimbingan yaitu pelayanan yang terorganisir dengan maksud memberi
bantuuan secara teratur pada anak didik (peserta didik) dalam memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi dan dalam membina penyesuaian diri terhadap berbagai situasi yang harus
ia hadapi.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan
pada umunya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membuat pilihan yang
bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran situasi yang krisis dalam hidupnya sedemikian rupa
untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ, 1945). Sesuai
dengan sasaran yang ingin di capai yaitu bimbingan dalam belajar, maka pengenalan
pembahasan di tujukan pada :
a. Kemampuan berprestasi di sekolah
b. Pemahaman tentang kesulitan di sekolah
c. Penyelesaian kesulitan dalam belajar
d. Upaya mengatasi kesulitan anak
e. Pengamalan sila dari pancasila yaitu sikap menghormati kepentingan dan harga diri orang
lain. (uraian ini berpedoman pada buku psikologi untuk membimbing oleh Dra. Ny. Y.
Singgih D. Gunarsa).
Menurut MORRIS KLINE (1961) bahwa jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung
dari kemajuan di bidang matematika. Dan Slamet Santoso mengemukakan bahwa fungsi
matematika merupakan ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya dan bangsa-bangsa.
Untuk suatu negara penting karena jatuh bangunnya suatu negara tergantung dari kemajuan di
bidang matematikanya. Oleh karena itu sebagai langkah awal untuk mengarah pada tujuan yang
di harapkan adalah mendorong atau memberi motivasi belajar matematika bagi masyarakat
khususnya bagi anak-anak atau peserta didik. Keberhasilan proses belajar mengajar matematika
tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan dari para tenaga pendidik di bidangnya
dan bagi para peserta didik yang sudah mampunyai minat (siap) untuk belajar matematika akan
merasa senang dan penuh perhatian mengikuti pelajaran tersebut, oleh karena itu para pendidik
harus berupaya untuk memelihara maupun mengembangkan minat atau kesiapan belajar anak
didiknya atau dengan kata lain bahwa “teori belajar mengajar matematika harus di pahami”
betul-betul oleh para pengelola pendidikan.
Penggunaan matematika atau berhitung dalam kehidupan manusia sehari-hari telah
menunjukkan hasil nyata seperti dasar bagi disain ilmu teknik misalnya perhitungan untuk
pembangunan antariksa dan di samping dasar disain ilmu teknik metode matematis memberikan
inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi dan dapat memberikan warna kepada
kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Pengetahuan mengenai matematika memberikan
bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu bentuk dan kekuasaan yang akhirnya bahwa
matematika merupakan salah satu kekuatan utama pembentukan konsepsi tentang alam suatu
hakikat dan tujuan manusia dalam kehidupannya.
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya di dasari oleh teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar
pendidikan. Pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, tidak akan pernah bisa
terlepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ya, mungkin dapat diibaratkan seperti rasa
manis yang melekat pada gula. Jika sifat manisnya hilang, bukan lagi gula namanya. Sebaliknya,
kita melepaskan psikologi pembelajaran, maka segala aktifitas yang kita lakukan bukan lagi
sebagai proses pembelajaran. Tidak hanya tingkat kedalaman konsep dan keluasan materi yang
akan diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara
penyampaian pun demikian juga seharusnya. Guru harus mampu mengetahui tingkat
perkembangan mental siswa dan bagaimana pembelajaran yang harus dilaksanakan sesuai
dengan tahapan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap
perkembangan mental siswa, kemungkinan besar akan menyebabkan siswa merasa kesulitan,
karena apa yang disajikan tidak sesuai dengan kemampuannya menyerap bahan ajar.
B. Tokoh-tokoh Aliran Psikologi
1. Pavlov dengan teori belajar Klasiknya
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya
Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia di didik di sekolah gereja dan melanjutkan
ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi.
Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov terkenal dengan
percobaannya menggunakan hewan dan manusia. Pada akhir abad ke-19 ia melakukan penelitian
tentang pencernaan. Pada sebagian penelitiannya ia melakukan pengamatan terhadap tingkah
laku anjing. Pavlov mencoba menemukan hubungan antara anjing yang melihat makanan dengan
keluar air liurnya. Pada mulanya anjing itu dikurung, lalu diberi makanan. Sebelum makanan itu
diberikan, nampak anjing itu mengelurkan air liurnya. Kemudian anjing itu diberi makan terus
seperti biasanya, namun sebelum diberi makan bunyikanlah sebuah bel.
Seperti biasanya anjing itu mengelurkan air liurnya. Akhirnya dicoba menyembunyikan bel
tanpa memberikan makanan, ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan
melelehnya air liur anjing setiap Apa yang dikemukakan Pavlov tersebut merupakan suatu
pembiasaan (conditioning). Dengan melelehnya air liur anjing setiap mendengarkan bunyi
lonceng oleh pavlov melihat ada hubungan bersyarat anatar anjing, makan, dan air liur. Makanan
atau lonceng merupakan stimulus untul keluarya air liur, sehingga makanan disebut stimulus tak
wajar (refleksi) sedangkan bunyi lonceng di sebut stimulus bersyarat. Dalam hubungannya
dengan proses belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik, maka haruslah dibiasakan.
Misalnya agar siswa terbiasa mengerjakan soal pekerjaan rumah (PR) dengan baik, sebagai guru
sebaiknya membiasakan untuk memeriksanya, menjelaskannya, ataupun memberikan nilai
terhadap hasil pekerjaan siswanya.
2. Baruda
Albert Bandura dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondere Alberta, Canada. Dia
memperoleh gelar Master di bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga
meraih gelar doktor (Ph.D). Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford University. Albert
Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning TheoryAlbert Baruda
mengemukakan bahwa seseorang itu belajar melalui proses meniru. Maksud meniru disini
bukanlah mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Ia melakukan percobaan bersama dengan rekan-rekannya untuk menemukan adanya
pengaruh antara model-model (yang telah dilatih khusus untuk bertingkah laku tertentu) terhadap
orang-orang yang melihatnya. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa seseorang yang
terbiasa melihat orang lain (model) berbuat jahat, maka ia cenderung untuk berbuat jahat, begitu
pun sebaliknya. Dengan demikian, implikasi teori ini dalam pembelajaran adalah guru harus
menjadi model yang professional, yang layak untuk ditiru siswanya. Seperti sebuah pameo,
“guru, digugu dan ditiru”, bukan lantas “guru, digugu walaupun keliru”. Sehingga, ketika
seorang anak didik tidak boleh mengikuti kekeliruan seorang guru, dan juga seorang guru tidak
boleh melakukan kekeliruan karena beliaulah contoh bagi anak didiknya.
3. Piaget
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia
sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya kepada
epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan. Piaget dikenal sebagai
ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor dalam bidang biologi (Setiono, 1983 :
12). Piaget menyakini bahwa proses berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin
bahwa anak bukan merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang
efisien dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif
yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno : 2000). Ia mengadakan
penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan penelitian kepada anaknya sendiri.
Dari penelitian itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut “Teori Perkembangan
Mental Manusia”. Perkataan “mental” pada teori itu biasa disebut “intelektual” atau “kognitif”.
Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar.
Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia dari lahir
samapi dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori
Piaget, perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang
berurutan. Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).
b. Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
c. Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).
d. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).
Beberapa ciri utama pada setiap tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai
berikut :
a) Tahap Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)
Pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan dunia
fisik. Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini. Namun,
para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini dasar-dasar pertumbuhan mental
dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan. Secara lebih terperinci, beberapa ciri tahap
sensori-motor adalah sebagai berikut :
1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.
2) Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.
3) Anak belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar. Missal :
mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.
4) Mulai mengotak-atik benda.
b) Tahap Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)
Pada tahap ini anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide
tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai
menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah tersebut. Pada tahap
ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang “kekekalan”, “tidak berubah”, atau “konservasi”
yang sederhana, walaupun belum sempurna benar. Anak tidak melihat abahwa banyaknya objek
adalah tetap atau tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tadi.
Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir prakonseptual dan tahap berfikir intuitif
(Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ;
Bybee, 1982) :
1) Sebaran umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir pra-konseptual
sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.
2) Bila kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam) sedangkan
pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap pra-konseptual
memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan khayalan. Penilaian dan
perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri,
bukan kepada penalaran.
3) Anak mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak
mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang lain. Misalnya bila ia
melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu, mengira bahwa temannya yang
berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu terlihat gambar itu terbalik pula. Karena itu kita
akan menemukan bahwa anak-anak pada tahap ini sangat egois (egosentris).
4) Anak mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya (animisme).
5) Anak pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan
khayalannya (fantasi).
6) Anak berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan kata lain :
a) Anak belum memiliki konsep kekekalan banyak.
b) Anak belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)
c) Anak belum memiliki konsep kekekalan panjang
d) Anak belum memiliki konsep kekekalan luas
e) Anak belum memiliki konsep kekekalan berat
f) Anak belum memiliki konsep kekekalan isi
7) Pada tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan), sehingga
anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.
8) Anak sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.
9) Anak tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.
10) Anak mampu memanipulasi benda konkret.
11) Anak mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari tangan.
12) Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan alas an atas keyakinannya, dapat mengelompokkan
benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan mulai dapat memahami konsep yang
sederhana.
13) Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan
dan ketidaksamaan).
14) Anak kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbnatas dari sebuah ruas
garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya.
Mirip dengan ciri ke-12 diatas, Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada tahap pra-
operasional, anak kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks. Misalnya dari 20
bola kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika anak ditanya manakah
yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat??? Maka anak akan menjawab
coklat yang lebih banyak.
c) Tahap Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)
Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret
untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan alat yang sangat
penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudfah mulai
berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasi benda-
benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap ini sudah dapat diterima dengan mantap oleh anak.
Sebagai contoh, kita ambil dua gelas yang sama ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan
air yang sama banyak volumenya. Kedua gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada
seorang anak. Kita tanyakan kepada dia “apakah sama ataukah tidak banyaknya air dalam kedua
gelas ini???” menurut Jean Piaget, anak-anak akan menjawab “sama benyaknya”. Selanjutnya,
air dalam salah satu gelas tadi dituangkan semuanya pada sebuah gelas yang tinggi dan garis
tengahnya lebih kecil. Sekarang kedua gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi.
Ajukan pertanyaan yang sama kepada anak itu. Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab
sama banyaknya. Alasannya adalah karena :
(1) Tampak lebih tinggi,
(2) anak menggunakan pikiran logis,
(3) anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.
Kita juga banyak menjumpai sifat kekekalan pada konsep bilangan, contohnya antara lain :
3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 – 2 = 12 : 4 = 1 x 3 = 3
5 x 4 = 4 x 5
0,25 = = 25 % dan lain sebagainya.
Umur anak ketika mulai memahami konsep kekekalan adalah sebagai berikut :
1) Konsep kekekalan bilangan, sektar 5 – 7 tahun.
2) Konsep kekekalan banyaknya zat, umur 7 – 8 tahun.
3) Konsep kekekalan panjang, sekitar 7 – 8 tahun.
4) Konsep kekekalan luas, sekitar 8 – 9 tahun.
5) Konsep kekekalan berat, sekitar 9 – 10 tahun.
6) Konsep kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 – 12 tahun).
Selain ciri-ciri diatas, pada tahap operasi konkret anak juga sudah mampu melihat sudut pandang
orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang dengan
membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-mobilan dari bamu
dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami kesulitan untuk menjelaskan
peribahasa dan belum mampu memahami arti yang tersembunyi. Satu hal yang perlu dicamkan,
tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap ini anak tidak mengerti konsep tanpa benda
konkret, akan tetapi disebabkan karena anak-anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk
menerapkan proses intelektual formal kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Dari
awal tahap operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat tingkat
berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :
1) Berfikir konkret
2) Berfikir semi konkret
3) Berfikir semi abstrak
4) Berfikir abstrak
Para siswa sekolah dasar di Indonesia umumnya berumur 6 – 12 tahun. Jadi, kebanyakan
diantara mereka berada pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan pembelajaran
matematika SD, pada tahap ini anak dapat “mengelompokkan” benda-benda konkret berdaarkan
warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan sekelompok benda konkret berupa
bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga, segiempat, segilima, dan segienam. Setiap
bangun geometri tersebut berwarna tertentu, misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan
hitam. Kita dapat meminta anak untuk mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah.
Anak juga dapat diminta untuk mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak
juga dapat mengumpulkan segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat
diminta mengurutkan segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke besar atau
sebaliknya.
d) Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage)
Ini merupakan tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia menurut Piaget.
Ciri-ciri yang tampak antara lain :
1) Anak sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi konkret
untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.
2) Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatan secara
objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat membedakan antra argumentasi dan
fakta.
3) Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.
4) Dapat merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji bermacam-
macam hipotesis.
Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau
tidaknya benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya
disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget menekankan bahwa
proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi kedalam struktur
mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru kedalam struktur
mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat dari adanya informasi
dan pengalaman baru. Ketika para siswa mempunyai pengalaman baru, mereka secara aktif
mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang
sudah ada.
Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena
kenyakinannya bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi
penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak sudah
memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda konkret yang telah dia kenal.
Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia
kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat
ini. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa
jumlah jeruknya sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya
jeruk, yaitu 5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau
diatur, yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama
dengan 2 + 3. Dengan kata lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir abstrak.
Teori ini di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar
dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus
keluar dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan perkembangan
mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat di lakukan dengan
memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit, sebab dasar
perkembangan mental(kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman berbuat aktif terhadap
benda-benda sekeliling, dan perkembangan bahasa merupakan salah satu kunci untuk
mengembangan kognitif anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi bahwa dalam
perkembangan anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan dengan perkembangan
bahasa sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir saling mempengaruhi.
4. Bruner dengan metode Penemuannya
Jerome, S Bruner telah banyak menulis teori belajar, yang kajian khususnya adalah mengenai
bagaimana keyakinan dia terhadap anak-anak yang belajar matematika. Dalam teorinya ia
menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan
kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan,
disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan
mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan
lebih memahami materi yang harus dikuasainya itu. Dengan kata lain, materi yang mempunyai
suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahamai oleh anak. Seperti halnya Piaget,
Bruner lebih peduli terhadap proses belajar dari pada hasil belajar.
Oleh sebab itu, menurut Bruner metode belajar merupakan factor yang sangat menentukan
dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang
sangat didukung oleh Bruner adalah metode belajar dengan penemuan. Dengan metode ini anak
di dorong untuk memahami suatu fakta atau hubungan matematika yang belum dia pahami
sebelumnya, dan yang belum diberikan kepadanya secara langsung oleh orang lain. Bruner
berpendapat mengenai penemuan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang
telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan
suatu pola atau “keteraturan” yang bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang
sedang dihadapinya. Ia yakin bahwa dalam mempelajari matematika seorang anak perlu secara
langsung menggunakan bahan-bahan manipulative. Bahan-bahan manipulative merupakan benda
konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam berusaha untuk
memahami suatu konsep matematika.
Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan memberikan kesempatan
baginya untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner
mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahapan, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive). Dalam tahap ini anak secara langsung terlbat dalam memanipulasi
(menotak-atik) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep bilangan pecahan
yaitu . kita dapat menggunakan sebuah apel yang dibagi dua sama besar.
b. Tahap ikonik (iconic). Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan dengan
mental, yang merupakan gambaran dri objek / benda yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung
memanipulasi objek seperti yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan
pada sajian yang berupa gambar atau grafik.
c. Tahap simbolik (symbolic). Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi / symbol tanpa
ketergantungan terhadap objek real.
5. Dewey dan Teori Pembelajaran Kognitif
Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952.
John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang
menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan
peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta
didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya.
Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan
realitas yang ada. Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi
Indonesia.
Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika Dewey
termasuk aliran pendidikan yang progresif di mana Dewey mengutamakan pada pengertian dan
belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum “siap” jangan di paksa belajar. Para
pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak untuk belajar, atau
dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang
telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan
pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007: 105).
Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya
akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya
pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara
psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan
baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus
agar berjalan dengan baik. Proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat
bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga
masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori kognitif John Dewey
dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif.
Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan
masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah
didapat.
Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan
masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada
perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa. Tujuan pendidikan menurut teori belajar
kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
1) Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
setiap persoalan yang dihadapi.
2) Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3) Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada
kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi
pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga
kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk,
2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:
1) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif
3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
6. William Brownell (Aliran Psikologi Gestalt)
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua puluh.
Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pennsylvania, dan wafat pada tanggal 24
mei 1977. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di Smethport dan kemudian
melanjutkan pendidikannya di Ailegheni College, di mana mendapatkan gelar A.B. pada tahun
1917. Setelah lulus, dia kembali ke kampung halamannya untuk mengajar di sekolah menengah
setempat selama empat tahun. Lalu ia pergi ke Illinois untuk mulai mengerjakan program
pascasarjananya di pendidikan psikologi di universitas Chicago Di Chicago.
Aliran psikologi Gestalt memandang bahwa pembelajaran harus ditekankan kepada
pengertian dan penuh makna (meaningful learning, atau meaning theory). Salah satu tokoh
penting yang mengemukakan pandangan ini dalam matematika adalah William Brownell (sekitar
tahun 1930-an). Pandangan Brownell ini didasarkan atas kenyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak untuk mengembangkan pemahaman
tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka
mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali
diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika
mereka menggunakan benda konkret yang mereka kenal, seperti : mangga, kelereng, bola, atau
sedotan.
Dengan kata lain, teori belajara William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda
konkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan
keterampilan baru yang mereka pelajarai. Aliran psikologi Gestalt saling mendukung dengan
aliran pengaitan dari Thorndike dan aliran pendidikan progresif Dewey yaitu pengjaran yang
ditekankan pada pengertian, belajarbermakna dan pengaitan. Dan penekanan pada latih hafal
yang di lakukan setelah anak didik memperoleh pengertian. Teori belajar William Brownell
didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak memahami apa yang sedang mereka pelajari jika
belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Aritmatika atau
berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah
otak.
Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran
lainnya sedikit sekali dikupas. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika mereka
mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali di
perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika
mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ; seperti mangga, kelereng, bola atau
sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William brownel ini mendukung penggunaan benda-
benda kongkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep
dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran
pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Contoh
mengenai belajar dengan menghafal dan belajar dengan pengertian,yaitu:
i. Siswa belajar dengan menghafal
1) 3+6 = 9
2) 15+11 = 26
ii. Siswa belajar dengan pengertian
1) 15+11 = (10+5) + (10+1)
= (10+10) + (5+1)
= 20 + 6
= 26
7. Teori Zaisa Dienes
Dienes dalam pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak di
harapkan akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan
pengamatan Dienes bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada
permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya
semakin “sukar” matematika yang dipelajari makin kurang minatnya belajar matematika
sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdalam.
Kurangnya minat belajar anak terhadap matematika karena kurangnya pengertian tentang hakikat
dan fungsi matematika itu sendiri.
Padahal matematika itu salah satu jalan untuk menurut Slamet Imam Santoso merupakan
salah satu jalan untuk menuju pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti pemikiran mana melandasi
semua ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan jatuh bangun suatu negara tergantung dari
kemajuan matematikanya(Moris Kline). Menurut ET Russefendi agar anak didik memahami dan
mengerti akan konsep (struktur) matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni,
di lanjutkan dengan konsep notasi, dan di akhiri dengan konsep terapan, di samping itu untuk
dapat mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model) dimulai
dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami
arti benda-benda bila di sajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda, atau dengan kata lain
bahwa benda-benda yang akan diamati harus beraneka ragam. Untuk membangkitkan dan
memelihara minat belajar anak atau peserta didik perlu di ciptakan suasana santai saat belajar,
memberikan kesempatan bermain dan permainan akan lebih baik jika dikaitkan dengan bermain
dengan pelajaran matematika.
C. Metode Mengajar Matematika
Apabila kita ingin mengajarkan sesuatu kepada anak/peserta didik dengan baik dan berhasil
pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang akan di
lakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik, karena
metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian jika pengetahuan tentang metode dapat mengaplikasikannya dengan tepat mka
sasaran untuk mencapai tujuan akan semakin efektif dan efisien. Metode mengajar yang di
terapkan dalam suatu pengajaran di katakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan
yang di harapkan atau dengan kata lain tujuan tercapai, bila makin tinggi kekuatannya untuk
menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode mengajar dikatakan
efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang di harapkan itu relatif menggunakan
tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu minimum atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya
dan waktu yang di keluarkan semakin efisien metode itu.
Metode atau cara atau pendekatan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi
yang akan diajarkan dirancang terlebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk menerapkan suatu
metode atau cara atau pendekatan dalam pengajaran matematika sebelumnya menyusun strategi
belajar mengajar, dengan strategi belajar mengajar yang sudah tersusun dapat ditentukan metode
mengajar, atau tekhnik mengajar dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pelajaran
sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan.
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Strategi pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan
dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar,
dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Strategi belajar adalah
strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan soal-
soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang dipergunakan guru dalam mengolah
materi matematika untuk pengajaran.
Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Misalnya
seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan, lalu sekali-
sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan
guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Bagi guru matematika yang
mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai
guru matematika yang professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan
meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di
dalam kelas.
Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan
dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru harus
mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang harus dilakukan
sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan
tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami
kesulitan, karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam
menyerap materi yang diberikan. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran
dalam system penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus
disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan.
Beberapa teori belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan
bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari bagian ini
diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan
mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta mampu
menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode
Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.
Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
http://www.itachi » Blog Archive » macam-macam teori pembelajaran.htm
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.
Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Santrock, W. John. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.
......................................Jilid 2. Jakarta. Erlangga.
Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja
rosdakarya.
Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
http://royatulkhalilah14.blogspot.com/2013/11/teori-pembelajaran-pavlov-baruda-piaget.html
teori belajar brownell
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang
berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu
berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman
itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi
kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran,
untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar
pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan menentukan
perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah
perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis
dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu
mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada
disekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada cara-cara seseorang
menggunakaan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan pengetahuan yang telah
diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa siswa
sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, fungsi guru adalah
menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling tinggi, dan
siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru adalah a)
memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara bermakna
dan relevan dengan siswa, b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan atau
menerapkan gagasannya sendiri, dan c) membimbing siswa untuk menyadari dan secara sadar
menggunakan strategi belajar sendiri.
Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para ahli
tentang pentingnya memahami tingkat berpikir kritis siswa. Pada dasarnya suatu materi pelajaran
matematika ini dapat dimengerti dengan baik apabila siswa yang belajar sudah siap menerimanya.
Psikologi belajar dan teori belajar pada umumnya berkaitan dengan bagaimana anak belajar. Sejak
psikologi dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu, beberapa tokoh mengembangkan teori belajar
masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku maupun aspek kognitif.
Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar pendidikan yang
dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif.. Di antaranya aliran
Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike, Ausubel, Gagne, Pavlov dan teori
tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner, Brownell, Dienes dan Van Hiele.
Dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli psikologi, mempengaruhi pembelajaran
matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan
dengan penemuan teori pembelajaran yang muncul.
1.2 Perumusan Masalah
Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan
Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.
1.4 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar Brownell
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur
Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan
hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his point of view as the “meaning
theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He
showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…”
pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar
matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan
Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya
matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul
pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan
sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam
pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna) yang
diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang lebih
dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike
(1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil
bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau
puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena
sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan
berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa
dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau menghapal.
Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
A. Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta
(unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
B. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
C. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.
D. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran
matematika.
1. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut
hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9.
Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6
= 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
2. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan
drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi dari yang
telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua
siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5
sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4
untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang
dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak
menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban
belajar mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
3. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini
merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari
sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui
drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berfikir secara
kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi
perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini adalah
isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam pembelajaran
matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting, tetapi drill dilakukan
apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti oleh para siswa.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-prinsip
dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar untuk mengukur kemampuan
matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja. Tes harus
mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan kemampuan untuk
menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek matematikanya maupun
aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Anak harus
tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.
Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis dan
otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau
pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan
berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas tentang
pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of
number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam
kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat
intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon
otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika yang
dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses
pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami
apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu
yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika
adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika.
Teori belajar William Brownell dikenal seebagai meaning theory.
Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri seolah nampak jelas, yakni
pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang
anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada kemajuan
teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemanhan-
kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempnyai karakteristik
sebagai berikut ;
1. Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan
probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2. Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan dan
ketrampilan berhitung.
3. Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4. Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
6. Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7. Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8. Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi.
9. Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila konsep,
prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini dikarenakan bahwa
penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak
dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu
juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya memahami
pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi intelektual dalam sistem
kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa
keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga
harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus
mengetahui makna dari apa yang dipelajari.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan
dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-
pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti
pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang.
Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang
dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang
cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan
bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui
bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus
membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa
harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari
apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat
mengakomodasikan.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi
hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya diikutsertakan dalam
proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja yang
dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi bagaimana cara kita
menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan melanjutkan
usaha perbaikan dalam matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
http://thabilkharisma.blogspot.com/2012/01/teori-belajar-arthur-william-brownell.html
http://medieval-breeze.blogspot.com/2012/09/bab-i-pendahuluan-1.html
Teori Pembelajaran John dewey
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita
harapkan dan juga kita inginkan. Dan mungkin juga kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat
atau melakukan tindakan sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka
kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg
berkesadaran magic, naif, atau kritis.
Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau pendidik
sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan
untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai
tujuan pendidikan yang diinginkan. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format
pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pendidikan.
John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika
menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan
peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta
didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya.
Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan
realitas yang ada.
Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia.
Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Selain itu juga
teori belajar kognitif tidak hanya dikemukakan oleh John Dewey tetapi juga oleh para ilmuwan
yang lain seperti Gestalt, Jean Peaget, dll.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey?
2. Bagaimana aplikasi teori kognitif John Dewey pada pembelajaran siswa?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey
2. Untuk mengetahui aplikasi teori kognitif John Dewey pada pembelajaran siswa
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP BELAJAR DAN TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF JOHN DEWEY
Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta
pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007:
105). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang
selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap
selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan
bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman
dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan
baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus
agar berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat
bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga
masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.
Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan
konstruktivistik. Sugihartono dkk. (2007) dalam kutipannya menjelaskan konsep penting dalam
psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap
hubungan-hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Pengamatan atau
pemahaman yang secara mendadak tersebut sering diartikan sebagai ide atau gagasan yang
secara tidak sengaja muncul di dalam memori kita. Meskipun mendadak pengamatan atau
pemahaman tersebut didapat terlebih dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam ini bersifat
insidental.
Sugihartono dkk. (2007) menjelaskan perbedaan antara teori gestalt dengan
konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang dimunculkan
berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun
dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik
tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan
sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan.
Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak
mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung
pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih
menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari
pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar
pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950: 89-90, dalam Dwi Siswoyo
dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah
makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman
selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan
bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal
ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan
yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain
itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat
relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam
teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey
membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau
preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011).
Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang
dikemukakan, yaitu:
- Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
- Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada
kriteria kelompoknya.
- Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal
pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Teori perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori pembelajaran
kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik, seseorang
mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal
ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan pada siswa tersebut. Teori kognitif
pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi
psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam
mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya,
menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar
stimulus atau informasi tersebut (Sugihartono dkk, 2007).
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses
belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui alat indera
hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sugihartono dkk (2007)
menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi,
memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh
terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.
Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di mana
kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis (Dimyati, 1990).
Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara lain
(John Dewey, 1990 dalam Dimyati, 1990):
- Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).
- Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan strukturnya.
Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.
- Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasi kreatif.
- Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini
menyangkut logika dan pengalaman.
- Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini
menyangkut sampling dan eksperimen.
B. APLIKASI TEORI KOGNITIF JOHN DEWEY PADA PEMBELAJARAN SISWA
Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada
pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir
untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara
rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara
berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono dkk, (2007) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui strategi
pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi
dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal ini siswa dituntut untuk
menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa memiliki kemampuan untuk
memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan
pandangan kognitif tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan
proses aktif dari pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007).
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini
mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori belajar
kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
- Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.
- Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
- Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada
kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi
pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga
kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode
pembelajaran kognitif yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah
model CBSA atau cara belajar siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk
pengembangan kognisi siswa.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam
Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut:
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
- Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
- Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
- Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui penelitian
ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi. Manfaat lain dari
kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif yang secara tidak langsung
berhubungan dengan gejala kognitif.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori belajar kognitif merupakan proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus
agar berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat
bagi siswa dalam memecahkan masalah agar terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori
pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan konstruktivistik.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak
mempunyai kaitan satu sama lain.
Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada
pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir
untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah didapat.
B. SARAN
Kami sangat menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharap kritik dan saran yang membangun, agar kami dapat memperbaiki pembuatan
tugas di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Siswoyo dkk. 2011. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Mahmud, Dimyati. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html
Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey
(Oleh: Koko Istya Temorubun, ss)
Pendahuluan
Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John Dewey seputar manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu kami menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya tentang filsafat pendidikan.
Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam proses mengajar dan peranan siswa dalam proses belajar.
I. Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey
1. John Locke
1.1. Pokok Pikiran Filosofis John Locke
Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural alam dan manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.
Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu berisi kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia. Tanpa sustratum material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi. Tak ada realitas
lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya, obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.
Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh Allah, tak ada ide tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia sadar bahwa ia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan sekitarnya dan membentuk dalam dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang dihadapinya. Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.
Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4] Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik.[5] Dengan demikian, Locke menampilkan karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut, manusia harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana seluruh anggotanya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa semua manusia sama. Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan kepada penguasa dengan syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
1.2. Pandangan John Locke Tentang Pendidikan
A. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan, yakni pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat.[10] Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini,
pengetahuan dilihat oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]
B. Hakekat Pendidikan
Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini saling menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang menerima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu jaringan pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh Locke, gagasan-gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman, tanpa pengolahan secara logis sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan gagasan-gagasan tunggal.
C. Metode Pendidikan
Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya, tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan demikian metode yang ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
D. Kurikulum Inti
John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]
Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan, kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung, bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.
2. John Dewey
2.1. Pandangan Filosofis John Dewey[20]
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat yang ada disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
2.2. Pandangan John Dewey Tentang Pendidikan
A. Hakekat Pendidikan
Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandangannya tentang filfsafat pendidikan. Pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak negara lain di seluruh dunia.[21]
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan dengan hal tersebut maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.
C. Kurikulum Inti
Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.[23] Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
D. Metode Pendidikan
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[24]
II. Relevansi bagi Peranan Guru dan Siswa
A. Peranan Guru
A.1. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Menurut Locke dan Dewey, yang penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi, teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan demikian hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey memprotes cara belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Yang penting yakni guru mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:
1. Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Seorang guru memungkinkan siswanya untuk menjalankan proses belajar atau membentuk pengertiannya sendiri. Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
2. Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik. Pengalaman konflik yang dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut. Guru harus menyemangati siswa.
3. Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi.
Sangatlah penting bahwa seorang guru tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya merupakan kebenaran tunggal. Selalu terbuka kemungkinan terhadap perembangan baru. Guru yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan. Artinya menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban alternatif.
Mengajar bukan dimaksudkan memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa. Mengajar merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri. Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian siswa. Dengan kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses belajar. Mengajar yang baik hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir dengan baik. Berpikir yang baik merupakan syarat mutlak yakni mempunyai pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur. Belajar dalam pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha untuk mendapatkan jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk mencari jawaban sendiri.
A.2. Penguasaan bahan
Peran guru sangat menentukan penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.
Guru yang berperan sebagai “diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau pemikirannya satu-satunya yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para siswa. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks bahan itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu pengatahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami dari pada bila terlepas begitu saja.
A.3. Strategi mengajar
Mengajar adalah suatu seni yang dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi. Beberapa ciri mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:
1. Orientasi. Murid diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam memperlajari suatu topik. Murid diberikan kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2. Elicitasi. Siswa dibanu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diamatinya dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.
3. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap.
4. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada siatuasi yang dihadapi sehari-hari, seorang perlu merevisi gagasannya, entah menambah keterangan atau mengubahnya.
A. 4. Evaluasi proses belajar
Dalam mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu usaha/operasi. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.
Kepada siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka.
A. 5. Hubungan guru dan siswa
Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberitahu. Dalam proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.
B. Peranan Siswa:
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar membentuk pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya. Hal itu berarti seorang siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.
Belajar oleh seorang siswa merupakan suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses organik dalam arti suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda dengan proses mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta, definisi. Ciri proses mekanik adalah statis.
Sungguh penting setiap siswa dalam proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang menyusun hipotesis dan menguji hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat dikembangkan melalui dua hal, pertama karya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Proses pelaksanaannya dibuat secara idividual.
Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog diharapakan mendengarkan pembicaraan orang lain. Yang penting bukanlah pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya mendengar dan mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam bingkai pemikiran atau pengalaman orang lain.
III. Kesimpulan
Telah disadari bahwa sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik untuk mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta didik. Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau “larangan” sehingga pendidikan yang semestinya membebaskan dan mendewasakan ratio manusia, malah menjadi ruang yang mengurung ratio manusia dalam kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John Dewey. Menurut Locke, dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya refleksinya, sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama, serta komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan ketrampilan-ketrampilan
khusus. Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni dengan mengubah sistem pendidikan yang kompleks tersebut.
Mengajar merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (siswa) atau kebiasaan menghafal, melainkan membantu seseorang agar dapat membentuk sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap suatu obyek yang ingin diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis harus dikembangkan.
Dalam proses ini seorang guru bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan pendapat siswa yang berbeda.
Demikianlah untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang memiliki profesionalitas dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.
Daftar Pustaka
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989)
J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003)
J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968)
Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002).
James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996).
L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971)
M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969)
Paul Suoarno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997).
Richard J. Berstein, Dewey John,
William Bayd, The History of Western Education.
Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)
[1] Innatisme ditolak karena dinilai kebenarannya sulit dipastikan; prinsipnya didasarkan pada kebenaran yang belum dibuktikan oleh pengalaman (lih. J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989), hlm. 89.
[2] Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[3] J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968), p. 26-27.
[4] N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), p. 83.
[5] M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.
[6] Lih. Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 26-27.
[7] J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003), hlm. 77.
[8] Cranston, John Locke, p. 12-13.
[9] James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996), hlm. 501. terkutip dalam N. Tarcov, p. 198.
[10] Trcov, Locke’s Education for Liberty, p. 198.
[11] Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 16.
[12] Ibid., p. 26-27.
[13] L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971), p. 20.
[14] Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002), p. 35.
[15] William Bayd, The History of Western Education, p. 287.
[16] M. Cranston, John Locke, p. 16.
[17] Daighton (ed.), The Encyclopedia of Education, p. 22.
[18] Ibid., p. 20.
[19] Ibid., p. 21-22.
[20] Richard J. Berstein, Dewey John, hlm. 384-385. Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 76-79.
[21] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 548.
[22] Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), hlm. 30-31.
[23] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 79.
[24] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 535.
http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/filsafat-pendidikan-menurut-john-locke-dan-john-dewey/