Teori Belajar Arthur William Brownell BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi. Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Teori Belajar Arthur William Brownell
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus
yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor
internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan
dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan
pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-
unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang
datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses
internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan
menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus
yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak
tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana
seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon
stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada
cara-cara seseorang menggunakaan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.
Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa
siswa sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, fungsi guru
adalah menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling
tinggi, dan siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru
adalah a) memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi
secara bermakna dan relevan dengan siswa, b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri, dan c) membimbing siswa untuk
menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.
Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para
ahli tentang pentingnya memahami tingkat berpikir kritis siswa. Pada dasarnya suatu materi
pelajaran matematika ini dapat dimengerti dengan baik apabila siswa yang belajar sudah siap
menerimanya. Psikologi belajar dan teori belajar pada umumnya berkaitan dengan bagaimana
anak belajar. Sejak psikologi dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu, beberapa tokoh
mengembangkan teori belajar masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku
maupun aspek kognitif.
Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar pendidikan
yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif.. Di antaranya
aliran Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike, Ausubel, Gagne,
Pavlov dan teori tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner,
Brownell, Dienes dan Van Hiele. Dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli
psikologi, mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah
mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori pembelajaran yang
muncul.
1.2. Perumusan Masalah
Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan
Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.
1.4. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Brownell
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang
mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his
point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence
of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for
children's mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya
pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam
perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya
ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930.
Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah
sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)
yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan
hafal/ulangan).
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang
lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L.
Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan
lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan.
Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran
sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan
dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh
siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau
menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
a. Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai
kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan
pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada
kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran
matematika.
a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik,
bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin
dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru
memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai
reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 =
4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan
2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya
akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui
penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar
berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons
otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka
relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini
merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak.
Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab
pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa
dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya
(mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill
(balapan).
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini
adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam
pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting,
tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti
oleh para siswa.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-
prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar untuk mengukur
kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung
saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan
kemampuan untuk menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek
matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa
yang dipelajarinya. Anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.
Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis
dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan
atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan
berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas
tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the
significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam
kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat
intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar
respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika
yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan
bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya
sebagai kemahiran.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika
mereka mempelajari konsep matematika. Teori belajar William Brownell dikenal seebagai
meaning theory.
Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri seolah nampak
jelas, yakni pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas,
kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat
dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran
yang dapat menutupi kelemanhan-kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana
matematika saat itu mempnyai karakteristik sebagai berikut ;
1. Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan,
statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2. Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan
dan ketrampilan berhitung.
3. Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4. Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5. Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
6. Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7. Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8. Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik
diskusi.
9. Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila
konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini
dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari
kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan
kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran
matematika, siswa sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial
manusia maupun segi intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang
dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana
prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang
dipelajari.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan
hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan
pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil
dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi
anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak
dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin
formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan
yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang
menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh
anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar
dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada
siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat
belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan
usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran
operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya
diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika
dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi
bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang
telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.
Psikologi Pembelajaran Matematika (BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)
3 Mei 2014
iqbalzonecoolz diary belajar dan pembelajaran, BROWNELL, DIENES, VAN HIELE Tinggalkan komentar
Rate This
(BROWNELL,DIENES,VAN HIELE)
a) Teori William Arthur Brownell
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar
Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
b) Teori Zoltan Paul Dienes
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan
dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian, anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
c) Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut:
Tahap pengenalan (Visualisasi).
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar, mempunyai 12 rusuk, dll.
Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang.
1. Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada
tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).
Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.
Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey
(Oleh: Koko Istya Temorubun, ss)
Pendahuluan
Dalam tugas ini kami membahas pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John Dewey seputar manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia. Karena itu sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan terlebih dahulu kami menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari pokok pemikirannya tentang filsafat pendidikan.
Berdasarkan pandangan mereka kami mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam proses mengajar dan peranan siswa dalam proses belajar.
I. Filsafat Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey
1. John Locke
1.1. Pokok Pikiran Filosofis John Locke
Pemikiran filosofis John Lucke menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural alam dan manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang berbasis pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia ditempatkannya dalam konteks pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup manusia.
Locke mengaskan bahwa tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu berisi kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia. Tanpa sustratum material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang direfleksikan oleh akal budi. Tak ada realitas
lain yang lebih tinggi dari pada dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi sumber pengalaman dan pengetahuan manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung pada penglihatan aktualnya dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam kontak tersebut, pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya, obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke sendiri, menolak adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan eksistensi pengetahuan.
Pandangan Locke tentang manusia berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan pengetahuannya dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh Allah, tak ada ide tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia sadar bahwa ia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya. Dalam usaha untuk mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun kontak dengan lingkungan sekitarnya dan membentuk dalam dirinya pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang dihadapinya. Konsekuensinya, akal budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.
Penolakan Locke atas ide bawaan mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk mendapatkan pengetahuan dari pengalaman.[4] Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak milik.[5] Dengan demikian, Locke menampilkan karakter dasar manusia sebagai makhluk rasional dan moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu baik dan tanpa cela. Dalam kondisi alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa tergantung pada kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut, manusia harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana seluruh anggotanya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa semua manusia sama. Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan kepada penguasa dengan syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
1.2. Pandangan John Locke Tentang Pendidikan
A. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan, yakni pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran, keutamaan dan kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat pengetahuan sebagai usaha untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat.[10] Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini,
pengetahuan dilihat oleh John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]
B. Hakekat Pendidikan
Menurut Locke, seluruh pengetahuan pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita ketahui melalui pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri, melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua sumber pengalaman, yaitu pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini saling menjalin. Locke melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang menerima segala sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu jaringan pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh Locke, gagasan-gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman, tanpa pengolahan secara logis sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan gagasan-gagasan tunggal.
C. Metode Pendidikan
Pada dasarnya Locke menolak metode pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya, tata krama dipelajari melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan demikian metode yang ditawarkan Locke adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para murid kepada praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru kemudian tiba pada pengertian atau pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
D. Kurikulum Inti
John Locke menegaskan kurikulum harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin hendaknya difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan religius dan moral, pada kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada pendidikan kesenian, dengan suatu maksud bahwa para murid harus belajar membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]
Menurut Locke perkembangan kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan, kebijaksanaan dan pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung, bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga menekankan studi geografi, aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat yang ada disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel. Fleksibelitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
2.2. Pandangan John Dewey Tentang Pendidikan
A. Hakekat Pendidikan
Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandangannya tentang filfsafat pendidikan. Pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mulai mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak negara lain di seluruh dunia.[21]
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya pastisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan dengan hal tersebut maka Dewey menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun kembali yang baru.
C. Kurikulum Inti
Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.[23] Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Ia juga mengkritik sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
D. Metode Pendidikan
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
Dewey mengadakan penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[24]
Menurut Locke dan Dewey, yang penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi, teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan demikian hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey memprotes cara belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Yang penting yakni guru mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian seorang guru harus berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:
1. Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Seorang guru memungkinkan siswanya untuk menjalankan proses belajar atau membentuk pengertiannya sendiri. Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
2. Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik. Pengalaman konflik yang dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut. Guru harus menyemangati siswa.
3. Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi.
Sangatlah penting bahwa seorang guru tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya merupakan kebenaran tunggal. Selalu terbuka kemungkinan terhadap perembangan baru. Guru yang baik seharusnya tidak mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan. Artinya menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban alternatif.
Mengajar bukan dimaksudkan memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa. Mengajar merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri. Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian siswa. Dengan kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses belajar. Mengajar yang baik hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir dengan baik. Berpikir yang baik merupakan syarat mutlak yakni mempunyai pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur. Belajar dalam pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha untuk mendapatkan jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk mencari jawaban sendiri.
A.2. Penguasaan bahan
Peran guru sangat menentukan penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.
Guru yang berperan sebagai “diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau pemikirannya satu-satunya yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para siswa. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks bahan itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu pengatahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami dari pada bila terlepas begitu saja.
A.3. Strategi mengajar
Mengajar adalah suatu seni yang dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi. Beberapa ciri mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:
1. Orientasi. Murid diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam memperlajari suatu topik. Murid diberikan kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2. Elicitasi. Siswa dibanu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diamatinya dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.
3. Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap.
4. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada siatuasi yang dihadapi sehari-hari, seorang perlu merevisi gagasannya, entah menambah keterangan atau mengubahnya.
A. 4. Evaluasi proses belajar
Dalam mengevaluasi cara belajar siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada siswa apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu usaha/operasi. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar.
Kepada siswa diberikan suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka.
A. 5. Hubungan guru dan siswa
Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberitahu. Dalam proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan.
B. Peranan Siswa:
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar membentuk pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya. Hal itu berarti seorang siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.
Belajar oleh seorang siswa merupakan suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses organik dalam arti suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda dengan proses mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta, definisi. Ciri proses mekanik adalah statis.
Sungguh penting setiap siswa dalam proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang menyusun hipotesis dan menguji hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa mempunyai pengalaman tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran melalui tulisan, gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat dikembangkan melalui dua hal, pertama karya tulis: dalam menyusun karya seorang siswa diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan yang dipilihnya. Proses pelaksanaannya dibuat secara idividual.
Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog diharapakan mendengarkan pembicaraan orang lain. Yang penting bukanlah pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya mendengar dan mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam bingkai pemikiran atau pengalaman orang lain.
III. Kesimpulan
Telah disadari bahwa sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik untuk mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta didik. Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau “larangan” sehingga pendidikan yang semestinya membebaskan dan mendewasakan ratio manusia, malah menjadi ruang yang mengurung ratio manusia dalam kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John Dewey. Menurut Locke, dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya refleksinya, sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama, serta komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan ketrampilan-ketrampilan
khusus. Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni dengan mengubah sistem pendidikan yang kompleks tersebut.
Mengajar merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (siswa) atau kebiasaan menghafal, melainkan membantu seseorang agar dapat membentuk sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap suatu obyek yang ingin diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis harus dikembangkan.
Dalam proses ini seorang guru bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya. Yang terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan pendapat siswa yang berbeda.
Demikianlah untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang memiliki profesionalitas dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.
Daftar Pustaka
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989)
J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003)
J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968)
Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002).
James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996).
L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971)
M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969)
Paul Suoarno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997).
Richard J. Berstein, Dewey John,
William Bayd, The History of Western Education.
Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)
[1] Innatisme ditolak karena dinilai kebenarannya sulit dipastikan; prinsipnya didasarkan pada kebenaran yang belum dibuktikan oleh pengalaman (lih. J. Montong, “Sejarah Filsafat Semesta” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 1989), hlm. 89.
[2] Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[3] J. W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press, 1968), p. 26-27.
[4] N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), p. 83.
[5] M. Cranston, John Locke (London: Longmans, 1969), p. 12.
[6] Lih. Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 26-27.
[7] J. Ohoitimur, “Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer” (Traktat Kuliah STF-Seminari Pineleng, 2003), hlm. 77.
[8] Cranston, John Locke, p. 12-13.
[9] James Gordon Clapp, “Locke, John”, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (ed.), Volume III and IV (New York: Simon and Schuster and Prencite Hall International, 1996), hlm. 501. terkutip dalam N. Tarcov, p. 198.
[10] Trcov, Locke’s Education for Liberty, p. 198.
[11] Yolton, John Locke and The Way of Ideas, p. 16.
[12] Ibid., p. 26-27.
[13] L. C. Deighton (ed.), The Encyclopedya of Education, volume VI (New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1971), p. 20.
[14] Jacob E Safra (Cairman of TheBoard), The New Encyclopedia Britannica Seventeen Edition (Chicago: Encyclopedya Britannica, Inc., 2002), p. 35.
[15] William Bayd, The History of Western Education, p. 287.
[16] M. Cranston, John Locke, p. 16.
[17] Daighton (ed.), The Encyclopedia of Education, p. 22.
[18] Ibid., p. 20.
[19] Ibid., p. 21-22.
[20] Richard J. Berstein, Dewey John, hlm. 384-385. Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 76-79.
[21] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 548.
[22] Zamroni M.A. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), hlm. 30-31.
[23] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah SFT-SP), hlm. 79.
[24] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 535.