1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Deklarasi Millennium Development Goals (MDG’s) yang telah dicanangkan
dalam pertemuan global tahun 90-an bertujuan untuk mengurangi separuh masalah
kelaparan di dunia, mengupayakan semua anak dapat menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar, menghapus perbedaan jender tanpa melihat tingkat pendidikan,
mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan anak balita, mengurangi angka
kematian ibu tiga per empat dari angka sekarang, serta menyediakan air bersih bagi
separuh penduduk dunia pada tahun 2015. Dasar sasaran butir keempat MDG’s
adalah anak balita. Mengingat usia anak balita merupakan masa ‘kehidupan emas’,
maka dalam masa ini kita mempunyai peluang ‘emas’ untuk dapat melakukan
intervensi selama masa tumbuh kembang sehingga dicapai manusia dewasa yang
sehat dengan kualitas prima (WHO 2011).
Periode balita ini merupakan masa kritis pertumbuhan otak yang disebut juga
sebagai windows of opportunity, yang berarti pada periode ini akan berdampak buruk
jika tidak diperhatikan, tetapi berdampak baik kalau pada masa tersebut dimanfaatkan
sebaik-baiknya (Soetjiningsih & Suandi 2002). Dalam literatur lain dikatakan sebagai
periode critical window yaitu masa 2 tahun pertama kehidupan, dimana pada periode
ini merupakan waktu yang tepat untuk promosi mengenai pertumbuhan optimal,
perkembangan kesehatan fisik, maupun perilaku. Berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya, secara konsisten didapatkan bahwa pada usia ini merupakan puncak usia
untuk terjadinya masalah-masalah seperti penurunan pertumbuhan, defisiensi dari
mikronutrien tertentu, dan terjadinya penyakit yang sering mengenai anak seperti
diare (Kathryn Dewey 2001).
Intervensi yang perlu diperhatikan salah satunya adalah kebutuhan nutrisi.
Nutrisi yang baik yaitu nutrisi yang adekut, yang seimbang antara zat gizi yang
masuk ke dalam tubuh (intake) dengan kebutuhan yang diperlukan untuk aktivitas,
pertumbuhan, dan lainnya (WHO 2011). Oleh karena itu setiap daur kehidupan
2
memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda. Pada tiga tahun pertama kehidupan,
kebutuhan nutrisi yang adekuat dan seimbang merupakan kebutuhan akan asuh yang
terpenting untuk perkembangan setiap anak menjadi manusia seutuhnya
(Tanuwidjaya 2002). Konsekuensi jangka pendek yang akan segera terlihat dari
kurang adekuatnya nutrisi selama masa perkembangan anak antara lain terjadi
keterlambatan dalam tumbuh kembang anak. Sedangkan manifetasi dari defisiensi
nutrisi dalam jangka panjang berhubungan dengan penurunan intelektual, kapasitas
kerja, dan keseluruhan kesehatan selama remaja dan dewasa. Setelah usia 2 tahun
akan sangat sulit untuk mengembalikan kegagalan perumbuhan ataupun
perkembangan yang telah terjadi (Kathryn Dewey 2001).
Kurangnya pemberian ASI, praktek pemberian makanan pendamping ASI yang
salah, dan tingginya penyakit-penyakit akibat infeksi merupakan masalah dasar
penyebab malnutrisi selama dua tahun pertama kehidupan (Kathryn Dewey 2001) .
Karena alasan tersebut, sangat penting untuk memastikan kebutuhan nutrisi pada
masa ini terpenuhi dengan tepat. Untuk itu WHO maupun pemerintah Indonesia
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan
sampai usia dua tahun dengan tambahan makanan untuk pandamping ASI.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa ASI
memiliki komposisi yang unik, yang diciptakan sesuai dengan kebutuhan tumbuh
kembang bayi manusia (Soetjiningsih & Suandi 2002). Pemberian ASI memilki
banyak keunggulan, selain memiliki kandungan gizi yang lengkap dan cukup untuk
bayi sampai enam bulan pertama kehidupan, pemberian ASI secara eksklusif pun
akan meminimalisasi masuknya bahan infeksius, meminimalisasi terjadinya alergi
ataupun intoleransi terhadap suatu bahan makanan tertentu, dan selain itu pemberian
ASI pada bayi merupakan hal yang praktis dan terjangkau oleh semua kelas ekonomi
(Wardlow, M.G., Hampl, J.S. & Disilvestro, R.A. 2004).
Pemberian ASI juga bermanfaat bagi ibu yang memberikannya, antara lain
mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat involusi uterus, dan
menunda kembalinya kesuburan akibat dari amenore anovulasi (Soetjiningsih &
Suandi 2002).
3
Soepardi 2007, menyatakan bahwa pada saat air susu ibu (ASI) tidak lagi
mencukupi kebutuhan nutrisi bayi, maka makanan pendamping ASI (MPASI) harus
diberikan sebagai makanan tambahan. Praktek pemberian MPASI merupakan suatu
proses awal ketika pemberian ASI saja kepada bayi sudah tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan yang harus dicapai oleh bayi tersebut, dan oleh karena itu
makanan padat maupun cair dibutuhkan sebagai pendamping ASI (Kathryn Dewey
2001).
Makanan pendamping ASI seharusnya diberikan pada waktu yang tepat, artinya
setiap anak seharusnya mulai menerima makanan tambahan disamping ASI sejak usia
enam bulan (WHO 2011). Pemberian MPASI disesuaikan dengan perkembangan
saluran cerna bayi yang belum sempurna. Pemberian MPASI terlalu dini, telah
diketahui dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain bayi lebih sering
menderita diare, bayi mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi
malnutrisi/gangguan pertumbuhan anak, dan mengakibatkan penurunan produksi
ASI, oleh karena itu pemberian MPASI pada saat yang tepat bertujuan untuk
mencegah kemungkinan timbulnya masalah-masalah tersebut. Overfeeding juga dapat
terjadi karena bayi tersebut belum mampu memberikan pertanda bahwa ia sudah
kenyang, dan alasan lain adalah bayi belum mampu menelan MPASI dengan benar
dan berpotensi untuk tersedak(Soepardi 2007).
Literatur lain mengatakan bahwa anak yang diberi MPASI pada usia antara 4-6
bulan memiliki BB ataupun BB/TB lebih rendah dibandingkan anak yang diberi
MPASI pada usia 6 bulan (Lawrence 2005), sehingga pemberian MPASI harus
dimulai pada usia 6 bulan.
Nilai gizi MPASI harus adekuat seperti kandungan dalam ASI, bersih, rasa dan
bentuk yang menarik dalam jumlah yang cukup. Makanan pendamping ASI tidak
menggantikan ASI, tetapi secara bertahap diberikan untuk mendampingi ASI
sehingga bayi mendapatkan nutrisi sesuai dengan kebutuhan gizi bayi (Soedibyo, S.
& Winda, F. 2007).
4
Tujuan dari proses pemberian MPASI yaitu (Soetjiningsih & Suandi 2002):
a. Memenuhi kebutuhan zat makanan yang adekuat untuk keperluan hidup,
memelihara kesehatan, dan untuk aktifitas sehai-hari.
b. Menunjang tercapainya tumbuh kembang yang optimal.
c. Mendidik anak untuk terbina selera dan kebiasaan makan yang sehat, memilih
dan menyukai makanan yang sesuai dengan keperluan anak.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, tertulis bahwa praktek pemberian ASI secara
eksklusif selama 6 bulan sangat rendah yaitu hanya 15,3% dan dinyatakan pula
bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari 19 provinsi yang memiliki
prevalensi kekurusan diatas angka prevalensi nasional. Di sisi lain dalam laporan
yang sama Provinsi Jawa Barat merupakan merupakan salah satu provinsi yang
memiliki masalah kegemukan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik mengetahui apakah usia pertamakali
anak mulai mendapatkan MPASI mempengaruhi keadaan status gizi anak tersebut.
Sehingga dapat melihat pentingnya praktek pemberian MPASI yang benar terutama
usia memulai pemberian MPASI.
I.2. Perumusan Masalah
Prevalensi gizi kurang pada anak di Desa Cileungsi masih cukup tinggi yaitu
12.1%. Pada usia 6-24 bulan merupakan masa yang penuh risiko, dimana pada
periode ini banyak berkaitan dengan masalah pemberian ASI, usia pertama pemberian
MPASI dan asupan gizi. Terlalu dini atau terlambatnya bayi diberikan MPASI diduga
mempunyai kontribusi terhadap terjadinya gizi kurang. Berdasarkan latar belakang di
atas maka timbul pertanyaan yang hendak dijawab dengan penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana distribusi status gizi anak usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi
Kecamatan Cileungsi kabupaten Bogor?
2. Bagaimana distribusi usia anak saat pertama kali diperkenalkan dengan
makanan pendamping ASI?
3. Bagaimana distribusi anak yang mendapatkan ASI eksklusif?
5
4. Mengetahui apakah ada hubungan antara status gizi dengan riwayat
pertama kali pemberian MPASI?
I.3. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara usia pertama kali pemberian MPASI dengan
status gizi anak usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi Kecamatan Cileungsi kabupaten
Bogor periode Februari 2012.
I.3.2. Tujuan khusus
a. Mengetahui distribusi status gizi anak usia 6-24 di Desa Cileungsi
Kecamatan Cileungsi kabupaten Bogor.
b. Mengetahui distribusi usia pertama kali anak mendapatkan makanan
pendamping ASI.
c. Mengetahui distribusi anak yang mendapatkan ASI eksklusif
I.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
I.4.1. Masyarakat umum
Sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan sehingga diharapkan
masyarakat bisa mengetahui tentang pentinnya nutrisi untuk anak terutama
mengenai pemberian makanan pendamping ASI.
I.4.2 Desa tempat penelitian
Memberikan gambaran mengenai hubungan antara usia pertama kali
pemberian makanan pendaping ASI dengan status gizi anak, sehingga
diharapkan akan meningkatkan kegiatan promotif mengenai pemberian ASI
eksklusif dan promosi mengenai praktek pemberian MPASI yang tepat untuk
anak.
6
I.4.3 Diri sendiri
Untuk menambah wawasan tentang ilmu kesehatan anak khususnya mengenai
kebutuhan nutrisi untuk anak dan juga untuk mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang telah didapat khususnya ilmu CRP (Community Research
Programe).
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Status gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Dalam penentuan status gizi anak
diperlukan indikator status gizi untuk menilainya. Indikator status gizi merupakan
tanda-tanda yang dapat memberikan indikasi tentang status gizi anak tersebut.
Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak
saat konsepsi sampai berakhirnya masa remaja (Tanuwidjaya 2002).
Tumbuh yang prosesnya disebut pertumbuhan ialah bertambahnya ukuran
dan jumlah sel serta jaringa interseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik dan
struktur tubuh dalam arti sebagian ataupun keseluruhan. Kembang yang
peristiwanya disebut perkembangan ialah bertambahnya kemempuan struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks, yang bersifat kualitatatif (Hariyono &
Moersintowati 2002).
II.1.2. Penilaian Status Gizi
Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung
dan tidak langsung (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
a. Penilaian gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian, yaitu:
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia (Supariasa,
Bachyar, & Ibnu 2002). Tanda-tanda pertumbuhan fisik merupakan
indikator status gizi yang dapat diamati dengan pertambahan besarnya
ukuran-ukuran antropometri, otot, kulit serta jaringan lemak, darah,
dan lain-lain. Parameter antropometri yang dipakai pada penilaian
8
pertumbuhan fisik yaitu tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipat
kulit, lingkar lengan atas, panjang lengan, dan panjang tungkai
(Moersintowati 2002). Pada prakteknya, ukuran antropometri yang
bermanfaat dan sering dipakai adalah:
a) Berat badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting,
dipakai dalam setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada
setiap kelompok umur (Suyitno 2002).
Pengukurn dapat dilakukan dengan tepat menggunakan timbangan
elektronik, bayi dalam keadaan telanjang, atau pada anak hanya
menggunakan pakaian dalam saja. Timbangan lain yang dapat
digunakan dengan tepat adalah timbangan yang menggunakan
dacin, atau timbangan injak yang secara teratur ditera untuk
menjaga ketepatanya (Moersintowati 2002).
b) Tinggi badan
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang penting,
keistimewaannya adalah nilai tinggi badan meningkat terus,
walaupun laju tumbuh berubah dari pesat pada bayi muda,
kemudian melambat dan menjadi pesat lagi pada masa remaja,
selanjutnya melambat lagi kemudian berhenti dengan nilai tinggi
maksimal pada usia 18-20 tahun. Pengukuran tinggi badan pada
anak sampai usia 2 tahun dengan menggunakan infantometer,
diperlukan bantuan ibu untuk memegang kepala anak agar tetap
menempel pada ubun-ubun, kesulitan biasanya pada saat
meluruskan tungkainya dengan telapak kaki menempel pada
pengukur, karena bayi tidak suka dipegang agar diam beberapa
waktu (Moersintowati 2002).
c) Lingkar kepala
Pengukuran pada lingkaran occipitofrontal menunjukan ukuran
pertumbuhan kepala dan otak. Laju tumbuh pesat pada enam bulan
9
pertama bayi, dari 35 cm saat lahir menjadi 43 cm pada 6 bulan.
Laju kemudian berkurang, hanya 46,5 cm pada usia 1 tahun dan
49 cm pada usia 2 tahun. Selanjutnya berkurang drastis yaitu
hanya bertambah 1 cm sampai usia 3 tahun dan bertambah lagi
kira-kira 5 cm sampai usia remaja/dewasa. Oleh karena itu
manfaat pengukuran lingkar kepala terbatas sampai usia 3 tahun,
kecuali jika diperlukan seperti pada kasus hidrocephalus
(Moersintowati 2002).
d) Lingkar lengan atas
Lingkar lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan
lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan
tubuh dibandingkan dengan berat badan. Laju tumbuh lambat, dari
11 cm saat lahir menjadi 16 cm saat usia 1 tahun. Selanjutnya
tidak banyak berubah selama 1-3 tahun (Moersintowati 2002).
e) Lipatan kulit
Tebalnya lipatan kulit pada daerah triseps dan subskapuler
merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit,
yang mencerminkan kecukupan energi. Dimanfaatkan untuk
menilai terdapatnya keaadaan gizi lebih, khususnya pada keadaan
obesitas (Moersintowati 2002).
2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi.
Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut,
dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan
tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk
survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang
untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari
kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan
10
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan
pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit
(Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen
yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada bebagai macam
jaringan tubuh (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
4) Biofisika
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, Bachyar, & Ibnu
2002).
b. Penilaian gizi secara tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran
tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan
individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan
gizi (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
2) Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan angka kematian akibat
penyebab tertentu dan data lainny yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
11
langsung pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, Bachyar, &
Ibnu 2002).
3) Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi antara
beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung dan keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
II.1.3. Klasifikasi Status Gizi
Alat yang penting dalam penilaian pertumbuhan adalah kurva pertumbuhan.
Penilaian pertumbuhan dimulai dengan memplot hasil pengukuran tinggi badan,
berat badan pada kurva standard (misalnya NCHS), sejak intra uterin hingga
remaja. Pada prinsipnya, ada tiga cara pemaparan inidikator antropomeris
(Arisman 2007), yaitu:
a) Persentase, dengan cara berat badan (tinggi badan atau ukuran antropometris
lain) pada usia tertentu dibagi dengan berat baku acuan.
b) Persentil, cara yang mengacu pada posisi nilai suatu ukuran secara
keseluruhan (100%) dari pengukuran populasi acuan yang disusun
berdasarkan ranking.
c) Z-skor, atau simpangan baku/ standar deviasi (SD), dilakukan dengan cara
melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang diperiksa. Angka ini
melukiskan jarak nilai baku median dalam urutan simbangan baku. Nilai z-
skor diperoleh dari hasi pembagian antara ukuran antropometris orang yang
diperiksa dengan nilai baku acuan.
Cara umum yang dilakukan untuk mengukur keadaan gizi adalah dengan
cara megukur ukuran tubuh atau antropometri. Indikator antropometri yang umum
digunakan untuk mengukur keadaan gizi adalah indeks antropometri (Ansori
2002), yaitu:
12
a. Berat badan terhadap umur (BB/U)
Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini
tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun
akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.
Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya
pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut) (Riskesdas
2010). Penggunaan indeks BB/U memiliki kebihan atara lain lebih mudah dan
lebih cepat dimengerti oleh masyarakat, baik untuk mengukur status gizi akut
maupun kronis, sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan kecil, dan
dapat mendeteksi over weight (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
b. Tinggi badan terhadap umur (TB/U)
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis,
sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan,
perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek ((Riskesdas
2010).
c. Berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB)
Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama
(singkat), misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan
(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk
identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga
memberikan indikasi kegemukan ((Riskesdas 2010).
d. Lingkar lengan atas (LLA)
Berat badan merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan tulang, otot,
lemak, cairan tubuh dan lainnya. Defisit dalam berat terhadap umur dapat
memiliki dua macam arti, yaitu defisit dalam arti BB/U menunjukan keadaan
kurang gizi yang kronis atau gizi pada masa lampau (stunting), sedangkan defisit
BB/TB menunjukan keadaan gizi saat ini atau akut (wasting) (Ansori 2002).
13
Tabel 2.1.Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks
Sumber : KMK Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010.
II.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi dibagi menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak
langsung (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
a. Faktor yang mempengaruhi secara langsung
Penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah konsumsi makanan dan
penyakit infeksi, kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.(Soekirman,
2002). Dengan demikian timbulnya gizi kurang tidak hanya kurangnya
makanan tetapi juga adanya penyakit infeksi. Sebagai contoh anak yang
mendapatkan cukup makanan namun sering mengalami penyakit infeksi
misalnya diare akhirnya akan dapat menderita gizi kurang, dan sebaliknya anak
kurang mendapatkan makanan akan menurun daya tahan tubuhnya sehingga
lebih mudah terserang penyakit.
14
Makanan sebagai faktor yang mempengaruhi secara langsung status gizi anak
bukan hanya mengenai kecukupan jumlah secara kuantitas saja tetapi harus
juga terpenuhi kecukupan secara kualitasnya.
b. Faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung
1) Daya beli dan ketahanan pangan di keluarga
Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluaraga dalam jumlah yang cukup dan
baik mutunya. Tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang
cukup yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan
makanan yang diperlukan.
2) Pola asuh gizi
Pola asuh gizi merupakan faktor yang secara tidak langsung
mempengaruhi konsumsi makanan pada bayi. Termasuk didalamnya adalah
praktek dalam pemberian makanan. Pemberian makanan dengan jenis yang
tepat dan waktu yang tepat sangatlah mempengaruhi keadaan gizi bayi.
3) Pelayanan kesehatan
Peran pelayanan telah lama diadakan untuk memperbaiki status gizi.
Pelayanan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat
membantu dalam meningakatkan derajat kesehatan. Dengan pelayanan
kesehatan yang optimal kebutuhan kesehatan masyarakat akan terpenuhi. Salah
satu bentuk pelayana kesehatan yaitu kegiatan posyandu yang dapat memantau
pertumbuhan dan perkembangan anak balita dengan penimbangna berat badan
secara rutin tiap bulan.
c. Masalah utama
Terbentuknya masalah dalam ketersediaan pangan, pola asuh, dan pelayana
kesehatan tidak lain merupakan lingkaran setan karena adanya masalah
kemiskinan, masalah kurangnya pendidikan, dan rendahnya kesempatan kerja.
d. Masalah dasar
Dasar pemasalahan dari masalah gizi di Indonesia adalah ketidaksetabilan
krisis politi dan ekonomi.
Pelayanan Kesehatan
ASUPAN GIZI
Masalah Dasar
Masalah Utama
Penyebab Tak Langsung
Penyebab Langsung
KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA
KRISIS POLITIK DAN EKONOMI
PENYAKIT INFEKSI
Status Gizi
Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah TanggaPerilaku/ Asuhan Ibu dan Anak
15
Bagan 2.1.
Faktor Penyebab Masala Gizi (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002)
II.1.5. Gangguan Nutrisi
Gangguan terpenuhinya nutrisi akan menyebabkan masalah gizi pada anak.
Masalah gizi merupakan kesenjangan antara keadaan gizi yang diharapkan
dengan kenyataan yang ada. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah
kesehatan masyarakat, namun penanggulanganya tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah
gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus
melibatkan berbagai sektor yang terkait (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
Masalah gizi pada anak antara lain:
a. Masalah gizi kurang
i. KEP (Kurang Energi Protein)
Kekurangan Energi Protein (KEP) disebabkan disebabkan kekurangan
makanan sumber energy secara umum dan kekurangan sumber protein.
Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap
16
penyakit terutama penyakit infeksi, dan mengakibatkan rendahnya tingkat
kecerdasan (Almatsier 2001).
ii. Anemia besi
Akibat paling sering dari defisiensi besi adalah anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi sangat banyak dijumpai pada wanita terutama yang
tinggal di pedesaan, anak-anak, wanita pekerja pabrik. Anemia besi
menyebabkan penurunan kemampuan fisik atau produktifitas kerja,
penurunan kemampuan berfikir, dan penurunan antibodi sehingga mudah
terserang infeksi (Almatsier 2001).
iii. Gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI)
Kekurangan iodium terutama terjadi di daerah pegunungan, dimana tanah
kurang mengandung iodium. GAKI menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid. Pada anak-anak menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan
jasmani, maupun mental (Almatsier 2001).
iv. Defisiensi vitamin
Vitamin adalah nutrien esensial yang harus dipasok dari luar. Manifestasi
dari defisiensi vitamin tergantung dari jenis dari defisiensi vitamin.
Tabel 2.1.
Keadaan ketergantungan vitamin (Barness 1999)
17
b. Masalah gizi lebih
i. Obesitas
Terdapat penelitian yang menyatakan obesitas pada masa kanak-kanak
dapat menjadi obesitas pada dewasa (10-30%). Sedangkan obesitas
memiliki korelasi terjadinya penyakit kardiovaskuler, atherosclerosis, dan
diabetes (Barness 1999).
ii. Kelebihan protein
Asupan protein berlebihan, terutama jika tidak ada air yang cukup, dapat
menimbulkan demam dehidrasi. Tanda-tanda kelebihan protein jarang,
tetapi bayi premtur yang diet tinggi protein memiliki peningkatan risiko
morbiditas (Barness 1999).
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih
didominasi oleh KEP, masalah anemia besi, defisiensi vitamin A, dan obesitas
terutama di kota-kota besar (Supariasa, Bachyar, & Ibnu 2002).
II.1.6. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)
Ketika air susu ibu (ASI) tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayi, maka
makanan pendamping ASI (MPASI) harus diberikan sebagai makanan tambahan.
Istilah makanan pendamping ASI bermacam-macam yaitu makanan pelengkap,
makanan makanan tambahan, makanan padat, makanan sapihan atau weaning
food, makanan peralihan, ataupun beikost (istilah dalam bahasa jerman yang
artinya makanan selain dari ASI yang diberikan pada bayi) (Ansori 2002).
Perubahan kebutuhan dari ASI eksklusif ke makanan pendamping umumnya
terjadi pada usia 6-24 bulan, dan periode ini sangat sensitif untuk terjadinya
malnutrisi pada anak. Pemberian makana pada anak mempunyai tujuan, yaitu
(Soetjiningsih & Suandi 2002):
a. Memenuhi kebutuhan zat makanan yang adekuat untuk keperluan hidup,
memelihara kesehatan, dan untuk aktifitas sehari-hari.
b. Menunjang tercapainya tumbuh kembang yang optimal.
18
c. Mendidik anak untuk terbina selera dan kebiasaan makan yang sehat, memilih
dan menyukai makanan yang sesuai dengan keperluan anak.
Saat mulai memberikan MPASI, harus disesuaikan dengan maturitas saluran
pencernaan bayi dengan kebutuhannya. Di awal kehidupannya, lambung dan usus
bayi sesungguhnya belum sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam
susu (laktosa), tetapi belum mampu menghasilkan amilase dalam jumlah yang
cukup. Ini berarti bahwa bayi tidak dapat mencerana tepung sampai paling tidak
usia 3 bulan. Sehingga makanan pertama dan utama untuk bayi adalah ASI
(Arisman 2007).
Bayi dengan berat lahir >3800 g cenderung mendapat makanan pendamping
ASI lebih dini karena bayi menunjukkan rasa laparnya atau ibu mengira bayi
kurang kenyang (Hamlyn 2002). Sesungguhnya, tidak ada manfaat dari
pemberian MPASI yang kurang dari 6 bulan meskipun dilakukan dengan
persiapan akan higien yang baik dan tinggi akan nutrisi (Dewey et.al 1999), selain
itu terdapat banyak alasan untuk memulai memberikan MPASI pada waktu yang
tepat yaitu usia 6 bulan, antara lain:
a. Bayi lebih sering menderita diare
b. Bayi ebih mudah alergi terhadap zat makanan tertentu
c. Terjadi malutrisi atau gangguan pertumbuhan anak
d. Menurunkan produksi ASI
e. Meningkatkan beban ginjal
Alasan mengapa MPASI dimulai pada umur 4-6 bulan, adalah (Soetjiningsih
& Suandi 2002):
a) Kebutuhan energi bayi untuk pertumbuhan dan aktifits makin bertamah,
sedangkan produksi ASI relatif tetap, sehingga dibutuhkan makanan selain
ASI untuk membiasakan bayi makan makanan lain selain ASI.
b) Pada umur 4 bulan, bayi sudah mengeluarkan air liur lebih banyak dan
produksi enzim amylase lebih banyak pula, sehingga bayi siap menerima
makanan lain selain ASI.
19
c) Bayi sudah bisa menutup mulutnya dengan rapat dan menggerakan lidahnya
ke belakang.
d) Selain itu pada usia kurang dari 4 bulan bayi belum mampu menelan MPASI
dengan benar dan berpotensi untuk tersedak dan tidak dapat tidur nyenyak
pada malam hari (Dewey et al. 1999).
e) Bayi dengan berat lahir rendah cenderung diberikan MPASI secara dini oleh
orang tuanya, padahal ini tidak meningkatkan pertumbuhan bayi tersebut
(Forsyth et.al. 1993)
Kandungan gizi yang perlu dipenuhi untuk balita sesuai dengan pedoman
pemberian MPASI adalah sebagai berikut (Depkes RI 2006):
a) Kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gr protein.
Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gr protein,
maka kebutuhan yang diperoleh dari MPASI adalah 250 Kalori dan 6 gr
protein.
b) Kebutuhan gizi bayi usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gr
protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gr protein, maka
kebutuhan yang diperoleh dari MPASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gr
protein.
WHO menyatakan bahwa dalam pemberian MPASI harus tepat, baik waktu
mulainya pemberian, konsistensi dan jenis makanan yang diperkenalkan, maupun
frekuensi pemberiannya. WHO menyarankan bahwa bayi harus menerima
makanan pendamping pada usia 6 bulan 2-3 kali sehari disamping ASI sampai
usia 8 bulan dan meningkat menjadi 3-4 kali pada usia 9-11 bulan dan pada usia
12-24 bulan tambahan MP 1-2 kali perhari (WHO, 2011).
LIPI dan UNICEF pada tahun 2000 melaporkan rata-rata MPASI diberikan
pada umur 4,3 bulan di Jakarta, 3,6 bulan di Bogor, dan 4,8 bulan di Lombok
Selatan. Prihatanto (1994) dalam penelitiannya di Magelang mendapatkan bahwa
bayi sudah mendapatkan MPASI rata-rata pada umur 3,4 bulan (Ansori 2002).
Gangguan pertumbuhan mulai umur 6 bulan banyak ditemui di negara
berkembang, sebagai akibat kualitas dan higien MPASI yang kurang memadai
20
(Dewey 1999). Berbagai penelitian di Indonesia dan secara nasional menunjukan
bahwa prevalensi gangguan gizi BB/U (berat badan terhadap umur) berdasarkan
baku WHO-NCHS terdapat sekitar 40% pada bayi 6-11 bulan (Ansori 2002).
Hasil review oleh Moetarjemi (1993) telah memperlihatkan bahwa makanan
tambahan di negara berkembang frekuensinya besar untuk terkontaminasi dengan
pathogen dan ini merupakan faktor terbesar untuk terjadinya kasus penyakit diare
dan berhubungan dengan keadaan malnutrisi pada anak setelah usia 6 bulan.
Sedangkan WHO (1999) dalam laporannya bahwa dengan diperkenalkannya
makanan tambahan yang mana di banyak negara kondisi persiapannya yang tidak
higienis, kemungkinan terekspos oleh kuman infektif dari patogen foodborns.
Banyak hasil studi melaporkan bahwa insiden penyakit diare tinggi khususnya
setelah makanan pendamping ASI diberikan (Sheth & Dwivedi 2006).
MPASI yang diberikan kurang dari 4 bulan, bila dibiarkan berlanjut dapat
menyebabkan bayi mudah terserang infeksi yang merupakan salah satu penyebab
utama gizi buruk pada masa penyapihan. Bila tidak segera diatasi dapat
menimbukan gangguan pertumbuhannya juga membawa kematian pada bayi
(Pudjiadi 1997). Di negara berkembang usia pemberian makanan tambahan
menjadi faktor kesehatan masyarakat yang penting karena risiko terjadinya diare
akibat kontaminasi makanan tambahan, serta risiko potensial gangguan
pertumbuhan bila makanan tambahan diberikan terlambat (Ansori 2002).
Terlalu lambat mulai memberikan MPASI juga kurang baik karena dapat
menyebabkan bayi kurang gizi dan menghambat keterampilan makan bayi.
Kekurangan gizi dapat terjadi karena kebutuhan makro dan mikronutrien dari ASI
hanya dapat memenuhi sampai usia 6 bulan (Soetjiningsih & Suandi 2002).
Pelayanan Kesehatan
ASUPAN GIZI
Masalah Dasar
Masalah Utama
Penyebab Tak Langsung
Penyebab Langsung
KEMISKINAN, PENDIDIKAN RENDAH, KETERSEDIAAN PANGAN, KESEMPATAN KERJA
KRISIS POLITIK DAN EKONOMI
PENYAKIT INFEKSI
Status Gizi
Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah TanggaPerilaku/ Asuhan Ibu dan Anak
Usia Pertama Kali diberikan MPASI Status Gizi Bayi
21
II.2. Kerangka Teori
II.3. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian teori dalam rumusan masalah di atas, maka penulis
mengembangkan kerangka konsep sebagai berikut :
Kerangka konsep penelitian
Variabel independen Variabel dependen
II.4. Hipotesis
H1: ada hubungan antara usia pertama kali pemberian makanan pendamping
ASI dengan status gisi anak usia 6-24 bulan di PKM Cileungsi.
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitin analitik dengan pendekatan potong lintang (cross
sectional) dengan melakukan wawancara serta pengukuran berat badan dan tinggi badan
untuk menentukan status gizi pada bayi usia 6-24 bulan di Desa Cileungsi Kecamatan
Cileungsi Kabupaten Bogor. Penilaian status gizi berdasarkan kritreria WHO 2006
menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB.
III.2. Waktu dan Tempat
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Cileungsi. Lokasi pengambilan sampel dilakukan
di Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 yang memiliki jumlah bayi
banyak, posyandunya aktif, selain itu lokasinya tidak jauh dan bisa terjangkau. Di lakukan
pengukuran pada bulan Februari 2012.
III.3. Populasi Penelitian
III.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini yaitu semua bayi berusia 6-24 bulan pada bulan Februari
2012 di Desa Cileungsi. Penetapan populasi bayi usia 6-24 bulan dengan pertimbangan
diharapkan ibu-ibu bayi masih mengingat usia saat pertama kali diberikan MPASI. Selain
itu usia dua tahun pertama kehidupan merupakan waktu yang optimal untuk
pertumbuhan, perkembangan kesehatan fisik maupun perilaku.
III.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya
(Notoadmodjo 2010). Sampel pada penelitian ini yaitu anak berusia 6-24 bulan di
posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 di Desa Cileungsi.
III.3.3. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eklusi
Sebagai kriteria inklusi adalah anak terhitung berusia usia 6-24 bulan pada
bulan Februari 2012 yang datang ke Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04,
dan RW 09 . Sedangkan kriteria eksklusi adalah anak berusia 6-24 bulan yang
23
orang tua atau pengasuhnya tidak ingat usia pertama kali anak diberi MPASI,
ataupun orang tua tidak setuju untuk menjadi sampel penelitian.
III.4. Besar Sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan desain penelitian secara statistik atau
skala pengukuran variable. Dalam penelitian ini variable status gizi menggunaan
skala numerik sehingga desain penelitian ini yaitu analitik numerik tidak berpasangan
dan penentuan besar sampel dengan rumus (Dahlan 2010):
n=2((Zα−Zβ)Sx 1−x 2 )
2
n= besar sampel
Zα= 1.64 pada kepercayaan 95%
Zβ= 1,28 pada kekuatan uji 80%
x1-x2= selisih rata-rata yang dianggap bermakna = 1
S= standar deviasi= 2
Dengan memasukan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh:
n=2((1.64−1.28)21 )
2
=68
Dengan demikian, besar sampelnya adalah 68.
III.5. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dengan cara teknik convenience atau accidental, yaitu
teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang ditemui
dan bersedia menjadi responden dijadikan sampel (Dahlan 2010). Peneliti melakukan
pengambilan sampel Posyandu RW 01, RW 02, dan RW 03, RW 04, dan RW 09 desa
Cileungsi.
24
III.6. Definisi Operasional
No.
Variabel Definisi Alat
ukur
Cara ukur Hasil ukur Skala
1. Usia pertama kali pemberian MPASI
usia anak saat pertamakali diberi MPASI baik berupa buah, nasi, ataupun lainnya baik berupa makanan padat, cair, maupun setengah padat
chek
list
Wawancara orang
tua
1. <4 bulan
2. 4-<6 bulan
3. ≥6 bulan
Ordinal
2. Status gizi Adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Diukur panjang badan, tinggi badan pada hari yang sama.
chek
list
Berdasarkan
kriteria baku
WHO 2006
menggunakan
software
WHOAnthroII.P
C
Indeks
antropometri
berdasarkan
standar deviasi
Interval
III.7. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel Independen: usia pertama kali bayi diberian MPASI
Variabel Dependen: Status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB
Penentuan lokasi posyandu tempat pengambilan sampel (3)
Penentuan jumlah sampel (2)
Pengumpulan data (4)
Bersedia
Persiapan Penelitian (1)
Analisis data yang telah diperoleh (6)
Tidak Bersedia
25
III.8. Alur Penelitian
III.9. Protokol Penelitian
1) Persiapan penelitian
Persiapa meliputi persiapan form untuk mengumpulkan data. Form terdiri atas
lembar persetujuan dan lembar kriterian sampel (usia, jenis kelamin, TB, BB,
dan usia pertama kali diberi MPASI). Persiapan tim untuk pengambilan
sampel. Memastikan bahwa tim mengerti dengan jelas kriteria sampel dan
cara ukur.
2) Penentuan jumlah sampel
Jumlah sampel ditentukan dengan rumus sesuai dengan jenis pendekatan
masalahnya yaitu analitik numerik tidak berpasangan sehingga didapatkan
jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 68 sampel.
3) Pengambilan sampel
26
Teknik sampling yg digunakan yaitu dengan teknik convenience atau
accidental.
4) Analisa data
Analisis data dengan menggunakan uji hipotesi Annova karena masalahnya
berupa analitik numerik tidak berpasangan.
III.10. Rencana Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang atau cross
sectional. Berdasarkan masalah penelitian yaitu analitik komparatif numerik tidak
berpasangan >2 kelompok, maka untuk menganalisis data akan digunakan adalah
menggunakan program SPSS dengan uji Anova sebagai uji analisisnya
(Dahlan,2010).
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBHASAN
IV. 1. Gambaran Lokasi Penelitian
Desa Cileungsi merupakan salah satu desa di Kecamatan Cileungsi Kabupaten
Bogor. Desa ini terdiri dari 14 RW. Berdasarkan laporan hasil bulan penimbangan
balita tingkat Puskesma tahun 2011 jumlah balita yang ada di desa ini sebanyak 4.227
anak dan balita yang ikut serta dalam penimbangan sebanyak 2.924 anak. Dilaporkan
bahwa persentase balita yang mengalami gizi sangat kurang sebesar 0,2%, balita
dengan gizi kurang sebesar 11,8%, balita gizi normal sebesar 80,46%, dan balita
dengan gizi lebih sebesar 7,36%.
IV. 2. Hasil Penelitian
IV. 2. 1. Persebaran Data
Persebaran data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data yang terdistribusi
normal secara analitis. Metode pengujian kenormalan data dengan menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov (Dahlan 2009). Hasil uji untuk data status gizi BB/U, TB/U,
dan BB/TB didapatkan nilai p> 0,05 maka kesimpulannya adalah distribusi status gizi
BB/U, TB/U, dan BB/TB normal.
IV. 2. 2. Distribusi Usia Pertama Pemberian MPASI pada Anak
Dari penelitian ini didapatkan distribusi usia pertama kali anak mendapatkan MPASI,
yaitu hanya 24 anak yang mendapatkan MPASI sesuai waktunya (setelah enam
bulan), sedangkan 24 anak telah mulai diberi MPASI di usia antara empat sampai
enam bulan, dan 21 anak lainya telah diberi MPASI kurang dari usia empat bulan.
Seperti yang terlihat dari table berikut:
28
Table 4.1. Frekuensi usia pemberian MPASI pertama kali
Usia Jumlah Persentase
<4 bulan 20 39.4
4-6 bulan 25 36.8
6 bulan 23 33.8
Jumlah 68 100
Diagram 4.1. Frekuensi usia pemberian MPASI pertama kali
Dari data diatas juga dapat terlihat bahwa distribusi pemberian ASI ekslusif
yaitu 33,8%. Keadaan ini lebih baik dari nilai persentase nasional yang diperoleh dari
Riskesdas 2010 hanya 15,3%.
IV. 2. 3. Distribusi status gizi anak
IV. 2. 3.1. Distribusi status gizi anak indeks BB/U
Gambaran status gizi berdasarkan indeks BB/U dengan metode Z-score
pada anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar -0.5485, nilai
terendah -4.13, dan tertinggi 2.14. Jumlah anak yang mengalami gizi buruk atau
29
nilai Z-score <3SD sebanyak 3 anak (4.4%), mengalami gizi kurang atau nilai Z-
score < 2SD sebanyak 4 anak (5.9%), anak dengan keadaan status gizi baik atau
nilai Z-score antara 2–(-2)SD sebanyak 58 anak (85.3%), sedangkan anak dengan
keadaan status gizi lebih atau nilai Z-zcore >2SD sebanyak 3 anak (4.4%).
Table 4.2. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan BB/U
Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median
BB/U 68 -4.13 2.14 -0.5485 -0.565
Table 4.3.Frekuensi status gizi anak indeks BB/U
Status gizi Frekuensi Persentase
Gizi lebih (>2 SD) 3 4.4Gizi baik (2- (-2) SD) 58 85.3
Gizi kurang ((-2) - (-3) SD) 4 5.9Gizi buruk (<-3 SD) 3 4.4
Total 68 100
Diagram 4.2. Frekuensi status gizi indeks BB/U
Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan MPASI
memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4 bulan yang
menderita gizi buruk sebanyak 10%, mengalami gizi kurang sebesar 10 %, dan 80 %
30
mengalami gizi baik, pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-6
bulan 4% mengalami gizi buruk, 8% mengalami gizi kurang, 84% dalam keadaan gizi
baik, dan 4% mengalami gizi lebih, sedangkan pada anak yang mendapatkan MPASI
setelah anak berusia 6 bulan terihat 91,3% dalam keadaan status gizi baik, 8.7 %
dalam keadaan gizi lebih, dan tidak ditemukan anak yang mengalami gizi kurang
maupun gizi buruk.
Diagram 3Frekuensi status gizi berdasarkan usia pertama pemberian MPASI
IV. 2. 3.2. Distribusi status gizi anak indeks TB/U
Gambaran status gizi berdasarkan indeks TB/U dengan metode Z-score pada
anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar -1.18, nilai terendah -4.33,
dan tertinggi 4.82. Jumlah anak yang sangat pendek atau nilai Z-score <3SD
sebanyak 8 anak (11.8%), yang pendek atau nilai Z-score < 2SD sebanyak 11
anak (16.2%), anak dengan keadaan normal atau nilai Z-score antara 2–(-2)SD
31
sebanyak 45 anak (66.2%), sedangkan anak tinggi atau nilai Z-zcore >2SD
sebanyak 4 anak (5.9%).
Table 4.4. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan TB/U
Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median
TB/U 68 -4.33 4.82 -1.18 -1.26
Table 4.5.Frekuensi status gizi anak indeks TB/U
Status gizi Frekuensi Persentase
Tinggi (>2 SD) 4 5.9Normal (2- (-2) SD) 45 66.2
Pendek ((-2) - (-3) SD) 11 16.2Sangat Pendek (<-3 SD) 8 11.8
Total 68 100
Diagram 4.2. Frekuensi status gizi indeks TB/U
32
Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan
MPASI memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4
bulan yang mengalami sangat pendek sebanyak 25%, pendek sebesar 20%, dan
55% normal. Pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-6 bulan 8%
anak sangat pendek, 16% anak pendek, 68% normal, dan 8% tinggi. Pada anak
yang mendapatkan MPASI setelah anak berusia 6 bulan terihat 4,3% anak sangat
pendek, 13% anak pendek, 73,9% dalam keadaan normal, 8,7% dalam keadaan
tinggi.
Diagram 3Frekuensi status gizi berdasarkan usia pertama pemberian MPASI
IV. 2. 3.3. Distribusi status gizi anak indeks BB/TB
Gambaran status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan metode Z-score
pada anak usia 6-24 bulan didapatkan nilai rata-rata sebesar 0.14 , nilai terendah -
4.04, dan tertinggi 3.58. Jumlah anak yang sangat kurus atau nilai Z-score <3SD
sebanyak 1 anak (1.5%), yang kurus atau nilai Z-score < 2SD sebanyak 3 anak
(4.4%), anak dengan keadaan normal atau nilai Z-score antara 2–(-2)SD sebanyak
33
58 anak (85.3%), sedangkan gemuk atau nilai Z-zcore >2SD sebanyak 6 anak
(8.8%).
Table 4.6. Ukuran deskripsi statistik status gizi anak berdasarkan BB/TB
Indeks Jumlah Minimum Maximum Mean Median
BB/TB 68 -4.04 3.58 0.14 0.26
Table 4.7.Frekuensi status gizi anak indeks BB/TB
Status gizi Frekuensi Persentase
Gemuk (>2 SD) 6 8.8Normal (2- (-2) SD) 58 85.3
Kurus ((-2) - (-3) SD) 3 4.4Sangat Kurus (<-3 SD) 1 1.5
Total 68 100
Distribusi status gizi anak berdasarkan usia pertama kali mendapatkan
MPASI memperlihatkan bahwa anak yang mendapatkan MPASI sebelum usia 4
bulan yang mengalami sangat kurus sebanyak 5%, kurus sebesar 5%, 85%
34
normal, dan 5% gemuk. Pada anak yang mendapatkan MPASI pada usia antara 4-
6 bulan 8% anak kurus, 84% normal, dan 8% gemuk. Pada anak yang
mendapatkan MPASI setelah anak berusia 6 bulan terihat 87% dalam keadaan
normal, 13% dalam keadaan gemuk, dan tidak ditemukan anak yang kurus
maupun sangat kurus.
IV. 2. 4 Hubungan antara Usia Pertama Pemberian MPASI dengan Status Gizi
Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak
berdasarkan indeks BB/U, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.036
(p<0.05). Sehingga bisa diakatakan menolak Ho atau artinya terdapat hubungan
antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks
BB/U.
Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak
berdasarkan indeks TB/U, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.039
(p<0.05). Sehingga bisa diakatakan menolak Ho atau artinya terdapat hubungan
antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks
TB/U.
35
Usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak
berdasarkan indeks BB/TB, diperoleh hasil dari uji Anova yaitu didapatkan p = 0.52
(p>0.05). Sehingga bisa diakatakan terima Ho atau artinya tidak terdapat hubungan
antara usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi anak berdasarkan indeks
BB/TB.
IV. 3. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti di dapatkan persentase status gizi
dengan indeks BB/U jumlah anak yang mengalami gizi buruk 4.4%, mengalami gizi
kurang 5.9%, anak dengan keadaan status gizi baik 85.3%, sedangkan anak dengan
keadaan status gizi lebih 4.4%. Berdasarkan indeks TB/U didapatkan jumlah anak
yang sangat pendek 11.8%, yang pendek 16.2%, anak dengan keadaan normal 66.2%,
sedangkan anak tinggi 5.9%. Berdasrkan indeks BB/TB didapatkan jumlah anak yang
sangat kurus 1.5%, yang kurus 4.4%, anak dengan keadaan normal 85.3%, sedangkan
gemuk 8.8%.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, didapatkan adanya hubungan antara
usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan keadaan status gizi anak
menurut indeks BB/U. Hasil dari uji statistik Anova didapatkan p = 0,036 (p<0.05)
sehingga menunjukan adanya hubungan antara usia pertama kali anak mendapatkan
MPASI dengan kedaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/U. Uji statistik
Anova terhadap usia pertama pemberian MPASI dengan status gizi berdasarkan
indeks TB/U didapatkan p = 0,039 (p<0.05) sehingga menunjukan adanya hubungan
antara usia pertama kali anak mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak
berdasrkan indeks TB/U. Uji statistik Anova terhadap usia pertama pemberian
MPASI dengan status gizi berdasarkan indeks BB/TB didapatkan p = 0,52 (p>0.05)
sehingga menunjukan tidak adanya hubungan antara usia pertama kali anak
mendapatkan MPASI dengan kedaan status gizi anak berdasrkan indeks BB/TB.
Adanya hubungan antara usia pertama pemeberian MPASI dengn status gizi
anak bisa terjadi dikarenakan waktu pemberian MPASI yang tidak tepat, terutama
pemberian MPASI terlalu dini. Karena sesungguhnya sistem pencernaan anak pada
36
awal kehidupan belum sepenuhnya matang, yang mengakibatkan anak sukar untuk
mencerna jenis nutrien tertentu yang berakibat terjadinya diare. Selain itu di negara
berkembang, higienis dari penyiapan MPASI belum baik, sehingga hal ini pun dapat
menjadi penyebab diare pada anak. Dan bila berlanjut dapat mengakibatkan gangguan
pada pertumbuhan anak tersebut.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad Ansori di
Kecamatan Pedamakan Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan pada tahun
2001 menyatakan terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan
keadaan status gizi bayi usia 6-12 bulan. Selain itu, hasil penelitian Novia Ritasari di
Kecamatan Ujung Pangkah Gresik pada tahun 2009 pun menyatakan terdapat
hubungan antara pola pemberian MPASI terutama usia pemberian pertama terhadap
status gizi bayi usia 6-12 bulan. Namun penelitian lain yaitu Suyatno di Puskesmas
Mrangen Demak, Jawa Tengah pada tahun 2003 menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan praktek pemberian MPASI dini terhadap kejadian gizi buruk.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia pertama pemberian MPASI
berhubungan dengan status gizi dengan menggunakan indeks BB/U dan TB/U,
namun tidak terdapat hubungan dengan menggunakan indeks BB/TB. Hal ini terjadi
kemungkinan karena anak yang normal berdasarkan indeks BB/TB sesungguhnya
dalam keadaan gizi kurang menurut indeks BB/U ataupun merupakan anak yang
pendek berdasarkan indeks TB/ U ataupun sebaliknya.
IV. 4. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak terbebas dari keterbatasan penelitian mengingat banyaknya
variable lain yang mempengaruhi keadaan status gizi pada anak. Selain itu terdapat
kemungkinan terjadinya bias yang ditemukan dalam penelitian ini, diantaranya bias
dalam mengingat kembali kapan anak mendapat MPASI pertama kali. Hal ini
terrdapat kemungkinan ibu salah dalam memberikan informasi. Untuk
meminimalisasi bias tersebut, maka dalam menggali informasi dilakukan seakurat
mungkin dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan tentang waktu pertam kali
pemberian MPASI.
37
Dalam pengukuran berat badan dan tinggi badan anak kemungkinan terjadi
Measurement Error, karena pada saat anak ditimbang kondisinya sering dalam
keaadaan gelisah, menangis, dan bergerak-gerak sehingga menimbulkan kesalahan
interpretasi dalam menentukan hasil pengukuran berat badan maupun tinggi badan
yang sebenarnya.
38
BAB V
PENUTUP
V. 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Didapatkan terbanyak pemberian MPASI dimulai pada usia antara 4-6 bulan.
2. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks BB/U sebesar -0.54
dan median -0.56.
3. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks TB/U sebesar –1.18
dan median -1.26.
4. Rata-rata dari nilai status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB sebesar 0.14
dan median 0.26.
5. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/U adalah status gizi baik
yaitu sebesar 85,3%, gizi lebih sebanyak 4.4%, anak dengan status gizi kurang
sebanyak 5.9%, sedangkan sebesar 4.4% dalam keadaan status gizi buruk.
6. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks TB/U adalah normal sebesar
66.2%, anak tinggi 5.9%, anak pendek sebanyak 5.9%, sedangkan sebesar
11.8% sangat pendek.
7. Keadaan status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB adalah normal sebesar
85,3%, anak gemuk sebanyak 8.8%, anak kurus sebanyak 4.4%, sedangkan
sebesar 1.5% sangat kurus.
8. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan
bahwa terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan
status gizi berdasarkan indeks BB/U pada anak berusia 6-24 bulan.
9. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan
bahwa terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan
status gizi berdasarkan indeks TB/U pada anak berusia 6-24 bulan.
39
10. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Anova dapat diambil kesimpulan
bahwa tidak terdapat hubungan antara usia pertama pemberian MPASI dengan
status gizi berdasarkan indeks BB/TB pada anak berusia 6-24 bulan.
V. 2. Saran
1. Kepada PKM Cileungsi selaku tempat pelayanan kesehatan untuk bekerja
sama dengan sektor-sektor terkait untuk memberikan penyuluhan pada ibu-ibu
yang memiliki anak maupun pada calon-calon ibu tentang pentingnya
pemberian ASI secara eksklusif dan mengenain praktek pemberian MPASI
yang tepat. Selain itu juga penyuluhan mengenai pentingnya membawa anak
ke Posyandu untuk pemantuan status gizi anak.
2. Untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan variabel-variabel lain yang
dapat mempengaruhi status gizi, ataupun menggunakan metode lain dalam
menentukan status gizi.
40
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ansori, M. 2002, Hubungan Umur Pertama Pemberian Makanan Pendamping Air
Susu Ibu (MPASI) dengan Status Gizi Bayi Umur 6-12 Bulan di Kecamatan
Padamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan 2001, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Arisman, M.B. 2007, Gizi dalam Daur Kehidupan, EGC, Jakarta
Barnes, L.A. & Curran, J.S. 1999, ‘Nutrisi’, Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak,
Editor: Behrman, R.E., Kliegman, R.M. & Jenson, H.B. EGC, Jakarta.
Dahlan, M.S. 2010, Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Sagung Seto, Jakarta.
Dahlan, M.S. 2010, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
Dahlan, M.S. 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
Dewey, K.G., Cohen, R.J., Brown, K.H., & Rivera, L.L. 1999, ‘Age of Introduction of Complementary Food and Growth of Term, Low Birth Weight, Breast-fed Infant: A Randomized intervention Study in Honduras’, American Journal Clinic Nutrition, Vol. 69.
Dewey, K. 2001, Complementary Feeding: Report of The Global Consultation and
Summary of Guiding Principle for Complementary Feeding of The Breastfed
Child, World Health Organization, Geneva.
Forsyth, J.S., Ogston, S.A., Clark, A., Forey, C.D., & Howie, P.W. 1993, ‘Relation between Early Introduction of Solid Food to Infant and Their Weght and Ilness During The First Two Years of Life’, British Medical Journal, Vol. 306.
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak.
41
Narendra, M.B. 2002, ‘Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.95-111
Narendra, M.B. & Suyitno, H. 2002, ‘Pertumbuhan Fisik Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.51-62
Needlman, R.D. 1999, ‘Nutrisi’, Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Editor:
Behrman, R.E., Kliegman, R.M. & Jenson, H.B. EGC, Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) Lokal
Tahun 2006, Jakarta, Depkes RI, 2006.
Pujiadi, S. 1997, Ilmu Gizi Klinis pada Anak, FKUI, Jakarta.
Ritasari, N. 2009, Hubungan antara Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI
dengan Status giz Bayi Umur 4-12 Bulan di Desa Gunan Kecamatan Slogohimo
Kabupaten Wonogiri, Universitas Airlangga.
Sheth, M. & Dwivedi, R. 2006, ‘Complementary Food Associated Diarrhea’, Indian
Journal of Pediatric, Vol. 73.
Soedibyo, S. & Winda, F. 2007, ‘Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu pada Bayi yang Berkunjung ke Unit Pediatri Rawat Jalan’, Sari Pediatri, Vol.8, No.4, Maret., pp.270-5
Soetjiningsih & Suandi. 2002, ‘Gizi untuk Tumbh Kembang Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.22-33
Supariasa, I.D.N., Bakri, B. & Fajar, I. 2001, Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.
Suyatno, 2003. Pengaruh Jangka Panjang Pemberian Makanan Pendamping Air Susu
Ibu pada Usia Dini terhadap Pertumbuhan dan Kesakitan Anak, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro.
Tanuwidjaya, S. 2002, ‘Kebutuhan Dasar Tumbuh Kembang Anak’, Dalam: Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, penyunting. Narendra, M.B. et.al. Sagung Seto, Jakarta, pp.13-21
42
Wardlow, M.G., Hampl, J.S. & Disilvestro, R.A. 2004, Prespective in Nutrition, Mc Graw Hill, New York.
WHO. 2011. Nurtition Complementary Feeding. Available from:
http://www.who.int/
43
Lampiran
Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi BB/U
Usia MPASI pertama
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig
BB/U <4 bulan
4- 6 bulan
6 bulan
.166
.090
.107
20
25
23
.200
.153
.200
Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi TB/U
Usia MPASI pertama
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig
TB/U <4 bulan
4- 6 bulan
6 bulan
.127
.171
.110
20
25
23
.200
.058
.200
Tabel 2.1. Test of Normality Status Gizi BB/TB
Usia MPASI pertama
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig
BB/TB <4 bulan
4- 6 bulan
6 bulan
.192
.135
.098
20
25
23
.051
.200
.200