Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA) ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
Volume 4, Nomor 2 (2020): 384-399
https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2020.004.02.16
PERKEMBANGAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN BERIRIGASI DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENGUASAAN LAHAN PETANI DI DAERAH IRIGASI
JATILUHUR JAWA BARAT
DEVELOPMENT OF AGRICULTURAL IRRIGATION LAND CONVERSION AND ITS
IMPACT ON THE USE OF FARMER’S LANDS IN JATILUHUR IRRIGATION AREA
WEST JAVA
Heri Rahman1*, Yusman Syaukat2, M. Parulian Hutagaol2, Muhammad Firdaus2 1* Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
2 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
*Penulis korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
Irrigated agricultural land in the Jatiluhur Irrigation Area is the highest rice producer in West
Java and a contributor to national rice. However, there has been a conversion of land over a
period of six years amounting to 0.0082 or a decrease in land area per year on average 1,826.08
hectares with an average yield of 5 tons per hectare hence the loss of rice production of
18,260.80 tons per year. This condition is a threat and also a challenge for the role of Jatiluhur
irrigation area in producing rice. West Tarum Main Canal has a high land conversion compared
to the other two main canals. The impact of land conversion on farmers is that the status of
farmers is more transformed into share croppers because they do not own land and the land
ownership becomes increasingly narrow to < 0.5 hectares. Farmers who have changed a lot
due to the impact of land conversion are in the West Tarum Main Canal with higher land
conversion rates compared to the other two main canals.
Keywords: Land conversion, Irrigated agricultural land, Jatiluhur, Rice
ABSTRAK
Lahan pertanian beririgasi di Daerah Irigasi Jatiluhur merupakan penghasil padi tertinggi di
Jawa Barat dan penyumbang bagi padi nasional. Namun telah terjadi konversi lahan selama
kuran waktu enam tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan luas lahan per tahun rata-rata
1.826,08 hektar dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar maka kehilangan produksi padi sebesar
18.260,80 ton per tahun. Kondisi ini menjadi ancaman dan sekaligus tantangan bagi peran DI
Jatiluhur dalam menghasilkan padi. Saluran Induk Tarum Barat memiliki konversi lahan yang
tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya. Dampak konversi lahan terhadap para
petani adalah status petani lebih banyak berubah menjadi petani penggarap karena tidak
memiliki lahan dan semakin menyempitnya kepemilikan lahan menjadi < 0,5 hektar. Petani
yang banyak terjadi perubahan akibat dampak konversi lahan berada di Saluran Induk Tarum
Barat dengan tingkat konversi lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran
Induk lainnya.
Kata kunci: Konversi lahan, Lahan pertanian beririgasi, Jatiluhur, Padi
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
385
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang strategis karena memiliki peran
dalam perekonomian nasional sebagai penyumbang PDB dan penyedia lapangan kerja serta
penyedia pangan nasional. Namun seiring dengan berkembangnya dinamika pembangunan
nasional dan menguatnya peran sektor lainnya seperti industri, perdagangan, pertambangan dan
sebagainya, maka secara lambat laun peran sektor pertanian semakin menurun. Selain itu dengan
semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya, menyebabkan
ancaman bagi kebelanjutan lahan pertanian beririgasi. Lebih lanjut, dapat pula mengancam
terhadap penyediaan dan kebutuhan pangan nasional. Ketersediaan lahan pertanian beririgasi
merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk keberlangsungan produksi pertanian di
sawah beririgasi, karena lahan menjadi faktor produksi dalam berusahatani padi sawah. Namun
persoalan yang muncul saat ini adalah adanya konversi lahan pertanian ke sektor non pertanian.
Menurut Sastrosasmitho (2005) dalam Mawardi (2006) konversi lahan pertanian ke sektor
non pertanian kurang lebih 47.000 ha per tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa sebesar
43.000 ha per tahun. Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi setelah Jawa Timur yang
menduduki peringkat kedua tertinggi konversi lahan pertanian di Indonesia (2000-2013) dengan
laju konversi 3.662 ha th-1, luas lahan 1.038.043 ha dan laju konversi 0,353 % th-1, sedangkan
Indonesia laju konversi 12.347 ha th-1, luas lahan 4.592.205 ha dan laju konversi 0,269 % th-1
(Mulyani dkk, 2016). Provinsi Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi padi di
Indonesia. Menurut Butar-Butar (2012) luas lahan pertanian padi sawah irigasi teknis yang
terkonversi sejak 2000-2010 mencapai mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun,
dengan laju konversi 1,80% per tahun. Adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas
lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi
371.145 hektar pada akhir tahun 2010. Jika rata-rata produksi padi sawah per hektar 5 ton, maka
Jawa Barat telah kehilangan produksi sebesar 39.588 ton per tahun
Salah satu daerah potensi penghasil padi nasional di Jawa Barat adalah daerah pantai utara
Jawa Barat, yaitu antara lain : Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan
Kabupaten Indramayu.Wilayah tersebut sebagian berada di DAS Citarum dan disuplai
kebutuhan air irigasinya bersumber dari Waduk Juanda (Jatiluhur). Daerah Irigasi Jatiluhur
difungsikan untuk mendukung pembangunan sektor pertanian guna menjamin ketahanan
pangan baik lokal maupun nasional.
Wilayah yang dilayani sistem pangairan Jatiluhur, dengan air yang berasal dari
Waduk Juanda, biasa disebut Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur. DI Jatiluhur merupakan sistem
irigasi terpadu terbesar di Indonesia bahkan di Asia, yang menggabungkan antara tampungan
dari waduk dan sumber air dari sungai-sungai setempat (Idrus dkk, 2012). Dari sumber utama
Waduk Juanda dialirkan ke Bendung Curug yang kemudian didistribusikan ke tiga Saluran
Induk Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur dengan total areal sawah beririgasi yang
harus diari seluas 230.090 hektar (MT 2016/2017). Lahan potensial yang harus di airi oleh DI
Jatiluhur cukup luas, namun dengan terjadinya penyusutan lahan akibat konversi lahan dapat
menimbulkan hilangnya potensi produksi padi di wilayah Jatiluhur.
DI Jatiluhur melintasi beberapa wilayah administratif antara lain Kabupaten Bekasi, Kodya
Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu. Wilayah
administratif yang berada di Daerah Irigasi Jatiluhur pun terdampak adanya konversi lahan
pertanian ke non pertanian. Saat ini, konversi lahan pertanian merupakan fenomena yang banyak
terjadi, terutama pada lahan sawah produktif yang terus menyusut dan beralih fungsi menjadi
lahan non pertanian. Secara ekonomi, dapat berdampak lebih buruk jika lahan yang
386 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
dikonversikan adalah lahan sawah produktif yang telah dilengkapi dengan sistem irigasi yang
memadai.
Menurut Catur dkk (2010) bahwa transformasi ekonomi yang ditandai pergeseran peran
antar sektor menuntut alih fungsi lahan pertanian dalam jumlah yang tidak sedikit. Kasus alih
fungsi lahan pertanian di daerah dengan produktivitas rendah tidaklah terlalu mengancam
produksi pangan. Namun ketika alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non pertanian
terjadi di lahan beririgasi dengan produktivitas tinggi, maka hal ini merupakan ancaman bagi
ketersediaan pangan (beras). Kemudian yang menjadi permasalahan adalah fenomena konversi
lahan sawah pun terjadi di wilayah Pantai Utara Jawa Barat dengan produktivitas padi sawah
tinggi dan didukung oleh sarana prasarana irigasi teknis yang memadai. Kondisi ini dapat
berdampak pada kondisi para petani, semula memiliki lahan luas menjadi menyempit, yang
memiliki lahan sempit menjadi tidak memiliki lahan, dan meningkatnya buruh tani dan petani
penggarap. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
perkembangan konversi lahan pertanian beririgasi dan dampaknya terhadap penggunaan dan
penguasaan lahan usahatani padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini fokus pada area penelitian hanya di empat wilayah administratif meliputi :
(1) Kabupaten Indramayu, (2) Kabupaten Subang, (3) Kabupaten Karawang, dan (4) Kabupaten
Bekasi. Secara hidrologi, keempat wilayah administratif tersebut terbagi kedalam tiga Saluran
Induk (SI) meliputi Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur pada Daerah Irigasi Jatiluhur.
Untuk SI Tarum Barat mencakup Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang, SI
Tarum Utara mencakup Kabupaten Karawang, dan SI Tarum Timur mencakup sebagian
Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan sebagian Kabupten Indramayu seluruhnya berada
di Provinsi Jawa Barat.
Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur merupakan DI multipurpose, sebagai lumbung pangan lokal
(Jawa Barat) sekaligus salah satu penyumbang terbesar bagi pangan nasional. Namun seiring
dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi (industri) dan pertumbuhan pemukiman
penduduk (rumah tangga perkotaan) ke wilayah Pantai Utara Jawa Barat dapat diduga lahan
pertanian di Daerah Irigasi Jatiluhur telah mengalami konversi lahan pertanian beririgasi yang
dapat mengancam pada ketahanan pangan lokal dan nasional. DI Jatiluhur dikelola oleh Perum
Jasa Tirta II sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditetapkan melalui
PP No. 7 tahun 2010. Lingkup wilayah kerja PJT II dapat dilihat pada Gambar 1.
PJT-II berperan penting menjamin terselenggaranya pelayanan untuk sektor pertanian
di wilayah kerjanya yaitu dengan menyelenggarakan operasi dan pemeliharaan seluruh jaringan
primer dan operasi jaringan sekunder pada Daerah Irigasi Utara Jatiluhur dan Daerah Irigasi
Selatan Jatiluhur. Di dalam penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup DI Utara Jatiluhur.
Waktu penelitian dilakukan pada periode Musim Tanam Oktober 2016-September 2017,
dengan mengambil total responden petani sebanyak 471 orang dengan teknik sampling acak
sederhana (simple random sampling) secara proporsional (Gaspersz, 1991). Adapun responden
pada wilayah admistratif SI Tarum Barat sebanyak 105 orang, SI Tarum Utara sebanyak 171
orang dan SI Tarum Timur sebanyak 195 orang. Responden ini untuk mengetahui fenomena
penggunaan lahan usahatani padi sawah di ketiga Saluran Induk kaitannya dengan konversi
lahan pertanian beririgasi.
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
387
Sumber : PJT II, 2017
Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II
Data dalam penenlitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber
dari para petani responden dengan wawancara menggunakan kuisioner, sedangkan data
sekunder dengan data utama berbentuk data time series. Semua data utama bersumber dari
Perum Jasa Tirta II Jawa Barat yang didasarkan pada aspek legalitas berupa SK Gubernur
tentang Rencana Tanam Padi Rendeng dan Padi Gadu dan Palawija di Daerah Irigasi Jatiluhur
dan Instruksi/SK Direksi PJT II tentang Rencana Pokok Penyediaan dan Penggunaan Air untuk
Tanam Padi Rendeng, Padi Gadu, dan Palawija, serta Kebutuhan Air Untuk Minum, Industri,
dan Perkebunan dan Kedua SK ini diterbitkan setiap musim tanam sepanjang tahun. Periode
data enam tahunan mulai tahun 2011/2012 sd. 2016/2017 (6 tahun). Data diambil hingga tahun
2016/2017 mengingat ketersediaan data dan keseragaman data yang dikumpulkan lebih lengkap
dan tersedia hingga tahun 2016/2017. Data utama adalah data luas areal tanam setiap musim
dan setiap tahun selama enam tahun.
Adapun data-data pendukung bersumber dari Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas
PUPR/SDA Kabupaten dan BBWS Citarum serta literatur-literatur dan situs-situs yang terkait
dengan penelitian ini yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian.
Analisis deskriptif dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian mengenai perkembangan
konversi lahan pertanian beririgasi dan dampaknya terhadap penggunaan dan penguasaan lahan
usahatani padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur. Analisis ini memperbandingkan dengan
perkembangan lahan dari tahun ke tahun.
388 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Penggunaan Lahan dan Kecenderungan Konversi Lahan Pertanian
Perkembangan Rencana dan Realisasi Luas Areal Tanam
Luasnya areal yang harus diairi oleh DI Jatiluhur adalah 223.090 Ha dengan jangkauan
cakupan area kerja DI Jatiluhur yang dikelola oleh PJT II mencakup 4 Kabupaten/kota di Jawa
Barat. Beragamnya masyarakat pengguna air di DI Jatiluhur mulai dari petani, pelaku industri,
rumah tangga perkotaan, pelaku usaha, Balai/badan usaha dan sebagainya, memerlukan
pengaturan dan pengelolaan air irigasi Jatiluhur yang baik dan tertib. Karena itu, setiap musim
tanam setiap tahun diterbitkan SK Gubernur dan Instruksi/SK Direksi PJT II.
Pada Musim Tanam (MT) 2016/2017 diterbitkan SK Gubernur dan Intruksi Direksi. SK
Gubernur No. 521Kep 1012-Rek/2016 Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok
Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017,
Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk
Air Minum, Industri Dan Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur dan
kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No.
1/DIR/01/IN/2016 Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan
Penggunaan Air Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017, Tanam Padi Gadu Dan
Tanam Palawija Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri
Dan Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur. Dengan menggunakan dasar
kedua SK tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data sekunder mulai MT
2011/2012 sampai dengan MT 2016/2017. Berikut rencana luas areal tanam musim rendeng
dan musim gadu di masing-masing Saluran Induk Tarum di Daerah Irigasi Jatiluhur dapat dilihat
pada Gambar 1.
Luas areal tanam setiap musim yang disusun dalam rencana tanam setiap musimnya
akan sangat menentukan terhadap rencana kebutuhan air. Pengaturan rencana tanam didasarkan
pada musim rendeng dan musim gadu. Musim Rendeng di awal pada bulan Oktober sampai
dengan bulan Maret, sedangkan Musim Gadu di awal bulan April sampai dengan bulan Agustus
untuk setiap tahunnya karena bulan September dilakukan pengeringan jaringan irigasi. Meski
pada musim tanam 2016/2017 belum dilakukan pengeringan. Pengeringan secara teknis
memang harus dilakukan, akan tetapi pengeringan dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi
di lapangan.
Secara rata-rata selama enam tahun mulai musim tanam 2011/2012 sampai dengan
2016/2017, data rencana/target luas areal tanam 100 % terealisasi. Artinya bahwa perencanaan
tata tanam sangat erat dengan kaitan penyediaan kebutuhan air irigasi, sepanjang air irigasi
tersedia mencukupi kebutuhan luasan areal yang direncanakan maka luas yang menjadi target
tanam dapat terealisasi.
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
389
Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)
Gambar 1. Rencana dan Realisasi Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi
Jatiluhur MT 2011/2012 s.d MT 2016/2017
Pola Tanam, Pemberian Air, dan Sistem Golongan Air
Daerah Irigasi Jatiluhur dengan jumlah ketersediaan air yang terbatas bagi kebutuhan
air irigasi, karena kebutuhan air diperlukan untuk air baku keperluan air minum, industri,
perkebunan, PT Sang Hyang Seri, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, dan Balai
Penelitian Air Tawar Sukamandi. Karena itu, pengaturan pola tanam dan pembagian golongan
air menjadi penting dan harus dipatuhi oleh masyarakat petani pengguna air irigasi. Rencana
tanam pada musim tanam 2016/2017 untuk musim rendeng dan musim gadu di Daerah Irigasi
Jatiluhur didasarkan pada jadwal tanam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rencana Tanam Musim Rendeng dan Musim Gadu Berdasarkan Golongan Air
Sumber : PJT II, 2017
Jadwal pemberian air dilakukan menurut golongan air. Pada kenyataannya seringkali
masa berlaku pemberian air di setiap golongan untuk musim rendeng menjadi 5 bulan dan 4,5
bulan pada musim gadu. Hal ini terjadi karena seringkali para petani menunda jadwal tanam
meskipun golongan air masuk pada golongan I, sehingga golongan air bergeser dari I menjadi
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx I
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv II
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
AAAAAAAAAAAAAAAAA III
AAAAAAAAAAAAAAAAA
DDDDDDDDDDDDDDDD IV
DDDDDDDDDDD
1 Des 16 s/d. 31 Apr 17 NNNNNNNNNNNNNNNN V
NNNNNNNNNNNNNN
Gol.MT.RD. 2016\2017 MT.GD.Thn.2017
Feb.
1 Nov 16 s/d.15 Apr 17
1 Nop 16s/d. 31 Mrt 17
16 Okt 16 s/d.15 Mrt 17
1 Okt 16s/d.29 Feb 17
1 Mrt s/d.15 Juli 2017
16 Mrt s/d 31.Juli 2017
1 Apr s/d.15 Augs 2017
16 Apr.s/d. 31Augs 2017
1 Mei s/d. 15 Sep 2017
16 Okt 16 s/d.15 Mrt 17
1 Nov 16 s/d.15 Apr 17
Pemberian Air
1 Nop 16s/d. 31 Mrt 17
Sep..Mei..Mei..Jun Jul AugJan.. Mrt..Apr..
Tahun. 2016
Okt Nov Des.
Tahun. 2017
390 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
II atau III. Kondisi ini sedikit mengganggu rencana pembagian air irigasi sesuai dengan
golongan air. Meskipun secara luasan areal tanam antar musim tidak berubah, tanaman dengan
diusahakan didominasi tanaman padi dan petani tidak menanam palawija, sehingga pola tanam
hanya padi-padi. Hubungan luas areal tanam dengan golongan air dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)
Gambar 2. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi Jatiluhur
Berdasarkan Golongan Air pada MT 2011/2012 s.d MT 2016/2017
Pada Gambar 2 terlihat bahwa luas areal tertinggi pada golongan air II dan III, golongan
I di awal tanam, dan golongan V di akhir jadwal tanam memiliki luas areal tanam yang sedikit.
Kondisi ini nampak jelas pada setiap golongan air di masing-masing Saluran Induk, pada
golongan I yang menjadi awal masa tanam dan pemberian air lebih sedikit dan kemudian
meningkat pada golongan air II dan III, selanjutnya menurun kembali pada golongan air IV dan
V. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran waktu tanam dan luas areal tanam di tingkat
usahatani dan petani lebih banyak menunggu setelah masa tanam pada golongan air I. Dengan
kondisi seperti ini menimbulkan golongan air ditingkat petani bertambah hingga VIII – X.
Berikut di bawah ini digambarkan tentang pemberiaan air menurut golongan air pada musim
tanam 2016/2017.
Kecenderungan Penurunan Luas Areal Tanam dan Alih Fungsi Lahan
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan ekonomi
terutama diperkotaan maka kebutuhan lahan untuk berbagai sektor semakin meningkat dan
meluas ke lahan sawah intensif yang menjadi sentra produksi sejak ratusan ribu tahun silam
(Irawan, 2005). Data BPS 2010-2016 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk rata-rata
per tahun di Provinsi Jawa Barat 1,54 %, Pulau Jawa 1,25%, dan Indonesia sebesar 1,36 %
(BPS, 2016). Angka pertumbuhan penduduk di Jawa Barat menunjukkan angka lebih tinggi
dibandingkan dengan angka Pulau Jawa dan Nasional. Dari sisi pembangunan ekonomi dapat
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
391
terlihat bahwa sejak awal 1990an, pembangunan kawasan perumahan dan industri yang
meningkat di kawasan Kabupaten Bekasi telah menyebabkan lahan pertanian semakin
menyusut1. Data Dinas Kabupaten Bekasi lahan pertanian menyusut sekitar 1.500 hektar per
tahun, pada 2014 masih ada 52.000 hektar, sementara pada 2017 ini jumlahnya berkurang
menjadi 48.000. Lahan-lahan pertanian ini beralih menjadi kawasan perumahan ataupun
industri. Lebih lanjut Mulyani dkk (2013) menyatakan bahwa fenomena penyusutan lahan
hampir terjadi di seluruh provinsi dan kabupaten, terutama yang sebagian besar wilayahnya
berupa lahan sawah produktif, seperti di Bekasi dan Karawang.
Daerah Irigasi Jatiluhur yang berada di beberapa Kabupaten di wilayah Pantai Utara Jawa
Barat telah terjadi pembangunan pesat menjadi kawasan industri dan kawasan pemukiman.
Kawasan industri dan pemukiman lebih banyak menggunakan lahan sawah. Menurut Mulyani
dkk (2016) lahan sawah menjadi salah satu sasaran konversi bagi pengembang, karena lahan
umumnya datar, aksesibilitas tinggi dan dekat dengan sumber air. Sehingga banyak lahan
pertanian yang dialihfungsikan dan akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan lahan pertanian
beririgasi, terutama di Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten
Subang. Wilayah-wilayah tersebut kebutuhan air sawahnya dialiri dari Daerah Irigasi Jatiluhur.
Daerah Jatiluhur merupakan salah satu sentra produksi padi sebagai penyedia pangan di
Jawa Barat dan nasional. DI Jatiluhur sebagai penghasil beras mengalami tantangan yang berat
dalam keterbatasan lahan akibat adanya perkembangan industri dan jumlah penduduk yang
padat. Kondisi alih fungsi lahan selama kurun waktu enam tahun telah terjadi di area DI
Jatiluhur, terutama untuk SI Tarum Barat, dengan tingkat penurunan luas lahan yang terus
menurun. Demikian pula jika melihat secara total, kecenderungan penurunan areal lahan selama
enam tahun menunjukkan penurunan yang terus menerus.
Kondisi konversi lahan dapat dilihat dari perkembangan luas areal tanam di Daerah Irigasi
Jatiluhur selama kurun waktu enam tahun, sejak musim tanam 2011/2012 sampai dengan
2016/2017. Tren menunjukkan adanya kecenderungan penurunan areal lahan untuk usahatani
padi di Daerah Irigasi Jatiluhur. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan alih fungsi
lahan dari lahan pertanian beririgasi ke sektor non pertanian dari tahun ke tahun seperti industri,
pemukiman dan lain-lain. Jika dilihat per musim rendeng dan musim gadu selama enam tahun,
tampak rata-rata luas areal tanam mengalami penurunan sejak musim tanam 2011/2012 hingga
musim tanam 2016/2017. Penurunan mulai cukup tajam terjadi mulai musim tanam 2015/2016
hingga musim tanam 2016/2017 (Gambar 3).
1 Sri Lestari. Wartawan BBC Indonesia. 29 Agustus 2017. Sawah beralih jadi perumahan atau industri
mengancam ketahanan pangan. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41078646
392 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
Sumber : Data Sekunder Diolah (2017)
Gambar 3. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Daerah Irigasi Jatiluhur
Musim Tanam 2011/2012 s.d. MT 2016/2017
Kecenderungan penurunan areal lahan selama enam tahun sebesar 0,025 %, dan per tahun
sebesar 0,0082%. Ini artinya bahwa di area wilayah Jatiluhur telah terjadi penurunan luas lahan
pertanian beririgasi per tahun rata-rata sebesar 1.826,08 hektar. Jika satu hektar dihasilkan padi
minimal 5 ton GKP per hektar per musim tanam, dalam satu tahun misalnya dua kali musim
tanam, maka akan ada kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun. Angka ini
cukup besar, kehilangan produksi di Provinsi Jawa Barat sebesar 39.588 ton per tahun. Angka
kehilangan produksi mencapai 45% dari total kehilangan produksi padi di Jawa Barat. Padahal
DI Jatiluhur hanya meliputi lima kabupaten/kota dari total 18 Kabupaten dan 9 Kota di Provinsi
Jawa Barat. Hal ini tentu akan mengancam terhadap ketersediaan pangan lokal dan nasional.
Lebih jauh lagi, akan ada banyak infrastruktur irigasi yang tidak terpakai (idle) karena
kehilangan lahan yang akan diarinya, sehingga PJT II perlu menyusun strategi pengembangan
pengelolaa air dan lahan ke depan untuk menahan laju konversi lahan pertanian beririgasi yang
terus menerus.
Perkembangan luas area tanam padi sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur selama enam tahun
dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 nampak bahwa secara agregat di Daerah
Irigasi Jatiluhur lahan areal tanam padi sawah trennya menurun selama enam tahun, artinya telah
terjadi penyusutan luas lahan pertanian beririgasi baik musim rendeng maupun gadu.
Selanjutnya, jika ditinjau dari masing-masing Saluran Induk nampak bahwa Saluran Induk
Tarum Barat (Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang) memiliki tren
perkembangan yang cukup tajam dibandingkan dengan dua saluran induk lainnya. Saluran
Induk Tarum Utara (Kabupaten Karawang) dan Saluran Induk Tarum Timur (sebagian
Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu) memiliki tren yang
hampir sama penurunan meski tidak sebesar yang terjadi di Saluran Induk Tarum Barat.
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
393
Sumber : Data Sekunder Diolah (2016)
Gambar 4. Perkembangan Rata-rata Luas Areal Tanam (Hektar) di Saluran Induk Daerah Irigasi
Jatiluhur MT 2011/2012 s.d. MT 2016/2017
Sebagaimana hasil temuan penelitian yang lain, bahwa di Kabuaten Bekasi dan Kabupaten
Karawang yang masuk ke dalam SI Tarum Barat memiliki konversi lahan pertanian yang tinggi
dengan ditunjukkan adanya tren penurunan luas areal tanam selama enam tahun. Hal ini
menununjukkan bahwa lahan areal tanam padi sawah telah beralih fungsi ke lahan non pertanian
akibat pembangunan industri, usaha ekonomi, dan perumahan/properti yang tumbuh dengan
pesat.
Dampak Penurunan Luas Tanam Terhadap Penggunaan dan Penguasaan Lahan
Usahatani
Melihat kondisi perkembangan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4,
dapat dipastikan bahwa pada tataran kepemilikan lahan usahatani memiliki kontribusi dalam
penurunan luas lahan pertanian beririgasi di Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga terjadi konversi
lahan. Kondisi ini, tentu saja berdampak terhadap kondisi penggunaan dan penguasaan lahan
oleh para petani. Menurut Mawardi (2006), konversi lahan pertanian umumnya dipicu oleh
rendahnya harga komoditas pertanian, tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari
lahan yang dimilikinya. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang
sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca, hama, dan penyakit, serta tidak
tersedianya sarana produksi dan pemasaran (Handoyo, 2010).
Kondisi tersebut di atas akan dapat berdampak terhadap para petani. Ada beberapa hal yang
dapat berubah dengan semakin menyusutnya areal tanam atau luas lahan usahatani karena
konversi lahan sepanjang musim dan tahun antara lain : (1) status petani akan banyak berubah
dengan meningkatkan petani penggarap, berkurangnya petani pemilik, (2) penguasaaan lahan
usahatani yang semakin sempit < 0,5 hektar. Dua hal ini yang menjadi pokok pembahasan terkait
dengan dampak dari konversi lahan terhadap karateristik petani di Daerah Irigasi Jatiluhur.
Status Petani dalam Berusahatani
394 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
Petani yang dijadikan sebagai responden sebagian besar merupakan petani pemilik
penggarap (73,90%) dan penggarap (26,10%). Petani penggarap terbanyak berada di SI Tarum
Barat (26,67%), dikuti SI Tarum Utara (26,32%) dan SI Tarum Timur (25,59%). Hal ini dapat
dipahami bahwa di SI Tarum Barat (Kabupaten Bekasi dan sebagian Kabupaten Karawang)
merupakan SI paling tinggi terjadi konversi lahan pertanian beririgasi (lihat Gambar 4) bila
dibandingkan dengan kedua tarum lainnya, sehingga lambat laun kepemilikan lahan semakin
berukurang dan banyak petani yang tidak memiliki lahan usahatani sendiri. Status Responden
dalam Berusahatani di DI Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Status Responden dalam Berusahatani di DI Jatiluhur Status
Petani
SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Pemilik
Penggarap 77 73,33 126 73,68 145 74,41 348 73,90
Penggarap 28 26,67 45 26,32 50 25,59 123 26,10
Jumlah 105 100,00 171 100,00 195 100,00 471 100,00
Sumber : Data Primer Diolah (2017)
Status petani ini memiliki keterkaitan dengan penguasaan lahan garapan usahatani,
dalam penguasaan lahan di Tarum Barat, penguasaan lahan petani cenderung lebih banyak
mengelompok persentasenya pada lahan yang sempit, sedangkan Tarum Timur cenderung
penguasaan lahannya mengelompok lebih banyak pada persentase penguasaan lahan di atas 1,5
hektar bila dibandingkan dengan kedua tarum lainnya.
Penguasaan Lahan garapan
Menurut Sumaryanto (2006), pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status
kepemilikan maupun penggarapan. Penelitian ini membagi ke dalam status kepemilikan lahan
dan status penggarapan lahan. Status kepemilikan lebih kepada jumlah luas lahan yang dimiliki
petani seperti lahan sawah, tegalan, pekarangan dan lain-lain, sedangkan status luas lahan
garapan lebih kepada luasan garapan yang diusahakan petani untuk bertanam padi sawah pada
lahan sawah beririgasi. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah dan Non Sawah di Daerah
Irigasi Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah dan Non Sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur
Saluran Induk Lahan Sawah (Ha) Non Sawah (Ha) Total (Ha)
Tarum Barat 0,457 0,017 0,450
Tarum Utara 0,596 0,028 0,583
Tarum Timur 0,650 0,035 0,634
DI Jatiluhur 0,587 0,028 0,574
Sumber : Data Primer Diolah (2017)
Dari data Tabel 3, tampak secara konsisten bahwa petani di SI Tarum Barat cenderung
memiliki lahan sawah yang relaitf lebih sempit demikian pula dengan lahan non sawah. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tinggi konversi lahan sawah maka kepemilikan lahan pun
semakin sempit. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah oleh Responden di Saluran Induk
Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur, MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Kepemilikan Luas Lahan Sawah di DI Jatiluhur
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
395
Kelompok
KepemilikanLuas
Lahan (Ha)
SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur
% Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha)
L= 0 26,67 0,00 26,32 0,00 25,64 0,00 26,11 0,00
0 < L ≤ 0,5 55,24 0,32 26,32 0,34 26,15 0,34 32,70 0,33
0,51 < L ≤ 1,0 14,29 0,81 43,27 0,79 42,56 0,80 36,52 0,80
1,0 < L ≤ 1,5 2,85 1,40 2,92 1,41 3,60 1,32 3,18 1,38
L > 1,5 0,95 3,50 1,17 1,90 2,05 3,38 1,49 2,97
Jumlah 100,00 0,45 100,00 0,58 100,00 0,63 100,00 0,57
Sumber : Data Primer Diolah (2017)
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa kepemilikan lahan garapan para petani di ketiga
Tarum cukup bervariasi. Secara strata pemilikan lahan SI Tarum Barat lebih banyak
mengelompok pada kepemilikan lahan 0 < L ≤ 0,5 sebanyak 55,24%, sedangkan untuk SI Tarum
Utara dan Tarum Timur mengelompok pada 0,51 < L ≤ 1,0 sebanyak 43,27% dan 42,56%.
Dilihat dari rata-rata kepemilikan lahan sawah di SI Tarum Timur tertinggi sebesar 0,63 hektar
dan terendah Tarum Barat sebesar 0,45 hektar. Pengaruh tingginya alih fungsi lahan dan
fragmentasi lahan cukup menentukkan terhadap luasan kepemilikkan lahan di tingkat petani.
Saluran Induk Tarum Barat dengan tingkat kompetisi penggunaan lahan yang tinggi
menyebabkan semakin menyempitnya kepemilikan lahan oleh para petani. Hal ini juga dapat
terlihat dari sisi petani yang tidak memiliki lahan (petani penggarap) di SI Tarum Barat lebih
banyak (26,67%) bila dibandingkan dua tarum lainnya.
Status Lahan Garapan Petani Pemilik Penggarap
Luas lahan garapan lebih banyak mengelompok pada luas lahan garapan 0,51 < L ≤ 1,0
dan 0 < L ≤ 0,5 untuk semua Tarum, dan sedikit sekali yang berada di atas 1 hektar bahkan di
atas 1,5 hektar baik di Musim Rendeng maupun di Musim Gadu. Jika dilihat antar Tarum,
terlihat bahwa SI Tarum Barat rata-rata luas lahan garapannya lebih kecil dibandingkan dengan
SI Tarum Utara dan SI Tarum Timur dengan luas lahan garapa pemilik penggarap terbesar ada
pada petani di SI Tarum Timur baik musim rendeng maupun musim gadu. Hal yang menarik
pada kelompok luas garapan di SI Tarum Barat lebih banyak pada kelompok 0 < L ≤ 0,5 hektar.
Hal ini berarti bahwa SI Tarum Barat penguasaan lahan garapannnya lebih banyak berada di
bawah 0,5 hektar, sedangkan SI Tarum Utara dan SI Tarum Timur berada di bawah 1 hektar.
Secara keseluruhan, untuk petani pemilik penggarap di Daerah Irigasi Jatiluhur
mengelompok pada 0,50< L ≤ 1,0 dan 0,00 < L ≤ 0,50 dengan rata-rata luas lahan di bawah 1
hektar. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan petani pemilik penggarap secara rata-
rata hanya mampu menggarap pada luasan 0,56-0,57 hektar. Rata-rata Luas Lahan Garapan
Petani Pemilik Penggarap Padi Sawah di DI Jatiluhur MT 2016/2017 dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Pemilik Penggarap Padi Sawah di DI Jatiluhur Kelompok Luas
Lahan Garapan
(Ha)
SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur
% Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha)
Musim Rendeng
0 < L ≤ 0,5 75,32 0,32 35,71 0,34 35,17 0,34 44,25 0,33
0,51 < L ≤ 1,0 19,48 0,81 58,73 0,79 57,24 0,80 49,43 0,80
1,0 < L ≤ 1,5 3,90 1,40 3,97 1,41 4,83 1,32 4,31 1,38
396 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
L > 1,5 1,30 3,50 1,59 1,90 2,76 3,38 2,01 2,97
Jumlah 100,00 0,45 100,00 0,58 100,00 0,63 100,00 0,57
Musim Gadu
0 < L ≤ 0,5 76,62 0,31 35,71 0,33 35,86 0,33 44,83 0,32
0,51 < L ≤ 1,0 19,48 0,81 58,73 0,79 56,55 0,79 48,85 0,79
1,0 < L ≤ 1,5 2,60 1,50 3,97 1,34 4,83 1,32 4,31 1,36
L > 1,5 1,30 3,50 1,59 1,88 2,76 3,38 2,01 2,86
Jumlah 100,00 0,44 100,00 0,57 100,00 0,60 100,00 0,56
Sumber : Data Primer Diolah (2017)
Status Lahan Garapan Petani Penggarap
Seperti telah dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3 dan Tabel 4 sebelumnya, petani
dengan status penggarap atau petani tidak memiliki lahan sawah sebanyak 123 orang petani
(26,11%), masing-masing untuk SI Tarum Barat, SI Tarum Utara, dan SI Tarum Timur, yaitu
28 petani (26,67%), 45 petani (26,32%) dan 50 petani (25,64%). Petani penggarap di SI Tarum
Barat seluruhnya (100%) mengelompok pada luasan garapan lahan di bawah 0,35 hektar dengan
luas rata-rata 0,24 hektar, tidak ada yang menggarap lahan baik sewa maupun bagi hasil di atas
0,35-0,70 hektar. Saluran Induk Tarum Utara kondisinya cukup bervariasi meskipun
didominasi pada kelompok di bawah 0,35 hektar (62,22%) sama halnya dengan SI Tarum Barat
dan sisanya di atas 0,35- 0,70 hektar (37,78%). Untuk SI Tarum Timur sama dengan kedua
Tarum lainnya, luas lahan paling banyak digarap berada pada luasan di bawah 0,35 hektar
(66,00%), sisanya ada pada luasan 0,52 < L ≤ 0,70 hektar (34,00%).
Tabel 6. Rata-Rata Luas Lahan Garapan Petani Penggarap di Daerah Irigasi Jatiluhur Kelompok Luas
Lahan Garapan
(Ha)
SI Tarum Barat SI Tarum Utara SI Tarum Timur DI Jatiluhur
% Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha) %
Luas
(Ha)
Musim Rendeng
0,10 < L ≤ 0,35 100,00 0,24 62,22 0,26 66,00 0,28 72,36 0,26
0,35 < L ≤ 0,52 0,00 0,00 22,22 0,40 0,00 0,00 8,13 0,45
0,52 < L ≤ 0,70 0,00 0,00 15,56 0,58 34,00 0,63 19,51 0,62
Jumlah 100,00 0,24 100,00 0,35 100,00 0,40 100,00 0,346
Musim Gadu
0,10 < L ≤ 0,35 100,00 0,23 62,22 0,25 66,00 0,27 72,36 0,25
0,35 < L ≤ 0,52 0,00 0,00 24,45 0,45 2,00 0,43 9,76 0,45
0,52 < L ≤ 0,70 0,00 0,00 13,33 0,59 32,00 0,62 17,88 0,61
Jumlah 100,00 0,23 100,00 0,34 100,00 0,38 100,00 0,337
Sumber : Data Primer Diolah (2017)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
(1) Daerah Irigasi Jatiluhur selama kurun waktu enam tahun terjadi konversi lahan pertanian
beririgasi ke non pertanian dengan dicirikan semakin menyusutnya luas areal tanam
sepanjang tahun di DI Jatiluhur.
(2) Saluran Induk Tarum Barat yang mencakup wilayah administratif Kabupaten Bekasi dan
sebagian Kabupaten Karawang merupakah Saluran Induk yang memiliki konversi lahan
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
397
yang tinggi dibandingkan dengan kedua Saluran Induk Tarum Utara (Kabupaten
Karawang) dan Tarum Timur (Sebagai Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan
Sebagaian Kabupaten Indramayu). Saluran Tarum Barat memiliki tingkat alih fungsi lahan
yang tinggi menjadi industri, permukiman, pertokoan, jalan tol dan sebagai kabupaten
penyangga Ibukota Jakarta.
(3) Rata-rata konversi lahan di DI Jatiluhur per tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan
luas lahan per tahun rata-rata 1.826,08 hektar dengan hasil rata-rata 5 ton per hektar maka
per tahun kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun. Kondisi ini dapat
mengancam peran DI Jatiluhur sebagai wilayah lumbung pangan Jawa Barat dan nasional.
(4) Dampak konversi lahan terhadap para petani adalah status petani lebih banyak berubah ke
petani penggarap karena tidak memiliki lahan dan semakin menyempitnya kepemilikan
lahan < 0,5 hektar.
(5) Petani yang memiliki perubahan akibat dampak konversi lahan terdapat pada petani yang
berada di Saluran Induk Tarum Barat dengan tingkat konversi lahan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kedua Saluran Induk lainnya.
Saran
(1) Pemberlakuan secara konsisten UU No. 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) dan segera membentuk Perda LP2B bagi Pemeraintah
Kabupaten/kota di lingkup wilayah Jatiluhur dengan aturan turunannya sehingga dapat
mengendalikan alih fungsi lahan yang semakin tinggi,
(2) Pengelola DI Jatiluhur seyogyanya memastikan kembali nilai konversi lahan dengna
melakukan pemetaan lahan dengan citra satelit sehingga dapat mengantisipasi dan
mengendalikan alih fungsi lahan untuk mencegah terjadinya fungsi jaringan irigasi yang
“idle” dan tidak berfungsi,
(3) Alokasi dan distribusi air pada sektor pertanian agar adanya kerterjaminan pasokan air
irigasi ke lahan usahatani padi sawah sehingga lahan usahatani padi sawah akan tetapi
dipertahankan sebagai lahan pertanian beririgasi
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statitistik. 2016. Population Growth Rate by Province 2010-2016. BPS
Publication 2017. www.bps.go.id.
Butar-Butar, Elvira GV. 2012. Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di
Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Catur TB, Purwanto, J., Uchyani, R.F dan Susi W.A. 2010 Dampak Alih Fungsi Lahan
Pertanian Ke Sektor Non Pertanian Terhadap Ketersediaan Beras Di Kabupaten Klaten
Provinsi Jawa Tengah. Caraka Tani XXV No.1 Maret 2010: 38-42
Gaspersz V. 1991. Teknik Penarikan Contoh Untuk Penelitian Survei. Bandung (ID): Tarsito.
Handoyo, Eko. 2010. Konversi Lahan Pertanian Ke Non-Pertanian : Fungsi Ekologis Yang
Terabaikan. Forum Ilmu Sosial, Vol. 37. No. 2: 118-126
Idrus, Herman, R. Mayasari, dan G.A.J. Simamora. 2012. Dampak Pengelolaan Irigasi Modern
Terhadap Sistem Pemberian Air Irigasi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan. Himpunan
Ahli Teknik Hidraulika Indonesia. Bandung, 19-12 Oktober 2012. Hal 19-3
398 JEPA, 4 (2), 2020: 384-399
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor
Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, volume 23, No. 1, Juli 2005: 1-18.
Mawardi, I. 2006. Kajian Pembentukan Kelembagaan Untuk Pengendalian Konversi dan
Pengembangan Lahan, peran dan Fungsinya. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 2 No. 2: 206-
211
Mulyani, A., M. Sarwani, I. Las, F. Agus, D. Kuncoro, and M. Sahidin. 2013. Kajian mendalam
dan Penajaman Data serta Potensi Alih Fungsi Lahan. Laporan Akhir No.
20/LA/BBSDLP/2013. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Mulyani, A., D. Kuncoro, D. Nusyamsi, dan F. Agus. 2016. Analisis Konversi Lahan Sawah:
Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju Konversi yang
Mengkhawatirkan . Jurnal Tanah dan Iklim. Vol. 40 No. 2: 121-133
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2012. SK Gubernur No. 521.21/Kep. 1204-Binprod/2011
tanggal 27 September 2011 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam
2011/2012 dan Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2012 di Daerah
Irigasi Jatiluhur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2013. SK Gubernur No. 521.21/Kep. 1153-Binprod/2012
tanggal 25 September 2012 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam
2012/2013 Serta Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2013 di Daerah Irigasi
Jatiluhur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2014. SK Gubernur No. 521/Kep 1542-Binprod/2013 tanggal
6 November 2013 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2013/2014 dan
Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2013/2014 di Daerah Irigasi
Jatiluhur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2015. SK Gubernur No. 521/Kep. 1353-Binprod/2014 tanggal
30 September 2014 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2014/2015 dan
Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2015 di Daerah Irigasi Jatiluhur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2016. SK Gubernur No. 521/Kep. 1098-Rek/2015 tanggal 25
September 2015 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2015/2016 dan
Musim Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2016 di Daerah Irigasi Jatiluhur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2017. SK Gubernur No. 521Kep 1012-Rek/2016 tanggal 10
Oktober 2016 tentang Rencana Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017 dan Musim
Tanam Padi Gadu dan Palawija Musim Tanam 2017 di Daerah Irigasi Jatiluhur
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2012. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/376/KPTS/2011
Tanggal 25 September 2011 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air
Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2011/2012, Tanam Padi Gadu Dan Tanam
Palawija Musim Tanam 2012 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2011/2012 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2013. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/352/KPTS/2012
tanggal 28 September 2012 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air
Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2012/2013, Tanam Padi Gadu Dan Tanam
Palawija Musim Tanam 2013 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2012/2013 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
Heri Rahman – Perkembangan Konversi Lahan Pertanian .................................................................
JEPA, ISSN: 2614-4670 (p), ISSN: 2598-8174 (e)
399
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2014. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/398/KPTS/2013
Tanggal 15 November 2013 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air
Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2013/2014, Tanam Padi Gadu Dan Tanam
Palawija Musim Tanam 2014 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2013/2014 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2015. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/7/PRT/2014
Tanggal 30 September 2014 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air
Untuk Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2014/2015, Tanam Padi Gadu Dan Tanam
Palawija Musim Tanam 2015 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2014/2015 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2016. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/1.1/INST/2015
Tanggal 1 Oktober 2015 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk
Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2015/2016, Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija
Musim Tanam 2016 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2015/2016 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2017. Instruksi Direksi Perum Jasa Trita II No. 1/DIR/01/IN/2016
Tanggal Oktober 2016 Tentang Rencana Pokok Penyediaan Dan Penggunaan Air Untuk
Tanam Padi Rendeng Musim Tanam 2016/2017, Tanam Padi Gadu Dan Tanam Palawija
Musim Tanam 2017 Serta Kebutuhan Air Baku Untuk Air Minum, Industri Dan
Perkebunan Tahun 2016/2017 Di Daerah Irigasi Jatiluhur.
[PJT II] Perum Jasa Tirta II. 2016. Laporan Tahunan (Annual Report) 2016. Purwakarta, Jawa
Barat.
Sumaryanto 2006. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi
Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Implementasinya. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.