-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 1
KAJIAN KONVERSI PERUNTUKAN LAHAN PERUMAHAN PADA
KAWASAN SISI JALAN KOLEKTOR DAN JALAN PENGHUBUNG
UTAMA DUA KOLEKTOR DI KOTA SURABAYA
1. Latar Belakang
Kawasan perumahan mempunyai fungsi yang beraneka ragam,
disamping sebagai
tempat tinggal, juga tersedia sarana pendidikan, perdagangan,
kesehatan yang
merupakan fungsi pelayanan kawasan perumahan. Di samping itu
kawasan
perumahan dapat berkembang lebih cepat apabila di dalam kawasan
tersebut
terdapat akses yang mudah ke pusat-pusat kegiatan perkotaan.
Oleh karena itu
penduduk perkotaan memanfaatkan tanah untuk perumahan yang
mengikuti jalur
transportasi kota atau tempat-tempat yang mempunyai kemudahan
untuk mencapai
jalur utama transportasi dalam kota (Northam, 1975).
Keterbatasan lahan dan harga lahan yang tinggi di kawasan yang
diperuntukkan bagi
kegiatan komersial di pusat kota mengakibatkan terjadinya
perambahan (invasi)
fungsi komersial ke kawasan perumahan, utamanya yang didorong
sebagai dampak
peningkatan kelas dan pelayanan jalan. Perubahan pemanfaatan
lahan tersebut
secara bertahap telah merubah kawasan dari dominasi perumahan
menjadi kegiatan
komersial sehingga banyak rumah pada perumahan tersebut mengubah
pemanfaatan
fungsi lahannya menjadi perdagangan dan jasa komersial lainya.
Padahal guna lahan
yang baru (perdagangan dan jasa komersial) mempunyai implikasi
yang berbeda
dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya (kawasan
perumahan).
Sedangkan proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut
Lee dalam
Yunus (2000) dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu (i)
karakteristik fiskal dari
lahan, (ii) banyak sedikitnya utilitas umum, (iii) derajat
aksesibilitas lahan, (iv)
karakteristik personel pemilik lahan yaitu menyangkut faktor
ekonomi, sosial dan
budaya pemilik lahan perumahan, (v) peraturan mengenai
pemanfaatan lahan yaitu
kebijakan pemerintah, dan (vi) inisiatif para pembangun.
Kota Surabaya pada saat ini mempunyai pertumbuhan kegiatan yang
sangat tinggi,
didorong dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi
pada saat ini,
meningkatnya distribusi regional barang dan jasa, dan permintaan
lahan yang sangat
tinggi yang diindikasikan dengan pertambahan pembangunan city
hotel sebanyak
lebih dari 20 lokasi pada tahun 2013 di seluruh wilayah Kota
Surabaya. Pertumbuhan
luar biasa dalam kurun 5 tahun terakhir juga nampak pada sisi
dari ruas-ruas jalan
kolektor kota dengan adanya perubahan fungsi dari peruntukan
perumahan menjadi
pemanfaatan ruang perdagangan dan jasa.
Permasalahannya adalah belum ada ketentuan yang dapat diacu
untuk terjadinya
perubahan penggunaan lahan dari kawasan perumahan menjadi
kawasan
perdagangan dan jasa pada sisi-sisi ruas jalan-jalan kolektor
kota. Kajian tentang
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 2
permasalahan ini sangat perlu disusun sebagai bahan pertimbangan
untuk
penyusunan peraturan daerah yang mengatur perubahan fungsi
peruntukan lahan ini.
2. Lingkup Kajian
Lingkup lokasi Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada
Kawasan sisi Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubungnya adalah sampling lokasi
pemanfaatan lahan untuk
perumahan yang telah berubah fungsi pada jalan-jalan kelas
kolektor primer dan
sekunder di Kota Surabaya dan jalan penghubung utama antara
kedua jalan kolektor
tersebut yang mempunyai kecenderungan berubah
pemanfaatannya.
Sedangkan lingkup materi kajian ini dibatasi pada lingkup jalan
kolektor dan jalan
penghubung utamanya yang mempunyai kecenderungan perubahan
peruntukan
lahan dari kawasan perumahan menjadi fungsi perdagangan dan
jasa.
3. Landasan Hukum
Landasan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perubahan
fungsi lahan pada
sisi jalan kolektor dan jalan penghubungnya antara lain:
a) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
b) Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang;
c) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
d) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman
Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota;
e) Peraturan Menteri PU Nomor 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum
Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan;
f) Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya;
g) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknik Analisis
Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam
Penyusunan
Rencana Tata Ruang;
h) Surat Edaran Dirjen Penataan Ruang Nomor..Tahun 2011 tentang
Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota;
i) SNI 03-1733-2004 Tata cara Perencanaan Lingkungan Perumahan
di Perkotaan.
4. Eksisting Persebaran Jalan Kolektor di Kota Surabaya
Persebaran jalan dengan klasifikasi jalan kolektor di Kota
Surabaya sampai dengan
Tahun 2013 menurut inventarisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Surabaya
adalah sebagai berikut :
Lokasi-lokasi jalan kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan
penghubung utama
Antara kedua jalan kolektor di Kota Surabaya dapat ditunjukkan
pada peta berikut ini.
Jumlah keseluruhan ruas-ruas untuk jalan kolektor Kota Surabaya
adalah 201 lokasi
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 3
menurut hasil survey Tahun 2014 terkini, dibandingkan dengan
jumlah ruas jalan
kolektor yang ada pada Tahun 2003 menurut Perda Kota Surabaya
Nomor 07 Tahun
2003 pada halaman Lampiran sejumlah 121 lokasi jalan.
5. Ketentuan yang Mengatur tentang Jalan Kolektor
Beberapa ketentuan yang mengatur tentang jalan kolektor antara
lain:
j) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
k) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
l) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;
m) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 Tahun 2006 tentang
Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan;
n) RSNI T- 14 2004 Geometri Jalan Perkotaan; dan
o) Pd. T-18-2004-B Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan
Perkotaan;
Definisi jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi (UURI 38/2004). Jalan
kolektor primer
adalah jalan yang menghubungkan secara efisien antar pusat
kegiatan wilayah atau
menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lokal. Jalan
kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 4
dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan
sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga (RSNI T-14-2004).
Menurut sistemnya, jaringan jalan dibedakan atas: sistem
jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder.(UURI 38/2004). Sistem jaringan
jalan primer adalah
sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota
sebagai simpul).
Sistem jaringan jalan sekunder yaitu sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
Menurut kelas jalan (UU 22/2009), jalan kolektor dikelompokkan
menjadi:
a) jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu
terberat 10 (sepuluh)
ton;
b) jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua
ribu lima
ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua
belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu
terberat 8 (delapan) ton;
c) jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua
ribu seratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran
paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8
(delapan) ton; dan
Kecepatan rencana kendaraan (VR) sesuai klasifikasi jalan di
kawasan perkotaan
diuraikan pada table dibawah ini. Untuk kondisi lingkungan
dan/atau medan yang sulit
kecepatan kendaraan suatu bagian jalan dalam suatu ruas jalan
dapat diturunkan,
dengan syarat penurunannya tidak boleh lebih dari 20 km/h.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 5
Bagian-bagian jalan terdiri dari daerah manfaat jalan (damaja),
daerah milik jalan
(damija), daerah pengawasan jalan (dawasja), dan penempatan
utilitas. Damaja
dibatasi oleh:
a) batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi
jalan;
b) tinggi minimum 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan; dan
c) kedalaman minimum 1,5 meter di bawah permukaan perkerasan
jalan.
Damaja diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, separator,
bahu jalan, saluran
tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman dan tidak boleh
dimanfaatkan untuk
prasarana perkotaan lainnya.
Dawasja diukur dari tepi jalur luar (perkerasan), dengan batasan
sebagai berikut :
a) jalan arteri minimum 20 meter;
b) jalan kolektor minimum 7 meter;
c) jalan lokal minimum 4 meter.
Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan
ditentukan oleh jarak
pandangan pengemudi yang ditetapkan sebagai daerah bebas samping
di tikungan.
Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam Damaja dengan
ketentuan sebagai
berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 6
a) untuk utilitas yang berada di atas muka tanah ditempatkan
paling tidak 0,60 m
dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan;
b) untuk utilitas yang berada di bawah muka tanah harus
ditempatkan paling tidak
1,50 m dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan
jalan.
Lebar jalur kendaraan ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
serta bahu jalan. Lebar
jalur minimum adalah 4,5 m, memungkinkan 2 kendaraan dengan
lebar maksimum
2,1 m saling berpapasan. Papasan 2 kendaraan lebar maksimum 2,5
m yang terjadi
sewaktu-waktu dapat memanfaatkan bahu jalan.
Separator jalan dibuat untuk memisahkan jalur lambat dengan
jalur cepat. Separator
terdiri atas bangunan fisik yang ditinggikan dengan kereb dan
jalur tepian. Lebar
minimum separator adalah 1,00 m. Median jalan mempunyai fungsi
untuk:
a) memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah;
b) mencegah kendaraan belok kanan.
c) lapak tunggu penyeberang jalan;
d) penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu
kendaraan dari arah
yang berlawanan.
e) penempatan fasilitas pendukung jalan;
f) cadangan lajur (jika cukup luas);
g) tempat prasarana kerja sementara;
h) dimanfaatkan untuk jalur hijau;
Untuk jalan dua arah dengan empat lajur atau lebih harus
dilengkapi median. Jika
lebar ruang yang tersedia untuk median < 2,5 m, median harus
ditinggikan atau
dilengkapi dengan pembatas fisik agar tidak dilanggar oleh
kendaraan. Lebar
minimum median, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah
jalur, ditetapkan
sesuai Tabel berikut ini. Dalam hal penggunaan median untuk
pemasangan fasilitas
jalan, agar dipertimbangkan keperluan ruang bebas kendaraan
untuk setiap arah.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 7
Jalur hijau pada median dibuat dengan mempertimbangkan
pengurangan silau cahaya
lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Selain itu, jalur
hijau juga berfungsi
untuk pelestarian nilai estetis lingkungan dan usaha mereduksi
polusi udara. Tanaman
pada jalur hijau dapat juga berfungsi sebagai penghalang pejalan
kaki. Pemilihan jenis
tanaman dan cara penanamannya pada jalur hijau, agar mengacu
kepada Standar
Penataan Tanaman Untuk Jalan ( Pd. 035/T/BM/1999 ).
Jalur lalu lintas tidak direncanakan sebagai fasilitas parkir.
Dalam keadaan mendesak
fasilitas parkir sejajar jalur lalu lintas di badan jalan dapat
disediakan, jika :
a) kebutuhan akan parkir tinggi;
b) fasilitas parkir di luar badan jalan tidak tersedia.
Untuk memenuhi hal-hal tersebut di atas, perencanaan parkir
sejajar jalur lalu lintas
harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a) hanya pada jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder;
b) lebar lajur parkir minimum 3,0 m;
c) kapasitas jalan yang memadai, dan
d) mempertimbangkan keselamatan lalu lintas.
Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk pergerakan pejalan kaki.
Semua jalan
perkotaan harus dilengkapi jalur pejalan kaki di satu sisi atau
di kedua sisi. Jalur
pejalan kaki harus mempertimbangkan penyandang cacat, dan dapat
berupa :
a) jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, tetapi diperkeras
permukaannya;
b) trotoar;
c) penyeberangan sebidang;
d) penyeberangan tidak sebidang (jembatan penyeberangan atau
terowongan
penyeberangan);
e) penyandang cacat
Jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, harus ditempatkan di
sebelah luar saluran
samping. Lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan
adalah 1,5 m. Lebar
trotoar harus disesuaikan dengan jumlah pejalan kaki yang
menggunakannya.
Penentuan lebar trotoar yang diperlukan, agar mengacu kepada
Spesifikasi Trotoar
(SNI No. 03-2447-1991). Lebar minimum trotoar ditentukan sesuai
Tabel berikut ini.
Selengkapnya geometri jalan dapat dilihat pada RSNI T- 14
2004.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 8
Secara keseluruhan tipikal untuk jalan kolektor adalah sebagai
berikut.
Gambar Tipikal Jalan Kolektor Primer
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 9
Gambar Tipikal Jalan Kolektor Sekunder
Tingkat pelayanan ruas jalan menurut KM 14 Tahun 2006
diklasifikasikan atas:
a) tingkat pelayanan A, dengan kondisi:
1) arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan
tinggi;
2) kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang
dapat
dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan
maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;
3) pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya
tanpa atau
dengan sedikit tundaan.
b) tingkat pelayanan B, dengan kondisi:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 10
1) arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan
mulai dibatasi oleh
kondisi lalu lintas;
2) kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas
belum
mempengaruhi kecepatan;
3) pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih
kecepatannya dan
lajur jalan yang digunakan.
c) tingkat pelayanan C, dengan kondisi:
1) arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan
dikendalikan oleh
volume lalu lintas yang lebih tinggi;
2) kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu
lintas meningkat;
3) pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan,
pindah lajur atau
mendahului.
d) tingkat pelayanan D, dengan kondisi:
1) arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi
dan kecepatan
masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi
arus;
2) kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu
lintas dan hambatan
temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;
3) pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan
kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat
ditolerir untuk
waktu yang singkat.
e) tingkat pelayanan E, dengan kondisi:
1) arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume
lalu lintas
mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;
2) kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu
lintas tinggi;
3) pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi
pendek.
f) tingkat pelayanan F, dengan kondisi:
1) arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;
2) kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta
terjadi kemacetan
untuk durasi yang cukup lama;
3) dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai
0.
Menurut peraturan ini maka tingkat pelayanan untuk jalan
kolektor primer sekurang-
kurangnya B, dan tingkat pelayanan untuk jalan kolektor sekunder
sekurang-
kurangnya C.
6. Kajian Teori dan Praktek Perubahan Pemanfaatan Lahan
Perumahan
menjadi Perdagangan dan Jasa Komersial
Proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee (dalam
Syahrir, 2010)
dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu :
i) Karakteristik Fiskal dari lahan.
Merupakan kondisi ekonomi yang memperhitungkan nilai lahan dan
produktifitas
lahan. Semakin tinggi produktifitas lahan maka akan semakin
tinggi nilai lahan.
Untuk kawasan perkotaan produktifitas lahan dipengaruhi oleh
lokasi lahan atau
jarak lahan dengan pusat kota terutama di daerah komersial, yang
pada akhirnya
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 11
berimbas kepada pemilik lahan yang akan semakin sulit untuk
membayar fiskal
lahan sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan penghasilan
dengan cara
pemanfaatan lahan yang semakin efisien. Dalam hal Kota Surabaya
telah
meningkatkan fungsi jalan dari jalan lokal ke jalan kolektor,
selalu terjadi
peningkatan NJOP lahan yang berakibat pada makin beratnya
pemilik lahan untuk
membayar kewajiban pajak bumi dan bangunannya (PBB). Pada tahun
2003 ruas
jalan kolektor primer Kota Surabaya hanya 4 lokasi jalan saja,
pada tahun 2013
telah menjadi 6 lokasi dengan tambahan pada Jl. A.Yani Wonocolo
Korem dan Jl.
Sememi. Untuk ruas jalan kolektor sekunder pada tahun 2003
terdapat sebanyak
117 lokasi jalan meningkat pada tahun 2013 menjadi 201 lokasi
jalan.
Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2002
Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2012
Gambar Perubahan nilai lahan.
ii) Banyak sedikitnya utilitas umum
Semakin dekat dengan pusat kota maka lahan perumahan akan
mempunyai
utilitas yang semakin lengkap dan memadai. Keadaan ini juga
berpengaruh pada
nilai lahan karena pada dasarnya lahan perumahan pada pusat
kota
membutuhkan utilitas yang lebih lengkap sehingga memerlukan
pembiayaan yang
lebih besar dari lokasi lainnya yang tidak di pusat kota atau di
sebut dengan
central city-suburban fiscal disparities problem (Cox dalam
Yunus, 1999).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Pedoman
Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan
Permukiman di
Daerah, dan Kementerian PU di dalam dalam SNI 03-1733-2004-Tata
Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mendefenisikan
utilitas atau
prasarana dan sarana merupakan bangunan dasar yang sangat
diperlukan untuk
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 12
mendukung kehidupan manusia yang hidup bersama-sama dalam suatu
ruang
yang berbatas agar manusia dapat bermukim dengan nyaman dan
dapat bergerak
dengan mudah dalam segala waktu dan cuaca, sehingga dapat hidup
dengan sehat
dan dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam
mempertahankan
kehidupannya.
Dalam hal Kota Surabaya, pada jalan-jalan kolektor terjadi
peningkatan kualitas
utilitas pada drainase yang semula kecil dan terbuka
ditingkatkan fungsinya
dengan sistem box culvert, sehingga lebar badan jalan menjadi
meningkat dua kali
lipat. Selain itu pada ruas-ruas jalan kolektor pada saat ini
telah tersedia koneksi
kabel untuk fasilitas komunikasi internet.
Jl. Menur Pumpungan Tahun 2002
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 13
Jl. Menur Pumpungan Tahun 2012
Gambar penambahan utilitas kota dengan pembuatan box culvert
penutup
saluran untuk pelebaran jalan.
iii) Derajat aksesibilitas lahan.
Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi keuntungan,
derajat
aksesibilitas yang di maksudkan untuk menarik pelanggan (Yunus,
1999). Pada
bagian yang dekat pusat kota maka akan menimbulkan biaya
transportasi yang
murah, sehingga pengaruh ring road dan radial road sangat
dominan dalam
perubahan fungsi lahan perumahan demikian juga perpotongan jalan
antar
keduanya akan menumbuhkan pusat-pusat perdagangan dan jasa
komersial yang
baru (Berry dalam Yunus 1999).
Dalam hal Kota Surabaya saat ini telah meningkatkan derajat
aksesibilitasnya
dengan memperbanyak ruas-ruas jalan kolektor, sehingga berdampak
pada
meningkatnya jumlah kendaraan per satuan waktu yang melintas
pada jalan
kolektor ini. Masyarakat semakin banyak diberikan alternatif
jalan pilihan untuk
menghindari risiko kemacetan pada jalan-jalan utama kota
lainnya.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 14
Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2004
Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2014
Gambar perempatan Jl. Urip Sumoharjo dengan Jl. Pandegiling-Jl.
Keputran telah
dibuka persimpangan perempatannya.
iv) Karakteristik personel pemilik lahan.
Perubahan pemanfaatan lahan perumahan bukan hanya berasal dari
luar
perumahan tetapi juga bersumber dari dalam masyarakat itu
sendiri seperti
pertambahan penduduk dan juga berubahnya struktur masyarakat
seperti mata
pencaharian dari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi
tidak bekerja alias
pensiun dan lain-lain. (Koentjaraningrat. 1965). Tingkat
pendidikan, mata
pencaharian, penghasilan, etnis/suku dan agama sangat berkaitan
erat dengan
pemanfaatan lahan yang akan dilakukan oleh pemilik lahan.
Menurut Mac Iver dalam Yunus (1999) Perubahan-perubahan sosial
terjadi apabila
ada perubahan-perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial
(social relationship). Perubahan-perubahan sosial tersebut
bersifat periodik dan
non periodik yang terjadi karena perubahan terhadap keseimbangan
unsur
geografis, biologis, ekonomis (penghasilan, pengeluaran dan mata
pencaharian),
sosial (status lahan, lama tinggal, jumlah anggota keluarga,
umur) dan kebudayaan
(agama, adat istiadat dll).
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 15
v) Peraturan mengenai pemanfaatan lahan.
Merupakan suatu upaya secara kontinyu dan konsisten dalam
mengarahkan
pemanfaatan, penggunaan, dan pengembangan tanah secarah terarah,
efisien dan
efktif sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di tetapkan
(Jayadinata, 1999).
vi) Inisiatif para pembangun.
Berbicara tentang pemanfaatan lahan tidak lepas land value
(nilai lahan), rents
(sewa) dan costs (biaya) (Richard M. Hurd dalam Yunus, 1999),
nampak bahwa
penggunaan lahan yang mampu menawar lebih tinggilah yang
mendapatkan
tempat yang diinginkan dan itu dapat di lakukan oleh para
pembangun (Investor).
Semakin dekat suatu lahan dengan perkotaan maka semakin
tinggilah nilai lahan
dalam arti faktor ekonomilah sangat dominan dalam perubahan
pemanfaatan
lahan.
Selain keenam faktor diatas, perubahan pemanfaatan lahan
perumahan menjadi
fungsi lain sebagai akibat dari dorongan keenam faktor tersebut
diatas yaitu
menurunnya tingkat kenyamanan yang diakibatkan dari meningkatnya
nilai kebisingan
yang sangat mengganggu fungsi perumahan. Sebagai acuan standar
tingkat kebisingan
yang diijinkan untuk kawasan perumahan di Indonesia
menggunakan:
a) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987 tentang
Kebisingan yang
Berhubungan dengan Kesehatan;
b) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996
tentang Baku
Tingkat Kebisingan.
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun
1996 tentang
Baku Tingkat Kebisingan ambang nilai kebisingan yang diizinkan
adalah sebagai
berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 16
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987,
terdapat
pembagian wilayah kesehatan menjadi 4 (empat) zona, yaitu:
i) Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit,
tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang diijinkan
berkisar 35-45 dB.
ii) Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi.
Tingkat kebisingan
yang diijinkan antara 45-55 dB.
iii) Zona C Antara lain untuk perkantoran, pertokoan,
perdagangan, pasar. Tingkat
kebisingan yang diijinkan antara 50-60 dB.
iv) Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta
api, da terminal bus.
Tingkat kebisingan yang diijinkan Antara 60-70 dB.
Menurut Leslie (1993) tingkat kebisingan ruang luar bangunan
yang dapat diterima di
dalam bangunan rumah tinggal untuk kota dekat dengan lalu lintas
padat pada ruang
tidur adalah 35 dB, sedangkan pada ruang keluarga adalah 40 dB,
sebagaimana
ditunjukkan pada table berikut ini:
Sebagai pembanding, penelitian gangguan kebisingan lalu lintas
sebagai referensi
yang lakukan oleh Arifin Efendi dan tim (2003) pada lokasi
perumahan di Kota
Yogyakarta menunjukkan tingkat kebisingan lalu lintas di
lingkungan perumahan tipe
tertutup adalah Antara 60,7 68,5 dB dan pada perumahan tipe
terbuka mencapai
70,8 74,5 dB. Kedua hasil pengukuran pada tipe yang berbeda
menunjukkan bahwa
kebisingan yang terjadi telah melampaui baku mutu kebisingan
yang disyaratkan.
Gambaran lengkap hasil penelitian kebisingan lalu lintas jalan
utama dan jalan
kolektor pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran.
A. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Kolektor Sekunder di Kota
Surabaya
Pemanfaatan lahan di sisi kiri dan kanan ruas jalan kolektor
primer pada Jl.
Joyoboyo, Jl. Gunungsari, Jl. Raya Menganti, Jl. Mastrip, Jl. A.
Yani Wonocolo-
Korem dan Jl. Sememi telah berubah total pemanfaatan lahannya
menjadi lokasi-
lokasi perdagangan dan jasa, tanpa nampak yang hanya berfungsi
rumah tinggal,
kecuali perumahan TNI Angkatan Darat sebagai rumah dinas yang
tidak boleh
berubah fungsi di Jl. Gunungsari. Untuk perumahan dinas TNI ini
mempunyai
sempadan yang cukup lebar sebagai ruang barrier kebisingan
Antara jalan dengan
bangunan rumah tinggal.
Untuk jalan kolektor sekunder sebagian besar fungsi perumahan
telah bergeser
menjadi fungsi tempat usaha yang disebabkan terjadinya
peningkatan jalan,
pelebaran badan jalan, mengecilnya sempadan jalan, bangunan
tidak
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 17
dimundurkan pada GSB baru yang ditetapkan, dan tidak nyamannya
ruang
bangunan sebagai tempat tinggal hunian karena jarak bangunan
dengan jalan
hampir tidak ada. Kondisi ini dipengaruhi oleh keenam factor
yang telah dijelaskan
diatas.
Perubahan fungsi peruntukan lahan ini hingga 20 tahun mendatang
perlu
diantisipasi dengan baik pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan
perdagangan dan
jasa, dengan pengaturan-pengaturan sekurang-kurangnya sebagai
berikut:
1) Pengaturan kapling dengan ukuran minimum 75 m2 (untuk
komersial) dan
1.000 m2 (untuk bangunan pemerintahan).
2) Kepadatan bangunan untuk komersial maksimum 80 unit/ha, dan
minimum 7
unit/ha untuk bangunan pemerintah.
3) Menyediakan lahan parkir dengan minimum 10 % dari luas
kapling atau
kawasan, pada area sempadan antara pagar dan bangunan, atau pada
lantai
dasar untuk bangunan yang sempadannya menempel pada sempadan
pagar.
4) Menyediakan ruang terbuka hijau minimum 10 % dari luas
kawasan.
5) Menyediakan ruang terbuka non hijau; baik berfungsi untuk
kepentingan
publik maupun kepentingan ekonomi (seperti perdagangan
informal).
6) Menyediakan jalur pejalan kaki dengan lebar minimum 1,5
m.
7) Menyediakan ruang bagi sektor informal.
Pada daerah ini khususnya ruas-ruas jalan kolektor di pusat kota
ataupun yang
berada pada kawasan pinggiran kota yang tidak berada pada
kawasan industri dan
pergudangan, tidak dibolehkan untuk fungsi industri dan
pergudangan. Kelas
kendaraan angkutan barang yang melalui jalur jalan ini
disesuaikan dengan kelas
jalannya.
Untuk fungsi hunian pada lokasi-lokasi ini sebagaimana yang
telah disyaratkan
diatas, akan bergeser di belakang bangunan dengan fungsi
perdagangan dan jasa,
atau bergeser pada lantai dua atau tiga (di atas ruang/tempat
kegiatan usaha).
B. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Penghubung antara Jalan
Kolektor
Sebagai contoh konkrit adalah yang terjadi pada jalan penghubung
utama Antara
Jl. Arief Rahman Hakim dengan Jl. Emolowaru yang dihubungkan
dengan jalan
penghubung utama yaitu Jl. Klampis Semolo Timur - Jl. Klampis
Harapan.
Pemanfaatan ruang untuk perumahan telah bergeser menjadi
dominasi tempat
usaha seperti toko bangunan, bengkel mobil, warnet, tempat
praktek dokter,
workshop mebel kayu, dan mini market. Pemanfaatan ruang untuk
perumahan
menjadi minor, tersisa pada ruas Jl. Klampis Semolo Timur sisi
timur sebelah utara
saja.
Perubahan ini terjadi sejak intensitas penggunaan kendaraan
bermotor yang
melintasi ruas jalan penghubung utama ini menjadi semakin tinggi
seiring dengan
meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor, dan sering
terjadinya
kemacetan pada ruas Jl. Arief Rahman Hakim.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 18
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 19
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1. Kesimpulan
Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kota Surabaya yang
mayoritas terjadi dengan
cepat pada ruas-ruas jalan kolektor primer dan kolektor sekunder
dari fungsi
perumahan menjadi fungsi lainnya yang mempunyai nilai ekonomi
lebih tinggi
memerlukan kajian teori dan temuan yang diharapkan dapat dipakai
sebagai dasar
penentuan perubahan pemanfaatan lahan. Dari
Faktor pendorong pertama yang terjadi adalah adanya peningkatan
nilai fiskal lahan
yang disebabkan terjadinya peningkatan kelas jalan, geometri
jalan dan fasilitas jalan.
Pada akhirnya pemilik lahan dihadapkan pada dua alternatif. Yang
pertama adalah
pemilik lahan memerlukan kegiatan ekonomi tambahan untuk
dapat
mempertahankan eksistensinya sehingga dapat memenuhi kewajiban
nilai pajak lahan
dan dasar kegiatan yang sama sekali berbeda karena membutuhkan
kegiatan
ekonomi yang layak untuk dapat meningkatkan ungsi ekonomi
mereka.
Faktor pendorong kedua yaitu semakin meningkatnya kualitas
pelayanan utilitas pada
jalan kolektor sehingga membuka kesempatan bagi kegiatan baru
dalam rangka
memanfaatkan peluang ketersediaan utilitas kota yang makin
lengkap. Secara
otomatis biaya pemanfaatan fasilitas utilitas kota juga akan
meningkat dan
mendorong pemilik lahan untuk meningkatkan kegiatan yang
berbasis ekonomi.
Faktor pendorong ketiga adalah dorongan meningkatnya derajat
aksesibilitas lokasi
lahan. Masyarakat pengguna jalan akan semakin banyak karena
jalan kolektor yang
tersedia makin memungkinkan pengguna untuk semakin sering
melalui jalan ini yang
secara fungsional memberikan banyak fasilitas sosial dan
ekonomi. Misalnya
ketersediaan ruang untuk parkir, pejalan kaki, pengguna
kendaraan tidak bermotor,
dan peluang kemudahan untuk mencari kebutuhan yang berada pada
lokasi yang
lebih dekat. Faktor dorongan kemudahan aksesibilitas ini sangat
besar pengaruhnya
untuk merubah fungsi lahan dari lahan perumahan menjadi fungsi
ekonomi.
Faktor pendorong keempat adalah perubahan status sosial pemilik
lahan yang secara
periodik berubah meningkat, sehingga merubah karakteristik
personel pemilik lahan
menjadi makin perduli pada perubahan yang terjadi. Perubahan
yang terjadi dapat
bersifat sosial, ekonomi dan lingkungan, dimana ketiganya kian
lama akan mempunyai
kualitas yang semakin baik apabila terjadi komunikasi sosial
yang baik antara pemilik
lahan dan pemerintah dan antar pemilik lahan satu dengan lainnya
yang mempunyai
dasar rasa kebersamaan membutuhkan kualitas lingkungan yang
makin baik.
Faktor pendorong kelima yaitu makin mantapnya arahan pemanfaatan
ruang yang
makin memberikan kejelasan kepada pemilik lahan terhadap
peruntukan lahan yang
dimilikinya. Dalam hal ini Pemerintah Kota dapat memastikan
dalam jangka lebih
panjang akan fungsi lahan dan rencana pengembangannya kepada
para pemilik lahan.
Pada bagian jalan kolektor tertentu dibutuhkan fleksibilitas
ketentuan pemanfaatan
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 20
lahan, sehingga memberikan pula kemudahan alternative bagi
pemilik lahan untuk
menyesuaikan dengan perubahan ketentuan yang baru.
Faktor pendorong keenam yaitu inisiatif pemilik lahan dalam
membangun pada saat
ini di Kota Surabaya semakin baik dengan semakin pahamnya
masyarakat untuk
memenuhi perizinan yang secara langsung membimbing masyarakat
untuk memenuhi
ketentuan-ketentuan pembangunan lahan yang telah disyaratkan.
Kesadaran
masyarakat untuk tertib hukum pada saat ini kian meningkat. Hal
ini memberikan
keuntungan kepada Pemerintah Kota untuk menjadikan peluang
semakin mudahnya
mengendalikan arahan pemanfaatan lahan sesuai ketentuan yang
ada.
Pada akhirnya faktor yang terakhir dari aspek kenyamanan pemilik
lahan yang paling
menentukan. Peningkatan kelas jalan dari lokal menjadi kolektor
memberikan
konsekuensi meningkatnya jumlah kendaraan dan kecepatan laju
kendaraan, yang
berdampak pada meningkatnya ambang kebisingan lingkungan. Jalan
kolektor pada
umumnya sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
berbagai kalangan
membuktikan bahwa tingkat kebisingan menjadi meningkat rata-rata
diatas 55 dB,
sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan kenyamanan kebisingan
untuk fungsi
perumahan. Gangguan lainnya yang terjadi adalah apabila tetangga
dekatnya
mempunyai kegiatan ekonomi yang meningkat yang memicu terjadinya
peningkatan
kebutuhan parkir kendaraan. Dampaknya terjadi gangguan akses
keluar masuk pada
lahan pribadi tetangganya.
7.2. Rekomendasi
Dari berbagai faktor diatas dapat direkomendasikan bahwa pada
ruas-ruas jalan
kolektor kota dengan standar pelayanan jalan yang telah
ditetapkan di dalam
peraturan yang berlaku, maka fungsi peruntukan lahan dapat
dilegalkan
perubahannya dari peruntukan perumahan menjadi peruntukan
perdagangan, jasa
ataupun perkantoran dan perhotelan dengan penetapan
syarat-syarat sesuai dengan
kelas jalannya dan keterbatasan pelayanan prasarana dan utilitas
umum yang ada.
Untuk penataan jalan lama alternatif penataan pada saat
peningkatan fungsi jalan dan
perubahan peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan
utama pada dua
kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9 meter diilustrasikan
pada gambar
dibawah sebagai berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 21
Pada kondisi yang dapat dikecualikan, untuk posisi bangunan
yang sulit dimundurkan lagi/dibebaskan, dimungkinkan batas
sempadan bangunan menempel pada daerah Dawasja hingga
garis Damija atau berbatasan dengan RTH atau pedestrian
jalan.
Untuk penataan jalan baru dengan eksisting dawasja masih
memungkinkan untuk ruang parkir kendaraan alternatif
penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan perubahan
peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan
utama pada dua kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9
meter diilustrasikan pada gambar dibawah sebagai berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 22
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 1
KAJIAN KONVERSI PERUNTUKAN LAHAN PERUMAHAN PADA
KAWASAN SISI JALAN KOLEKTOR DAN JALAN PENGHUBUNG
UTAMA DUA KOLEKTOR DI KOTA SURABAYA
1. Latar Belakang
Kawasan perumahan mempunyai fungsi yang beraneka ragam,
disamping sebagai
tempat tinggal, juga tersedia sarana pendidikan, perdagangan,
kesehatan yang
merupakan fungsi pelayanan kawasan perumahan. Di samping itu
kawasan
perumahan dapat berkembang lebih cepat apabila di dalam kawasan
tersebut
terdapat akses yang mudah ke pusat-pusat kegiatan perkotaan.
Oleh karena itu
penduduk perkotaan memanfaatkan tanah untuk perumahan yang
mengikuti jalur
transportasi kota atau tempat-tempat yang mempunyai kemudahan
untuk mencapai
jalur utama transportasi dalam kota (Northam, 1975).
Keterbatasan lahan dan harga lahan yang tinggi di kawasan yang
diperuntukkan bagi
kegiatan komersial di pusat kota mengakibatkan terjadinya
perambahan (invasi)
fungsi komersial ke kawasan perumahan, utamanya yang didorong
sebagai dampak
peningkatan kelas dan pelayanan jalan. Perubahan pemanfaatan
lahan tersebut
secara bertahap telah merubah kawasan dari dominasi perumahan
menjadi kegiatan
komersial sehingga banyak rumah pada perumahan tersebut mengubah
pemanfaatan
fungsi lahannya menjadi perdagangan dan jasa komersial lainya.
Padahal guna lahan
yang baru (perdagangan dan jasa komersial) mempunyai implikasi
yang berbeda
dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya (kawasan
perumahan).
Sedangkan proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut
Lee dalam
Yunus (2000) dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu (i)
karakteristik fiskal dari
lahan, (ii) banyak sedikitnya utilitas umum, (iii) derajat
aksesibilitas lahan, (iv)
karakteristik personel pemilik lahan yaitu menyangkut faktor
ekonomi, sosial dan
budaya pemilik lahan perumahan, (v) peraturan mengenai
pemanfaatan lahan yaitu
kebijakan pemerintah, dan (vi) inisiatif para pembangun.
Kota Surabaya pada saat ini mempunyai pertumbuhan kegiatan yang
sangat tinggi,
didorong dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi
pada saat ini,
meningkatnya distribusi regional barang dan jasa, dan permintaan
lahan yang sangat
tinggi yang diindikasikan dengan pertambahan pembangunan city
hotel sebanyak
lebih dari 20 lokasi pada tahun 2013 di seluruh wilayah Kota
Surabaya. Pertumbuhan
luar biasa dalam kurun 5 tahun terakhir juga nampak pada sisi
dari ruas-ruas jalan
kolektor kota dengan adanya perubahan fungsi dari peruntukan
perumahan menjadi
pemanfaatan ruang perdagangan dan jasa.
Permasalahannya adalah belum ada ketentuan yang dapat diacu
untuk terjadinya
perubahan penggunaan lahan dari kawasan perumahan menjadi
kawasan
perdagangan dan jasa pada sisi-sisi ruas jalan-jalan kolektor
kota. Kajian tentang
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 2
permasalahan ini sangat perlu disusun sebagai bahan pertimbangan
untuk
penyusunan peraturan daerah yang mengatur perubahan fungsi
peruntukan lahan ini.
2. Lingkup Kajian
Lingkup lokasi Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada
Kawasan sisi Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubungnya adalah sampling lokasi
pemanfaatan lahan untuk
perumahan yang telah berubah fungsi pada jalan-jalan kelas
kolektor primer dan
sekunder di Kota Surabaya dan jalan penghubung utama antara
kedua jalan kolektor
tersebut yang mempunyai kecenderungan berubah
pemanfaatannya.
Sedangkan lingkup materi kajian ini dibatasi pada lingkup jalan
kolektor dan jalan
penghubung utamanya yang mempunyai kecenderungan perubahan
peruntukan
lahan dari kawasan perumahan menjadi fungsi perdagangan dan
jasa.
3. Landasan Hukum
Landasan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perubahan
fungsi lahan pada
sisi jalan kolektor dan jalan penghubungnya antara lain:
a) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
b) Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang;
c) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
d) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman
Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota;
e) Peraturan Menteri PU Nomor 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum
Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan;
f) Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya;
g) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknik Analisis
Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam
Penyusunan
Rencana Tata Ruang;
h) Surat Edaran Dirjen Penataan Ruang Nomor..Tahun 2011 tentang
Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota;
i) SNI 03-1733-2004 Tata cara Perencanaan Lingkungan Perumahan
di Perkotaan.
4. Eksisting Persebaran Jalan Kolektor di Kota Surabaya
Persebaran jalan dengan klasifikasi jalan kolektor di Kota
Surabaya sampai dengan
Tahun 2013 menurut inventarisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Surabaya
adalah sebagai berikut :
Lokasi-lokasi jalan kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan
penghubung utama
Antara kedua jalan kolektor di Kota Surabaya dapat ditunjukkan
pada peta berikut ini.
Jumlah keseluruhan ruas-ruas untuk jalan kolektor Kota Surabaya
adalah 201 lokasi
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 3
menurut hasil survey Tahun 2014 terkini, dibandingkan dengan
jumlah ruas jalan
kolektor yang ada pada Tahun 2003 menurut Perda Kota Surabaya
Nomor 07 Tahun
2003 pada halaman Lampiran sejumlah 121 lokasi jalan.
5. Ketentuan yang Mengatur tentang Jalan Kolektor
Beberapa ketentuan yang mengatur tentang jalan kolektor antara
lain:
j) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
k) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
l) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;
m) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 Tahun 2006 tentang
Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan;
n) RSNI T- 14 2004 Geometri Jalan Perkotaan; dan
o) Pd. T-18-2004-B Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan
Perkotaan;
Definisi jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi (UURI 38/2004). Jalan
kolektor primer
adalah jalan yang menghubungkan secara efisien antar pusat
kegiatan wilayah atau
menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lokal. Jalan
kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 4
dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan
sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga (RSNI T-14-2004).
Menurut sistemnya, jaringan jalan dibedakan atas: sistem
jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder.(UURI 38/2004). Sistem jaringan
jalan primer adalah
sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
dan jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua
simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota
sebagai simpul).
Sistem jaringan jalan sekunder yaitu sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
Menurut kelas jalan (UU 22/2009), jalan kolektor dikelompokkan
menjadi:
a) jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat
dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu
terberat 10 (sepuluh)
ton;
b) jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua
ribu lima
ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua
belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu
terberat 8 (delapan) ton;
c) jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua
ribu seratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu)
milimeter, ukuran
paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8
(delapan) ton; dan
Kecepatan rencana kendaraan (VR) sesuai klasifikasi jalan di
kawasan perkotaan
diuraikan pada table dibawah ini. Untuk kondisi lingkungan
dan/atau medan yang sulit
kecepatan kendaraan suatu bagian jalan dalam suatu ruas jalan
dapat diturunkan,
dengan syarat penurunannya tidak boleh lebih dari 20 km/h.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 5
Bagian-bagian jalan terdiri dari daerah manfaat jalan (damaja),
daerah milik jalan
(damija), daerah pengawasan jalan (dawasja), dan penempatan
utilitas. Damaja
dibatasi oleh:
a) batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi
jalan;
b) tinggi minimum 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan; dan
c) kedalaman minimum 1,5 meter di bawah permukaan perkerasan
jalan.
Damaja diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, separator,
bahu jalan, saluran
tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman dan tidak boleh
dimanfaatkan untuk
prasarana perkotaan lainnya.
Dawasja diukur dari tepi jalur luar (perkerasan), dengan batasan
sebagai berikut :
a) jalan arteri minimum 20 meter;
b) jalan kolektor minimum 7 meter;
c) jalan lokal minimum 4 meter.
Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan
ditentukan oleh jarak
pandangan pengemudi yang ditetapkan sebagai daerah bebas samping
di tikungan.
Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam Damaja dengan
ketentuan sebagai
berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 6
a) untuk utilitas yang berada di atas muka tanah ditempatkan
paling tidak 0,60 m
dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan;
b) untuk utilitas yang berada di bawah muka tanah harus
ditempatkan paling tidak
1,50 m dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan
jalan.
Lebar jalur kendaraan ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur
serta bahu jalan. Lebar
jalur minimum adalah 4,5 m, memungkinkan 2 kendaraan dengan
lebar maksimum
2,1 m saling berpapasan. Papasan 2 kendaraan lebar maksimum 2,5
m yang terjadi
sewaktu-waktu dapat memanfaatkan bahu jalan.
Separator jalan dibuat untuk memisahkan jalur lambat dengan
jalur cepat. Separator
terdiri atas bangunan fisik yang ditinggikan dengan kereb dan
jalur tepian. Lebar
minimum separator adalah 1,00 m. Median jalan mempunyai fungsi
untuk:
a) memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah;
b) mencegah kendaraan belok kanan.
c) lapak tunggu penyeberang jalan;
d) penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu
kendaraan dari arah
yang berlawanan.
e) penempatan fasilitas pendukung jalan;
f) cadangan lajur (jika cukup luas);
g) tempat prasarana kerja sementara;
h) dimanfaatkan untuk jalur hijau;
Untuk jalan dua arah dengan empat lajur atau lebih harus
dilengkapi median. Jika
lebar ruang yang tersedia untuk median < 2,5 m, median harus
ditinggikan atau
dilengkapi dengan pembatas fisik agar tidak dilanggar oleh
kendaraan. Lebar
minimum median, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah
jalur, ditetapkan
sesuai Tabel berikut ini. Dalam hal penggunaan median untuk
pemasangan fasilitas
jalan, agar dipertimbangkan keperluan ruang bebas kendaraan
untuk setiap arah.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 7
Jalur hijau pada median dibuat dengan mempertimbangkan
pengurangan silau cahaya
lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Selain itu, jalur
hijau juga berfungsi
untuk pelestarian nilai estetis lingkungan dan usaha mereduksi
polusi udara. Tanaman
pada jalur hijau dapat juga berfungsi sebagai penghalang pejalan
kaki. Pemilihan jenis
tanaman dan cara penanamannya pada jalur hijau, agar mengacu
kepada Standar
Penataan Tanaman Untuk Jalan ( Pd. 035/T/BM/1999 ).
Jalur lalu lintas tidak direncanakan sebagai fasilitas parkir.
Dalam keadaan mendesak
fasilitas parkir sejajar jalur lalu lintas di badan jalan dapat
disediakan, jika :
a) kebutuhan akan parkir tinggi;
b) fasilitas parkir di luar badan jalan tidak tersedia.
Untuk memenuhi hal-hal tersebut di atas, perencanaan parkir
sejajar jalur lalu lintas
harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a) hanya pada jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder;
b) lebar lajur parkir minimum 3,0 m;
c) kapasitas jalan yang memadai, dan
d) mempertimbangkan keselamatan lalu lintas.
Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk pergerakan pejalan kaki.
Semua jalan
perkotaan harus dilengkapi jalur pejalan kaki di satu sisi atau
di kedua sisi. Jalur
pejalan kaki harus mempertimbangkan penyandang cacat, dan dapat
berupa :
a) jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, tetapi diperkeras
permukaannya;
b) trotoar;
c) penyeberangan sebidang;
d) penyeberangan tidak sebidang (jembatan penyeberangan atau
terowongan
penyeberangan);
e) penyandang cacat
Jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, harus ditempatkan di
sebelah luar saluran
samping. Lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan
adalah 1,5 m. Lebar
trotoar harus disesuaikan dengan jumlah pejalan kaki yang
menggunakannya.
Penentuan lebar trotoar yang diperlukan, agar mengacu kepada
Spesifikasi Trotoar
(SNI No. 03-2447-1991). Lebar minimum trotoar ditentukan sesuai
Tabel berikut ini.
Selengkapnya geometri jalan dapat dilihat pada RSNI T- 14
2004.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 8
Secara keseluruhan tipikal untuk jalan kolektor adalah sebagai
berikut.
Gambar Tipikal Jalan Kolektor Primer
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 9
Gambar Tipikal Jalan Kolektor Sekunder
Tingkat pelayanan ruas jalan menurut KM 14 Tahun 2006
diklasifikasikan atas:
a) tingkat pelayanan A, dengan kondisi:
1) arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan
tinggi;
2) kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang
dapat
dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan
maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;
3) pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya
tanpa atau
dengan sedikit tundaan.
b) tingkat pelayanan B, dengan kondisi:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 10
1) arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan
mulai dibatasi oleh
kondisi lalu lintas;
2) kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas
belum
mempengaruhi kecepatan;
3) pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih
kecepatannya dan
lajur jalan yang digunakan.
c) tingkat pelayanan C, dengan kondisi:
1) arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan
dikendalikan oleh
volume lalu lintas yang lebih tinggi;
2) kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu
lintas meningkat;
3) pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan,
pindah lajur atau
mendahului.
d) tingkat pelayanan D, dengan kondisi:
1) arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi
dan kecepatan
masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi
arus;
2) kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu
lintas dan hambatan
temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;
3) pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan
kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat
ditolerir untuk
waktu yang singkat.
e) tingkat pelayanan E, dengan kondisi:
1) arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume
lalu lintas
mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;
2) kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu
lintas tinggi;
3) pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi
pendek.
f) tingkat pelayanan F, dengan kondisi:
1) arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;
2) kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta
terjadi kemacetan
untuk durasi yang cukup lama;
3) dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai
0.
Menurut peraturan ini maka tingkat pelayanan untuk jalan
kolektor primer sekurang-
kurangnya B, dan tingkat pelayanan untuk jalan kolektor sekunder
sekurang-
kurangnya C.
6. Kajian Teori dan Praktek Perubahan Pemanfaatan Lahan
Perumahan
menjadi Perdagangan dan Jasa Komersial
Proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee (dalam
Syahrir, 2010)
dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu :
i) Karakteristik Fiskal dari lahan.
Merupakan kondisi ekonomi yang memperhitungkan nilai lahan dan
produktifitas
lahan. Semakin tinggi produktifitas lahan maka akan semakin
tinggi nilai lahan.
Untuk kawasan perkotaan produktifitas lahan dipengaruhi oleh
lokasi lahan atau
jarak lahan dengan pusat kota terutama di daerah komersial, yang
pada akhirnya
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 11
berimbas kepada pemilik lahan yang akan semakin sulit untuk
membayar fiskal
lahan sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan penghasilan
dengan cara
pemanfaatan lahan yang semakin efisien. Dalam hal Kota Surabaya
telah
meningkatkan fungsi jalan dari jalan lokal ke jalan kolektor,
selalu terjadi
peningkatan NJOP lahan yang berakibat pada makin beratnya
pemilik lahan untuk
membayar kewajiban pajak bumi dan bangunannya (PBB). Pada tahun
2003 ruas
jalan kolektor primer Kota Surabaya hanya 4 lokasi jalan saja,
pada tahun 2013
telah menjadi 6 lokasi dengan tambahan pada Jl. A.Yani Wonocolo
Korem dan Jl.
Sememi. Untuk ruas jalan kolektor sekunder pada tahun 2003
terdapat sebanyak
117 lokasi jalan meningkat pada tahun 2013 menjadi 201 lokasi
jalan.
Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2002
Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2012
Gambar Perubahan nilai lahan.
ii) Banyak sedikitnya utilitas umum
Semakin dekat dengan pusat kota maka lahan perumahan akan
mempunyai
utilitas yang semakin lengkap dan memadai. Keadaan ini juga
berpengaruh pada
nilai lahan karena pada dasarnya lahan perumahan pada pusat
kota
membutuhkan utilitas yang lebih lengkap sehingga memerlukan
pembiayaan yang
lebih besar dari lokasi lainnya yang tidak di pusat kota atau di
sebut dengan
central city-suburban fiscal disparities problem (Cox dalam
Yunus, 1999).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Pedoman
Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan
Permukiman di
Daerah, dan Kementerian PU di dalam dalam SNI 03-1733-2004-Tata
Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mendefenisikan
utilitas atau
prasarana dan sarana merupakan bangunan dasar yang sangat
diperlukan untuk
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 12
mendukung kehidupan manusia yang hidup bersama-sama dalam suatu
ruang
yang berbatas agar manusia dapat bermukim dengan nyaman dan
dapat bergerak
dengan mudah dalam segala waktu dan cuaca, sehingga dapat hidup
dengan sehat
dan dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam
mempertahankan
kehidupannya.
Dalam hal Kota Surabaya, pada jalan-jalan kolektor terjadi
peningkatan kualitas
utilitas pada drainase yang semula kecil dan terbuka
ditingkatkan fungsinya
dengan sistem box culvert, sehingga lebar badan jalan menjadi
meningkat dua kali
lipat. Selain itu pada ruas-ruas jalan kolektor pada saat ini
telah tersedia koneksi
kabel untuk fasilitas komunikasi internet.
Jl. Menur Pumpungan Tahun 2002
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 13
Jl. Menur Pumpungan Tahun 2012
Gambar penambahan utilitas kota dengan pembuatan box culvert
penutup
saluran untuk pelebaran jalan.
iii) Derajat aksesibilitas lahan.
Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi keuntungan,
derajat
aksesibilitas yang di maksudkan untuk menarik pelanggan (Yunus,
1999). Pada
bagian yang dekat pusat kota maka akan menimbulkan biaya
transportasi yang
murah, sehingga pengaruh ring road dan radial road sangat
dominan dalam
perubahan fungsi lahan perumahan demikian juga perpotongan jalan
antar
keduanya akan menumbuhkan pusat-pusat perdagangan dan jasa
komersial yang
baru (Berry dalam Yunus 1999).
Dalam hal Kota Surabaya saat ini telah meningkatkan derajat
aksesibilitasnya
dengan memperbanyak ruas-ruas jalan kolektor, sehingga berdampak
pada
meningkatnya jumlah kendaraan per satuan waktu yang melintas
pada jalan
kolektor ini. Masyarakat semakin banyak diberikan alternatif
jalan pilihan untuk
menghindari risiko kemacetan pada jalan-jalan utama kota
lainnya.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 14
Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2004
Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2014
Gambar perempatan Jl. Urip Sumoharjo dengan Jl. Pandegiling-Jl.
Keputran telah
dibuka persimpangan perempatannya.
iv) Karakteristik personel pemilik lahan.
Perubahan pemanfaatan lahan perumahan bukan hanya berasal dari
luar
perumahan tetapi juga bersumber dari dalam masyarakat itu
sendiri seperti
pertambahan penduduk dan juga berubahnya struktur masyarakat
seperti mata
pencaharian dari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi
tidak bekerja alias
pensiun dan lain-lain. (Koentjaraningrat. 1965). Tingkat
pendidikan, mata
pencaharian, penghasilan, etnis/suku dan agama sangat berkaitan
erat dengan
pemanfaatan lahan yang akan dilakukan oleh pemilik lahan.
Menurut Mac Iver dalam Yunus (1999) Perubahan-perubahan sosial
terjadi apabila
ada perubahan-perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial
(social relationship). Perubahan-perubahan sosial tersebut
bersifat periodik dan
non periodik yang terjadi karena perubahan terhadap keseimbangan
unsur
geografis, biologis, ekonomis (penghasilan, pengeluaran dan mata
pencaharian),
sosial (status lahan, lama tinggal, jumlah anggota keluarga,
umur) dan kebudayaan
(agama, adat istiadat dll).
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 15
v) Peraturan mengenai pemanfaatan lahan.
Merupakan suatu upaya secara kontinyu dan konsisten dalam
mengarahkan
pemanfaatan, penggunaan, dan pengembangan tanah secarah terarah,
efisien dan
efktif sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di tetapkan
(Jayadinata, 1999).
vi) Inisiatif para pembangun.
Berbicara tentang pemanfaatan lahan tidak lepas land value
(nilai lahan), rents
(sewa) dan costs (biaya) (Richard M. Hurd dalam Yunus, 1999),
nampak bahwa
penggunaan lahan yang mampu menawar lebih tinggilah yang
mendapatkan
tempat yang diinginkan dan itu dapat di lakukan oleh para
pembangun (Investor).
Semakin dekat suatu lahan dengan perkotaan maka semakin
tinggilah nilai lahan
dalam arti faktor ekonomilah sangat dominan dalam perubahan
pemanfaatan
lahan.
Selain keenam faktor diatas, perubahan pemanfaatan lahan
perumahan menjadi
fungsi lain sebagai akibat dari dorongan keenam faktor tersebut
diatas yaitu
menurunnya tingkat kenyamanan yang diakibatkan dari meningkatnya
nilai kebisingan
yang sangat mengganggu fungsi perumahan. Sebagai acuan standar
tingkat kebisingan
yang diijinkan untuk kawasan perumahan di Indonesia
menggunakan:
a) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987 tentang
Kebisingan yang
Berhubungan dengan Kesehatan;
b) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996
tentang Baku
Tingkat Kebisingan.
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun
1996 tentang
Baku Tingkat Kebisingan ambang nilai kebisingan yang diizinkan
adalah sebagai
berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 16
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987,
terdapat
pembagian wilayah kesehatan menjadi 4 (empat) zona, yaitu:
i) Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit,
tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang diijinkan
berkisar 35-45 dB.
ii) Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi.
Tingkat kebisingan
yang diijinkan antara 45-55 dB.
iii) Zona C Antara lain untuk perkantoran, pertokoan,
perdagangan, pasar. Tingkat
kebisingan yang diijinkan antara 50-60 dB.
iv) Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta
api, da terminal bus.
Tingkat kebisingan yang diijinkan Antara 60-70 dB.
Menurut Leslie (1993) tingkat kebisingan ruang luar bangunan
yang dapat diterima di
dalam bangunan rumah tinggal untuk kota dekat dengan lalu lintas
padat pada ruang
tidur adalah 35 dB, sedangkan pada ruang keluarga adalah 40 dB,
sebagaimana
ditunjukkan pada table berikut ini:
Sebagai pembanding, penelitian gangguan kebisingan lalu lintas
sebagai referensi
yang lakukan oleh Arifin Efendi dan tim (2003) pada lokasi
perumahan di Kota
Yogyakarta menunjukkan tingkat kebisingan lalu lintas di
lingkungan perumahan tipe
tertutup adalah Antara 60,7 68,5 dB dan pada perumahan tipe
terbuka mencapai
70,8 74,5 dB. Kedua hasil pengukuran pada tipe yang berbeda
menunjukkan bahwa
kebisingan yang terjadi telah melampaui baku mutu kebisingan
yang disyaratkan.
Gambaran lengkap hasil penelitian kebisingan lalu lintas jalan
utama dan jalan
kolektor pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran.
A. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Kolektor Sekunder di Kota
Surabaya
Pemanfaatan lahan di sisi kiri dan kanan ruas jalan kolektor
primer pada Jl.
Joyoboyo, Jl. Gunungsari, Jl. Raya Menganti, Jl. Mastrip, Jl. A.
Yani Wonocolo-
Korem dan Jl. Sememi telah berubah total pemanfaatan lahannya
menjadi lokasi-
lokasi perdagangan dan jasa, tanpa nampak yang hanya berfungsi
rumah tinggal,
kecuali perumahan TNI Angkatan Darat sebagai rumah dinas yang
tidak boleh
berubah fungsi di Jl. Gunungsari. Untuk perumahan dinas TNI ini
mempunyai
sempadan yang cukup lebar sebagai ruang barrier kebisingan
Antara jalan dengan
bangunan rumah tinggal.
Untuk jalan kolektor sekunder sebagian besar fungsi perumahan
telah bergeser
menjadi fungsi tempat usaha yang disebabkan terjadinya
peningkatan jalan,
pelebaran badan jalan, mengecilnya sempadan jalan, bangunan
tidak
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 17
dimundurkan pada GSB baru yang ditetapkan, dan tidak nyamannya
ruang
bangunan sebagai tempat tinggal hunian karena jarak bangunan
dengan jalan
hampir tidak ada. Kondisi ini dipengaruhi oleh keenam factor
yang telah dijelaskan
diatas.
Perubahan fungsi peruntukan lahan ini hingga 20 tahun mendatang
perlu
diantisipasi dengan baik pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan
perdagangan dan
jasa, dengan pengaturan-pengaturan sekurang-kurangnya sebagai
berikut:
1) Pengaturan kapling dengan ukuran minimum 75 m2 (untuk
komersial) dan
1.000 m2 (untuk bangunan pemerintahan).
2) Kepadatan bangunan untuk komersial maksimum 80 unit/ha, dan
minimum 7
unit/ha untuk bangunan pemerintah.
3) Menyediakan lahan parkir dengan minimum 10 % dari luas
kapling atau
kawasan, pada area sempadan antara pagar dan bangunan, atau pada
lantai
dasar untuk bangunan yang sempadannya menempel pada sempadan
pagar.
4) Menyediakan ruang terbuka hijau minimum 10 % dari luas
kawasan.
5) Menyediakan ruang terbuka non hijau; baik berfungsi untuk
kepentingan
publik maupun kepentingan ekonomi (seperti perdagangan
informal).
6) Menyediakan jalur pejalan kaki dengan lebar minimum 1,5
m.
7) Menyediakan ruang bagi sektor informal.
Pada daerah ini khususnya ruas-ruas jalan kolektor di pusat kota
ataupun yang
berada pada kawasan pinggiran kota yang tidak berada pada
kawasan industri dan
pergudangan, tidak dibolehkan untuk fungsi industri dan
pergudangan. Kelas
kendaraan angkutan barang yang melalui jalur jalan ini
disesuaikan dengan kelas
jalannya.
Untuk fungsi hunian pada lokasi-lokasi ini sebagaimana yang
telah disyaratkan
diatas, akan bergeser di belakang bangunan dengan fungsi
perdagangan dan jasa,
atau bergeser pada lantai dua atau tiga (di atas ruang/tempat
kegiatan usaha).
B. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Penghubung antara Jalan
Kolektor
Sebagai contoh konkrit adalah yang terjadi pada jalan penghubung
utama Antara
Jl. Arief Rahman Hakim dengan Jl. Emolowaru yang dihubungkan
dengan jalan
penghubung utama yaitu Jl. Klampis Semolo Timur - Jl. Klampis
Harapan.
Pemanfaatan ruang untuk perumahan telah bergeser menjadi
dominasi tempat
usaha seperti toko bangunan, bengkel mobil, warnet, tempat
praktek dokter,
workshop mebel kayu, dan mini market. Pemanfaatan ruang untuk
perumahan
menjadi minor, tersisa pada ruas Jl. Klampis Semolo Timur sisi
timur sebelah utara
saja.
Perubahan ini terjadi sejak intensitas penggunaan kendaraan
bermotor yang
melintasi ruas jalan penghubung utama ini menjadi semakin tinggi
seiring dengan
meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor, dan sering
terjadinya
kemacetan pada ruas Jl. Arief Rahman Hakim.
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 18
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 19
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1. Kesimpulan
Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kota Surabaya yang
mayoritas terjadi dengan
cepat pada ruas-ruas jalan kolektor primer dan kolektor sekunder
dari fungsi
perumahan menjadi fungsi lainnya yang mempunyai nilai ekonomi
lebih tinggi
memerlukan kajian teori dan temuan yang diharapkan dapat dipakai
sebagai dasar
penentuan perubahan pemanfaatan lahan. Dari
Faktor pendorong pertama yang terjadi adalah adanya peningkatan
nilai fiskal lahan
yang disebabkan terjadinya peningkatan kelas jalan, geometri
jalan dan fasilitas jalan.
Pada akhirnya pemilik lahan dihadapkan pada dua alternatif. Yang
pertama adalah
pemilik lahan memerlukan kegiatan ekonomi tambahan untuk
dapat
mempertahankan eksistensinya sehingga dapat memenuhi kewajiban
nilai pajak lahan
dan dasar kegiatan yang sama sekali berbeda karena membutuhkan
kegiatan
ekonomi yang layak untuk dapat meningkatkan ungsi ekonomi
mereka.
Faktor pendorong kedua yaitu semakin meningkatnya kualitas
pelayanan utilitas pada
jalan kolektor sehingga membuka kesempatan bagi kegiatan baru
dalam rangka
memanfaatkan peluang ketersediaan utilitas kota yang makin
lengkap. Secara
otomatis biaya pemanfaatan fasilitas utilitas kota juga akan
meningkat dan
mendorong pemilik lahan untuk meningkatkan kegiatan yang
berbasis ekonomi.
Faktor pendorong ketiga adalah dorongan meningkatnya derajat
aksesibilitas lokasi
lahan. Masyarakat pengguna jalan akan semakin banyak karena
jalan kolektor yang
tersedia makin memungkinkan pengguna untuk semakin sering
melalui jalan ini yang
secara fungsional memberikan banyak fasilitas sosial dan
ekonomi. Misalnya
ketersediaan ruang untuk parkir, pejalan kaki, pengguna
kendaraan tidak bermotor,
dan peluang kemudahan untuk mencari kebutuhan yang berada pada
lokasi yang
lebih dekat. Faktor dorongan kemudahan aksesibilitas ini sangat
besar pengaruhnya
untuk merubah fungsi lahan dari lahan perumahan menjadi fungsi
ekonomi.
Faktor pendorong keempat adalah perubahan status sosial pemilik
lahan yang secara
periodik berubah meningkat, sehingga merubah karakteristik
personel pemilik lahan
menjadi makin perduli pada perubahan yang terjadi. Perubahan
yang terjadi dapat
bersifat sosial, ekonomi dan lingkungan, dimana ketiganya kian
lama akan mempunyai
kualitas yang semakin baik apabila terjadi komunikasi sosial
yang baik antara pemilik
lahan dan pemerintah dan antar pemilik lahan satu dengan lainnya
yang mempunyai
dasar rasa kebersamaan membutuhkan kualitas lingkungan yang
makin baik.
Faktor pendorong kelima yaitu makin mantapnya arahan pemanfaatan
ruang yang
makin memberikan kejelasan kepada pemilik lahan terhadap
peruntukan lahan yang
dimilikinya. Dalam hal ini Pemerintah Kota dapat memastikan
dalam jangka lebih
panjang akan fungsi lahan dan rencana pengembangannya kepada
para pemilik lahan.
Pada bagian jalan kolektor tertentu dibutuhkan fleksibilitas
ketentuan pemanfaatan
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 20
lahan, sehingga memberikan pula kemudahan alternative bagi
pemilik lahan untuk
menyesuaikan dengan perubahan ketentuan yang baru.
Faktor pendorong keenam yaitu inisiatif pemilik lahan dalam
membangun pada saat
ini di Kota Surabaya semakin baik dengan semakin pahamnya
masyarakat untuk
memenuhi perizinan yang secara langsung membimbing masyarakat
untuk memenuhi
ketentuan-ketentuan pembangunan lahan yang telah disyaratkan.
Kesadaran
masyarakat untuk tertib hukum pada saat ini kian meningkat. Hal
ini memberikan
keuntungan kepada Pemerintah Kota untuk menjadikan peluang
semakin mudahnya
mengendalikan arahan pemanfaatan lahan sesuai ketentuan yang
ada.
Pada akhirnya faktor yang terakhir dari aspek kenyamanan pemilik
lahan yang paling
menentukan. Peningkatan kelas jalan dari lokal menjadi kolektor
memberikan
konsekuensi meningkatnya jumlah kendaraan dan kecepatan laju
kendaraan, yang
berdampak pada meningkatnya ambang kebisingan lingkungan. Jalan
kolektor pada
umumnya sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
berbagai kalangan
membuktikan bahwa tingkat kebisingan menjadi meningkat rata-rata
diatas 55 dB,
sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan kenyamanan kebisingan
untuk fungsi
perumahan. Gangguan lainnya yang terjadi adalah apabila tetangga
dekatnya
mempunyai kegiatan ekonomi yang meningkat yang memicu terjadinya
peningkatan
kebutuhan parkir kendaraan. Dampaknya terjadi gangguan akses
keluar masuk pada
lahan pribadi tetangganya.
7.2. Rekomendasi
Dari berbagai faktor diatas dapat direkomendasikan bahwa pada
ruas-ruas jalan
kolektor kota dengan standar pelayanan jalan yang telah
ditetapkan di dalam
peraturan yang berlaku, maka fungsi peruntukan lahan dapat
dilegalkan
perubahannya dari peruntukan perumahan menjadi peruntukan
perdagangan, jasa
ataupun perkantoran dan perhotelan dengan penetapan
syarat-syarat sesuai dengan
kelas jalannya dan keterbatasan pelayanan prasarana dan utilitas
umum yang ada.
Untuk penataan jalan lama alternatif penataan pada saat
peningkatan fungsi jalan dan
perubahan peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan
utama pada dua
kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9 meter diilustrasikan
pada gambar
dibawah sebagai berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 21
Pada kondisi yang dapat dikecualikan, untuk posisi bangunan
yang sulit dimundurkan lagi/dibebaskan, dimungkinkan batas
sempadan bangunan menempel pada daerah Dawasja hingga
garis Damija atau berbatasan dengan RTH atau pedestrian
jalan.
Untuk penataan jalan baru dengan eksisting dawasja masih
memungkinkan untuk ruang parkir kendaraan alternatif
penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan perubahan
peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan
utama pada dua kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9
meter diilustrasikan pada gambar dibawah sebagai berikut:
-
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi
Jalan
Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota
Surabaya
Ir. Mudji Irmawan, MS
Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 22