ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI
INDONESIA: SEBUAH STUDI KOMPARATIF DENGAN JEPANG
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangIndonesia merupakan negara berkembang yang
mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Tercatat bahwa
terdapat lebih kurang 40 juta penduduk bekerja di sektor pertanian
pada tahun 2013 (BPS, 2014). Output dari sektor ini diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan pangan dari 230 juta penduduk Indonesia
(BPS, 2014). Peningkatan jumlah populasi, perubahan pola konsumsi
masyarakat, dan penggunaan bahan pangan untuk kebutuhan non-pangan
(pakan, energi, obat-obatan, kosmetik dan lain-lain) menjadi
faktor-faktor yang mempengaruhi peninkatan kebutuhan pangan
nasional (Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan, 2013). Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi
dalam negeri, salah satu di antaranya adalah kebijakan pengendalian
konversi lahan pertanian. Kebijakan ini dinilai sangat penting di
samping kebijakan lain melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian untuk memenuhi permintaan pangan dalam negeri serta
mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang. Kebijakan
pengendalian konversi lahan pertanian menjadi kebijakan yang
dilematis mengingat pembangunan ekonomi nasional yang tidak hanya
menitikberatkan pada aspek pertanian saja, tetapi juga pada
pembangunan sektor perumahan, industri, jasa, infrastruktur dan
kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk,
degradasi lingkungan, faktor sosial budaya, rendahnya insentif bagi
usaha pertanian, dan otonomi daerah menjadi penyebab tingginya alih
fungsi lahan pertanian di Indonesia. Data dari Badan Ketahanan
Pangan Nasional menyatakan bahwa pada sepanjang tahun 2009 telah
terjadi alih fungsi lahan pertanian hingga mencapai 110 ribu hektar
per tahun, padahal kemampuan pemerintah untuk menyediakan lahan
hanya seluas 50 ribu hektar per tahun. Pada tahun 2010, BPS
mencatat telah terjadi penyusutan lahan seluas 12,63 ribu hektar
atau 0,1 % dari total luas lahan (Kementerian Sekretariat Negara,
2010). Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melakukan
berbagai upaya terkait dengan peraturan perundang-undangan seperti
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian tanah untuk
Keperluan Perusahaan; PMDN No. 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan
Pemberian Hak atas Tanah untuk Keperluan Pembangunan Perumahan;
Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, Keppres No. 54
Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan mengenai Pencetakan Sawah,
merupakan contoh-contoh aturan yang melarang digunakannya lahan
pertanian subur untuk penggunaan non pertanian. Kemudian pada tahun
2009 dikeluarkan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimana pemerintah
daerah diminta untuk mengalokasikan sebagian lahan untuk pertanian
pada Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah (Bappenas, 2010).
Namun dalam implementasinya, pemerintah daerah lebih mengutamakan
alokasi untuk kegiatan ekonomi industri dibandingkan penyediaan
lahan pertanian.Berbagai peraturan perundang-undangan dalam upaya
mengendalikan konversi lahan pertanian di Indonesia dinilai tidak
efektif dan sulit diterapkan dikarenakan: 1) kebijakan yang
kontradiktif dimana pada satu sisi, pemerintah mengenakan aturan
larangan konversi lahan namun pada sisi lain, kebijakan ekonomi dan
industri justru mendorong terjadinya konversi lahan pertanian, 2)
ruang lingkup kebijakan yang masih terbatas pada alih fungsi yang
dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum, sedangkan alih fungsi
yang dilakukan oleh perorangan belum tercakup di dalam peraturan.
Padahal dalam praktiknya, konversi lahan tidak hanya dilakukan oleh
perusahaan atau badan hukum, namun konversi lahan yang dilakukan
oleh individu juga diperkirakan cukup luas, dan 3) adanya ketidak
konsistenan peraturan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
(Nasution, 2003 ). Kondisi ini jika dibiarkan secara terus-menerus
dalam jangka panjang akan menyebabkan luasan tanah untuk kegiatan
pertanian semakin berkurang yang pada akhirnya akan mengancam
ketahanan dan kedaulatan nasional. Sehingga, dibutuhkan kebijakan
yang mengatur penggunaan lahan yang berorientasi jangka panjang
dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat, dan pemenuhan pangan
yang aman, berkualitas dan berkelanjutan tanpa menyampingkan
pembangunan sektor industri, perdagangan dan jasa dan sektor
ekonomi lainnya.
1.2 Perumusan MasalahLahan merupakan aset terpenting dari
kegiatan pertanian. Ketersediaan lahan baik dari sisi kuantitas
luasan lahan dan kualitas lahan yang subur menjadi syarat mutlak
bagi keberhasilan kegiatan pertanian (Faryadi, 2007). Namun, untuk
mendukung pembangunan nasional keberadaan lahan tidak hanya
diperuntukkan bagi kegiatan pertanian saja. Menurut Sediono M.P.
Tjondronegoro (Tjondronegoro, 2001), negara agraris tidak boleh
diartikan dalam arti sempit sebagai negara yang hanya mengandalkan
sektor pertanian sebagai penopang utama ekonominya, namun harus
dipahami dalam arti luas, yaitu negara yang mengandalkan sumber
daya agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk menopang ekonomi negaranya). Dari pernyataan ini
dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan lahan harus digunakan secara
seimbang untuk mencapai kemakmuran ekonomi nasional. Kondisi ini
memicu tingginya angka konversi lahan pertanian di Indonesia. Hal
ini menjadi masalah mengingat dalam jangka panjang peningkatan
jumlah penduduk memaksa kebutuhan lahan pertanian yang sangat besar
untuk memenuhi kebutuhan produksi pangan yang jika tidak dipenuhi
bukan saja akan mengancam ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatan
pangan nasional. Hal ini sudah dapat diprediksi melalui
kegagalan-kegagalan dalam pencapaian swasembada dan ketergantungan
pada ekspor yang terjadi selama ini. Sementara itu laju pertumbuhan
penduduk yang tinggi juga meningkatkan permintaan akan kawasan
pemukiman (real estate), di samping investasi di sektor lain
seperti industri, perdagangan dan jasa dan sektor ekonomi lainnya
yang secara langsung akan meningkatkan kebutuhan lahan yang semakin
luas dan desentralisasi pembangunan yang memberikan keleluasaan
pembangunan daerah berakibat pada pemerintah daerah saling berlomba
meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar
dan mengutamakan pembangunan sarana dan prasarana fisik. Padahal
lahan adalah sumberdaya yang terbatas. Artinya jumlah lahan yang
tersedia dalam jangka panjang tidak mengalami peningkatan,
sebaliknya justru mengalami penurunan yang disebabkan oleh
degradasi lingkungan.Jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan
oleh negara-negara maju dalam upaya untuk mengendalikan konversi
lahan pertanian mereka, situasinya sangat jauh berbeda. Apa yang
dilakukan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Belanda, Swedia,
Perancis, Inggris, empat provinsi di Kanada dan tiga negara bagian
Amerika Serikat adalah mereka tidak memfokuskan diri pada satu
kebijakan pengendalian lahan, melainkan menjalankan beberapa
kebijakan yang melibatkan berbagai pihak secara bersama-sama
(Bengston et.al). Selain itu kebijakan yang populer adalah setiap
satu satuan luasan yang lahan terkonversi untuk kegiatan
non-pertanian harus diimbangi dengan satu satuan lahan yang
ditambah untuk kegiatan pertanian (Alterman, 1997). Di Jepang,
peraturan pengendalian konversi lahan mulai diberlakukan pada tahun
1952. Peraturan ini muncul sebagai respon akan perkembangan ekonomi
dan industri Jepang yang sangat pesat pada tahun 1950 yang diikuti
oleh tingginya urbanisasi dan alih profesi masyarakat ke sektor
industri yang pada akhirnya juga mempengaruhi laju konversi lahan
pertanian (Tsubota, 2007). Namun apa yang dilakukan oleh Jepang
dinilai telah berhasil mengontrol distribusi lahan mereka. Dengan
rumitnya persoalan yang alih fungsi lahan pertanian yang dihadapi,
maka upaya pemecahannya tidak mungkin dilakukan secara parsial
sebagaimana pendekatan yang dilakukan selama ini. Diperlukan
pendekatan yang menyeluruh, dengan melibatkan semua pihak terkait
secara aktif. Di samping itu, perlu dilakukan tinjauan pembelajaran
dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan di negara-negara maju yang
dinilai telah berhasil mengatur distribusi lahan mereka dimana
dalam kasus ini dipilih Jepang. Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan di atas, maka beberapa masalah yang akan dijawab
secara analisis deskriptif pada makalah ini adalah:1) Kebijakan apa
saja yang telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan laju
konversi lahan pertanian di Indonesia dan Jepang?2) Bagaimana
efektivitas implementasi kebijakan tersebut terhadap kontinuitas
lahan pertanian di Indonesia dan Jepang?3) Strategi apa yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian di
Indonesia?
1.3 TujuanBerdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di
atas, maka tujuan makalah ini adalah:1) Mengidentifikasi kebijakan
yang telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan laju konversi
lahan pertanian di Indonesia dan Jepang2) Mengidentifikasi
efektivitas implementasi kebijakan tersebut terhadap kontinuitas
lahan pertanian di Indonesia dan Jepang3) Menganalisis strategi
yang dapat dilakukan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian
di Indonesia
2. KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA
DAN JEPANG
2.1 Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di
IndonesiaPembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan
pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian di
Indonesia, terutama lahan sawah, telah dimulai sejak tahun 1990-an.
Akan tetapi sampai saat ini, implementasinya masih menemui banyak
kendala. Di antara usaha pemerintah adalah dengan menetapkan
berbagai kebijakan peraturan yang terkait dengan pengendalian
konversi lahan pertanian (Tabel 1).
Tabel 1. Peraturan Terkait Pengendalian Konversi Lahan
PertanianNoPeraturan/PerundanganGaris besar isi, khususnya yang
terkait dengan alih guna lahan pertanian
1UU No.24/1992Penyusunan RTRW Harus Mempertimbangkan Budidaya
Pangan/SIT: Perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi
kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri dan sebagainya
memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang
tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat.
2Kepres No.53/1989Pembangunan Kawasan Industri, Tidak Boleh
Mengkonversi SIT/Tanah Pertanian Subur: Pembangunan kawasan
industri tidak mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan
di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi
sumberdaya alam dan warisan budaya.
3Kepres No.33/1990Pelarangan Pemberian Ijin Perubahan Fungsi
Lahan Basah dan Pengairan Beririgasi Bagi Pembangunan Kawasan
Industri: pemberian ijin pembebasan tanah untuk industri harus
dilakukan dengan pertimbangan tidak akan mengurangi areal tanah
pertanian dan tidak boleh di kawasan pertanian tanaman pangan lahan
basah berupa sawah dengan pengairan irigasi serta lahan yang
dicadangkan untuk usahatani irigasi.
4SE MNA/KBPN410-1851/1994Pencegahan Penggunaan Tanah Sawas
Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan
RTR: dalam menyusun RTRW Dati I maupun Dati II, agar tidak
memperuntukkan tanah sawah beririgasi teknis guna penggunaan non
pertanian, kecuali terpaksa atas pertimbangan-pertimbangan tertentu
dengan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional.
5SE MNA/KBPN410-2261/1994Ijin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi
Sawah Irigasi Teknis (SIT)
6SE/KBAPENAS 5334/MK/9/1994Pelarangan Konversi Lahan Sawah
Irigasi Teknis Untuk Non Pertanian
7SE MNA/KBPN 5335/MK/1994Penyusunan RTRW Dati II Melarang
Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian: BKTRN pada
prinsipnya tidak mengijinkan perubahan penggunaan sawah beririgasi
teknis untuk penggunaan diluar pertanian, dan kesepakatan tersebut
telah dilaporkan kepada Presiden. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
di beberapa Daerah Tingkat II perlu disempurnakan, karena di
dalamnya tercantum rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis
untuk penggunaan bukan pertanian.
8SE MNA/KBPN 5417/MK/1 0/1994Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi
Pembangunan Perumahan : pada prinsipnya perubahan penggunaan tanah
pertanian/sawah beririgasi teknis untuk keperluan selain pertanian
tidak diijinkan. Untuk peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan,
pembangunan perumahan baru diarahkan ke lahan yang telah mempunyai
ijin lokasi dan ke lokasi di luar lahan beririgasi teknis.
9SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis
untuk mendukung Swasembada Pangan.
10SE MNA/KBPN 460- 1594/1996Mencegah Konversi Tanah Sawah dan
Irigasi Teknis Menjadi Tanah Kering: perubahan sawah irigasi teknis
ke tanah kering dalam sepuluh tahun terakhir diperkirakan lebih
dari 500 000 Ha, melalui cara menutup saluran irigasi. Untuk hal
tersebut di atas diminta kepada Gubernur / Bupati / Walikota untuk
memberi petunjuk:b. Tidak menutup saluran irigasi.c. Tidak
mengeringkan sawah irigasi menjadi tanah kering.d. Tidak menimbun
sawah untuk membangun.e. Banyak sawah irigasi yang sudah menjadi
tanah kering, untuk mengembalikan lagi seperti semula.Gubernur
dapat memberikan petunjuk pada Bagpro/Walikota agar meninjau
kembali dan merevisi RTRW Dati II.
Sumber : Bappenas, 2010
Kemudian pada tahun 2008, pemerintah melalui PP No 26 Tahun 2008
mengatur mengenai Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional,
dimana disebutkan bahwa kawasan pertanian termasuk kedalam kategori
kawasan budidaya yang terdiri dari budidaya tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan/atau tanaman industri. Lebih jauh
disebutkan bahwa pada kawasan peruntukan pertanian, keputusan
penetapannya harus memperhatikan kriteria-kriteria: 1) memiliki
kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian; 2)
ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi; 3) mendukung ketahanan
pangan nasional; dan/atau 4) dapat dikembangkan sesuai dengan
tingkat ketersediaan air. Pada tahun 2009, pemerintah melalui
Undang-undang No.41 Tahun 2009 pasal 44 menyebutkan bahwa konversi
lahan pertanian diizinkan bila memenuhi persyaratan: 1) dilakukan
kajian kelayakan strategis; 2) disusun rencana konversi lahan; 3)
dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; 4) disediakan lahan
pengganti terhadap lahan yang dikonversi. Sedangkan penyediaan
lahan pengganti terhadap lahan yang dikonversi harus dilakukan atas
dasar kesesuaian lahan dengan syarat: 1) jika lahan irigasi yang
dikonversi, penggantiannya minimal 3 kali luas lahan semula; 2)
jika lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak)
yang dikonversi, penggantiannya minimal 2 kali luas lahan semula;
dan 3) jika bukan lahan irigasi yang dikonversi, penggantiannya
minimal 1 kali luas lahan semula. Isi dari peraturan ini kemudian
diperbaru kembali pada Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2011 dimana
terdapat tambahan persyaratan khususnya pada bagian ketersediaan
lahan pengganti terhadap lahan pertanian berkelanjutan. Di dalam
peraturan ini disebutkan bahwa pemohon alih fungsi dapat melakukan
alih fungsi setelah lahan pengganti yang diminta oleh pemilik lahan
telah terpenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan tersebut terdiri dari: a) Apabila lahan yang
dialihfungsikan berupa lahan beririgasi, maka lahan penggantinya
dialokasikan pada daerah irigasi dengan luasan minimal 3 kali luas
lahan yang dialihfungsikanb) Apabila lahan yang dialihfungsikan
berupa lahan beririgasi maka lahan penggantinya dialokasikan pada
lahan rawa pasang surut dan/atau lebak dengan luasan minimal 6
(enam) kali luas lahan yang dialihfungsikan c) Apabila lahan yang
dialihfungsikan berupa lahan beririgasi maka lahan penggantinya
dialokasikan pada lahan tidak beririgasi dengan luasan minimal 9
(sembilan) kali luas lahan yang dialihfungsikan. d) Apabila lahan
yang dialihfungsikan berupa lahan rawa pasang surut dan/atau lebak
maka lahan penggantinya dialokasikan pada lahan rawa pasang surut
dan/atau lebak dengan luasan minimal 2 (dua) kali luas lahan yang
dialihfungsikan. e) Apabila lahan yang dialihfungsikan berupa lahan
rawa pasang surut dan/atau lebak maka lahan penggantinya
dialokasikan pada daerah tidak beririgasi dengan luasan minimal 4
(empat) kali luas lahan yang dialihfungsikan. f) Apabila lahan yang
dialihfungsikan berupa lahan tidak beririgasi maka lahan
penggantinya dialokasikan pada daerah tidak beririgasi dengan
luasan minimal 1 (satu) kali luas lahan yang dialihfungsikan.
Selain itu di dalam peraturan tersebut juga disebutkan mengenai
pemberian izin konversi lahan yang ditujukan untuk kepentingan umum
yang meliputi jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air
minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan,
pelabuhan, Bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal,
fasilitas keselamatan umum, cagar alam dan /atau pembangkit dan
jaringan listrik asalkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Bappenas, 2010). Sedangkan proses
dan tata cara konversi lahan pertanian di Indonesia ditunjukkan
pada gambar 1.Usulan alih fungsi lahan setelah disetujui Menteri
PertanianDisampaikan oleh pihak yang mengalihfungsikan
kepadaPresiden (dalam hal lintas provinsi)Gubernur (dalam hal
lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi)Kabupaten/kota (dalam hal
satu kabupaten/kota)Persetujuan ya/tidakDibantu tim verifikasi
Gambar 1. Diagram Alur Tata Cara Konversi Lahan Pertanian
PanganSumber : Peraturan Menteri Pertanian, 2013
Gambar 1 menunjukkan tata cara konversi lahan pertanian baik di
tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun lintas provinsi. Pemohon
konversi lahan pertanian yang telah memenuhi syarat dan mendapat
persetujuan dari Menteri Pertanian di tingkat kabupaten/kota
mengajukan usulan kepada Bupati/Walikota. Dalam memberikan
persetujuan, Bupati/Walikota dibantu oleh Tim verifikasi
kabupaten/kota yang keanggotaannya berasal dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggung jawab terhadap lahan
pertanian, perencanaan pembangunan, infrastruktur, administrasi
pertahanan dan instansi/lembaga terkait. Setelah mendapat
rekomendasi dari Bupati/Walikota, usulan diteruskan ke Gubernur.
Dalam memberikan persetujuan, Gubernur juga dibantu oleh Tim
verifikasi provinsi. Setelah mendapatkan persetujuan dari Gubernur,
usulan diteruskan ke Presiden. Dalam memberikan persetujuan,
Presiden juga dibantu oleh Tim verifikasi nasional.
2.2 Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di
JepangUsaha mengendalikan konversi lahan pertanian di Jepang
dimulai pada tahun 1959, setelah dikeluarkannya Standar Konservasi
Lahan Pertanian (Agricultural Land Conservation Standard).
Kebijakan ini dilakukan karena perkembangan ekonomi yang sangat
tinggi yang mengubah struktur ekonomi Jepang menjadi sektor
industri pada tahun 1950-an. Kemudian pada tahun 1968, pemerintah
menetapkan kebijakan Area Promosi Urbanisasi (Urbanization
Promotion Area (UPA)) dan Area Promosi Urbanisasi (Urbanization
Control Area (UCA)) (Tsubota,2007).
a) Kebijakan Urbanization Promotion Area (UPA)Urbanization
Promotion Area (UPA) adalah kawasan yang ditujukan untuk lokasi
pembangunan berbagai prasarana dalam rangka peningkatan fungsi kota
(Gambar 2). Para pemilik lahan yang mendaftarkan lahan mereka di
UPA wajib membayar pajak yang setara dengan pajak lahan pemukiman.
Pajak asset tetap pada lahan pertanian dikenakan atas dasar nilai
kapitalisasi pengembalian pertanian, biasanya nilainya bisa
mencapai 10.000 yen per ha. Sedangkan jika asset tetap tersebut
berada pada lahan pemukiman, nilai pajaknya bisa mencapai 100
smapai 500 kali lebih. Karena nilai yang begitu besar, pada
akhirnya banyak petani di perkotaan yang menghentikan aktivitas
pertanian mereka. Kondisi ini merupakan konsekuensi langsung dari
tujuan penggunaan UPA untuk wilayah pembangunan dalam jangka
panjang.
Urbani ation Control Area (Development is not permitted, in
principle.)
Urbanization Control Area (development is not permitted)
Urbanization Promotion Area (development is permitted)
Gambar 2. Pembagian Wilayah UPA dan UCA di JepangSumber:
Ministry of Land, Inftrastructure, and Transport , Japan
Namun yang terjadi kemudian adalah kebijakan ini diprotes keras
oleh kelompok petani karena dirasa terlalu memberatkan. Atas dasar
itu, pada tahun 1974 munculah Undang-Undang Lahan Produktif Hijau
(Productive Green Land Law). Undang-undang ini mengakui untuk
pertama kalinya peran ganda lahan pertanian di UPA dan
menpersyaratkan adanya wewenang perlakuan khusus pada lahan hijau
produktif dalam rencana kota. Namun peraturan ini tidak serta merta
mendorong petani untuk tidak melepas lahan pertanian mereka. Nilai
pajak yang sangat besar masih menjadi penyebabnya. Kemudian pada
tahun 1980-an pemerintah menetapkan peraturan pajak baru dimana
petani bisa mendapatkan pengembalian dana pajak yang mereka
bayarkan setiap lima tahun jika mereka berjanji menjaga kelanjutan
aktivitas pertanian di lahan UPA selama sepuluh tahun. Jika petani
memberhentikan aktivitas pertanian mereka di tengah periode
tersebut, nilai pajak setara dengan lahan pemukiman akan
diberlakukan untuk periode yang tersisa. Namun pada tahun 1991,
pemerintah menghapuskan kebijakan ini sebagai efek dari tingginya
inflasi. Kebijakan ynag ditetapkan pemerintah pada tahun ini adalah
toleransi pajak hanya berlaku bagi para petani di tiga zona yang
direncanakan akan terus mempertahankan pertanian selama 30 tahun ke
depan. Setelah periode tersebut, mereka harus menjualnya kepada
pemerintah atau membayar pajak yang lebih tinggi sebagai kompensasi
atas kebebasan penggunaan lahan. Nilai yang sama juga dikenakan
bagi pajak warisan.Selanjutnya, jika terdapat kawasan yang tidak
memiliki prospek pembangunan infrastruktur yang memadai di masa
mendatang, namun ditetapkan sebagai kawasan UPA, hal ini dapat
menimbulkan kawasan berkualitas rendah yang menyebabkan
perkembangan tidak terkontrol dan tidak terencana. Beberapa solusi
yang diberikan pemerintah untuk mengatasi kondisi ini di antaranya:
1) Menetapkan kerangka dasar untuk pembagian kawasan dengan
menghitung populasi yang sesuai dan pembangunan industri untuk masa
depan berdasarkan hasil Survei Dasar Tata Kota yang dilakukan
setiap lima tahun dan mempertimbangkan data populasi tersebut ke
perencanaan tata kota; 2) melakukan survey insidental untuk
kabupaten tertentu untuk melihat perkembangan populasi dalam upaya
melihat prospek pembangunan kawasan tersebut (Tsubota, 2007).
b) Kebijakan Urbanization Control Area (UCA)Urbanization Control
Area (UCA) adalah kawasan yang terletak di dalam kota maupun di
pinggiran kota dan ditetapkan sebagai kawasan yang dikontrol
perkembangannya dari pembangunan fisik secara ketat untuk
melindungi kehidupan kota dalam jangka panjang (berkelanjutan).
Kebijakan ini ditujukan untuk melindungi lahan pertanian, sekaligus
untuk mempromosikan pembangunan pedesaan yang komprehensif. Bantuan
pemerintah untuk irigasi, pemasaran produksi atau pinjaman
pertanian hanya akan diberikan kepada para petani di kawasan
Agriculture Use Area (AUA) (Gambar 3).
Agriculture Promotion Area17,2 (5,06) m.haAgriculture Use
Area5,03 (4,32)Agriculture Control Area5,03 (4,32)5,03 (4,32)
UPA
1,42 (0,11)
Gambar 3. Pembagian Wilayah Perkotaan dan Pertanian di Jepang
Kebijakan ini juga mempertimbangkan populasi di masing-masing
kawasan (Gambar 4). Kawasan dengan persentase populasi penduduk
terpadat (populasi 67,10 %) dijadikan sebagai kawasan UPA yang
difokuskan pada pembangunan dalam jangka panjang. Sedangkan UCA
hanya terdiri dari 9.50 % populasi penduduk. Hal ini dilakukan
untuk menjaga luasan lahan yang diperuntukkan bagi pertanian di
kawasan ini.
Gambar 4. Pembagian Wilayah dan Populasi di Jepang, 2005Sumber:
Ministry of Land, Inftrastructure, and Transport , Japan
3. EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TERHADAP KONTINUITAS LAHAN
PERTANIAN DI INDONESIA DAN JEPANG
3.1 Dampak Kebijakan di IndonesiaUpaya pemerintah dalam
mengendalikan konversi lahan pertanian telah ditunjukkan melalui
berbagai instrument strategi kebijakan. Namun dalam praktiknya,
konversi lahan pertanian masih terjadi dengan luas yang tidak
sedikit setiap tahunnya. Kondisi ini memberi indikasi bahwa
pelaksanaan strategi kebijakan tersebut belum sempurna dan masih
memerlukan perbaikan dalam jangka panjang. Pada bagian ini, dampak
kebijakan pengendalian konversi akan dianalisis berdasarkan
beberapa studi kasus kota-kota di Indonesia.
a) Jawa TengahBerbagai strategi dilakukan pemerintah untuk
menjamin keefektivitasan praktik hukum pengendalian konversi lahan
pertanian di Jawa Tengah. Salah satunya melalui penjabaran
ketentuan kepada bentuk yang lebih praktis dan operasional
(Keputusan Gubernur/KDH Tingkat I Jawa Tengah No. 06 tanggal 20
Juli 1998) (Bappenas, 2010). Lahan sawah dikategorikan menjadi: 1)
lahan yang harus dipertahankan; 2) lahan yang boleh
dialihfungsikan; dan 3) lahan yang dipertahankan dengan syarat
tertentu. Namun belum ada ketentuan hukum yang mengikat pembagian
ini. Ditambah target pengendalian konversi ini masih bervariasi
antar instansi baik Dinas Pertanian, BAPPEDA, maupun Badan
Pertanahan Nasional). Instansi lain seperti DPRD, Dinas Pekerjaan
Umum/PU Pengairan, dan unit Pemda bahkan belum mempunyai target
konkrit dalam pengendalian konversi lahan. Selain itu, faktor lain
ynag juga mempengaruhi adalah belum adanya ketentuan kompensasi
bagi lahan pertanian yang dikonversi.
b) YogyakartaDi Yogyakarta, langkah-langkah pengendalian
konversi lahan pertanian telah diterapkan pada langkah-langkah
konkrit. Hanya saja masing-masing instansi masih memiliki target
yang berbeda-beda. Selain itu kontrol atas instrumen kebijakan
masih rendah, kebijakan konversi lahan pertanian belum sepenuhnya
disesuaikan dengan rencana tata ruang, serta kesadaran masyarakat
dalam mengajukan izin masih rendah sehingga banyak terjadi konversi
lahan pertanian menjadi kurang terkontrol. Secara umum,
faktor-faktor utama yang menyebabkan ketidakefektivan pengendalian
konversi lahan pertanian di Indonesia dirangkum dalam gambar 5.
Data ini diambil dari 11 provinsi di Indonesia hasil studi Bappenas
pada tahun 2010.
Gambar 5. Faktor-Faktor Penyebab Ketidakefektivan Kebijakan
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di IndonesiaSumber: Bappenas,
2010Faktor utama yang menyebabkan tidak efektifnya berbagai
kebijakan pengendalian yang ditetapkan pemerintah adalah belum
adanya koordinasi yang efektif antar lembaga yang terkait. Di
tingkat nasional sasaran kebijakan diberikan dengan sangat jelas.
Namun kemudian masing-masing lembaga di daerah mendefinisikan
target dengan orientasi berbeda-beda. Faktor kedua adalah capaian
kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian belum menjadi
prioritas. Sebagai contoh masih banyak lembaga ynag belum memiliki
target khusus dan konkrit perihal pengendalian konversi lahan. Di
samping itu, benturan kepentingan seringkali terjadi di lembaga
tingkat daerah, khususnya sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Meskipun terdapat peraturan yang mengikat, namun tidak sedikit dari
peraturan ini diabaikan demi kepentingan pembangunan industri
maupun sarana prasarana yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Faktor ketiga adalah fungsi lembaga yang belum optimal.
Sedangkan sisanya adalah faktor-faktor lain di luar ketiga faktor
yang sudah dijelaskan. Kebijakan pengendalian konversi lahan
pertanian di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1992 dengan
dikeluarkannya Undang Undang No.24 tahun 1992. Namun data Sensus
Pertanian Nasional tahun 1993 sampai tahun 2012 menunjukkan terjadi
konversi lahan dengan luasan yang signifikan. Pada tahun 2012,
total lahan pertanian Indonesia menjadi 8.132.642 ha dari total
luasan semula pada tahun 1993 seluas 15.424.004 ha. Artinya telah
terjadi 8.571.630 ha konversi lahan dalam kurun waktu 20 tahun
(Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, 2013) .
Gambar 6. Data Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia,
1993-2012Sumber: Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana
Pertanian, 2013
3.2 Dampak Kebijakan di JepangPada tahun 1959, pemerintah Jepang
mulai menerapkan langkah-langkah kebijakan pengendalian konversi
lahan pertanian. Jika dilihat dari angka luasan lahan pertanian
hingga saat ini, Jepang secara umum mengalami penurunan luas lahan
pertanian, yaitu dari 55.900 km2 pada tahun1980 menjadi 46.700 km2
pada tahun 2010. Terjadi pengurangan jumlah lahan seluas 9200 km2
dalam kurun waktu 30 tahun. Angka ini tidak termasuk area yang
digunakan untuk hutan dan perkebunan. Untuk are ini sendiri, pada
tahun 1980 luas lahan adalah 256.800 km2 dan pada tahun 2010
luasnya berkurang menjadi 253.500 km2. Perlu dicatat bahwa area ini
mengambil porsi luasan terbesar dari total luasan lahan di Jepang.
Sebaliknya, lahan yang dialokasikan pada pembangunan jalan dan
pembangunan lainnya meningkat dari tahun 1980 sampai 2010. Pada
tahun 1980, lahan yang dialokasikan untuk pembangunan jalan hanya
seluas 9.900 km2. Namun pada tahun 2010, luasnya meningkat menjadi
13.600 km2. Angka ini bahkan melebihi luas perairan darat. Hal yang
sama juga terjadi pada luas area yang digunakan untuk pembangunan
lainnya dimana pada tahun 1980 hanya 13900 km2, namun pada tahun
2010 luasnya meningkt menjadi 19.000 km2 (Tabel 2).
Tabel 2. Perkembangan Distribusi Lahan di Jepang, 1980 2010
(x1000 km2)YearTotalForestland and FieldsAgricultural LandInland
WaterRoads*Building Land**others
1980377.7256.855.913.19.913.928.1
1990377.7255.253.313.111.41628.7
2000377.9253.849.113.512.717.930.9
2010377.9253.546.713.313.61931.9
Sumber: Japan Ministry of Land, Infrastructure, Transport and
Tourism, 2014
Meskipun terjadi pengurangan pada luas lahan yang digunakan
untuk aktivitas pertanian dan peningkatan pada luas lahan yang
digunakan untuk aktivitas non-pertanian, namun lahan pertanian
masih memiliki presentase terbesar kedua luas lahan setelah lahan
hutan dan perkebunan (Gambar 7). Artinya, dengan peningkatan
pembangunan di segala bidang di Jepang, lahan pertanian masih
dilestarikan sebaik-baiknya.
Gambar 7. Persentase Distribusi Lahan di Jepang Tahun 2010*
Termasuk jalan untuk lahan pertanian dan hutan, ** Termasuk lahan
industri dan bangunan Sumber: Japan Ministry of Land,
Infrastructure, Transport and Tourism, 2014
Selain itu, dampak penerapan zona kawasan UPA telah menyebabkan
para petani yang masih mempertahankan lahan pertanian mereka hingga
sekarang telah mendapatkan banyak dukungan agar mempertahankan
lahan-lahan pertanian tersebut di wilayah kota karena sangat
membantu peresapan air dan keseimbangan tata kota. Namun dampak
negatif yang ditimbulkannya adalah mayoritas petani saat ini di
jepang berusia 60-an. Anak-anak mereka tidak mampu meneruskan
aktivitas pertanian orang tua mereka dikarenakan pajak warisan yang
tinggi pada wilayah UPA.
4. STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI
INDONESIA
Beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam upaya pengendalian
konversi lahan pertanian di Indonesia adalah:1) Penguatan Instrumen
HukumAdanya instrument hukum yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan
untuk mengendalikan konversi lahan pertanian Indonesia. Di beberapa
daerah di Indonesia, belum terdapat instrument hukum yang jelas
mengenai operasional peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat. Misalkan mengenai aspek kompensasi lahan
yang dikonversi, kemudian lahan mana saja yang boleh dikonversi,
lalu bagaimana kontrak perjanjian dan penggunaanya dalam jangka
panjang dan apa sanksi yang ditetapkan jika di kemudian hari
terdapat pihak-pihak yang melanggar aturan. Oleh karena itu
dibutuhkan penataan kembali dalam hal-hal berikut ini:a) Penetapan
standard/definisi dan kriteria yang jelas dan tegas mengenai lahan
sawah yang dilindungi, baik kondisi saat ini maupun potensial.
Secara umum kriteria lokasi lahan sawah tersebut didasarkan atas
aspek: (a) fisik alamiah, (b) fisik buatan (keberadaan
infrastruktur penunjang, khususnya irigasi), (c) keberadaan
sumberdaya manusia dan sosial yang memiliki kompetensi, terutama
kultur beras (rice culture), (d) status kepemilikan/penguasaan
lahannya, (e) jenis komoditas pangan strategis yang dibudidayakan
(padi sawah, jagung, kedelai, gula) dan dan (f) skala (nasional,
regional dan lokal).b) Penunjukan lembaga yang dinilai memiliki
kompetensi dan bertanggungjawab secara teknis dalam
mengkoordinasikan sistem informasi lahan dan produk pertanian
pangan nasional dalam jangka panjang.c) Dilakukannya evaluasi lahan
sawah nasional guna mengidentifikasikan lahanlahan sawah strategis
pada kondisi saat ini maupun potensial dikembangkan di masa
datang.d) Dilakukannya sistem monitoring dinamika perubahan kelas
status lahan sawah secara nasional yang dilaporkan secara
berkala.e) Dilakukannya analisis atas data yang diperoleh untuk
melakukan proyeksi secara berkala menyangkut status ketahanan
pangan nasional.2) Penguatan Instrumen EkonomiSalah satu kendala
yang dihadapi pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan
pertanian adalah kurangnya partisipasi dari petani pemilik lahan.
Tidak sedikit petani yang melepaskan lahan mereka ke pihak lain
tanpa mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
pemerintah. Alasanya karena rendahnya tingkat pengembalian yang
dihasilkan dari upaya mengusahakan lahan pertanian oleh petani.
Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kurangnya penguasaan
teknologi dan subsidi pemerintah yang dirasa belum efektif.
Akibatnya kebanyakan petani adalah petani subsisten.Selain oleh
petani, pemerintah daerah juga turut berperan dalam konversi lahan
pertanian. Hal ini dikarenakan surplus ekonomi (land rent) dari
pemanfaatan lahan untuk aktivitas pertanian lebih rendah dari
aktivitas non pertanian. Oleh karena itu beberapa aktivitas yang
dapat dilakukan dalam upaya penguatan instrumen ekonomi, di
antaranya:a) Menciptakan insentif bagi para petani agar tetap
mempertahankan fungsi lahan pertanian mereka sebagai lahan
usahatani.b) Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain
yang ingin mengalih fungsikan lahan pertanian ke penggunaan
lain.
3) Penguatan Kelembagaan dan Komunitas
Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang patut
dijadikan pertimbangan adalah yang bertumpu pada masyarakat dan
sekaligus berdimensi lingkungan (community- based resource
management plan). Artinya, masyarakat adalah tumpuan dalam bentuk
partisipasi dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan
memiliki kesadaran (awareness) terhadap lingkungan. Metode untuk
mengetahui dan mengidentifikasi peran serta masyarakat dalam alih
fungsi lahan pertanian ini adalah pemahaman terhadap eksistensi
pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Pemangku kepentingan
ini terdiri dari:1) Pemangku kepentingan utama (primary
stakeholders), yakni kelompok sosial kemasyarakatan yang menerima
dampak baik secara positif maupun negatif dari aktivitas konversi
lahan pertanian.2) Pemangku kepentingan penunjang (secondary
stakeholders), yaitu berperan sebagai pihak perantara
(intermediaries) dalam aktivitas konversi lahan pertanian. Pemangku
kepentingan ini terdiri dari penyandang dana, pelaksana kegiatan,
organisasi pengawas dan advokasi, atau secara gamblang antara lain
terdiri dari pemerintah, LSM, pihak swasta, politisi, dan tokoh
masyarakat. 4) Pembagian Kawasan Pertanian dengan
non-PertanianStrategi ini diambil dari pengalaman yang telah
dilakukan oleh Jepang dalam menjaga sustainability dari lahan-lahan
pertanian mereka. Indonesia dirasa sudah dapat mengadopsi strategi
ini dalam melakukan pembagian kawasan (zoning). Pemerintah
menetapkan pembagian kawasan yang dikhususkan bagi pertanian,
khususnya di wilayah pedesaan dan kawasan yang memang dikhususkan
untuk pembangunan dalam jangka panjang. Namun bukan berarti,
masyarakat yang tetap ingin mempertahankan aktivitas pertanian
mereka di kota dilarang, tetapi diberikan konsekuensi dalam
pelaksanaannya, salah satunya bisa dilakukan melalui pajak. Di
samping itu, aktivitas pertanian di perkotaan juga berfungsi untuk
menjaga keseimbangan lingkungan, seperti mengurangi polusi udara,
menjaga daerah resapan air, dan lain-lain.4) Adanya Koordinasi
antar Pusat, Provinsi, Kabupaten dan KotaDalam menentukan kebijakan
perencanaan nasional mengenai pemanfaatan ruang, pemerintah pusat
menetapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) berdasarkan
Peraturan Pemerintah No 47/1997. Salah satu poin yang terkandung di
dalamnya adalah mengenai pengendalian pemanfaatan ruang termasuk
aturan mengenai konversi lahan. Namun, peran pemerintah pusat masih
sebatas ini saja. Dalam pelaksanaannya tergantung pada pemerintah
provinsi dan pemerintah provinsi memiliki kewenangan mengatur
pelaksanaannya antar kabupaten atau kota. Sehingga dibutuhkan
kerjasama lintas daerah, provinsi dan dengan pemerintah pusat dalam
menetapan dan mengawasi kebijakan konversi lahan. Kebijakan yang
dilakukan di tingkat pusat meliputi:a) Penyelesaian konflik lintas
provinsi dan mengurangi kesenjangan antar wilayah provinsib)
Melaksanakan koordinasi kebijakan bagi kawasan tertentu seperti
kawasan perbatasan dan kawasan rawan bencana alamc) Melaksanakan
pembinaan terhadap daerah otonomi dan memberikan arahan bagi
terlaksananya RTRW daerahd) Pengawasan peraturan nasionale)
Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang pemerintah
pusat.Di tingkat provinsi, kebijakan yang dapat dilakukan
meliputi:a) Identifikasi potensi sumberdaya, kendala dan dampak
dari kebijakan yang ditetapkan secara nasionalb) Penyelesaian
konflik lintas kabupaten/kotac) Koordinasi kebijakan dan
pengembangan program strategis di tingkat provinsid) Melaksanakan
pembinaan terhadap daerah otonomi kabupaten dan kotae) Pengawasan
peraturan nasional di daerahf) Peningkatan kapasitas kelembagaan
penataan ruang di provinsi dan daerahSedangkan di tingkat
kabupaten/kota, kebijakan yang dapat dilakukan meliputi:a) alokasi
sumber daya khususnya sumber daya alam/lahan yang terbatasb)
Manajemen proyekc) Persetujuan pembangunand) Pelaksanaan kegiatane)
Evaluasi dan pengawasan di tingkat kabupaten/kota (Bappenas,
2001).
KESIMPULAN
Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dalam usaha melakukan pengendalian konversi lahan pertanian di
Indonesia sejak tahun 1992. Namun pelaksanaanya masih dirasa kurang
efektif. Belajar dari pengalaman yang dilakukan oleh Jepang dalam
melakukan pembagian kawasan, yaitu melalui kebijakan Urbanization
Promotion Area (UPA) dan Urbanization Control Area (UCA), kedua
kebijakan tersebut efektif mempertahankan lahan pertanian hingga
sekarang. Kawasan UPA dikhususkan untuk pembangunan dalam jangka
panjang, sedangkan kawasan UCA dikhususkan untuk pertanian dan
tidak boleh digunakan untuk melakukan pembangunan dalam bentuk
apapun. Berdasarkan pengalaman Jepang, kedua strategi tersebut baik
untuk diadopsi di Indonesia dalam upaya mempertahankan luas lahan
pertanian. Selain kebijakan pembagian kawasan, penguatan instrument
hukum, ekonomi, pemberdayaan komunitas dan kelembagaan serta
integrasi kebijakan dan pelaksanaanya oleh pemerintah pusat,
provinsi dan daerah pertlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPENAS, 2010]. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010.
Rencana Kebijakan Strategis Perluasan Areal Pertanian Baru Dalam
Rangka Mendukung Prioritas Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta,
Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS
[BAPPENAS, 2001]. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2001.
Diskusi Terfokus Penataan Ruang dalam Konteks Pembangunan
Berkelanjutan. Prosiding BAPPENAS.
[BPS, 2014] Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk 15 Tahun Ke
Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2014*).
http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2
(4 Desember 2014).
[BPS, 2014] Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk Indonesia
menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010.
http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1
(4 Desember 2014).
[DPTP, 2013] Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan. 2013.
Dinamika Pengembangan Serealia Lain Ke Depan. Buletin Pasca Panen
dan Serealia Lain 2 : 3-7
Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. 2013. Audit
lahan Pertanian. http://psp.deptan.go.id/index.php/page/lahan_audit
(14 Desember 2014).
Kementerian Sekretariat Negara RI. 2010. Penyusutan Luas Lahan
Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4617
(4 Desember 2014).
Luthfi Nasoetion, Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan
Implementasinya, dalam Kurnia et al (ed), Seminar Nasional
Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 2003, hlm. 11
Faryadi, E. 2006. Gerakan Petani dan Sengketa Agraria di
Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2006:hlm. 7
Tsubota, K. 2007. Urban Agriculture in Asia: Lessons from
Japanese Experience. Taipei: Food and Fertilizer Technology
Center.
Bengston, D. N., J. O. Fletcher, and K. C. Nelson. 2004. Public
Policies for Managing Urban Growth and Protecting Open Space:
Policy Instruments and Lessons Learned in the United States.
Landscape and Urban Planning 69: 271286.
Alterman, R. 1997. The Challenge of Farmland Preservation:
Lessons from a Six-Nation Comparison. Journal of the American
Planning Association 63 (2): 220243.
Peraturan Menteri Pertanian No. 81/Permentan/OT.140/8/2013.
http://perundangan.pertanian.go.id/admin/file/Permentan%20No.81%20Tahun%202013.pdf
(5 Desember 2014)
Nasution, L. I. 2003. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan
Implementasinya. Dalam Kurnia et al (eds). Seminar Nasional
Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Tjondronegoro, Sediono M.P. (2001), Agraria Penggerak Roda
Ekonomi, Bogor.
Ministry of Land, Inftrastructure, and Transport , Japan. 2003.
Introduction of Urban Land Use Planning System in Japan.
http://www.mlit.go.jp/common/000234477.pdf (13 Desember 2014)
Japan Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism.
2014. Statistical Handbook of Japan.
http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/index.htm (13 Desember
2014).
Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian. 2013. Luas
Lahan Pertanian di Indonesia. http://psp.deptan.go.id (13 Desember
2014)