Review : Peran dari Autophagy pada Fungsi Extravillous
Trophoblas pada Keadaan Hipoksia
I. Bildirici , M.S. Longtine , B. Chen
, D.M. Nelson
Abstrak
Autophagy berkembang dari penelitian terhadap ragi sampai penelitian
pada manusia. Meski sebelumnya digambarkan sebagai jalur kematian, autophagy
kini dianggap sebagai fenomena bertahan hidup yang penting dalam respon
terhadap stresor lingkungan pada sebagian besar organ yang terkena. Literatur
yang terus berkembang merupakan penelitian di dalam sel non-plasenta, sehingga
studi autophagy di dalam plasenta mulai tertinggal. Kami meninjau regulasi
autophagy, merangkum studi plasenta mengenai autophagy, dan menyoroti
potensi daerah untuk penelitian masa depan. Kami percaya bahwa penelitian
tersebut akan menghasilkan wawasan baru tentang bagaimana plasenta
melindungi kelangsungan hidup spesies dengan "memakan diri sendiri" (self-
eating).
1. Pendahuluan
Autophagy merupakan bahasa Latin yang berarti "memakan diri sendiri",
sebuah istilah yang sekarang menggambarkan fenomena biologis penting.
Autophagy adalah proses yang sangat diatur oleh dimana protein yang rusak,
organel terluka, dan organisme yang menyerang terkandung dalam vesikel
membrane-bound dobel yang disebut autophagosomes yang berfusi dengan
lisosom, yang menyebabkan degradasi muatan yang menghasilkan autolysosome
yang akan mendaur ulang biomolekul. Sebuah kaset gen autophagy ( Atg ) pada
awalnya digambarkan dalam ragi, Saccharomyces cerevisiae, dan sampai saat ini,
35 gen tersebut telah diidentifikasi, dan banyak diawetkan di dalam spesies mulai
dari jamur lendir sampai manusia. Apoptosis, autophagy, dan nekrosis pada
awalnya ditetapkan sebagai kematian sel tipe I, II , dan III. Namun, nomenklatur
ini tidak lagi relevan, karena autophagy dikenal sebagai pembantu kelangsungan
hidup sel dan jarang menyebabkan kematian sel. Selain itu , autophagy menurun
di dalam sel hewan selama penuaan in vivo dan in vitro, menghubungkan
prosesnya untuk umur panjang. Memang, pembatasan kalori merupakan
perangsang autophagy juga satu-satunya intervensi yang dikenal untuk
meningkatkan umur panjang. Kami di bawah ini meninjau stresor untuk
menginduksi, dan mekanisme untuk eksekusi autophagy dalam sel mamalia.
Selanjutnya kami menjelaskan tentang autophagy dalam plasenta, kami juga
akhirnya menyoroti bidang utama untuk penelitian ini akan menjelaskan disfungsi
plasenta yang berhubungan dengan penyakit kehamilan.
2. Apakah yang disebut autophagy?
Kehidupan hanya dapat terjadi berdasarkan keseimbangan homeostatis
antara sintesis dan degradasi. Untuk pergantian dari komponen selular, sel
eukariot dilengkapi dengan beberapa sistem degradasi, salah satunya adalah
proses autophagy. Autophagy adalah sebuah jalur transport dari sitoplasma
menuju lisosom. Ketika poteasome secara umum berguna untuk degradasi selektif
protein berumur pendek, hampir seluruh protein berumur panjang, yang
merupakan mayoritas materi selular dicerna oleh lisosom. Ada beberapa
klasifikasi dari autophagy, termasuk macroautophagy, microautophagy, dan
bentuk khusus autophagy (e.g pexophagy dan mitophagy). Proses ini dipisahkan
secara morfologis, tetapi dalam prisip memiliki kesamaan jalur biokimia dan
pertukaran dan mewakili kurang lebih jumlah besar proses degradasi. Di samping
jenis autophagy ini, yang hampir seluruhnya berhubungan, protein cytosolic
individual dapat di-degradasi secara lisosom melalui jalur langsung melewati
membran lisosomal, dalam proses yang disebut chaperone-mediated autophagy.
Macroautophagy diperkirakan memainkan peran penting dalam degradasi
interseluler. Pada artikel ini, kami menggunakan istilah autophagy sebagai
sinonim dari macroautophagy.
Selama proses autophagy, sebuah struktur membran selapism yang disebut
membran isolasi, mengelilingi sebagian dari sitoplasma dan organel.
Penggabungan dari ujung membran isolasi menghasilkan sebuah membran ganda
berbentuk bulat autophagosome berdiameter sekitar 1 µm. lalu autophagosome
bergabung dengan lisosom dan muatan terasing dan membran dalam di-degradasi
oleh lisosomal hidrolase. Autophagosome memiliki umur pendek dibandingkan
organela lainnya. Asam amino yang dihasilkan dari komponen sitosolik dapat
digunakan kembali oleh sel, karena itu, autophagy dapat dianggap sebagai sistem
daur ulang efisien. Hampir seluruh sel (tetapi tidak seluruhnya; ada beberapa
pengecualian), autophagy biasanya disupresi ke level basal. Beberapa kondisi,
termasuk kelaparan, hipoksia, stress oksidatif, infeksi pathogen, dan stimulasi
hormonal, dapat mencetuskan peningkatan dramatis dari autophagy. Pengaturan
dari autophagy tergantung dari tipe stimulasi dan diperantarai banyak faktor,
seperti yang diulas oleh Bildirici et al. penelitian kami telah membongkar infeksi
parvovirus B19 yang terinduksi mitophagy dalam eritrosit.
Autophagy dan autophagy terkait gen telah diimplikasikan dalam spektrum
luas permasalahan penyakit manusia termasuk penyakit Alzheimer, penyakit
Huntington, penyakit Parkinson, diabetes, penuaan, atrofi otot, dan miopati,
dengan peran tambahan dalam stem sel saraf dalam otak manusia dewasa, liver,
respon antioksidan, metabolism lemak, dan kanker. Autophagy telah dihungkan
dengan penyakit inflamasi seperti penyakit Chron.
Sel memperlihatkan rendahnya tingkat autophagy bahkan dalam kondisi
diet normal. Apakah peran dari autophagy basal ini? Dua penelitian independen
menggunakan tikus yang memenuhi syarat yang memiliki kekurangan Atg5 dan
Atg7 pada otaknya, secara berurutan, mendemonstrasikan bahwa hilangnya ini
dari jaringan otak mengakibatkan penyakit neurodegenerative. Walaupun tikus ini
tidak memiliki kecenderungan genetik terhadap penyakit tersebut, inklusi
sitoplasma dalam tubuh diakumulasi dalam neuron tikus. Jadi autophagy basal
kemungkinan penting untuk pembersihan. Karena itu, bukti yang terakumulasi
menganjurkan autophagy dan sistem proteasom menlindungi neuron terhadap
kumpulan kecenderungan protein mutan beracun (seperti protein mengandung
poliglutamin) yang menyebabkan penyakit neurogeneratif.
Gambar 1. Proses autophagy pada sel mamalia
3. Plasentasi Pada Kondisi Hipoksia
Hipotesis terbaru mengenai etiologi preeklamsia berfokus pada
dangkalnya invasi trofoblas dan plasentasi yang buruk. Sel induk trofoblas pada
manusia berdiferensiasi menjadi dua tipe sel, trofoblas villous dan ekstravillous
(EVT). Trofoblas invasive disebut EVT interstisial bermigrasi ke dalam lapisan
desidua endometrium dan EVT endovascular bermigrasi di sepanjang arteriol
spiralis. Invasi EVT ke dalam arteri spiralis dimulai pada awal kehamilan dan sel
trofoblas endovascular beragregasi dalam lumen pembuluh darah membentuk
“sumbat trofoblas”, untuk menunjang pertumbuhan embrio dan plasenta dalam
lingkungan rendah oksigen pada tahap awal kehamilan. EVT menginvasi desidua
maternal dalam keadaan yang buruk seperti kadar oksigen yang rendah (O2 2-5%)
dan konsentrasi glukosa yang rendah (1mM), sampai kehamilan 1 minggu. Seiring
masuknya EVT ke dalam uterus, sistem hypoxia inducible factor (HIF) memiliki
peran penting . setelah usia kehamilan 12 minggu, EVT endovascular menginvasi
arteri spiralis uterus, mengganti sel endotelialnya, dan berpartisipasi dalam
mendegradasi tunika media sel otot polos. Remodeling arteri spiralis ini penting
untuk menciptakan perfusi plasenta yang baik agar dapat menunjang pertumbuhan
janin.
Jalur pengiriman sinyal yang bertanggung jawab dalam memicu
autophagy rupanya berbeda tergantung dari tipe sel. Sebagai contoh, peningkatan
autophagy mitokondrial (mitofagi) selama hipoksia dianggap sebagai respon
adaptif, menurunkan kadar oksigen reaktif (ROS) dan menjaga integritas sel,
meskipun pada beberapa turunan sel glioma dan kanker payudara, hipoksia
berkepanjangan mendukung kematian sel autophagy. Sebagian besar respon kuat
terhadap hipoksia persisten berupa penghancuran aktif mitokondria melalui
autophagy mitokondria secara selektif. Secara luar biasa, fibroblast embrio tikus
(MEF) yang dikultur pada O2 1% menyebabkan penurunan massa mitokondrianya
sebanyak 75% dalam 48 jam melalui mekanisme autophagy yang dimulai oleh
ekspresi BNIP3 yang tergantung pada HIF1, yaitu suatu protein mitokondria yang
berkompetisi dengan beclin1 untuk berikatan dengan Bcl2 (B-cell CLL/lymphoma
2), sehingga melepaskan beclin1 untuk memicu autophagy. Pentingnya sifat
adaptif dari respon metabolic ini terhadap hipoksia terbukti dengan matinya MEF
yang mengalami defisiensi HIF1α ketika dikultur dalam kondisi hipoksik selama
72 jam disebabkan peningkatan kadar ROS secara dramatis. Sel-sel dapat
diselamatkan dengan ekspresi berlebihan dari BNIP3 atau PDK1 (pyruvate
dehydrogenase kinase, isozyme 1), atau dengan terapi menggunakan pengikat
radikal bebas. Sudah lama diketahui bahwa produksi ROS mitokondria
meningkat dalam kondisi hiperoksik. Namun, penelitian terbaru membuktikan
bahwa hipoksia akut juga menyebabkan peningkatan produksi ROS mitokondria,
yang diperlukan untuk menghambat aktivitas HIF1α hidroksilase. Paparan MEF
tipe liar terhadap hipoksia selama 48 jam menyebabkan penurunan kadar ROS,
bertolak belakang dengan MEF HIF1α dimana kadar ROS meningkat secara
nyata. Plasenta menghasilkan ROS yang mungkin berperan dalam stress oksidatif
bahkan dalam kehamilan normal sekalipun, tetapi keadaan ini meningkat pada
kehamilan dengan preeklamsia atau IUGR, menunjukkan bahwa stress demikian
dapat merubah fungsi plasenta melalui modifikasi kovalen dari struktur dan fungsi
protein.
Gambar 2. Autophagy mendukun fungsi EVT pada keadaan hipoksia secara
fisiologis. Invasi EVT interstitial dimulai pada usia kehamilan7-11 minggu,
dan terjadi remodeling vascular oleh EVT pada usia kehamilan 12-16
minggu.
4. Autophagy pada Embriogenesis dan Implantasi
Pada saat terjadinya embryogenesis, pengumpulan protein dai oosit
diperlukan untuk terjadinya oogenesis. Walaupun sebagian besar protein ini
diperlukan untuk pembentukan zygot (hasil pembuahan embrio), sisa dari protein
ini akan di degradasikan setelah terjadinya fertilisasi, dan terjadi pembentukan
sintesa protein yang baru yang dihasilkan oleh genom dari zygot. Pada tikus,
transkripsi gen dari zygot terdeteksi pada tingkatan akhir sel-tunggal, dan
kebanyakan dari RNA ibu akan di eliminasikan pada tahap sel-ganda. Pola dari
sintesa protein akan berubah secara drastic pada tahap empat sel sampai delapan
sel. Kadar basal dari autophagy sangat rendah pada oosit yang belum mengalami
fertilisasi, akan tetapi autophagy akan diaktifasikan segera setelah fertilisasi.
Dengan menggunakan spesifik Atg5 (autophagy-related 5) oosit pada hewan
percobaan, didapatkan bahwa Atg5-null oosit dapat terbentuk ketika terjadinya
fertilisasi dengan sperma wild-type, tetapi tidak dapat dihasilkan setelah tahap
empat sel dan delapan sel jika oosit difertilisasikan dengan sperma Atg5-null.
Rata-rata sintesis protein akan berkuran pada embrio yang mengalami defisiensi
autophagy, membuktikan bahwa kehilangan dari maternal factor oleh autophagy
sangat penting untuk perkembangan pre-implantasi pada mamalia.
Penelitian dengan hewan percobaan tikus dengan implantasi tertunda,
dikerjakan dengan perlakuan ovariektomi sebelum implantasi blastosit,
menunjukan ekspresi dari Atg7 dan LC3 pada blastosit, menjadi dormant dengan
eliminasi dari 17β-estradiol (E2), dibandingkan dengan blastosit yang teraktifasi
oleh E2, membuktikan bahwa autophagy diperlukan untuk mempertahankan daya
hidup blastosit dormant. Aktifasi dari autophagy juga terlihat pada massa sel
dalam. Pada sisi lain, E2 atau progesterone mengaktifasikan autophagy secara
berkelanjutan dengan penurunan dari aktifasi/forsforilasi dari mTOR (mammalian
target of rapamycin) pada sel epitel mamalia sapi. Progesteron juga diketahui
mempunyai peran yang sangat penting pada penumpukan sel NK darah tepi di
uterus. Peneliti melaporkan bahwa regulasi hormonal, menggunakan
progesterone, prolaktin, dan human chorionic gonadotropin, berperan pada
toleransi janin dengan memacu produksi dari hasil imunosupresif sel NK..
Regulasi hormone dari sel imun ibu berperan penting dalam proses implantasi,
akan tetapi masih belum dimengerti apakah hormone berperan pada autophagy
pada sel imun ibu atau sel stromal pada tempat implantasi.
Tikus yang kekurangan beclin 1, yang mana berperan pada proses
autophagy dan endositosi, menimbulkan kematian janin dini (E7,5 atau lebih dini)
dengan defek dari penutupan kanal proamniotik. Target delesi dari FIP200
(bagian yang penting dari protein Atg 17p autophagy pada ragi) pada tikus juga
menimbulkan kematian janin pada usia kehamilan pertengahan atau lanjut dengan
kegagalan pembentukan jantung dan degenerasi sel hati. Defek dari Ambra1
(molekul yang teraktifasi pada autophagy teregulasi beclin1) menyebabkan
kematian janin (E10-E14) dengan defek pada perkembangan neural tube pada
otak tengah dan otak belakang dan dapat disertai spina bifida. Oleh karena itu,
autophagy memiliki peran yang penting pada perkembangan janin, walaupun
masih belum dimengerti secara betul efek dari autophagy secara eksternal pada
embryogenesis secara eksternal.
5. Autophagy pada trofoblas ekstravilli dan trofoblas villi
Di plasenta, ekspresi LC3B terdeteksi pada sitotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas villi, serta kadar LC3-II/aktin lebih tinggi di bagian tepi
dibandingkan bagian tengah plasenta yang diambil dengan cara sectio caesarea.
Kadar LC3-II/aktin juga lebih banyak didapatkan pada plasenta yang diambil
dengan sectio caesarea dibandingkan yang diambil dengan persalinan per
vaginam. Kematian sel autophagy di epitel amnion mungkin berhubungan dengan
rupture membrane pada plasenta. Atg9L2, homolog mamalia dari protein
autophagy (Atg9p), pertama ditemukan pada ragi, terutama diekspresikan dalam
plasenta dan kelenjar hipofisis, sementara homolog lainnya Atg9L1 (Atg9A)
terutama ditemukan pada jaringan manusia dewasa. Atg9L1 berfungsi sebagai
regulator imunitas humoral, stimulasi DNA double strand, dan protein autophagy
esensial. Semua tikus yang diberi Atg9L1 mati dalam 1 hari setelah persalinan
dan Atg9L2 tikus ternyata lebih diekspresikan pada fase embrionik dibandingkan
fase dewasa. Atg9L2 terbukti diekspresikan pada sitotrofoblas primer manusia,
namun kadarnya lebih rendah secara signifikan dalam sinsitiotrofoblas. Peran
Atg9L2 pada plasenta dan janin masih belum jelas, namun Atg9L2 mungkin
terlibat dalam fase embrionik awal seperti halnya Atg5.
Pada saat EVT bermigrasi dari villi dan menginvasi desidua maternal,
EVT mengembangkan fenotipe progresif dan tidak bisa berproliferasi lagi.
Hipoksia mengurangi kapasitas invasi trofoblas primer dan ekspresi molekul yang
berkaitan dengan fenotipe trofoblas invasive, seperti integrin α1 dan matrix
metalloprotease-2 (MMP-2). Di sisi lain, pada kultur sel HTR-8/SVneo, suatu
jenis sel EVT, 1% oksigen meningkatkan invasi sel dengan 20% oksigen, dengan
meningkatkan regulasi ekspresi reseptor pengaktivasi plasminogen tipe urokinase.
Terdapat dua pemikiran mengenai efek hipoksia pada invasi trofoblas di trimester
pertama kehamilan manusia. Pada penelitian menggunakan sel HTR-8/SVneo,
analisis GeneChip menunjukkan sel HTR-8/SVneo agak berbeda dengan EVT
primer dalam ekspresi gen spesifik EVT. Penelitian ini menggunakan jenis sel
EVT HChEpC1b yang bersifat immortal dengan cara menginfeksi sel tersebut
dengan vector yang mengekspresikan retrovirus yang mengandung human
papilloma virus E6 & E7 tipe 16 dalam kombinasi dengan human telomerase
reverse transcriptase, yang nomor kromosomnya normal dan tidak memiliki
aktivitas tumorigenik. Jenis sel ini juga menunjukkan kapasitas invasi saat
keadaan hipoksia. Untuk menunjukkan masalahnya, perlu digunakan EVT primer.
Selain itu, EVT mulai menginvasi desidua ketika bertemu dengan konsentrasi
oksigen yang lebih tinggi (5% O2) dibandingkan di dalam plasenta. Memantau
aktivasi autophagy & invasi EVT pada EVT primer diperlukan pada konsentrasi
oksigen 2% dan 5%.
Hipoksia menginduksi autophagy pada trofoblas primer [24,26]. Dalam
memperjelas peran spesifik dari autophagy dalam fungsi trofoblas, kita membuat
sel autophagy –deficient dengan stabil transfecting ATG4BC74A, sebuah mutan
tidak aktif ATG4B, yang menghambat degradasi autophagy dan lipidasi dari
paralog MAP1LC3B [27]. Autophagy yang diinduksi oleh hipoksia, meningkatkan
kapasitas invasif lapisan sel EVT, HTR-8/SVneo dan HchEpC1b [24]. Invasi di
bawah keadaan hipoksia secara signifikan menurunkan lapisan sel EVT
autophagy -deficient, dibandingkan dengan lapisan sel EVT tipe liar. Fungsi EVT,
invasi dan remodeling vaskular, yang justru mengembangkan plasentasi, ditopang
oleh autophagy yang diinduksi hipoksia setidaknya dalam lapisan sel EVT. Dalam
lapisan sel ini, tidak ada perbedaan dalam ekspresi HIF1a lewat pengamatan
antara kontrol dan lapisan sel EVT autophagy – supressed [24]. Ada beberapa
dokumen yang berhubungan dengan jalur HIF1 terhadap invasi EVT. Penurunan
ekspresi HIF1a disebabkan oleh siRNA secara dramatis mengurangi invasi sel
HTR8/SVneo pada keadaan hipoksia dan normoxia [28]. Autophagy diinduksi
hipoksia dimodulasi oleh inaktivasi mTOR via AMPK (50 - AMP –activated
protein kinase) [29]. Rapamycin atau siRNA - dimediasi mTOR knockdown,
pengaktivasi autophagy, mengurangi keinvasifan sel HTR8/SVneo pada keadaan
normoxia [30]. Selain itu, Atg5 Knockout , tapi bukan tipe liar, MEFs tidak
menunjukkan aktivasi autophagy pada keadaan hipoksia [31]. Dengan demikian,
Atg5 memainkan peran penting dalam autophagy yang diinduksi hipoksia. Dalam
trofoblas manusia primer, menonaktifkan Atg7 juga mengurangi autophagy [26].
Secara bersama-sama, autophagy mempercepat invasi EVT pada keadaan
hipoksia, dan penurunan di HIF1a atau mTOR tampaknya secara substansial
menghambat invasi EVT. Selain itu, remodeling vaskular oleh lapisan sel EVT
juga terhambat dalam sel EVT autophagy –supressed, dibandingkan dengan
kontrol sel, menunjukkan pentingnya autophagy dalam fungsi EVT (Gambar 2).
Aktivasi autophagy oleh hipoksia terutama tergantung pada jalur HIF1, tapi jalur
independen tampaknya ada, termasuk AMPK - mTOR dan PKCd (protein kinase
Cd) - JNK1 cascades yang bertanggung jawab atas sinyal yang memicu
autophagy. HIF1a sangat diperlukan untuk invasi EVT pada keadaan normoxia
dan hipoksia. Selain itu, autophagy diinduksi oleh hipoksia mungkin sebagian
mTOR - dependent, meskipun hipoksia - merangsang ER stres juga memainkan
peran.
6. Autophagy pada Preeklampsi dan IUGR
Dilaporkan bahwa autophagy terjadi di EVT di awal jaringan plasenta,
yang terjadi pada keadaan hipoksia fisiologis. Seperti disebutkan sebelumnya,
invasi dan remodeling vaskular pada keadaan hipoksia secara signifikan dikurangi
oleh defisit autophagy di sel EVT. Selanjutnya, sENG, yang jumlahnya
meningkat pada kasus preeklampsi, menekan invasi sel EVT melalui inhibisi
autophagy. Proses inhibisi invasi EVT oleh sENG ini diperbaiki oleh terapi TNF-
B dengan dosis dependen. Dosis rendah dari sENG juga menginhibisi penggantian
sel endotel vena umbilikalis (HUVECs) pada sel EVT. Ini merupakan laporan
pertama yang menunjukan peran autophagy pada fungsi sel EVT dibawah
keadaan hipoksia. Mengenai invasi EVT lebih lanjut, telah ada beberapa
penelitian yang menghubungkan TGF-B dengan inhibisi invasi EVT. Di sisi lain,
ada penelitian mengenai augmentasi invasi EVT menggunakan TGF-B. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa TGF-B menetralisasi efek sENG, sehingga terjadi
pemulihan dari invasi sel HTF-8/SVneo dibawah tekanan oksigen 2%,
menyerupai hipoksia fisiologi di awal kehamilan, tetapi TGF-B tidak
menunjukkan adanya efek terhadap invasi sel HTR-8/SVneo dibawah tekanan
oksigen 20%. Selain itu, TNF-B telah terbukti menginduksi pembentukan
autofagosom dan meningkatkan ekspresi Beclin 1, Atg5, dan Atg& mRNA pada
sel hepatoma, dan meningkatkan proses autophagy pada sel karsinoma payudara.
Hipoksia, yang menginduksi autophagy pada EVT, melawan ekspresi gen di
EVT, dibandingkan dengan yang pada keadaan normoksia. Meskipun masih
belum diketahui bagaimana TGF-B mempengaruhi invasi primer EVT, TGF-B
mungkin memperbaiki invasi EVT dibawah keadaan hipoksia dengan
berantagonis dengan inhibisi autophagy sENG namun tidak memperkuat invasi
sel EVT.
Hipoplasia plasenta yang hipoksia, yang menyebabkan komplikasi, yaitu
kerusakan bentuk vili karena stres oksidatif, adalah penyebab preeklampsi dan
IUGR. Ekspresi LC3B mRNA atau protein secara signifikan meningkat di
plasenta dari pasien dengan preeklampsi, dibandingkan dengan kehamilan normal.
Peningkatan jumlah fokus LC3B, sebuah penanda autophagy, di vili trofoblas
diobservasi pada kasus preeklampsi dengan IUGR atau idiopatik IUGR plasenta,
dibandingkan dengan kehamilan normal, mengindikasikan aktivasi autophagy
pada vili trofoblas pasien preeklampsi dan IUGR. SQSTM1, sebuah protein yang
secara spesifik dicerna pada proses autophagy, terakumulasi pada sel autophagy,
menandakan inhibisi autophagy. Akumulasi SQSTM1 pada sinsitiotrofoblas tidak
diobservasi pada preeklampsi maupun plasenta normal, sesuai dengan aktivasi
autophagy di sinsitiotrofoblas. Di sisi lain, ekspresi SQSTM1 secara signifikan
lebih tinggi pada sel EVT di plasenta dengan preeklampsi. Secara bersamaan,
nampaknya ada perbedaan pada aktivitas autophagy antara sinsitiotrofoblas
dengan EVT pada plasenta dengan preeklampsi.
Gambar 3. Ekspresi dari beclin 1 antara preeclampsia dan IUGR masih
kontroversial. Disisi lain, ekspresi dari BNIP3 berpengaruh pada aktivasi
dari autophagy pada keadaan hipoksia berat. Perbaikan dari autuphagy dari
EVT pada preeclampsia diinduksi oleh sENG. sENG mungkin menghalangi
sel Treg, menghasilkan inflamasi pada plasenta. Terdapat perbedaan antara
aktifasi autophagy antara preeklampsi dan IUGR.