BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Industralisasi dianggap sebagai landasan strategi pembangunan karena
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan manusia, namun dibalik dari itu industri juga memberikan dampak
terhadap lingkungan, menyebabkan polusi dan degradasi, sehingga dalam
mengelola masalah yang berhubungan dengan polusi udara, maupun sumbedaya
air membutuhkan biaya yang tinggi pula (Adebayo et al, 2008).
Dampak yang ditimbulkan limbah sangat berfariasi tergantung dari jenis
limbah, volume, jenis industri dan penggunaan produk oleh masyarakat, limbah
industri merupakan sumber utama yang menyebabkan pencemaran air pada saat
ini dan banyak fakta menunjukkan peningkatan polusi setiap tahun terutama oleh
Negara-Negara yang maju industrinya, tingkat pembuangan limbah domestik dan
industri sangat berfariasi serta jumlah besar yang tidak diproses lebis lanjut
menyebabkan kualitas perairan menjadi tidak stabil serta kemampuan badan air
tidak mampu mengencerkan terutama limbah cair sehingga ketersedian kuantitas
yang cukup dan kuantitas air yang memadai menjadi terancam. Regulasi yang
dihasilkan limbah industri mengejar hasil dan keuntungan yang tinggi tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan dan keberlanjutan ekologi yang pada
akhirnya menimbulkan bahaya kesehatan terhadap organisme dan manusia
odumosu, 1992. Ogedengbe dan akinbile, 2004. Sangodoin, 1991.
2
Pengawasan kualitas air di Negara yang berkembang sangat tidak memadai,
terutama limbah perkotaan dan limpasan. Penggunaan bahan beracun dan
berbahaya seperti logam berat di anak sungai kampala di Uganda yang tidak
terkontrol menyebabkan kekurangan oksigen terlarut, meningkatkan kebutuhan
oksigen biologis (BOD). Hal ini diakibatkan oleh dua faktor utama yaitu pertama
percampuran secara kimiawi dan emisi dari industri dan transportasi dan yang
kedua timbal yang bersumber dari industri, pemukiman komersil dan transportasi
(K. Sekabira et al, 2010).
Kontribusi pencemaran air tanah merupakan hasil buangan polutan yang tidak
terkonrol baik sampah organik maupun anorganik. Pada waktu hujan polutan
tersebut akan mengalami infiltrasi ke dalam air tanah secara lateral maupun
vertical menyebabkan terjadinya kontaminasi. Limpasan yang banyak
mengandung zat polutan yang beracun seperti logam berat memberikan dampak
negatif terhadap ekosistem perairan (Forsithe, 2004). Partikel kecil dalam air
sangat berperan dalam menyerap beberapa jenis polutan kemudian diendapkan
kedasar perairan danau dan sungai, kombinasi banyaknya pertikel yang tercemar
membentuk endapan sedimen beracun (Ashworth, 1996).
Tempat pembuangan sampah memberikan kontribusi pencemaran, terbukti
dapat menurunkan parameter kualitas perairan diantaranya menurunkan tingkat
oksigen terlarut, meningkatkan kebutuhan oksigen biologis dan kimiawi,
menurunkan alkalinitas dan pH yang tidak memungkinkan untuk budidaya ikan.
Dampak yang paling besar ditemkan pada pagian perairan yang dekat dengan
tempat pembuangan yang berhubungan langsung dengan badan perairan, selain itu
3
badan perairan juga terkontaminasi dengan micro-organism yang dapat dapat
menurunkan kualitas lingkungan dan berdampak terhadap kesehatan manusia
yang mengonsumsi ikan yang terkontaminasi, sehingga tempat pembunagan yang
dapat diperbolehkan adalah tempat yang jauh dari badan perairan (Agatha A.
Nwabueze, 2011).
2. Tujuan Dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengkaji literature yang terkait
dengan bagaimana pengelolaan limbah yang dihasilkan baik oleh industri,
domestik, urbanisasi dan tingkat kesejahteraan. Arkeolog E.W. Haury dalam
sebuh artikelnya menyatakan bahwa tingkat sisial budaya sangat berhubungan erat
dengan penumpukan sampah yang dihasilkan sebagai symbol dan atau gaya
hidup, dalam upaya pemenuhan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan hasil
penemuan melalui eksplorasi menggambarkan bahwa perubahan tinggkat
kebudayaan klasik dengan gaya hidup yang sederhana sangat kecil atau bahkan
tidak menghasilkan limbah yang mengancam sumbedaya perairan, namun sejalan
dengan perubahan kemajuan system kebudayaan sebagai indikator penghasil
limbah yang sangat kompleks berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan
kemakmuran seperti pemenuhan produk domestik bruto, konsumsi energy dan
privat konsumsi akhir Bingemer dan Crutzen, 1987; Richards, 1989;. Rathje et al,
1992; Mertins et al, 1999;. US EPA, 1999; Nakicenovic et al,. 2000; Bogner dan
Matthews, 2003; OECD, 2004). Maka saat ini setiap Negara berusahan
mengurangi libah yang dihasilkan dengan tujuan untuk mendorong kekuatan
pertumbuhan ekonomi dan meminimalkan limbah yang dihasilkan.
4
Tantangan yang dihadapkan Negara-negara maju dan berkembang saat ini
adalah bagaimana, menampung, mendaur ulang dan mengatasi peningkatan
jumlah yang dihasilkan baik cair maupun padat. Dasar dari pembangunan
berkelanjutan adalah pembentukan pengelolaan limbah yang efisien, efektif dan
benar-benar berkelanjutan. Harus lebih ditekankan pada kesehatan masyarakat,
keselamatan lingkungan, kobenefit yang diperoleh dari pengelolaan limbah yang
efektif, meningkatkan kualitas hidup, mencegah kontaminasi ekosistem secara
menyeluruh, melestarikan sumberdaya alam dan memberikan energy yang
terbarukan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Program Perencanaan Pemantauan Kualitas Air
Pemantauan rutin dan penilaian kualitas air merupakan dua hal penting oleh
lembaga pengawasan. Data kualitas air yang dikoleksi harus benar-benar dinilai
dan dievaluasi, dengan tujuan pengelolaan yang efektif dengan pertimbangan
kesehatan manusia dan perlindungan lingkungan. Pemantauan kualitas air yang
efektif dan efisien jika benar-benar melaui suatu perencanaan dan
diimplementasikan. Perencanaan yang matang harus dilakukan sebelum
pengumpulan data untuk memastikan bahwa situs sampling, frekwensi sampling,
dan parameter kualitas air disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan.
2.1.1. Koleksi Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air merupakan faktor penting dalam usaha pemantauan
dan pengelolaan, beberapa parameter yang diperoleh secara langsung dapat
menilai dan memprediksi penyebab terjadinya permasalahan baik atau tidaknya
kualitas suatu perairan. Monitoring awal yang dilakukan adalah untuk
mendapatkan informasi kegiatan pada lokasi penelitian yang dapat mempengaruhi
kualitas air, misalnya sumber limbah dari manusia maupun hewan ternak, dan
kegitan industri serta kegiatan lain yang potensial dapat menghasilkan polutan.
Mengalisis parameter penting dilakukan agar dapat mengetahui resiko yang
ditimbulkan, potensi yang menimbulkan keresahan publik, dan kemungkinan
penyebab permaslahanya dari instalasi pengelolaan limbah sehingga menimbulkan
6
dapak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Suhu dapat mempengaruhi
oksigen terlarut,
2.1.2. Parameter Fisik
2.1.2.1. Suhu
Kisaran suhu antara 40C dan diatas 35
0C akan mematikan
terutama pada udang (New, 1990). Perubahan suhu dapat disebabkan dari
berbagaai hal diantaranya adalah buangan limbah panas, pangaruh musim
harian, bulanan dan tahunan (iklim global). Suhu dapat mempengaruhi
oksigen terlarut, penurunan suhu dibawah optimum juga dilaporkan dapat
menghambat pertumbuhan organisme akuatik. Suhu juga sangat perperan
dalam proses fisiologis hewan air, diantaranya berfungsi sebagai
pengendali enzimatik dalam untuk menurunkan energi aktivasi,
mempercepat reaksi dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya.
Dalam beberapa percobaan menemukan bahwa Aktivitas enzim
sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara
35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah
optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara
bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C
semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-
benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman &
Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 180-23
0C
atau maksimal 400C karena pada suhu 45
0C enzim akan terdenaturasi
7
karena merupakan salah satu bentuk protein. (Tranggono & Setiadji,
1989).
Suhu adalah variabel lingkungan penting untuk organisme akuatik
karena suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan, metabolisme, gas
(oksigen) terlarut dan proses reproduksi ikan. Kisaran suhu yang optimal
untk pertumbuhan ikan patin adalah 25-300C (Susanto, 2009). Lebih lanjut
Ruth dan Reed (2009) menjelaskan bahwa parasit protozoa ―Ich‖ dapat
berkembang dengan cepat disebabkan oleh kualitas air yang jelek
khususnya suhu air. Dimana suhu memiliki pengaruh yang besar pada
seberapa cepat siklus hidup untuk parasit "Ich" ini. Pada suhu hangat
(75-790 F), siklus hidup selesai dalam waktu 48 jam yang berarti
perkembangan dan penyebaran dari parasit ini sangat ditentukan oleh
kualitas air terutama suhu dari media pemeliharaan. Suhu air juga sangat
mempengaruhi seluruh aktivitas pada proses reproduksi organisme akuatik
(OECD, 2006).
2.1.2.2. Padatan Terlarut Total (TDS) dan Padatan Tersuspensi Total
(TSS)
Secara fisual padatan tersuspensi total dapat mempengaruhi
tingkat ketransparansi dan warna air. Sifat transparan air terkait dengan
produktifitas. Transparan yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi.
Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi
tinggi. Padatan terlarut total mencerminkan jumlah kepekatan padatan
dalam suatu contoh air. Penentuan padatan terlarut total dapat cepat
8
menentukan kualitas air, caranya dengan mengukur derajat konduktifitas
air. Derajat konduktivitas air sebanding dengan padatan terlarut total
dalam air tersebut. Pada umumnya suatu danau menjadi eutrofikasi bila
padatan terlarut total melebihi 100 bpj (bagian per juta) (sastrawijaya,
2000).
Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter >1 µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter
pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa
ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan
dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju
fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun,
yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai
makanan.
Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di
perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi
penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses
fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan
mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara
langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan
karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi
akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi
regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin
9
meningkat. Ditambahkan oleh Nybakken (1992), peningkatan kandungan
padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman
eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun.
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis
perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi
kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit
pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan
air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik
dapat mengurangi nilai guna perairan.
Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air
yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori
0,45 µm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik
yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama
terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum
dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung
molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air
buangan rumah tangga dan industri pencucian.
2.1.2.3. Kekeruhan dan Kecerahan
Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas
kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang.
Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel
suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri,
plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat
10
optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan
Cornwell, 1991).
Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau
lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-
partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya
sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik
serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut
Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan
penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis
fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi
turun. Di samping itu Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai
kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi
efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang
ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi,
2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan
tersuspensi, zat-zat terlarut, partikelpartikel dan warna air. Pengaruh
kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan
tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan
nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).
11
Dalam Rukaesih (2004) bahwa padatan terlarut yang tinggi
biasanya perairan dalam kondisi basa atau pH tinggi. Nilai TDS perairan
sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan
pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri).
2.1.2.4. Warna Perairan
Pada umumnya warna perairan dikelompokkan menjadi warna
sesungguhnya dan warna tampak. Menurut Effendi (2003), warna
sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya disebabkan oleh
bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak
hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi.
Warna perairan timbul disebabkan oleh bahan organik dan anorganik,
keberadaaan plankton, humus, dan ion-ion logam seperti besi dan mangan.
Oksidasi besi dan mangan mengakibatkan perairan bewarna kemerahan
dan kecoklatan atau kehitaman, sedangkan oksidasi kalsium karbonat
menimbulkan warna kehijauan. Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin
dan asam humus dapat menimbulkan warna kecoklatan di perairan.
Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air,
sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Untuk kepentingan
estetika dan pariwisata, warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo,
sedangkan untuk kepentingan air minum warna air yang dianjurkan adalah
5–50 unit PtCo (Santika, 1997; Effendi, 2003).
12
2.1.3. Parameter Kimia
2.1.3.1. pH
Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas
ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan
seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan
dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan
bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa
(Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan
menaikkan kebasaan air, sementara adanya asamasam mineral bebas dan
asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan
pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan
industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.
Ion-ion hidrogen (asam) dan ion-ion hidroksil (basa) keduanya
dihasilkan dari pengisian air. dengan demikian, setiap perubahan
konsentrasi salah satu ion ini akan membawa perubahan dalam konsentrasi
ion lainnya. Karenanya, suatu skala bilangan yang disebut skala pH
digunakan untuk mengukur keasaman atau kebasaan air dan bilangan
tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen secara tidak langsung. pH di
difinisikan sebagai logaritma dari resprokal aktivitas ion hidrogen dan
secara matematis dinyatakan sebagai pH =
. pH juga didefinisikan
sebagai logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang
mempunyai skala antara 0 sampai 14. pH mengindikasikan apakah air
tersebut netral, basa atau asam.
13
pH merupakan variabel kualitas air yang dinamis dan
berfluktuasi sepanjang hari. Pada perairan umum yang tidak dipengaruhi
aktivitas biologis yang tinggi, nilai pH jarang mencapai diatas 8,5, tetapi
pada tambak ikan atau udang, pH air dapat mencapai 9 atau lebih (Boyd,
2002). Perubahan pH ini merupakan efek langsung dari fotosintesis yang
menggunakan CO2 selama proses tersebut. Karbon dioksida dalam air
bereaksi membentuk asam seperti yang terdapat pada persamaan di bawah
ini : HCO3- +H
+.
Ketika fotosintesis terjadi pada siang hari, CO2 banyak terpakai
dalam proses tersebut. Turunnya konsentrasi CO2 akan menurunkan
konsentrasi H+ sehingga menaikkan pH air. Sebaliknya pada malam hari
semua organisme melakukan respirasi yang menghasilkan CO2 sehingga
pH menjadi turun. Fluktuasi pH yang tinggi dapat terjadi jika densitas
plankton tinggi. Tambak dengan total alkalinitas yang tinggi mempunyai
fluktuasi pH yang lebih rendah dibandingkan dengan tambak yang
beralkalinitas rendah. Hal ini disebabkan kemampuan total alkalinitas
sebagai buffer atau penyangga (Boyd, 2002b).
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan
toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh
H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan
dengan nilai pH rendah. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD5,
fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo and Best, 1992).
14
Udang mampu mentolerir pH pada kisaran 7-9. Air yang terlalu
asam (pH<6.5) dan air yang terlalu basa (pH>10) dapat merusak insang
udang dan mengganggu pertumbuhan. Walaupun udang dapat hidup pada
kisaran pH 7-9, tetapi pH sebaiknya dijaga pada kisaran 7.2-7.8. Hal ini
berkaitan dengan toksisitas amonia, dimana toksisitas amonia semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pH. Pada pH kurang dari 7.8
fraksi amonia dalam total amonia nitrogen berkurang sekitar 5% dan pada
pH lebih dari 9 sekitar 50% total amonia nitrogen berada dalam bentuk
amonia (Van Wyk dan Scarpa, 1999). pH rendah mengindikasikan
konsentrasi ion hidrogen yang tinggi, sedangkan pH tinggi
mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen yang rendah. Nilai pH berkisar
antara 0-14. Air disebut asam jika pH< 7, netral jika pH 7, dan basa/alkali
jika pH> 7 (Van Wyk dan Scarpa, 1999). Pengaruh pH terhadap organisme
akuatik menurut Swingle (1969) dalam Boyd (1982) dapat dilihat pada
Gambar berikut :
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap Organisme Akuatik
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH
dan menyukai pH antara 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses
biokimiawi perairan , misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH
15
yang rendah. Pengaruh nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat
dilihat pada table di bawah ini :
Tabel 1: Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH Pengaruh Umum
6.0-6.5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak
mengalami perubahan
5.5-6.0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos
semakin tampak.
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
5.0-5.5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,
perifilton dan bentos semakin besar
2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa
zooplankton dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
4.5-5.0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,
perifilton dan bentos semakin besar
2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan
bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat Sumber : modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003
2.1.3.2. Alkalinitas
Alkalinitas adalah kemampuan air dalam menyangga atau
menetralisir asam-asam lemah, walaupun asam lemah atau basah lemah
juga sebagai penyebabnya. Penyusun alkalinitas diperairan adalah
bikarbonat (HCO3-), karbonal (CO3
-), dan hidroksida (OH
-) garam dari
asam lemah lain seperti borat (H2SO3-), silikat (HSiO3
-), fosfat (HPO4
2-dan
H2PO4-), sulfide (HS
-), ammonia (NH3) juga berkontribusi dalam
menyumbanh alkalinitas walaupun dalam jumlah yang sedikit.
16
Alkalinitas juga didefenisikan sebagai gambaran kapasitas air
tuntuk menetlalkan asam atau kuantitas anion di dalam air yang dapat
menetralkan kation hidrogen. Alkalinrtas juga diartikan sebagai kapasitas
penyangga terhadap perubahan pH perairan. Secara khusus, alkalinitas
sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas menyangga
dari ion bikarbonat, dan sampai tahap terlentu terhadap ion karbonat dan
hidroksida dalam air. Semakin tinggi alkalinitas maka kemampuan air
untuk menyangga lebih tinggi sehingga fluktuasi pH perairan semakin
rendah. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium
karbonat.
Pada keadaan tertentu terutama pada siang hari ganggang dan
lumut dapat menyebabkan turunnya kadar karbondioksida dan bikarbonat.
Dalam keadaan seperti ini kadar karbonat dan karbondioksida naik, dan
menyebabkan pH larutan larutan naik. Bikarbonat yang terdapat pada
perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga
perairan sebagai penyangga perairan perubahan pH yang drastis. Jika basa
kuat ditambahkan kedalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi
dengan asam bikarbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya
menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan kedalam perairan maka asam
tersebut mengkonversi karbonat menjadi bikarbonat menjadi asam
karbonat. Hal ini dapat menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total
yang tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988).
17
Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air dan
limbah cair bereaksi membentuk endapan hidroksida yang tidak larut. Ion
hydrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas,
sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengatahui kisaran
pH yang optimum dalam penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai
alkalinitas sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion
hydrogen yang dilepaskan pada proses koagulan.
Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan soda abu dan kapur yang diperlukan
dalam proses pelunakan dengan metode pengendapan. Selain itu,
alkalinitas merupakan pengendali korosi, juga salah satu faktor yang
penting dalam penentuan kemampuan dari limbah secara biologi.
Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh (Ridwan Affandy
at al, 2004) menjelaskan bahwa media yang baik untuk mendukung
kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm. Beberapa
parameter fisik kimia air dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh
alkainitas media pemeliharaan sebagai kelangsungan hidup ikan, laju
pertumbuhan harian, tingkat konsumsi oksigen, dan tekanan osmotik
media dalam pemeliharaan. Kisaran alkalinitas dan kesadahan bagi ikan
berkirasa 20-300 ppm, kisaran optimal alkalinitas untuk budidaya ikan
secara intensif berkisar 100-150 ppm, selain itu alkalinitas juga berfungsi
sebagai penyangga pH, ternyata melalui kalsiumnya penting dalam
18
mempertahan kepekaan membran sel dalam jaringan dan otot (Boyd, 1988,
Wedenmeyer, 1996 dan dan Smit, 1982).
2.1.3.3. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dibutuhkan oleh semua
jasad hidup untuk respirasi, proses metabolisme atau pertukaran zat
yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.
Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam
suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor,
seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara
seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan
bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin
rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada
lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses
difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis.
Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen
terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen
yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik Keperluan organisme terhadap oksigen relatif
bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan
oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relative lebih sedikit apabila
19
dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis
ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki
daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut
(Wardoyo, 1978). Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm
dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung
kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen
terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan
sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH
menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk
kepentingan wisata bahari dan biota laut.
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas
perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan
khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan
organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada
akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik,
oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi
lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan
reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk
membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami
20
maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air
buangan industri dan rumah tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai
pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain
yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga
sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme
tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan
senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan
tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri
dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu
diperkaya kadar oksigennya.
2.1.3.4. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai
banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan
bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik
diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai
bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi
(Pescod,1973).
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk
menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat
penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara.
Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang
menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh
21
organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang
ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi
yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus
bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada
di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada
pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya
oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting
diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya
berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C (Sawyer & Mc Carty, 1978).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan
bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan
hasil akhir karbon dioksida (CO20) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD
tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup
bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2
dan H2O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari
aktifitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat
dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya selama
pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang
merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang
diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik
terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya di
laboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa
selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD
22
5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan
70-80% dari nilai BOD total (Sawyer & Mc Carty, 1978). Penentuan
waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil
oksidasi ammonia (NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui
bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi
nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD.
Reaksi kimia yang dapat terjadi adalah :
Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut,
sehingga perlu diperhitungkan.
2.1.3.5. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)
Kebutuhan oksigen kimia merupakan oksigen yang dibutuhkan
untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi. COD adalah parameter
yang menunjukkan banyaknya senyawa organik yang dapat dioksidasi
dalam limbah cair. Senyawa organik tersebut akan dioksidasi oleh reagen
yang merupakan oksidator. COD dinyatakan sebagai mg O2/1000 mL
larutan sampel. Bahan buangan tersebut dioksidasi oleh kalium bikhromat
dalam suasana asam yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxygen
agent) menjasi gas CO2 dan H2S serta sejumlah ion krom.
Reaksi yang terjadi pada metode refluks sebagai berikut :
23
Dalam pengukuran nilai COD selalu besar dari nilai BOD
karena senyawa anorganik juga bisa ikut teroksidasi selama proses.
Kenyataanya hampir semua zat organik (95-100%) dapat dioksidasi oleh
oksidator kuat seperti kalium permanganant dalam suasana asam. Makin
tinggi nilai COD maka semakin tinggi pula oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi senyawa organik pencemar. Nilai COD pada perairan yang
normal adalah berkisar <20 mg/L.
Kelebihan pengukuran COD dibandingkan BOD adalah dapat
menguji air limbah yang beracun, yang tidak dapat di uji secara BOD
karena bakteri akan mati secara membutuhkan waktu pengujian lebih
singkat yaitu 3 jam.
2.1.3.6. Salinitas
Salinitas didefenisikan sebagai total konsentrasi dari semua ion
yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang
setara dengan gram per liter. Sifat osmotik air berasal dari seluruh
elektrolit yang larut dalam air tersebut. Semakin tinggi salinitas, semakin
tinggi konsentrasi elektrolit. Salinitas dapat mempengaruhi aktivitas
fisiologi organisme akuatik karena pengaruh osmotiknya, ditinjau dari
aspek fisiologis, organisme akuatik dapat dibagi menjadi dua kategori
sehubungan dengan mekanisme osmolaritas media (salinitas), yaitu
24
osmokonformer dan osmoregulator. Oleh karena itu, osmolaritas cairan
tubuhnya selalu berubah sesuai dengan kondisi osmolaritas media
hidupnya, salinitas juga mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Boyd,
1990, dan Farraris et al, 1986).
Besarnya konsentrasi salinitas pada suatu perairan tawar seperti
sungai dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan bakteri
facel. Bakteri fecel bersifat haloter haloteran lemah yaitu hidup pada
toleransi salinitas rendah Junidar (1996). Salinitas dapat mempengaruhi
tekanan osmositik pada mikroorganisme. Tekanan osmotik terjadi karena
akibat dari zat terlarut didalam sel dan diluar sel tidak sama. Umumnya
mikroorganisme akan tumbuh dengan baik dalam substrat yang memiliki
tekanan yang sedikit lebih rendah dari tekanan osmotik didalam selnya.
Bakteri tidak dapat tumbuh pada salinitas 10%, Aeromonas
hydrophyla tumbuh dan perkembang dengan baik pada salinitas 0-4%, dan
pada salinitas 5% bakteri ini sudak tidak mampu mengalami pertumbuhan.
Sedangkan Bacyllus sp. Memiliki toleransi terhadap salinitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Aeromonas hydrophyla (Nurlita Annisa Sari
et al, 2010).
2.1.3.7. Logam Berat
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis
lebih besar dari 5 g/cm3 Logam berat ialah unsur logam dengan berat
molekul tinggi. Dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah
beracun bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Termasuk logam
25
berat yang sering mencemari habitat ialah Hg, Cr, Cd, As, dan Pb, Zn
sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam
beracun bagi makhluk hidup (Subowo dkk, 1999).
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini
tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam
berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia
untuk membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat
berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam
berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu
peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk hidup.
Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat
termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat
logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah
diabsorbsi.
Pengaruh logam berat terhadap organisme melalui bargai jalur
diantaranya adalah penyerapan, inhalsi, dan rantai makanan. Dalam
ekosistem alami terdapat interaksi antar organisme baik interaksi positif
maupun negatif yang menggambarkan bentuk transfer energi antar
populasi dalam komunitas tersebut. Dengan demikian pengaruh logam
berat tersebut pada akhirnya akan sampai pada hierarki rantai makanan
tertinggi yaitu manusia. Logam-logam berat diketahui dapat mengumpul
didalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka
26
waktu lama sebagai racun yang terakumulasi (Saeni, 1997). Pemasok
logam berat dalam tanah pertanian antara lain bahan agrokimia (pupuk dan
pestisida), asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, pupuk organik,
buangan limbah rumah tangga, industri, dan pertambangan (Alloway,
1990).
2.1.3.8. Nitrogen
Total nitrogen adalah gambaran nitrogen dalam organik dan
ammonia pada air limbah. Total nitrogen juga merupakan penjumlahan
dari nitrogen anorganik berupa N-NO3, N-NO2, dan N-NH3, yang bersifat
larut; sedangkan nitrogen organik berupa partikulat yang tidak larut dalam
air. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya dalam bentuk organik dan
oleh bakteri merubahnya menjadi nitrogen ammonia. Dalam kondisi
aerobik bakteri dapat mengoksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat.
Nitrat dapat digunakan oleh algae dan tumbuh-tumbuhan lain untuk
membentuk protein tanaman (Effendi et al, 2003)
Ammonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4,
pada pH rendah. Ammonia dalam air limbah terbentuk karena adanya
proses kimia secara alami. Sedangkan nitrit merupakan bentuk nitrogen
yang hanya sebagiannya teroksidasi. Nitrit tidak ditemukan dalam limbah
yang sudah basi atau lama. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan
limbah domestik. Konsentrasi nitrit diperairan relative sedikit, tidak tetap
dan dapat berubah menjadi ammonia atau dioksidasi menjadi nitrit
(Ginting et al, 2007).
27
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan
merupakan nitrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat
dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/L, perairan
mesotrofik memiliki konsentrasi antara 1-5 mg/L, dan perairan eutrofik
kisaran konsentrasinya berkisar 5-50 mg/L. pada perairan yang menerima
limpasan dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar
nitrit dapat mencapai 1000 mg/L. Konsentrasi nitrit untuk keperluan air
minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/L (Volenwider et al, 1969,
Wetzel, 1975 dan Effendi, 2003).
Sumber ammonia di perairan adalah pemicahan nitrogen organik
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah
dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota
akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Sumber lain adalah
reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi di atmosfer, limbah
industri dan domestik.
Ammonia terukur di perairan berupa ammonia total (NH3 dan
NH4+). Ammonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan ammonium
(NH4+) dapat terionisasi. Ammonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi
bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksitas ammonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan konsentrasi
oksigen terlarut, pH dan suhu. Amonia jarang di temukan pada perairan
yang cukup suplay oksigennya. Sebaliknya pada daerah anaerobik
28
biasanya ditemukan pada dasar perairan, kadar ammonia sangat tinggi
(Effendi, et al 2003)
2.1.3.9. Fosfor
Di perairan, unsure fosfor ditemukan dalam bentuk bebas
sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik terlarut yakni
ortofosfat dan polifosfat dan dalam bentuk senyawa organik yang berupa
partikulat. Total fosfor menggambarkan jumlah total fosfor, baik dalam
bentuk partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik.
Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan
mineral, misalnya fluorapatite [Ca5(PO4)3F], hydroxylapatite
[Ca5(PO4)3OH], strengite [Fe(PO4)2H2O], whitockite [Ca3(PO4)2], dan
berlinite (Al(PO4). Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan
organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik,
yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian
yang mengandung pupuk juga berkontribusi cukup besar bagi keberadaan
fosfor.
Kandungan phodphat yang tinggi dalam perairan menyebabkan
suburnya algae dan organisme lainnya atau yang lebih dikenal dengan
istila eutrofikasi. Kesuburan tanaman air akan menghalangi kencaran arus
air, menghalangi penetrasi cahaya, tingginya dekomposisi bahan organik
dan anorganik yang menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut (Ginting
et al, 2007).
29
Kadar forfor yang diperkenangkan untuk kepentingan air
minum adalah 0,2 mg/L dalam bentuk fosfat (PO4). Kadar fosfor pada
perairan alami berkisar antara 0.005-0.02 mg/L P-PO4, sedangkan pada air
tanah sekitar 0.02 mg/L. kadar fosfor total di perairan alami jarang
melebihi 1 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992, Boyd et al, 1988).
Berdasarkan kadar total fosfor, perairan diklasifikasikan menjadi
tiga yakni ―perairan dengan tingkat kesuburan rendah, yang memiliki
kadar fosfor total antara 0-0.02 mg/L‖, ―perairan dengan tingkat kesuburan
sedang, yang memiliki kadar fosfor total 0.0021-0.05 mg/L, dan ―perairan
dengan tingkat kesuburan tinggi, yang memiliki kadar fosfor total 0.051-
0.1 (Yoshimura et al, 1969).
2.1.4. Parameter Biologi
Parameter kualitas air secara biologi adalah menggambarkan tentang
mekanisme biotik dalam mentolelir kondisi lingkungan. Dalam menganalisis
kualitas air secara bilogi sebaiknya dilakukan biomonitong yang meliputi
rangkaian proses evaluasi kualitas perairan dengan cara mengukur keberadaan
polutan tertentu pada matriks lingkungan maupun didalam kompartemen tubuh
organisme tertentu yang dapat memberikan informasi tentang status kualitas suatu
ekosisrem. Pengukuran matriks lingkungan dapat dilakukan dengan
memperhatikan keanekaragaman, kepadatan, dan pola distribusi suatu organisme
dan mengkorelasikan dengan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi
kestabilan ekosistem, seperti substrat, pH, oksigen terlarut dan lainnya. Selain itu,
informasi dari hasil analisis kimia pada kompartemen dalam tubuh organisme
30
dapat memberikan data tentang tingkat akumulasi suatu senyawa yang
keberadaannya mengganggu system tubuh suatu organisme.
Terkait dengan biomonitoring, tidak hanya terbatas pada evaluasi
ekosistem tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap manusia. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kamrin (2004) dan Angerer et al. (2006) yang mendefinisikan
biomotoring sebagai teknik evaluasi lingkungan terhadap paparan bahan kimia
berdasarkan sampling dan analisis jaringan, cairan dan jaringan individu.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diungkapan, maka disimpulkan
bahwa biomonitoring adalah penggunaan suatu spesies tertentu yang dapat
memberikan informasi terkait dengan status pencemaran lingkungan oleh logam
berat tertentu berdasarkan analisis matriks lingkungan, analisis jaringan dan
molekul organisme yang terpapar logam berat.
Day (2000) menjelaskan bahwa hal yang paling fundamental dari
penggunaan metode biomoniotoring adalah bahwa organisme hidup dapat
merefleksikan kondisi lingkungan tempat hidupnya sehingga jika terjadi
perubahan pada beberapa aspek lingkungan maka akan berimplikasi pada
organisme tersebut. Selain itu, Barry et al. (2009) juga menjelaskan bahwa
biomonitoring memiliki keunggulan yang terintegrasi sehingga dapat digunakan
dalam menentukan jumlah logam berat yang terpapar pada manusia. Dengan
demikian, data hasil biomonitoring dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan dan manajemen lingkungan serta penilaian tingkat resiko (risk
assessment) lingkungan (Agrerer et al., 2006).
31
Berdasarkan pengertian biomonitoring yang telah dijelakan sebelumnya,
maka dapat dijelaskan ruang lingkup biomonitoring. Ruang lingkup yang
dimaksud meliputi variable-variabel yang menjadi objek kajian dalam
biomonitoring (de Zwart, 1995). Variabel-variabel yang menjadi objek kajian
dalam biomonitoring, menurut Zhou et al. (2008) berupa teknik/metode dalam
program biomonitoring, meliputi bioakumulasi, perubahan biokimia, pengamatan
morfologi dan perilaku, pendekatan level-populasi dan komunitas. Masing-masing
teknik menunjukkan kelebihannya masing-masing dan dapat diaplikasikan dalam
berbagai bidang. Teknik/metode dalam program biomonitoring atau yang dikenal
dengan variable-variabel biomonitoring, yaitu biomonitoring akumulasi
(bioakumulasi), biomonitoring toksisitas, dan biomonitoring ekosistem. Berikut
ini akan dijelaskan biomonitoring akumulasi sebagai alat asesmen kualitas
perairan akibat logam berat kadmium pada invertebrata perairan.
Bioakumulasi merupakan proses penting dimana bahan kimia dapat
mempengaruhi organisme hidup. Zhuo, serta jaringan tubuh organisme yang
terpapar logam berat. Penjelasan lebih spesifik diberikan oleh Maanan (2007)
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akumulasi logam berat pada suatu
organisme tergantung pada keberadaan logam berat, musim, hidrodinamik
lingkungan, ukuran, jenis kelamin, perubahan-perubahan pada komposisi jaringan
dan siklus reproduksi.
2.2. Kualitas Air Dan Pengelolaan Limbah
Pengelolaan air dan pembuangan limbah industri merupakan faktor
membutuhkan biaya yang signifikan dan aspek penting dalam menjalankan
32
sebuah industri. Limbah industri meningkatkan konsentrasi polutan baik air
maupun sedimen. Polutan pada konsentrasi yang tinggi dapat menjadi racun bagi
organime yang berbeda, efluen juga menimbulkan dampak negatif yang besar
terhadap kualitas air yang diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maupun
organisme. Sehingga setiap efluan dianjukan untuk mentritmen limbah terlebih
dahu agar dapat meminimalisir dampak, oleh karena itu setiap industri yang
membuang limbah tanpa melalui tritmen maka dikenakan sangsi berupa
pengenaan biaya langsung, pemantauan dan pengawasan sangat penting untuk
menjamin perlindungan sumberdaya air dan degradasi lebih lanjut. Setiap negara
mencoba membuang limbah dengan biaya rendah, sedangkan peraturan yang
terapkan oleh pemerintah di perketat. Konsumsi air di pada setiap Negara tidak
hanya memperhatikan faktor ekonomi, akan tetapi faktor pengelolaan limbah yang
terkait dengan proses dan kinerja alat sangat perperan dalam penurunan
konsentrasi limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Selain itu, posisi industri
yang menghasilkan produk alami, menjaga citra mereka dalam memasarkan hasil
produksinya dan kebijakan pengelolaan limbah yang tepat dan sesuai dengan
ketetapan pemerintah. Proses pengelolaan dan penangan limbah seperti
ditunjukkan pada gambar berikut :
33
Gambar 2. Proses Pengelolaan Air dan Limbah Cair salah satu Perusahaan Minuman
Salah satu upaya dalam proses pengelolaan kualitas air limbah
menghilangkan patikel-partikel melalui proses Kieselguhr lumpur, ragi surplus.
selanjutnya melakukan prediksi volume limbah yang dihasilkan, dan perkiraan
biaya dalam upaya pengelolaan pengolahan air limbah yang dihasilkan disajikan
pada table berikut :
Biji-bijian Ragi Surplus
(Tank
Bottom)
Klarifikasi kieselguhr
Lumpur
Label Limbah
1. Pakan ternak
2. Pengomposan
3. Inkranasi dan
pengeringan
4. Pembuangan
5. Fermentasi anaerobik
1. Pakan
ternak
1. Tersebar ditanah pertanian
2. Pengomposan
3. Regenerasi panas dan
bahan kimia
4. Pembuangan
5. Bahan baku industri
(building material)
1. Pengomposan
2. Daur ulang
3. Pembakaran
4. Pembuangan
Tabel 2. Situasi Pembuangan Limabah
Proses pengelolaan dan pengolahan limbah diharapkan dapat menurunkan
konsentrasi toksikan juga memberikan manfaat ekonomi dalam upaya efisiensi
34
biaya oprasional seperi yang diterapkan oleh salah satu perusahaan minuman
ringan di eropa dengan cara penghalusan materi berasal dari rendering gandum
dan sereal gandum yang larut dalam air merupakan langkah awal dalam
memproduksi minuman. Setelah ekstraksi, menghaluskan butiran dengan Wort
(air diekstraksi dengan materi) perlu dipisahkan. Jumlah solid setelah penyaringan
biasanya berkisar antara 25-30%. Partikel-partikel sisa (sering dicampur dengan
surplus ragi dan didinginkan (pemisahan TRUB setelah pendinginan wort) dijual
sebagai pakan ternak dengan keuntungan rata-rata 5-6 €/ton.
Selain itu, keunggulan pengelolaan limbah dengan menggunakan
diatomaceous dalam proses penyaringan seperti dilaporkan oleh Baimel et al,
2004. Penyaringan atau dikenal dengan filter-aids (kieselguhr) telah menjadi
standar untuk setiap industri lebih dari 100 tahun terakhir, lebih efisien dari sudut
pandang ekonomi, lingkungan dan teknis pada masa mendatang. Sekitar duaper
tiga dari produksi diatom di alam digunakan dalam industri miniman serti bir,
anggur, jus buah, dan minuman lainnya. System penyaringan konvensinal (filter-
aids) menggunakan diatom di alam berkisar 1-2 g/L, sangat baik untuk sanitasi
lingkungan, dan implikasi ekonomi. Pada akhir proses pemisahan diatom lumpud
yang berisi air dan lumpur dan lebih dari tiga kali berat awal. Dari sudut pandang
lingkungan, diatom lumpur dapat langsung diperoleh dari system perambangan
terbuka dan merupakan sumbedaya alam yang terbatas. Setelah menggunakan
daur ulang dan pembuangan kieselguhr (selah penyaringan) mengalami kesulitan
karena berdampak terhadap pencemaran.
35
2.3. Teknologi Plasma Untuk Pengelolaan Limbah Cair
Plasma ini biasanya dibentuk dengan memanfaatkan tegangan listrik, yaitu
dengan menghadapkan dua kutub elektroda dengan memberikan tegangan listrik
searah yang cukup tinggi yang nantinya akan menghasilkan loncatan ion. Ion
positif dan negatif yang dihasilkan bergerak bebas mengikat elektron-elektron.
Teknologi ini menguraikan, membersihkan, dan tidak mengendapkan. Kimia pun
terurai sehingga tidak ada endapan lain, hasilnya air akan menjadi bersih.Ozon
sendiri dapat dibuat menggunakan teknologi plasma. Dewasa ini teknologi
plasmalah yang paling banyak dipergunakan untuk membuat ozon (Tuhu Agung
et al, 2011).
Plasma juga disebut gas terionisasi adalah keadaan benda fase gas berenergi,
yang sering disebut sebagai zat keempat. Hasilnya adalah sebuah koleksi ion dan
elektron yang tidak lagi terikat satu sama lain. Karena partikel-partikel ini
terionisasi (bermuatan). Oleh karena itu beberapa negara maju telah
mengembangkan teknologi baru untuk pengolahan limbah. Teknologi itu
memanfaatkan loncatan ion dan bentuknya dapat beragam, misalnya dengan
Advanced Oxidation Processes (AOP) atau teknologi oksidasi lanjutan. Dimana
Advanced Oxidation Processes adalah satu atau kombinasi dari beberapa proses
seperti Ozone, electron beam, sono chemistry, electrical discharge ( plasma ) serta
beberapa proses lainnya untuk menghasilkan hidroksil radikal. Hidroksil radikal
yaitu sepesies aktif yang memiliki sifat radikal, dimana mudah bereaksi dengan
senyawa organik apa saja tanpa terkecuali, terutama senyawa-senyawa organik
36
yang selama ini sulit atau tidak dapat diuraikan dengan metode mikrobiologi atau
membran filtrasi (Anto TS, 2002).
Secara umum ozon sebagai oksidator yang paling kuat setelah radikal
hidroksida, dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mendegradasi senyawa-
senyawa organik, menghilangkan warna dan bau, ataupun rasa( Bismo.S., 2008 ).
Sedangkan elektron beam adalah elektron hasil pemanasan dengan menggunakan
medan listrik beda potensial atau tegangan yang relatif tinggi sehingga diperoleh
elektron berenergi. Elektron tersebut digunakan untuk meradiasi pengolahan air
limbah, interaksi antara radiasi berupa elektron beam dengan air akan
menghasilkan molekul terionisasi yang selanjutnya akan terbentuk spesies reaktif
(OH, H dan H2O atau O
2) spesies tersebut bereaksi dengan zat terlarut serta
menguraikannya (Cristina M., 2010).
2.3.1. Plasma
Plasma adalah zat keempat selain zat klasik padat, cair, dan gas. Zat
plasma ini bukanlah plasma seperti kata plasma darah, kata yang paling umum
digunakan berkaitan dengan plasma di bidang biologi. Plasma zat keempat ini
ditemukan pada tahun 1928 oleh ilmuan Amerika, Irving Langmuir dalam
eksperimenya melalui lampu tungsten filament.
Plasma dibuat dengan pemanfaatan tegangan listrik, yaitu dengan
menghadapkan dua elektroda diudara bebas. Udara adalah isolator, materi
yang tidak menghantarkan listrik, namun apabila kedua elektroda tersebut
diberikan tegangan listrik yang cukup tinggi, yaitu < 10 kV maka sifat
konduktor akan muncul pada udara tersebut. Bersamaan dengan itu pula maka
37
tegangan listrik mulai mengalir (electrical dicharge) fenomena ini disebut
electrical breakdown. Semakin besar tegangan listrik yang diberikan pada
elektroda maka semakin besar pula ion dan elektron bebas yang terbentuk.
Singkatnya plasma adalah kumpulan elektron bebas, ion bebas, dan atom
bebas. Pada tahun 1833, Faraday menunjukkan bahwa jumlah zat-zat yang
teroksidasi dan tereduksi pada elektroda-elektroda berbanding lurus dengan
waktu dan jumlah kuat arus yang melalui sel tersebut.
Teknologi plasma dapat langsung digunakan dalam proses pengolahan
limbah organik, dan apabila air limbah mengandung logam maka akan terjadi
gumpalan atau pembentukan flok pada waktu proses pengolahan yang merupakan
proses destabilisasi. Salah satu cara pembuatan plasma dalam air, pembuatan
plasma dalam air hampir sama dengan pembuatan plasma diudara. Plasma dalam
air menyebabkan timbulnya berbagi reaksi fisika dan kimia, seperti sinar ultra
violet, shockwave, spesies aktif (OH, O, H, H2O
2) serta termal proses.
Banyaknya reaksi fisika dan kimia yang dihasilkan oleh plasma,
menjadikan teknologi ini dapat merangkum beberapa proses yang dibutuhkan
dalam proses pengolahan limbah organik. Sinar ultraviolet yang dihasilkan
mampu mengoksidasi senyawa organik sekaligus membunuh bakteri yang
terkandung dalam air limbah. Shockwave yang ditimbulkan mampu
menghasilkan spesies aktif yang merupakan oksidan kuat yang dapat
mendegradasi berbagai senyawa organik sekaligus membunuh bakteri yang
terkandung dalam air limbah. Plasma dalam air juga berperan dalam berbagai
proses pengoksidasian senyawa organik (Bismo.S., 2008 ).
38
Aksi reaksi yang terjadi pada ion dan elektron dalam plasma di dalam
limbah cair industri tahu berlanjut dengan terbentuknya sinar ultraviolet dan
shockwave, akibat ion dan elektron yang dihasilkan teknologi plasma
mempunyai energi yang sangat tinggi maka air (H2O) akan terurai dan
menghasilkan spesies aktif seperti OH, O, H dan H2O
2(Anonim, 2006)
Spesies aktif tersebut merupakan oksidan kuat yang dapat
mengoksidasi berbagai senyawa organik sekaligus membunuh bakteri dalam
limbah cair tersebut, spesies aktif tersebut kemudian bereaksi dengan unsur
karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S) yang terdapat
dalam limbah cair industri tahu tersebut. Tumbukan elektron dan ion dengan
molekul molekul mengakibatkan terjadi reaksi kimia melalui oksidasi dan
reduksi (Anonim, 2006).
39
Zat yang terbentuk dari reaksi plasma dengan bahan organik limbah
cair industri tahu tersebut berupa gas. Apabila zat hasil reaksi berfasa gas
maka akan keluar gelembung-gelembung gas disekitar batang katoda yang
kemudian akan bergerak keatas permukaan air, jadi semakin banyak gas yang
keluar dan kotoran yang mengendap pada pengolahan limbah cair industri
tahu menggunakan teknologi plasma, maka kandungan COD dan TSS dalam
limbah cair tersebut juga akan berkurang.
2.3.2. Kinetika Reaksi
Kinetika reaksi adalah suatu cabang ilmu kimia yang mempelajari
mekanisme reaksi, yaitu bagaimana reaksi itu berlangsung dan kecepatan
terjadinya reaksi. Kecepatan merupakan pengurangan setiap satuan jumlah
berlangsungnya reaksi dan itu tergantung pada jenis reaksi.
Kinetika suatu reaksi dapat ditentukan dengan cara mengikuti
perubahan selama terjadinya reaksi. Dengan menganalisa campuran reaksi
dalam selang waktu tertentu, maka konsentrasi pereaksi dan hasil reaksi dapat
dihitung. Selanjutnya dari data-data yang diperoleh tersebut kinetika reaksi
dapat ditentukan.
Gambar 3. Alat yang Digunakan
40
Keterangan Gambag :
1. C = Condensator
2. D = Double Voltage (AC 220 Volt dirubah menjadi DC 10000
volt).
3. Z = Jarak Elektroda
4. Fuse
5. Reaktor.
6. Elektroda Karbon.
2.4. Pengelolaan Limbah Cair Industri Farmasi Secara Biologis
Air limbah yang dihasilkan dari industri farmasi umumnya mengandung
beban organik tinggi sehingga dalam pendekatan pengelolaan di lakukan dengan
metode biologis terutama; aerobik dan anaerobik. Oleh karena, tingginya
intensitas limbah, tidak mudah dalam hal pendekatan pengelolaan limbah farmasi
menggunakan proses biologis secara aerobik. Sebagai alternatif, proses anaerobik
lebih disukai untuk menghilangkan masalah kekuatan tinggi organik. Pengolahan
air limbah anaerobik dianggap sebagai solusi biaya yang paling efektif untuk
pencemaran limbah organik oleh industri. Dalam tulisan ini, membahas tentang
pencernaan anaerobik, teknologi reaktor anaerobik dan pengolahan air limbah
farmasi secara anaerobik. Studi kasus pada skala laboratorium pengolahan air
limbah farmasi yang berisi Tylosin antibiotik dalam reaktor anaerobik. Secara
khusus, ditetapkan apakah reaktor anaerob dapat digunakan sebagai sistem pra-
pengolahan pada pabrik produksi farmasi. Kinerja reaktor mengolah limbah cair
farmasi secara nyata pada tingkat pembebanan berbagai organik. System
pengolahan secara anaerobik dapat menghilangkan COD berkisar 45%
Shreeshivadasan Chelliapan et al (2011).
41
2.4.1. Pencernaan Aerobik
Metode pengembangan pengolahan limbah cair secara aerobik pada
tahun 1960. Namun, pada awal tahun 1970 perubahan metodologi pengolahan
air limbah secara secara signifikan. Penghematan energy dalam proses
industri menjadi perhatian utama dan proses anaerobik dengan cepat muncul
sebagai alternative yang dapat diterima.
Salah satu keuntungan utama dari pencernaan anaerobik adalah
produksi produksi energy selama proses dalam bentuk metana. Tingkat
muatan yang tinggi ditampung, daerah tersebut diperlukan reactor yang
kecil. Produksi lumpur rendah, bila dibandingkan dengan metode aerobik,
karena tingkat pertumbuhan bakteri anaerob yang lambat.
2.4.2. Limbah Industri Farmasi
Industri manufaktur farmasi memproduksi berbagai macam produk
untuk digunakan sebagai obat manusia dan hewan. Manufaktur dapat
dicirikan oleh lima proses utama; fermentasi, ekstraksi, sintesis kimia,
formulasi dan kemasan. Setiap tahap dapat menghasilkan emisi udara, limbah
cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan dari membersihkan
peralatan setelah operasi instalasi mengandung residu organik beracun.
Komposisinya bervariasi, tergantung pada produk yang diproduksi, bahan
yang digunakan dalam proses, dan rincian proses lainnya. biasanya, air
limbah farmasi ditandai dengan konsentrasi COD yang tinggi, dan beberapa
air limbah farmasi dapat memiliki COD setinggi 80.000 mg/L-1
. Damapk
yang di timbulkan oleh limbah farmasi pada ekosistem perairan adalah dapat
42
mengganggu endokrin yang berawal dari terganggunya system biologis.
Selain itu, air limbah yang dihasilkan oleh industri antibiotik dan farmasi,
umumnya mengandung tingginya bahan organik terlarut, yang sangat
resisten. Jika senyawa tersebut tidak hilangkan pada saat proses instalasi
pengolahan air limbah, maka akan dapat mengganggu keseibangan proses
biologi dan ekologi mikroba pada ekosistem perairan umum (Grismer ME et
al, 1998, Nandy T et al, 2001, Kasprzyk Hordern B., et al, 2008, Sim WJ.,
Lee JW et al, 2010, Schroder H.F et al, 1999, Sui Q, et al, 2010, dan
Stasinakis AS, Gatidou G., Mamais D., et al, 2008).
Tujuan dari pengolahan air limbah adalah mengidentifika zat terutama
persisten. Selain itu, menghitung jumlah limbah yang dihasilkan dan
memprediksi damapak jangka panjang pada ekosistem perairan. Pada
dasarnya mendeteksi limbah dari industri farmasi seperti antibiotic pada
lingkungan perairan menimbulkan kekhwatiran potensi dampak terhadap
kesehatan manusia. Masuknya limbah farmasi ke lingkungan perairan melalui
intalasi pengolahan limbah secara langsung, limbah rumah sakit maupun
penggunaan komesial oleh masyarakat. Selain itu, limbah juga di buang
langsung ke sungai atau anak sungai oleh pabrik farmasi atau perusahaan
medis. Tingkat debit limbah sangat tergantung pada proses pengolahan atau
tritmen oleh pelaku indusri.
2.4.3. Pengolahan Limbah Cair Farmasi Secara Anoaerobik
Limbah dari air limbah farmasi biasanya menggunakan flukolasi,
koagulasi, penyaringan, pengendapan, pertukaran ion, absorbs karbon,
43
detoksifikasi bahan aktif secara oksidasi (menggunakan ozon sistem basah
udara ultraviolet oksidasi atau solusi peroksida), dan pengolahan biologis
(menggunakan filter trickling, anaerob, lumpur aktif, dan putaran kontraktor
biologis). Meskipun air limbah farmasi dapat mengandung bahan refrakter
organik yang tidak mudah terdegradasi, pengolahan secara biologis
merupakan pengelolaan pilihan yang layak Oz NA et al, (2004), Rosen M. et
al, (1998). Namun, akibat tingginya kekuatan, hal ini tidak mudah untuk
pengolahan beberapa air limbah farmasi menggunakan proses biologis secara
aerobik. Sebaliknya proses anaerobik lebih baik untuk menghilangkan
masalah tingginya bahan organik.
Saravanane et al, (2001a) menjelaskan bahwa reaktor fluidized bed
(FBR) di bawah kondisi anaerobik dapat digunakan untuk penganggulangan
anti-osmotik limbah obat farmasi berbasis (asam asetat dan Amoniak). Hal ini
dapat menurunkan COD mencapai nilai maksimum 88.5% menggunakan
bioaugmentation melalui penambahan sel secara periodik setiap 2 hari dengan
30-73,2 gram sel (1-2,5 g/L-1
volume reaktor) dari enricher off-line reaktor.
Selain itu, pada bioaugmentation dan sistem pengolahan limbah farmasi obat
berbasis Sefaleksin fluidized up-flow anaerob (UAFB). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa efisiensi bioaugmentation dalam pengurangan bahan
organik meningkat dan stabilitas reaktor. Ince et al, (2002) melakukan studi
terhadap kinerja filter aliran permukaan anaerob (UAF) pengolahan berbasis
sintesis kimia air limbah farmasi (Bacampicilline dan Sultamicilline tosylate)
dan menunjukkan penghilangan 65% COD dengan hasil metana yang rendah
44
pada 0,20 m3
CH4. kg CODr -1
. Kinerja sequencing batch biofilter (SBB)
mengintegrasikan kondisi di satu tangki anaerobik-aerobik untuk pengolahan
air limbah farmasi (Fenol dan O-nitroaniline) dipelajari oleh Buitron et al,
(2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada HTR 8-24 jam dan OLR
4.6-5.7 kg COD m3d
-1 dapat menghilangkan COD sebesar 95-97% pada
system gabungan. Pengolahan anaerobik air limbah farmasi yang
mengandung sulfat 3200 mg/L-1
dilakukan oleh Rodríguez-Martinez et al,
(2005) dalam UASB menunjukkan 85 - 90% COD penghilangan dan sulfat
lebih dari 90% yang dicapai pada OLR dari 1,5 kg COD.m-3
.d-1
dan HRT
sebesar 8,3 d. Namun, kinerja reaktor dipengaruhi (penyisihan COD turun
menjadi 70%) ketika jumlah loading meningkat menjadi 2,09 kg COD.m-3
.d-1
dengan mengurangi HRT sampai 7 d. Pengolahan anaerobik-aerobik limbah
antibiotik yang mengandung farmasi (Ampisilin dan aureomycin) diteliti oleh
Zhou et al, (2006) pada anaerobik baffled reaktor (ABR) di ikuti oleh biofilm
airlift suspension reactor (BASR). System gabungan ABR dan BASR
menghasilkan penghilangan COD total sebesar 97.8% dioprasikan pada HRT
secara berurutan 2.5d dan 12.5 jam. Ampisilin dan effiencies penghapusan
aureomycin adalah masing-masing 42,1% dan 31,3% di ABR, tetapi tidak
menunjukkan penghapusan besar (kurang dari 10%) pada BASR untuk kedua
antibiotik. Oktem et al, [35] telah melakukan penelitian tentang kinerja skala
laboratorium up-aliran selimut lumpur anaerobik reaktor (UASB),
pengolahan berbasis sintesis kimia pada air limbah farmasi. Pada OLR dari 8
kg COD.m-3.d-1
, COD pengurangan 72% dicapai dalam sistem reaktor.
45
Kelebihan dari system pengolahan limbah secara anaerobik bila dibandingkan
dengan system pengelolaan secara aerobik dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 4. Kelebihan dan Kekurangan dari system Anaerobik dan Aerobik
Tabel 3. Penolahan Anaerobik Limbah Cair Farmasi
2.5. Pengolahan Limbah Cair Radioaktif
Pengolahan limbah radioaktif cair cukup sering melibatkan aplikasi
dari beberapa langkah seperti penyaringan, pengendapan, penyerapan, pertukaran
ion, penguapan dan / atau membran pemisahan untuk memenuhi persyaratan yang
baik sebelum melepaskan zat cair terkontaminasi ke lingkungan dan
pengkondisian konsentrasi limbah sebelum pembuangan. Bahan baru dan lebih
46
baik dan proses yang yang dipertimbangkan dalam pengembangannya di berbagai
negara (Iaea-Tecdoc, 2003).
Penyerapan dikombinasikan dengan filtrasi membran dalam proses tahap
tunggal dapat memberikan penghapusan efisien dari kedua kontaminan terlarut
dan tersuspensi bahkan bentuk koloid. Kombinasi ini tidak hanya keuntungan dari
peningkatan sorpsi kinetika karena luas permukaan yang sangat tinggi dari
sorbents, tetapi juga menyediakan untuk pemisahan efektif dari sorbents dari
limbah. Zeolit muraha mineral aluminosilikat alami yang terhidrasi,
distribusi secara geografis yang luas dan ukuran deposit yang besar.
Eksperimental penentuan mengenai perlakuan terhadap radioaktif limbah cair
pada membran semipermeabel dilakukan dengan menggunakan perangkat filtrasi.
Setiap sistem membran akan memerlukan beberapa jenis air umpan pretreatment,
baik untuk melindungi integritas membran dan atau untuk mengoptimalkan
kinerjanya [4]. Sorpsi radionuklida pada sorbents anorganik (zeolit) alam adalah
sangat baik pretreatment untuk filtrasi membran. Berbagai kation dapat
teradsorpsi pada zeolit dengan mekanisme pertukaran kation dan dengan
memodifikasi permukaan, peningkatan kemampuan untuk menghapus polutan
nonpolar dan anion air dapat diperoleh.
Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 %
berdampak dihasilkannya limbah terutama limbah cair dan gas yang harus
dikelola dengan bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah tersebut mampu
mengoptimalkan tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama
kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya
47
permasalahan limbah maka sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan
tindakan-tindakan yang berorientasi pada upaya meminimalkan terjadinya limbah
yang dapat dilakukan melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses dan penerapan
prinsip reuse, recycle serta recovery.
Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta
lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah limbah radioaktif. Limbah
radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan secara sembarangan
karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara
internasional. Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara
internasional ditetapkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan
juga oleh International Commission on Radiological Protection (ICRP).
Sedangkan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10
Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui
peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh
BAPETEN juga memperhatikan Undang-ndang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta
produk hukum dibawahnya.
Pada dasarnya tingkat bahaya limbah radioaktif tidak berbeda dengan
limbah berbahaya lainnya, yang membedakan adalah penyebab dan mekanisme
terjadinya interaksi dengan target. Karakteristik bahaya dari limbah radioaktif
48
adalah memancarkan radiasi yang dapat mengionisasi atau merusak target
sehingga menjadi tidak stabil/disfungsi, sedangkan karakteristik bahaya dari
limbah B3 antara lain: mudah meledak, mudak terbakar, beracun, reaktif,
menyebabkan infeksi dan bersifat korosif. Dalam pengelolaan limbah B3 dikenal
konsep Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah B3 dari sejak
dihasilkan hingga penanganan akhir. Makalah ini akan membahas implementasi
dari sistem pengelolaan limbah dengan konsep Cradle to Grave untuk limbah
radioaktif dengan treatment dari setiap fase akan menyesuaikan dengan
karakteristik limbah radioaktif.
2.5.1. Limbah Cair Radioaktif
Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan
dari proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan
mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga bersifat aktif. Di
bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang
mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang
digunakan pada umumnya berumur paro pendek (100 < hari), misalnya 125
I,
131I,
99mTc,
32P, sehingga cepat mencapai kondisi stabil. Fasilitas penelitian di
bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif cair melalui
hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat pendek, maka
penanganan limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan menampung
sementara sebelum dilepas ke badan air.
Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi
oleh fasilitas penelitian, yang dapat terdiri dari: minyak pompa vakum,
49
pelumas, dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung pada umumnya
3H dan sebagian kecil
14C,
125I dan
35S. Dalam pengelolaan limbah cair
tersebut harus diperhitungkan pula aktivitas konsentrasi zat radioaktif yang
digunakan, terutama jika zat radioaktif yang digunakan untuk tujuan
penandaan umumnya mempunyai konsentrasi aktivitas sangat tinggi sehingga
harus dipisahkan dengan zat radioaktif yang mempunyai konsentrasi aktivitas
rendah.
2.5.2. Sumber Radioaktif Bekas
Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan
pengkondisian dan disposal yang sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan
menjadi:
1. Sumber dengan umur paro ≤ 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi.
2. Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi.
3. Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan
kebocoran.
4. Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi
maupun rendah.
2.5.3. Implementasi Konsep Cradle Grave dalam Penglolaan Limbah
Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu
pengawasan limbah dari sejak ditimbulkan sampai dengan di tempat
pengolahan, penyimpanan, negara asal sumber radioaktif dan pada setiap fase
terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan.
Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan
50
limbah dari penghasil limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan
sehingga keberadaan dan tanggungjawab terhadap limbah dapat diketahui.
Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka memerlukan
pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator
keberadaan limbah. Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan
pendekatan cradle to grave untuk menunjukkan perjalanan limbah radioaktif
dari penghasil (industri, rumah sakit, laboratorium penelitian) sampai lokasi
tujuan pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen.
Dalam setiap tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai
dengan tindakan keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan.
2.5.4. Penghasil Limbah Radioaktif
Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban
melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya dengan tujuan
meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko. Pengelolaan yang
dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan
menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah
berdasarkan aktivitas, waktu paro, jenis radiasi, bentuk fisik dan kimia, sifat
racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya apabila memiliki
fasilitas pengolahan.
Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil
samping kegiatan dekontaminasi yang memiliki aktivitas tinggi atau umur
paro panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah aktivitas rendah atau
umur paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi
51
dan cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan
ke tempat penampungan sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi
yang ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat di lepaskan ke badan air
apabila memenuhi persyaratan pelepasan.
Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan
benar secara tertulis (dalam manifes dokumen) kepada pengangkut tentang
identitas limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain yang mungkin terjadi
dan cara penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban
memberikan tanda, label, atau plakat pada kendaraan angkutan.
2.5.5. Pengangkut
Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem
ini dan bertanggung jawab atas keselamatan pengangkutan limbah sejak
menerima dari penghasil sampai kepada penerima. Apabila terjadi kerusakan
atau kecelakaan selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan
kepada Badan Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah
radioaktif hanya boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin
pemanfaatan dari BAPETEN dalam bentuk persetujuan pengangkutan.
2.5.6. Pengolah Penympan Negara asal Sumber Radioaktif
Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan
secara terpadu di PTLRBATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya,
Badan Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk dan atau bekerja sama dengan
BUMN, swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah atau
penyimpan limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak
52
pengolah/penyimpan /negara asal sumber radioaktif berkewajiban memeriksa
kesesuaian limbah yang diserahkan oleh pengangkut dengan kualifikasi
limbah sebagaimana tercantum dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila
terdapat ketidaksesuaian maka pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber
radioaktif wajib memberitahukan ke Badan Pengawas dan penghasil limbah
guna investigasi lebih lanjut. Namun apabila limbah radioaktif yang diterima
oleh pengolah sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak
pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah
radioaktif dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber
radioaktif dapat melakukan penanganan sumber radioaktif bekas yang
diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif Negara
tersebut.
Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah
dimaksudkan untuk mereduksi volume limbah dan mengurangi paparan
radiasi dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan manusia dan
lingkungan sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya
limbah tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah
ditetapkan.
53
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahan sebelumnya, maka peran kualitas air sangat penting
dalam mendukung kehidupan di muka bumi, semua mahluk hidup sangat
tergantung terhadap air ―Kualitas dan Kuantitas Air‖. Namun sejak
berkembangnya tingkat peradaban manusia kualitas air kini menjadi terancam
diseluruh penjuru bumi, berbagai macam kebutuhan yang kemudian menghasilkan
zat atau polutan baik pertanian, perikanan, industri, pariwisata, farmasi dan
produksi obat-obatan maupun peralatan medis, bahan penelitian dan masih banyak
kebutuhan lainnya yang menyisihkan berbagai jenis, jumlah, daya rerun, warna,
bau yang sangat berfariasi.
Ke tidak mampuan, ke tidak seimbangan, dan ketidak berlanjutan
pembangunan telah mengindikasikan kehancuran dan kerusakan ekositem baik
secara kimia, fisik dan biologi, yang kemudian berdampak terhadap organisme
dan kesehatan manusia. Tingkat pencemaran sebenarnya dapat dikendalikan
dengan cara semua kegitan yang menghasilkan limbah berkewajiban untuk
memproses agar daya toksikan dapat di kurangi atau bahkan dihilangkan, agar
kelestarian dan keberlanjutan lingkungan tetap terjaga.
54
DAFTAR PUSTAKA
Adebayo S. A.
and Eniola, I. T. Kehinde. 2008. Impact Of Industrial Effluents
On Quality Of Segment Of Asa River Within An Industrial Estate
In Ilorin, Nigeria. New York Science Journal, Volume 1, Issue 1,
January 1, 2008, ISSN 1554-0200.
Alfiyan M., Akhmad ., Y. R., 2010. Strategi pengelolaan limbah Radioaktif di
Indonesia Ditinjau Dari Konsep Cradle To Grave. Pusat Pengkajian
Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat
Radioaktif- BAPETEN, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah
(Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565.
Jakarta.
Annisa Sari N., Fauziah R. N., Nurbaety A. T., 2010. Pengaruh Suhu dan
salinitas Terhadap Viabilitas Bakteri Aeromonas hydrophila dan
Baccilus sp. Institute Pertanian Bogor.
Bundela P. S., Sharma A., Pandey K. A., and Awasthi A. K., 1012.
Physicochemical Analysis Of Ground Water Near Municipal Solid
Waste Dumping Sites In Jabalpur. International Journal Of Plant,
Animal and Environmental Sciences. Volume-2, ISSN 2231-4490.
Bogner J., Ahmed M. A., Diaz C., Faaij A., Gao Q., Hashimoto Seiji., Mareckova
Katarina., Pipatti Riitta., Zhang Tianzhu., Diaz Luis., Kjeldsen Peter.,
Monni Suvi., Gregory Robert., Sutamihardja R.T.M., 2009. Waste
Management. Cambridge University Press, Cambridge, United
Kingdom and New York, NY, USA.
Fillaudeau L., Blanpain A. P,, Daufin., 2006. Water, Wastewater and Waste
Management in Brewing Industries. Journal of Cleaner Production,
Vol 14. ISSN 463-471.
Kanu., Ijeoma and achi, O.K. 2011. Industrial Effluents And Their Impact On
Water Quality Of Receiving Rivers In Nigeria. Journal of Applied
Technology in Environmental Sanitation, 1 (1): 75-86.
MacGibbon J. D., 2008. The Effects Of Different Water Quality Parameters
On Prawn (Macrobrachium Rosenbergii) Yield, Phytoplankton
Abundance And Phytoplankton Diversity at New Zealand Prawns
Limited, Wairakei, New Zealand. Thesis Submitted To the Victoria
University of Wellington in Fulfilment of the Requirements for the
Degree of Master of Science in Ecology & Biodiversity. Victoria
University of Wellington.
M. Dulama., N. Deneanu., M. Pavelescu., L. Pasăre., 2010. Combined
Radioactive Liquid Waste Treatment Processes Involving
Inorganic Sorbents And micro/ultrafiltration. Research Center for
Macromolecular Materials and Membranes Bucharest, Romania.
55
Mosley L., Singh S., Aasbelberg B. 2005. Water Quality Monitoring In Pacific Island
Countries. SOPAL Tecnical Report. The University Of the South Pacific.
Nwabueze Agatha A., 2011. Water Quality and Micro-organisms Of Leachate-
Contaminated Pond. American Journal Of Scientific And Industrial
Research. ISSN: 2153-649X.
Rumahlatu D., 2011. Biomonitoring: Sebagai Alat Asesmen Kualitas Perairan
Akibat Logam Berat Kadmium Pada Invertebrata Perairan.
Universitas Pattimura, Jl. Dr.Tamaela Ambon.
Salmin., 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas
Perairan. Oseana, Volume XXX, Nomor 3,2005:21-26. ISSN 0216 -
1877.
Sekabira K., Origa H. O., Basamba T. A., Mutumba G., Kakudidi E. 2010.
Heavy metal Assessment and Water Quality Values in Urban
Stream and Rain Water. Int. J. Environ. Sci. Tech., 7 (4), 759-770,
Autumn. ISSN: 1735-1472 © Irsen, Ceers, Iau.
Shreeshivadasan Chelliapan., and Paul J. Sallis. 2011. Application Of
Anaerobic Biotechnology For Pharmaceutical Wastewater
Treatment. The IIOAB Journal, Special Issue On Environmental
Management For Sustainable Development, ISSN 0976-3104.
Sutopo Rina S., Aditia K., Indarsasi P., 2007. Tingkat Toksitas Pentaklorofenol
Terhadap Organisme Air Tawar. Majalah Ilmiah Terakreditasi. No.
18/AKRED-LIPI/P3MBI/9/2006. ISSN 0005 9145.
Tuhu Agung R., Hanry Sutan Winata. 2011. Pengolahan Air Limbah Industri
Tahu Dengan Menggunakan Teknologi Plasma. Prodi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas
Pembangunan Nasional ―Veteran‖Jawa Timur Jl. Raya Rungkut
Madya Gunung Anyar Surabaya 60294.
Yuliastuti E., 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyer Dalam
Upaya Pengendalian Percemaran Air. Tesis Ilmu Lingkungan,
Unversitas Diponegoro, Semarang.
Yulfiperiusl., Toelihere R. M., Affandi R., dan Sjafei D. S.,2004. Pengaruh
Alkalinitas Teriiadap Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan
Ikan Lalawak Burbodes sp. Jurnol lktiologi Indonesin, Volume 4,
Nomor I.
Zafar M., and Alappat B. J., 2004. Landfill Surface Runoff and Its Effect on
Water Quality on River Yamuna. Journal Of Environmental
Science And Health Part A—Toxic/Hazardous Substances &
Environmental Engineering Vol. A39, No. 2, pp. 375–384, 2004.