1
PENGARUH EKSTRAK ETANOL BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS GALUR Sprague
dawley YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
(Skripsi)
Oleh
FITRI NADIA SILVANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
i
PENGARUH EKSTRAK ETANOL BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS GALUR Sprague
dawley YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
Oleh
Fitri Nadia Silvani
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN
pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2019
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Natar, Lampung Selatan pada tanggal 26 Februari 1997,
sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Kasman dan Ibu
Nurmawati.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan pada TK Abadi Perkasa pada
tahun 2003, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Abadi Perkasa Kecamatan
Gedung Meneng, Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2009, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Sugar Group pada tahun 2012 dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Sugar Group Kecamatan
Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2015.
Tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi Forum
Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina) sebagai sekertaris Badan Khusus
Pemberdayaan Muslimah (BKPM) tahun 2016-2018 dan Lampung University
Medical Research (LUNAR) sebagai anggota tahun 2016-2018
i
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ’ala aali Muhammad
Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada
Papah dan Mamahku Tercinta
Serta Adikku, Intan Alvina Tersayang
Syukur kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
cinta dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga
melalui mereka
ii
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat
serta karunianya mencurahkan segala kasih sayangnya dan segala keajaibannya
yang masih bisa membawa saya sampai pada titik ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
Skripsi ini berjudul “PENGARUH EKSTRAK ETANOL BELIMBING
WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP
HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS GALUR Sprague dawley YANG
DIINDUKSI PARASETAMOL” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Allah SWT yang selalu menuntun saya ke jalan yang mungkin terasa sulit
namun memberikan hasil yang teramat indah atas semuanya, terimakasih atas
iman yang masih Engkau berikan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
ini.
2. Prof. DR. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku rektor Universitas Lampung;
3. Dr. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
iii
4. Dr. dr. Asep Sukohar, M.Kes selaku Pembimbing Utama dan Wakil Dekan I
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, yang telah membimbing saya
dengan sebaik-baiknya, menuntun dan mengajari saya dalam banyak hal yang
saya belum mengerti, yang disegala kesibukannya beliau masih mau
menyempatkan diri untuk membimbing saya untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini;
5. dr. Waluyo Rudiyanto, M.Kes selaku Pembimbing Kedua, terimakasih saya
ucapkan atas kesediaan beliau memberikan bimbingan dan saran serta
masukan dan nasihat saat penulisan skripsi, terimakasih banyak atas waktu
yang diberikan dan banyak sekali ilmu yang diberikan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik;
6. Dr. dr. Susianti, M.Sc selaku Penguji Utama dan Pembahas dalam skripsi ini.
Terimakasih telah mengajarkan banyak hal yang tidak saya ketahui,
terimakasih untuk meluangkan waktunya memberikan bimbingan ditengah-
tengah kesibukan, terimakasih sudah menjadi pembahas yang juga selalu
memberikan bimbingan, memberikan ilmu dan arahan pada setiap hal yang
belum saya ketahui, terimakasih atas dukungan sehingga saya dapat
menjalani skripsi ini dengan lancar;
7. dr. Catur Ariwibowo, S.Ked selaku Pembimbing Kedua saya selama
Learning Project pada Blok Research, terimakasih saya ucapkan atas
kesediaan beliau memberikan bimbingan dan saran serta masukan dan nasihat
saat penulisan skripsi, terimakasih banyak atas waktu yang diberikan;
iv
8. dr. Dwita Oktaria, M.Pd.Ked selaku Pembimbing Akademik selama di FK
Unila atas semua bimbingan, saran, kritik, dan nasihatnya selama menempuh
pendidikan dokter;
9. dr. Rizki Hanriko, Sp. PA selaku dosen Patologi Anatomi yang telah banyak
membantu selama proses pembacaan hasil preparat histopatologi;
10. Kepada Papah, Mamah serta Adik yang selalu memberikan dukungan baik
moral maupun materi pada setiap langkah saya, terima kasih Mamah atas doa
pada malam hari yang menjadi pelancar segala urusan saya di dunia, terima
kasih Papah yang telah bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan
dalam perkuliahan ini. Terimakasih Adik atas semangat dan motivasi yang
diberikan;
11. Kepada Mbah Putri, Mbah Akung di Metro, terimakasih atas doa tak hentinya
selalu saya bisa rasakan, segala kemudahan dan kelancaran yang saya
dapatkan sejauh ini adalah doa dari kalian yang tak henti-hentinya kalian
panjatkan;
12. Kepada keluarga besar, terima kasih banyak untuk rasa percaya dan harapan
yang begitu tinggi yang kalian letakan pada pundak saya, terimakasih atas
segala doa dan dukungannya;
13. Seluruh dosen FK Unila yang telah memberikan ilmu pengetahuan, dukungan
serta nasihat selama penulis menempuh pendidikan dokter;
14. Seluruh staf TU, administrasi dan akademik FK Unila yang telah banyak
membantu dalam proses penelitian ini;
15. Mas Bayu yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini, untuk
semua nasihat dan dukungannya;
v
16. Kepada Eka Susiyanti dan Anis Syafaatul Husna terimakasih sudah selalu
hadir dalam setiap langkah dan membantu segala urusan dalam pengerjaan
skripsi ini, terimakasih atas segala bantuannya;
17. Kepada Rika Rahmawati, Eniwati, Nadia Eva Zahara, Wulan Alawiyah,
Charisatus Sidqotie, Fauziah Hanif, Astrid Ananda, Vioren, dan Enjelina
terimakasih sudah menjadi bagian dari perjalanan ini, terimakasih untuk
semangat yang selalu kalian berikan.
18. Kepada teman-teman satu bimbingan, Nadhia Khairunnisa, Iqbal Lambara,
Kak Danang, Rifki. Terimakasih karena sudah sering menunggu kehadiran
dokter bersama, saling menyemangati untuk menyelesaikan skripsi kita.
Terima kasih untuk Kak Danang yang sudah menjadi rekan satu tim dalam
penelitian ini;
19. Seluruh pengunjung setia animal house yang telah berjuang bersama
menaklukan tikus-tikus, berbagi suka dan duka selama penelitian;
20. Seluruh rekan sejawat FK Unila angkatan 2015 yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, atas semua doa, semangat dan kerja sama nya selama ini.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi semoga skripsi yang sederhara ini berguna dan bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Bandar Lampung, 16 Januari 2019
Penulis,
Fitri Nadia Silvani
vi
ABSTRACT
THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF AVERRHOA BILIMBI AS AN ANTIOXIDANT ON LIVER HISTOPATHOLOGY OF SPRAGUE
DAWLEY RATS INDUCED BY PARACETAMOL
By
FITRI NADIA SILVANI
Background: Averrhoa bilimbi contains flavonoids which have antioxidant effects by inhibiting various oxidations reaction. Liver is a metabolic organ of the drug that is often affected by toxic effects, one of which is due to paracetamol. Objective: To determine the effect of ethanol extract of Averrhoa bilimbi as an antioxidant on liver histopahology of rats induced by paracetamol. Method: Laboratory experimental research with post test only control group design. The total sample was 25 male rats which were devided into 5 groups, K(-) (aquadest), K(+) (paracetamol 180mg), P1, P2, P3 given paracetamol with the same dose (180mg) starting on the 8th day and Averrhoa bilimbi extract at different doses (0,4g, 0,8g, 1,6g) for 14 days. Result: The average of rat’s liver histopathology damage on K(-): 1,04±0,09; K(+): 2,20±0,20; P1: 1,76±0,16; P2: 1,52±0,17; P3: 1,36±0,16. The test used was Kruskal-Wallis test (p<0,05), Post-hoc Mann Whitney test (p<0,05). Conclusion: There is an effect of giving ethanol extract of Averrhoa bilimbi to decrease the liver histopathological damage of Sprague dawley rats induced by paracetamol. Keywords: Averrhoa bilimbi, liver histopathology, paracetamol
vii
ABSTRAK
PENGARUH EKSTRAK ETANOL BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN TERHADAP HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS GALUR Sprague
dawley YANG DIINDUKSI PARASETAMOL
Oleh
FITRI NADIA SILVANI
Latar Belakang: Belimbing wuluh memiliki kandungan senyawa flavonoid yang memiliki efek antioksidan dengan menghambat berbagai reaksi oksidasi. Hepar merupakan organ metabolisme obat yang sering terkena efek toksik, salah satunya adalah akibat parasetamol. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol belimbing wuluh terhadap histopatologi hepar tikus yang diinduksi parasetamol. Metode: Desain penelitian ini adalah eksperimental laboratorik dengan rancangan post test only control group design. Jumlah sampel 25 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu K(-) (akuades), K(+) (parasetamol 180mg), P1, P2, P3 diberikan parasetamol dengan dosis yang sama (180mg) dimulai pada hari ke-8 dan ekstrak belimbing wuluh dosis dengan dosis berbeda (0,4g, 0,8g, dan 1,6g) selama 14 hari. Hasil: Hasil rerata kerusakan histopatologi hepar tikus pada K(-): 1,04±0,09; K(+): 2,20±0,20; P1: 1,76±0,16; P2: 1,52±0,17; P3: 1,36±0,16. Uji yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis (p<0,05), uji Post-hoc Mann-Whitney (p<0,05). Simpulan: Terdapat pengaruh pemberian ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) terhadap penurunan kerusakan histopatologi hepar tikus galur Sprague dawley yang diinduksi parasetamol. Kata kunci: Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn), histopatologi hepar, parasetamol
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
1.4.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 4
1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Pustaka .................................................................................... 6
2.1.1 Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) ................................... 6
2.1.2 Anatomi Hepar ......................................................................... 10
2.1.3 Fisiologi Hepar ......................................................................... 12
2.1.4 Histologi Hepar ........................................................................ 13
2.1.5 Parasetamol............................................................................... 15
2.1.6 Pengaruh Parasetamol terhadap Hepar ..................................... 17
2.2 Kerangka Teori ..................................................................................... 19
2.3 Kerangka Konsep ................................................................................. 20
2.4 Hipotesis ............................................................................................... 21
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 22
ii
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 22
3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................. 23
3.3.1 Populasi Penelitian ...................................................................... 23
3.3.2 Sampel Penelitian ........................................................................ 25
3.3.3 Cara Sampling ............................................................................. 25
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................. 27
3.5 Definisi Operasional .............................................................................. 28
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................ 28
3.6.1 Metode Pembuatan Ekstrak Belimbing Wuluh ........................... 28
3.6.2 Cara Perhitungan Dosis Ekstrak Buah Belimbing Wuluh .......... 29
3.6.3 Prosedur Pemberian Dosis Parasetamol ...................................... 30
3.6.4 Prosedur Perlakuan pada Tikus ................................................... 30
3.6.5 Prosedur Pengambilan Organ Hepar ........................................... 32
3.6.6 Prosedur Pembuatan Preparat ...................................................... 33
3.7 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 36
3.7.1 Pengolahan Data .......................................................................... 36
3.7.2 Analisis Data ............................................................................... 36
3.8 Etika Penelitian ...................................................................................... 38
3.9 Alur Penelitian ....................................................................................... 40
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan ................................................................ 41
4.2 Hasil Penelitian Utama .......................................................................... 43
4.2.1 Gambaran Histopatologi Hepar Tikus ......................................... 43
4.2.2 Analisis Gambaran Histopatologi Hepar Tikus .......................... 49
4.3 Pembahasan ........................................................................................... 55
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ................................................................................................ 62
5.2 Saran ...................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Belimbing Wuluh ................................ 8
2. Definisi Operasional Variabel ................................................................... 28
3. Rerata Skor Kerusakan Hepar Tikus ......................................................... 50
4. Hasil Rerata Skor Gambaran Histopatologi .............................................. 51
5. Analisis Shapiro-Wilk Gambaran Kerusakan Hepar ................................. 53
6. Analisis Uji Post Hoc Mann Whitney ....................................................... 54
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Belimbing Wuluh ...................................................................................... 7
2. Anatomi Hepar Anterior ........................................................................... 10
3. Anatomi Hepar Posterior .......................................................................... 11
4. Histologi Normal Hepar ............................................................................ 14
5. Struktur Kimia Parasetamol ...................................................................... 15
6. Gambaran Histopatologik Hepar Tikus dengan Perbesaran 400x ............ 18
7. Kerangka Teori ......................................................................................... 20
8. Kerangka Konsep ...................................................................................... 21
9. Cara Sampling ........................................................................................... 26
10. Alur Penelitian .......................................................................................... 40
11. Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Perlakuan 1 Penelitian
Pendahuluan .............................................................................................. 42
12. Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Perlakuan 2 Penelitian
Pendahuluan .............................................................................................. 42
13. Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Kontrol Negatif ............................ 45
14. Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Kontrol Positif ............................. 46
15. Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Perlakuan 1 .................................. 47
16. Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Perlakuan 2 .................................. 48
17. Histopatologi Hepar Tikus Kelompok Perlakuan 3 .................................. 49
18. Grafik Rerata Kerusakan Hepar Tikus ...................................................... 52
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Parasetamol adalah obat analgesik yang paling banyak digunakan di seluruh
dunia baik itu dalam bentuk resep atau obat bebas/over-the-counter (OTC).
Obat ini ditetapkan oleh WHO sebagai lini pertama untuk penatalaksanaan
nyeri dan saat ini direkomendasikan sebagai lini pertama terapi farmakologis
oleh berbagai pedoman penatalaksanaan nyeri baik itu nyeri akut maupun
kronis (Roberts dkk, 2016). Penggunaan parasetamol dilaporkan antara 65%
sampai 75% di Amerika Serikat dan lebih dari 50% di Eropa (Afadass dkk,
2017).
Parasetamol aman digunakan dalam dosis terapi di bawah 4 gram per hari.
Namun penggunaan jangka panjang dan overdosis akut (dosis lebih dari 4-6
gram per hari) dapat menyebabkan hepatotoksisitas (Clark dkk, 2012).
Hepatotoksisitas merupakan kerusakan organ hati yang dapat disebabkan oleh
penggunaan obat dalam dosis yang terlalu tinggi (Rianyta dan Utami, 2013).
Dilaporkan di United Kingdom (UK) hampir setengah dari kasus overdosis
obat terjadi karena parasetamol atau obat lain dengan kandungan parasetamol
2
(Galistiani dkk, 2014). Hampir separuh kasus acute liver failure di Amerika
Serikat disebabkan oleh parasetamol dengan penggunaan yang disengaja
(bunuh diri) dan tidak disengaja (kronis). Di Oxford, Inggris, proporsi
overdosis dengan parasetamol meningkat dari 14,3% pada tahun 1976
menjadi 42% pada tahun 1990, dan pada tahun 1993, sebanyak 47,8% dari
semua kasus overdosis disebabkan oleh parasetamol. Di Skotlandia, overdosis
parasetamol meningkat hampir 400% antara tahun 1981-1983 dan 1991-1993
(Ibrahim dkk, 2013).
Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi gangguan fungsi hati umumnya
bersifat simtomatik. Selain itu, dapat juga diberikan pengobatan yang sifatnya
protektif terhadap hati. Pengobatan tersebut disebut hepatoprotektif, yaitu
obat-obatan yang khasiatnya dapat melindungi hati dari zat toksik yang
bersifat hepatotoksik. Saat ini banyak dikembangkan obat-obatan yang
sifatnya hepatoprotektor. Obat-obatan tersebut ada yang terbuat dari bahan
kimia maupun dari bahan alam misalnya tumbuh-tumbuhan (Hamidy dkk,
2009). Penggunaan obat-obatan yang berbahan dasar tanaman atau disebut
juga obat herbal banyak dipakai di negara maju maupun negara berkembang
karena dianggap lebih sehat dan mudah digunakan di rumah (Ekor, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 80% orang yang tinggal
di Afrika dan Asia menggunakan obat herbal untuk membentu memenuhi
kebutuhan perawatan kesehatan mereka (Alhassan dan Ahmed, 2016).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) adalah salah satu tanaman obat
penting dari banyak negara tropis dan subtropis di dunia. Buah ini kaya akan
3
vitamin C dan asam oksalat (Alhassan dan Ahmed, 2016). Berdasarkan hasil
analisis fitokimia, ekstrak belimbing wuluh memiliki kandungan karbohidrat,
flavonoid, fenol, glikosida, dan asam amino (Thamizh dkk, 2015). Menurut
sebuah penelitian, senyawa flavonoid memiliki efek antioksidan dengan
menghambat berbagai reaksi oksidasi. Semakin tinggi kandungan flavonoid,
maka potensi antioksidannya akan semakin tinggi (Soeksmanto dkk, 2007).
Hepar merupakan organ metabolisme obat yang sering terkena efek toksik,
salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Buah
belimbing wuluh memiliki senyawa antioksidan yang dapat melindungi hepar
dari kerusakan sel hepar. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin
mengetahui pengaruh ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai
antioksidan terhadap gambaran histopatologis sel hepar tikus yang diinduksi
parasetamol.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur Sprague dawley
yang diinduksi parasetamol?
2. Apakah terdapat pengaruh peningkatan dosis ekstrak etanol belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur
Sprague dawley yang diinduksi parasetamol?
4
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur Sprague dawley yang
diinduksi parasetamol.
2. Mengetahui pengaruh peningkatan dosis ekstrak etanol belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur
Sprague dawley yang diinduksi parasetamol.
1.4 Manfaat Penelitan
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di
bidang ilmu kedokteran farmakologi dan patologi anatomi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Penulis
Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang
telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan
peneliti.
2. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
3. Bagi Institusi
Menambah sumber referensi mengenai manfaat belimbing wuluh
terhadap kesehatan.
5
4. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi
masyarakat tentang manfaat dari belimbing wuluh.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Pustaka
2.1.1 Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan tanaman obat
dari famili Oxalidaceae. Genus Averrhoa dinamai oleh seorang filsuf
Arab, dokter, dan ahli hukum islam, yang sering dikenal dengan
sebutan Averroes. Belimbing wuluh berhubungan erat dengan Averrhoa
carambola (starfruit) yang diklaim sebagai tanaman asli Malaysia Barat
dan Maluku Indonesia (Alhassan dan Ahmed, 2016).
Adapun klasifikasi tanaman buah belimbing wuluh adalah sebagai
berikut.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
7
Famili : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa Adans – averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L (Alhassan dan Ahmed, 2016).
Gambar 1. Belimbing Wuluh (Orwa, 2009).
Belimbing wuluh pada dasarnya adalah pohon tropis yang kurang tahan
terhadap suhu dingin. Pohon belimbing wuluh ini berumur panjang,
tingginya dapat mencapai 5 sampai 10 meter (Thamizh dkk, 2015).
Buah belimbing wuluh berbentuk elipsoid atau hampir silindris,
memiliki 5 sisi dengan panjang 4-10 cm. Buah ini ditutupi oleh kelopak
berbentuk bintang di ujung batang pohon. Saat belum matang, buahnya
berwarna hijau, berubah menjadi hijau terang hingga hijau kekuningan
saat matang dan jatuh ke tanah. Kulit luarnya mengilap, sangat tipis,
lembut, dan dagingnya hijau berair dan sangat masam (Orwa, 2009).
8
Manfaat buah belimbing wuluh dalam pengobatan berbagai penyakit
menular dan noninfeksi telah dibuktikan melalui beberapa penelitian
ilmiah yang relevan. Sejumlah penelitian farmakologis termasuk
penelitian in vitro dan in vivo pada buah belimbing wuluh menunjukan
khasiat seperti antidiabetes, antihipertensi, antitrombotik,
antihiperlipidemia, antisitotoksik, antimikroba, antihelmintik,
antioksidan, hepatoprotektif, dan penyembuhan luka (Alhassan dan
Ahmed, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thamizh pada tahun 2015,
analisis fitokimia dari ekstrak buah belimbing wuluh didapatkan
kandungan karbohidrat, flavonoid, fenol, glikosida, dan asam amino
(Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Belimbing Wuluh.
Analisis Fitokimia Kandungan
Karbohidrat +++
Fenol +++
Flavonoid +++
Tanin +
Steroid -
Terpenoid -
Alkaloid +
Glikosida ++
Saponin -
Asam Amino +++
Sumber: (Thamizh dkk, 2015)
Karbohidrat merupakan hasil utama fotosintesis tumbuhan hijau yang
kelebihannya disimpan di tempat-tempat penyimpanan cadangan
9
makanan termasuk buah. Karbohidrat merupakan makronutrien penting
karena merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup.
Karbohidrat memiliki rumus umum Cn(H2O)n atau (CH2O)n dan masih
dibagi lagi ke dalam empat kelompok yaitu monosakarida, disakarida,
oligosakarida, dan polisakarida. Monosakarida yang banyak terdapat
dalam tumbuhan yaitu glukosa dan fruktosa, sedangkan disakarida yang
banyak terdapat dalam tumbuhan adalah sukrosa dan maltosa. Amilum
merupakan bentuk polisakarida yang disimpan dalam bentuk buah
(Fitrianingrum dkk, 2013).
Flavonoid merupakan pigmen warna yang terdapat pada tanaman,
misalnya antosianin sebagai penyusun warna biru, violet, dan merah;
falvon dan flavonol sebagai penyusun warna kuning redup, khalkon dan
auron penyusun warna kuning terang. Isoflavon, flavonol merupakan
senyawa tak berwarna (Febrianti dan Sari, 2016). Flavonoid merupakan
senyawa yang umumnya terdapat pada tumbuhan hijau yang memiliki
efek antioksidan. Keaktifan dari golongan senyawa yang yang berfungsi
sebagai antioksidan ditentukan oleh adanya gugus fungsi hidroksi bebas
dan ikatan rangkap karbon-karbon (Asih dkk, 2015).
Tumbuhan banyak menghasilkan metabolit sekunder yang mengandung
gugus fenol. Kelompok senyawa fenol antara lain flavonoid dan asam
fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas
antioksidan adalah senyawa fenol yang memiliki gugus hidroksi yang
tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR
10
(Andayani dkk, 2008). Glikosida adalah senyawa yang terdapat pada
tumbuhan dan memiliki kandungan gula. Glikosida termasuk dalam
golongan senyawa fenol yang larut dalam pelarut organik (Mastuti,
2016).
2.1.2 Anatomi Hepar
Gambar 2. Anatomi Hepar Anterior (Paulsen dan Waschke, 2015).
11
Gambar 3. Anatomi Hepar Posterior (Paulsen dan Waschke, 2015).
Hepar merupakan kelenjar paling besar dengan berat 1200-1800 gram
dan organ metabolik utama pada tubuh. Hepar dibagi menjadi lobus
kanan yang lebih besar dan kiri yang lebih kecil yang dipisahkan oleh
Lig. Falciforme di sebelah ventral. Selain itu, terdapat lobus quadratus
di ventral dan caudatus di dorsal (Paulsen dan Waschke, 2015).
Hepar teletak di kuadran kanan atas abdomen, tersembunyi dalam
sangkar dada yang juga melindunginya. Hepar terletak lebih ke kaudal
saat berdiri tegak karena pengaruh gaya berat. Hepar berbentuk seperti
limas dengan dengan dasar di sebelah kanan dan puncak di sebelah kiri.
Pada keadaan normal, hepar meluas ke kaudal sampai arcus costalis
dexter (Moore dan Agur, 2015).
Hepar didarahi oleh arteriae hepatica propria yang berasal dari
arteriae hepatica communis, suatu cabang dari truncus coeliacus.
12
Setelah bercabang menjadi arteriae gastrica dextra, arteriae hepatica
propria berjalan dalam ligamentum hepatoduodenale bersama dengan
vena portae hepatis dan ductus choledochus ke hilum hepatis.
Sedangkan untuk aliran darah balik, hepar memiliki sistem vena masuk
dan keluar. Vena portae hepatis mengumpulkan darah yang kaya akan
nutrisi dari organ abdomen yang tidak berpasangan seperti gaster, usus,
pankreas, limpa dan mengalirkannya bersama dengan darah arterial dari
arteriae hepatica communis, ke dalam sinusoid lobulus hepaticus. Tiga
vena hepar membawa darah dari hepar ke vena cava inferior (Paulsen
dan Waschke, 2015).
2.1.3 Fisiologi Hepar
Fungsi dari hepar dalam sistem pencernaan adalah sekresi garam
empedu, yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Hepar
juga melakukan berbagai fungsi lain sebagai berikut:
1. Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien
(karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap oleh
saluran cerna.
2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon
serta obat dan senyawa asing lain.
3. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah yang mengangkut hormon steroid dan
tiroid serta kolesterol dalam darah dan angiotensinogen yang
13
penting dalam Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (SRAA) yang
mengonversi garam.
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Mengaktifkan vitamin D yang dilakukan bersama ginjal.
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya
makrofag residen.
7. Menyekresi hormon trombopoietin, hepsidin, faktor pertumbuhan.
8. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi.
9. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin (Sherwood, 2016).
2.1.4 Histologi Hepar
Hati terdiri dari unit-unit heksagonal yaitu lobulus hepatikus
(Eroschenko, 2014). Sel-sel hati atau hepatosit merupakan sel-sel epitel
berkelompok membentuk lempeng yang saling berhubungan. Bentuk
susunan hepatosit menyerupai susunan batu bata di tembok dan
tersusun radial di sekeliling vena sentral. Celah di antara lempeng ini
mengandung komponen mikrovaskular penting yang disebut sinusoid
hati yang terdiri dari lapisan diskontinu sel endotel bertingkap, sel
makrofag atau sel Kupffer dan sel penimbun-lemak (Mescher, 2015).
Sel endotel yang melapisi sinusoid hati merupakan sel endotel
berfenestra (endotheliocytus fenestratum) yang juga menunjukan
lamina basalis yang berpori dan tidak utuh. Sebagian besar sel yang
melapisi sinusoid hati adalah sel endotel. Di tepi lobulus terlihat
14
jaringan ikat septum interlobularis dan bagian duktus biliaris yang
dilapisi oleh sel kuboid (Eroschenko, 2014).
Gambar 4. Histologi Normal Hepar (Eroschenko, 2014).
Unit struktural dan fungsional hepar adalah lobulus hepar. Lobulus
hepar sendiri terbagi menjadi tiga lobulus, antara lain lobulus klasik,
asinus hepar, dan lobulus portal. Lobulus klasik berisi vena sentralis
atau vena sentrilobular dan komponen trias portal pada bagian
sudutnya. Area asinus hepar ditentukan oleh jaringan hepatik yang
menerima darah dari cabang arteri hepatik yang mengalirkan darah ke
vena sentral yang berlawanan (Kierszenbaum dan Tres, 2012). Setiap
lobulus hati memiliki tiga sampai enam area portal di bagian perifernya
dan suatu venula yang disebut vena sentral atau vena sentilobuler di
bagian pusatnya. Trias porta terdiri atas jaringan ikat dengan suatu
venula (cabang vena portal), arteriol (cabang arteri hepatica), dan
duktus epitel kuboid (cabang duktus biliaris) – ketiga struktur ini
disebut trias porta (Mescher, 2015).
15
2.1.5 Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Obat ini di Indonesia
lebih dikenal dengan nama parasetamol dibandingkan dengan
asetaminofen dan tersedia sebagai obat bebas (Gunawan dan Gan,
2009).
Parasetamol merupakan salah satu obat analgesik-antipiretik yang
sangat populer. Terdapat banyak jenis sediaan parasetamol, yaitu tablet,
kapsul, sirup, eliksir, suspensi, dan supositoria. Pada umumnya,
parasetamol diberikan dalam bentuk tablet dengan bahan aktif 500mg.
Parasetamol juga sering dikombinasikan dengan obat lain dalam bentuk
suatu formulasi (Sudjadi dan Rohman, 2015).
Gambar 5. Struktur Kimia Parasetamol (Bebenista dan Nowak, 2014).
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan nyeri ringan sampai
nyeri sedang dan menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
16
diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti inflamasinya sangat
lemah oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai anti
reumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan keseimbangan
asam basa dan pernapasan (Gunawan dan Gan, 2009).
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran pencernaan.
Konsentrasi tertinggi dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini terdistribusi ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma, 25% parasetamol terikat pada protein plasma. Obat ini
dimetabolisme dengan enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol
(80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya
dengan asam sulfat. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil
sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi (Gunawan dan Gan, 2009).
Parasetamol memiliki beberapa nama generik bermerek, antara lain
tylenol, tempra, panadol, acephen, lain-lain. Parasetamol dapat
dikonsumsi secara oral dengan jenis sediaan tablet 160, 500, 650 mg;
tablet kunyah 80 mg; kaplet 160, 500, 650 mg; kapsul 325, 500 mg;
eliksir 80, 120, 160 mg/5mL; eliksir 500 mg/5 mL; larutan 80 mg/1,66
mL, 100 mg/mL. Untuk penggunaan pada rektum, sediaan parasetamol
yaitu supositoria 80, 120, 125, 300, 325, 650 mg (Katzung dkk, 2013).
17
Dosis toksik parasetamol secara umum terjadi pada dosis 7,5 – 10 gram
pada orang dewasa dan > 150 mg/kgbb pada anak di bawah usia 12
tahun (Farrell, 2014). Meskipun pemakaian dosis tinggi parasetamol
berkaitan erat dengan peningkatan resiko acute liver failure, namun
penggunaan jangka panjang juga dapat menyebabkan toksisitas hepar
(Jurnalis dkk, 2015).
Kondisi klinis sesorang yang mengalami hepatotoksisitas akibat
parasetamol dapat berupa muncul bercak ruam merah, urtikaria, sesak
nafas, diare, hipotermia, nyeri perut, confused, dan agitasi.
Penatalaksanaan yang paling efektif adalah menghentikan pemakaian
obat penyebab kelainan hati yaitu parasetamol (Hay dkk, 2009).
2.1.6 Pengaruh Parasetamol terhadap Hepar
Obat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dalam beberapa cara.
Sebagian langsung merusak hati, lainnya diubah oleh hati menjadi
bahan kimia yang dapat berbahaya bagi hati secara langsung maupun
tidak langsung. Ada 3 jenis penyebab hepatotoksisitas, yaitu toksisitas
bergantung dosis (dose-dependent toxicity), toksisitas idiosinkratik
(idiosyncratic toxicity), dan alergi obat (drug allergy) (Rianyta dan
Utami, 2013).
Gambaran histopatologi hepar pada sel hati normal, akan tampak
gambaran struktur lobular dari sel hepar tampak bersih dan hepatosit
single layer yang menyebar pada daerah sekitar vena sentral, terdapat
18
sitoplasma yang basofilik pada sel hepatosit. Pada hepatotoksisitas,
tampak gambaran area nekrosis sentrilobular yang luas, degenerasi
vacuolar dan infiltrasi sel inflammatori (Jurnalis dkk, 2015).
Perubahan gambaran mikroskopik hepar akibat induksi parasetamol
disebabkan hasil metabolisme parasetamol diperantarai oleh metabolit
reaktif toksik N-asetil-p-benzoquinon dan radikal bebas yang dibentuk
dari senyawa induk oleh sistem oksidasi fungsi campuran sitokrom
P450 yang banyak terdapat di daerah vena sentralis (area sentrilobuler)
(Pestalozi, 2014).
Keterangan:
a = vena sentralis d = binuklear
b = sel hepatosit normal e = degenerasi hidropik
c = degenerasi parenkimatosa f = nekrosis
Gambar 6. Gambaran Histopatologik Hepar Tikus dengan Perbesaran
400x (Prasetiawan dkk, 2013).
19
2.2 Kerangka Teori
Kerusakan organ hepar akibat penggunaan parasetamol dosis toksik atau
jangka panjang terjadi dikarenakan suatu metabolit NAPQI (N-acetyl-p-
benzoquinoneimine) yang sangat reaktif. Dalam keadaan normal, produk
metabolit ini akan berikatan dengan kadar gluthation di hati dengan cepat,
sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi pada keadaan
kelebihan dosis atau pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan produksi
metabolit NAPQI terus bertambah dan tidak sebanding dengan kadar
gluthation di hati. Kemudian NAPQI akan membentuk suatu makromolekul
pada sel hati dan mengakibatkan nekrosis sel hati (Jurnalis dkk, 2015).
Kerusakan pada hati dapat dicegah dengan efek antioksidan yang berasal dari
senyawa aktif flavonoid buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn). Efek
antioksidan melindungi sel hepar dari kerusakan dengan cara mencegah
radikal bebas. Menurut sebuah penelitian, senyawa flavonoid memiliki efek
antioksidan dengan menghambat berbagai reaksi oksidasi. Semakin tinggi
kandungan flavonoid, maka potensi antioksidannya akan semakin tinggi
(Soeksmanto dkk, 2007; Pestalozi, 2014).
20
: Memicu
: Menghambat
: Yang diuji
Gambar 7. Kerangka Teori.
2.3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian aktivitas antioksidan belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L) pada kerusakan sel hepar tikus galur Sprague dawley
yang diinduksi parasetamol dapat dilihat pada gambar 8.
Belimbing Wuluh
Efek Antioksidan
Parasetamol
Pemakaian Dosis Toksis
Produksi Metabolit NAPQI Terus Menerus
Makromolekul pada Sel Hati
Kerusakan Sel Hati
Mencegah Radikal Bebas
Keterangan:
Senyawa Aktif: Flavonoid
21
Keterangan: : Variabel independen : Variabel dependen
Gambar 8. Kerangka Konsep.
2.4 Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Ada pengaruh ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L)
terhadap histopatologi hepar tikus putih galur Sprague dawley yang
diinduksi parasetamol.
2. Ada pengaruh perbedaan dosis ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L) terhadap histopatologi hepar tikus putih galur Srague dawley
yang diinduksi parasetamol.
Pemberian Paracetamol
Pemberian Ekstrak Belimbing Wuluh
Gambaran Histopatologi Sel Hepar Tikus Galur
Sprague dawley
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik yang
menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan rancangan posttest-
only control group design. Dengan rancangan ini, memungkinkan peneliti
untuk mengukur pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen
dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol
(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini menggunakan subjek penelitian yaitu
tikus galur Sprague dawley dewasa berumur 10-12 minggu sebanyak 25 ekor
yang akan pilih secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu 2
kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Animal House Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung, dan Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan supervisi yang
23
sudah berpengalaman di bidangnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Agustus hingga Desember 2018.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini menggunakan tikus galur Sprague dawley
berusia 10-12 minggu. Untuk menghitung besar sampel digunakan
rumus Frederer sebagai berikut:
(n-1) (t-1) ≥ 15
Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan
jumlah pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok (Supratanda,
2014). Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga t =
5, maka didapatkan:
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (5-1) ≥ 15
(n-1) 4 ≥ 15
(n-1) ≥ 3,75
n ≥ 4,75
Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunkan sampel 5 ekor
tikus galur Sprague dawley per kelompok.
24
Untuk menghindari drop out ditambahkan tikus dengan rumus sebagai
berikut:
� = �
� − �
Keterangan:
N = Besar sampel koreksi
n = Jumlah sampel berdasarkan estimasi
f = Perkiraan proporsi drop out sebesar 10% (Sastroasmoro dan Ismail,
2010).
� = 5
1 − �
� = 5
1 − 10%
N = 5 + 0,9
N = 5,67
N = 6
Berdasarkan perhitungan sampel di atas, akan diberikan penambahan 1
ekor tikus per kelompok untuk menghindari drop out. Sehingga total
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 ekor
tikus galur Sprague dawley. Sampel akan dipilih menggunakan metode
simple random sampling.
25
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus galur Sprague
dawley yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Kriteria Inklusi
1. Tikus galur Sprague dawley
2. Memiliki berat 200-250 gram
3. Berusia 10-12 minggu
4. Kesehatan umum baik (bergerak aktif, rambut tidak kusam,
rontok, dan botak)
b. Kriteria Ekslusi
1. Mati selama waktu penelitian
2. Adanya penurunan berat badan lebih dari 10% selama masa
adaptasi di laboratorium
3. Tikus kurang sehat, penampakan rambut rontok, keluar
eksudat dari hidung dan ruam pada kulit
3.3.3 Cara Sampling
Penempatan tikus ke dalam 5 kelompok percobaan akan dilakukan
secara acak atau randomisasi dengan perlakuan yang dapat dilihat pada
gambar 9.
26
Gambar 9. Cara Sampling.
Keterangan:
S = Sampel
R = Randomisasi
K = Kontrol
P = Perlakuan
K(-)=Kontrol negatif sebagai pembanding tikus yang mendapat diet
standar, tanpa pemberian ekstrak belimbing wuluh dan
parasetamol.
K(+)=Kontrol positif sebagai pembanding tikus yang mendapat diet
standar dan parasetamol 180mg, tanpa pemberian ekstrak
belimbing wuluh.
P1= Tikus dengan diet standar diberi parasetamol 180mg, dengan
pemberian ekstrak belimbing wuluh 0,4g.
S R
K(-)
K(+)
P1
P2
P3
27
P2= Tikus dengan diet standar diberi parasetamol 180mg, dengan
pemberian ekstrak belimbing wuluh 0,8g.
P3= Tikus dengan diet standar diberi parasetamol 180mg, dengan
pemberian ekstrak belimbing wuluh 1,6g.
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas:
Ekstrak buah belimbing wuluh.
2. Variabel Terikat:
Gambaran histopatologi hepar tikus galur Sprague dawley.
3. Variabel Terkendali
a. Galur tikus : Sprague dawley
b. Umur tikus : 10-12 minggu
c. Berat badan tikus : 200-250 gram
28
3.5 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan pelaksanaan
penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas yaitu sebagai berikut.
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel.
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Ekstrak Belimbing Wuluh
Pemberian ekstrak etanol belimbing wuluh
Neraca analitik
Dosis efektif ekstrak etanol belimbing wuluh adalah 0,8 g. Dosis ekstrak etanol belimbing wuluh masing-masing kelompok perlakuan: P1= 0,4g P2= 0,8g P3= 1,6g
Ordinal
Gambaran Histopatologi Hepar
Kerusakan hepar tikus akan dilihat di daerah lobulus klasik area sentrilobular dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x pada 5 lapang pandang dan dinilai skor tiap lapang pandang. Kerusakan tiap lapang pandang dijumlahkan dan dirata-ratakan.
Mikroskop cahaya
Kriteria penilaian derajat histopatologi hepar menggunakan model scoring histopathology Manja Roenigk sebagai berikut. 1: Normal 2: Degenerasi parenkimatosa 3: Degenerasi hidropik 4: Nekrosis (Arifuddin dkk, 2016).
Numerik
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Metode Pembuatan Ekstrak Belimbing Wuluh
Pembuatan ekstrak dilakukan di laboratorium Kimia Organik Fakultas
MIPA Universitas Lampung. Proses pembuatan ekstrak ini
29
menggunakan metode maserasi dan etanol sebagai pelarut. Maserasi
adalah metode perendaman. Syarat dari metode ini adalah tersedianya
waktu kontak yang cukup antara pelarut dan jaringan yang diekstraksi
(Sukohar dkk, 2014). Pembuatan esktrak belimbing wuluh dilakuan
dengan mengiris tipis buah belimbing wuluh segar yang baru dipetik
dari pohon, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah itu,
irisan yang sudah kering dibuat serbuk dengan menggunakan blender
atau mesin penyerbuk. Etanol dengan kadar 96% sebanyak 2 liter
ditambahkan untuk melakukan ekstraksi dari serbuk ini selama kurang
lebih 2 (dua) jam kemudian dilanjutkan dengan maserasi selama 24
jam. Setelah itu masuk ke tahap filtrasi sehingga diperoleh filtrat dan
residu. Filtrat yang didapatkan akan diteruskan ke tahap evaporasi
dengan Rotatory evaporator pada suhu 40oC sehingga akhirnya
diperoleh ekstrak kering (Andriyanto dkk, 2011).
3.6.2 Cara Perhitungan Dosis Ektrak Buah Belimbing Wuluh
Dosis efektif yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasar pada
penelitian yang dilakukan oleh Labibi (2015) adalah 0,8g/200gBB.
Dosis pertama ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) diambil
dari setengah dosis efektif tikus, sedangkan dosis kedua diambil dari
dosis efektif, dan dosis ketiga diambil dari hasil pengalian dua kali dari
dosis efektif.
30
a. Dosis untuk tiap tikus pada kelompok perlakuan 1
½ x 0,8g = 0,4g
b. Dosis untuk tiap tikus pada kelompok perlakuan 2
1 x 0,8g = 0,8g
c. Dosis untuk tiap tikus pada kelompok perlakuan 3
2 x 0,8g = 1,6g
3.6.3 Prosedur Pemberian Dosis Parasetamol
Dosis toksik parasetamol minimum yang dapat menyebabkan kerusakan
pada hepar adalah 7,5-10 gram per hari (Farrel, 2014). Dosis
parasetamol yang akan digunakan untuk penelitian ini 10 gram per hari
dengan harapan dosis tersebut dapat menimbulkan kerusakan sel hepar
sampai pada nekrosis.
Penentuan dosis yang diberikan pada perlakuan terhadap tikus
berdasarkan hasil konversi dari manusia dengan berat badan 70 kg ke
tikus dengan berat badan 200 gram. Angka konversi dari manusia ke
tikus adalah 0,018. Sehingga konversi parasetamol dari 70kgBB
manusia untuk tikus = 0,018 x 10g = 0,180g atau sama dengan 180mg.
3.6.4 Prosedur Perlakuan pada Tikus
1) Tikus sebanyak 30 ekor, dikelompokan dalam 5 kelompok
2) Selama satu minggu setiap kelompok tikus diadaptasi sebelum
diberi perlakuan
3) Mengukur berat badan tikus sebelum perlakuan
31
4) Melakukan perlakuan pada masing-masing kelompok sebagai
berikut.
a) Kelompok 1 sebagai kontrol negatif yang disebut K(-)
diberikan aquades (minum) dan pakan standar selama 14 hari.
b) Kelompok 2 sebagai kontrol positif yang disebut K(+)
diberikan akuades (minum) dan pakan standar ditambah
parasetamol dosis 180mg selama 7 hari dimulai pada hari ke-8.
c) Kelompok 3 sebagai kelompok perlakuan 1 yang disebut P1,
diberikan akuades (minum) dan pakan standar ditambah
ekstrak belimbing wuluh dosis 0,4g. Kemudian selang 2 jam
kelompok P1 diberikan induksi parasetamol dosis 180mg.
Masing-masing diberikan peroral selama 14 hari untuk ekstrak
belimbing wuluh dan selama 7 hari dimulai hari ke-8 untuk
parasetamol.
d) Kelompok 4 sebagai kelompok perlakuan 2 yang disebut P2,
diberikan akuades (minum) dan pakan standar ditambah
ekstrak belimbing wuluh dosis 0,8g. Kemudian selang 2 jam
kelompok P2 diberikan induksi parasetamol dosis 180mg.
Masing-masing diberikan peroral selama 14 hari untuk ekstrak
belimbing wuluh dan selama 7 hari dimulai hari ke-8 untuk
parasetamol.
e) Kelompok 5 sebagai kelompok perlakuan 3 yang disebut P3,
diberikan akuades (minum) dan pakan standar ditambah
ekstrak belimbing wuluh dosis 1,6g. Kemudian selang 2 jam
32
kelompok P3 diberikan induksi parasetamol dosis 180mg.
Masing-masing diberikan peroral selama 14 hari untuk ekstrak
belimbing wuluh dan selama 7 hari dimulai hari ke-8 untuk
parasetamol.
5) Setelah 14 hari, perlakuan diberhentikan.
6) Lima tikus dari setiap kelompok diterminasi dengan kloroform dan
dilakukan laparotomi untuk mengambil organ hepar.
7) Pembuatan sediaan mikroskopis digunakan metode paraffin dan
pewarnaan Hematoksilin eosin.
3.6.5 Prosedur Pengambilan Organ Hepar
Tikus dikeluarkan dari kandang dan ditempatkan terpisah dengan tikus
lainnya kemudian ditunggu beberapa saat untuk mengurangi
penderitaan pada tikus akibat aktivitas antara lain, pemindahan,
penanganan, gangguan antar kelompok, dan penghapusan berbagai
tanda yang pernah dilakukan. Setelah itu, tikus dianestesi dengan
kloroform (Leary, 2013; Suharyadi, 2014). Setelah itu dilakukan
pembedahan, hepar tikus diambil untuk sediaan mikroskopis.
33
3.6.6 Prosedur Pembuatan Preparat
Metode pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai berikut.
1) Fixation
Memfiksasi spesimen berupa potongan organ hepar yang telah
dipilih dengan larutan pengawet formalin 10% dan dicuci dengan
air mengalir 3-5 kali.
2) Trimming/sampling
Membuat irisan potongan hepar dengan ketebalan sekita 3-5mm.
Kemudian, memasukan potongan organ hepar tersebut ke dalam
embedding cassette.
3) Dehidration
Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada
kertas tisu. Berturut-turut melakukan perendaman organ hepar
dalam alkohol bertingkat 70%, 96%, absolut I, II, III masing-
masing selama 1 jam.
4) Clearing
Untuk membersihkan sisa alkohol , dilakukan clearing dengan xilol
I, II, III masing-masing selama 30 menit.
5) Impregnation
Impregnasi dengan menggunakan parafin selama 1 jam di dalam
inkubator dengan suhu 65,1ºC.
34
6) Embedding
a) Membersihkan sisa parafin yang ada pada pan logam dengan
memanaskan beberapa saat di atas api dan usap dengan kapas.
b) Menyiapkan parafin dengan memasukan parafin ke dalam
cangkir logam dan memasukan ke dalam oven dengan suhu di
atas 58ºC.
c) Menuangkan parafin cair ke dalam pan.
d) Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar
pan dengan mengatur jarak satu dengan yang lainnya.
e) Memasukan pan ke dalam air.
f) Melepaskan parafin yang berisi potongan hepar dari pan
dengan memasukan ke dalam suhu 4-6ºC beberapa saat.
g) Memotong parafin sesuai dengan letak jaringan yang ada
dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.
h) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirannya dan buat
ujungnya sedikit meruncing.
i) Memblok parafin siap dipotong dengan mikrotom.
7) Cutting
a) Melakukan pemotongan pada ruangan dingin.
b) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu.
c) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan
halus dengan ketebalan 4-5 mikron.
d) Memilih lembaran potongan yang paling baik
35
e) Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath dengan
suhu 60ºC selama beberapa detik sampai mengembang
sempurna (pemekaran pita parafin).
f) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan
tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau
pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada
gelembung udara di bawah jaringan.
g) Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan pada
inkubator (suhu 37ºC) selama 24 jam untuk merekatkan
jaringan dan mencairkan sisa parafin sebelum pewarnaan.
8) Stainning (pewarnaan) dengan Harris Hematoxylin Eosin
Pertama, dilakukan deparafinisasi dengan menggunakan larutan
xilol I dan II masing-masing selama 5 menit serta hidrasi ke dalam
alkohol absolut selama 1 menit serta alkohol 96%, dan alkohol
70% masing-masing selama 2 menit lalu dengan air/akuades
selama 10 menit. Kedua, lakukan pulasan inti dengan zat warna
Harris Hematoxylin selama 15 menit, lalu air mengalir, dan eosin
selama maksimal 1 menit. Ketiga, lakukan dehidrasi dengan
menggunakan alkohol 70%, 96%, dan absolut masing-masing
selama 2 menit. Keempat, lakukan penjernihan dengan
menggunakan larutan xilol I dan II masing-masing selama 2 menit.
9) Mounting
Menempatkan slide di atas kertas tisu pada tempat datar, menetesi
dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan
36
cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.
Kemudian membaca slide dengan mikroskop (Suharyadi, 2014).
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah
dalam bentuk tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan
software komputer yang terdiri dari beberapa langkah:
1. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang
dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk
keperluan analisis.
2. Data entry, memasukan data ke dalam program software.
3. Verifikasi, memasukan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukan ke dalam program software.
4. Output, hasil yang telah dianalisis oleh software komputer
kemudian dicetak.
3.7.2 Analisis Data
Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan
menggunakan program pengolahan data dengan jenis analisa univariat
dan bivariat. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
37
1. Analisa Univariat
Penelitian ini melakukan analisis statistik dengan menggunakan
program statistik. Analisis univariat untuk melihat apakah ada
hubungan antara pemberian parasetamol dengan gambaran
histopatologi hepar tikus galur Sprague dawley.
2. Uji normalitas data (p > 0,05)
Pengujian normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk test
dikarenakan besar sampel ≤ 50 (30 sampel). Uji normalitas
dilakukan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak
normal. Distribusi normal adalah data yang telah ditransformasikan
ke dalam bentuk p dan diasumsikan normal. Jika nilainya di atas
0,05 maka distribusi data dinyatakan memenuhi asumsi normalitas
dan jika nilainya di bawah 0,05 maka diinterpretasikan sebagai
tidak normal. Hasil uji normalitas ini untuk menentukan analisis
berikutnya yaitu analisis parametrik bila data berdistribusi normal
atau non parametrik bila data tidak berdistribusi normal.
3. Uji homogenitas data (p > 0,05)
Pengujian homogenitas data menggunakan uji Levene untuk
mengetahui data homogen atau tidak homogen. Jika nilainya di atas
0,05 maka homogenitas data dinyatakan memenuhi asumsi
homogen, dan jika nilainya di bawah 0,05 maka diinterpretasikan
sebagai tidak homogen. Hasil uji homogenitas ini untuk
menentukan analisis berikutnya, yaitu analisis parametrik bila data
homogen atau non parametrik bila data tidak homogen.
38
4. Uji parametrik (One-Way ANOVA)
Pengujian parametrik dilakukan untuk menguji perbedaan pengaruh
kelompok I, kelompok II, kelompok III, kelompok IV, dan
kelompok V. Uji one way analysis of variance (one way ANOVA)
dilakukan karena penelitian ini berupa analisis komparatif numerik
tidak berpasangan > 2 kelompok. Bila tidak memenuhi syarat
parametrik (distribusi data tidak normal) maka dilakukan uji non
parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis.
3.8 Etika Penelitian
Ethical Cleareance penelitian ini telah diajukan kepada komisi etik Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dan telah mendapatkan persetujuan dengan
nomor 3832/UN26.18/PP.05.02.00/2018. Prinsip etika dalam menggunakan
hewan coba sebagai subjek penelitian harus memenuhi prinsip-prinsip, yaitu:
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan coba sudah
diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun
untuk literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat
digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Dalam hal
ini, peneliti menggunakan hewan coba tikus putih galur Sprague dawley dan
tidak digantikan dengan hewan coba lainnya.
Replacement Reduction Refinement
39
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini,
peneliti menghitung jumlah minimum menggunakan rumus Frederer yaitu
(n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah
jumlah kelompok perlakuan.
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta
meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin
kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian. Pada dasarnya prinsip
refinement berarti membebaskan hewan coba dari beberapa kondisi. Yang
pertama adalah bebas dari rasa lapar dan haus, dengan memberikan akses
makanan dan air minum yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik
jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya.
40
3.9 Alur Penelitian
Gambar 10. Alur Penelitian.
30 ekor tikus galur Sprague dawley
Perlakuan hewan coba selama 14 hari
K (-) K (+) P2 P1 P3
Akuades per oral
Parasetamol 180mg
Parasetamol 180mg
dimulai hari ke-8
Parasetamol 180mg
dimulai hari ke-8
Parasetamol 180mg
dimulai hari ke-8
Ekstrak Belimbing
Wuluh 0,4g
Ekstrak Belimbing
Wuluh 0,8g
Ekstrak Belimbing
Wuluh 1,6g
Setelah 2 jam
Hari ke-15 dilakukan terminasi pada tikus
Dilakukan Pembedahan dan Pengambilan Organ Hepar
Dilakukan Pembuatan Preparat Organ Hepar
Pengamatan di bawah mikroskop dan interpretasi hasil pengamatan
Adaptasi hewan coba selama 7 hari
62
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat pengaruh pemberian ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L) terhadap penurunan kerusakan histopatologi hepar tikus putih
galur Sprague dawley yang diinduksi parasetamol.
2. Terdapat penurunan kerusakan histopatologi hepar tikus putih galur
Sprague dawley yang diinduksi parasetamol seiring dengan peningkatan
dosis ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L).
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan peneliti dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peneliti lain disarankan untuk menguji lebih lanjut toksisitas dan
efektivitas pada ekstrak buah belimbing wuluh.
2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang potensi zat-zat
aktif dalam buah belimbing wuluh sebagai fitofarmaka.
63
3. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut terkait dosis terapeutik
buah belimbing wuluh dengan meminimalkan efek samping yang
mungkin timbul.
4. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan jangka waktu
lebih lama terkait pemberian ekstrak buah belimbing wuluh terhadap
gambaran histopatologi hepar yang diinduksi dengan parasetamol.
5. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut efek buah belimbing
wuluh pada organ lain selain hepar.
64
DAFTAR PUSTAKA
Adeneye AA, Olagunju JO. 2008. Protective effect of oral ascorbic acid (vitamin c) against acetaminophen-induced hepatic injury in rats. African Journal of Biomedical Research. 11(1):183-90.
Afadass S, Soares DA, Marroun HE. 2017. The association of prenatal exposure to paracetamol and neurodevelopmental disorders in childhoold. Erasmus Journal of Medicine. 6(1):34-9.
Alhassan AM, Ahmed QU. 2016. Averrhoa bilimbi linn: a review of its ethnomedicinal uses, phytochemistry, and pharmacology. Journal of Pharmacy and BioAllied Science. 8(4):265-71.
Andayani R, Maimunah, Lisawati Y. 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar fenolat total, dan likopen pada buah tomat (Solanum lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 13(1):31-7.
Andriyanto, Kusumorini N, Yuskha F. 2011. Potensi ekstrak etanol belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai alternatif sediaan diuretik alami. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 9(2):78-84.
Arifuddin, Asri A, Elmatris. 2016. Efek pemberian vitamin c terhadap gambaran histopatologi hati tikus wistar yang terpapar timbal asetat. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(1):215-20.
Asih IARA, Sudiarta IW, Suci AAW. 2015. Aktivitas antioksidan senyawa golongan flavonoid ekstrak etanol daging buah terong belanda (Solanum betaceum Cav.). Jurnal Kimia. 9(1):35-40.
Bebenista MJ, Nowak JZ. 2014. Paracetamol: mechanism of action, applications and safety concern. Acta Poloniae Pharmaceutica – Drug Research. 71(1):11-23.
Clark R, Fisher JE, Sketris IS, Johnston GM. 2012. Population prevalence of high dose paracetamol in dispensed paracetamol/opioid prescription combinations: an observational study. BMC Pharmacology and Toxicology. 12(11):1-8.
65
Ekor M. 2014. The growing use of herbal medicines: issues relating to adverse reactions and challenges in monitoring safety. Frontiers in Pharmacology. 4(177):1-10.
Eroschenko VP. 2014. Atlas histologi difiore: dengan korelasi fungsional edisi 11. Jakarta: EGC.
Fahmi M, Fahrimal Y, Aliza D, Budiman H, Aisyah S, Hambal M. 2015. Gambaran histopatologi hati tikus (rattus novergicus) yang diinfeksi trypanosoma evansi setelah pemberian ekstrak kulit batang jaloh (salix tetrasperma roxb). Jurnal Medika Veterania. 9(2):141-45.
Farrell SE. 2014. Acetaminophen toxicity. Medscape Reference: Drugs, Disease, and Procedures [Online Article][diunduh 9 desember 2017]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com.
Febrianti N, Sari FJ. 2016. Kadar flavonoid total berbagai jenis buah tropis di Indonesia. Proceeding Symbion (Symposium on Biology Education); 2016 Aug 27; Universitas Ahmad Dahlan. hlm. 607-12
Fitrianingrum R, Sugiyarto, Susilowati A. 2013. Analisis kandungan karbohidrat pada berbagai tingkat kematangan buah karika (Carica pubescens) di Kejajar dan Sembungan, Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Bioteknologi. 10(1):6-14.
Galistiani GF, Utaminingrum W, Atmana RG, Ardiansyah A, Wibowo NA. 2014. Evaluasi konseling parasetamol di apotek wilayah kota Purwokerto dengan metode simulated patient. Farmasains. 2(4):171-76.
Ghaffar UB, Tadvi NA. 2014. Paracetamol toxicity: a review. J Cont Med A Dent. 2(3):12-5.
Gunawan, Gan S. 2009. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Hamidy MY, Malik Z, Machyar RM. 2009. Gambaran histopatologi kerusakan hati mencit yang diproteksi dengan air rebusan daun sirih (Piper betle Linn). JIK. 3(1):40-8.
Hay AD, Redmond NM, Costelloe C, Montgomery AA, Fletcher M, Hollinghurst S, dkk 2009. Paracetamol and ibuprofen for the treatment of fever in children: the pitch randomised controlled trial. Health Technology Assesment. 13(27):1-186.
Ibrahim T, Agnihotri A, Agnihotri AK. 2013. Paracetamol toxicity – an overview. Emergency Med. 3(6):1-3.
Indahsari NK. 2017. Histopatologi hepar tikus putih (rattus novergicus) yang diinduksi dengan parasetamol dosis toksik pasca pemberian ekstrak etanol daun kelor (moringa oleifera). Jurnal Kimia Riset. 2(2):123-30.
66
Jurnalis YD, Sayoeti Y, Moriska M. 2015. Kelainan hati akibat penggunaan antipiretik. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(3):978-87.
Kasno, Prasetyo A. 2008. Patologi hati dan saluran empedu ekstra hepatik. Semarang: Universitas Dipenogoro.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2014. Farmakologi dasar dan klinik edisi 12. Jakarta: EGC.
Kierszenbaum AL, Tres LL. 2012. Histology and cell biology an introduction to pathology edisi 3. Philadelphia: Elsevier.
Labibi MH. 2015. Pengaruh ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) terhadap struktur histologis hepar mencit (Mus musculus) akibat paparan minyak jelantah [skripsi]. Surakarta:Universitas Sebelas Maret.
Leary S, penyunting. 2013. AVMA guidelines for the euthanasia of animals: 2013 edition. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.
Mastuti R. 2016. Fisiologi tumbuhan: metabolit sekunder dan pertahanan tumbuhan. Malang: Universitas Brawijaya
Mescher AL. 2015. Histologi dasar junqueira teks dan atlas edisi 12. Jakarta:EGC.
Moore KL, Agur AMR. 2015. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakara: Rineka Cipta.
Nursheha A, Febrianti N. 2015. Pengaruh ekstrak daun cincau hijau (Cyclea barbata Miers.) terhadap gambaran histopatologik hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi MSG. JUPEMASI-PBIO. 1(2):198-203.
Orwa. 2009. Averrhoa bilimbi. Agroforestry Database 4.0. [Online Article][diunduh 10 desember 2017]. Tersedia dari http://www.worldagroforestry.org.
Paulsen F, Waschke J. 2015. Sobotta atlas anatomi manusia organ-organ dalam jilid 2 edisi 23. Jakarta:EGC.
Pestalozi G. 2014. The effect of tempe extract on damage liver cells in white rat with paracetamol-induce. Medula. 2(4):33-8.
Pramono S. 2012. Pengaruh formalin peroral dosis bertingkat selama 12 minggu terhadap gambaran histopatologi hepar tikus wistar [skripsi]. Semarang:Universitas Dipenogoro.
Prasetiawan E, Sabri E, Ilyas S. 2013. Gambaran histopatologis hepar mencit (Mus musculus L.) strain DDW setelah pemberian ekstrak N-heksan buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) selama masa pra implantasi dan pasca implantasi. Saintia Biologi. 1(1):40-5.
```
```
67
Rianyta R, Utami S. 2013. Drug-induced liver injury (DILI) pada pengguna propiltiourasil (PTU). CKD-203. 40(4):278-81.
Roberts E, Nunes VD, Buckner S, Latchem S, Constanti M, Miller P, dkk 2016. Paracetamol: not as safe as we thought? A systematic review of observational studies. Ann Rheum Dis. 75(1):552-59.
Sastroasmoro S, Ismael H. 2010. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Sherwood L. 2016. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta:EGC.
Soeksmanto A, Hapsari Y, Simanjuntak P. 2007. Kandungan antioksidan pada beberapa bagian tanaman mahkota dewa, Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. (Thymelaceae). Biodiversitas. 8(2):92-5.
Sudjaji, Rohman A. 2015. Analisis farmasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Suharyadi A. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Sukohar A, Husnayain KI, Susantiningsih T. 2014. The utilization of ethanol extract of the soursop leaves (Annona muricata L.) as breast cancer chemopreventive. J Agromed Unila. 1(1):72-6.
Supratanda FE. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap gambaran histopatologis sel hepar tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang diinduksi 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) [skripsi]. Bandar Lampung:Universitas Lampung.
Thamizh SN, Santhi PS, Sanjayakumar YR, Venugopalan TN, Vasanthakumar KG, Swamy GK. 2015. Hepatoprotective activity of averrhoa bilimbi fruit in acetaminophen induced hepatotoxicity in wistar albino rats. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 7(1):535-40.