MAKALAH PRESENTASI KASUS LANGSUNG
MENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA
Disusun oleh:
Bening Putri Ramadhani Usman
1110103000084
Pembimbing :
dr. Hastari Soekardi, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK
SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami dapat
menyelesaikan makalah diskusi topik ini yang berjudul “Meningoensefalitis Toxoplasma”.
Makalah presentasi kasus langsung ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
kepaniteraan klinik di stase Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan danpenyelesaian makalah ini, terutama kepada :
1. Dr. Hastari Soekardi, Sp.S selaku pembimbing diskusi topik ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah diskusi topik ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah diskusi topik ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalahpresentasikasus ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan
kita,terutama dalam bidang neurologi.
Jakarta, 12 Agustus 2014
Penyusu
n
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. HB
JenisKelamin :Laki-laki
Usia : 25 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kp.Rawakalong RT 002/RW 011, Gunung
Sindur, Bogor
Suku : Sunda
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan terakhir : SLTA
Status Pernikahan : Sudah menikah
No. RM : 01313260
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan istri
pasien pada tanggal 8 Juni 2014.
a. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS.
3
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 2
minggu SMRS. Penurunan kesadaran yang dialami seperti pingsan,
kadang seperti mengantuk dan sulit dibangunkan. Pasien sering
tidak nyambung bila diajak berbicara. Sejak 1 bulan SMRS, pasien
mengalami demam dan nyeri kepala yang hilang timbul, serta mual
dan muntah. Sifat dan karakteristik nyeri kepala tidak diketahui.
Keluhan lain seperti kejang, kelemahan pada lengan dan tungkai,
lidah pelo, mulut mencong, tersedak, muntah menyemprot,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, pusing berputar,
dan rasa baal disangkal. Pasien sering mengalami cegukan setelah
makan atau minum. Saat ini pasien sudah sadar, namun masih
sering tidak nyambung bila diajak berbicara. BAB dan BAK lancar,
menggunakan pampers. Batuk, keringat malam, dan penurunan
berat badan disangkal.
Pada awal Juli 2014, pasien dirawat di Puskesmas akibat
typhoid selama dua hari. Karena tidak ada perbaikan, pasien dirujuk
ke RSUD Tangsel. Namun, keluarga memilih pulang paksa karena
merasa tidak dilayani dengan baik. Saat itu, pasien mulai tidak
nyambung bila diajak berkomunikasi. Dua hari kemudian, pasien
mendadak tidak sadarkan diri. Kemudian, pasien dibawa oleh
keluarga ke RS Atang Sanjaya Bogor, dan dikatakan mengalami
meningitis. Setelah dirawat di sana, keadaan pasien sudah membaik
dan pasien sudah sadar. Lalu, keluarga membawa pasien pulang
paksa dengan alasan lebaran. Empat hari kemudian, pasien kembali
mengalami penurunan kesadaran dan keluarga membawa pasien ke
RS Sari Asih, RS Gaplek, RS PMI, dan RSUD Depok, namun tidak ada
ruangan. Akhirnya pasien dirujuk dari RSUD Depok ke RSUP
Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.
4
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
Riwayat alergi dan trauma disangkal. Riwayat batuk-batuk lama
disangkal. Riwayat sering demam, diare, flu, dan kelainan kulit
disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa.
Riwayat alergi, batuk-batuk lama, dan sakit paru pada keluarga
disangkal.
e. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien makan 3 kali sehari. Kebiasaan makan makanan
mentah atau tidak dimasak sempurna disangkal. Pasien tidak
memiliki kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol, menggunakan
obat-obatan terlarang, atau seks bebas. Pasien jarang berolahraga.
Pasien tidak rutin mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di bangsal Teratai tanggal 8 Agustus 2014.
I. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg / 110/70 mmHg
Nadi : 92x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Napas : 18x/menit, regular, kedalaman cukup
Suhu : 36,6oC
5
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 170 cm
BMI : 19,03 kg/m2
Mata
- Inspeksi : alis mata cukup, enoftalmus (-)/(-), eksoftalmus (-)/(-),
nistagmus (-)/(-), ptosis (-)/(-), lagoftalmus (-)/(-), edema palpebra
(-)/(-),konjungtiva anemis(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), sekret (-)/(-),
tampak berair, pterigium (-)/(-), ulkus kornea (-)/(-), kekeruhan
lensa (-)
- Palpasi : tekanan bola mata secara manual normal
Telinga,Hidung,Tenggorokan
Hidung :
- Inspeksi : Deformitas (-), kavum nasi lapang, sekret (-)/(-), deviasi
septum (-)/(-), konka nasal hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), NCH (-)/(-)
- Palpasi : Nyeri tekan sinus (-), krepitasi (-)
Telinga :
- Inspeksi :
- wPreaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
skar (-)/(-),
- Aurikuler : normotia, hiperemis (-)/(-), cauli flower (-)/(-),
pseudokista (-)/(-),
- Postaurikuler : hiperemis (-)/(-), abses (-)/(-), massa (-)/(-),
skar (-)/(-),
- Liang telinga : lapang, serumen (-)/(-), Ottorhea (-)/(-),
membran timpani intak
Tenggorokan dan Rongga mulut :
- Inspeksi :
- Bucal : warna normal, ulkus (-)
- Lidah : massa (-), ulkus (-), plak (-)
6
- Palatum : penonjolan (-)
- Tonsil : tidak valid dinilai
- Pursed lips breathing(-), karies gigi (+), kandidisasis
oral (+)
Leher
- Inspeksi : bentuk simetris, warna normal, penonjolan vena jugularis
(-), tumor (-), retraksi suprasternal (-), tidak tampak pembesaran
KGB
- Palpasi : pulsasi arteri carotis normal, perbesaran thyroid (-), posisi
trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar
- Auskultasi : bruit (-),
- Tekanan vena jugularis tidak meningkat, 5+2
Thoraks Depan
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), retraksi
sela iga (-/-), bentuk dada normal, barrel chest (-), pectus carinatum
(-)/(-), pectus ekskavatum (-)/(-), pelebaran sela iga
(-)/(-), tumor (-)/(-), skar (-), emfisema subkutis (-)/(-),
spider naevi (-)/(-), pergerakan kedua paru simetris statis dan
dinamis, pola pernapasan normal
- Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi
dada simetris, vocal fremitus sama di kedua lapang paru,
pelebaran sela iga (-)/(-)
- Perkusi :
- Sonor di kedua lapang paru
- Batas paru hati : pada garis midklavikula kanan sela iga 6,
peranjakan hati sebesar 2 jari
- Batas paru lambung : pada garis aksilaris anterior kiri sela iga
8
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)
Thoraks Belakang7
- Inspeksi : Penggunaan otot bantuan nafas (-)/(-), Retraksi
sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-)/(-), tumor (-)/(-),
emfisema subkutis (-)/(-), Pergerakan kedua paru simetris
statis dan dinamis, pola pernapasan normal, scar (-), luka
operasi (-), massa (-), gibus (-), kelainan tulang
belakang (-)
- Palpasi : massa (-)/(-), emfisema subkutis(-)/(-), ekspansi
dada simetris,vocal fremitus sama di kedua lapang paru
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (+/+)
Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terihat
- Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba 2 jari medial dari
linea midklavikulasinistra ICS V, thrill (-), heaving (-),
lifting (-), tapping (-)
- Perkusi : Batas jantung kananICS IV linea sternalis
dextra, batas jantung kiri ICS V 2 jari medial linea
midklavikulasinistra, Pinggang jantung ICS II linea
parasternalis sinistra
- Auskultasi : BJ I-II reguler normal, murmur (-), gallop(-)
Abdomen
- Inspeksi : simetris, datar, striae (-), skar (-), penonjolan (-), bekas
operasi (-), kaput medusa (-)
- Auskultasi : BU (+) normal, metalic sound (-), borborigmi (-), bruit
(-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)
- Hepar dan lien tidak teraba
- Ginjal : Ballotemen (-)/(-),
- Perkusi : timpani, shifting dullnes (-), undulasi (-), fenomena papan
catur (-), nyeri ketok CVA (-)/(-),
Ekstremitas
8
Akral teraba hangat, sianosis (-), CRT < 3 detik, edema (-)/(-), jari
tabuh (-), koilonikia (-), hiperemis (-), deformitas (-)
Status neurologis
GCS : E3M5V4
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : +
Lasegue : <700 /<700
Kernig : <1350 /<1350
Brudzinski I : - / -
Brudzinski II : - / -
Saraf-saraf Kranialis:
N.I (olfaktorius) : tidak valid dinilai
N.II (optikus)
Acies visus : tidak valid dinilai
Visus campus : tidak valid dinilai
Lihat warna : tidak valid dinilai
Funduskopi : tidak dilakukan
N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)
Kedudukan bola mata : ortoposisi + / +
Pergerakan bola mata : kesan baik
Exopthalmus : - / -
Nystagmus : - / -
Palpebra : kesan baik
Pupil:
9
o Bentuk : bulat, isokor, Ø 4mm/4mm
o Refleks cahaya langsung : +/-
o Refleks cahaya tidak langsung : +/-
Kesan : parese N. III sinistra parsial
N.V (Trigeminus)
Cabang Motorik : tidak valid dinilai
Cabang sensorik :
o Ophtalmikus : tidak valid dinilai
o Maksilaris : tidak valid dinilai
o Mandibularis : tidak valid dinilai
N.VII (Fasialis)
Motorik orbitofrontalis : kesan simetris kanan=kiri
Motorik orbikularis orbita : tidak valid dinilai
Motorik orbikulari oris : plica nasolabialis kanan lebih datar dari kiri
Pengecapan lidah : tidak valid dinilai
Kesan: paresis N. VII dextra tipe sentral
N.VIII (Vestibulocochlearis)
Vestibular : Vertigo : -
Nistagmus : - / -
Koklearis : tidak valid dinilai
N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Arcus faring : simetris kanan=kiri
10
Uvula : simetris kanan=kiri
Refleks muntah : (+/+)
N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : tidak valid dinilai
Menoleh : tidak valid dinilai
N.XII (Hypoglossus)
Posisi lidah : miring ke arah kiri
Pergerakkan lidah : tidak valid dinilai
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -
Kesan : Parese N.XII dextra sentral
Sistem Motorik
Ekstremitas atas : kesan hemiparesis dekstra
Ekstremitas bawah : kesan hemiparesis dekstra
Gerakkan Involunter
Tremor : - / -
Chorea : - / -
Miokloni : -/ -
Tonus : baik
Sistem Sensorik
Propioseptif : tidak valid dinilai
Eksteroseptif : tidak valid dinilai
Fungsi Serebelar
Ataxia : tidak valid dinilai11
Tes Romberg : tidak valid dinilai
Jari-jari : tidak valid dinilai
Jari-hidung : tidak valid dinilai
Tumit-lutut : tidak valid dinilai
Rebound phenomenon : tidak valid dinilai
Hipotoni : - / -
Fungsi Luhur
Astereognosia : tidak valid dinilai
Apraxia : tidak valid dinilai
Afasia : tidak ada kesan afasia
Fungsi Otonom
Miksi : on DC
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
Refleks Fisiologis
Biceps : +3/+2
Triceps : +2/+2
Radius : +2/+2
Lutut : +3/+2
Tumit : +2/+2
Refleks Patologis
Hoffman Tromer : - / -
Babinsky : + / -
Chaddock : - / -
Oppenheim : + / -
Gordon : - / -
Gonda : - / -
Schaefer : - / -
Klonus lutut : - / -
Klonus tumit : - / -
12
Keadaan Psikis
Intelegensia : tidak valid dinilai
Tanda regresi : tidak valid dinilai
Demensia : tidak valid dinilai
II. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (7 Agustus 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
14,2
39
7,5
203
5,11
13,2-17,3
32-45
5.0-10,0
150-440
4,40-5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
77,1
27,7
36,0
16,2
80,0-100,0
26,0-34,0
32,0-36,0
11,5-14,5
FUNGSI HATI
SGOT
SGPT
20
32
0-34
0-40
FUNGSI GINJAL
Ureum
Kreatinin
19
0,5
20-40
0,6-1,5
DIABETES
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewaktu 136 70-140
ELEKTROLIT DARAH
Natrium
Kalium
Klorida
124
3,79
86
135-147
3,1-5,1
95-106
13
Interpretasi hasil laboratorium:
- Hiponatremia
- Hipokloridemia
Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks (23 Juli 2014)
Mediastinum superior tidak membesar
Cor : kesan tidak membesar, aorta dalam batas normal
14
Pulmo: hilus kanan dan kiri tidak menebal
Kedua sinus dan diafragma baik
Kesan: Cor dan Pulmo dalam batas normal
V. Resume
Tn.HB, 25 tahun, datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 2 minggu SMRS. Penurunan
kesadaran berupa pingsan, kadang seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan. Pasien sering tidak nyambung bila diajak berbicara.
Demam (+) hilang timbul, nyeri kepala (+), mual (+), dan muntah
(+) sejak 1 bulan SMRS. Pasien sering mengalami cegukan setelah
makan atau minum. Saat ini pasien sudah sadar, namun masih
sering tidak nyambung bila diajak berbicara. Pasien dirawat di
Puskesmas selama 2 hari pada awal Juli 2014 akibat typhoid selama
dua hari, kemudian tidak ada perbaikan dan pasien mulai tidak
nyambung bila diajak berkomunikasi. Dua hari kemudian, pasien
mendadak tidak sadarkan diri. Pasien segera dibawa oleh keluarga
ke RS Atang Sanjaya Bogor, dan dikatakan mengalami meningitis.
Setelah dirawat, pasien sadar dan membaik, namun keluarga
membawa pulang paksa karena akan lebaran. Empat hari kemudian,
pasien kembali mengalami penurunan kesadaran. Pasien dibawa ke
RSUP Fatmawati pada tanggal 7 Agustus 2014.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi 92x/menit, frekuensi napas 18x/menit, suhu36,6oC. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan kandidiasis oral. Status generalis lain dalam batas normal. Status
neurologis didapatkan GCS E3M5V4, kaku kuduk (+), lasegue (<700 /<700), kernig
(<1350 /<1350), kesan hemiparese dextra, kesan parese N. III sinistra parsial, (pupil
bulat anisokor Ø 3mm/4mm, RCL (+/-),RCTL (+/-), kesan parese N. VII dextra tipe
sentral, dan kesan parese N. XII dextra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
GDS 156 mg/dl, Na 124 mmol/l, dan Cl 86 mmol/l. Foto toraks dalam batas normal.
VI. DIAGNOSIS
- Diagnosis kerja :
15
o Suspek meningoensefalitis toksoplasma dd/
meningoensefalitis TB
o Suspek AIDS
o Hiponatremia
o Hipokloridemia
- Diagnosis klinis :
o Penurunan kesadaran
o Secondary headache
o Tanda rangsang meningeal (+)
o Kesan hemiparesis dextra
o Parese N. III sinistra parsial
o Kesan parese N. VII dextra tipe sentral
o Kesan parese N. XII dextra tipe sentral
- Diagnosis etiologi : infeksi Toxoplasma gondii
- Diagnosis topis : meningen, parenkim otak
VII. Rencana Tata Laksana
a) Non medika mentosa :
Tirah baring
Elevasi kepala 30o
Diet tinggi kalori tinggi protein
b) Medika mentosa :
IVFD NaCl 0,9% 500cc/12 jam
Pirimetamin :
o Loading dose : 200 mg p.o.
o Lanjutan : 3 x 25 mg p.o.
Clindamycin 4 x 600 mg p.o.
Fluconazole 1 x 200 mg p.o.
16
Candistin 4 x gtt I
Dexamethasone 4 x 5 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
Laxadyn syr 1 x IC p.o.
VII. Rencana Pemeriksaan
CT scan kepala dengan kontras
IgM dan IgG Toksoplasma
Analisis dan kultur LCS
HIV rapid test
BTA sputum
VIII. Rencana Konsultasi
Konsultasi penyakit dalam
IX.Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi dan Fisiologi
Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan
(meninges) yaitu duramater, arakhnoid dan pia mater yang berasal
dari mesodermal. Duramater disebut juga pachymenix (‘membran
yang kuat) sedangkan arakhnoid dan pia mater secara bersama-sama
dengan leptomeninges (membran yang rapuh dan tipis. Duramater
yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid, dan terakhir, pia
mater. Pia mater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla
spinalis. Di antara duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural, 17
antara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid. Ruang
subarakhnoid berisi cairan serebrospinal (LCS).
Gambar 1. Pelindung sistem saraf
Membrane yang halus dan bersifat impermeable, yang menutupi otak dan terletak
di antara pia mater di bagian dalamnya dan duramater bagian luarnya. Arachnoidea mater
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu ruang subdural yang terisi oleh
selapis cairan yang dipisahkan dari pia mater oleh ruang subarachnoid yang berisi cairan
serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoid dilapisi oleh sel-sel mesotilia yang
gepeng.
Arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus untuk membentuk villi arachnoidea
yang paling banyak terdapat di sepanjang sinus sagitalis superior. Kumpulan vili
arachnoid disebut granulationes arachnoid yang berfungsi untuk tempat difusi cairan
serebrospinal ke dalam aliran darah.
Cairan serebrospinalis dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel
serebri (ventrikel lateral kanan dan kiri, ventrikel ketiga, ventrikel
keempat). Cairan ini mengalir melalui sistem ventrikel (ruang LCS
internal) dan kemudian masuk keruang subarakhnoid yang
mengelilingi otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini
diresorpsi di granulasiones sinus sagitalis superior dan di selubung
perineural medulla spinalis.
18
Gambar 2. Aliran liquor serebrospinal
Tabel 1. Kandungan Cairan serebrospinal
Cairan Cerebrospinal Serum Tekanan Volume Osmolaritas Elektrolit
Na K Ca Cl
pH Glukosa
CSF/serum glucose quotient
Laktat Total protein
Albumin IgG IgG indek
Leukosit Limfosit
5-18 cmH2O 100-160 ml 292-297 mosm/L
137-145 mmol/L 2,7-3,9 mmol/L 1-1,5 mmol/L 116-122 mmol/L 7,31-7,34 22-3,9 mmol/L > 0,5-0,6
1,0-2,0 mmol/L 0,2-0,5 g/L 56-75% 0,010-0,014 g/L < 0,65 < 4/µL 60-70%
285-295 mosm/L
136-145 mmol/L 3,5-5,0 mmol/L 2,2-2,6 mmol/L 98-106 mmol/L 7,38-7,44 4,2-6,4 mmol/L
0,6 -1,7 mmol/L 55-80 g/L 50-60% 8-15 g/L
Cairan serebrospinal berfungsi untuk transportasi hormone,
suatu medium cairan tempat otak mengapung didalamnya.
Mekanisme ini melindungi otak dari trauma secara efektif, serta
mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas neuron.
Encephalon atau otak terletak di dalam cavum crania dan bersambung dengan
medulla spinalis melalui foramen magnum. Otak dibungkus oleh tiga meningens,: dura
mater, arachnoidea mater, dan pia mater. Ketiganya bersambung dengan meningens
medulla spinalis. Cairan serebrospinal mengelilingi otak di dalam ruang subarakhnoid.
19
Secara konvensional, otak dibagi menjadi tiga bagian utama. Bagian – bagian
tersebut secara berurutan dari medulla spinalis ke atas adalah rhombencephalon,
mesencephalon, dan prosencephalon. Rhombencephalon dibagi lagi menjadi medulla
oblongata, pons, dan cerebellum. Prosencephalon dapat dibagi menjadi diencephalon
(antar otak) yang merupakan bagian sentral prosencephalon dan cerebrum.
Gambar 3. Sistem Saraf Pusat
Medulla oblongata berbentuk conus, di superior berhubungan dengan pons dan di
bagian inferior berhubungan dengan medulla spinalis. Pada medulla oblongata, terdapat
banyak kumpulan neuron yang disebut nuclei dan berfungsi menyalurkan serabut –
serabut saraf ascendens dan descendens.
Pons terletak di permukaan anterior cerebellum, inferior dari mesencephalon, dan
superior dari medulla oblongata. Pons atau jembatan dinamakan dari banyaknya serabut
yang berjalan transversal pada permukaan anteriornya yang menghubungkan kedua
hemispherium cerebella. Pons juga mengandung banyak nuclei serta serabut – serabut
ascendens dan desendens.
Cerebellum terletak di fossa cranii posterior, posterior terhadap pons, dan medulla
oblongata. Bagian ini terdiri dari dua hemispherium yang dihubungkan oleh sebuah
bagian median, yaitu vermis. Cerebellum berhubungan dengan mesencephalon melalui
pedunculus cerebellaris superior, dengan pons melalui pedinculus cerebella media, dan
dengan medulla oblongata melalui pedunculus cerebellaris inferior.
20
Lapisan permukaan masing – masing hemispherium cerebelli disebut korteks dan
terdiri dari substansia grisea.Cortex cerebelli tersusun dalam lipatan – lipatan atau folia
yang dipisahkan oleh fissure – fissure tranversal yang tersusun rapat. Pada bagian ini
terdapat massa substansia grisea di dalam cerebellum yang tertanam di dalam substansia
alba. Yang paling besar disebut nucleus caudatus.
Medulla oblongata, pons, dan cerebellum mengelilingi sebuah rongga yang berisi
cairan serebrospinal, disebut ventriculus quartus. Di bagian superior, rongga ini
berhubungan dengan ventriculus tertius melalui aqueductus cerebri, dan dibagian inferior
menyambung dengan canalis centralis medulla spinalis.
Mesencephalon merupakan bagian sempit otak yang menghubungkan
prosencephalon dengan rhombencephalon. Rongga sempit di mesencephalon adalah
aqueductus cerebri yang menghubungkan ventriculus tertius dengan ventriculus quartus.
Mesencephalon terdiri dari banyak nuclei dan berkas serabut – serabut asendens dan
desendens.
Cerebrum merupakan bagian terbesar otak dan terletak di fossa crania anterior
dan medius serta menempati seluruh cekungan tempurung tengkorak. Cerebrum terbagi
menjadi dua bagian,: diencephalon yang membentuk inti sentral, dan telencephalon yang
membentuk hemispherium cerebri. Cerebrum terdiri dari dua hemisfer cerebri yang
dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum. Masing – masing
hemisfer terbentang dari os frontal eke os occipital, yaitu pada bagian superior fossa
crania anterior dan media. Di bagian posterior, cerebrum terletak diatas tentorium
cerebelli.
21
Gambar 4. Area motorik dan sensorik korteks cerebrum
Tabel 2. Ringkasan Struktur dan Fungsi Komponen – Komponen Otak
KOMPONEN
OTAK
FUNGSI UTAMA
Korteks Cerebrum 1. Persepsi sensorik
2. Kontrol gerakan volunteer
3. Bahasa
4. Proses mental canggih, misalnya berfikir, mengingat,
membuat keputusan, kreativitas dan kesadaran diri
Nukleus Basal 1. Inhibisi tonus otot
2. Kordinasi gerakan yang lambat dan menetap
3. Penekanan pola – pola gerakan yang tidak berguna
Thalamus 1. Stasiun pemancar untuk semua masukan sinaps
2. Kesadaran kasar terhadap sensasi
3. Beberapa tingkat kesadaran
4. Berperan dalam kontrol motorik
Hipothalamus 1. Mengatur banyak fungsi homeostatic, misalnya control suhu,
rasa haus, pengeluaran urin dan asupan makanan
2. Penghubung penting antara system saraf dan endokrin
3. Sangat terlibat dalam emosi dan perilaku dasar
Cerebellum 1. Memelihara keseimbangan
2. Peningkatan tonus otot
3. Koordinasi dan perencanaan aktivitas otot volunteer yang
terlatih
Batang Otak
(Mesencephalon,
pons, medulla
oblongata)
1. Asal dari sebagian besar saraf kranialis perifer
2. Pusat pengaturan kardiovaskuler, respirasi dan pencernaan
3. Pengaturan reflex otot yang terlibat dalam keseimbangan dan
postur
4. Penerimaan dan integrasi semua masukan sinaps dari korda
spinalis; keadaan terjada dan pengaktifan korteks cerebrum
5. Pusat tidur
22
II.2. Meningoensefalitis Toxoplasma
II.2.1. Etiologi dan Patogenesis
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk
akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing.
Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi
pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue
cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites
atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk
menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada
dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan
sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan
bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan
daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari
dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi
sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-
3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih
dari 1 tahun.
Gambar 5. Siklus Hidup Toxoplasma gondii
23
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue
cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 <
200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma
gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk
pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat
menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
II.2.2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa
Toxoplasma ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis.
Dari ketiga manifestasi ini, ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS.
Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari
sitokin tipe 1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting
dalam infeksi T gondii kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting
cells seperti sel dendrit dan makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-
gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi pejamu melawan intraseluler
patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-gondii, tidak
hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan
IFN-gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada
infeksi T.gondii pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T
sel) bekerja dengan diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi
IL-12, yang akan kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T.
TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii.
24
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-
sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan
IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon
terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus
HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset
yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal
(69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu
studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental
pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50
% kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. Defisit neurologis
yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga
terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik,
disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi
neuropsikiatri.
II.2.3. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan,
isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG
dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye
test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang
dalam beberapa minggu setelah infeksi.
25
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma
menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi
protein.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T
gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan
serebrospinal bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya
hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar
dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi
HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi
aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR
pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita
AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur
cairan tubuh atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis
toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu
dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
II.2.4. Tatalaksana
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan
penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama
2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara
klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan
dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan
klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak
ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap
6 jam. Pada pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah
depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat
diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam,
atau atova quone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
26
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple,
bilateral dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada
70-80% kasus. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric
corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan.
Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik
untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma
SSP dan criptococcus.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta adalah (Sulfadoxin 500 mg + Pyrimethamin 25 mg) tiap 6
jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg perhari. Suatu uji
randomisasi oleh Danneman et al., menunjukkan kombinasi pirimetamin dengan
sulfadiazin sedikit lebih unggul dibanding kombinasi pirimetamin dengan
clindamisin. Sehingga diusulkan untuk menggunakan kombinasi pirimetamin
dengan sulfadiazin.
Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang
CT Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu
ukuran lesi dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini,
evaluasi CT scan terdapat perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada
pemberian kontras tidak tampak adanya penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan
radiologis pada terapi empirik toxoplasmosis selama 2 minggu, maka diagnosis
definitive ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan.
Pada penelitian double blind, placebo-controlled trial di Tanzania (Fawzi et
al) terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi HIV yang diberikan suplemen
multivitamin berupa vitamin A, beta karoten, B, C dan E menunjukkan adanya
peningkatan CD 4 secara bermakna dan penurunan viral load secara bermakna.
Sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV dapat
dipertimbangkan.
Ditemukan adanya movement disorder pada pasien ensefalitis toxoplasma
diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement
disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang
terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau
limfosit total kurang dari 1200.
27
II.3. Meningitis toxoplasma
II.3.1. Definisi
Meningitis adalah inflamasi pada selaput meningen yang menyebabkan
timbulnya gejala meningeal (seperti kaku kuduk, sakit kepala, fotofobia) dan
meningkatnya jumlah leukosit pada LCS.
II.3.2. Epidemiologi
Virus merupakan penyebab tersering meningitis aseptik
Mortalitas akibat meningitis bergantung kepada agen penyebabnya
- Mortalitas akibat meningitis viral (tanpa ensefalitis) <1%
- Mortalitas akibat meningitis bakterialis mencapai 25% (tertinggi
disebabkan oleh bakteri golongan pneumococcus)
Meningitis dapat mengenai semua ras
Meningitis dapat mengenai semua umur, namun induvidu yang sangat muda
(infant dan anak) dan orang tua >60 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena meningitis.
II.3.3. Klasifikasi
Berdasarkan durasi timbulnya gejala, meningitis dibagi menjadi meningitis
akut (gejala timbul dalam hitungan jam hingga hari) dan meningitis kronik (gejala
timbul dalam hitungan minggu hingga bulan). Meningitis dapat terjadi akibat agen
infeksiosa (contoh bakteri, virus, jamur, parasit) maupun agen non infeksiosa
(contoh NSAID, antibiotik, karsinomatosa). Beberapa klasifikasi meningitis:
a) Meningitis akut
1. Meningitis bakterial akut
Usia/Faktor predisposisi Bakteri patogen
Usia 0-4 minggu (neonatus)
S agalactiae (streptococci grup B)
E coli K1
L monocytogenes
Usia 4 minggu-3 bulan S agalactiae
E coli
H influenzae
28
S pneumoniae
N meningitidis
Usia 3 bulan – 18 tahun
N meningitidis
S pneumoniae
H influenzae
Usia >18 tahun (dewasa)
S pneumoniae
N meningitidis
H influenzae
2. Meningitis aseptik
Merupakan sindrom infeksi mengenai pada SSP yang paling sering. Dapat
disebabkan oleh virus patogen, bakteri, jamur ataupun parasit.
3. Meningitis viral akut
- Enterovirus
Tersebar di seluruh dunia, infeksi tergantung musim, usia dan sosial
ekonomi. Penyebaran secara fekal-oral, dapat terjadi sepanjang tahun
pada Negara tropis, terutama selama musim panas dan musim gugur
pada negara dengan empat musim. Infeksi tertinggi mengenai anak <1
tahun.
- Herpes virus
HSV 1 terutama menyebabkan ensefalitis, HSV 2 lebih sering
menyebabkan meningitis.
b) Meningitis kronik : gejala dan tanda iritasi mening serta pleositosis LCS
berlangsung >4 minggu, dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau parasit.
1. Meningitis bakterial kronik
Disebabkan oleh spesies Brucella (coccobacilli gram negatif), transmisi
melalui kontak dengan binatang (ternak) yang terinfeksi, distribusi
terutama di Timur Tengah, India, Amerika Tengah dan Amerika Selatan
2. Meningitis tuberkulosa
29
Disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, transmisi melalui droplet
airborne. Harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada
pasien dengan meningitis aseptik dan sindrom meningitis kronik.
Keterlibatan SSP pada meningitis akibat TB biasanya disebabkan ruptur
tuberkel ke ruang subaraknoid. Dapat bermanifestasi akut, namun
presentasi yang klasik adalah sub akut, dengan adanya gejala prodromal
berupa demam, malaise, sakit kepala intermiten. Pasien dapat pula
mengalami kelumpuhan saraf kranial (N III, IV, V, VI, dan VII) yang
menunjukkan keterlibatan mening basilar. Dibagi menjadi tiga stadium
klinik (staging) berdasarkan status neurologis :
oStadium 1 tidak ada perubahan status mental, defisit neurologis,
hidrosefalus
oStadium 2 pasien menjadi confusion, ada defisit neurologis
oStadium 3 letargi dan stupor
3. Meningitis fungal : dapat disebabkan oleh C neoformans, C immitis, H
capsulatum, Candida albicans.
II.3.4. Patogenesis
Agen infeksiosa dapat mencapai sistem saraf pusat untuk kemudian
menimbulkan penyakit melalui beberapa jalur. Pada awalnya agen infeksiosa
membentuk satu kolonisasi (infeksi yang terlokalisasi) seperti di kulit, nasofaring,
traktus respiratorius, traktus gastrointestinal ataupun traktus genitourinaria. Dari
lokasi ini, organisme menginvasi sub mukosa dan akhirnya mencapai sistem saraf
pusat melalui darah/hematogen, neuronal retrograde (contoh: melalui nervus
olfaktorius, saraf perifer), atau penyebaran lansung (contoh: dari sinusitis, otitis
media, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).
II.3.5. Diagnosis
Diagnosis meningitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging. Anamnesis yang baik
dapat membantu/ mengarahkan diagnosis meningitis akibat etiologi tertentu.
Contoh:
Waktu terjadinya infeksi merupakan variabel penting karena infeksi
oleh agen tertentu bersifat musiman (Infeksi enterovirus di negara
30
tropis dapat terjadi sepanjang tahun sementara di negara dengan empat
musim, infeksi terjadi pada akhir musim panas hingga awal musim
gugur. Sebaliknya, infeksi mumps, measles dan varicella zoster lebih
sering terjadi pada musim dingin dan musim semi)
Riwayat kontak dengan orang dengan penyakit serupa
Riwayat kontak seksual dan perilaku berisiko tinggi terkait dengan
meningitis HSV
Riwayat bepergian ke daerah tertentu
Konsumsi susu yang tidak mengalami pasteurisasi merupakan
predisposisi untuk infeksi brucellosis dan L monocytogenes
Riwayat kontak dengan binatang seperti rodent merupakan predisposisi
untuk terkena infeksi Leptospira dan LCM (lymphocytic
choriomeningitis virus)
Riwayat operasi kranial.
Pada pemeriksaan fisik pasien meningitis dapat ditemukan:
Presentasi klasik meningitis meliputi demam, sakit kepala, tanda
rangsang meningeal, fotofobia, nausea, muntah dan tanda disfungsi
serebral (letargi, delirium, koma)
Kelumpuhan saraf kranial akibat peningkatan tekanan intrakranial atau
akibat adanya eksudat yang menekan saraf
Gejala neurologis fokal dapat terjadi akibat inflamasi pembuluh darah
dan trombosis yang kemudian menyebabkan iskemia
Seizures dapat terjadi pada kurang lebih 30% pasien
Tanda-tanda peningkatan intrakranial seperti papil edem
Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan laboratorium untuk
mendiagnosis meningitis. Secara umum, jika diagnosis meningitis sudah
dipertimbangkan, maka segera dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan LCS rutin
meliputi warna, opening pressure, hitung jenis sel, kimia dan mikrobiologi.
Pemeriksaan khusus seperti serologi dan amplifikasi asam nukleat dilakukan
berdasarkan kecurigaan klinis tertentu.
AgenOpening
PressureWBC/uL
Glucosa
(mg/dL)
Protein
(mg/dL)Mikrobiologi
Meningitis 200-300 100-5000; <40 >100 Patogen spesifik
31
bakterialis >80% PMN
terlihat pada 60%
Gram dan 80%
kultur
Meningitis
viral 90-200
10-300;
limfosit
MN>PMN
Normal,
pada mumps
Normal, dapat
pula sedikit ↑
Isolasi virus,
PCR
Meningitis
tuberkulosa 180-300
100-500;
limfosit
MN>PMN
, <40 ↑, >100BTA, kultur,
PCR
Meningitis
cryptococcal180-300
10-200;
limfosit 50-200
Tinta India,
antigen
cryptococcal,
kultur
Meningitis
aseptik 90-200
10-300;
limfosit Normal
Normal, dapat
pula sedikit ↑Negatif
Nilai normal 80-200 0-5;
limfosit 50-75 15-40 Negatif
CT scan dan MRI (neuroimaging) diindikasikan pada pasien dengan
demam berkepanjangan, tanda dan gejala defisit neurologis fokal, tanda dan gejala
peningkatan TIK dan suspek fraktur basilar. Imaging juga diindikasikan untuk
evaluasi sinus paranasal. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendeteksi komplikasi
meningitis pada SSP seperti hidrosefalus, infark serebri, abses otak, empiema
subdural dan trombosis sinus kevernosus.
II.4. HIV / AIDS
II.4.1. Definisi
32
Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) merupakan sindrom
kumpulan berbagai gejala dan infeksi akibat dari hilangnya sistem kekebalan
tubuh karena infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada manusia
yang ditandai dengan adanya penekanan system imun tubuh dengan beberapa
manifestasi klinis, seperti infeksi oportunistik, keganasan, dan menurunnya fungsi
sistem saraf pusat.
Penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis
(penderita AIDS negatif).
II.4.2. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang
disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi
oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri
atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian
inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein, berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan.
Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,
alkohol, jodium hipoklorit dansebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi
33
dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan
mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag
dan sel glia jaringan otak.
II.4.3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang
dibutuhkan ratarata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan
semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa
inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana
virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3
bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan “masa wndow periode”.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus
HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV.
Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan
terjadi pada fase inkubasi ini.
II.4.4. Epidemiologi
Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada
tahun 1981. Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS
meningkat dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan
pandemi, menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-anak.
WHO memperkirakan bahwa sekitas 15 juta orang diantaranya 14 juta remaja dan
dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang ketularan virus HIV. Menurut
etimasi WHO pada tahun 2000 sekitar 30-40 juta orang terinfeksi virus HIV, 12-
18 juta orang akan menunjukkan gejala-gejala AIDS dan setiap tahun sebanyak 1,8
juta orang akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate)
pada wanita jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi
di negara berkembang, terutama Asia.
II.4.5. Penularan
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai
34
saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada
orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga
kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering
terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina
atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive
untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual
yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
2. Transmisi Non Seksual
Transmisi Parentral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah
gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi
melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
Darah/Produk Darah, transmisi melalui transfusi atau produk
darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah
adalah lebih dari 90%.
Transmisi Transplasental
35
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi
sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
II.4.6. Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan
membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4.
Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia
melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah
bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan
demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi,
HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih
dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan
atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan
sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala
klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai
lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang
dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarcoma
kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf,
menyebabkan kerusakan neurologis.
II.4.7. Manifestasi Klinis
36
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang
penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada
umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada
berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan
sebagai berikut :
• Rasa lelah dan lesu
• Berat badan menurun secara drastis
• Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
• Mencret dan kurang nafsu makan
• Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
• Pembengkakan leher dan lipatan paha
• Radang paru-paru
• Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain
tumor dan infeksi oportunistik :
1. Manifestasi tumor, di antaranya :
Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ
tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada
kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual
serta jarang menjadi sebab kematian primer.
Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang
syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik, di antaranya :
a. Manifestasi pada Paru-paru
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas,
batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada
paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
Mycobacterium Avilum
37
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan.
Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
b. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10%
perbulan.
c. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis,
yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf
yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan
neuropari perifer.
Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/µl maupun CD4 <
200 sel/µl. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA)
disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian infeksi oportunistik dapat diobati.
Namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh
kembali atau dapat juga timbul oportunistik yang lain. Dengan penggunaan ARV
peningkatan kekebalan tubuh (CD4) dapat dicapai sehingga risiko infeksi
oportunistik dapat dikurangi.
Pola infeksi oportunistik di Indonesia :
Infeksi oportunistik Frekuensi
Kandidiasis mulut-esofagus 80,8 %
Tuberkulosis 40,1%
CMV 28,8%
Ensefalitis toxoplasma 17,3%
38
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP) 13,4%
Herpes simplex 9,6%
Mycobacterium avium complex (MAC) 4,0%
Kriptosporodiosis 2,0%
Histoplasma paru 2,0%
II.4.8. Diagnosis
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang
berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau
vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan
ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk
menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked
Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan
dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test
yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.
Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :
1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).
2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.
3. Adanya gejala infeksi oportunistik.
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi
oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji
serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa, western Blot).
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010. Hal: 358-370.
2. Lumbantombing, SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2004
39
3. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in
individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67.
4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi
ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000.
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 303-
20 & 374-75.
6. Martini, FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7 th Edition. USA: Pearson
Benjamin Cummings; 2005. P 1006.
7. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
8. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 &
485-90.
9. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia,
Pennsylvania. 2006.
10. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
11. Wood AJJ, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infections in patients with
human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 2000; 342 : 1416-26.
12. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportunistik pada AIDS. Jakarta: FKUI;
2005.
40