Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |73
MEMBANGUN KEPEDULIAN PASTORAL EKOLOGI
Viktoria Lelboy, Lic., Teo. Sp.
Abstrak
Tugas pastoral yang mendesak saat ini adalah menyelamatkan
lingkungan alam yang sudah rusak oleh tangan-tangan manusia yang
tidak bertanggungjawab. Tulisan ini menelusuri semangat ensiklik Paus
Fransiskus “Laudato Si” untuk merefleksikan keprihatinan pastoral di
bidang ekologi tersebut. Penulis berpendapat bahwa untuk
menyelamatkan bumi ini dibutuhkan keprihatinan dan sikap untuk
merawat. Sikap yang dibutuhkan yakni merawat hati dan pikiran untuk
mengedepankan kecendrungan positif untuk memilih memelihara alam
dan berhenti merusaknya. Oleh karena itu sikap yang tepat untuk
mengawali kesadaran itu adalah membangun sikap tobat untuk mengenal
dirinya dihadapan lingkungan alam, sesama, dan Tuhannya.
Kata Kunci: Ekologi, Pastoral, Sikap Peduli, dan Laudato Si
Pendahuluan
Perjanjian Lama, khususnya Kitab Kejadian, berkisah tentang
kisah penciptaan, yang mana Allah menciptakan alam semesta dengan
begitu indah dan menarik. Karena Allah mencipta dengan kebijaksanaan,
maka alam ciptaan tertata baik dan teratur rapih serta berjalan
sebagaimana direncanakan oleh-Nya sejak semula. Kitab Kebijaksanaan
menegaskan “Akan tetapi segala-galanya telah Kau atur menurut ukuran,
jumlah, dan timbangan.”
Keharmonisan, keteraturan, keseimbangan, dan kedisiplinan
adalah cara Allah bertindak dalam memperlakukan ciptaan-Nya termasuk
juga kepada manusia. Sebelum manusia diciptakan, Allah telah
menyediakan segala sesuatu terlebih dahulu, baik tempat untuk manusia
diami maupun waktu supaya manusia dapat mengatur hidupnya. Karena
itu, manusia, yang kemudian diciptakan menurut citra-Nya, merupakan
“tanda kehadiran Allah” ditengah-tengah alam ciptaan, sekaligus wakil
Allah di bumi. Manusia, yang merupakan wakil Allah di bumi ini, diberi
tanggungjawab untuk memelihara alam ciptaan agar alam ini dapat
74 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
menjadi tempat yang layak dihuni sehingga mendatangkan kesejahteraan
dan kenyamanan baginya. Oleh sebab itu, manusia perlu selalu bersyukur
dengan kesadaran bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan Allah
adalah baik adanya, terlebih untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia itu
sendiri.
Bumi ciptaan Allah adalah “Rumah Kita” yang perlu dilindungi
dari setiap bentuk kejahatan sebagai akibat perilaku yang tidak
bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan, baik tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Apabila perilaku tak bertanggungjawab merusak
bumi, cepat atau lambat bumi tidak akan mungkin lagi menyediakan
benih baik untuk dinikmati manusia. Bumi akan menjadi sakit. Boleh jadi,
bumi sakit karena tindakan manusia didasari pikiran, “Manusia adalah
pemilik dan penguasa segala sesuatu”, sehingga memperlakukannya
sesuka hati. Padahal manusia hanyalah perpanjangan tangan Tuhan dalam
melanjutkan karya ciptaan-Nya.
Dalam tulisan ini penulis memfokuskan diri pada refleksi tentang
ensiklik dari Paus Fransikus “ Laudato Si”, “Terpujilah Engkau” untuk
membantu pemahaman pastoral ekologi dalam wilayah Gereja Lokal di
Keuskupan Larantuka. Tantangan dan pergumulan iman senantiasa
dihayati oleh Gereja semesta tak terkecuali di Keuskupan Larantuka.
Membangun sikap peduli lingkungan
Sekian sering terjadinya polusi lingkungan diakibatkan asap
industri, pestisida, polusi dari limbah, pembakaran hutan, penambangan
tanpa pertimbangan matang, pembuangan sampah yang menimbulkan
banjir di musim hujan, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membawa
dampak yang negatif, baik kotornya udara, timbulnya berbagai jenis
penyakit, dan lain-lainnya. Dampak lanjutan dari hal-hal tersebut, cepat
atau lambat, menimpa hidup manusia secara lebih luas. Tidak heran, bila
banyak nyawa menjadi korban, seperti meningkatnya angka kematian
dini, terutama dikalangan kaum yang miskin secara ekonomi.
Dengan demikian, bumi yang merupakan “Rumah Kita” akhirnya
lebih dikenal sebagai tempat pembuangan sampah atau rumah yang
sedang rubuh dan dirubuhkan bukan lagi sebagai rumah yang layak
dihuni manusia. Bumi sakit tidak dapat dikatakan sebagai suatu
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |75
fenomena, melainkan kenyataan yang sedang terjadi. Itu berarti perlu
adanya pertobatan dari pihak manusia, seperti harapan “Gereja Lokal”
Keusukupan Larantuka.
Belajar dari Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si”
Ensiklik “Laudato Si” (Terpujilah Engkau) dalam tulisan Paus
Fransiskus, dibagi menjadi 246 paragraf dan enam bab, menambahkan
kontribusi baru untuk dokumen ajaran sosial Gereja yang mana
menempatkan manusia sebagai penanggung jawab terhadap bumi.
Tulisan tersebut mengandung beberapa bagian sangat spesifik, yang
diambil dari berbagai dokumen dan konferensi para uskup dan tidak
hanya ditujukan kepada orang-orang Kristen, melainkan juga kepada
semua orang yang mendiami bumi ini. Harapannya, setiap orang
terpanggil untuk peduli dan menghormati lingkungan yang telah
diciptakan Tuhan.
Demi menghasilkan lingkungan yang mampu memberi
kenyamanan, manusia yang berperilaku buruk terhadap bumi diajak untuk
bertobat dari cara yang secara sadar atau tidak sadar telah memperlakukan
bumi menjadi sakit “menderita”. Bumi yang sakit membutuhkan sentuhan
tangan hati yang peduli untuk merawat seraya berkomitmen dalam
memelihara hingga kesembuhannya. Kesembuhan bumi dapat menjadi
dampak dari kesembuhan hati manusia yang tahu peran penting bumi bagi
hidupnya.
Arti dan relevansi ekologi
Istilah atau kata “Ekologi” tidak berasal dari bahasa Indoneisa
melainkan dari kata asing yaitu Oikos (Yunani) yang artinya “rumah,
yang ditinggali, tempat tinggal” atau rumah tangga atau rumah bersama.
Kata oikos digunakan dalam kata “ekonomi”: nomoi artinya hukum-
hukum tentang oikos. Ekonomi berbicara tentangn hubungan antara
manusia, tetapi terbatas pada hubungan demi pemenuhan kebutuhan –
kebutuhan praktis serta demi pertukaran dan pembagian, dalam hal ini
“benda dan barang”, didalam masyarakat. Kata lain “ekumene”. Aslinya
kata Yunani oikumenè, dari oikeoo yang berarti, dihubungkan dengan
seluruh bumi (gè): hè oikomenè (gè), artinya seluruh bumi yang didiami.
Dalam kehidupan beragama ekumene dikenal sebagai dialog fraterna
antar agama, khususnya agama Katolik dan Protestan yang mendiami
76 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
bumi ini bahkan mempersatukan yang satu dengan yang lain. Terlepas
dari itu juga dipakai istilah cukup baru, “ekologi” artinya logos (ilmu)
tentang oikos. Sehingga ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup.
Oleh sebab itu, ekologi yang tentang lingkungan hidup berusaha
melindungi dan melestarikan alam dunia kita sebagai lingkungan
manusia. Di samping itu, ekologi tidak hanya mempelajari struktur alam
dunia, tetapi lebih dari itu menentukan norma-norma untuk memeilihara
dan mengmbangkannya sesuai cita-cita Allah yang telah menciptakan
bumi ini. Ekologi dari dirinya sendiri belum tentu mampu mengefektifkan
aturan-aturan yang mengikat warga dalam kelompok masyarakat tertentu
dalam seluruh tingkah lakunya sebagai manusia, tetapi hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa tertentu, sekurang-kurangnya
bila para penguasa tersebut sungguh menyadari dan percaya tantang
kebenaran dan kebaikannya57.
Manusia adalah rahim bumi
Sebagai rahim bumi, manusia merupakan mikrokosmos yang
bersama kosmos tercipta untuk menyatakan kemuliaan dan kebesaran
Sang Pencipta. Rahim bumi ataupun mikrokosmos perlu dijaga,
dipelihara, dihargai, dan dihormati seperti juga manusia harus menjaga
dan merawat ibu bumi. Walau demikian, manusia diberi tempat khusus
dan istimewa untuk merawat dan memelihara makrokosmos secara
bertanggung jawab.
Lebih lanjut, di antara sekian ciptaan di bumi hanya manusialah
yang Tuhan berikan empat tingkat kedudukan sesuai ciptaanNya.
Pertama, lapisan fisiokimis. Lapisan ini dikenal sebagai lapisan yang
paling rendah, meliputi: pelikan, logam, air, atom dan molekul; kelompok
ini merupakan kumpulan yang paling mendasar bagi semua pemanfaat.
Menurut unsur-unsur ini, manusia hanya berelasi secara fisiokimis
sebagai benda mati. Kedua, lapisan biotik. Yakni yang menguasai lapisan
fisiokimis, antara lain: sel, jaringan, organ, otot, kulit,tulang, otak; bagian
itu berkaitan langsung dengan kehidupan manusia, dan ala kadarnya tidak
hanya pada diri manusia tetapi juga ditemukan pada binatang. Ketiga,
lapisan psikis. Lapisan ini menyangkut mekanisme-mekanisme psikis,
57 Cfr. A. Bakker, Kosmologi dan Ekologi, Penerbit Nusa Indah, Ende 1995, hal.34.
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |77
antara lain persepsi, naluri, nafsu, emosi; unsur-unsur itu mencirikan
bidang kesadaran dan perasaan pada manusia, dan juga pada hewan.
Keempat, lapisan human. Lapisan ini dikuasai oleh akal dan karsa, atau
yang dikenal oleh kebebasan yang intelegen. Bagian ini hanya
diberlakukan bagi manusia dan berkaitan dengan kemanusiaan menurut
kekhususan martabatnya. Karena itu bagian ini lebih bergerak dalam
suasana cinta dan benci, baik dan jahat. Dengan demikian, manusia
diciptakan sederajat dan semartabat dengan sesamanya, walaupun
berbeda posisi, tugas dan lain sebagainya sesuai karunia Tuhan.58
Di antara semua substansi duniawi hanya manusialah yang
mempunyai empat lapisan tersebut di atas. Manusia merupakan kosmos
utama. Dia tidak dapat diperlawankan dengan bumi ini; sebaliknya
manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam bumi. Karena itu,
manusia secara aktif dan terus menerus mengambil bagian dalam
menentukan mutu sekaligus perkembangan bumi. Bumi mendapat
artinya yang paling mendalam dari hadirnya manusia; di lain sisi, manusia
baru dikatakan menjadi manusia ketika ia menjadi dan mengambil bagian
dari bumi. Dengan demikian, manusia baru mencapai hakikat dimensinya
hanya jika ia ber-ada dalam kesatuan dengan bumi.
Keselarasan dan ketidakselarasan antara manusia dan bumi
Dalam sebuah masyarakat majemuk, dimensi saling
ketergantungan menjadi semacam lem pemersatu dari anggota
masyarakat yang beragam. Setiap orang dalam masyarakat membangun
sikap saling tergantung satu sama lain demi memenuhi kebutuhan hidup.
Yang satu merasa penting arti kehadirannya di tengah-tengah sesamanya,
begitupun sebaliknya. Saling ketergantungan ini menjadi tanda
colaborare (kerja sama) yang saling menguatkan. Kekokohan dan
kekuatan seseorang justru terbina karena sistem atau jejaring kerja sama
yang saling mendukung.
Kerja sama dalam kebaikan perlu dibina terus untuk menggeser
aneka bentuk kerja sama dalam kejahatan. Kerjasama dalam kebaikan
merupakan energi yang bermanfaat bagi kemajuan dan pembangunan
segenap masyarakat. Hal demikian diperlukan untuk memandang lebih
58 Cfr. A. Eddy Kristiyanto – W. Chang, Multikulturalisme kekayaan dan tantangannya
di Indonesia, Penerbit Obor 2014.
78 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
jauh kedepan demi menata dan merawat ibu bumi yang akhir-akhir ini
terasa seperti tempat sampah dan bukanlah rumah yang layak untuk
dihuni.
Dewasa ini dibutuhkan pendidikan nilai sebagai dasar untuk
memperkenalkan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan yang perlu
dihargai, baik antar sesama manusia maupun membangun sikap hormat
terhadap alam jagat raya. Jika mengedepankan keselarasan, maka yang
harus diutamakan adalah penanaman nilai dasar saling menghargai dan
menghormati antar manusia dan alam jagat raya. Karena manusia sering
kali lupa bahwa semuanya memiliki martabat yang setara dengan dirinya.
Kurangnya penghargaan dan penghormatan terhadap sesama manusia dan
terhadap alam jagat raya bakal mendatangkan “keterpisahan” dalam
hidup sosial dan berdampak kepada kerusakan pada alam.
Nilai luhur perbedaan perlu dijunjung tinggi dan tidak lagi
dipandang sebagai sumber perselisihan antar manusia untuk menaklukan
bumi ini. Perbedaan adalah kekayaan kodrati yang diterima dari Sang
Pencipta untuk menata alam jagat raya ini menjadi indah. Apalagi
manusia diciptakan untuk secara naluriah berfikir demi pengembangan
bumi dan menjadikannya rumah tinggal yang nyaman. Kitab Kejadian
bab 1:28 menyatakan: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banyak: penuhilah bumi
dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.
Di sini Tuhan mau menunjukkan bahwa manusia diciptakan
setelah semua kisah penciptaan dijadikan. Dengan demikian manusia
ditunjuk dan diutus untuk melanjutkan karya penciptaan Tuhan. Arti kata
“taklukanlah” bukan dalam arti manusia harus menghancurkan bumi ini
dan menciptakan yang baru tetapi “taklukanlah” dalam arti manusia
diberikan tanggung jawab untuk merawat atau menatanya menjadi indah
sesuai kemampuan yang Tuhan berikan. Dari kisah penciptaan pada
Perjanjian Lama khususnya Kitab Kejadian, dapatlah dilihat bahwa
manusia diciptakan bukan untuk berdiri sendiri tanpa berelasi dengan
orang lain dan dengan alam jagat raya, melainkan di lain sisi manusia
saling membutuhkan satu sama lain. Manusia membutuhkan alam jagat
raya ini demi hidupnya demikianpun sebaliknya, alam membutuhkan
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |79
manusia untuk menatanya. Karena itu, kisah penciptaan dalam Perjanjian
Lama mempunyai arti penting untuk menyadarkan manusia bahwa
pertama-tama ia mesti hadir bagi orang lain dan alam jagat raya karena ia
tidak diciptakan untuk dirinya sendiri.
Sebuah taman indah dengan bunga yang berwarna-warni akan
lebih indah daripada sebuah taman yang hanya terdiri dari sejenis bunga.
Keindahan dalam perbedaan ini perlu digali terus-menerus dalam proses
memupuk kerukunan, kesejukan, dan kedamaian hidup bersama dan demi
kepentingan manusia. Kesadaran sebagai makhluk sosial yang
memerlukan alam sangat penting untuk membangun kondisi alam
semakin hari semakin dikenal, bukan sebagai bumi yang sedang sakit
melainkan sebagai bumi yang sehat karena selalu dipelihara manusia.
Manusia dituntut untuk memahami dan mengerti bahwa bumi, yang
merupakan tempat kediaman di mana ia boleh merasa nyaman dan
kerasan karena termasuk bagian dari kosmos, merupakan “rumah
tinggal” menjadi utuh dan menyatu dengan dirinya.
Gereja Katolik dalam Ekologi
Secara umum, Gereja Katolik di Indonesia dan Keuskupan
Larantuka khususnya adalah bagian integral dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Gereja lokal ini senantiasa merumuskan perannya
dalam bingkai keprihatinan sosial dalam skala nasional. Sejak Sidang
Agung Gereja Katolik (SAGKI) tahun 2005, Gereja Indonesia telah
merumuskan keprihatinannya terhadap rusaknya alam karena telah rusak
secara masif.59 Dalam merumuskan peran dan kehadirannya di tengah
dunia, Gereja di Keuskupan Larantuka pada refleksinya menandaskan
keberpihakkannya secara adekuat dengan mengusung tahun 2017 sebagai
tahun ekologi.
Gereja lokal di Keuskupan Larantuka yang hadir dari dan
bertumbuh dalam konteks ekologi sesuai situasi geografi, sejarah, dan
kebudayaan setempat, tergerak untuk memberi perhatian terhadap ibu
bumi kita. Perhatian terhadap ibu bumi didorong oleh kesadaraan akan
59 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Bangkit dan Bergeraklah! Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 (Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, 2006), hal. 61-76.
80 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
panggilannya sebagai masyarakat Allah yang berperan melanjutkan karya
ciptaan dan karya keselamatan Allah. Lalu bagaimana konkretnya Gereja
lokal bisa hadir dalam mewujudkan misi keselamatan ibu bumi?
Salah satu upaya konkret yang dilakukan Gereja Lokal Keuskupan
Larantuka yakni menyelenggarakan katekese umat di masa prapaska
melalui tema umumnya, “Selamatkan ibu bumi”. Dengan adanya katekese
masa prapaska ditemukan berbagai macam jawaban mengapa ibu bumi
akhir-akhir ini dilihat sebagai ibu bumi yang membutuhkan perawatan
sebab sedang berada dalam keadaan sakit. Sakitnya ibu bumi sebagai
akibat dari lingkungan yang telah dikerusakkan oleh tangan-tangan yang
tak tersentuh belas kasih. Dalam katekese tersebut timbul kesadaran
bahwa kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada akhir-akhir ini,
perlu mendapat perhatian utama dari setiap pihak sebagai manusia yang
mau peduli. Ada kesadaran betapa pentingnya tanggung jawab terhadap
lingkungan alam. Sebab tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan
oleh Allah kepada manusia untuk mengolah alam ciptaan-Nya ternyata
disalahgunakan oleh sekian banyak pihak sehingga menyebabkan
kerusakan lingkungan hidup.
Penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan hidup adalah:
karena kesombongan, kerakusan, dan keserakahan pihak-pihak tertentu
dengan mengambil dan memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang
ada lebih dari yang dibutuhkan; karena dikuasai oleh nafsu untuk
menguasai bumi ini tanpa memikirkan bahwa manusia hanyalah
perpanjangan tangan Tuhan untuk melanjutkan yang sudah ada; karena
ketidakpuasan manusia yang serakah terhadap apa yang ada, sehingga
terjadinya hal yang tidak diinginkan. Penebangan hutan, kebakaran hutan,
banjir, tanah longor, pencemaran air dan pemanasan global adalah bukti-
bukti nyata tentang kerusakan alam sebagai akibat dari ketidakpedulian
manusia terhadap lingkungan. Padahal sesungguhnya, menaklukkan alam
bukan berarti mengeruk atau merusaknya sampai punah.
Pertanyaan untuk direfleksikan, bagaimanakah upaya untuk
menghadirkan wajah Tuhan yang sedang dinantikan manusia lewat
pergumulan pastoral ekologi ini? Sebagai umat beriman khususnya di
keuskupan Larantuka, masing-masing orang dipanggil untuk bersikap
lebih positif terhadap lingkungan di sekitarnya. Berbicara dan melihat
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |81
sesuatu yang jauh di luar diri tanpa menengok ke dalam diri sendiri
mungkin bukanlah tindakan yang bijaksana, ketika lingkungan di sekitar
sedang mengalami kerusakan. Dalam masa prapaskah di tahun 2017,
umat di KBG, Lingkungan, Stasi demikianpun di tingkat Paroki di
Keuskupan Larantuka telah merumuskan keprihatinannya akan
lingkungan hidup di sekitarnya dan mengambil beraksi untuk
mengatasinya melalui solusi-solusi konkrit. Dengan demikian Gereja
lokal telah mencoba menunjukkan keberpihakkan yang konkret terhadap
keprihatinan yang juga menjadi keprihatinan bersama umat sejagat.
Setiap orang beriman dipanggil untuk memberi kesaksian atas
kebenaran hidup sejati dengan memberi perhatian, bersikap peduli,
menghargai, menghormati semua yang telah diciptakan Tuhan. Itulah
kesejatian hidup orang Katolik dalam kaitan dengan keberanian menjaga,
merawat, dan melestarikan alam, sebagai ibu buminya. Itu pulalah cara
orang beriman berperan membangun hidupnya dalam hubungannya
dengan lingkungannya. Atau dalam ranah ekologi, “bahasa”apakah yang
semestinya digunakan sehingga terbangun kembali komunikasi sehingga
situasi bumi yang sedang sakit ini dapat dipulihkan? Demikianlah orang
Katolik perlu tampil sebagai pribadi yang seimbang, harmonis dan serasi
pula dengan alamnya. Dapat dikatakan bahwa kerusakan alam dan
lingkungan yang sering terjadi bukan hanya merusak keseimbangan alam
namun lebih dari itu merusak kehidupan manusia itu sendiri; merusak
pernafasan manusi; merusak relasi antar sesama manusia, dan merusak
persaudaraan, sebab kehidupan manusia berada di dalam alam. Dengan
merusak alam berarti pula merusak rumah tempat kediamannya.
Tobat religius
Selama pendalaman tema katekese ekologi masa prapaskah
persiapan Paskah tahun 2017 di Keuskupan Larantuka tersebut, salah satu
point yang menjadi harapan dan kerinduan hati dari masyarakat berkaitan
‘tobat religius’. Tobat yang sesungguhnya membawa umat kristiani untuk
lebih memahami keselamatan ibu bumi yang merupakan rahim tinggal
seorang manusia yang nyaman dan damai. Selagi manusia masih berpikir
untuk semakin merusak alam maka manusiapun tidak mendapatkan
kenyamanan dalam hidupnya.
82 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
Manusia dewasa ini masih terus terpengaruh oleh tradisi atau
kebiasaan lama yang sering didengar bahwa ‘orang benar dan baiklah
yang mengumpulkan banyak rahmat’. Ketika ia jatuh dalam dosa, atau
mungkin menjadi murtad, ia tidak kehilangan rahmatnya; akan terlalu
simplistis; bahwa rahmat yang diberikan Tuhan karena kebaikan manusia
itu tetap melekat pada dirinya. Namun rahmat itu direinterpretasi dan
direevaluasi, sehingga menjadi kutukan dan penunduhan terhadap
dirinya. Namun sekali orang itu bertobat dan berbalik ke kebenaran dan
kebaikan religius, seluruh warisan itu berombak lagi, dan kembali
menjadi rahmat serta keuntungan bagi dirinya. Bahkan perkembangan
yang telah dialaminya dalam periode dosa, dalam harmoninya akan
dikonversi menjadi pahala.
Syarat bagi kesatuan umat Kristiani melestraikan alam
Selama masa prapaskah tersebut, umat kristiani di keuskupan
Larantuka bertekad dalam terang semangat pastoral ekologinya,
bersatu secara radikal. Ada pepata atau idiom tentang relasi persatuan
manusia dengan alam di kalangan orang asli di benua Afrika dan orang
Eropa khususnya Italia, ‘lebih bersatu jika dibandingkan atau
diibaratkan dengan persatuan gajah dengan bekicot’. Tetapi kesatuan
itu tidak menuntut bahwa semua manusia berasal dari satu pasangan
orangtua, atau bahwa mereka masih adanya hubungan darah. Cukuplah
mereka berasal dari satu rumpun, atau suku tetapi pada akhirnya secara
regresif bersatu pada salah satu akar suku. Yang terjadi akhir-akhir ini
di Italia disamping hubungan darah atau familia, kesatuan juga tumbuh
dari antarkomunikasi diantara satu dan yang lain. Komunikasi dan
relasi bisa lebih menentukan kesatuan manusia dari pada hubungan
darah. contoh kenyataan yang terjadi di Italia; anak angkatnya yang
datang dari benua Afrika dapat lebih bersatu dengan keluarga
angkatnya di Italia dibandingkan antara anak dan orang tua yang
sesungguhnya, semua ini karena eratnya komunikasi yang terjadi
sebelumnya, misalnya relasi dan komunikasi dalam masa pendidikan
bersama.
Karena itu, nilai-nilai budaya adalah rambu-rambu lalu lintas
yang mengarahkan seseorang ke mana dia harus pergi. Nilai-nilai
tersebut merupakan standar untuk menentukan hubungan seseorang
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |83
dengan 1) dirinya seni diri, 2) orang lain yang berorientasi dengannya,
3) mesin yang yang menghasilkan komoditi yang dibutuhkannya, 4)
alam disekitarnya, 5) Allah yang dapat membantunya mencapai
keselamatan. Semua pola komunikasi budaya maupun religius tersebut
dapat membentuk pola komunikasi baik antarpribadi maupun
kelompok yang hanya tujuan untuk satu tekad membangun bumi ini.
Manusia hidup tanpa bumi tak dapat dibayangkan apa yang terjadi,
demikianpun bumi tanpa manusia terasa kosong karena tanpa orang
yang merawatnya. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan bumi untuk
hidup dan bumi mendapatkan makna lebih mendalam dan konkret
dengan sentuhan tangan, pikiran, dan hati manusia.
Seperti Ebit G. Ade dalam lagunya “Tubuhku terguncang
dihempas batu jalanan, Hati bergetar menatap kering rerumputan,
perjalanan ini seperti jadi saksi, Gembala kecil menangis sedih”, setiap
pendengarnya diajak untuk sungguh bersatu dan mau peduli dengan
lingkungan hidup, baik melalui kebersihan, penanaman pohon
pelindung, tetapi jika manusia tak mau menyadarinya serta tidak peduli
terhadap pemeliharaan alam, boleh jadi kesadaraan akan datang
terlambat setelah menyaksikan datangnya banjir, longsor yang
menimbun rumah masyarakat, atau penyakit yang menyebabkan
kematian. Apakah kesadarannya untuk memilihnya terlambat? Tentu
tidak diharapkan hal tersebut terjadi lebih jauh. Yang diharapkan justru
perlunya persatuan dalam komunikasi antarbudaya dan pribadi untuk
mengatasinya tanpa menelan korban.60
Makna dan manfaat ekologi
Makna ekologi
Ekologi adalah salah satu kegiatan penting yang harus
dilaksanakan secara konseptual dalam menangani krisis lingkungan.
Begitu pentingnya sehingga penghijauan sudah merupakan program
nasional yang dilaksanakan di seluruh Indonesia termasuk ‘Lewo
60 Cfr.F.Josef Eilers, Berkomunikasi antara budaya, Penerbit Nusa Indah, Ende 1995,
hal. 84.
84 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
Tanah’61 di Keuskupan Larantuka. Penghijauan dalam arti luas adalah
segala daya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi
lahan agar dapat berproduksi dan berfungsi secara optimal, baik sebagai
pengatur sumber air atau pelindung lingkungan. Ada pula yang
mengatakan bahwa penghijauan adalah suatu usaha untuk menghijaukan
bumi ini dengan melaksanakan pengelolaan taman-taman kota, taman-
taman lingkungan, jalur hijau dan sebagainya. Dalam hal ini penghijauan
merupakan kegiatan pengisian ruang terbuka di kota Larantuka dan
sekitarnya.
Pada proses fotosintesa tumbuhan hijau mengambil CO2 dan
mengeluarkan C6H1206 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan
makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat
diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di
samping itu, berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau dapat
memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat
meningkatkan kualitas lingkungan. Begitu pentingnya peranan tumbuhan
dalarn menangani krisis lingkungan, terutama di daerah perkota di
Larantuka, sehingga sangat tepat jika diperlukan pelaksanaan penghijauan
demi menyuburkan dan memperindah daerah Larantuka.
Dalam Ensiklik Paus Fransiskus menekankan betapa pentingnya
penghijauan yang dilakukan oleh manusia. Berikut ini digambarkan
beberapa hal perlu yang mesti mendapat perhatian. Pertama, Semua
kelompok religius, kaum awam seharusnya didorong untuk menekankan
aspek-aspek tradisi penghijauan yang membuat mereka bisa saling
menghargai dan mengerti. kedua, jika diperlukan, bantuan-bantuan dapat
diberikan kepada individu-individu dan komunitas-komunitas dalam
membangun identitas ibu bumi yang tergusur kelalaian manusia. Ketiga,
sejumlah proses penelitian dan pendidikan seharusnya dikembangkan
untuk mendukung interaksi dan mendorong sikap saling menghargai antar
alam dan manusia. Keempat, kaum akademisi, perancang kebijakan dan
mereka yang terjun di lapangan seharusnya memberanikan diri untuk
61 Lewoh Tanah adalah ungkapan dalam bahasa daerah Lamaholot. Yakni bahasa daerah dalam rumpun wilayah di wilayah Keuskupan Larantuka, mencakup kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata dan sebagian kecil wilayah di Kabupaten Alor. Lewoh berarti kampung dan tanah berarti bumi. Secara harafia: Lewoh tanah berarti bumi; kampung tempat tinggal manusia.
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |85
membangun dialog dengan yang lain supaya dapat memberitahukan
kepada yang lain tentang debat mengenai pentingnya penghijauan.
Manfaat Ekologi
Peran penghijauan dapat dikatakan sebagai organ pernafasan vital
dari lingkungan. Jika pada manusia ada paru-paru yang mempunyai
fungsi sebagai alat pernafasan, maka pada lingkungan, penghijauan
tumbuhan merupakan paru-paru dari lingkungan. Penghijauan dapat
berguna sebagai pengatur lingkungan, mengatur produksi udara yang
akan dihasilkan. Hasil udara sejuk, segar dan bersih sangat diatur oleh
pengaruh dari penghijauan. Penghijauan berperan bagi keseimbangan dari
sebuah lingkungan alam dan sumber daya alam. Keseimbangan yang akan
ditimbulkan pada proses penghijauan adalah keseimbangan alam pada
populasi satwa yang hidup di seluruh alam. Demikianpun penghijauan
akan menambah persediaan air bagi komponen abiotik pada tanah, juga
membuat makhluk hidup di dalam tanah dapat melaksanakan tugasnya
untuk tetap menjaga kesuburan tanah. Sehingga tumbuhan dapat
memberikan dampak kesehatan bagi mahkluk hidup; mengurangi
pengikisan tanah yang dapat mengakibatkan erosi; menghasil oksigen,
alat penyerapan karbondioksida yang terjadi pada proses dari sebuah
proses fotosintesis akan membantu pembersihan udara yang sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk kesehatan manusia, dengan proses
penghijauan akan menimbulkan keindahan dan kebersihan yang membuat
manusia dan ekosistem yang lain dapat hidup dengan jangka waktu yang
lebih lama.
Sejak dicanangkan tahun ekologi di keskupan Larantuka tangga
23 Februari 2017 oleh Yang Mulia Uskup Larantuka, Frans Kopong Kung
Pr dalam sebuah misa dan pencangan tahun ekologi di Lewoleba, maka
serempak di seluruh KBG, Lingkungan, Stasi dan paroki-paroki di
keuskupan Larantuka mulai giat melaksanakan aksi dan tindakan nyata
untuk merawat ‘ibu bumi’. Kemudian secara fokus dipikirkan dan
dilaksanakan selama masa-masa prapaska dalam katekese orang dewasa
(KATORDE). Umat bertekad untuk melaksanakan upaya-upaya
penghijauan serentak tanggap terhadap persoalan lingkungan seperti
terjadinya banjir, kesulitan air bersih, laut dan polusi udara. Gereja
menyadari bahwa penanggulangan terhadap rusaknya lingkungan hidup
86 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
membutuhkan kerjasama semua pihak. Kerjasama yang sangat baik
antara golongan di Keuskupan terjalin dengan sangat baik untuk
mengatasi persoalan tersebut Bapa Uskup menjalin komunikasi yang
intens dengan pemerintah di dua kabupaten, Flores Tumur dan Lembata.
Demikianpun membangun hubungan yang harmonis dengan para pemuka
agama-agama di dua kabupaten tersebut. hal tersebut nampak ketika
dalam pencangan tahun ekologi tersebut selain aparatur pemerintah,
tampak pula para alim ulama hadir dan turut mencanangkan tahun ekologi
dengan menanam anakan pohon umur panjang di lokasi pencangan baik
di kabupaten Lembata atau di kabupaten Flores Timur.
Ada berbagai macam pohon yang sering ditanam sebagai upaya
penghijauan.
Beberapa pohon yang ditanam untuk penghijauan adalah pohon akasia,
pohon mahoni, pohon palem putri, pohon beringin, pohon cemara bundel,
pohon johar, pohon cendana, pohon jati, dan masih banyak lagi. Karena
menanam pohon merupakan upaya penghijauan yang penting, maka
dalam sharing selama kegiatan KATORDE masa Prapaskah tahun 2017
umat berkomitmen untuk mengambil bagian dalam upaya penghijauan di
wilayah sekitar tempat tinggalnya.
Adapun manfaat penghijauan bagi lingkungan bagi Keuskupan
Larantuka, yakni pertama, pencegahan banjir. Upaya pencegahan
terjadinya banjir salah satunya adalah dengan gerakan penghiajauan dan
dengan demikian dapat mengurangi debit atau lintasan air saat musim
hujan karena akan meresap ke dalam tanah. Kedua, penghijauan berperan
bagi keseimbangan antara lingkungan alam dan sumber daya alam.
Keseimbangan yang akan ditimbulkan pada proses penghijauan adalah
keseimbangan alam pada populasi satwa yang hidup di alam, ketiga,
mengurangi pengikisan tanah yang dapat mengakibatkan erosi. Keempat,
proses penghijauan akan menimbulkan keindahan dan kebersihan serta
kesuburan tanah yang membuat manusia dan ekosistem yang lain dapat
hidup dengan jangka waktu yang lebih lama. Kelima, penghijauan dapat
berguna dalam mengatur produksi udara yang akan dihasilkan. Udara
yang sejuk, segar, dan bersih sangat dipengaruhi tanaman dan tumbuhan
yang hijau. Keenam, penghijauan membawa dampak hadirnya oksigen
yang baik dan bersih bagi manusia.
Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V |87
Ekologi dan Evolusi
Manusia perlu bangkit dan belajar dari alam. Telah dipahami
sebelum manusia diciptakan, alam telah diciptakan oleh Tuhan, karena
itu, alam dan manusia tidak bisa dipisahkan satu dan lain. Menusia
memiliki kecenderungan, baik yang mendatangkan kebaikan maupun
yang mendatangkan keburukan yang dapat menyebabkan dirinya maupun
alam menjadi sakit. Manusia pertama akhirnya memilih kecenderungan
yang buruk dan mengantar dirinya dan sejarah umat manusia jatuh pada
berbagai kelemahan manusiawi dengan dampak pada alam ciptaan lain,
termasuk lingkungan alam. Walau demikian, perlu disadari, kelemahan
yang dimiliki manusia tidak perlu membuatnya berhenti berpikir atau
pasrah dengan keadaan, melainkan justru harus membangkitkan semangat
guru mengenal dan berupaya bagaimana caranya mencari solusi untuk
kembali merawat hati dan pikiran maupun bumi yang telah tersakiti.
Kenderungan negatif perlu dilawan dengan mengedepankan
kecenderungan positif dan dengan demikian, ia diantar untuk lebih
memilih memelihara alam sekitar dan berhenti merusaknya.
Ekologi sebagai pengetahuan menyatukan dua sikap. Dari satu
segi seluruh proses evolusi menimbulkan rasa optimisme akan daya
dinamis yang dikandungnya. Dalam kosmos terletak suatu arah dan
kecenderungan positif yang lebih kuat dan lebih mendalam daripada
segala penyelewengan, meskipun terjadi banyak kesalahan manusia
namun oleh karena kosmosnya manusia akan didorong untuk kembali
menyatukan yang kurang harmoni.
Di lain segi adanya usaha dari ekologi, agar setiap bentuk
kehidupan, yang sederhanapun, dilestarikan dan dilindungi dari
permusnahan entah karena kakacauan alam itu sendiri, ataupun karena
ulah manusia terhadap alam. Masing-masing bentuk kehidupan memiliki
keunikan yang tak dapat dipisahkan.
Manusia perlu menyadari secara sungguh pemahaman dasar
mengenai evolusi dalam ekologi untuk melindungi alam jagat raya di
bumi ini, sambil membiarkan alam itu mencari jalannya secara otonom.
88 | Jurnal REINHA Vol. VII, Thn. V
Penutup
Kerusakan ekologi yang disebabkan perilaku tidak bertanggung
jawab dari manusia membutuh upaya pertobatan dari pihak manusia.
Dalam upaya pertobatan itu, manusia dapat mengenal kembali siapa
dirinya di hadapan lingkungan alam, di hadapan ibu bumi, di hadapan
sesamanya, di hadapan inti dirinya, dan di hadapan Allah yang
menciptakan alam semesta dan diri manusia tersebut.
Pertobatan ekologi membawa kehadiran dalam sebuah relasi
dengan Allah, dengan sesama dan bumi, pada ketiga relasi ini St.
Fransiskus Asisi menegaskan «l’esempio per eccellenza di una ecologia
integrale, vissuta con gioia e autenticità»; bahwa contoh untuk
kesempurnaan pada sebuah ekologi integral adalah bertumbuh dengan
gembira, dan keaslian, karena itu rahmat suatu perjalanan pertobatan
adalah menuju relasi yang indah, di mana tercipta pengalaman cinta
dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan alam jagat raya, sebab Tuhan
yang creare (mencipta), dan memberi nafas kehidupan senantiasa
memanggil setiap orang untuk diciptakan baru dan diselamatkan-Nya.
Kepustakaan
Alkitab Deuterokanonika, LBI Jakarta 2013.
Bakker A., Kosmologi dan Ekologi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1995.
Josef Eilers F., Berkomunikasi antara budaya, Penerbit Nusa Indah –
Ende 1995.
Edy Kristiyanto A.,– Chang W., Multikulturalisme kekayaan dan
tantangannya di Indonesia, Penerbit Obor 2014.
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Bangkit dan Bergeraklah!
Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005,
Penerbit Obor, Jakarta 2006.
http://mangihot.blogspot.co.id/2016/11/hubungan-ekologi-ilmu-
lingkungan-dan.html