TUGAS MIKROBIOLOGIPEMANFAATAN JERAMI DALAM PERTUMBUHAN TANAMAN PADI
Oleh :Kelompok 2
1. I Komang Putra Adnyana 10112050052. I Putu Restu Wiana 10112050063. I .A.M Indri Paramita 10112050084. Ayu Putu Sarasdewi 10112050315. Ni Kadek Eni Juniantari 1011205036
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT 2011
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir
seluruh penduduk Indonesia yaitu sebesar 96.87%. Permintaan terhadap beras
akan mengalami peningkatan sebesar 2.23% per tahun. Proyeksi permintaan beras
pada tahun 2010 adalah sebesar 41.50 juta ton. Selanjutnya dikatakan bahwa
defisit beras akan meningkat sekitar 13.50% per tahun (12.78 juta ton pada tahun
2010) apabila tidak dilakukan peningkatan produktivitas dan perluasan areal.
Produksi beras nasional pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 0.1 juta
ton/ha yaitu 4.6 juta ton/ha pada tahun 2007 menjadi 4.7 juta ton/ha (Deptan,
2007). Produktivitas padi sawah mengalami peningkatan 0.07 ton/ha (1.43 %)
yaitu pada tahun 2006 sebesar 4.82 ton/ha menjadi 4.89 ton/ha pada tahun 2007.
Indonesia pernah menjadi swasembada beras pada tahun 1984 (Pujo,
2003). Prasetyo (2002) menyatakan bahwa proses pencapaian swasembada beras
tersebut tidak lepas dari penerapan dan inovasi teknologi yang dikembangkan
pemerintah, misalnya dalam penggunaan benih unggul, teknologi pemupukan,
pengendalian organisme penganggu, dan sebagainya. Akan tetapi kebutuhan beras
yang semakin meningkat karena jumlah penduduk yang bertambah dan terjadi
pergeseran menu dari non-beras ke beras mendorong pemerintah untuk mencari
terobosan baru guna meningkatkan produksi pangan yang bersifat massal dan
integral (Pujo, 2003). Upaya peningkatan produksi padi diawali dengan adanya
program revolusi hijau pada tahun 1960. Teknologi revolusi hijau telah
mentranformasikan pertanian menjadi pertanian berinput luar tinggi (High
External Input Agriculture, HEIA). Dengan ditanamnya varietas modern berdaya
hasil tinggi, respon terhadap pemupukan, dan tahan terhadap serangan jasad
penganggu maka produksi padi akan meningkat dengan cepat. Namun demikian,
teknologi revolusi hijau menimbulkan berbagai masalah seperti leveling off,
rendahnya keuntungan petani karena tingkat biaya input yang tinggi, masalah
masalah lingkungan, dan kesehatan serta ketidakseimbangan hara dan hama serta
penyakit (Minami, 1997). Masalah-masalah tersebut telah mendorong pemikiran
untuk melaksanakan pertanian berkelanjutan berinput luar rendah atau pertanian
organik .Dalam pertanian organik terdapat penambahan bahan organik sebagai
suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan manfaat pupuk sehingga efisiensinya meningkat. Bahan organik
tanah merupakan hasil penimbunan sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian
telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik
mempunyai peranan penting dalam meningkatkan serta mempertahankan
kesuburan tanah. Untuk tanaman padi sawah, jerami merupakan bahan organik
yang paling potensial keberadaannya bagi usaha tani padi sawah (Cho dan
Kobata, 2000). Pemanfaatan atau pengelolaan jerami dapat dilakukan dengan
pengangkutan jerami ke luar lahan, pembakaran jerami di lahan, pembenaman
jerami, ataupun dengan pengomposan jerami. Penurunan hasil padi pada lahan
persawahan yang terus menerus diusahakan sering terjadi terutama bila jeraminya
ikut terangkut. Pengangkutan jerami pada saat panen mengurangi tingkat
kesuburan tanah karena sebagian besar bahan organik dan unsur hara tanah
diangkut ke tempat lain sehingga dalam jangka panjang kesuburan tanah akan
menurun. Pengembalian jerami padi atau pemberian bahan organik diharapkan
dapat memperbaiki keseimbangan unsur hara sehingga kelestarian kesuburan
lahan sawah dapat dipertahankan. Di Indonesia, jerami dibakar atau diangkut ke
luar lahan karena alasan untuk menghilangkan kesulitan pada saat pengolahan
tanah, mengendalikan hama dan penyakit, menghemat tenaga atau untuk pakan
ternak serta untuk keperluan lainnya. Penambahan bahan organik dapat menekan
penggunaan pupuk anorganik. Bahan organik diperlukan untuk mempertahankan
kesuburan tanah dengan menjaga dan meningkatkan fungsi mikroorganisme di
dalam tanah sehingga dapatmeningkatkan ketersediaan hara dalam tanah juga
meningkatkan efektivitas pemupukan. Oleh karena itu pengelolaan bahan organik
pada padi sawah yangdikombinasikan dengan pupuk anorganik sangat diperlukan
untuk meningkatkan produktivitas padi. Adanya penambahan bahan organik dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga pertumbuhan dan hasil padi dapat
meningkat. Pada percobaan ini diteliti pengaruh manajemen jerami yang
dikombinasikan dengan pupuk organik.
1.2 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan
pemanfaatan jerami dan penambahan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan
hasil padi sawah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Organik
Salah satu usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah adalah dengan
penambahan bahan organik. Pemberian bahan organik ke dalam tanah akan
berpengaruh terhadap sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologi tanah. Bahan
organik merupakan perekat butiran tanah dan sumber unsur hara nitrogen,
fosfor, kalium, dan sulfur sehingga bahan organik mempengaruhi sifat fisik dan
kimia tanah. Sumber asli bahan organik adalah jaringan tumbuhan di alam,
bagian tanaman berupa ranting, daun, cabang, batang dan akar tumbuhan
menyediakan jumlah bahan organik setiap tahunnya. Hara nitrogen, fosfor, dan
kalium merupakan faktor pembatas utama untuk produktivitas padi sawah.
Arafah dan Sirappa (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa respon padi
terhadap hara nitrogen, fosfor, dan kalium dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain penggunaan bahan organik. Bahan organik yang ditambahkan ke
tanah harus dalam kondisi sudah matang atau sudah mengalami pengomposan,
karena bila diaplikasikan dalan kondisi belum matang akan merusak tanaman
(Inoko, 1984). Lebih lanjut Inoko (1984) juga menyatakan bahwa selama
pengomposan jerami padi, karbohidrat terdekomposisi dan berat total dari
jerami akan menurun.
Kandungan nutrisi anorganik akan meningkat sejalan dengan peningkatan
kematangan kompos. Volatilisasi nitrogen dalam bentuk NH3 mungkin dapat
terjadi pada tingkat kebasaan sedang. Kumazawa (1984) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kompos jerami padi tidak akan memiliki pengaruh yang
besar pada lahan yang telah menerima pemupukan nitrogen secara kimia.
Bahan organik mengandung hara yang dibutuhkan tanaman baik dalam bentuk
makroelemen dan mikroelemen. Secara umum, hal terpenting dari penggunaan
kompos jerami terhadap peningkatan produksi adalah menyediakan unsur
nitrogen dan mengatur imobilisasi dan mineralisasi nitrogen di tanah
(Kumazawa, 1984). Menurut De Datta (1984) kompos atau bahan organik yang
ditambahkan ke tanah tidak akan memberikan hasil yang tinggi pada kondisi
tanah drainase yang buruk, tanah peat karena dekomposisi tidak berlangsung
dengan sempurna. Proses dekomposisi jerami akan berjalan cepat pada lahan
sawah yang memiliki drainase sedang dan dilakukan pengolahan intensif.
2.2 Peran Bahan Organik Pada Tanaman Padi
Bahan organik berperan terutama dalam perbaikan sifat fisik tanah, sifat
kimia tanah dan aktivitas biologi tanah. Bahan organik berperan dalm perbaikan
sifat fisik tanah yaitu melalui fungsinya dalam pembentukan agregat/granulasi
tanah sehingga meningkatkan porositas dan permeabilitas tanah serta
meningkatkan kemampuan menahan air. Sifat kimia tanah tidak terlepas dari
perubahan bahan organik atau dekomposisi bahan organik. Pada saat proses
dekomposisi terjadi perubahan terhadap komposisi kimia bahan organik dari
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Dekomposisi bahan
organik tersebut akan menyediakan unsur hara N, P, S dan unsur lain tergantung
penyusun bahan organik tersebut. Pemberian bahan organik juga akan
mempengaruhi kemasaman (pH) tanah serta kemampuan mempertukarkan kation
(KTK) (Soepardi, 1983).
Bahan organik dapat meningkatkan pH tanah tetapi juga dapat
menurunkan pH tanah, tergantung jenis tanah dan macam bahan organiknya.
Peningkatan Ph pada perlakuan manajemen jerami menunjukkan adanya proses
kimia di dalam tanah sebagai akibat proses dekomposisi bahan organik. Lebih
lanjut Ponnamperuma (1984) menyatakan peningkatan pH terjadi pada saat
kandungan Al dapat dipertukarkan (Al-dd) tanah tinggi, karena bahan organik
dapat mengikat Al sebagai senyawa kompleks. Hal ini mengakibatkan Al tidak
terhidrolisis. Bahan organik berperan dalam aktivitas biologi yaitu dengan
pemberian bahan organik dapat meningkatkan aktivitas biologi tanah melalui
pelepasan unsur-unsur hara tanah dalam proses dekomposisi sisa-sisa tanaman
oleh mikroorganisme dalam tanah (Sugito et al.,1995). Dalam hubungannya
dengan kesuburan tanah dan produksi tanaman, fungsi mikroorganisme yang
penting adalah mineralisasi dan imobilisasi unsur-unsur hara seperti karbon, N, P,
S, fiksasi N2 atau CO2 dari atmosfer dan kelarutan P. Penambahan bahan organik
pada tanah tergenang (sawah) umumnya dapat meningkatkan fungsi mikroba.
Pada tanah yang digenangi pergantian mikroba dari mikroorganisme aerobik ke
mikroorganisme anaerobik terutama oleh bakteri, menyebabkan terjadinya
perubahan reaksi biokimia yang pada prinsipnya adalah oksidasi-reduksi. Setelah
oksigen pada tanah tergenang digunakan oleh
mikroorganisme aerobik, maka bahan organik, nitrat, Mn-oksida, Fe-oksida dan
sulfat direduksi. Perubahan atau transformasi bahan organik tanah sawah
merupakan
proses fermentasi/biokimia utama dari mikroorganisme sehingga penimbunan
bahan organik dapat dihindarkan. Dalam hubungannya dengan kesuburan tanah
dan produksi tanaman, fungsi mikroorganisme yang penting adalah mineralisasi
dan imobilisasi unsur hara seperti karbon, N, P, S, fiksasi N2 atau CO2 dari
atmosfer dan kelarutan P (Situmorang dan Sudadi, 2002). Pembenaman jerami ke
tanah sawah dapat mempengaruhi N. Menurut Eagle et al. (2000) aplikasi jerami
dengan membenamkannya ke tanah sawah pada tahun pertama dengan perlakuan
pupuk N sesuai dengan dosis rekomendasi tidak berpengaruh terhadap hasil
gabah. Pada tahun ketiga hingga tahun kelima pembenaman jerami dapat
meningkatkan serapan unsur hara. Peningkatan unsur hara tersebut dikarenakan
terbentuknya N pool tanah labil yang mengurangi ketergantungan tanaman pada N
pupuk. Adiningsih (2000) menyatakan bahwa bahan organik juga memegang
peranan penting dalam meningkatkan efisiensi pupuk dan produktivitas secara
berkelanjutan. Bahan organik meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam
tanah. Mikroba tanah bersama-sama bahan organik merupakan komponen penting
di dalam tanah dan berperan sebagai penyangga biologi tanah yang menjaga
keseimbangan hara dan menyediakan hara dalam jumlah berimbang bagi tanaman.
Beberapa mikroba penting antara lain adalah mikroba penambat N dari udara,
mikroba pelarut P dan mikroba yang dapat mengubah belerang elemen (S)
menjadi sulfat yang tersedia bagi tanaman serta mikroba dekomposer yang dapat
mempercepat dekomposisi bahan organik sehingga unsur hara cepat tersedia.
Menurut Hesse (1984) dekomposisi bahan organik secara lambat akan melepaskan
CO2 secara langsung akan berguna untuk fotosintesis tanaman padi, melepaskan
bentuk ikatan P yang membentuk kompleks senyawa Fe dan Mn, membentuk
CH4 yang terlibat dalam pengendalian patogen dan menghasilkan senyawa
tertentu yang dapat mendorong pertumbuhan tanaman.
2.3 Jerami Padi
Menurut Ponnamperuma (1984) jerami padi adalah semua bahan hijauan
padi di luar biji yang dihasilkan tanaman padi. Jerami padi dimanfaatkan oleh
petani sebagai pupuk organik atau sebagai pengganti pupuk anorganik. Selain itu
jerami padi merupakan bahan organik yang potensial ketersediaannya bagi usaha
tani padi sawah. Hal ini disebabkan karena jerami padi merupakan bahan organik
yang mudah dan ekonomis untuk dikembalikan ke lahan sawah.
Dekomposisi jerami merupakan faktor penting untuk pengembalian nutrisi
dan pemelihara kesuburan tanah. Saint dan Broadbent (1977) menyatakan bahwa
proses dekomposisi jerami dengan cara dibenamkan ke tanah lebih cepat
dibandingkan dengan cara disebarkan di permukaan tanah pada saat musim hujan.
Dekomposisi jerami berjalan cukup cepat pada lahan sawah yang memiliki
drainase sedang dan dilakukan pengolahan tanah secara intensif.
Menurut Hardjowigeno (1987) dan Flinn dan Marciano (1984) menyatakan
bahwa pemberian jerami 5.0 ton/ha dapat menghemat pemakaian pupuk KCl
sebesar 100 kg/ha. Ponnamperuma (1984) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa jerami padi mengandung sekitar 0.6% N, 0.1% P, 0.1% S, 1.5% K, 5 % Si,
dan 40% C. Lebih lanjut Sukirno (2002) menyatakan dalam 6 ton jerami
terkandung 72 kg Nitrogen, 12 kg Fosfor, 140 kg Kalium, 22 kg Kalsium, 12 kg
Magnesium, dan 38 kg Mangan. Jerami tersedia di lahan sawah secara langsung
dalam jumlah berkisar antara 2-10 ton/ha, sehingga jerami cocok sebagai sumber
nutrisi padi sawah. Arafah dan Sirappa (2003) menyatakan bahwa nutrisi dari
mineral yang terkandung dalam jerami setelah dipanen tergantung dari tanah,
kualitas air irigasi, jumlah pupuk yang diberikan, species asal jerami dan musim
tanam. Jerami secara tidak langsung menjadi sumber N dan C sebagai substrat
untuk metabolisme biologi termasuk sintesis gula, pati, selulosa, hemiselulosa,
pektin, lignin, lemak, dan protein. Kumazawa (1984) menyatakan bahwa jerami
kering mengandung 40% C.
Lebih lanjut Ponnamperuma (1984) menyatakan bahwa 1/3 N total
tanaman padi diperoleh dari jerami sehingga kebutuhan pupuk N bisa digantikan
dengan pengembalian jerami ke lahan sawah. Pembakaran jerami 5 ton/ha jerami
pada areal pertanian menyebabkan kehilangan 45 kg N, 2 kg P, 25 kg K dan 2 kg
S di dalam atmosfer (Yamagata,1998). Pada percobaan jangka panjang
mengindikasikan bahwa aplikasi jerami pada lahan sawah menyebabkan
penambahan C, N, P, K dan Si organik. Penggunaan jerami dengan tidak
membakar dapat meningkatkan hasil 0.4 ton/ha tiap musim dan meningkatkan
kesuburan tanah.
BAB IIIBAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan IPB Babakan Sawah Baru
Dramaga, Bogor. Analisis jerami padi, analisis tanah, analisis kompos jerami, dan
analisis pupuk anorganik dilakukan di laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumber daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Agustus 2007 – Januari 2008.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan terdiri atas benih padi varietas Way Apo
Buru,pupuk urea, SP-36, dan KCl. Bahan lain yang digunakan adalah jerami padi
yang digunakan sebagai kompos, EM4, furadan pestisida curacron secara terbatas
apabila diperlukan. Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat-alat
budidaya pertanian, timbangan analitik, alat tulis, dan kantong plastik.
3.3 Metode
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
tiga ulangan. Perlakuan pada percobaan ini adalah manajemen jerami, terdiri dari
delapan perlakuan, yaitu :
1. P0 : Tanpa aplikasi jerami dan pupuk anorganik
2. P1 : Kompos jerami
3. P2 : Jerami
4. P3 : Jerami + 1 dosis pupuk anorganik
5. P4 : Kompos jerami + 1 dosis pupuk anorganik
6. P5 : Pupuk anorganik
7. P6 : Kompos jerami + ½ dosis pupuk anorganik
8. P7 : Jerami + ½ dosis pupuk anorganik
Dosis rekomendasi pemupukan adalah pupuk urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha,
dan KCl 100 kg/ha. Dalam percobaan ini terdapat 24 satuan percobaan dengan
satu satuan percobaan berupa petak dengan luas 25 m2. Model linier yang
digunakan pada percobaan ini adalah:
Yij = μ + αi + βj + εij
Dengan keterangan:
Yij = Pengamatan perlakuan dari manajemen jerami ke-i dan kelompok ke-j
μ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
i = 1,2, ... t = 1,2, ...r
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan yang diuji dilakukan analisis
sidik ragam, jikan hasilnya menunjukkan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
3.4 Pelaksanaan
Petakan yang digunakan pada setiap percobaan berukuran 25 m2 pada lahan
sawah irigasi. Percobaan diawali dengan pembuatan kompos. Pembuatan kompos
menggunakan jerami dengan kebutuhan jerami 7 ton/ha kemudian menggunakan
EM 4 dengan dosis 2 liter/ton jerami dengan konsentrasi 8 – 10 ml/10 liter air.
Kondisi fisik yang harus dijaga adalah kandungan air. Diusahakan agar kandungan
air sekitar 40-50% dengan suhu sekitar 40-50ºC. Setiap minggu tumpukan kompos
dibalik agar suhu tidak terlalu tinggi dan sirkulasi udara ke bagian tengah kompos
menjadi lancar. Proses pengomposan jerami berlangsung selama 30 hari atau sampai
kompos telah matang dan siap pakai. Ciri-ciri kompos jerami yang telah siap dipakai
adalah jerami telah mengalami pembusukan oleh mikroorganisme, suhu kompos
menjadi dingin, dan warna jerami menjadi hitam kecoklatan serta hancur. Analisis
jerami dilakukan sebelum dan setelah pengomposan.
Persiapan tanam meliputi kegiatan pengolahan tanah, pemberian jerami dan
kompos jerami serta persemaian benih padi. Pengaplikasian jerami dan kompos
jerami dilakukan pada saat pengolahan tanah yaitu pada saat 2 minggu sebelum
tanam. Sebelum disemai, benih direndam satu malam di dalam air agar benih
mengalami imbibisi dan berkecambah secara serentak. Selanjutnya benih diperam
selama dua hari sehingga benih mulai berkecambah dan disemai pada lahan
persemaian yang telah dipersiapkan. Bibit dipindah tanam ke lahan sawah dengan
jarak tanam legowo 2 : 1 (15 cm x 10 cm x30 cm) pada umur 14 hari. Tiap lubang
ditanam satu bibit. Penyulaman dilakukan 1 Minggu Setelah Tanam (MST) dengan
bibit yang umurnya sama. Penyiangan dan pengendalian gulma dilakukan pada 4
MST hingga 8 MST. Pemupukan diaplikasikan sesuai dengan perlakuan. Dosis
rekomendasi pupuk adalah urea 250 kg/ha, KCl 100 kg/ha,dan SP-36 100 kg/ha.
Pupuk urea diaplikasikan dua kali yaitu pada saat pindah bibit dan pada saat 7 MST
atau pada saat anakan mencapai maksimum. Pupuk KCl dan SP-36 diaplikasikan
pada saat tanam.
3.5 Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap setiap petakan dengan masing-masing
sepuluh tanaman contoh dan bergantung pada peubah yang diamati. Adapun
peubah yang diamati adalah sebagai berikut:
1. Analisis kandungan hara jerami (C-organik, N, P, K) yang dilakukan sebanyak
dua kali yaitu sebelum dan setelah pengomposan.
2. Analisis hara tanah (C-organik, pH, N, P, K) pada petak perlakuan kontrol,
perlakuan kompos, perlakuan jerami, perlakuan jerami + 1 dosis pupuk anorganik,
perlakuan kompos + 1 dosis pupuk anorganik, dan perlakuan pupuk anorganik
yang dilakukan dua kali yaitu sebelum perlakuan dan sesudah percobaan.
3. Tinggi tanaman, yang dihitung dari permukaan tanah sampai ujung daun
terpanjang sejak 3 MST sampai keluar malai (heading)
4. Jumlah anakan, yang dihitung sejak 3 MST sampai keluar malai (heading)
5. Skala Bagan warna daun yang diamati setiap minggu dimulai sejak 3 MST
sampai keluar malai (heading)
6. Hasil dan komponen hasil. Peubah yang diamati dari setiap petak dengan 10
tanaman contoh adalah jumlah anakan produktif, hasil ubinan, dan bobot 1000
butir serta pengamatan panjang malai dan jumlah gabah per malai pada saat
panen.
7. Efisiensi agronomi dapat diukur dengan:
Hasil (kg gabah pada petak perlakuan) – Hasil (kg gabah pada petak tanpa
perlakuan) x 100%
Hasil (kg gabah pada perlakuan pupuk anorganik) - Hasil (kg gabah pada petak
tanpa perlakuan)
8. Persen peningkatan hasil dapat diukur dengan:
Hasil (kg gabah pada petak perlakuan) – Hasil (kg gabah pada petak tanpa
perlakuan) x 100%
Hasil (kg gabah pada petak tanpa perlakuan)
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Percobaan
Percobaan dilakukan di kebun percobaan Babakan Sawah Baru Darmaga,
Bogor. Tanah di lahan percobaan merupakan jenis tanah latosol dengan pH 5.5-
5.8. Curah hujan bulanan di kebun percobaan dari bulan September – Desember
2007 berkisar 205-476 mm/bulan. Berdasar klasifikasi Oldeman, tanaman padi
sawah memerlukan curah hujan bulanan sekitar 200 mm/bulan (Handoko, 1995).
Dengan demikian curah hujan tersebut cukup untuk pertumbuhan tanaman. Curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember 2007 mencapai 476 mm/bulan (Tabel
Lampiran 1). Suhu rata-rata bulanan mencapai 26.85°C. Rata-rata jumlah hari
hujan selama bulan Agustus-Desember 2007 adalah 20 hari hujan. Bibit yang
ditanam berumur 14 Hari Setelah Semai (HSS) dengan 1 bibit per lubang. Pada
saat 1-2 MST, bibit berada pada tahap pemulihan atau adaptasi terhadap
lingkungan tumbuhnya. Penyulaman dilakukan pada 1 MST. Pada saat 3 MST,
bibit sudah tumbuh normal ditandai dengan tajuk berwarna hijau, muncul anakan
dan perakaran mulai berkembang. Secara umum pertumbuhan tanaman setelah
pindah tanam cukup baik. Hama yang menyerang sejak pindah tanam bibit hingga
panen adalah hama keong mas, walang sangit, dan burung. Intensitas serangan
hama keong mas (Pomacea canaliculata) kurang lebih 10% sehingga perlu
dilakukan penyulaman supaya diperoleh populasi tanaman yang cukup. Upaya
untuk mengatasi serangan hama ini dilakukan dengan cara pengeringan petakan
sementara dan pemungutan keong serta telur keong secara manual ke luar
petakan. Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman
dan memakannya (Hasanuddin, 2003).
Hama keong mas hanya mengganggu pada stadia bibit. Selanjutnya hama
ini tidak mempengaruhi pertumbuhan karena laju pertumbuhan tanaman lebih
besar dari laju kerusakan oleh keong mas. Hama lain yang menyerang antara lain
walang sangit (Leptocorisa oratorius). Walang sangit menyerang tanaman padi
pada fase pemasakan awal. Hama ini menyerang atau merusak bulir padi dengan
menghisap cairan bulir padi. Akan tetapi serangan walang sangit tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pada fase pemasakan lanjut terjadi
serangan hama burung. Burung memakan langsung bulir padi yang sedang
menguning. Adanya serangan hamahama
tersebut tidak sampai menurunkan hasil yang berarti (intensitas hanya < 5%).
Pertumbuhan gulma di lahan percobaan cukup mengganggu pertumbuhan
tanaman. Gulma yang banyak terdapat di lahan percobaan antara lain Echinocloa
cruss-galli dan Fimbristylis miliacea. Oleh karena itu pengendalian gulma secara
manual dilakukan secara intensif sejak 3 MST. Panen dilakukan pada saat masak
fisiologis yang ditandai dengan 90% malai berwarna kuning atau apabila diremas
gabah telah rontok sekitar 30% atau kadar air gabah sekitar 25%.
4.2 Pembahasan
Bahan organik yaitu jerami memiliki kandungan hara yang cukup tinggi.
Nisbah C/N jerami yang diaplikasikan berkisar 65.62%-70.21%. Umumnya
jerami padi memiliki nisbah C/N 80% (Miller, 2000). Lebih lanjut Ponnamperuma
(1984) menyatakan bahwa kandungan C-organik jerami mencapai 40%. Karbon
berperan penting dalam pembentukan energi pada tanaman, sedangkan nitrogen
berperan dalam penbentukan jaringan tanaman (Miller,2000). Apabila bahan
organik yang diaplikasikan memiliki nisbah C/N yang tinggi, maka akan
mengakibatkan mikroba yang membantu proses dekomposisi akan kekurangan
nitrogen sebagai sumber energinya. Sehingga mikroba akan mengambil nitrogen
dari tanah dan mengakibatkan tanah mengalami defisiensi nitrogen. Miller (2000)
menyatakan bahwa aplikasi bahan organik saat pengolahan tanah dengan nisbah
C/N lebih dari 33% dapat mengakibatkan terjadinya pengikatan nitrogen. Pada
nisbah 17%-33% jumlah nitrogen tetap atau tidak terjadi nitrifikasi, sedangkan
bila nisbah kurang dari 17%, jumlah nitrogen akan menurun. Aplikasi jerami
terlihat tidak meningkatkan kandungan C, N-total dan K tanah. Hal tersebut
mengindikasikan adanya imobilisasi N pada proses dekomposisi bahan organik.
Tidak terjadinya peningkatan kadar C dan N tanah dengan penambahan bahan
organik berupa jerami dan kompos karena apabila jerami atau kompos
dibenamkan ke dalam sawah akan terbentuk pool C dan N tanah labil. Pool
labil tersebut dalam bentuk MHA-N (Mobile Humic Acid-N) dan MHA-C dalam
bentuk fase mikroba yang pada akhirnya akan menyediakan C dan N bagi
tanaman (Sugiyanta, 2007). Pembenaman jerami dapat menyebabkan imobilisasi
N mineral dan menurut Eagle et al. (2000) setelah tahun kedua efek residu jerami
telah terlihat karena telah terjadi mineralisasi unsur N.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah setelah aplikasi bahan
organik mengalami peningkatan. Perlakuan pupuk anorganik saja menghasilkan
peningkatan pH yang tertinggi yaitu sebesar 0.26. Bahan organik dapat
meningkatkan pH tanah tetapi juga dapat menurunkan pH tanah, tergantung jenis
tanah dan macam bahan organiknya. Ponnamperuma (1984) menyatakan
manajemen jerami dapat meningkatkan pH sebagai akibat adanya proses kimia
yang berlangsung di dalam tanah. Peningkatan pH terjadi pada saat kandungan Al
dapat dipertukarkan (Al-dd) tanah tinggi, karena bahan organik dapat mengikat Al
sebagai senyawa kompleks. Hal ini mengakibatkan Al tidak terhidrolisis.
Kehilangan N yang cenderung tinggi pada perlakuan jerami + pupuk
anorganik dapat diakibatkan selain oleh pencucian, erosi, terangkut tanaman juga
diduga akibat adanya imobilisasi N karena penggunaan unsur N oleh mikroba
dalam proses dekomposisi bahan organik. Menurut Rao (1975) pada proses
dekomposisi bahan organik terjadi imobilisasi nitrogen. Laju imobilisasinya
bergantung dari ciri mikroflora tanah, temperatur tanah, status pupuk N dan rasio
C/N dari bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah. Selain itu fiksasi N
oleh mikroba di dalam tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan
kesuburan tanah sawah untuk jangka panjang.
Proses dekomposisi jerami yang cukup lama juga mengakibatkan
pelepasan unsur nitrogen ke larutan tanah berlangsung lama. Setelah tahun kedua
efek residu jerami terlihat karena telah terjadi mineralisasi N (Eagle et al., 2000).
Lebih lanjut menurut Sugiyanta (2007) aplikasi bahan organik sampai dengan
musim tanam kedua menyebabkan imobilisasi unsur hara N sehingga baik
ketersediaan maupun kecukupan bagi tanaman rendah yang ditandai dengan
penurunan N-total tanah.
Akan tetapi pada musim tanam ketiga mineralisasi jerami sudah terlihat
dapat menekan pengaruh imobilisasi N yang ditandai dengan meningkatnya
ketersediaan unsur hara N. Sehingga hal tersebut dapat menjelaskan bahwa
walaupun belum terlihat menambah akumulasi N dalam tanah, aplikasi bahan
organik mampu meningkatkan ketersediaan N secara bertahap.
Peningkatan kandungan P pada perlakuan kompos, jerami serta kompos
dan pupuk diduga karena pemberian bahan organik secara efektif bereaksi dengan
Fe dan Al yang menyebabkan fiksasi fosfor dalam tanah menurun sehingga
ketersediaan fosfor menjadi tinggi. Lebih lanjut Soepardi (1983) menyatakan
bahwa fosfor di dalam tanah masam (pH tanah percobaan 5.5-5.8) mengalami
pengendapan oleh ion Fe, Al, dan Mn; pengikatan oleh ion hidroksida; pengikatan
oleh liat silikat sehingga pada tanah yang dipupuk P meninggalkan residu yang
tinggi pada tanah. Sehingga dekomposisi bahan organik yang cepat dibarengi
dengan meningkatnya populasi jasad mikro untuk sementara dapat menyebabkan
fosfor diikat dalam tubuh jasad mikro.
Adanya aplikasi bahan organik menunjukkan penurunan fosfor yang lebih
kecil daripada perlakuan pupuk anorganik saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa
aplikasi bahan organik saja baik kompos maupun jerami saja lebih konsisten
terjadinya peningkatan akumulasi unsur P jika dibandingkan dengan perlakuan
pupuk anorganik saja. Berdasarkan hasil penelitian Sugiyanta (2007) kandungan
fosfor tanah akan mengalami peningkatan sampai musim tanam kedua, kemudian
akan mengalami penurunan pada musim tanam ketiga. Dengan demikian, adanya
perlakuan bahan organik dapat menghemat penggunaan fosfor oleh tanaman.
Dengan demikian hasil dekomposisi bahan organik berperan penting dalam
menyediakan fosfor yang dapat tersedia bagi tanaman.
Penurunan kalium pada perlakuan manajemen jerami diduga disebabkan
oleh adanya kehilangan kalium karena terangkut oleh tanaman, pencucian, dan
erosi. Pencucian terjadi melalui air drainase dari tanah yang dipupuk berat dengan
kalium dengan kadar kalium tinggi. Walaupun demikian, perlakuan dengan
aplikasi bahan organik yaitu jerami atau kompos saja menghasilkan kandungan
kalium yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik
saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa dekomposisi jerami mendorong
peningkatan ketersediaan kadar K tanah. Pembenaman jerami ke lahan akan
meningkatkan ketersediaan K tanah karena K jerami larut dalam air dan tersedia
bagi tanaman padi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan manajemen jerami
mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman yang ditandai dengan kondisi
tanaman padi yang cukup baik. Hal tersebut diduga karena pemberian bahan
organik terutama jerami padi dapat memperbaiki kesuburan tanah serta
meningkatkan efisiensi pemupukan. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Ponnamperuma (1982) bahwa jerami memberikan pengaruh positif terhadap sifat
biologi, kimia, dan fisika tanah sawah yang didukung oleh Soepardi (1983) pupuk
organik dapat memperbaiki sifat fisika tanah, struktur tanah, dan daya mengikat
air tanah. Perlakuan jerami + 1 dosis pupuk anorganik memberikan skala
pembacaan bagan warna daun tertinggi. Hal ini mencerminkan bahwa perlakuan
tersebut dapat memberikan unsur N yang cukup bagi tanaman. Adanya
penambahan pupuk anorganik dapat meningkatkan KTK tanah sehingga kation –
kation yang terjerap oleh larutan tanah tidak hilang.
Kecukupan unsur N bagi tanaman akan menyebabkan tanaman
membentuk klorofil lebih banyak sehingga daun nampak berwarna hijau tua
(Ismunadji,et al., 1993). Lebih lanjut menurut Eagle (2000) pembenaman jerami
ditambah dengan pupuk N dapat mengurangi bahkan meniadakan efek imobilisasi
nitrogen. Imobilisasi nitrogen merupakan proses pemanfaatan hara tersedia oleh
jasad renik untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal tersebut menguatkan
bahwa aplikasi jerami + 1 dosis pupuk anorganik NPK dapat memberikan unsur N
yang cukup. Akan tetapi perlakuan manajemen jerami tidak berpengaruh terhadap
jumlah anakan tanaman. Hal tersebut diduga adanya pengaruh proses imobilisasi
N oleh jerami. Faktor-faktor yang mempengaruhi imobilisasi nitrogen antara lain
adalah suhu tanah, jenis dan jumlah bahan organik, jumlah nitrogen yang
diaplikasikan dan tingkat nitrifikasi nitrogen (De Datta, 1981). Jumlah anakan
yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 13 – 24 anakan dari 1 bibit dan yang
produktif sebanyak 9 – 15 anakan. Peng et al. (1994) menyatakan bahwa varietas
modern (varietas way apoburu merupakan varietas modern) memiliki jumlah
anakan yang tinggi, 3-5 bibit menjadi 30-40 anakan dan yang produktif sebanyak
20 anakan. Anakan yang tidak menghasilkan malai tidak menggunakan cahaya
dan nutrisi secara efektif. Manajemen jerami berpengaruh terhadap hasil padi.
Pada panen ke-9 (percobaan yang dilakukan merupakan panen yang ke-9),
perlakuan jerami + 1 dosis pupuk anorganik menghasilkan hasil gabah tertinggi.
Namun demikian hasil yang diperoleh perlakuan jerami + 1 dosis pupuk
anorganik tidak berbeda dengan perlakuan jerami + ½ dosis pupuk anorganik serta
perlakuan jerami saja. Hal tersebut diduga bahwa tanaman padi telah
mendapatkan unsur hara terutama N yang cukup. Hal ini sesuai dengan
Dobermann dan Fairhurst (2000) yang menyatakan bahwa unsur N bagi tanaman
padi merupakan unsur penyusun asam amino, asam nukleat dan klorofil yang
penting bagi tanaman padi dalam mempercepat pertumbuhan (pertambahan tinggi
dan jumlah anakan) dan meningkatkan ukuran daun, jumlah gabah/malai,
persentase gabah isi dan kandungan protein gabah. Selain itu adanya penambahan
bahan organik dapat meningkatkan efisiensi pupuk yaitu dengan meningkatnya
KTK tanah sehingga kation – kation hara yang terjerap lebih banyak dan tidak
hilang. Persen peningkatan hasil baik berupa GKP dan GKG terhadap kontrol
tertinggi dihasilkan oleh perlakuan jerami + 1 dosis pupuk anorganik.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persen peningkatan hasil
perlakuan dengan aplikasi jerami saja maupun kombinasi dengan pupuk
anorganik menghasilkan persen peningkatan hasil yang lebih besar atau sama
dengan persen peningkatan hasil perlakuan pupuk anorganik. Hal tersebut diduga
bahwa penambahan bahan organik berupa jerami dapat meningkatkan efisiensi
pupuk serta dapat mengurangi efek imobilisasi. Salah satu peran bahan organik
antara lain memperbaiki sifat kimia tanah yaitu meningkatkan KTK tanah
sehingga kation – kation hara yang dijerap tanah tidak mudah hilang. Akan tetapi
perlakuan aplikasi kompos jerami saja maupun kombinasi dengan pupuk
anorganik menghasilkan persen peningkatan hasil yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik. Hal tersebut dapat diduga
bahwa pada perlakuan kompos jerami saja maupun dengan kombinasi dengan
pupuk anorganik terjadi kehilangan nitrogen (NO3-) menjadi bentuk gas (N2)
sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan generatif tanaman. Kehilangan
nitrogen dapat terjadi melalui pencucian (run off), denitrifikasi, volatilisasi,
maupun imobilisasi. Efektifitas agronomi relatif menunjukkan tingkat efektifitas
dari perlakuan bahan organik terhadap perlakuan pupuk anorganik dan perlakuan
kontrol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan jerami saja maupun
perlakuan kombinasi dengan pupuk anorganik efektif dalam meningkatkan hasil
gabah dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik saja. Hal tersebut dapat
terlihat dari nilai efektivitas agronomi yang lebih besar dari 100%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan hasil pada perlakuan jerami maupun
perlakuan jerami yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik saja.
Akan tetapi aplikasi bahan organik berupa kompos saja maupun kompos
yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik tidak efektif dalam meningkatkan
hasil. Hal tersebut diduga bahwa telah terjadi kehilangan nitrogen yaitu N03 -
menjadi bentuk gas. Lebih lanjut diduga bahwa rentang waktu pengaplikasian
kompos sampai dengan waktu tanam terlalu lama sehingga kehilangan nitrogen
menjadi lebih besar.
4.3 Cara Pembuatan Composting dari Jerami Padi
Cara pembuatan kompos jerami adalah sebagai berikut :
Alat yang digunakan:
- sekop
- pacul
- plastik berwarna gelap (untuk menjaga agar tumpukan tetap lembab)
Bahan yang diperlukan :
jerami padi segar 1 m3 (1 m x 1 m X 1m), Urea 2 kg dan SP-36 1 kg atau NPK 2-3 kg, Kapur 1 kg, pupuk kandang 20 kg dan starter trichoderma 0,5 kg.
Cara Pembuatan:
Jerami segar direndam selama 1 malam. Perendaman ini bertujuan agar jerami tetap lembab.
Bahan aktif (Urea, SP-36, kapur, pupuk kandang, starter trichoderma) dicampur dan diaduk sampai rata dan dibagi atas 4 bagian.
Jerami ditumpuk 1 m3 dibagi atas 4 lapisan Pada lapisan jerami pertama (1/4 bagian jerami) ditaburkan bahan aktif 1/4
bagian dan dipercikkan air untuk menjaga kelembabannya. Setelah itu, tumpukkan kembali lapisan jerami kedua (1/4 bagian jerami)
dan taburkan kembali bahan aktifnya ¼ bagian. Demikian seterusnya hingga jerami habis. Tinggi tumpukan jerami sebaiknya kurang dari 1,5 m agar memudahkan dalam pembalikannya
Tutup tumpukan dengan plastik agar terlindung dari hujan dan panas, atau dapat diletakkan ditempat yang terlindung
Lakukan pembalikkan tumpukan jerami setiap minggu Kelembaban tumpukan jerami dijaga agar kadar airnya 60 - 80 % dengan
cara menyiram/memercikkan air (kalau diremas jeraminya maka air tidak menetes)
Kompos siap digunakan setelah 3 - 4 minggu.
4.4 Kandungan pada jerami
-
Rasio C/N............. 21
- C-Organik............. 35,11%
- Nitrogen (N).......... 1,86%
- Fosfor (P2O5)......... 0,21%
- Kalium (K2O)......... 5,35%
- Kalsium (Ca).......... 4,2%
- Magnesium (Mg)...... 0,5%
- Tembaga (Cu)........ 20 ppm
- Mangan (Mn).......... 684 ppm
- Zing (Zn).............. 144 ppm
Kandungan Beberapa Unsur Hara untuk 1 Ton Kompos Jerami Padi. Dari
1 ton jerami padi dapat diperoleh ½ ton sampai 2/3 ton kompos. Dengan
demikian jika kita ingin membuat 1 ton kompos, maka bahan baku jerami yang
disiapkan sekitar 1,5-2 ton jerami. Kandungan beberapa unsur hara untuk 1 ton
kompos jerami padi adalah : unsur makro Nitrogen (N) 2,11 %, Fosfor (P2O5)
0,64%, Kalium (K2O) 7,7%, Kalsium (Ca) 4,2%, serta unsur mikro Magnesium
(Mg) 0,5%, Cu 20 ppm, Mn 684 ppm dan Zn 144 ppm.
BAB VKESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Hasil gabah dan efektivitas agronomi perlakuan jerami ditambah pupuk
anorganik (NPK) dosis rekomendasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perlakuan pupuk anorganik (NPK) saja, sedangkan perlakuan jerami + ½ dosis
pupuk anorganik (NPK) tidak berbeda dengan perlakuan kompos, perlakuan
kompos + 1 dosis pupuk anorganik, perlakuan kompos + ½ dosis pupuk
anorganik, dan perlakuan pupuk anorganik. Aplikasi bahan organik berupa jerami
saja dapat memberikan hasil gabah yang tidak berbeda jika dibandingkan dengan
jerami yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik pada musim tanam ke-9.
DAFTAR PUSTAKA
- Arafah, M.P. Sirappa. 2003. Kajian penggunaan jerami dan pupuk N, P, K pada lahan sawah beririgasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 1(4):15-24. Diakses 25 Mei 2007.
- Cho, Y. S and Kobata T. 2002. N Top – Dressing and Rice Straw Application for De Datta, S.K. and Hundal, S.S. 1984. Effects of Organic Matter Management on Land Preparation and Strustural Regeneration in Rice-Based Cropping Systems, p.399-416. In: International Rice Research Institute. Organic Matter and Rice. IRRI. Manila.
- Departemen Pertanian. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, dan Sayursayuran.
- Fadillah, Nurul. 2007. Pengaruh Kombinasi Jenis Pupuk Organik dengan Dosis Pupuk Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah Varietas Way Apoburu dan Raja Bulu. Skripsi.
- Departemen Agronomi dan Hortikultura. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Flinn, J.C. and V.P. Marciano. 1984. Rice Straw and Stubble Management, p. 593- 612. In: International Rice Research Institute.