1
Studi Komunitas Makrozoobenthos Pantai Bama Taman Nasional Baluran,
Situbondo
Asmaul KARIMA1, Dhea F. HABIEB1, Dwi S. BUDIARTI1, Lailatul MUFROH1, Nyimas
F. ANGGREANI1
Ekologi Project 2014, Laboratorium Ekologi 1Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK
Makro bentos adalah hewan yang sebagian besar atau seluruh siklus hidupnya ada di dasar
perairan, oleh karena itu hewan ini memegang peranan penting di perairan. Berdasarkan
keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna,yaitu
hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos
yang hidup di dalam dasar perairan disebut infauna. Penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui spesies makrofauna benthos apakah yang dominan dan cenderung ada pada
zona mangrove, lamun, dan transisi di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran. Selain itu
juga untuk melihat tingkat keanekaragaman spesies makrofauna benthos yang ada di Pantai
Bama, Taman Nasional Baluran. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
Belt Transect (Transek sabuk) yang digunakan untuk mengambarkan kondisi populasi suatu
jenis benthos yang mempunyai ukuran relatif beragam atau mempunyai ukuran maksimum
tertentu dan metode Hand Collecting atau biasa juga disebut hand picking yaitu suatu
metode untuk mengambil benthos menggunakan prinsip pengambilan dengan tangan
(pengoleksian). Selain itu terdapat beberapa indeks yang digunakan untuk analisa data yaitu
indeks dominansi, indeks Shannon-Wiener (H) dan indeks Morisita-Horn. Hasil dari
penelitian yang dilakukan menunjukkan organisme makrofauna benthos ditemukan paling
melimpah di zona transisi. Untuk dominansi, pada zona lamun dan transisi didominasi oleh
spesies Holothuria atra. Sedangkan pada zona mangrove, spesies yang mendominasi adalah
Littorina scraba.Zona lamun dan mangrove memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang
tinggi, sedangkan zona transisi memiliki tingkat keanekaragaman yang sedang. Zona lamun
memiliki keterkaitan lebih besar dengan Zona transisi dari pada dibandingkan dengan Zona
mangrove. Spesies Holothuria atra cenderung berada di ketiga zonasi yang ada yaitu lamun,
transisi dan mangrove, sedangkan spesiesLittorina scraba cenderung berada di zona
mangrove saja. Keduanya merupakan spesies dominan pada ketiga zonasi yang ada.
Kata kunci: Belt transect, Hand collecting, Indeks Shannon-Wiener, Indeks Morisita-Horn,
Makrofauna bentik.
1. PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya kelautan yang sangat
potensial untuk dikembangkan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Luas perairan Indonesia mencapai 5,8 juta
km2 yang merupakan 75% dari seluruh
wilayah, yang terdiri atas perairan
2
nusantara 2,8 juta km2, perairan laut
teritorial 0,3 juta km2, dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2
(Departemen Kelautan dan Perikanan,
2001). Salah satu bagian terpenting dari
kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai
dan pesisir dengan garis pantai sepanjang
81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena
merupakan wilayah interaksi/peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut
yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan
mengandung produksi biologi cukup besar
serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan
sumber daya yang dimiliki wilayah
tersebut menimbulkan daya tarik bagi
berbagai pihak untuk memanfaatkan
secara langsung karena secara sektoral
memberikan sumbangan yang besar dalam
kegiatan ekonomi misalnya perikanan,
kehutanan, industri, pariwisata dan lain-
lain (Dahuri, 1996).
Padang lamun adalah ekosistem
pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai
vegetasi yang dominan. Padang lamun
dapat berbentuk vegetasi tunggal yang
disusun oleh satu jenis lamun saja atau
vegetasi campuran yang disusun mulai dari
2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh
bersama pada suatu substrat (Kirkman,
1985 dalam Kiswara dan Winardi, 1997).
Pengertian lamun sendiri menurut. Den
Hartog (1970) dalam Kiswara (1997) yaitu
tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
tumbuh dan berkembang baik pada dasar
perairan laut dangkal, mulai daerah pasang
surut (zona intertidal) sampai dengan
daerah sublitoral. Peranan padang lamun
secara fisik di perairan laut dangkal adalah
membantu mengurangi tenaga gelombang
dan arus, menyaring sedimen yang terlarut
dalam air, dan menstabilkan dasar perairan
(Fonseca et al., 1982 dalam Kiswara dan
Winardi, 1997). Selain itu, padang lamun
diketahui mendukung berbagai jaring
rantai makanan, baik yang didasari oleh
rantai herbivora maupun detrivor (McRoy
dan Helferich, 1997 dalam Kiswara dan
Winardi, 1997).
Keberadaan hewan bentos pada
suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan, baik biotik
maupun abiotik. Faktor biotik yang
berpengaruh diantaranya adalah produsen,
yang merupakan salah satu sumber
makanan bagi hewan bentos dan interaksi
spesies serta pola siklus hidup dari
masing-masing spesies dalam komunitas.
Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia
air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen
terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi
(BOD) dan kimia (COD), serta kandungan
nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat
dasar.
Makrozoobenthos dapat bersifat
toleran maupun bersifat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Organisme yang
memiliki kisaran toleransi yang luas akan
memiliki penyebaran yang luas juga.
Sebaliknya organisme yang kisaran
toleransinya sempit (sensitif) maka
penyebarannya sempit. Makrozoobenthos
yang memiliki toleran lebih tinggi maka
tingkat kelangsungan hidupnya akan
semakin tinggi. Tingkat pencemaran
terhadap perairan dapat dilihat dengan
identifikasi makrozoobenthos yang
terdapat di wilayah tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui spesies makrofauna benthos
apakah yang dominan dan cenderung ada
pada zona mangrove, lamun, dan transisi
di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran.
Selain itu juga untuk melihat tingkat
keanekaragaman spesies makrofauna
3
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel makrofauna bentos di Pantai Bama, Taman
Nasional Baluran
benthos yang ada di Pantai Bama, Taman
Nasional Baluran. Kegunaan penelitian ini
adalah dapat menjadi salah satu informasi
dalam pengambilan keputusan dalam
rangka pengelolaan dan pelestarian
ekosistem laut dan sebagai salah satu
sumberdaya ekonomi, baik dari
sumberdaya perikanan maupun dari sector
pariwisata khususnya ekowisata
( Ecological tourism).
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada
hari Jumat, 4 April 2014 di Pantai Bama
yang terletak di Taman Nasional Baluran,
Situbondo, Jawa Timur. Berikut
merupakan lokasi pengambilan sampling
makrozoobenthos.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ember, snortkel, fin,
sarung tangan, kamera, buku identifikasi
digunakan untuk mengidentifikasi
makrozoobentos.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan penentuan lokasi secara konseptual
berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.
Berikut koordinat pengambilan sampel di
zona lamun sample ini dilakukan pada 3
zona/daerah, antara lain zona 1 pada
daerah lamun dengan titik koordinat
7o5037.90 S dan 114o2742.30 E, zona 2
pada daerah transisi dengan titik koordinat
7o5040.62 S dan 114o2744.20 E dan
pada zona 3 yakni daerah mangrove
dengan titik koordinat 7o5041.97 S dan
114o2740.53 E.
Posisi stasiun ditarik sejajar dengan
garis pantai yang terbagi atas zona pantai,
zona lamun, dan zona transisi. Jarak antara
lokasi satu dengan lokasi lainnya adalah
50 meter. Pengambilan sampel
makrozoobhentos dilakukan pada saat air
surut. Sampel diambil sebanyak mungkin
pada tiap lokasi. Adapun cara
pengambilannya yaitu dengan
menggunakan metode transek sabuk (belt
transect) dan hand collecting. Sampel yang
diperoleh dimasukkan dalam ember yang
berisi air laut. Selanjutnya sampel-
sampelyang terambil tersebut di foto dan
4
diidentifikasi menggunakan buku
identifikasi. Sampel makrozoobenthos
yang telah diidentifikasi selanjutnya
dikembalikan lagi ke habitat asalnya.
Analisis data yang dilakukan
meliputi analisis perhitungan indeks
diversitas shannon wiener (H), indeks
richness margalef (D), indeks evenness
Pielou (J) dan indeks kesamaan morisita
horn (IMH).
Indeks Dominansi (D)
Indeks Dominansi dihitung dengan
menggunakan rumus Indeks Of
Dominance dari Simpson (Odum,
1971). Sebagai berikut :
= ( / )2
C = 1 - D
Dimana :
D : Dominansi
ni : Jumlah individu setiap jenis
N : jumlah individu seluruh jenis
Indeks Keanekaragaman (H)
Untuk menghitung Indeks
Keanekargaman (H) jenis dihitung
menurut Shannon-Weaver, sebagai
berikut :
= / + /
Dimana :
H = Indeks Keanekaragaman
Ni = Jumlah individu setiap jenis
N =Jumlah individu
seluruh jenis.
Indeks Morrisita-horn
IMH = 2(anibni)/ (da+db)aN * bN
Dimana :
IMH : indeks morisita horn
ani : total individu spesies a
bni : total individu spesies b
da : ani2/aN2
db : bni2/bN2
aN : Jumlah individu di komunitas a
bN: Jumlah individu di komunitas b
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode Belt Transek dan Hand
Collecting
Salah satu metode yang umum
digunakan untuk mengestimasi
kelimpahan spesies yang terdapat di pantai,
terutama pada pantai yang lebih landai
dengan kisaran pasang surut yang rendah
adalah transek sabuk (Belt transects).
Penentuan ukuran (lebar) transek
merupakan hal yang penting dalam metode
ini. Lebar transek perlu disesuaikan
dengan kondisi lapangan dan obyek yanga
akan diteliti. Jika transek terlalu sempit
maka akan diperoleh nilai yang berbeda
dari kelimpahan dan kisaran zonasi yang
sesungguhnya secara vertikal. Jika transek
terlalu lebar, maka hasil yang diperoleh
akan menyimpang dari kondisi gradien
horisontal akibat hempasan gelombang
( Rani,2011).
Transek sabuk digunakan untuk
mengambarkan kondisi populasi suatu
jenis benthos yang mempunyai ukuran
relatif beragam atau mempunyai ukuran
maksimum tertentu. Panjang transek yang
digunakan ada 100 m dan lebar 10 m.
Pencatatan dilakukan pada semua individu
yang menjadi tujuan penelitian, yang
berada pada luasan transek. Metode ini
juga pernah diaplikasikan oleh beberapa
peneliti untuk mempelajari komunitas
pada ekosistem makrofauna Benthic.
Transek dapat ditempatkan sejajar garis
pantai atau tegak lurus terhadap garis
5
pantai tergantung tujuan yang ingin
dicapai. Untuk mempelajari perubahan
komunitas berdasarkan perubahan
kedalaman (kelandaian), atau keterbukaan
terhadap gelombang atau arus maka belt
transect yang tegak lurus terhadap garis
pantai paling baik digunakan. Sedangkan
untuk mempelajari struktur komunitas atau
pola sebaran spesies antar zona di populasi
benthos maka belt transect yang sejajar
garis pantai paling baik digunakan
(Rani,2011).
Kelebihan metode ini adalah
pencatatan data jumlah individu, data yang
diperoleh mempunyai akurasi yang cukup
tinggi dan dapat menggambarkan struktur
populasi bentos, sedangkan kekurangan
metode ini adalah membutuhkan keahlian
untuk mengidentifikasi bentos secara
langsung dan dibutuhkan penyelam yang
baik selain itu membutuhkan waktu yang
cukup lama.
Gambar 2 Metode belt transect
Metode lain yang merupakan
pengembangan dari metode sabuk (belt
transect) dan juga digunakan peneliti saat
ini adalah video belt transect, metode ini
menggunakan video untuk merekam
sepanjang transek dan luasan yang dilalui.
Kemudian hasil rekaman diputar ulang
untuk pencatatan dan identifikasi jenis
benthos untuk mendapatkan persentase
benthos dan kriteria lain seperti pada
metoda yang lainnya. Keuntungan metode
ini, waktu kerja di laut bisa lebih efisien,
tidak membutuhkan tenaga dan biaya
banyak. Hanya saja peralatan underwater
video yang masih tergolong mahal bagi
peneliti di Indonesia (English,1994).
Sedangkan Hand collecting atau
biasa juga disebut hand picking yaitu suatu
metode untuk mengambil benthos
menggunakan prinsip pengambilan dengan
tangan (pengoleksian). Metode ini
digunakan karena peralatan sampling
seperti correr atau bottom grab tidak dapat
digunakan dilokasi tesebut. Kelebihan
metode ini adalah spesies yang berukuran
besar dapat diambil, Keakuratan
identifikasi spesies tinggi, karena
identifikasi dilaksanakan di darat.
Kekurangan pada metode ini adalah
Populasi pada transek yang dilewati dapat
rusak karena injakan kaki, membutuhkan
waktu yang lama dan keahlian menyelam
yang baik.
3.2 Analisis data
3.2.1 Kelimpahan tiap zonasi
Zona Lamun
Gambar 3. Kelimpahan total pada zona Lamun
Berdasarkan grafik di atas dapat
diketahui bahwa jumlah total kelimpahan
makrofauna benthic pada zona lamun yaitu
sebanyak 26 individu dalam berbagai
6
macam spesies. Sedangkan jumlah spesies
yang ditemukan di zona lamun adalah
berjumlah 18 spesies yaitu Anadara
nodifera, Astropecten sand star, Cypreaea
labrolineata, Cypreaea moneta, Dosisnia
derapta, Ergalatax magariticola, Hebra
corticata, Herba corticata-lirata,
Holothuria atra, Macrophiothrix
longipeda, Mactragrands, Nassarius
(Telasco) sufflatus, Nassarius pullus,
Nassarius globosus, Nassarius reticosa,
Phosroseatus, Strombus urceus, dan
Vasticardium angulatum. Dari spesies-
spesies tersebut dapat diketahui bahwa
spesies yang dominan pada zona lamun
adalah spesies Holothuria atra dengan
jumlah individu yaitu sebanyak 9 individu.
Jumlah spesies di zona lamun cukup
banyak karena pada zona lamun
merupakan daerah habitat yang baik bagi
makrofauna benthic. Sedangkan jenis
sedimen yang ada pada zona lamun adalah
sandy clay. Sehingga mampu mendukung
kehidupan makrofauna benthic. Hal
tersebut didukung oleh teori yang
menjelaskan bahwa padang lamun
merupakan habitat yang bagus bagi biota-
biota di sekelilingnya sebagai tempat
berlindung dan makan. Bahkan untuk
beberapa jenis biota, padang lamun
merupakan tempat memiijah (Kikuchi,
1980). Jika dilihat dari komposisi fraksi
sedimen lokasi penelitian, dapat
dinyatakan bahwa teksturnya adalah pasir
berlumpur. Fuller (1979) menjelaskan
bahwa mayoritas makrozoobentos lebih
suka hidup pada sedimen lumpur hingga
pasir. Nybakken (1992) menyatakan
daerah bersubstrat lumpur lebih banyak
mengandung bahan organik.
Selain substrat yang mampu
mempengaruhi kelimpahan makrofauna
benthic pada zona lamun, sifat fisik
maupun kimia juga mampu mempengaruhi
kelimpahan karena makrofauna benthic
juga memiliki mekanisme adaptasi
lingkungan masing-masing. Ketika suatu
organism benthic mampu untuk
melakukan adaptasi terhadap
lingkungannya maka ia dimungkinkan
untuk dapat bertahan pada ekosistem
tersebut. Namun apabila suatu organism
benthic tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya maka secara
signifikan ia akan mati. Hal ini sesuai
dengan teori yang menjelaskan bahwa
kelimpahan makrozoobentos pada
ekosistem pantai sangat penting
pengaruhnya terhadap struktur rantai
makanan. Makrozoobentos bersifat relatif
menetap pada dasar perairan. Tekanan
ekologis yang berlebihan dapat
mengurangi kelimpahan organisme ini
sehingga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem. Pantai berpasir
cenderung didominasi oleh hewan jenis
infauna (hewan bentik penggali lubang);
yang paling banyak dijumpai biasanya
adalah kelas Polychaeta dan Mollusca
(Hutabarat, 2000). Salah satu lingkungan
yang mampu memberikan dukungan
kehidupan bagi makrozoobentos adalah
padang lamun. Lamun merupakan
komunitas yang memberikan habitat bagi
makrozoobentos. Padang lamun sendiri
merupakan ekosistem yang tinggi
produktivitas organiknya. Pada padang
lamun hidup bermacam-macam biota laut
baik yang hidup pada substrat maupun di
bawah permukaan air (Dahuri et al., 2001).
7
Zona Transisi
Gambar 4. Kelimpahan total pada zona Transisi
Berdasarkan grafik di atas dapat
diketahui bahwa jumlah total kelimpahan
makrofauna benthic pada zona transisi
yaitu sebanyak 89 individu dalam berbagai
macam spesies. Sedangkan jumlah spesies
yang ditemukan di zona lamun adalah
berjumlah 14 spesies yaitu Conus
litteratus, Cymasium pileare, Cyprea tigris,
Diadema setosum, Echinothrix calamaris,
Holothuria atra, Luidia maculate,
Nassarius stolatus, Peristernia ustulata,
Pyrene versicolor, Strombus labiosus,
Synaptha maculate, Trachycardium
rugosum, dan Trapezium obesa. Dari
spesies-spesies tersebut dapat diketahui
bahwa spesies yang dominan pada zona
transisi lamun-karang adalah spesies
Holothuria atra dengan jumlah individu
mencapai 68 individu. Jumlah spesies di
zona transisi lamun-karang cukup banyak
karena pada zona tansisi lamun-karang
merupakan daerah habitat yang baik bagi
makrofauna benthic karena perbedaan
keduanya tidak terlalu jauh berbeda.
Sedangkan jenis sedimen yang ada pada
zona transisi lamun-karang adalah substrat
berpasir. Sehingga mampu mendukung
kehidupan makrofauna benthic.
Baik zona lamun maupun zona transisi
merupakan zona yang termasuk habitat
yang relative tidak jauh berbeda. Oleh
karena itu faktor-faktor lingkungan
mempengaruhi kehidupan organisme
bentik seperti kondisi lingkungannya baik
fisik, kimia maupun biologi (suhu,
salinitas, pH, tekstur sedimen dan
kandungan bahan organik pada sedimen).
Hal ini sesuai dengan teori yang
menjelaskan bahwa penyebaran
makrozoobentos erat sekali hubungannya
dengan kondisi perairan dimana organisme
ini ditemukan. Sumber bahan organik pada
sedimen adalah lamun dan tinja biota
bentik. Gangguan lingkungan di daerah
pesisir akan mempengaruhi secara
langsung organisme-organisme yang
menjadi sumber bahan organik dalam
sedimen tersebut (Knox, 2001).
Berdasarkan grafik di atas, dapat
diketahui bahwa spesies yang paling
banyak individunya adalah spesies
Holothuria atra baik pada zona lamun
maupun zona transisi lamun-karang. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ekosistem
lamun sangat cocok bagi kehidupan jenis
timun laut ini karena dengan substrat zona
lamun yang pasir berlumpur, timun laut
mampu melakukan adaptasi dengan baik.
Penjelasan ini sesuai dengan teori yang
menjelaskan bahwa daerah penyebaran
teripang di Indonesia cukup luas terutama
di daerah terumbu karang, perairan yang
berdasar pasir, berbatu karang dan pasir
bercampur lumpur (Alaerts, dkk, 1984).
Menurut Wirasti (1990), Holothuria
atra banyak dijumpai pada tempat yang
terbuka.
Bahan organik dihasilkan oleh
organsime hidup baik hewan maupun
tumbuhan melalui peroses metabolisme
dan hasil pembusukan lalu tenggelam ke
dasar perairan dan bercampur dengan
subtrat dasar. Bahan organik yang
8
mengendap di dasar perairan merupakan
sumber makanan bagi organisme benthos.
Tingginya kandungan bahan organik
sedimen disebabkan oleh dasar yang
berupa padang lamun yang bersubtrat
dasar lumpur berpasir dengan gerakan arus
yang relatif lebih lambat sehingga diduga
terakumulasinya partikel pasir yang lebih
halus beserta serasah tumbuhan dan hewan
selain itu dari daun maupun ranting
mangrove yang membusuk dan
terakumulasi pada sedimen. Hal ini juga
dapat meningkatkan kandungan bahan
organik (Zamroni dan Rohyani, 2008).
Rendahnya kandungan organik
tidak berpengaruh bagi kehidupan teripang,
hal ini sejalan dengan pendapat Levinton
(1982), bahwa organisme benthik akan
memanfaatkan bahan lain yang bernilai
nutrisi sebagai makanannya.
Selain faktor-faktor yang
mempengaruhi kehidupan teripang, ada
pula faktor konsentrasi padatan tersuspensi
air laut dimana rendah atau tingginya
konsentrasi padatan tersuspensi tersebut
mampu memberikan pengaruh bagi
kehidupan teripang. Hal ini sesuai dengan
teori yang menjelaskan bahwa konsentrasi
padatan tersuspensi air laut yang rendah
dapat meningkatkan daya tembus sinar
matahari lebih besar sehingga
meningkatkan aktivitas fotosintesis
tumbuhan laut baik mikro maupun macro
sehingga oksigen yang dilepaskan tubuhan
air menjadi banyak yang bermanfaat untuk
kehidupan teripang (Dunton dkk, 2003).
Zona Mangrove
Gambar 5. Kelimpahan total pada zona Mangrove
Berdasarkan grafik di atas dapat
diketahui bahwa jumlah total kelimpahan
makrofauna benthic pada zona mangrove
yaitu sebanyak 42 individu dalam berbagai
macam spesies. Sedangkan jumlah spesies
yang ditemukan di zona lamun adalah
berjumlah 13 spesies yaitu Charybdis sp.,
Holothuria edulis, jacksonaster depressum,
Littorina scabra, Littoraria aberrans,
Turbo sutosus, Bathybembix
convexiusculus, Metopograpsus latifrons,
Pyrene decussate, Nassarius sufflatus,
Patteloida saccharina, dan Lottia digitalis.
Dari spesies-spesies tersebut dapat
diketahui bahwa spesies yang dominan
pada zona transisi lamun-karang adalah
spesies Littorina scabra dengan jumlah
individu mencapai 9 individu. Jumlah
spesies di zona mangrove relatif lebih
sedikit jika dibandingkan dengan zona
yang lainnya karena pada zona mangrove
merupakan daerah habitat yang memiliki
substrat berlumpur sehingga
keanekaragaman spesies yang ada di zona
ini relatif berbeda dengan zonasi yang
sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kelimpahan makrofauna benthic
pada zona mangrove relative lebih rendah
dari pada zona lamun dan zona transisi
lamun-karang.
9
D = (ni/N)2
3.2.2 Dominansi tiap zonasi (indeks
Simpson)
Indeks Dominansi dihitung dengan
menggunakan rumus indeks dominanasi
dari Simpson. Indeks dominansi berkisar
antara 0 sampai 1, dimana semakin kecil
nilai indeks dominansi maka menunjukan
bahwa tidak ada spesies yang mendominsi
sebaliknya semakin besar dominansi maka
menunjukan ada spesies tertentu (Odum,
1993).
Keterangan :
D = Indeks Dominansi Simpson
ni = Jumlah Individu tiap spesies
N = Jumlah Individu seluruh spesie
Gambar 6. Dominansi spesies makrofauna bentik
pada zona Lamun
Zona Lamun
Pada zona lamun ini ditemukan
beberapa spesies antara lain Anadara
nodifera, Astropecten sand star, Cypraea
labrolineata, Cypraea moneta, Dosisnia
derapta, Ergalatax magariticola, Hebra
corticata, Holothuria atra,
Macrophiothrix longipeda, Mactra
grandis, Nassarius (Telasco) sufflatus,
Nassarius globosus, Nassarius pullus,
Nassarius reticosa, Phos roseatus,
Strombus urceus, Vasticardium angulatum
dengan total jumlah speses yang
didapatkan sebanyak 26 individu.
Berdasarkan data yang diperoleh, spesies
Holothuria atra paling banyak
mendominasi. Spesies Holothuria atra
pada zona lamun ini ditemukan sebanyak 9
individu. Pada diagram dominansi dapat
dilihat bahwa Dapat dilihat dari diagram
bahwa nilai indeks dominansi pada zona
lamun sebesar 0,144. Nilai ini termasuk
dalam dominansi rendah. Kecenderungan
mendekati 0 artinya tidak ada jenis yang
mendominansi perairan yang berarti setiap
individu pada stasiun pengamatan
mempunyai kesempatan yang sama dan
secara maksimal dalam memanfaatkan
sumber daya yang ada didalam perairan
tersebut. Hal ini sesuai dengan peryataan
Odum (1993) yang menyatakan bahwa
nilai indeks dominansi yang tinggi
menyatakan konsentrasi dominansi yang
tinggi (ada individu yang mendominansi),
sebaliknya nilai indeks dominansi yang
rendah menyatakan konsentrasi yang
rendah (tidak ada yang dominan).
Zona Transisi
Zona kedua adalah adalah zona
transisi. Pada zona lamun terdapat spesies
antara lain. Conus litteratus, Cymasium
pileare, Cypraea tigris, Diadema setosum,
Echinotrix calamaris, Holothuria atra,
Luidia maculate, Nassarius stolatus,
Peristernia ustulata, Pyrene versicolor,
Strombus labiosus, Synaptha maculate,
Trachycardium rugosum, dan Trapezium
obesa.Pada zona transisi antara lamun dan
terumbu karang ini spesies yang
mendominasi adalah Holothuria atra.
10
Nilai dominansi pada zona transisi sebesar
0,58. Nilai ini termasuk dalam dominansi
tinggi. Nilai dominansinya cenderung
medekati 1. Nilai indeks dominansi yang
tinggi menyatakan konsentrasi dominansi
yang tinggi (ada individu yang
mendominansi), sebaliknya nilai indeks
dominansi yang rendah menyatakan
konsentrasi yang rendah (tidak ada yang
dominan) (Odum, 1975). Pada zona
transisi ini spesies yang mendominasi
adalah Holothuria atra.
Zona Mangrove
Zona ketiga adalah adalah zona
mangrove. Pada zona mangrove terdapat
spesies antara lain Charybdis sp.,
Holothuria edulis, Jacksonaster
depressum, Littorina scraba, Littoraria
filose, Liittoraria aberrans, Turbo sutous,
Bathybembix, Metopograpsus latifrons,
Pyrene decussate, Nassarius sufflatus,
Patteloida saccharina, dan Lottia digitalis.
Pada zona mangrove ini spesies yang
mendominasi adalah Littorina scraba.
Nilai dominansinya sebesar 0,21. Nilai ini
termasuk dalam dominansi rendah. Nilai
dominansinya cenderung medekati 0
artinya tidak ada jenis yang mendominansi
perairan yang berarti setiap individu pada
stasiun pengamatan mempunyai
kesempatan yang sama dan secara
maksimal dalam memanfaatkan sumber
daya yang ada didalam perairan tersebut.
Hal ini sesuai dengan peryataan Odum
(1993).
3.2.3 Keanekaragaman tiap zonasi
(indeks Shannon-Wiener)
Tabel 1 Indek Keanekaragaman 3 Zonasi
Zona Nilai (H)
Zona Lamun 2,49
Zona Transisi 1,11
Zona Mangrove 2,17
Indeks Keanekaragaman digunakan
untuk mengetahui keanekaragaman hayati
biota yang diteliti. Pada prinsipnya, nilai
indeks makin tinggi, berarti komunitas
diperairan itu makin beragam dan tidak
didominasi oleh satu atau lebih dari takson
yang ada. Umumnya, jenis perhitungan
Indeks Keanekaragaman untuk plankton
digunakan rumus Simpson, dan untuk
benthos adalah rumus Shannon & Wiener
(Odum, 1975). Menurut Hardjosuwarno
(1990) menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman (H) terdiri dari beberapa
kriteria yaitu :
jika (H) > 3,0 menunjukkan
keanekaragaman sangat tinggi,
jika nilai (H) sebesar 1,6 - 3,0
menunjukkan keanekaragaman tinggi,
jika nilai (H) sebesar 1,0 1,5
menunjukkan keanekaragaman sedang.
Zona Lamun
Berdasarkan perhitungan (H) pada
zona lamun terlihat bahwa indeks
keanekaragaman (H) berkisar 2,49. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai indeks
keanekaragaman tinggi. Keanekaragaman
yang tinggi menunjukkan penyebaran
jumlah individu tiap jenis yang tinggi dan
kestabilan juga tinggi. Ekosistem lamun
merupakan suatu sistem hubungan timbal
balik yang terjadi antara biotik dan abiotik
pada lamun. Ekosistem padang lamun itu
sendiri adalah habitat yang digunakan
sebagai tempat berlindung, ruang hidup
11
dan tempat mencari makan bagi biota laut.
Dimana lamun merupakan tanaman di
salah satu ekosistem perairan pesisir yang
memiliki produktifitas yang tinggi dimana
tanaman ini memiliki manfaat sebagai
sumber makanan, tempat bertelur dan
tempat memijah bagi biota laut. Di perjelas
secara singkat di mana padang lamun
merupakan habitat penting di daerah
beriklim tropis (Tuwo, 2011).
Ekosistem padang lamun
memberikan jasa lingkungan yang begitu
banyak. Secara ekologis, lamun memiliki
peranan penting di perairan laut
dangkal,sebagai habitat biota lainnya
seperti ikan, produsen primer, melindungi
dasar perairan dari erosi. Daun lamun yang
lebat dapat memperlambat gerakkan air
yang disebabkan oleh arus dan ombak,
sehingga menyebabkan perairan
disekitarnya menjadi tenang. Di samping
Itu, rimpang dan akar lamun dapat
menahan dan menangkap sedimen,
pendaur ulang zat hara, dan element
kelumit (trace element) penting di
lingkungan laut, serta berperan sebagai
bioindikator logam berat. Sedangkan,
secara ekonomis lamun dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
pakan ternak, bahan baku kertas, bahan
kerajinan, pupuk, dan bahan obat-obatan
(Fachrul, 2007).
Berbagai kelebihan dari zona lamun
yang sebagai pemberi jasa lingkungan
begitu banyak dan memiliki peranan
penting. Oleh karena itu dapat kita
hubungkan dengan hasil dari indeks
keaneragaman yang menunjukkan tingkat
keaneragaman yang tinggi karena pada
zona lamun merupakan habitat yang
memenuhi kebutuhan berbagai spesies.
Zona Transisi
Berdasarkan perhitungan (H) pada
zona transisi antara terumbu karang dan
lamun terlihat bahwa indeks
keanekaragaman (H) berkisar 1,11. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai indeks
keanekaragaman sedang. Terumbu karang
dan padang lamun sering terletak
berdekatan satu sama lain (Dorenbosch et
al, 2005). Zona transisi biasanya berada
pada daerah reef flat yang merupakan
daerah paparan terumbu yang rentan
terhadap surut, dimana terjadi peralihan
komunitas . Daerah transisi pada
umumnya berupa substrat pasir dengan
sedikit lamun dan karang (Sabarini, 2005).
Sehingga nilai indeks keragamannya pun
sedikit karena merupakan daerah peralihan
yang memiliki kondisi lingkungan yang
kurang stabil untuk dijadikan habitat bagi
suatu organisme.
Zona Mangrove
Pada zona mangrove, berdasarkan
perhitungan (H) pada zona mangrove
terlihat bahwa indeks keanekaragaman
(H) berkisar 2,17. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai indeks keanekaragaman tinggi.
Keanekaragaman yang tinggi
menunjukkan penyebaran jumlah individu
tiap jenis yang tinggi dan kestabilan juga
tinggi. Terumbu karang (Coral reef)
merupakan organisme yang hidup didasar
perairan dan berupa bentukan batuan kapur
(CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya
gelombang laut. Sedangkan organisme
organisme yang dominan hidup disini
adalah binatang - binatang karang yang
mempunyai kerangka kapur, dan algae
yang banyak diantaranya juga
mengandung kapur. Terumbu karang
menyediakan berbagai manfaat langsung
maupun tidak langsung. Cesar (2000)
menjelaskan bahwa ekosistem terumbu
12
karang banyak meyumbangkan berbagai
biota laut seperti ikan karang, mollusca,
crustacean bagi masyarakat yang hidup
dikawasan pesisir. Selain itu bersama
dengan ekosistem pesisir lainnya
menyediakan makanan dan merupakan
tempat berpijah bagi berbagai jenis biota
laut yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi.
Dari ualasan mengenai keadaan
yang terdapat di ekosistem terumbu karang,
dapat kita gabungkan dengan hasil indeks
keragaman yang menunjukkan angka yang
tinggi karena pada ekosistem karang ini
menyediakan tempat hidup yang stabil dan
banyaknnya nutrient yang ada pada
ekosistem ini sehingga banyak biota laut
yang memilki habitat di ekosistem
terumbu karang ini.
3.2.4 Indeks Morisita-Horn
Gambar 7 Cladogram dari Indeks Morisita-Horn
Berdasarkan kladogram di atas,
dapat diketahui bahwa hasil indeks
Morisita-Horn pada Zona 1 dibandingkan
dengan Zona 2 yaitu 0.71999
menunjukkan bahwa tingkat kesamaan
jenis pada kedua zona relatif terdapat
kesamaan karena nilainya mendekati 1.
Sehingga Zona 1 dan Zona 2 dapat
dikatakan sebagai komunitas yang
memiliki kesamaan jenis yang relatif
cukup dekat. Sedangkan hasil indeks
Morisita-Horn pada Zona 1-2
dibandingkan dengan Zona 3 yaitu
0.391937 menunjukkan bahwa tingkat
kesamaan jenis antara Zona 3 dengan
kedua zona sebelumnya memiliki nilai
kesamaan jenis yang relatif rendah karena
nilainya jauh dari 1. Sehingga apabila
Zona 3 dengan kedua zona sebelumnya
(Zona 1-Zona 2) dapat dikatakan sebagai
komunitas yang memiliki kesamaan jenis
yang relatif jauh.
Karena berdasarkan indeks Morisita-
horn menyatakan bahwa Nilai Indeks
memiliki range antara 0 1. Semakin
mendekati satu berarti antara dua
komunitas akan semakin sama komposisi
spesiesnya (Porter, 1972). Kesamaan di
antara komunitas tersebut berdasarkan
pada spesies dan jumlah individu pada
suatu spesies yang terdapat di zonasi
masing masing. Berdasarkan analisis
data di atas, dapat disimpulkan bahwa
Zona 1 (lamun) memiliki keterkaitan lebih
besar dengan Zona 2 (transisi lamun-
karang) dari pada dibandingkan dengan
Zona 3 (mangrove).
3.3 Kecenderungan habitat
berdasarkan indeks Shannon -
wiener
Gambar 8 Diagram Kecenderungan Habitat pada
masing-masing Zonasi
13
Keterangan :
O : Titik zonasi pengambilan bentos (1-3)
Ann : Anadara nodifera Nre : Nassarius reticosa
Ngl : Nassarius globosu Cym : Cypraea moneta
Ass : Astropecten sand star Dod : Dosisnia derapta
Npu : Nassarius pullus Sur : Strombus urceus
Cyl : Cypraea labrolineata Hta : Holothuria atra
Pro : Phos roseatus Ema : Ergalatax magariticola
Van : Vasticardium angulatum
Hco : Hebra corticata Hcl : Hebra corticata-lirat
Nss : Nassarius sufflatus Cpi : Cymasium pileare
Mlo : Macrophiothrix longipeda
Mgr : Mactra grandis Cti : Cypraea tigris
Nst : Nassarius stolatus Etc : Echinotrix calamaris
Dse : Diadema setosum Sla : Strombus labiosus
Pus : Peristernia ustulata Lma : Luidia maculata
Sma : Synaptha maculata Csp : Charybdis sp.
Tru : Trachycardium rugosum
Laf : Littoraria filosa Bxc : Bathybembix convexiusculus
Tob : Trapezium obesa Mgl : Metopograpsus latifrons
Jtd : Jacksonaster depressum Tsu : Turbo sutosus
Pas : Patteloida saccharina Ldg : Lottia digitalis
Las : Littorina scabra Laa : littoraria aberrans
Gambar diatas menunjukkan
kecenderungan masing-masing pada
habitat yang sesuai. Dari diagram ordinasi
canoco tersebut dapat dilihat bahwa
terdapat 3 zona pengambilan bentos. Dari
panah yang tertuju pada segala arah
menunjukkan kecenderungan spesies pada
suatu lokasi. Dari seluruh zonasi
pengambilan, spesies Holothuria atra
cenderung lebih banyak ditemukan dan
berada pada tempat yang berbeda
dibandingkan dengan spesies lainnya.
spesies ini banyak ditemukan pada zona
lamun dan zona transisi. Dengan
banyaknya jumlah Holothuria atra yang
ditemukan, menunjukkan bahwa spesies
tersebut memiliki rentang toleransi yang
tinggi selain itu juga dapat dipengaruhi
oleh lingkungan. Hal tersebut menandakan
bahwa zonasi lamun dan transisi
merupakan zonasi yang sesuai dengan
Holothuria atra. Sedangkan pada zonasi
transisi, selain ditemukan kelimpahan
Holothuria atra,ditemukan pula spesies
Cypraea tigris, Diadema setosum, dan
Synaptha maculata.
Zona transisi di Pantai Bama
mempunyai keterkaitan yang besar dengan
ekosistem padang lamun karena sebagian
besar substratnya ditutupi oleh lamun.
Banyaknya lamun yang menutupi substrat
di zona transisi menyebabkan banyaknya
kesamaan spesies yang di temukan di
ekosistem padang lamun dan zona transisi.
Walaupun fungsi dari zona transisi itu
sendiri menurut Dorenbosch et al, (2005)
sebagai tempat perlintasan ikan karang
yang menuju ke padang lamun maupun
sebaliknya, banyaknya kesamaan spesies
yang di temukan di kedua lokasi tersebut
mengindikasikan bahwa ada keterkaitan
antara kedua lokasi tersebut.
Hemminga dan Duarte (2000),
menyatakan bahwa keberadaan suatu jenis
makrozoobentos di daerah lamun tidak
bergantung sepenuhnya pada keberadaan
vegetasi lamun. Faktor lingkungan seperti
hidrodinamika, karakteristik substrat,
kedalaman dan salinitas seringkali lebih
memiliki pengaruh terhadap keberadaan
suatu jenis makrozoobentos di daerah
lamun. Beberapa biota laut lainnya, hanya
tinggal sementara di daerah lamun, untuk
menghabiskan sebagian dari daur hidup
awalnya untuk berlindung dari pemangsa.
Kneer (2006) menyatakan bahwa
dalam komunitas lamun yang berusia lebih
tua, biota laut yang berasosiasi dengan
lamun akan memiliki kesempatan yang
14
lebih lama untuk berkembang dan
membentuk rantai makanan yang lebih
kompleks. Biota laut yang berkunjung,
berlindung atau menetap di daerah lamun
pun menjadi lebih banyak dan beragam.
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
dari Vonk (2008; 2010) yang melaporkan
adanya pengaruh yang signifikan dari
struktur kanopi yang dibentuk oleh
tegakan Enhalus acoroides terhadap
tingginya kelimpahan populasi biota
asosiasi.
Pada zona transisi memiliki nilai
kepadatan yang paling tinggi yaitu sebesar
89 individu. Tingginya kepadatan
makrozoobentos pada zona ini dapat
dikaitkan oleh beberapa parameter fisika
seperti jenis substrat yang didominasi oleh
substrat sedang dan merupakan habitat
yang sangat cocok untuk makrozoobentos.
Selain itu, kandungan bahan organik pada
zona tersebut cukup tinggi. Hal ini
didukung oleh pernyataan Lind (1979)
yang menyatakan bahwa substrat pasir
merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobentos.
Sedangkan spesies yang ada pada
zonasi mangrove adalah Littorina scabra,
Metopograpsus latifrons, Pyrene
decussata, dan Bathybembix
convexiusculus. Zonasi ini memiliki
sifatnya yang khas dan kompleks sehingga
hanya organisme tertentu saja yang
mampu bertahan dan berkembang.
Kenyataan ini menunjukkan
keanekaragaman jenis fauna hutan
mangrove yang berafinitas laut kecil,
tetapi kepadatan masing-masing jenis
umunya besar (Kartawinata et al, 1979).
Kelompok fauna perairan / akuatik
yang berkoeksistensi di ekosistem hutan
mangrove (Irwanto, 2006), terdiri atas dua
tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air,
terutama berbagai jenis ikan dan udang;
dan yang menempati substrat baik keras
(akar dan batang mangrove) maupun lunak
(lumpur) terutama kepiting, kerang dan
berbagai jenis invertebrata lainnya.
4. KESIMPULAN
Dari seluruh rangkaian penelitian
dan analisa data yang telah dilakukan,
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu,
pengambilan sampling makrofauna
benthos dapat dilakukan dengan cara Belt
transect dan Hand collecting.Organisme
makrofauna benthos yang paling
melimpah ditemukan di zona transisi,
dengan jumlah ditemukan 26 individu
pada zona lamun, 89 individu pada zona
transisi, dan 42 individu pada zona
mangrove.Untuk dominansi, pada zona
lamun dan transisi didominasi oleh spesies
Holothuria atra. Sedangkan pada zona
mangrove, spesies yang mendominasi
adalah Littorina scraba. Zona lamun dan
mangrove memiliki tingkat
keanekaragaman spesies yang tinggi,
sedangkan zona transisi memiliki tingkat
keanekaragaman yang sedang. Zona lamun
memiliki keterkaitan lebih besar dengan
Zona transisi dari pada dibandingkan
dengan Zona mangrove. Spesies
Holothuria atra cenderung berada di ketiga
zonasi yang ada yaitu lamun, transisi dan
mangrove, sedangkan spesies Littorina
scraba cenderung berada di zona mangrove
saja. Keduanya merupakan spesies
dominan pada ketiga zonasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G. Dan S. S. Santika. 1984.
Metode Penelitian Air.
Usaha Nasional. Surabaya.
15
Brum, GD. Dan LK. McKane. 1989.
Biology of Exploring Life. John
Wiley & Sons Press.New York.
Cesar, H. 2000. Collected Essay on the
Economics of Coral Reefs. Cordio
Departemen Biology and
Environmental Science, Kalmar
University. Sweden.
Dahuri, R. , J. Rais, S.P. Ginting, M.J.
Sitepu, 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT. Pradya
Paramita. Jakarta.
Dahuri, R., Rais, J.;, Ginting, S.P., Sitepu,
M.J.. 2001. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan
Secara Terpadu. PT Pradnya
Paramita, Jakarta. 328 Hlm.
Den Hartog C. 1970. The Seagrass Of The
World. Amsterdam: North Holland.
Dorenbosch, M., G. G. G. Monique, I.
Nagelkerken, G. Van Der Velde.
2005. Distribution Of Coral Reef
Fishes Along A Coral ReefSeagrass
Gradient : Edge Effects And Habitat
Segregation. Marecol Progser 299 :
277 28.
Dunton, K, A. Burd, D. Funk, Dan R.
Maffione. 2003. Linking Water
Turbidity And Total Suspended
Solid Loading To Kelp Productivity
Within The Stefannson Sound
8 Boulder Path. Report Prepared By
Craigaumack1., MMS Alaska
Environmental Studies Program. 86
Pp.
English S., C. Wilkinson & V. Baker.
1994. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. ASEAN-
Australia Marine Science Project:
Living Coastal Resources.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling
Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Fuller, S.L.H. 1979. Pollution Ecology Of
Estuarine Invertebrates. Academic
Press, New York. 78-117 Pp.
Hemminga MA, Duarte CM. 2000.
Seagrass Ecology. London-United
Kingdom (UK): Cambridge
University Press.
Hutabarat, S.. 2000. Produktivitas
Perairan Dan Plankton : Telaah
Terhadap Ilmu Perikanan Dan
Kelautan. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
60 Hlm.
Khouw AS. 2009. Metode Dan Analisa
Kuantitatif Dalam Bioekologi
Laut.Bogor: Pusat Pembelajaran Dan
Pengembangan Pesisir Dan Laut
(P4L).
Kikuchi, T. 1980. Faunal Relationship In
Temperate Seagrass Beds In Hand
Book Of Seagrass Biological : An
Ecosystem Perspective. Phillips R.
C. Mc. Roy (Ed). Garland STPM-
Press, New York.
Kiswara W. 2004. Kondisi Padang Lamun
(Seagrass) Di Perairan Teluk
Banten1998-2001. Jakarta: Lembaga
Penelitian Oseanografi.
Kiswara, W. And M. Hutomo (1985).
Habitat Dan Sebaran Geografik
Lamun. Oseana 10(1): 21-30
Kiswara, W., (1997). Struktur Komunitas
Padang Lamun Perairan Indonesia.
Inventarisasi Dan Evaluasi Potensi
16
Laut-Pesisir II. Jakarta: P3O LIPI.
Hal. 54-61.
Kneer D. 2006. The Role Of Neaxius
Acanthus(Thalassinidea:Strahlaxiia)
And Its Burrows In A Tropical
Seagrass Meadow, With Some
Remarks On Coralianassa Coutierei
(Thalassinidea: Calianassidae).
Berlin: Freie University.
Knox, G.A. 2001. The Ecology Of
Seashores. CRC Press. London. 475
Pp.
Kuo, J. Dan C. Den Hartog. 2006.
Taxonomy And Biogeography Of
Seagrasses. In A.W.D. Larkum, R.J.
Orth Dan C.M. Duarte (Ed).
Seagrasses: Biology, Ecology And
Conservation. Springer. Dordrecht.
Netherlands.
Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology.
Prentice Hall Inc. Englewood
Cliffs, New Jersey. 526 P.
Lind, O. T. 1979. Hand Book Of Common
Method In Limnology. CV. Mosby.
St. Louis, Toronto. London.
Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N.
Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia.
PHKA/WI-IP, Bogor.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. 459 Hlm.
(Diterjemahkan Oleh Eidman, H.M.
Et Al)
Odum, W.E., J/C/ Zieman And ES. Heald
1971. The Importance Of Vascular
Plant Debris To Estuaries. Proc.
Coastal Marsh And Estuary
Management Symposium. Pp.91-114.
Rani,Chair .2011. Metode Pengukuran
Dan Analisis Pola Spasial (Dispersi)
Organisme Bentik .Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan
Dan Perikanan-UNHAS. Makassar
Romimohtarto, K. dan Juwana S. 2001.
Biologi Laut; Ilmu pengetahuan
tentang Biota Laut. Djambatan.
Jakarta.
Tuwo, Ambo. 2011. Pengelolaan
Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian
Internasional. Surabaya.
Vonk JA, Christianen MJA, Stapel J.
2010. Abundance, Edge Effect, And
Seasonality Of Fauna In Mixed-
Species Seagras Meadows In Sout-
West Sulawesi, Indonesia. Mar. Biol.
Res.6:282-291 43
Vonk JA, Kneer D, Stapel J, Asmus H.
2008. Shrimp Burrow In Tropical
Seagrass Meadow: An Important
Sink For Litter. Estu. Coas. Shelf.
Sci. 79: 79-85.
Wetzel, Robert G. 1975. Limnology, Lake
and River Ecosystem, 3th Edition.
Sounder College. Philadelphia.
Wirasti, A. 1990. Beberapa Aspek Ekologi
Teripang Keling Holothuria
(Halodeine) Atra Jaeger Di Rataan
Terumbu Karang Pulau Pari, Pulau
Seribu. Skripsi. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Zamroni, Y. Dan Rohyani, I. S. 2008.
Produksi Serasah Hutan Mangrove
Di Perairan Pantai Teluk Sepi,
Lombok Barat. Biodiversitas Vol. 9
No. 4, 284-287.
17