BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh
negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia
utamanya pada perilaku dan cara hidup individu dapat merupakan penyebab
bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat
yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya.
Manusia dalam lingkup sosial memilki banyak masalah-masalah
dalam hal kesehatan baik dalam Biologis, kimia, fisik, perilaku, social
budaya, dan lain sebagainya. Bermacam-macam kegiatan manusia yang tanpa
di sadarinya dapat membahayakan hidup mereka Sehingga masyarakat sangat
rentan terkena penyakit yang menyebabkan sakit,dan itu semua di sebabkan
karena tidak adanya kesadaran dari manusia itu sendiri, karena mereka tidak
begitu mempedulikan kesehatan mereka yang bisa mengakibatkan fatal
dengan alasan penyakit yang akan di timbulkan baru akan muncul dalam
jangka waktu yang lama.
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan
yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Namun secara garis
besarnya dalam mindset masyarakat ada 2 konsep penyebab sakit, yaitu:
Naturalistik dan Personalistik.
Setiap masyarakat memiliki pola adat istadat, latar belakang
pendidikan, dan lapisan-lapisan atau kelas-kelas sosial yang berpengaruh
terhadap penentuan penyakit.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang penyakit
dan Agent penyakitnya karena banyak masyarakat yang pengetahuannya
tentang kesehatan masih kurang dan juga pendidikannya terbatas.
1 | P a g e
1.2 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Agen Fisik
2. Untuk mengetahui Macam-Macam Agen Fisik
1.3 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan agen fisik?
2. Apakah macam-macam penyakit akibat agen fisik?
2 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agen Fisik
Agent fisik adalah agent tidak hidup bersifat fisik yang dapat
menyebabkan penyakit. Agent fisik terdiri dari suhu, kelembaban, kebisingan,
radiasi, tekanan, panas, dan trauma mekanik (pukulan, tabrakan).
2.2 Macam-Macam Agen Fisik
2.2.1 Suhu
Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin
suatu benda dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah
thermometer. Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan
keadaan normal dengan suatu system tubuh yang sempurna sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
luar tubuh tersebut. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan dirinya
dengan temperature luar adalah jika perubahan temperature luar tubuh
tersebut tidak melebihi 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk
kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
Keseimbangan panas suhu tubuh manusia selalu dipertahankan
hampir konstan/menetap oleh suatu pengaturan suhu pada tubuh
manusia. Suhu menetap ini adalah akibat keseimbangan antara panas
yang dihasilkan didalam tubuh sebagai akibat metabolisme dan
pertukaran panas diantara tubuh dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini
darah sangat berperan dalam membawa panas dari tubuh dalam ke kulit
sehingga panas dihamburkan kesekitarnya.
Adapun suhu tubuh dihasilkan dari :
1. Laju metabolisme basal (basal metabolisme rate, BMR) di semua sel
tubuh.
2. Laju cadangan metabolisme yang disebabkan aktivitas otot
(termasuk kontraksi otot akibat menggigil).
3 | P a g e
3. Metabolisme tambahan akibat pengaruh hormon tiroksin dan
sebagian kecil hormon lain, misalnya hormon pertumbuhan (growth
hormone dan testosteron).
4. Metabolisme tambahan akibat pengaruh epineprine, norepineprine,
dan rangsangan simpatis pada sel.
5. Metabolisme tambahan akibat peningkatan aktivitas kimiawi di
dalam sel itu sendiri terutama bila temperatur menurun.
Suhu tubuh manusia diatur oleh system thermostat di dalam otak
yang membantu suhu tubuh yang konstan antara 36.5˚C dan 37.5˚C.
Suhu tubuh normal manusia akan bervariasi dalam sehari. Seperti
ketika tidur, maka suhu tubuh kita akan lebih rendah dibanding saat kita
sedang bangun atau dalam aktivitas. Dan pengukuran yang diambil
dengan berlainan posisi tubuh juga akan memberikan hasil yang
berbeda. Pengambilan suhu di bawah lidah (dalam mulut) normal
sekitar 37 ˚C, sedang diantara lengan (ketiak) sekitar 36.5 ˚C sedang di
rectum (anus) sekitar 37.5 ˚C.
Gangguan kesehatan akibat suhu tubuh:
1. Demam
Demam dapat terjadi karena mekanisme pengeluaran panas
tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan pengeluaran
kelebihan produksi panas, yang mengakibatkan peningkatan suhu
tubuh abnormal. Demam biasanya tidak berbahaya jika berada pada
suhu di bawah 39°C. Davis dan Lentz (1989) merekomendasikan
untuk menentukan demam berdasarkan beberapa pembacaan suhu
dalam waktu yang berbeda pada satu hari dibandingkan dengan suhu
normal orang tersebut pada waktu yang sama, di samping terhadap
tanda vital dan gejala infeksi.
Patogenesis
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam
setelah terpapar. Umumnya pirogen berinteraksi dengan sel fagosit,
makrofag atau monosit untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-
4 | P a g e
I). mkanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen
misalnya endotoksin yang bekerja langsung pada hipotalamus untuk
mengubah dan mengatur suhu. Radiasi, racun DTT dan racun
kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung
terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin
yang akan merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk
melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai pada scarlet fever dan toxin
shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari mikroba dan
non mikroba (Mazida, 2011).
2. Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan
ketidakmampuan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran panas atau
menurunkan produksi panas adalah hipertermia. Setiap penyakit atau
trauma pada hipotalamus dapat mempengaruhi mekanisme
pengeluaran panas. Hipertermia malignan adalah kondisi bawaan
tidak dapat mengontrol produksi panas, yang terjadi ketika orang
yang rentan menggunakan obat-obatan anastetik tertentu.
Patogenesis
Castillo, et al (1998) melaporkan bahwa hipertermia, 58%
disebabkan oleh infeksi, 42% disebabkan oleh nekrosis jaringan atau
oleh perubahan mekanisme termoregulasi yang terjadi jika lesi
mengenai daerah anterior hipotalamus. Terjadinya demam
disebabkan oleh pelepasan zat pirogen dari dalam lekosit yang
sebelumnya telah terangsang baik oleh zat pirogen eksogen yang
dapat berasal dari mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi
imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi (Benneth, et al,
1996; Gelfand, et al, 1998). Pirogen eksogen ini juga dapat karena
obat-obatan dan hormonal, misalnya progesterone. Pirogen eksogen
bekerja pada fagosit untuk menghasilkan IL-1, suatu polipetida yang
juga dikenal sebagai pirogen endogen. IL-1 mempunyai efek luas
dalam tubuh.
5 | P a g e
Zat ini memasuki otak dan bekerja langsung pada area
preoptika hipotalamus. Di dalam hipotalamus zat ini merangsang
pelepasan asam arakhidonat serta mengakibatkan peningkatan
sintesis PGE-2 yang langsung dapat menyebabkan suatu pireksia/
demam (Lukmanto, 1990; Gelfand, et al, 1998). Secara skematis
mekanisme terjadinya demam dapat digambarkan sebagai berikut :
(Gelfand, et al, 1998). Penyebab demam selain infeksi ialah keadaan
toksemia, adanya keganasan atau akibat reaksi pemakaian obat
sedangkan gangguan pada pusat regulasi suhu sentral dapat
menyebabkan peninggian temperature seperti yang terjadi pada heat
stroke, ensefalitis, perdarahan otak, koma atau gangguan sentral
lainnya. Pada perdarahan internal saat terjadinya reabsorbsi darah
dapat pula menyebabkan peninggian temperatur ( Andreoli, et al,
1993 ).
Reaksi tubuh terhadap stress pada keadaan injury akan
menimbulkan peningkatan metabolic, hemodinamik dan hormonal
respons (Lukmanto, 1990). Peningkatan pengeluaran hormon
katabolik (stress hormon) yang dimaksud adalah katekolamin,
glukagon dan kortisol.
Ketiga hormone ini bekerja secara sinergistik dalam proses
glukoneogenesis dalam hati terutama berasal dari asam amino yang
pada akhirnya menaikkan kadar glukosa darah (hiperglikemia).
Faktor lain yang menambah pengeluaran hormon katabolik
utamanya katekolamin ialah dilepaskannya pirogen dapat merubah
respon hiperkatabolisme dan juga merangsang timbulnya panas
(Lukmanto, 1990; Ginsberg, 1998).
3. Hipotermia
Pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus terhadap
dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas,
mengakibatakan hipotermia. Hipotermia diklasifikasikan melalui
pengukuran suhu inti:
6 | P a g e
Ringan: 33°C-36°C
Sedang: 30°C-33°C
Berat: 27°C-30°C
Sangat berat: <30°C
Patogenesis
Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen
menyampaikan pada sentral pengatur panas di hipothalamus. Saraf
yang dari hipothalamus sewaktu mencapai brown fat memacu
pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi
gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi
asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas.
Daerah brown fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke
beberapa bagian tubuh melalui aliran darah (Ema Susanti, 2013).
Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen
tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk
menjaga tubuh tetap hangat. Methabolicther mogenesis yang efektif
memerlukan integritas dari sistem syaraf sentral, kecukupan dari
brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen. Perubahan
fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat
antara lain depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis,
disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang salah, EEG
yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan
halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli
yang hilang, dan penurunan yang progressif dari aktivitas EEG (Ema
Susanti, 2013).
Pada jantung dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi
yang progressif, kontriksi pembuluh darah, peningkatan cardiacout
put, dan tekanan darah. Selanjutnya,peningkatan aritmia atrium dan
ventrikel, perubahan EKG dan sistole yang memanjang; penurunan
tekanan darah yang progressif, denyut jantung, dan cardiacout put
7 | P a g e
disritmia serta asistole. Pada pernapasan dapat terjadi takipnea,
bronkhorea, bronkhospasma, hipoventilasi konsumsi oksigen yang
menurun sampai 50%, kongesti paru dan edema, konsumsi oksigen
yang menurun sampai 75%, dan apnoe. Pada ginjal dan sistem
endokrin, dapat terjadi cold diuresis, peningkatan katekolamin,
steroid adrenal, T3 dan T4 dan menggigil; peningkatan aliran darah
ginjal sampai 50%, autoregulasi ginjal yang intak, dan hilangnya
aktivitas insulin. Pada keadaan berat, dapat terjadi oliguri yang berat,
poikilotermia, dan penurunan (Ema Susanti, 2013).
Menurut Ema Susanti (2013), akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh hipotermi yaitu:
1. Hipoglikemi asidosis metabolik, karena vasokonstrtiksi perifer
dengan metabolisme anaerob.
2. Kebutuhan oksigen yang meningkat.
3. Metabolisme meningkat sehingga pertumbuhan terganggu.
4. Gangguan pembekuan sehingga mengakibatkan perdarahan
pulmonal yang menyertai hipotermi berat.
5. Shock.
6. Apnea.
7. Perdarahan intra ventricular.
Kedinginan yang terlalu lama dapat menyebabkan tubuh
beku, pembuluh darah dapat mengerut dan memutus aliran darah ke
telinga, hidung, jari dan kaki. Dalam kondisi yang parah mungkin
korban menderita ganggren (kemuyuh) dan perlu diamputasi.
Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya pembengkakan di seluruh
tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex tubuh (areflexia),
koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut hipotermia
berat bila suhu tubuh <320°C. Untuk mengukur suhu tubuh pada
hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
termometer) sampai 250°C. Di samping sebagai suatu gejala,
8 | P a g e
hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan
kematian (Ema Susanti, 2013).
4. Heat Cramps
Heat cramps, adalah kondisi mengancam jiwa dimana suhu
tubuh mencapai lebih dari 400C atau lebih. Heat stroke dapat
disebabkan karena kenaikan suhu lingkungan , atau aktivitas yang
dapat meningkatkan suhu tubuh. Dengan tanda dan gejala sebagai
berikut :
Tidak berkeringat. Jika head stroke disebabkan oleh suhu
lingkungan yang sangat panas, maka kulit cenderung terasa
panas dan kering
Kemerahan pada kulit
Gejala saraf lain, misalnya kejang, tidak sadar, halusinasi
5. Heat Exhaustion
Heat exhaustion adalah kelelahan karena panas, yakni suatu
keadaan yang terjadi akibat terkena panas selama berjam-jam,
dimana hilangnya banyak cairan karena berkeringat menyebabkan
kelelahan, tekanan darah rendah dan kadang pingsan. Dengan tanda
dan gejala sebagai berikut :
Kecemasan yang meningkat, serta badan basah kuyup karena
keringat.
Kulit menjadi dingin, pucat, dan lembab,
Penderita menjadi linglung / bingung hingga terkadang
pingsan.
6. Heat Stroke
Heat stroke adalah suatu keadaan yang bias berakibat fatal,
yang terjadi akibat terpapar panas dalam waktu yang sangat lama,
dimana penderita tidak dapat mengeluarkan keringat yang cukup
untuk menurunkan suhu tubu[hnya. Jika tidak segera diobati, bias
menyebabkan kerusakan yang permanent atau kematian. Dengan
tanda dan gejala sebagai berikut :
9 | P a g e
Sakit kepala, perasaan berputas (vertigo).
Denyut jantung meningkat dan bias mencapai 160-180
kali/menit (normal 60-100 kali/menit).
Suhu tubuh meningkat sampai 400-410C, menyebabkan
perasaan seperti terbakar.
2.2.2 Kelembaban
Kelembaban udara adalah tingkat kebasahan udara karena dalam
udara air selalu terkandung dalam bentuk uap air. Kandungan uap air
dalam udara hangat lebih banyak daripada kandungan uap air dalam
udara dingin. Kalau udara banyak mengandung uap air didinginkan
maka suhunya turun dan udara tidak dapat menahan lagi uap air
sebanyak itu. Uap air berubah menjadi titik-titik air. Udara yan
mengandung uap air sebanyak yang dapat dikandungnya disebut udara
jenuh.
Penyakit karena kelembaban kebanyakan adalah yang
disebabkan jamur, karena kelembaban pada pakaian yang tidak bisa
dikeringkan dengan baik, menyebabkan jamur kulit seperti di
selangkangan, sela jari kaki, lipat payudara.
2.2.3 Kebisingan
Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak
dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan. Jenis-jenis kebisingan
yang sering ditemukan meliputi:
1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady
state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur
pijar dan lain-lain.
2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state,
narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas dan lain-
lain.
3. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara
kapal terbang di lapangan udara.
10 | P a g e
4. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti pukulan
palu, tembakan bedil, atau meriam, ledakan.
5. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan
Keputusan Menteri Lingkunagan Hidup dalam (SK Menteri
Negara Lingkungan Hidup nomor KEP.48/MENLH/11/1996)
menyebutkan nilai baku timgkat Kebisingan untuk kawasan/lingkungan
kegiatan yaitu:
Nilai Baku Tingkat Kebisingan UntukKawasan/Lingkungan Kegiatan
Peruntukan Kawasan/lingkungan kegiatan
Tingkat kebisingan (dB)
A. Peruntukan Kawasan1. Perumahan/pemukiman 552. Perdagangan/jasa 703. Perkantoran 654. Taman (Ruang Terbuka Hijau) 505. Industri 706. Kantor Pemerintahan 607. Tempat Rekreasi 708. Khusus:a. Bandar Udara 70b. Pelabuhan Laut 70c. Stasiun Kereta api 70d. Cagar Budaya 60B. Lingkungan Kegiatan1. Rumah Sakit dan Sejenisnya 552. Sekolah Dan Sejenisnya 553. Tempat Ibadah dan Sejenisnya 55
Pengaruh kebisingan terhadap kemungkinan timbulnya
gangguan terhadap kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa factor
yaitu intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, lamanya seorang
berada ditempat bising, sifat bising, umur dan kepekaan seseorang
terhadap paparan bising. Intensitas kebisingan yang melebihi ambang
batas akan menyebabkan penurunan yang serius pada kondisi kesehatan
seseorang khususnya gangguan pendengaran, dan bila berlangsung lama
11 | P a g e
akan menyebabkan kehilangan pendengaran sementara, yang lambat
laun dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen.
Intensitas kebisingan yang tinggi dan melebihi NAB mempunyai
efek yang merugikan kepada daya kerja meliputi:
1. Gangguan komunikasi
Kebisingan dapat menggangu percakapan sehingga akan
mempengaruhi komunikasi yang sedang berlangsung (tatap
muka/via telepon). Risiko potensial kepada pendengaran terjadi
apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak.
Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan
bahkan mungkin terjadi kelelahan, terutama pada peristiwa
penggunaan tenaga baru.
2. Gangguan Tidur
Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap
mulai dari tahap terjaga sampai tidur lelap. Kebisingan bisa
menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur,
gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
motivasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan
dan umur manusia.
3. Gangguan Psikologis
Kebisingan bisa menimbulkan gangguan psikologis seperti
kejengkelan, kecemasan dan ketakutan. Tergantung pada intensitas,
frekuensi, perioda, saat dan lama kejadian, kompleksitas
spektrum/kegaduhan dan ketidakteraturan kebisingan.
4. Gangguan Produktifitas Kerja
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan
yang sedang dilakukan seseorang melalui gangguan psikologis dan
gangguan konsentrasi sehingga menurunkan produktifitas kerja.
5. Gangguan Mental Emosional
Gangguan ini berupa terganggunya kenyamanan hidup,
mudah marah dan menjadi lebih peka atau mudah tersinggung.
12 | P a g e
6. Gangguan Kesehatan
Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia
apabila manusia terpapar suara keras dalam suatu periode yang lama
dan terus menerus.
7. Gangguan Fisiologi
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap sistim
jantung dan peredaran darah melalui mekanisme hormonal yaitu
diproduksinya hormon adrenalin, dapat meningkatkan frekuensi
detak jantung dan tekanan darah. Kejadian ini termasuk gangguan
kardiovaskuler.
2.2.4 Radiasi
Dalam fisika, radiasi mendeskripsikan setiap proses di mana
energi bergerak melalui media atau melalui ruang, dan akhirnya diserap
oleh benda lain.
1. Radiasi ionisasi
Beberapa jenis radiasi memiliki energi yang cukup untuk
mengionisasi partikel. Secara umum, hal ini melibatkan sebuah
elektron yang 'terlempar' dari cangkang atom elektron, yang akan
memberikan muatan (positif). Hal ini sering mengganggu dalam
sistem biologi, dan dapat menyebabkan mutasi dan kanker.
Jenis radiasi umumnya terjadi di limbah radioaktif peluruhan
radioaktif dan sampah. Tiga jenis utama radiasi ditemukan oleh
Ernest Rutherford, Alfa, Beta, dan sinar gamma. radiasi tersebut
ditemukan melalui percobaan sederhana, Rutherford menggunakan
sumber radioaktif dan menemukan bahwa sinar menghasilkan
memukul tiga daerah yang berbeda. Salah satu dari mereka menjadi
positif, salah satu dari mereka bersikap netral, dan salah satu dari
mereka yang negatif. Dengan data ini, Rutherford menyimpulkan
radiasi yang terdiri dari tiga sinar. Beliau memberi nama yang
diambil dari tiga huruf pertama dari abjad Yunani yaitu alfa, beta,
dan gamma.
13 | P a g e
a. Radiasi alpha (α)
Peluruhan Alpha adalah jenis peluruhan radioaktif di mana inti
atom memancarkan partikel alpha, dan dengan demikian
mengubah (atau 'meluruh') menjadi atom dengan nomor massa 4
kurang dan nomor atom 2 kurang. Namun, karena massa partikel
yang tinggi sehingga memiliki sedikit energi dan jarak yang
rendah, partikel alfa dapat dihentikan dengan selembar kertas
(atau kulit).
b. Radiasi beta (β)
Peluruhan beta adalah jenis peluruhan radioaktif di mana partikel
beta (elektron atau positron) dipancarkan. Radiasi beta-minus
(β⁻) terdiri dari sebuah elektron yang penuh energi. radiasi ini
kurang terionisasi daripada alfa, tetapi lebih daripada sinar
gamma. Elektron seringkali dapat dihentikan dengan beberapa
sentimeter logam. radiasi ini terjadi ketika peluruhan neutron
menjadi proton dalam nukleus, melepaskan partikel beta dan
sebuah antineutrino.
Radiasi beta plus (β+) adalah emisi positron.
Jadi, tidak seperti β⁻, peluruhan β+ tidak dapat terjadi dalam
isolasi, karena memerlukan energi, massa neutron lebih besar
daripada massa proton. peluruhan β+ hanya dapat terjadi di dalam
nukleus ketika nilai energi yang mengikat dari nukleus induk
lebih kecil dari nukleus. Perbedaan antara energi ini masuk ke
dalam reaksi konversi proton menjadi neutron, positron dan
antineutrino, dan ke energi kinetik dari partikel-partikel
c. Radiasi gamma (γ)
Radiasi gamma atau sinar gamma adalah sebuah bentuk berenergi
dari radiasi elektromagnetik yang diproduksi oleh radioaktivitas
atau proses nuklir atau subatomik lainnya seperti penghancuran
elektron-positron. Radiasi gamma terdiri dari foton dengan
frekuensi lebih besar dari 1019 Hz. Radiasi gamma bukan
14 | P a g e
elektron atau neutron sehingga tidak dapat dihentikan hanya
dengan kertas atau udara, penyerapan sinar gamma lebih efektif
pada materi dengan nomor atom dan kepadatan yang tinggi. Bila
sinar gamma bergerak melewati sebuah materi maka penyerapan
radiasi gamma proporsional sesuai dengan ketebalan permukaan
materi tersebut.
2. Radiasi non-ionisasi
Radiasi non-ionisasi, sebaliknya, mengacu pada jenis radiasi
yang tidak membawa energi yang cukup per foton untuk
mengionisasi atom atau molekul. Ini terutama mengacu pada bentuk
energi yang lebih rendah dari radiasi elektromagnetik (yaitu,
gelombang radio, gelombang mikro, radiasi terahertz, cahaya
inframerah, dan cahaya yang tampak). Dampak dari bentuk radiasi
pada jaringan hidup hanya baru-baru ini telah dipelajari. Alih-alih
membentuk ion berenergi ketika melewati materi, radiasi
elektromagnetik memiliki energi yang cukup hanya untuk mengubah
rotasi, getaran atau elektronik konfigurasi valensi molekul dan atom.
Namun demikian, efek biologis yang berbeda diamati untuk
berbagai jenis radiasi non-ionisasi.
1. Radiasi Neutron
Radiasi Neutron adalah jenis radiasi non-ion yang terdiri dari
neutron bebas. Neutron ini bisa mengeluarkan selama baik
spontan atau induksi fisi nuklir, proses fusi nuklir, atau dari reaksi
nuklir lainnya. Ia tidak mengionisasi atom dengan cara yang sama
bahwa partikel bermuatan seperti proton dan elektron tidak
(menarik elektron), karena neutron tidak memiliki muatan.
Namun, neutron mudah bereaksi dengan inti atom dari berbagai
elemen, membuat isotop yang tidak stabil dan karena itu
mendorong radioaktivitas dalam materi yang sebelumnya non-
radioaktif. Proses ini dikenal sebagai aktivasi neutron.
2. Radiasi elektromagnetik
15 | P a g e
Radiasi elektromagnetik mengambil bentuk gelombang yang
menyebar dalam udara kosong atau dalam materi. Radiasi EM
memiliki komponen medan listrik dan magnetik yang berosilasi
pada fase saling tegak lurus dan ke arah propagasi energi. Radiasi
elektromagnetik diklasifikasikan ke dalam jenis menurut
frekuensi gelombang, jenis ini termasuk (dalam rangka
peningkatan frekuensi): gelombang radio, gelombang mikro,
radiasi terahertz, radiasi inframerah, cahaya yang terlihat, radiasi
ultraviolet, sinar-X dan sinar gamma. Dari jumlah tersebut,
gelombang radio memiliki panjang gelombang terpanjang dan
sinar gamma memiliki terpendek. Sebuah jendela kecil frekuensi,
yang disebut spektrum yang dapat dilihat atau cahaya, yang
dilihat dengan mata berbagai organisme, dengan variasi batas
spektrum sempit ini. EM radiasi membawa energi dan
momentum, yang dapat disampaikan ketika berinteraksi dengan
materi.
3. Cahaya
Cahaya adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang
yang terlihat oleh mata manusia (sekitar 400-700 nm), atau
sampai 380-750 nm. Lebih luas lagi, fisikawan menganggap
cahaya sebagai radiasi elektromagnetik dari semua panjang
gelombang, baik yang terlihat maupun tidak.
4. Radiasi termal
Radiasi termal adalah proses dimana permukaan benda
memancarkan energi panas dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. radiasi infra merah dari radiator rumah tangga
biasa atau pemanas listrik adalah contoh radiasi termal, seperti
panas dan cahaya yang dikeluarkan oleh sebuah bola lampu pijar
bercahaya. Radiasi termal dihasilkan ketika panas dari pergerakan
partikel bermuatan dalam atom diubah menjadi radiasi
elektromagnetik. Gelombang frekuensi yang dipancarkan dari
16 | P a g e
radiasi termal adalah distribusi probabilitas tergantung hanya
pada suhu, dan untuk benda hitam asli yang diberikan oleh hukum
radiasi Planck. hukum Wien memberikan frekuensi paling
mungkin dari radiasi yang dipancarkan, dan hukum Stefan-
Boltzmann memberikan intensitas panas.
Beberapa penyakit akibat radiasi:
1. Radiodermatitis
Radiodermatitis adalah peradangan kulit yang terjadi akibat
penyinaran local dengan dosis tinggi. Dimulai dengan tanda
kemerahan pada kulit yang terkena radiasi, kemudian diikuti oleh
masa tenang beberapa hari sampai 3 minggu baru kemudian muncul
gejala yang khas tergantung dari dosis yang diterima.
Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak
alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel
(cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi
hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat (delayed hypersensitivit),
umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada
kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan
kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat dengan
protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan
diproses oleh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya
dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan yang telah diproses
ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian
tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid,
sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi
17 | P a g e
sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini
dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen
(sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat
mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lembah
seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada
umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak
dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan
periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau
serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi,
umumnya berlangsung antara 24-48 jam (Djuanda A., 1993).
2. Katarak
Katarak terjadi pada penyinaran mata dengan dosis diatas 1,5
Gray (Gy), dengan masa tenang antara 5 – 10 tahun.
Patogenesis
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,
transparan, berbentuk kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi
yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona
sentral terdapat nukleuas, di perifer ada korteks, dan yang
mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan
bertambah usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat
kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di
anterior dan posterior nucleus. Opasitas pada kapsul posterior
merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak seperti
kristal salju pada jendela. Perubahan fisik dan Kimia dalam lensa
mengakibatkan hilangnya transparansi, perubahan pada serabut halus
multiple (zunula) yang memanjang daari badan silier ke sekitar
daerah di luar lensa Misalnya dapat menyebabkan penglihatan
mengalami distorsi. Perubahan Kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagulasi. Sehingga mengabutkan pandangan dengan
menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori
18 | P a g e
menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai
influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan
bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari
degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia
darn tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak
(Ilyas S, 2008).
3. Sterilitas (kemandulan)
Sterilitas dapat terjadi karena akibat penyinaran pada kelenjar
kelamin. Efek berupa pengurangan kesuburan sampai kemandulan.
Sel sperma yang muda lebih peka dari pada sel tua. Aktivitas
pembentukan sperma dapat mulai menurun pada dosis beberapa senti
Gray (cGy).
4. Sindrom Radiasi Akut
Sindrom Radiasi Akut dapat terjadi setelah penyinaran
seluruh tubuh dengan dosis lebih dari 1 Gy yang diterima secara
sekaligus dengan laju dosis yang cukup tinggi oleh radiasi yang
berdaya tembus besar. Gejala diawali dengan gejala tidak khas
seperti mual dan muntah, demam, rasa lelah, sakit kepala serta diare,
kemudian diikuti masa tenang selama 2 sampai 3 minggu. Pada masa
ini gejala mereda, setelah masa tenang lewat, maka timbul nyeri
perut, diare, perdarahan, anemia, infeksi bahkan kematian.
Patogenesis
Radiasi terserap ke organ dalam. Radiasi dari sinar X dan tindakan
medis seperti CT-scan terlalu rendah untuk menyebabkan seseorang
terkena sindrom radiasi akut. Seseorang dikatakan menderita
sindrom radiasi akut ketika dirinya terpapar radiasi selama beberapa
waktu. Bisa saja dalam hitungan menit. Gejala awal dapat dirasakan
beberapa menit hingga beberapa hari setelah seseorang terpapar
radiasi. Gejala tersebut dapat berupa muntah-muntah, diare, dan
mabuk atau pening. Gejala ini dapat berlangsung hingga hitungan
19 | P a g e
hari. Setelah gejala awal hilang, seseorang kembali bugar. Namun,
tak lama kemudian, orang tersebut akan menderita kembali. Bahkan,
kali ini lebih parah. Gejalanya dapat berupa kelelahan, demam,
kehilangan nafsu makan, muntah, dan diare. Tahap ini dapat
berlangsung selama beberapa bulan. Kerusakan pada kulit akibat
radiasi dapat timbul dalam hitungan jam. Hal ini dapat bertahan
hingga hitungan tahun, tergantung seberapa parah seseorang terpapar
radiasi. Gejalanya, kulit terasa perih dan bahkan terasa seperti
terbakar. Rambut pun dapat menjadi rontok akibat radiasi. Terpapar
radiasi dapat saja berujung pada kematian, tergantung tingkat
keparahannya. Biasanya, pada banyak kasus, kematian terjadi
beberapa bulan setelah seseorang terpapar radiasi. Kematian
diakibatkan rusaknya tulang sumsum, infeksi, atau pendarahan.
Seseorang yang selamat dari sindrom radiasi akut dapat terus
merasakan gejala hingga dua tahun setelah terpapar.
2.2.5 Trauma Mekanik
Trauma mekanik yang khas adalah fraktur tulang. Bila
seseorang mempertahankan dirinya terhadap suatu pukulan mungkin os.
Ulnaris akan patah, tulang radius mungkin patah apabila seseorang yang
jatuh menopang badannya dengan salah satu tangannya. Tanda-tanda
dari fraktur adalah:
Nyeri pada pergerakan
Posisi tungkai yang abnormal
Functio laesa (fungsi terganggu)
Penderita tidak dapat menggunakan bagian tubuhnya yang
terluka. mulailah dengan inspeksi. Tungkai yang patah akan
memperlihatkan posisi yang abnormal (dislokasi). Setelah beberapa saat
akan timbul pembengkakan (tumor) karena darah mengumpul disekitar
jaringan fraktur. Langkah berikutnya ialah meraba dan merasakan
tungkai yang sakit (palpasi). Tekanan yang ringan pada daerah yang
fraktur akan menyebabkan rasa sakit. Gejala ini tidak spesifik.
20 | P a g e
Sebelum zaman radiografi, gerakan yang abnormal disertai
krepitasi harus ditemukan. Sejak adanya foto rontgen, prosedur yang
menyakitkan ini tidak dibutuhkan lagi. Kombinasi gejala-gejala yang
tetap seperti yang kita temukan pada fraktur disebut suatu sindrom.
21 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil pembahasan makalah ini yaitu :
1. Agent fisik adalah agent tidak hidup bersifat fisik yang dapat
menyebabkan penyakit. Agent fisik terdiri dari suhu, kelembaban,
kebisingan, radiasi, tekanan, panas, dan trauma mekanik (pukulan,
tabrakan).
2. Macam-macam penyakit akibat agen fisik ada lima yaitu penyakit akibat
suhu, kelembapan, kebisingan, radiasi dan trauma mekanik. Penyakit-
penyakitnya yaitu demam, hipotermia, hipertermia, katarak, dll.
3.2 Saran
Disarankan kepada pembaca agar tidak mengambil sumber pengetahuan
hanya dari makalah ini karena masih banyak literatur lain yang lebih baik dan
makalah ini juga belum sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
22 | P a g e
Djuanda A. 1993. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Ilyas S. 2008. Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Mazida Zulfah, 2011. Patogenesis Demam (https://id.scribd.com/doc/89749243/PATOGENESIS-DEMAM). Diakses pada tanggal 26 Mei 2015, 05:03 WITA.
Meinander A, Thomas S. So¨derstro¨m, Kaunisto A. et.al. 2007. Fever-Like Hyperthermia Controls T Lymphocyte Persistence by Inducing Degradation of Cellular FLIPshort1. The Journal of Immunology, 178: 3944–53.
Nelson, Prof. Dr. dr. Samik Wahab, S.PA (k), Buku Ilmu Kesehatan Anak Vol.1 edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 1996.
Rice P, Martin E, Ju-Ren He, et.al Febrile-Range Hyperthermia Augments Neutrophil Accumulation and Enhances Lung Injury in Experimental Gram-Negative Bacterial Pneumonia. 2005. The Journal of Immunology, 174: 3676–85
Susanti, Ema. 2013. Patogenesis Hipotermia. (http://susantiema38.blogspot.com/2013/05/hipotermia.html). Diakses pada tanggal 25 Mei 2015, 17:33 WITA.
23 | P a g e