8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Teori Bekerjanya Hukum
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat
berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen
pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam
bidang penegakan hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung
secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum
tidak terlepas dari kehidupan manusia maka untuk membicarakan hukum
kita tidak dapat lepas membicarakanya dari kehidupan manusia.7
Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi masyarakat.
Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri
menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan
tujuan hukum sendiri adalah untuk menciptakan suatu kedamaian dalam
masyarakat.8
Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat
memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Sistem dalam
pengertian sederhana dapat diartikan sebagai susunan, kesatuan dari
bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain. Hukum sebagai
suatu sistem, Lawrence M Friedman mengemukakan adanya komponen-
komponen yang terkandung dalam hukum. Sistem hukum dalam
7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, 2010, Hal. 1 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,
Hal. 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen yakni struktur hukum,
substansi hukum dan kultur hukum yang berinteraksi.9
Struktur Hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum
beserta aparatnya yang mencakup kepolisian dengan para polisinya,
kejaksaan dengan para jaksanya, kantor pengacara dengan pengacaranya,
dan pengadilan dengan hakimnya. Substansi Hukum adalah keseluruhan
asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini,
cara berpikir, dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari
warga masyarakat.10
Substansi hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa
atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya
aturan yang ada dalam undang-undang. Struktur hukum disebut sebagai
sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan dengan baik.
Kultur hukum merupakan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum erat
kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat
kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta kultur hukum yang baik
yang dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum. Baik
substansi hukum, struktur hukum, maupun kultur hukum ini terkait satu
sama lain. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi
perundangundangannya belaka, melainkan aktivitas birokrasi
pelaksananya.11
9 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh M. Khozim,
Nusa Media, Bandung, 2009, Hal. 17. 10
Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume 1, Pemahaman Awal,
Kencana, Jakarta, 2009, Hal. 204. 11
Ibid, Hal. 97.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2. Teori Feminisme
Positivisme Hukum mengajarkan bahwa hukum itu netral atau
obyektif. Asumsi netralitas hukum bukan lahir dari ruang kosong
melainkan mempunyai akar ideologi tertentu, sebagaimana dikritisi
pemikir Feminis, Margot Stubbs sebagai berikut:
Positivism in law is structurally connected to a deeper set of
presuppositions about society that are expressed under the rubric
of “liberalism”. Liberal philosophy embraces legal positivism in
the way it presents the legal system as neutral, independent and
apolitical mechanism for resolving social tension. This
presentation of law is given its political expression in the notion of
the “Rule of Law”--- that is, the legal doctrine that all people are
equal under the law and can expect from it a neutral and unbiased
determination of their rights.12
(terjemahan bebasnya sebagai berikut: Positivisme hukum
terhubung secara struktural ke sebuah perangkat yang lebih dalam
dari pengandaian tentang masyarakat yang dinyatakan dalam rubrik
"liberalisme". Filsafat Liberal mengikuti ajaran positivism hukum
dalam cara menyajikan sistem hukum sebagai mekanisme netral,
independen dan apolitis untuk menyelesaikan ketegangan sosial.
Presentasi hukum adalah ekspresi politik yang ada dalam
pengertian tentang “Rule of Law” --- yaitu, doktrin hukum bahwa
semua orang adalah sama di mata hukum dan dapat mengharapkan
dari sebuah tekad netral dan tidak bias penentuan hak-hak mereka”.
Kaum feminis mengkritik hukum yang bersifat phallocentrisme,
yakni suatu pemikiran yang menjadikan laki-laki sebagai pusat tolok ukur
dalam memandang suatu hal. Dalam hukum pidana, misalnya, perempuan
hanya dilihat sebagai obyek seksual. Dalam pasal 285 KUHPidana,
misalnya, perkosaan dirumuskan : ”Barang siapa dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun”.13
12
Margot Tubbs, Feminism and Legal Positivism dalam D. Kelly Eisberg (ed.), Feminist Legal
Theory : Foundations, Temple University Press, Philadelphia, 1993, Hal. 456-457. 13
Ibid, Hal. 136.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain:
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa perempuan yang
bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Menurut
Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 5 Februari 1912
yang di maksud dengan “bersetubuh” yaitu tindakan memasukkan
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya
menimbulkan menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana
kemaluan laki-laki itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan
perempuan.14
Pandangan netralitas atau obyektivitas hukum hanya akan
mengaburkan dan membenarkan kenyataan marginalisasi kaum perempuan
dan berbagai kelompok minoritas lainnya, karena itu, Margot Tubbs
menyarankan memahami hukum sebagai suatu tidak otonom dan tidak
netral:
Feminist legal inquiry needs, in short, a different starting point if it
is to understand the specific way in which law mediates class
relations, specifically the class relations of sex. From a feminist
perspective, “the law” must be understood NOT as autonomous
from society, but as being a form of practice through which
existing sex and economic class relations are reproduced.15
(terjemahan bebasnya: Singkatnya, penelitian feminisme hukum
membutuhkan titik awal yang berbeda jika ingin memahami cara
tertentu di mana hukum memediasi hubungan kelas, khususnya
hubungannya dengan relasi gender. Berangkat dari perspektif
feminis, “hukum” harus dipahami BUKAN sebagai otonom (yang
terpisah) dari masyarakat, tetapi sebagai bentuk praktek di mana
relasi antar seks dan kelas ekonomi direproduksi”.
Setelah membuktikan ilusi netralitas dan obyektivitas hukum, para
pemikir feminis mengusulkan hukum yang berpihak. Pemikir feminis,
Patricia A. Cain, misalnya, mengatakan: “to be classified as feminist, legal
scholarship should be based on women‟s experience” (untuk dapat
14
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1996, Hal. 169 15
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
diklasifikasikan sebagai feminis, pemikiran hukum harus didasarkan pada
pengalaman perempuan”.16
Anggapan tentang ketidakmungkinan netralitas hukum dan
perlunya keberpihakan, mengantar para feminis pada perdebatan yang
panjang. Dalam peta feminisme dengan resiko terlalu menggeneralisasi
feminisme “gelombang pertama” memperjuangkan hak pilih bagi
perempuan, hak pendidikan dan pekerjaan.
Dalam bidang hukum, kaum feminis mempertanyakan, bagaimana
kesetaraan gender dapat diwujudkan dalam hukum? Jika menurut
Positivisme Hukum, hukum yang baik adalah yang netral dan obyektif,
sedangkan bagi para feminis anggapan seperti ini sebenarnya malah
melegitimasikan ketidaksetaraan gender, orientasi seksual, etnisitas, dan
kelas yang ada dalam masyarakat. Pada akhir tahun 1960-an dan
khususnya selama tahun 1970-an, di Amerika dan Eropa para feminis
mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk
teori hukum berprespektif feminis (feminist jurisprudence).17
Perubahan utama dalam teori feminis “gelombang kedua” sejak
1970 merupakan langkah dari memperkecil perbedaan antara perempuan
dan laki-laki untuk merayakan suatu perspektif yang berpusat pada
perempuan. Feminisme “gelombang kedua” saat ini berkomitmen untuk
memperluas secara radikal egalitarianisme yang didasarkan pada
pemahaman yang canggih terhadap ketertindasan karena pembagian
gender yang dipaksakan. Feminisme “gelombang kedua” merupakan
proyek transformasi yang radikal dan bermaksud menciptakan sebuah
dunia yang terfeminisasi.18
Para pemikir Feminis-Liberal percaya bahwa kesetaraan gender
dapat diwujudkan apabila kedudukan perempuan setara dengan pria
16
Patricia A. Cain,”Feminist Jurisprudence: Grounding the Theories” dalam D. Kelly Weisberg
(ed.), Feminist Legal Theory: Foundation, Temple University Press, Philadelphia , 1993, Hal.
359. 17
Ibid, Hal. 138. 18
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dihadapan hukum. Karena itu, perempuan harus mempunyai hak sama
sebagaimana pria dalam hal pekerjaan, pendidikan, politik, dan perlakuan
sama lainnya. Melalui perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan,
maka masalah diskriminasi pekerjaan domestik dan publik akan diatasi.19
Feminisme gelombang kedua yang dipahat oleh kalangan
liberalism menghadapi masalah praksis. Menyamakan hak-hak hukum
pekerja perempuan dengan laki-laki akan membuat pekerja perempuan
terancam diberhentikan atau memberhentikan diri karena haid,
mengandung, dan melahirkan. Kemampuan perempuan untuk haid, hamil,
melahirkan, dan menyusui membuat perempuan harus diberi hak yang
berbeda dari pria. Tak bisa dihindari, perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki itulah yang kemudian mendorong gerakan Feminisme
(dengan berbagai alirannya) memperjuangkan hak perempuan atas cuti
haid, melahirkan dan menyusui. Kesetaraan yang diidentikan dengan
kesamaan perempuan dan laki-laki terbukti keliru, bahkan justru menjadi
bumerang bagi kaum perempuan sendiri. Ide Feminisme-Liberal tentang
perlakuan setara dianggap tidak memadai karena masih mengandaikan
tempat bekerja netral, padahal sudah ditata sedemikian rupa sehingga lebih
menguntungkan pekerja laki-laki. Pendukung pemikiran “perlakuan
istimewa” kemudian mengoreksi kekeliruan ide perlakuan setara. Para
pendukung “perlakuan istimewa” (di Indonesia sering disebut “affirmative
action”) menganggap haid dan melahirkan sebagai bukti adanya perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, hak pekerja laki-laki
dan pekerja perempuan tidak mungkin sama. Cuti haid dan melahirkan
adalah bentuk pemberian hak istimewa (perlakuan istimewa).20
Posfeminisme memecah konsensus Feminisme. Posfeminisme
tidak antifeminis, melainkan kritik terhadap epistemologi feminisme yang
terjebak dalam esensialisme. Kritik dilontarkan pada asumsi feminisme
19
Ibid. 20
Linda J. Kreiger and Patricia N. Cooney, The Miller-Wohl Controversy: Equal Treatment,
Positive Action and the Meaning of Women‟s Equality, dalam Donny Danardono dalam
Perempuan dan Hukum diedit oleh Sulistyowati, Yayasan Obor, 2006, Hal. 10-12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
yang bercorak monovokal dan memukul rata penyebab penindasan
perempuan sehingga strategi pembebasan yang ditawarkan kurang-lebih
sama. Sebaliknya, posfeminisme ingin menggeser konsep debat
“persamaan” menjadi “perbedaan”. Pertanyaan yang diajukan
posfeminisme kepada klaim feminisme adalah apakah setiap perempuan
memiliki pengalaman yang sama sehingga bisa diuniversalkan?21
3. Pengertian aborsi
Dalam Blaks‟s Law Dictionary, kata abortion yang diterjemahkan
menjadi aborsi dalam bahasa Indonesia mengandung arti: “The
spontaneous or articially induced expulsion of an embrio or featus. As
used in illegal context refers to induced abortion”.22
Dengan demikian,
menurut Blaks‟s Law Dictionary, keguguran dengan keluarnya embrio
atau fetus tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga
disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.23
Menurut World Health Organization (WHO) abortus adalah berakhirnya
suatu kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya.24
Ensiklopedi Indonesia memberikan penjelasan bahwa aborsi
diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu
atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.25
Untuk lebih memperjelas
maka berikut ini akan penulis kemukakan definisi para ahli tentang aborsi,
yaitu:26
a. Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana
fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup
21
Aan Brooks, Postfeminism, Cultural Theory and Cultural Forms, Routledge, London, 1997. 22
Henry Campbell Black‟s, Black‟s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min West Publising
Co, Hal. 1. 23
Suryono Ekototama, dkk, Aborsi Prookatus bagi Korban Perkosaan Perspektif iktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Admajaya, Yogyakarta, 2001, Hal. 31. 24
Hendrik, Etika & Hukum Kesehatan, (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2015), Hal. 94. 25
Ensiklopedi Indonesia, Aborsi, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1998, Hal. 22. 26
Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta, 1998, Hal. 209.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400-1000 gr atau
kehamilan kurangdari 28 minggu;
b. Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28
minggu, yaitu fetus belum viable by llaous;
c. Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16
dimana plasentasi belum selesai.
Dalam praktik kedokteran, dokter sering menjumpai dan sadar
mengenai ketidakpastian serta keterbatasan ilmu kedokteran. Di sisi lain,
dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berusaha
mengurangi terjadinya kesalahan. Pada saat itu baik posisi dokter maupun
pasien berada dalam keadaan rentan. Posisi pasien jelas karena kesalahan
bisa berdampak fatal bagi kesehatan bahkan bagi kehidupannya. Dari sisi
dokter, juga rawan karena selain perasaan bersalah secara pribadi, juga
secara hukum dapat dipersalahkan karena dianggap lalai dalam melakukan
kewajibannya.
Meskipun dalam Bab III Angka 11 Keputusan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan
Disiplin Profesi Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia menyatakan
bahwa penghentian kehamilan diperbolehkan dengan memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi
medik yang mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang
mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang
dokter.
Frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung
secara akurat karena banyaknya kasus aborsi buatan/sengaja yang tidak
dilaporkan. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2 juta kasus
aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Secara keseluruhan, di seluruh dunia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
aborsi adalah penyebab kematian yang paling utama dibandingkan kanker
maupun penyakit jantung.
Tindakan aborsi yang terjadi oleh perempuan hamil dapat
berlangsung dengan cara:
a. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun);
b. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja);
c. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena
terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi).27
Tindakan abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu:
a. Abortus spontaneous, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan
oleh faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan
macam-macam aborsi spontan, antara lain:28
1) Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil
konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong.
2) Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian
dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci
dua dan plasenta
3) Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi
dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan
memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica
4) Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap
berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau
lebih.
5) Abortus habitulis atau keguguran berulang adalah keadaan dimana
penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih.
27
S. Ratna Julia dan B. Rini Beriyanti, “Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban Perkosaan
yang Melakukan Abortus Provokatus”, Terdapat dalam Jurnal Dinamika Sosbud Vol 12, No. 2. 28
Muhdiono. “Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi‟i dan Hanafi)”.
Terdapat dalam Skripsi. UIN, Yogyakarta, 2001, Hal. 211.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
6) Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai
infeksi genital.
b. Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai
obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi provocatus merupakan istilah lain
yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini
adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi
kesempatan untuk bertumbuh.
Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini
terbagi menjadi dua yaitu:
1) Abortus provocatus medicinalis. Adalah aborsi yang dilakukan
oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi
tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus
medisinalis/artificialis/ therapeuticus adalah aborsi yang dilakukan
dengan disertai indikasi medis. Di Indonesia yang dimaksud
dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.
2) Abortus provocatus criminalis. Adalah aborsi yang terjadi oleh
karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan
indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka
melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar
perkawinan.
Pada dasarnya abortus provocatus merupakan aborsi yang
dilakukan dengan unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau
tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya.
Menurut kebiasaan, bayi dalam kandungan seorang wanita hamil akan
lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10 hari. Hanya dalan hal tertentu
saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia
kandungan baru mencapai 7 atau 8 bulan. Perbuatan aborsi biasanya
dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan. Menurut pengertian
kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi (baik
keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang telah
dibuahi (blastosit) di rahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28
minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena sebelum 28
minggu, janin belum dapat hidup di luar rahim.29
Beberapa akibat yang dapat timbul akibat aborsi tidak aman/aborsi
ilegal, yaitu:30
a. Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan
neurologis/syaraf di kemudian hari, akibat lanjut pendarahan yang
terus-menerus adalah risiko kematian yang tinggi;
b. Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini di
kemudian hari dapat menyebabkan risiko kemandulan;
c. Risiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan
dinding rahim akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan
karena rahim yang robek harus diangkat seluruhnya;
d. Terjadinya fistula genital traumatic, yaitu timbulnya suatu saluran
yang secara normal seharusnya tidak ada, yaitu saluran antara genital
dan saluran kencing atau saluran pencernaan.
Risiko komplikasi atau kematian setelah aborsi legal sangat kecil
apabila dibandingkan dengan aborsi ilegal. Beberapa penyebab utama
risiko tersebut antara lain : Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi
yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih
tertahan di dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segera ditangani akan terjadi
infeksi secara menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang
merupakan komplikasi aborsi ilegal yang fatal. Kedua, bleeding
(pendarahan). Hal ini disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, atau
cedera organ panggul atau usus. Ketiga, efek samping jangka panjang
29
Lilien Eka Chandra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi Sama Dengan Kriminal dalam Lifestyle
(Jakarta : Kompas Gramedia, 2006), Hal. 10. 30
Titik Triwulan Titik, Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak
Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dalam Jurnal Fakultas Syariah (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, Tanpa
Tahun), Hal. 191
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
berupa sumbatan atau kerusakan permanen di tuba fallopi (saluran telur)
yang menyebabkan kemandulan.31
4. Tindakan Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 61
Tahun 2014
Mengenai tindakan aborsi ini, peraturan perundang-undangan di
Indonesia pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang
ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam
tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan
yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat
perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya, UU No. 36
Tahun 2009 dan PP No. 61 Tahun 2014 membuka pengecualian untuk
aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan.
Pasal 72 menjadi landasan yuridis bahwa setiap orang berhak
menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman,
serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah
dan menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi,
paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak
merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
Namun jika seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual
yaitu menjadi korban perkosaan dan kemudian berakibat kehamilan pada
dirinya, maka akan mengancam kesehatan ibu. Yang dimaksud dengan
mengancam kesehatan ibu merupakan suatu keadaan fisik dan/atau mental
yang apabila kehamilan dilanjutkan akan menurunkan kondisi kesehatan
ibu, mengancam nyawa atau mengakibatkan gangguan mental berat
(Penjelasan Umum Pasal 32 PP No. 61 Tahun 2014). Akibat ancaman
terhadap kesehatan ibu korban perkosaan terutama mengakibatkan
31
Erica Royston, Preventing Maternal Deaths, Terj. R.F. Maulany, Pencegahan Kematian Ibu
Hamil, (Jakarta : Binaputra Aksara, 2004), Hal. 122-123.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
gangguan mental pasca perkosaan, seringkali korban perkosaan
memutuskan untuk melakukan aborsi atas kehamilannya.
Secara principal dan normatif, Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009
menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun,
terdapat pengecualian tindakan aborsi tersebut yaitu:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
Tindakan Aborsi berdasarkan kriteria diatas hanya dapat dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 26 Ayat (1) PP No. 61 Tahun 2014 menjelaskan bahwa setiap
perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman,
tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Ayat (2) bahwa kehidupan seksual yang
sehat meliputi kehidupan seksual yang:
a. terbebas dari infeksi menular seksual;
b. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;
c. terbebas dari kekerasan fisik dan mental;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
d. mampu mengatur kehamilan; dan
e. sesuai dengan etika dan moralitas.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Penjelasan Umum
Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014). Korban kekerasan seksual harus
ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum,
keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 29 PP No. 61 Tahun 2014.
Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan meliputi:
a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban;
b. upaya forensik untuk pembuktian; dan
c. identifikasi pelaku.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap korban kekerasan
seksual antara lain:
a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang
b. pengobatan luka dan/atau cedera;
c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual;
d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;
e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan
f. rehabilitasi psikososial.
Sebelumnya telah dijabarkan ketentuan Pasal 75 UU No. 36 Tahun
2009 bahwa pada prinsipnya tindakan aborsi tersebut dilarang, namun
terdapat beberapa pengecualian yang sejalan dengan pengaturan dalam
Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 ini bahwa tindakan aborsi hanya dapat
dilakukan berdasarkan: (a) indikasi kedaruratan medis; atau (b) kehamilan
akibat perkosaan.
Secara normatif, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh)
hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Selain itu, Pasal 34 Ayat (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
PP No. 61 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut bahwa kehamilan akibat
perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan. Dapat ditafsirkan secara argumentatum
a contrario bahwa perkosaan merupakan suatu perbuatan kekerasan
seksual yang dialami oleh seorang perempuan karena telah melakukan
hubungan seksual tanpa adanya persetujuan terutama dari pihak
perempuan.
Untuk membuktikan bahwa kehamilan yang dialami oleh seorang
perempuan tersebut merupakan kehamilan akibat perkosaan, maka harus
dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh
surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan.
Dalam Pasal 35 PP No. 61 Tahun 2014, setelah pembuktian
dilakukan, maka secara normatif prosedur penyelenggaraan aborsi dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung
jawab.
b. Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab meliputi:
1) dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
2) dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat
yang ditetapkan oleh Menteri;
3) atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang
bersangkutan;
4) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
5) tidak diskriminatif; dan
6) tidak mengutamakan imbalan materi.
c. Dalam hal perempuan hamil tidak dapat memberikan persetujuan,
persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
d. Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan
untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai
aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi,
korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama
masa kehamilan.
e. Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dapat
diasuh oleh keluarga.
f. Dalam hal keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari
korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan
provinsi.
h. Laporan tersebut dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan.
5. Tindakan Aborsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71
tahun 2014 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi
Tenaga Kesehatan dan Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dalam Tindakan Aborsi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi
dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah
Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi, Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan
Menteri Kesehatan (PERMENKES Nomor 71 Tahun 2014) sebagai
peraturan pelaksana yang lebih bersifat teknis. PERMENKES Nomor 71
Tahun 2014 ini mengatur tentang tata cara pengenaan sanksi administratif
bagi tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
dalam tindakan aborsi dan pelayanan kesehatan reproduksi dengan
bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Dalam PERMENKES Nomor 71 Tahun 2014, pasal-pasal yang
memuat pengaturan tindakan aborsi adalah :
a. Pasal 2 Ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang :
1) Melakukan tindakan aborsi yang bukan berdasarkan :
a) Indikasi kedaruratan medis; atau
2) Kehamilan akibat perkosaan.
b) Melakukan tindakan aborsi akibat perkosaan apabila usia
kehamilan lebih dari 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari
pertama haid terakhir;
c) Melakukan tindakan aborsi yang tidak aman, bermutu, dan
bertanggung jawab.
b. Pasal 2 Ayat (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), bagi dokter yang melakukan tindakan aborsi harus mendapatkan
pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
c. Pasal 2 Ayat (3) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan
merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang
memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
d. Pasal 2 Ayat (4) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak
mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berasal
dari anggota tim kelayakan aborsi.
e. Pasal 3 Ayat (1) Setiap Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan penyelenggara aborsi dan pelayanan kesehatan reproduksi
dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah, dilarang :
1) Melakukan tindakan aborsi yang bukan berdasarkan :
a) Indikasi medis; atau
b) Kehamilan akibat perkosaan
2) Melakukan tindakan aborsi akibat perkosaan apabila usia
kehamilan lebih dari 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari
pertama haid terakhir;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) Melakukan tindakan aborsi yang tidak aman, bermutu, dan
bertanggung jawab.
f. Pasal 3 Ayat (2) Setiap Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib :
1) Melaporkan dan mencatat pelaksanaan aborsi dan pemberian
pelayanan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara
alamiah kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
g. Pasal 4 Ayat (1) Tenaga Kesehatan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai sanksi administratif,
berupa :
1) Teguran tertulis; dan/atau
2) Pencabutan izin tetap.
h. Pasal 4 Ayat (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai
sanksi administratif, berupa :
1) Teguran tertulis;
2) Denda administratif;
3) Pencabutan izin sementara; dan/atau
4) Pencabutan izin tetap.
i. Pasal 4 Ayat (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan (2) diberikan oleh :
1) Menteri;
2) Pemerintah Daerah Provinsi; dan
3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; sesuai dengan tugas dan
kewenangan masing-masing.
j. Pasal 4 Ayat (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang diberikan oleh Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak menghapus sanksi pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
6. Tindakan Aborsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3
Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan
Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat
Perkosaan
Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan
Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan
(PERMENKES Nomor 3 Tahun 2016) sebagai peraturan pelaksana dari
PP No. 61 Tahun 2014 PERMENKES Nomor 3 Tahun 2016 ini
lebih bersifat teknis mengenai pengaturan penyelenggaraan pelatihan bagi
dokter pelaksana tindakan aborsi dan penyelenggaraan pelayanan aborsi di
lini lapangan. Adapun pasal-pasal yang memuat pengaturan tersebut
adalah :
a. Pasal 2
Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi
Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan bertujuan
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam dalam
rangka pemberian pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab.
b. Pasal 3 Ayat (1) Penyelenggaraan pelatihan harus terakreditasi oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
c. Pasal 3 Ayat (2) Akreditasi penyelenggaraan pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi akreditasi :
1) Kurikulum dan modul;
2) Penyelenggara;
3) Tenaga Pelatih/Fasilitator;
4) Peserta Pelatihan; dan
5) Tempat penyelenggaraan.
d. Pasal 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Penyelenggara Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah bersama dengan organisasi profesi.
e. Pasal 8 Ayat (1) Peserta Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (2) huruf (d) hanya diikuti oleh dokter yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Pasal 8 Ayat (2) Penetapan dokter yang mengikuti pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada organisasi
profesi setempat untuk diketahui.
g. Pasal 12 Ayat (1) Pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu,
dan bertanggung jawab.
h. Pasal 12 Ayat (2) Pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab meliputi :
1) Dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional;
2) Atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang
bersangkutan;
3) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
4) Tidak diskriminatif;
5) Tidak mengutamakan imbalan materi.
i. (3) Dalam hal izin suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
(c) tidak dapat dipenuhi, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga
perempuan hamil yang bersangkutan.
j. Pasal 13 Ayat (1) Pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan
bertanggung jawab harus diselenggarakan di fasiilitas pelayanan
kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
k. Pasal 13 Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
1) Puskesmas;
2) Klinik Pratama;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
3) Klinik Utama atau yang setara; dan
4) Rumah Sakit
l. Pasal 13 Ayat (3) Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf (a) merupakan Puskesmas mampu Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergensi Dasar (PONED) yang memiliki dokter yang telah
mengikuti pelatihan.
m. Pasal 13 Ayat (4) Klinik Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf (b) merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar yang memiliki dokter yang telah mengikuti pelatihan.
n. Pasal 13 Ayat (5) Klinik Utama atau yang setara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf (c) merupakan klinik yang
menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik obstetri dan
ginekologi atau pelayanan medik dasar dan spesialistik obstetri dan
ginekologi, yang memiliki dokter obstetric dan ginekologi yang telah
mengikuti pelatihan.
o. Pasal 13 Ayat (6) Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf (d) harus memiliki dokter spesialis obstetric dan ginekologi yang
telah mengikuti pelatihan.
p. Pasal 14 Ayat (1) Menteri dalam menetapkan fasilitas pelayanan
kesehatan penyelenggara pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan
medis dan kehamilan akibat perkosaan dapat mendelegasikan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
q. Pasal 14 Ayat (2) Untuk mendapatkan penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus
mengajukan permohonan penetapan setelah memenuhi persyaratan :
1) Memiliki izin operasional fasilitas pelayanan kesehatan yang masih
berlaku; dan
2) Memiliki dokter yang memiliki sertifikat pelatihan.
r. Pasal 15 Ayat (1) Dokter yang telah memiliki sertifikat pelatihan dapat
menjadi anggota tim kelayakan aborsi atau pemberi pelayanan aborsi
atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
s. Pasal 15 Ayat (2) Dokter yang menjadi anggota tim kelayakan aborsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melakukan pelayanan
aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
pada pasien yang sama.
t. Pasal 15 Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlakuk pada daerah tertentu yang jumlah dokternya tidak
mencukupi.
u. Pasal 16 Ayat (1) Tim kelayakan aborsi dibentuk di setiap fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan untuk memberikan
pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan.
v. Pasal 16 Ayat (2) Tim kelayakan aborsi di rumah sakit dan klinik
utama atau yang setara ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit atau
pimpinan klinik.
w. Pasal 16 Ayat (3) Tim kelayakan aborsi di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
x. Pasal 16 Ayat (4) Tim kelayakan aborsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diketuai oleh dokter yang memiliki sertifikat pelatihan.
y. Pasal 16 Ayat (5) Tim kelayakan aborsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat ad hoc.
z. Pasal 17 Ayat (1) Tim kelayakan aborsi bertugas menentukan adanya
indikasi kedaruratan medis.
aa. Pasal 17 Ayat (2) Dalam hal terdapat rujukan dari dokter adanya
kondisi medis tertentu pada kehamilan akibat perkosaan, tim kelayakan
aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
pemeriksaan.
bb. Pasal 17 Ayat (3) Hasil pemeriksaan tim kelayakan aborsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa surat keterangan usia
kehamilan dan/atau kelayakan aborsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
cc. Pasal 17 Ayat (4) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dibuktikan dengan :
1) Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang
dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
2) Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya
dugaan perkosaan.
dd. Pasal 18, dalam hal klinik utama atau yang setara belum memiliki tim
kelayakan aborsi, penentuan adanya indikasi kedaruratan medis
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dibentuk oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
ee. Pasal 19 Ayat (1) Tindakan aborsi atas atas indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling pratindakan dan diakhiri dengan konseling pascatindakan
yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang.
ff. Pasal 19 Ayat (2) Kompetensi konselor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperoleh melalui pendidikan formal atau pelatihan.
gg. Pasal 19 Ayat (3) Dalam hal hasil konseling pratindakan dinyatakan
ibu hamil atau korban perkosaan telah siap menjalani tindakan,
konselor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan surat
keterangan konseling kepada dokter terlatih yang akan melakukan
tindakan.
hh. Pasal 19 Ayat (4) Dalam hal setelah konseling pratindakan korban
perkosaan memutuskan untuk membatalakan tindakan aborsi, konselor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pendampingan.
ii. Pasal 20 Ayat (1) Pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis
dilakukan setelah ibu hamil memiliki surat keterangan dari tim
kelayakan aborsi dan surat keterangan konseling dari konselor.
jj. Pasal 20 Ayat (2) Pelayanan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan
dilakukan setelah korban perkosaan memililiki surat bukti kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Psal 17 ayat (4) dan
surat keterangan konseling.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kk. Pasal 21 Ayat (1) Dokter terlatih yang melakukan pelayanan aborsi
atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus didukung oleh
sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan yang memadai.
ll. Pasal 21 Ayat (2) Dalam hal sarana, prasarana, dan peralatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memadai, rujukan harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mm. Pasal 22 Ayat (1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggakan pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan.
nn. Pasal 22 Ayat (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan secara berkala paling sedikit 6 (enam) bulan sekali kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
oo. Pasal 22 Ayat (3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan kompilasi laporan dan
menyampaikan hasil kompilasi laporan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi.
pp. Pasal 22 Ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melakukan kompilasi laporan dan
menyampaikan hasil kompilasi laporan kepada Menteri melalui
Direktur Jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pelayanan kesehatan dengan tembusan ketua organisasi profesi
setempat secara berkala paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
7. Tindak Pidana Perkosaan
World Health Organization (WHO) mengartikan perkosaan sebagai
“penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota
tubuh lain atau suatu benda dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-
fisik. Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual yang
dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang
koersif.32
P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat, “perkosaan
adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seseorang wanita untuk melakukan persetubuhan di
luar ikatan perkawinan dengan dirinya”. Bagi Lamintang dan Djisman
Samosir, perkosaan harus mengandung (memenuhi) sejumlah unsur, 1)
ada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, 2) memaksa seorang
wanita untuk melakukan hubungan biologis (seksual/persetubuhan), 3)
persetubuhan yang dilakukan harus di luar ikatan perkawinan. Ketiga
unsur itu menunjukkan bahwa dalam kasus perkosaan harus bisa
dibuktikan mengenai adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan
(seperti diancam hendak dibunuh, dilukai atau dirampas hak-hak asasi
lainnya). Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan
atau menjadi bagian dari perbuatan yang targetnya memperlancar
terjadinya persetubuhan. Selain itu, kekerasan atau ancaman kekerasan
sehubungan dengan persetubuhan (pemaksaan hubungan seksual) dalam
ikatan perkawinan tidak disebut sebagai kejahatan perkosaan. Artinya
rumusan itu tidak memasukkan istilah “marital rape” (perkosaan dalam
ikatan perkawinan) di dalamnya.33
Mengenai macam-macam perkosaan, Kriminolog Mulyana W.
Kusuma menyebutkan sebagai berikut :34
1) Sadistic Rape, yaitu perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas
dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan
telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan
32
Siska Lis Sulistiani, Kejahatan & Penyimpangan Seksual dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif Indonesia, Cetakan Pertama (Bandung : Nuansa Aulia, 2016), Hal. 91. 33
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Cetakan Pertama (Bandung : Refika Aditama, 2001),
Hal. 41-42 34
Iwan Aflanie, Nila Nirmalasari, dan Muhamad Hendy Arizal, Ilmu Kedokteran Forensik &
Medikolegal, Cetakan Pertama (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), Hal. 46-47.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat
kelamin dan tubuh korban.
2) Angea Rape, yaitu penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas
menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram
dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan
objek terhadap siapa pelaku yang meproyeksikan pemecahan atas
frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3) Dononation Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku
mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.
Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban,
namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
4) Seductive Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi
yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan bahwa keintiman harus dibatasi tidak sampai
sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan
membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa
bersalah yang menyangkut seks.
5) Victim Precipitatied Rape, yaitu perkosaan tyang terjadi (berlangsung)
dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6) Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa pada
setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh
laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan
posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.
Misalnya pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya,
sedangkan pembantunya tidak mengadukan kasusnya ini kepada pihak
yang berwajib.
Hukum di Indonesia, perkosaan termasuk sebagai tindak pidana,
karena perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, baik
unsur formil maupun unsur materiil. Perkosaan dianggap oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan karena merampas hak
asasi seseorang dan menimbulkan trauma kepada korbannya, selain itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
perbuatan perkosaan dilarang oleh hukum sebagaimana diatur di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana
perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul Kejahatan terhadap
kesusilaan yaitu dalam Pasal 285 yang menyatakan :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”.
Dari pasal tersebut untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana
perkosaan antara lain :
a. Bahwa korban perkosaan merupakan seorang wanita;
b. Persetubuhan yang dilakukan harus diluar perkawinan;
c. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal
tersebut menggambarkan bahwa tidak adanya persetujuan dari pihak
korban mengenai tindakan yang dilakukan oleh pelaku.
Black's Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai
berikut :
“...unlawfull sexual intercouse with a female without her consent, The
unlawfull camal knowledge of a woman by a man forcibly and against
her will. The act of sexual intercouse commited by a man with a
woman not his wife and without her consent, committed when the
woman's resistance is overcome by force of fear, of under prohibitive
conditions...”.35
(...hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang
perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan
hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki
dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya.
Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya,
dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan
kekuatan dan ketakutan, atau dibawah keadaan penghalang...)
35
Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, IND.HILL-CO, Jakarta, 1997, Hal.17.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Menurut Steven Box pengertian perkosaan adalah rape constitute a
particular act of sexual access, namely the penis penetratting the vagina
without consent of the female concerned36
, yang artinya perkosaan
merupakan sebuah fakta dari hubungan seksual, yaitu penis penetrasi ke
dalam vagina tanpa persetujuan dari perempuan.
Wirdjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkosaan adalah
seseorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya
untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat
melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.37
Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan
sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki
terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum
yang berlaku melanggar.38
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian tesis Magister Hukum Universitas Lampung tahun 2015 yang
berjudul Politik Hukum Legalisasi Aborsi Akibat Perkosaan. Penelitian
tersebut ditulis oleh Ardo Gunata. Dalam tulisannya dapat disimpulkan
bahwa : (1) Politik hukum legalisasi aborsi akibat perkosaan didasarkan
pada upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum kepada perempuan korban perkosaan untuk memilih aborsi sebagai
tindakan yang dianggap tepat guna mencegah terjadinya kelahiran anak
yang tidak diharapkannya dengan pertimbangan psikologis dan
pertolongan medis yang sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan.
(2) Implikasi legalisasi aborsi dengan KUHP adalah pelaku aborsi tidak
dipidana dan tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana,
karena adanya unsur pemaaf dan unsur pembenar baginya dalam
36
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 71. 37
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986,
Hal. 117. 38
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1997, Hal. 25.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menggugurkan janinnya tersebut dan berlakunya asas lex specialis derogat
legi generali, yaitu aturan yang bersifat khusus menghapuskan aturan yang
bersifat umum.
2. Penelitian Jurnal Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 Volume 8, No.
6, Oktober 2014 yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Dalam Kandungan dari Legalisasi Aborsi Berdasarkan PP No. 61 Tahun
2014. Penelitian tersebut ditulis oleh Novita Listyaningrum. Dalam
tulisannya dapat disimpulkan bahwa : (1) legalisasi aborsi harus dilakukan
berdasarkan ketentuan PP No. 61 Tahun 2014, seperti legalisasi aborsi
dapat dilakukan pada saat usia kehamilan paling lama berusia 40 hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir, serta mendapatkan surat
keterangan dari penyidik, psikologi dan lainnya, serta dokter yang
melakukan aborsi telah mendapatkan pelatihan mengenai legalisasi aborsi;
(2) Perlindungan hukum harus diberikan kepada wanita korban
pemerkosaan dengan melakukan legalisasi aborsi sesuai dengan PP No. 61
Tahun 2014 serta dengan pelayanan kesehatan yang sesuai standart tanpa
adanya diskriminasi terhadapnya. Perlu adanya pengawasan yang ketat
mulai dari masyarakat, pemerintah dan sebagainya terhadap praktek
legalissasi aborsi sehingga tidak ada suatu penyelewengan terhadapnya.
Pengkajian ulang terhadap PP No. 61 Tahun 2014 mengenai legalisasi
aborsi terhadap korban pemerkosaan perlu dilakukan, agar terbentuk suatu
peraturan yang mencerminkan suatu keadilan serta hak asasi manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
E. Kerangka Berpikir
C.
ABORSI
1. Implementasi tindakan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan sebagai bagian dari kebijakan hukum
pidana?
2. Apakah yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan tindakan aborsi
atas kehamilan akibat perkosaan dalam memberikan perlindungan
hukum bagi perempuan korban perkosaan?
LARANGAN
TINDAKAN ABORSI
KUHP UU NO. 36 TAHUN
2009 & PP NO. 61
TAHUN 2014
MDGs 2015
mengurangi angka
kematian ibu
LEGALISASI
TINDAKAN ABORSI
TERHADAP :
1. Indikasi
Kedaruratan
Medis;
2. Kehamilan akibat
Perkosaan.
TEORI
1. Teori Bekerjanya Hukum
2. Teori Feminisme
TINDAK PIDANA
PERKOSAAN
Pelaksanaan tindakan aborsi Efektifitas regulasi legalisasi tindakan aborsi
dan faktor-faktor penghambat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user