Top Banner
8 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Teori Bekerjanya Hukum Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia maka untuk membicarakan hukum kita tidak dapat lepas membicarakanya dari kehidupan manusia. 7 Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri adalah untuk menciptakan suatu kedamaian dalam masyarakat. 8 Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Sistem dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain. Hukum sebagai suatu sistem, Lawrence M Friedman mengemukakan adanya komponen- komponen yang terkandung dalam hukum. Sistem hukum dalam 7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2010, Hal. 1 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, Hal. 13. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user
30

Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

Jan 18, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Teori Bekerjanya Hukum

Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan

masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat

berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen

pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam

bidang penegakan hukum. Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung

secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum

tidak terlepas dari kehidupan manusia maka untuk membicarakan hukum

kita tidak dapat lepas membicarakanya dari kehidupan manusia.7

Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi masyarakat.

Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri

menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan

tujuan hukum sendiri adalah untuk menciptakan suatu kedamaian dalam

masyarakat.8

Pada hakekatnya hukum sebagai suatu sistem, maka untuk dapat

memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem. Sistem dalam

pengertian sederhana dapat diartikan sebagai susunan, kesatuan dari

bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain. Hukum sebagai

suatu sistem, Lawrence M Friedman mengemukakan adanya komponen-

komponen yang terkandung dalam hukum. Sistem hukum dalam

7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Universitas

Atmajaya, Yogyakarta, 2010, Hal. 1 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,

Hal. 13.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

9

pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen yakni struktur hukum,

substansi hukum dan kultur hukum yang berinteraksi.9

Struktur Hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum

beserta aparatnya yang mencakup kepolisian dengan para polisinya,

kejaksaan dengan para jaksanya, kantor pengacara dengan pengacaranya,

dan pengadilan dengan hakimnya. Substansi Hukum adalah keseluruhan

asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini,

cara berpikir, dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari

warga masyarakat.10

Substansi hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa

atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang

dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup

keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun.

Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya

aturan yang ada dalam undang-undang. Struktur hukum disebut sebagai

sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu

dilaksanakan dengan baik.

Kultur hukum merupakan sikap manusia terhadap hukum dan

sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum erat

kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat

kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta kultur hukum yang baik

yang dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum. Baik

substansi hukum, struktur hukum, maupun kultur hukum ini terkait satu

sama lain. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi

perundangundangannya belaka, melainkan aktivitas birokrasi

pelaksananya.11

9 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh M. Khozim,

Nusa Media, Bandung, 2009, Hal. 17. 10

Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume 1, Pemahaman Awal,

Kencana, Jakarta, 2009, Hal. 204. 11

Ibid, Hal. 97.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

10

2. Teori Feminisme

Positivisme Hukum mengajarkan bahwa hukum itu netral atau

obyektif. Asumsi netralitas hukum bukan lahir dari ruang kosong

melainkan mempunyai akar ideologi tertentu, sebagaimana dikritisi

pemikir Feminis, Margot Stubbs sebagai berikut:

Positivism in law is structurally connected to a deeper set of

presuppositions about society that are expressed under the rubric

of “liberalism”. Liberal philosophy embraces legal positivism in

the way it presents the legal system as neutral, independent and

apolitical mechanism for resolving social tension. This

presentation of law is given its political expression in the notion of

the “Rule of Law”--- that is, the legal doctrine that all people are

equal under the law and can expect from it a neutral and unbiased

determination of their rights.12

(terjemahan bebasnya sebagai berikut: Positivisme hukum

terhubung secara struktural ke sebuah perangkat yang lebih dalam

dari pengandaian tentang masyarakat yang dinyatakan dalam rubrik

"liberalisme". Filsafat Liberal mengikuti ajaran positivism hukum

dalam cara menyajikan sistem hukum sebagai mekanisme netral,

independen dan apolitis untuk menyelesaikan ketegangan sosial.

Presentasi hukum adalah ekspresi politik yang ada dalam

pengertian tentang “Rule of Law” --- yaitu, doktrin hukum bahwa

semua orang adalah sama di mata hukum dan dapat mengharapkan

dari sebuah tekad netral dan tidak bias penentuan hak-hak mereka”.

Kaum feminis mengkritik hukum yang bersifat phallocentrisme,

yakni suatu pemikiran yang menjadikan laki-laki sebagai pusat tolok ukur

dalam memandang suatu hal. Dalam hukum pidana, misalnya, perempuan

hanya dilihat sebagai obyek seksual. Dalam pasal 285 KUHPidana,

misalnya, perkosaan dirumuskan : ”Barang siapa dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya

bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman

penjara selama-lamanya dua belas tahun”.13

12

Margot Tubbs, Feminism and Legal Positivism dalam D. Kelly Eisberg (ed.), Feminist Legal

Theory : Foundations, Temple University Press, Philadelphia, 1993, Hal. 456-457. 13

Ibid, Hal. 136.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

11

Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain:

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa perempuan yang

bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Menurut

Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 5 Februari 1912

yang di maksud dengan “bersetubuh” yaitu tindakan memasukkan

kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya

menimbulkan menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana

kemaluan laki-laki itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan

perempuan.14

Pandangan netralitas atau obyektivitas hukum hanya akan

mengaburkan dan membenarkan kenyataan marginalisasi kaum perempuan

dan berbagai kelompok minoritas lainnya, karena itu, Margot Tubbs

menyarankan memahami hukum sebagai suatu tidak otonom dan tidak

netral:

Feminist legal inquiry needs, in short, a different starting point if it

is to understand the specific way in which law mediates class

relations, specifically the class relations of sex. From a feminist

perspective, “the law” must be understood NOT as autonomous

from society, but as being a form of practice through which

existing sex and economic class relations are reproduced.15

(terjemahan bebasnya: Singkatnya, penelitian feminisme hukum

membutuhkan titik awal yang berbeda jika ingin memahami cara

tertentu di mana hukum memediasi hubungan kelas, khususnya

hubungannya dengan relasi gender. Berangkat dari perspektif

feminis, “hukum” harus dipahami BUKAN sebagai otonom (yang

terpisah) dari masyarakat, tetapi sebagai bentuk praktek di mana

relasi antar seks dan kelas ekonomi direproduksi”.

Setelah membuktikan ilusi netralitas dan obyektivitas hukum, para

pemikir feminis mengusulkan hukum yang berpihak. Pemikir feminis,

Patricia A. Cain, misalnya, mengatakan: “to be classified as feminist, legal

scholarship should be based on women‟s experience” (untuk dapat

14

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1996, Hal. 169 15

Ibid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

12

diklasifikasikan sebagai feminis, pemikiran hukum harus didasarkan pada

pengalaman perempuan”.16

Anggapan tentang ketidakmungkinan netralitas hukum dan

perlunya keberpihakan, mengantar para feminis pada perdebatan yang

panjang. Dalam peta feminisme dengan resiko terlalu menggeneralisasi

feminisme “gelombang pertama” memperjuangkan hak pilih bagi

perempuan, hak pendidikan dan pekerjaan.

Dalam bidang hukum, kaum feminis mempertanyakan, bagaimana

kesetaraan gender dapat diwujudkan dalam hukum? Jika menurut

Positivisme Hukum, hukum yang baik adalah yang netral dan obyektif,

sedangkan bagi para feminis anggapan seperti ini sebenarnya malah

melegitimasikan ketidaksetaraan gender, orientasi seksual, etnisitas, dan

kelas yang ada dalam masyarakat. Pada akhir tahun 1960-an dan

khususnya selama tahun 1970-an, di Amerika dan Eropa para feminis

mulai mengkritik netralitas hukum. Sejak itu mereka berusaha membentuk

teori hukum berprespektif feminis (feminist jurisprudence).17

Perubahan utama dalam teori feminis “gelombang kedua” sejak

1970 merupakan langkah dari memperkecil perbedaan antara perempuan

dan laki-laki untuk merayakan suatu perspektif yang berpusat pada

perempuan. Feminisme “gelombang kedua” saat ini berkomitmen untuk

memperluas secara radikal egalitarianisme yang didasarkan pada

pemahaman yang canggih terhadap ketertindasan karena pembagian

gender yang dipaksakan. Feminisme “gelombang kedua” merupakan

proyek transformasi yang radikal dan bermaksud menciptakan sebuah

dunia yang terfeminisasi.18

Para pemikir Feminis-Liberal percaya bahwa kesetaraan gender

dapat diwujudkan apabila kedudukan perempuan setara dengan pria

16

Patricia A. Cain,”Feminist Jurisprudence: Grounding the Theories” dalam D. Kelly Weisberg

(ed.), Feminist Legal Theory: Foundation, Temple University Press, Philadelphia , 1993, Hal.

359. 17

Ibid, Hal. 138. 18

Ibid.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

13

dihadapan hukum. Karena itu, perempuan harus mempunyai hak sama

sebagaimana pria dalam hal pekerjaan, pendidikan, politik, dan perlakuan

sama lainnya. Melalui perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan,

maka masalah diskriminasi pekerjaan domestik dan publik akan diatasi.19

Feminisme gelombang kedua yang dipahat oleh kalangan

liberalism menghadapi masalah praksis. Menyamakan hak-hak hukum

pekerja perempuan dengan laki-laki akan membuat pekerja perempuan

terancam diberhentikan atau memberhentikan diri karena haid,

mengandung, dan melahirkan. Kemampuan perempuan untuk haid, hamil,

melahirkan, dan menyusui membuat perempuan harus diberi hak yang

berbeda dari pria. Tak bisa dihindari, perbedaan biologis antara perempuan

dan laki-laki itulah yang kemudian mendorong gerakan Feminisme

(dengan berbagai alirannya) memperjuangkan hak perempuan atas cuti

haid, melahirkan dan menyusui. Kesetaraan yang diidentikan dengan

kesamaan perempuan dan laki-laki terbukti keliru, bahkan justru menjadi

bumerang bagi kaum perempuan sendiri. Ide Feminisme-Liberal tentang

perlakuan setara dianggap tidak memadai karena masih mengandaikan

tempat bekerja netral, padahal sudah ditata sedemikian rupa sehingga lebih

menguntungkan pekerja laki-laki. Pendukung pemikiran “perlakuan

istimewa” kemudian mengoreksi kekeliruan ide perlakuan setara. Para

pendukung “perlakuan istimewa” (di Indonesia sering disebut “affirmative

action”) menganggap haid dan melahirkan sebagai bukti adanya perbedaan

biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, hak pekerja laki-laki

dan pekerja perempuan tidak mungkin sama. Cuti haid dan melahirkan

adalah bentuk pemberian hak istimewa (perlakuan istimewa).20

Posfeminisme memecah konsensus Feminisme. Posfeminisme

tidak antifeminis, melainkan kritik terhadap epistemologi feminisme yang

terjebak dalam esensialisme. Kritik dilontarkan pada asumsi feminisme

19

Ibid. 20

Linda J. Kreiger and Patricia N. Cooney, The Miller-Wohl Controversy: Equal Treatment,

Positive Action and the Meaning of Women‟s Equality, dalam Donny Danardono dalam

Perempuan dan Hukum diedit oleh Sulistyowati, Yayasan Obor, 2006, Hal. 10-12.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

14

yang bercorak monovokal dan memukul rata penyebab penindasan

perempuan sehingga strategi pembebasan yang ditawarkan kurang-lebih

sama. Sebaliknya, posfeminisme ingin menggeser konsep debat

“persamaan” menjadi “perbedaan”. Pertanyaan yang diajukan

posfeminisme kepada klaim feminisme adalah apakah setiap perempuan

memiliki pengalaman yang sama sehingga bisa diuniversalkan?21

3. Pengertian aborsi

Dalam Blaks‟s Law Dictionary, kata abortion yang diterjemahkan

menjadi aborsi dalam bahasa Indonesia mengandung arti: “The

spontaneous or articially induced expulsion of an embrio or featus. As

used in illegal context refers to induced abortion”.22

Dengan demikian,

menurut Blaks‟s Law Dictionary, keguguran dengan keluarnya embrio

atau fetus tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga

disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.23

Menurut World Health Organization (WHO) abortus adalah berakhirnya

suatu kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya.24

Ensiklopedi Indonesia memberikan penjelasan bahwa aborsi

diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu

atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.25

Untuk lebih memperjelas

maka berikut ini akan penulis kemukakan definisi para ahli tentang aborsi,

yaitu:26

a. Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana

fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup

21

Aan Brooks, Postfeminism, Cultural Theory and Cultural Forms, Routledge, London, 1997. 22

Henry Campbell Black‟s, Black‟s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min West Publising

Co, Hal. 1. 23

Suryono Ekototama, dkk, Aborsi Prookatus bagi Korban Perkosaan Perspektif iktimologi,

Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Admajaya, Yogyakarta, 2001, Hal. 31. 24

Hendrik, Etika & Hukum Kesehatan, (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2015), Hal. 94. 25

Ensiklopedi Indonesia, Aborsi, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1998, Hal. 22. 26

Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, EGC, Jakarta, 1998, Hal. 209.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

15

diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400-1000 gr atau

kehamilan kurangdari 28 minggu;

b. Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28

minggu, yaitu fetus belum viable by llaous;

c. Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16

dimana plasentasi belum selesai.

Dalam praktik kedokteran, dokter sering menjumpai dan sadar

mengenai ketidakpastian serta keterbatasan ilmu kedokteran. Di sisi lain,

dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berusaha

mengurangi terjadinya kesalahan. Pada saat itu baik posisi dokter maupun

pasien berada dalam keadaan rentan. Posisi pasien jelas karena kesalahan

bisa berdampak fatal bagi kesehatan bahkan bagi kehidupannya. Dari sisi

dokter, juga rawan karena selain perasaan bersalah secara pribadi, juga

secara hukum dapat dipersalahkan karena dianggap lalai dalam melakukan

kewajibannya.

Meskipun dalam Bab III Angka 11 Keputusan Konsil Kedokteran

Indonesia Nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan

Disiplin Profesi Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia menyatakan

bahwa penghentian kehamilan diperbolehkan dengan memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi

medik yang mengharuskan tindakan tersebut.

b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang

mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang

dokter.

Frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung

secara akurat karena banyaknya kasus aborsi buatan/sengaja yang tidak

dilaporkan. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2 juta kasus

aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Secara keseluruhan, di seluruh dunia,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

16

aborsi adalah penyebab kematian yang paling utama dibandingkan kanker

maupun penyakit jantung.

Tindakan aborsi yang terjadi oleh perempuan hamil dapat

berlangsung dengan cara:

a. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun);

b. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja);

c. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena

terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi).27

Tindakan abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu:

a. Abortus spontaneous, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului

faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan

oleh faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan

macam-macam aborsi spontan, antara lain:28

1) Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil

konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong.

2) Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian

dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci

dua dan plasenta

3) Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi

dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan

memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica

4) Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap

berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau

lebih.

5) Abortus habitulis atau keguguran berulang adalah keadaan dimana

penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih.

27

S. Ratna Julia dan B. Rini Beriyanti, “Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban Perkosaan

yang Melakukan Abortus Provokatus”, Terdapat dalam Jurnal Dinamika Sosbud Vol 12, No. 2. 28

Muhdiono. “Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi‟i dan Hanafi)”.

Terdapat dalam Skripsi. UIN, Yogyakarta, 2001, Hal. 211.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

17

6) Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai

infeksi genital.

b. Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai

obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi provocatus merupakan istilah lain

yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini

adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi

kesempatan untuk bertumbuh.

Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini

terbagi menjadi dua yaitu:

1) Abortus provocatus medicinalis. Adalah aborsi yang dilakukan

oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi

tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus

medisinalis/artificialis/ therapeuticus adalah aborsi yang dilakukan

dengan disertai indikasi medis. Di Indonesia yang dimaksud

dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.

2) Abortus provocatus criminalis. Adalah aborsi yang terjadi oleh

karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan

indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka

melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar

perkawinan.

Pada dasarnya abortus provocatus merupakan aborsi yang

dilakukan dengan unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau

tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya.

Menurut kebiasaan, bayi dalam kandungan seorang wanita hamil akan

lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10 hari. Hanya dalan hal tertentu

saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia

kandungan baru mencapai 7 atau 8 bulan. Perbuatan aborsi biasanya

dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan. Menurut pengertian

kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi (baik

keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

18

kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang telah

dibuahi (blastosit) di rahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28

minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena sebelum 28

minggu, janin belum dapat hidup di luar rahim.29

Beberapa akibat yang dapat timbul akibat aborsi tidak aman/aborsi

ilegal, yaitu:30

a. Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan

neurologis/syaraf di kemudian hari, akibat lanjut pendarahan yang

terus-menerus adalah risiko kematian yang tinggi;

b. Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini di

kemudian hari dapat menyebabkan risiko kemandulan;

c. Risiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan

dinding rahim akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan

karena rahim yang robek harus diangkat seluruhnya;

d. Terjadinya fistula genital traumatic, yaitu timbulnya suatu saluran

yang secara normal seharusnya tidak ada, yaitu saluran antara genital

dan saluran kencing atau saluran pencernaan.

Risiko komplikasi atau kematian setelah aborsi legal sangat kecil

apabila dibandingkan dengan aborsi ilegal. Beberapa penyebab utama

risiko tersebut antara lain : Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi

yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih

tertahan di dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segera ditangani akan terjadi

infeksi secara menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang

merupakan komplikasi aborsi ilegal yang fatal. Kedua, bleeding

(pendarahan). Hal ini disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, atau

cedera organ panggul atau usus. Ketiga, efek samping jangka panjang

29

Lilien Eka Chandra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi Sama Dengan Kriminal dalam Lifestyle

(Jakarta : Kompas Gramedia, 2006), Hal. 10. 30

Titik Triwulan Titik, Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak

Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan dalam Jurnal Fakultas Syariah (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, Tanpa

Tahun), Hal. 191

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

19

berupa sumbatan atau kerusakan permanen di tuba fallopi (saluran telur)

yang menyebabkan kemandulan.31

4. Tindakan Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 61

Tahun 2014

Mengenai tindakan aborsi ini, peraturan perundang-undangan di

Indonesia pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang

ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam

tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan

yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat

perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya, UU No. 36

Tahun 2009 dan PP No. 61 Tahun 2014 membuka pengecualian untuk

aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan.

Pasal 72 menjadi landasan yuridis bahwa setiap orang berhak

menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman,

serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah

dan menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi,

paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak

merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.

Namun jika seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual

yaitu menjadi korban perkosaan dan kemudian berakibat kehamilan pada

dirinya, maka akan mengancam kesehatan ibu. Yang dimaksud dengan

mengancam kesehatan ibu merupakan suatu keadaan fisik dan/atau mental

yang apabila kehamilan dilanjutkan akan menurunkan kondisi kesehatan

ibu, mengancam nyawa atau mengakibatkan gangguan mental berat

(Penjelasan Umum Pasal 32 PP No. 61 Tahun 2014). Akibat ancaman

terhadap kesehatan ibu korban perkosaan terutama mengakibatkan

31

Erica Royston, Preventing Maternal Deaths, Terj. R.F. Maulany, Pencegahan Kematian Ibu

Hamil, (Jakarta : Binaputra Aksara, 2004), Hal. 122-123.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

20

gangguan mental pasca perkosaan, seringkali korban perkosaan

memutuskan untuk melakukan aborsi atas kehamilannya.

Secara principal dan normatif, Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009

menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Namun,

terdapat pengecualian tindakan aborsi tersebut yaitu:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,

baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita

penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak

dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar

kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.

Tindakan Aborsi berdasarkan kriteria diatas hanya dapat dilakukan

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan

yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

oleh Menteri.

Pasal 26 Ayat (1) PP No. 61 Tahun 2014 menjelaskan bahwa setiap

perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman,

tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Ayat (2) bahwa kehidupan seksual yang

sehat meliputi kehidupan seksual yang:

a. terbebas dari infeksi menular seksual;

b. terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual;

c. terbebas dari kekerasan fisik dan mental;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

21

d. mampu mengatur kehamilan; dan

e. sesuai dengan etika dan moralitas.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan

hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar

dan/atau tidak disukai, atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang

lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Penjelasan Umum

Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014). Korban kekerasan seksual harus

ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum,

keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual

sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 29 PP No. 61 Tahun 2014.

Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan meliputi:

a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban;

b. upaya forensik untuk pembuktian; dan

c. identifikasi pelaku.

Penanganan yang dapat dilakukan terhadap korban kekerasan

seksual antara lain:

a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang

b. pengobatan luka dan/atau cedera;

c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual;

d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan;

e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan

f. rehabilitasi psikososial.

Sebelumnya telah dijabarkan ketentuan Pasal 75 UU No. 36 Tahun

2009 bahwa pada prinsipnya tindakan aborsi tersebut dilarang, namun

terdapat beberapa pengecualian yang sejalan dengan pengaturan dalam

Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 ini bahwa tindakan aborsi hanya dapat

dilakukan berdasarkan: (a) indikasi kedaruratan medis; atau (b) kehamilan

akibat perkosaan.

Secara normatif, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat

dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh)

hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Selain itu, Pasal 34 Ayat (1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

22

PP No. 61 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut bahwa kehamilan akibat

perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya

persetujuan dari pihak perempuan. Dapat ditafsirkan secara argumentatum

a contrario bahwa perkosaan merupakan suatu perbuatan kekerasan

seksual yang dialami oleh seorang perempuan karena telah melakukan

hubungan seksual tanpa adanya persetujuan terutama dari pihak

perempuan.

Untuk membuktikan bahwa kehamilan yang dialami oleh seorang

perempuan tersebut merupakan kehamilan akibat perkosaan, maka harus

dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh

surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya

dugaan perkosaan.

Dalam Pasal 35 PP No. 61 Tahun 2014, setelah pembuktian

dilakukan, maka secara normatif prosedur penyelenggaraan aborsi dapat

dilakukan sebagai berikut :

a. Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung

jawab.

b. Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab meliputi:

1) dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;

2) dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat

yang ditetapkan oleh Menteri;

3) atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang

bersangkutan;

4) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;

5) tidak diskriminatif; dan

6) tidak mengutamakan imbalan materi.

c. Dalam hal perempuan hamil tidak dapat memberikan persetujuan,

persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

23

d. Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan

untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai

aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi,

korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama

masa kehamilan.

e. Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dapat

diasuh oleh keluarga.

f. Dalam hal keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari

korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

g. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas

kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan

provinsi.

h. Laporan tersebut dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan

kesehatan.

5. Tindakan Aborsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71

tahun 2014 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi

Tenaga Kesehatan dan Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan

dalam Tindakan Aborsi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi

dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah

Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014

tentang Kesehatan Reproduksi, Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan

Menteri Kesehatan (PERMENKES Nomor 71 Tahun 2014) sebagai

peraturan pelaksana yang lebih bersifat teknis. PERMENKES Nomor 71

Tahun 2014 ini mengatur tentang tata cara pengenaan sanksi administratif

bagi tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan

dalam tindakan aborsi dan pelayanan kesehatan reproduksi dengan

bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

24

Dalam PERMENKES Nomor 71 Tahun 2014, pasal-pasal yang

memuat pengaturan tindakan aborsi adalah :

a. Pasal 2 Ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang :

1) Melakukan tindakan aborsi yang bukan berdasarkan :

a) Indikasi kedaruratan medis; atau

2) Kehamilan akibat perkosaan.

b) Melakukan tindakan aborsi akibat perkosaan apabila usia

kehamilan lebih dari 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari

pertama haid terakhir;

c) Melakukan tindakan aborsi yang tidak aman, bermutu, dan

bertanggung jawab.

b. Pasal 2 Ayat (2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), bagi dokter yang melakukan tindakan aborsi harus mendapatkan

pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

c. Pasal 2 Ayat (3) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan

merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang

memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.

d. Pasal 2 Ayat (4) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak

mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berasal

dari anggota tim kelayakan aborsi.

e. Pasal 3 Ayat (1) Setiap Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan

yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagai fasilitas pelayanan

kesehatan penyelenggara aborsi dan pelayanan kesehatan reproduksi

dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah, dilarang :

1) Melakukan tindakan aborsi yang bukan berdasarkan :

a) Indikasi medis; atau

b) Kehamilan akibat perkosaan

2) Melakukan tindakan aborsi akibat perkosaan apabila usia

kehamilan lebih dari 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari

pertama haid terakhir;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

25

3) Melakukan tindakan aborsi yang tidak aman, bermutu, dan

bertanggung jawab.

f. Pasal 3 Ayat (2) Setiap Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib :

1) Melaporkan dan mencatat pelaksanaan aborsi dan pemberian

pelayanan reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara

alamiah kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan

tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

g. Pasal 4 Ayat (1) Tenaga Kesehatan yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai sanksi administratif,

berupa :

1) Teguran tertulis; dan/atau

2) Pencabutan izin tetap.

h. Pasal 4 Ayat (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai

sanksi administratif, berupa :

1) Teguran tertulis;

2) Denda administratif;

3) Pencabutan izin sementara; dan/atau

4) Pencabutan izin tetap.

i. Pasal 4 Ayat (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan (2) diberikan oleh :

1) Menteri;

2) Pemerintah Daerah Provinsi; dan

3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; sesuai dengan tugas dan

kewenangan masing-masing.

j. Pasal 4 Ayat (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) yang diberikan oleh Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) tidak menghapus sanksi pidana.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

26

6. Tindakan Aborsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3

Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan

Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat

Perkosaan

Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan

Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan

(PERMENKES Nomor 3 Tahun 2016) sebagai peraturan pelaksana dari

PP No. 61 Tahun 2014 PERMENKES Nomor 3 Tahun 2016 ini

lebih bersifat teknis mengenai pengaturan penyelenggaraan pelatihan bagi

dokter pelaksana tindakan aborsi dan penyelenggaraan pelayanan aborsi di

lini lapangan. Adapun pasal-pasal yang memuat pengaturan tersebut

adalah :

a. Pasal 2

Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi

Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan bertujuan

meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam dalam

rangka pemberian pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan

bertanggung jawab.

b. Pasal 3 Ayat (1) Penyelenggaraan pelatihan harus terakreditasi oleh

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

c. Pasal 3 Ayat (2) Akreditasi penyelenggaraan pelatihan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi akreditasi :

1) Kurikulum dan modul;

2) Penyelenggara;

3) Tenaga Pelatih/Fasilitator;

4) Peserta Pelatihan; dan

5) Tempat penyelenggaraan.

d. Pasal 6

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

27

Penyelenggara Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)

huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah

Daerah bersama dengan organisasi profesi.

e. Pasal 8 Ayat (1) Peserta Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

3 ayat (2) huruf (d) hanya diikuti oleh dokter yang ditetapkan oleh

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

f. Pasal 8 Ayat (2) Penetapan dokter yang mengikuti pelatihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada organisasi

profesi setempat untuk diketahui.

g. Pasal 12 Ayat (1) Pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan

kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu,

dan bertanggung jawab.

h. Pasal 12 Ayat (2) Pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan

bertanggung jawab meliputi :

1) Dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar profesi, standar

pelayanan, dan standar prosedur operasional;

2) Atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang

bersangkutan;

3) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;

4) Tidak diskriminatif;

5) Tidak mengutamakan imbalan materi.

i. (3) Dalam hal izin suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

(c) tidak dapat dipenuhi, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga

perempuan hamil yang bersangkutan.

j. Pasal 13 Ayat (1) Pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan

bertanggung jawab harus diselenggarakan di fasiilitas pelayanan

kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

k. Pasal 13 Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

1) Puskesmas;

2) Klinik Pratama;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

28

3) Klinik Utama atau yang setara; dan

4) Rumah Sakit

l. Pasal 13 Ayat (3) Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf (a) merupakan Puskesmas mampu Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergensi Dasar (PONED) yang memiliki dokter yang telah

mengikuti pelatihan.

m. Pasal 13 Ayat (4) Klinik Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf (b) merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik

dasar yang memiliki dokter yang telah mengikuti pelatihan.

n. Pasal 13 Ayat (5) Klinik Utama atau yang setara sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf (c) merupakan klinik yang

menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik obstetri dan

ginekologi atau pelayanan medik dasar dan spesialistik obstetri dan

ginekologi, yang memiliki dokter obstetric dan ginekologi yang telah

mengikuti pelatihan.

o. Pasal 13 Ayat (6) Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf (d) harus memiliki dokter spesialis obstetric dan ginekologi yang

telah mengikuti pelatihan.

p. Pasal 14 Ayat (1) Menteri dalam menetapkan fasilitas pelayanan

kesehatan penyelenggara pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan

medis dan kehamilan akibat perkosaan dapat mendelegasikan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

q. Pasal 14 Ayat (2) Untuk mendapatkan penetapan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus

mengajukan permohonan penetapan setelah memenuhi persyaratan :

1) Memiliki izin operasional fasilitas pelayanan kesehatan yang masih

berlaku; dan

2) Memiliki dokter yang memiliki sertifikat pelatihan.

r. Pasal 15 Ayat (1) Dokter yang telah memiliki sertifikat pelatihan dapat

menjadi anggota tim kelayakan aborsi atau pemberi pelayanan aborsi

atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

29

s. Pasal 15 Ayat (2) Dokter yang menjadi anggota tim kelayakan aborsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melakukan pelayanan

aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan

pada pasien yang sama.

t. Pasal 15 Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak berlakuk pada daerah tertentu yang jumlah dokternya tidak

mencukupi.

u. Pasal 16 Ayat (1) Tim kelayakan aborsi dibentuk di setiap fasilitas

pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan untuk memberikan

pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

perkosaan.

v. Pasal 16 Ayat (2) Tim kelayakan aborsi di rumah sakit dan klinik

utama atau yang setara ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit atau

pimpinan klinik.

w. Pasal 16 Ayat (3) Tim kelayakan aborsi di fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat pertama ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

x. Pasal 16 Ayat (4) Tim kelayakan aborsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diketuai oleh dokter yang memiliki sertifikat pelatihan.

y. Pasal 16 Ayat (5) Tim kelayakan aborsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bersifat ad hoc.

z. Pasal 17 Ayat (1) Tim kelayakan aborsi bertugas menentukan adanya

indikasi kedaruratan medis.

aa. Pasal 17 Ayat (2) Dalam hal terdapat rujukan dari dokter adanya

kondisi medis tertentu pada kehamilan akibat perkosaan, tim kelayakan

aborsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan

pemeriksaan.

bb. Pasal 17 Ayat (3) Hasil pemeriksaan tim kelayakan aborsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa surat keterangan usia

kehamilan dan/atau kelayakan aborsi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

30

cc. Pasal 17 Ayat (4) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) harus dibuktikan dengan :

1) Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang

dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

2) Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya

dugaan perkosaan.

dd. Pasal 18, dalam hal klinik utama atau yang setara belum memiliki tim

kelayakan aborsi, penentuan adanya indikasi kedaruratan medis

dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang dibentuk oleh Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota.

ee. Pasal 19 Ayat (1) Tindakan aborsi atas atas indikasi kedaruratan medis

dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui

konseling pratindakan dan diakhiri dengan konseling pascatindakan

yang dilakukan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang.

ff. Pasal 19 Ayat (2) Kompetensi konselor sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diperoleh melalui pendidikan formal atau pelatihan.

gg. Pasal 19 Ayat (3) Dalam hal hasil konseling pratindakan dinyatakan

ibu hamil atau korban perkosaan telah siap menjalani tindakan,

konselor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan surat

keterangan konseling kepada dokter terlatih yang akan melakukan

tindakan.

hh. Pasal 19 Ayat (4) Dalam hal setelah konseling pratindakan korban

perkosaan memutuskan untuk membatalakan tindakan aborsi, konselor

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan pendampingan.

ii. Pasal 20 Ayat (1) Pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis

dilakukan setelah ibu hamil memiliki surat keterangan dari tim

kelayakan aborsi dan surat keterangan konseling dari konselor.

jj. Pasal 20 Ayat (2) Pelayanan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan

dilakukan setelah korban perkosaan memililiki surat bukti kehamilan

akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Psal 17 ayat (4) dan

surat keterangan konseling.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

31

kk. Pasal 21 Ayat (1) Dokter terlatih yang melakukan pelayanan aborsi

atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan di

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus didukung oleh

sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan yang memadai.

ll. Pasal 21 Ayat (2) Dalam hal sarana, prasarana, dan peralatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memadai, rujukan harus

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

mm. Pasal 22 Ayat (1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggakan pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan

kehamilan akibat perkosaan wajib melakukan pencatatan dan

pelaporan.

nn. Pasal 22 Ayat (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaporkan secara berkala paling sedikit 6 (enam) bulan sekali kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

oo. Pasal 22 Ayat (3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan kompilasi laporan dan

menyampaikan hasil kompilasi laporan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Provinsi.

pp. Pasal 22 Ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) melakukan kompilasi laporan dan

menyampaikan hasil kompilasi laporan kepada Menteri melalui

Direktur Jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang

pelayanan kesehatan dengan tembusan ketua organisasi profesi

setempat secara berkala paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

7. Tindak Pidana Perkosaan

World Health Organization (WHO) mengartikan perkosaan sebagai

“penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota

tubuh lain atau suatu benda dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-

fisik. Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

32

merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual yang

dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang

koersif.32

P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir berpendapat, “perkosaan

adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seseorang wanita untuk melakukan persetubuhan di

luar ikatan perkawinan dengan dirinya”. Bagi Lamintang dan Djisman

Samosir, perkosaan harus mengandung (memenuhi) sejumlah unsur, 1)

ada tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, 2) memaksa seorang

wanita untuk melakukan hubungan biologis (seksual/persetubuhan), 3)

persetubuhan yang dilakukan harus di luar ikatan perkawinan. Ketiga

unsur itu menunjukkan bahwa dalam kasus perkosaan harus bisa

dibuktikan mengenai adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan

(seperti diancam hendak dibunuh, dilukai atau dirampas hak-hak asasi

lainnya). Tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dijadikan jalan

atau menjadi bagian dari perbuatan yang targetnya memperlancar

terjadinya persetubuhan. Selain itu, kekerasan atau ancaman kekerasan

sehubungan dengan persetubuhan (pemaksaan hubungan seksual) dalam

ikatan perkawinan tidak disebut sebagai kejahatan perkosaan. Artinya

rumusan itu tidak memasukkan istilah “marital rape” (perkosaan dalam

ikatan perkawinan) di dalamnya.33

Mengenai macam-macam perkosaan, Kriminolog Mulyana W.

Kusuma menyebutkan sebagai berikut :34

1) Sadistic Rape, yaitu perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas

dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan

telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan

32

Siska Lis Sulistiani, Kejahatan & Penyimpangan Seksual dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Positif Indonesia, Cetakan Pertama (Bandung : Nuansa Aulia, 2016), Hal. 91. 33

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Cetakan Pertama (Bandung : Refika Aditama, 2001),

Hal. 41-42 34

Iwan Aflanie, Nila Nirmalasari, dan Muhamad Hendy Arizal, Ilmu Kedokteran Forensik &

Medikolegal, Cetakan Pertama (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), Hal. 46-47.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

33

seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat

kelamin dan tubuh korban.

2) Angea Rape, yaitu penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas

menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram

dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan

objek terhadap siapa pelaku yang meproyeksikan pemecahan atas

frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.

3) Dononation Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku

mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.

Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban,

namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.

4) Seductive Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi

yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya

korban memutuskan bahwa keintiman harus dibatasi tidak sampai

sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan

membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa

bersalah yang menyangkut seks.

5) Victim Precipitatied Rape, yaitu perkosaan tyang terjadi (berlangsung)

dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.

6) Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa pada

setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh

laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan

posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.

Misalnya pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya,

sedangkan pembantunya tidak mengadukan kasusnya ini kepada pihak

yang berwajib.

Hukum di Indonesia, perkosaan termasuk sebagai tindak pidana,

karena perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, baik

unsur formil maupun unsur materiil. Perkosaan dianggap oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan karena merampas hak

asasi seseorang dan menimbulkan trauma kepada korbannya, selain itu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

34

perbuatan perkosaan dilarang oleh hukum sebagaimana diatur di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana

perkosaan diatur dalam Bab XIV dengan judul Kejahatan terhadap

kesusilaan yaitu dalam Pasal 285 yang menyatakan :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam

karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun”.

Dari pasal tersebut untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana

perkosaan antara lain :

a. Bahwa korban perkosaan merupakan seorang wanita;

b. Persetubuhan yang dilakukan harus diluar perkawinan;

c. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal

tersebut menggambarkan bahwa tidak adanya persetujuan dari pihak

korban mengenai tindakan yang dilakukan oleh pelaku.

Black's Law Dictionary, merumuskan perkosaan atau rape sebagai

berikut :

“...unlawfull sexual intercouse with a female without her consent, The

unlawfull camal knowledge of a woman by a man forcibly and against

her will. The act of sexual intercouse commited by a man with a

woman not his wife and without her consent, committed when the

woman's resistance is overcome by force of fear, of under prohibitive

conditions...”.35

(...hubungan seksual yang melawan hukum/tidak sah dengan seorang

perempuan tanpa persetujuannya. Persetubuhan secara melawan

hukum/tidak sah terhadap seorang perempuan oleh seorang laki-laki

dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendaknya.

Tindak persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap

seorang perempuan bukan istrinya dan tanpa persetujuannya,

dilakukan ketika perlawanan perempuan tersebut diatasi dengan

kekuatan dan ketakutan, atau dibawah keadaan penghalang...)

35

Topo Santoso, Seksualitas Dan Hukum Pidana, IND.HILL-CO, Jakarta, 1997, Hal.17.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

35

Menurut Steven Box pengertian perkosaan adalah rape constitute a

particular act of sexual access, namely the penis penetratting the vagina

without consent of the female concerned36

, yang artinya perkosaan

merupakan sebuah fakta dari hubungan seksual, yaitu penis penetrasi ke

dalam vagina tanpa persetujuan dari perempuan.

Wirdjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkosaan adalah

seseorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya

untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat

melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.37

Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan

sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki

terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum

yang berlaku melanggar.38

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian tesis Magister Hukum Universitas Lampung tahun 2015 yang

berjudul Politik Hukum Legalisasi Aborsi Akibat Perkosaan. Penelitian

tersebut ditulis oleh Ardo Gunata. Dalam tulisannya dapat disimpulkan

bahwa : (1) Politik hukum legalisasi aborsi akibat perkosaan didasarkan

pada upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian

hukum kepada perempuan korban perkosaan untuk memilih aborsi sebagai

tindakan yang dianggap tepat guna mencegah terjadinya kelahiran anak

yang tidak diharapkannya dengan pertimbangan psikologis dan

pertolongan medis yang sesuai dengan standar kesehatan dan keselamatan.

(2) Implikasi legalisasi aborsi dengan KUHP adalah pelaku aborsi tidak

dipidana dan tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana,

karena adanya unsur pemaaf dan unsur pembenar baginya dalam

36

Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 71. 37

Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986,

Hal. 117. 38

Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, 1997, Hal. 25.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

36

menggugurkan janinnya tersebut dan berlakunya asas lex specialis derogat

legi generali, yaitu aturan yang bersifat khusus menghapuskan aturan yang

bersifat umum.

2. Penelitian Jurnal Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 Volume 8, No.

6, Oktober 2014 yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Dalam Kandungan dari Legalisasi Aborsi Berdasarkan PP No. 61 Tahun

2014. Penelitian tersebut ditulis oleh Novita Listyaningrum. Dalam

tulisannya dapat disimpulkan bahwa : (1) legalisasi aborsi harus dilakukan

berdasarkan ketentuan PP No. 61 Tahun 2014, seperti legalisasi aborsi

dapat dilakukan pada saat usia kehamilan paling lama berusia 40 hari

dihitung sejak hari pertama haid terakhir, serta mendapatkan surat

keterangan dari penyidik, psikologi dan lainnya, serta dokter yang

melakukan aborsi telah mendapatkan pelatihan mengenai legalisasi aborsi;

(2) Perlindungan hukum harus diberikan kepada wanita korban

pemerkosaan dengan melakukan legalisasi aborsi sesuai dengan PP No. 61

Tahun 2014 serta dengan pelayanan kesehatan yang sesuai standart tanpa

adanya diskriminasi terhadapnya. Perlu adanya pengawasan yang ketat

mulai dari masyarakat, pemerintah dan sebagainya terhadap praktek

legalissasi aborsi sehingga tidak ada suatu penyelewengan terhadapnya.

Pengkajian ulang terhadap PP No. 61 Tahun 2014 mengenai legalisasi

aborsi terhadap korban pemerkosaan perlu dilakukan, agar terbentuk suatu

peraturan yang mencerminkan suatu keadilan serta hak asasi manusia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: Legalisasi-tindakan-aborsi-sebagai-upaya-perlindungan ...

37

E. Kerangka Berpikir

C.

ABORSI

1. Implementasi tindakan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan

kehamilan akibat perkosaan sebagai bagian dari kebijakan hukum

pidana?

2. Apakah yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan tindakan aborsi

atas kehamilan akibat perkosaan dalam memberikan perlindungan

hukum bagi perempuan korban perkosaan?

LARANGAN

TINDAKAN ABORSI

KUHP UU NO. 36 TAHUN

2009 & PP NO. 61

TAHUN 2014

MDGs 2015

mengurangi angka

kematian ibu

LEGALISASI

TINDAKAN ABORSI

TERHADAP :

1. Indikasi

Kedaruratan

Medis;

2. Kehamilan akibat

Perkosaan.

TEORI

1. Teori Bekerjanya Hukum

2. Teori Feminisme

TINDAK PIDANA

PERKOSAAN

Pelaksanaan tindakan aborsi Efektifitas regulasi legalisasi tindakan aborsi

dan faktor-faktor penghambat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user