DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................................1
BAB I....................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN................................................................................................................................2
1.1. Latar Belakang....................................................................................................................2
1.2. Tujuan Pembelajaran..........................................................................................................2
1.3. Kegiatan yang Dilakukan dan Keluarannya........................................................................3
1.4. Laporan Seven Jumps.........................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
1. Bagaimana anatomi leher?......................................................................................................6
Jawab:..............................................................................................................................................6
2. Apa saja etiologi pembesaran KGB / Limfadenopati ?.........................................................7
3. Apa Keadaan yang dapat menyebabkan benjolan di leher?................................................8
4. Bagaimana patomekanisme pembesaran KGB?.................................................................10
5. Apa aja anamnesis dan pemeriksa fifik tambahan yang diperlukan pada skenario?..........12
6. TB Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penanganan benjolan pada leher?.....................................................................................................................................13
7. Jelaskan DD 1 Limfodenitis TB.......................................................................................19
8. Jelaskan DD 2 Limfoma Maligna....................................................................................22
9. Jelaskan DD 3 Kanker tiroid...........................................................................................32
BAB III...............................................................................................................................................46
PENUTUP..........................................................................................................................................46
3.1. Simpulan..................................................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangPada Semester 5 Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakata, kami mendapatkan mata kuliah sistem
Onkologi. Dalam modul ketiga pada Sistem Onkologi kami mempelajari konsep dasar
penyakit-penyakit sehingga seseorang dapat terjadi benjolan pada leher.
Ada berbagai alasan mengapa seseorang dengan benjolan pada leher datang berobat.
Karena apabila terdapat benjolan pada leher dan itu terasa sakit maka itu menjadi masalah
besar bagi kebanyakan orang.
Dalam PBL modul ketiga ini yaitu mengenai benjolan pada leher. Kelompok kami
mengharapkan agar pembaca dapat lebih mengerti menjelaskan semua aspek tentang
penyakit infeksi, yaitu dasar anatomi, histology dan fisiologi dari infeksi, patomekanisme
terjadinya infeksi, mikroba penyebab infeksi, kelainan sel, jaringan, dan cairan tubuh
akibat infeksi, dasar pertahanan tubuh terhadap infeksi, serta cara penularan dan
pencegahan infeksi.
1.2. Tujuan Pembelajarana. Tujuan Intruksional Umum ( TIU )
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh
pembelajaran tentang anatomi, histologi dan fisiologi, KGB dan hubungan dengan
infeksi dan neoplasma.
b. Tujuan Intruksional Khusus ( TIK )
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
1. Menjelaskan anatomi dan KGB leher, thyroid, dan anatomi jaringan leher.
2. Menjelaskan Fisiologi KGB dan thyroid
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 2
3. Menjelaskan diagnose banding benjolan pada leher
4. Menjelaskan faktor risiko terjadinya karsinoma tiroid
5. Menjelaskan pembagian karsinoma tiroid
6. Menjelaskan TNM dan stadium karsinoma tiroid
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan dalam penanganan
benjolan leher
1.3. Kegiatan yang Dilakukan dan KeluarannyaPada saat melakukan PBL, kelompok kami berdiskusi bersama untuk mempelajari
kasus-kasus yang ada di skenario. Kami melakukan pembelajaran dengan mengikuti tujuh
langkah (seven jumps) utuk dapat menyelesaikan masalah yang kami dapatkan.
1.4. Laporan Seven JumpsKelompok kami telah melakukan diskusi pada pertemuan pertama dan kami telah
menyelesaikan 5 langkah dari 7 langkah yang ada. Berikut laporan dari hasil yang telah kami
dapatkan :
LANGKAH 1 (Clarify Unfamiliar)
Skenario 1
Perempuan 27 tahun datang ke dokter keluarga dengan keluhan ada benjolan di leher
kiri, berkelompok. Benjolan ini dirasakan agak sakit terutama bila ditekan. Riwayat sakit tb
paru dan batuk-batuk lama disangkal.
Kalimat sulit
- Tidak ada
Kata / kalimat kunci
- Perempuan 27 tahun
- Ada bejolan di leher kiri, bergerombol
- Dirasakan sakit saat ditekan
- Riwayat TB dan batuk kronik disangkal
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 3
LANGKAH 2 ( Define Problem )
Pertanyaan:
1. Bagaimana anatomi leher?
2. Apa saja etiologi pembesaran KGB?
3. Apa perbedaan benjolan berkelompok dengan yang tidak berkelompok?
4. Apa saja faktor risiko pembesaran KGB?
5. Bagaimana patomekanisme pembesaran KGB?
6. Apa aja anamnesis dan pemeriksa fifik tambahan yang diperlukan pada skenario?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penanganan benjolan pada
leher?
8. Apa DD pada skenario?
9. Bagaimana tatalaksana pada skenario?
10. Bagaimana prognosis, preventif, dan komplikasi pada skenario?
LANGKAH 3 ( Brainstorme Possible)
Pada saat diskusi kami telah melakukan brain storming dengan cara menjawab pertanyan-
pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Dalam langkah ke-3 ini beberapa pertanyaan yang
telah didapat dari langkah ke-2 telah ditemukan inti jawabannya.
LANGKAH 4 (Mind Mapping)
LANGKAH 5 ( Sasaran pembelajaran / Learning Objectif)
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 4
a. Tujuan Intruksional Umum ( TIU )
b. Tujuan Intruksional Khusus ( TIK )
LANGKAH 6 ( Belajar Mandiri )
Kelompok kami melakukan belajar mandiri terlebih dahulu untuk mencari dasar
ilmiah, mengumpulkan data-data atau informasi yang dapat membantu meningkatkan
pemahaman dan penerapan konsep dasar yang telah ada yang pada tahap selanjutnya
akan dipersentasikan dan disajikan untuk dibahas bersama.
LANGKAH 7 ( Pembahasan )
Kelompok kami telah melakukan diskusi kembali pada pertemuan kedua dan
kami telah menyelesaikan langkah yang belum tercapai pada pertemuan sebelumnya.
Semua anggota kelompok kami memaparkan semua hasil yang telah didapatkan pada
saat belajar mandiri. Pemaparan dari langkah teakhir ini akan kami bahas pada Bab II.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 5
BAB II
PEMBAHASANNama : Tito Syahjihad
NIM : 2012730114
1. Bagaimana anatomi leher?
Jawab:
Gambaran umum Leher
Leher adalah area transisional di antara cranium di superior dan clavicular di inferior.leher berkerja sebagai saluran utama bagi struktur struktur yang berjalan di antaranya .selain itu , beberapa oragn penting dengan fungsi unik terletak disini : misalnya ,larynx dan tiroid serta gladnula parathyroid
Tulang leher
Skleton leher di bentuk oleh vertreba cervicalis ,os hyoideum ,manubrium sterni ,dan clavicular .tulang tulang tersebut merupakan bagian skleton aksial kecuali clavicula,yang merupakan bagian skleton apendikular superior.
Fascia cervicalis
Struktur struktur di leher di kelilingi oleh lapisan jaringan subkutan dan di bagi bagi oleh lapisan lapisan fascia cervicalis
-jaringan subkutan cervical dan platysma
Jaringan subkutan leher :adalah suatu lapisan jaringan ikat berlemak yang terletak di antara dermis kulit dan fascia investiens pada fascia cervicalis profunda .jaringan tersebut biasanya lebih tipis daripada jaringan region lain, terutama di anterior .jaringan mengandung saraf kulit ,pembuluh darah ,dan pembuluh limfatik , nodi limpatic superfacialis dan banyak lemak
Otot otot leher
Otot sternokleidomastoid berasal dari klavikula dan tersisip pada tengkorak, sehingga meregangkan leher ketika otot-otot ini berkontraksi bersama-sama. Jika salah satu kontraksi sternokleidomastoid sementara yang lain rileks, maka yang akan menghasilkan menekuk kepala ke arah bahu dan mengubah wajah dalam arah yang berlawanan.Di sisi posterior, otot-otot splenius memperpanjang leher dan membantu untuk mempertahankan postur tegak. Otot-otot ini melekat pada vertebra dan tengkorak.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 6
Nama : Sheila Sarasanti
NIM : 2013730099
2. Apa saja etiologi pembesaran KGB / Limfadenopati ? Jawab:
a. Infeksi virus : Ebstein Barr Virus (EBV), Cytomegalo Virus (CMV), Rubela, Rubeola,
Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks Virus, Coxsackievirus, dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
b. Infeksi bakteri : Peradangan KGB (limfadenitis) dapat disebabkan Streptokokus beta
hemolitikus Grup A atau stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila berhubungan
dengan caries dentis dan penyakit gusi, radang apendiks atau abses tubo-ovarian.
c. Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma dan limfoma juga
dapat menyebabkan limfadenopati.
d. Metastasis karsinoma merupakan penyebab yang lebih umum dari limfadenopati
dibandingkan dengan limfoma, khususnya pada penderita usia lebih dari 50 tahun.
e. Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan
isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine,
cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida,
sulindac). Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata.
f. Imunisasi dilaporkan juga dapat menyebabkan limfadenopati di daerah leher, seperti
setelah imunisasi DPT, polio atau tifoid.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 7
Nama : Paramitha Ayu Triavini
NIM : 2013730082
3. Apa Keadaan yang dapat menyebabkan benjolan di leher? Jawab:
Beberapa keadaan yang menyebabkan benjolan di leher.
Secara umum, benjolan di daerah leher dapat disebabkan oleh 4 kelainan, yaitu :
1. Kelainan kongenital2. Infeksi3. Neoplasma4. Trauma
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini, benjolan yang paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan bagian atas, namun ada pula di tengah-tengah bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil dan bisa juga hampir sebesar bola tenis. Kelainan kongenital yang sering terjadi di daerah leher antar lain adalah hygroma colli, kista branchial, kista ductus thyroglosus.
a. Hygroma colli Merupakan kelainan bawaan lahir akibat adanya gangguan saluran limfe, biasanya muncul sejak lahir dan mungkin bertambah besar dengan bertambahnya usia bahkan bisa sampai seukuran bola tenis atau lebih. Benjolan ini biasanya agak lunak.
b. Kista ductus thyroglosusBenjolannya umumnya di garis tengah leher diantara bawah dagu sampai kelenjar thyroid atau kelenjar gondok. Pada jenis kelainan ini bisa muncul pada masa kanak-kanak atau setelah usia dewasa.
c. Kista branchialSama seperti kista ductus thyroglosus yang juga berisi cairan. Letaknya paling sering dijumpai pada bagian samping leher.
InfeksiInfeksi pada bagian leher dapat berupa infeksi akut maupun infeksi kronik. Biasanya
infeksi akut disertai adanya gejala demam, rasa nyeri dan adanya warna kemerahan pada benjolan tersebut. Infeksi kronis atau menahun yang paling sering ditemukan adalah benjolan akibat penyakit TBC kelenjar. Pada TBC kelenjar, benjolan dapat berupa benjolan kecil ukuran beberapa milimeter sampai ukuran beberapa centimeter, bisa hanya satu buah namun
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 8
dapat juga beberapa buah benjolan dan paling sering terletak di leher bagian samping kiri atau kanan bahkan kadang kanan kiri sekaligus.
Neoplasma/kanker daerah leher bisa dibedakan menjadi 2 macam menurut asal pertumbuhannya, yaitu :
1. Kanker/neoplasma yang pertumbuhannya memang berasal dari daerah leher itu sendiri, misalnya kanker kelenjar gondok, kanker jaringan lunak yang berasal dari otot dan jaringan lunak lainnya di leher.
2. Kanker yang terjadi akibat metastasis dari kanker induk di daerah lain, contohnya kanker nasofaring, kanker daerah kepala, kanker rongga mulut yang jika bermetastasis akan menyebabkan benjolan di leher samping atas sedikit dibawah telinga kiri atau kanan.
Trauma
Trauma di daerah leher biasa terjadi akibat benturan benda tumpul sehingga terjadi bekuan darah atau hematom dan membentuk benjolas seperti tumor. Biasanya benjolan akibat trauma akan memberikan rasa nyeri bila ditekan.
Kelainan lain di daerah leher dapat disebabkan misalnya oleh kelainan pembuluh darah di leher. Ada juga kelainan yang berada di kelenjar gondok yang disebabkan kekurangan yodium terutama pada daerah endemis gondok.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 9
Nama : Tian Tiffani
NIM : 2013730111
4. Bagaimana patomekanisme pembesaran KGB? Jawab:
Ada banyak factor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti
trauma, infeksi, hormon, neoplsma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan
caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu di tekankan adalah
tidak selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher.
Tidak jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sisitemik seperti limfoma dan TBC.
Hampir semua struktur yang ada di leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang
di antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek kerja imunitas tubuh
yang bermanifestasi pada pembengkkan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi, hanya saja trauma yang tidak di sertai infeksi sekunder pada umumnya
tidak menyebabakan pembesaran kelenjar getah bening.
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan basofil akan mengalami granulasian mengeluarkan mediator radang berupa
histamine, serortonin, bradikinin, sitokinberupa IL-2,IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamine akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intra endothelia juntion. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar kejaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agar infeksi usitu
sendiri berupaya untuk menghanurkan sel-sel tubuh terutama eritrosit agar bias mendapatkan
nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan pembesaran kelenjar limfe karena
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 10
bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun menyaring sel tubuh yang mengalami
kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidakmenyebarke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang mau kelenjar secara umum hamper sama. Awalnya terjadi dysplasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai factor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti
peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid- adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe – limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher.
Timbulnya benjol unilateral dikarenakan sel yang abnormal berdiferensiasi di sisi
sinistra dan tidak bilateral. Sel berdiferensiasi dan membentuk angiogenesis tumor.
Proliferasi sel tumor akan membentuk masa yang dapat menekan jaringan sekitarnya.
Jaringan yang tertekan akan menjadi atrofik. Tumor di leher dapat menekan trachea dan bias
mengganggu pernafasan.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 11
Nama : Saiffeddine Saleh Awad A
NIM : 2013730096
5. Apa aja anamnesis dan pemeriksa fifik tambahan yang diperlukan pada skenario?
Jawab:
Anamnesis tambahan dan pemeriksaan tambahan• Benjolan– Lokasi (pertama x, tempat lain)– Sifat benjolan: batas, konsistensi, warna, ulcus, dapat digerakkan/tidak– Nyeri• Keluhan lain– BB menurun• Sejak kapan, bagaimana sifatnya• Nafsu makan menurun/meningkat/normal– Pengaruh mens ada/tidak– Gangguan pernapasan, saat makan, pendengaran– Demam– gejala penyerta lainnya• Riwayat medis: radiasi, pil KB,• Riwayat kebiasaan hidup: rokok, alkohol, ikan asin• Riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisis Tambahan• InspeksiBenjolan• Lokasi• Sifat benjolan: ukuran, warna, ulcus• Menelan: ikut gerakan / tidak• Palpasi1. Benjolan: batas, permukaan, konsistensi, mudah digerakkan/tidak,2. Kelenjar limfe leher: submental, submandibular, jugularis, asesorius, supra dan infraklavikular3. Kelenjar limfe aksilla dan inguinal.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 12
Nama : Azizah Khairina
NIM : 2013730019
6. TB Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penanganan
benjolan pada leher?
Jawab:
Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Kelenjar
A. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberculosis. Lokasi lesi tuberculosis biasanya di daerah apeks paru
(segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru.
Tubekrulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai
pneumonia, mikosis, karsinoma bronkus atau metastasis. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses paru.
B. Darah
Hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberculosis baru
mulai akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan lain didapatkan juga anemia ringan dengan gambaran
normositik normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
C. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberculosis dapat dipastikan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah
untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk tidak produktif.
Dalam hal ini dianjurkan saru hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien diminta
minum aor sebanyak + 2 liter dan diajarkan melalukan reflex batuk. Dapat juga
dengan memberikan obat-obatan mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan
garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 13
dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL
(bronchoalevolar lange). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan
lambung.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman
dalam 1 ml sputum.
D. Tes tuberculin
Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin
P.P.D. (Purified Protein Deriative) intrakutan berkekuatan 5 T.U. (intermediate
strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U. dapat diberikan dulu 1 atau 2
T.U (first strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negative, berarti
tuberculosis dapat disingkirkan.
Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria pathogen lainnya.
Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dengan antigen tuberculin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan
antibodi selular dan antigen tuberculin amat dipengaruhi oleh antibody humoral,
makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang dihasilkan.
Baisanya hampir seluruh pasien tuberculosis menunjukkan reaksi mantoux yang
positif (99,8%).
Pemeriksaan Penunjang Limfoma Maligna
A. Limfoma Non Hodgkin
a. Laboratorium
Rutin
- Hematologi:
1. Darah perifer lengkap
2. Gambaran darah tepi
- Urinalisis: urin lengkap
- Kimia klinik
1. SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat
2. Alkali fosfatase
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 14
3. Gula darah puasa dan 2 jam pp
4. Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
Khusus
- Gamma GT
- Kolinesterase
- LDH/fraksi
- Serum protein elektroforesis
- Imuno elektroforase
- Tes coombs
- B2 mikroglobulin
b. Biopsi
Biopsi KGB dilakukan hanya 1 kelenjar yang paling representative, superficial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superficial yang representative, maka tidak perlu
biopsy intra abdominal atau intratorakal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
histopatologi dan sitologi. Tidak diperlukan penentuan stadium laparotomi. Specimen
kelenjar diperiksa:
- Rutin
- Histopatologi
- Khusus
- Immunoglobulin permukaan
- Histo/sitokimia
c. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina iliaka dengan
hasil specimen sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
- Rutin:
Foto toraks PA dan lateral
CT Scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
- Khusus
CT Scan toraks
USG Abdomen
Limfografi, limfosintigrafi
e. Konsultasi THT: Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan gastroskopi atau foto
saluran cerna atas dengan kontras.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 15
f. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan
punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping pemeriksaan
rutin lainnya.
g. Immunophenotyping: parafin panel: CD 20, CD 3.
B. Limfoma Hodgkin
a. Pemeriksaan darah:
Anemi, eosinofilia, peningkatan laju endap darah, pada flow cytometry dapat
terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi.
Pada pemeriksaan faal hati terdapat gangguan faal hati yang tidak sejalan
dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya
ikterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati.
Dpat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah
bening porta hepatis.
Pemeriksaan faal ginjal: peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan
obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemia dapat memperberat
fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi
pada limfoma Hodgkin. Hiperurisemia merupakan manifestasi peningkatan turn-
over akibat limfoma. Hiperkalsemia dapat disebabkan sekunder karena produksi
limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan limfoma. Kadar LDH darah
yang meningkat dapat menggambarkan massa tumor dan turn-over.
b. Biopsi sumsum tulang
Dilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging. Keterlibatan sumsum
tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.
c. Radiologis
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat limfadenopati hiliar dan mediastinal,
efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal dapat
menyebabkan efusi chyolus (seperti susu).
USG abdomen kurang sensitive dalam mendiagnosis adanya limfadenopati.
Pemeriksaan CT Scan toraks untuk mendeteksi abnormalitas parenkim paru dan
mediastinal sedangkan CT Scan abdomen member jawaban limfodenopati
retroperitoneal, mesenteric, portal, hepatosplenomegali, atau lesi di ginjal.
Pemeriksaan Penunjang Karsinoma Tiroid
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 16
1. Pemeriksaan Serologi
Terutama mencakup pemeriksaan fungsi tiroid, kadar kalsitonin serum, dll. Semua
pasien dengan tumor tiroid harus diperiksa fungsi tiroid, termasuk TSH, T4, T3
serum, dll. Sebagian terbesar pasien kanker tiroid memiliki fungsi tiroid yang normal.
Bila pasien dengan tumor tiroid memiliki kadar kalsitonin serum meninggi, dapat
didiagnosis sebagai karsinoma medular tiroid. Pasien dengan riwayat keluarga
karsinoma medular tiroid atau riwayat keluarga tumor endokrin multiple, harus
diperiksa kadar kalsitonin serum basal dan dalam kondisi stress, untuk memastikan
apakah menderita karsinoma medular tiroid.
2. Pemeriksaan USG
Mencakup USG biasa dan dopler warna, USG merupakan cara yang cukup sensitif
untuk memeriksa ukuran dan jumlah tumor tiroid, dapat menunjukkan ada tidaknya
tumor, sifatnya padat atau kistik, ada tidaknya kalsifikasi, dll. Akurasi pemeriksaan
bergantung pada keterampilan dan pengalaman pemeriksa. Dopler warna dapat
mengetahui situasi aliran darah di dalam tumor dan kelenjar limfe, sangat membantu
dalam diagnosis banding lesi jinak atau ganas.
3. Pemeriksaan radioisotop
Sebagian besar karsinoma tiroid memiliki fungsi mengambil iodium, tampak sebagai
nodul hangat. Jika terdapat perubahan kistik, maka seluruhnya atau sebagian tampak
sebagai nodul dingin. Pemeriksaan ini belakangan secara bertahap digantikan oleh
USG dan CT.
4. Pemeriksaan sinar X
Termasuk foto trakea anteroposterior dan lateral, foto barium esophagus, foto toraks,
dll. Foto AP dan lateral trakea dapat menunjukkan kalsifikasi dalam tumor tiroid,
kondisi desakan, pergeseran posisi, dan penyempitan trakea, serta bayangan jaringan
lunak prevertebral, juga dapat menunjukkan kondisi batas inferior tumor berekstensi
ke posterior sternum dan mediastinum. Pemeriksaan esophagus menelan barium dapat
mengetahui adanya desakan, infiltrasi ke esophagus. Rontgen toraks dapat
mengetahui kondisi mediastinum dan kedua paru.
5. Pemeriksaan CT
Dapat menunjukkan lokasi, jumlah tumor, ada tidaknya kalsifikasi, kondisi struktur
internalnya, keteraturan batasnya, dll. sangat membantu dalam diagnosis lokasi tumor
tiroid. Karsinoma tiroid pada CT tampak sebagai bayangan jaringan lunak tidak
beraturan dan/atau berlobulasi, kebanyakan berdensitas heterogen, batas tidak tegas,
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 17
dapat kalsifikasi, pasca kontras menunjukkan penyengatan tak beraturan. Hasil
pencitraan CT lebih baik pada lesi karsinoma tiroid yang lebih besar, tapi dalam hal
diagnosis lokalisasi lesi tiroid yang lebih kecil relatif sulit.
6. Pemeriksaan MRI
Dapat menampilkan potongan koronal, sagital, transversal, dengan lapisan multiple,
sangat baik dalam diagnosis lokalisasi karsinoma tiroid dan hubungannya dengan
organ, vascular dan jaringan sekitarnya.
7. Pemeriksaan PET
Dalam diagnosis lesi tiroid jinak atau ganas memiliki akurasi relatif tinggi, tapi ini
bukan cara diagnosis pasti, biayanya relative sangat tinggi, dewasa ini masih sulit
dimasyarakatkan.
8. Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus (FNAC)
Merupakan cara diagnosis sifat yang tersering dipakai pra-operasi untuk nodul tiroid
dewasa ini, kelebihannya adalah aman, praktis, murah dan akurasinya relatif tinggi.
Karena sel karsinoma papilar memiliki ciri morfologi yang relative spesifik, akurasi
pemeriksaan ini dalam diagnosis karsinoma papilar relatif tinggi, mencapai 90%
lebih. Untuk nodul tiroid yang lebih kecil dan berlokasi lebih dalam, untuk kasus yang
sulit ditentukan lokasinya dari permukaan tubuh, dapat dilakukan FNAC atau biopsy
di bawah panduan USG, untuk meningkatkan akurasi diagnosis. Untuk kasus dengan
pembesaran kelenjar limfe leher, dapat dilakukan biopsy terhadap kelenjar limfe leher
atau pemeriksaan potong beku.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 18
Nama : Raisa Sevenry Suha
NIM : 2013730086
7. Jelaskan DD 1 Limfodenitis TB
Jawab:
LIMFADENITIS TB
Limfadenitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih kelenjar getah bening, yang
biasanya menjadi bengkak dan lunak.Limfadenitis tuberkulosis, suatu peradangan pada satu
atau lebih kelenjar getah bening. Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkulosis di luar paru.
Epidemiologi:
Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi TB
tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta),
Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010).
Depkes, 2007 : survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB
sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.
Limfadenitis Tuberkulosis sering terjadi pada wanita daripada pria (1,2:1)
Micobacterium tuberculosis , Micobacterium bovine
Patomekanisme :
Melalui dua cara
TB pulmonary primer
Mycobacterium masuk melalui inhalasi dan bacteremia, tempat penyebaran utamanya
adalah di daerah mediastinal, para trachea lympnode.Memalui jalur lymphatic
menyebar ke cervical node
Infeksi Primer Tonsil
St. awal keterlibatan lymp node superficial, multipikasi progresif dari basil tuberkel,
onset hipersensitifitas tipe lambat terjadi Hiperemia& swelling, nekrosis, & kaseosa
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 19
pd sentral node. Infeksi perinodal, progresive swelling & bersatu dengan nodus lain
sehingga terlihat berkelompok. sentral pembesaran massa menjadi lunak & kaseosa,
material ruptur dan menembus ke jaringan sekitarnya / memasuki kulit dengan
formasi sinus (scroful derma)
Gejala klinis :
• Batuk
• Napsu makan menurun
• Berat badan menurun
• Muncul benjolan-benjolan pada leher yang terlihat mengelompok dan nyeri
• Kelenjar dileher membengkak bahkan menyebar kebagian lainnya. Hal tersebut
terjadi karena adanya peradangan pada kelenjar getah bening akibat bakteri TBC
Diagnosis:
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan
radiologis, biopsi aspirasi dan kultur.
Pemeriksaan mikrobiologi :
1. pemeriksaan mikroskopi : pewarnaan Zeihl-Neelsen.
2. spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari biopsi aspirasi : dapat memastikan
adanya basil mikrobakterium pada spesimen, diperlikan minimal 10.000 basil TB agar
pewarnaan dapat positif dan diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil
kultur.
Tes tuberkulin :
- Mantoux test dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang
spesifik untuk antigen mikobakterium pada pasien.
Tes sitologi :
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 20
dapat diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe untuk menegakkan
diagnosis limfadenitis tuberkulosis sekita 78%-99%
Pemeriksaan Radiologis :
- foto toraks : dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan tb paru
- USG kelenjar : dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik. Dapat juga membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi
TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia)
CT scan : adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan
subkutan mengarahkan pada limfadenitis tuberkulosis
MRI : didapatkan massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens
Pemeriksaan Penunjang:
Secara konvensional pemeriksaan TB kelenjar dengna metode Biopsi kelenjar terlihat
gambaran sitopatologisnya ditemukan histiosit histiosit dari tipe epiteloid membentuk
kelompok kohesif & multinucleat giant cell tipe langhans.Cromatin inti bergranul h
alus dan pucat, sitoplasma pucat dan tepi tidak jelas.Kemudian dengan Pendekatan
molekuler, deteksi DNA dengan PCR.Melalui pendekatan serologis untuk deteksi
antigen antibodi terhadap kuman dan deteksi respon humoral dan selular.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 21
Nama : Suci Apriani Umar
NIM : 2012730104
8. Jelaskan DD 2 Limfoma Maligna
Jawab:
I. EPIDEMIOLOGI
Limfoma maligna adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan jaringan limfatik
di organ lainnya.Tumor ini terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu limfoma Hodgkin (HL)
dan limfoma non-Hodgkin (NHL).Sel ganas pada LH berasal dari sel retikulum dengan
gambaran histologist yang dianggap khas adalah sel reed-sternberg atau variasinya yang
disebut sel Hodgkin limfosit yang merupakan bagian integral proliferasi sel pada penyakit ini
diduga merupakan manifestasi reaksi kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.Di
Amerika Serikat terdapat 7500 kasus baru penyakit hodgkin setiap tahunnya atau sekitar 1%
dari seluruh tumor ganas di tahun yang sama. Di negara berkembang terdapat peningkatan
mencolok insiden pria yang menderita HL jenis campuran dan HL jenis deplesi limfosit.
Insiden HL memiliki dua puncak usia yaitu usia 20-30 tahun dan usia diatas 50 tahun1,2.
Limfoma limfoblastik terutama pada remaja pria dan dewasa muda.Limfoma burkitt terutama
pada anak dan dewasa muda.
Sel LNH adalah kelompok keganasan primer limfosit yang berasal dari limfosit B,
limfosit T dan kadang berasal dari sel Natural Killer yang berada dalam saluran limfe. Pada
LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan
terbentuknya tumor. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus
baru dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Pada tahun 1997 LNH dilaporkan sebagai
penyebab kematian akibat kanker utama pada usia 20-39 tahun. Insiden LNH tahun 1996 di
Amerika menurut National Cancer Institute adalah 15,5 per 100.000. Insiden LNH ini
meningkat seiring bertambahnya usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 22
LNH menempati urutan kelima saat ini d Amerika, sedangkan di Indonesia sendiri LNH
bersama LH dan leukemia menempati urutan keenam tersering.2
II. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari Limfoma Maligna masih belum diketahui dengan
jelas.Walaupun demikian bukti epidemiologi, histologi merupakan faktor infeksi terutama
infeksi virus diduga memiliki peranan penting sebagai etiologi. Limfoma hodgkin memiliki
kaitan jelas dengan infeksi virus Epstein-Barr. Pada kelompok terinfeksi HIV, insiden
Hodgkin Limfoma agak meningkat dibandingkan masyarakat umum.Infeksi virus dan
regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya NonHodgkin Limfoma, bahkan
kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan
dengan risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian, hal ini disebabkan
karena paparan herbisida dan pelarut organik.1,2
III. PATOLOGI
Pemeriksaan histopatologi merupakan dasar utama diagnosis pasti limfoma, biopsi
kelenjar limfe sangat penting bagi diagnosis pasti limfoma.
a. Limfoma Hodgkin
Limfoma Hodgkin adalah gangguan yang terutama mengenai jaringan
limfoid.Limfoma ini hampir selalu berasal dari satu nodus atau satu rangkaian kelenjar
getah bening dan biasanya menyebar ke kelenjar di sekitarnya. Limfoma hodgkin ditandai
secara morfologis dengan adanya sel raksasa neoplastik khas yang disebut sel reed-
sternberg (RS). Karakteristik histologi utama limfoma ini adalah sel tumor berinti tunggal,
intinya banyak atau berinti sepasang simetris (sel reed-sternberg) yang tersebar sporadik,
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 23
dengan latar belakang berbagai jenis sel radang reaktif nonneoplastik, termauk limfosit, sel
plasma, granulosit eosinofilik.1,6
Klasifikasi Rye membagi limfoma Hodgkin mejadi 4 jenis, yaitu predominan
limfositik (LP), Nodular Sklerosis (NS), sel campuran (MC), depresi limfositik (LD).
Sedangkan sistem klsifikasi menurut WHO, limfoma Hodgkin dibagi menjadi Hodgkin
limfoma jenis predominan limfosit nodular dan klasik, Nodular Sklerosis, jenis klasik sarat
limfosit, sel campuran, depresi limfositik.1,7
b. Limfoma Non-Hodgkin
Formulasi kerja limfoma non-hodgkin merupakan sistem klasifikasi limfoma yang
didasarkan pada kriteria morfologi (pola pertumbuhan kelenjar limfe dan karakteristik
sitologik sel tumor) dan sifat progresivitas biologic (tingkat keganasan rendah, sedang,
tinggi), bermanfaat dalam memprediksi survival pasien.1
Tabel. Formulasi kerja Limfoma Non-Hodgkin (NHL)1
Keganasan rendah A. Limfoma jenis sel kecil
B. Limfoma jenis predominan sel belah kecil
folikular
C. Limfoma jenis campuran
Keganasan sedang D. Limfoma jenis sel besar folikular
E. Limfoma jenis predominan sel belah kecil
difus
F. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel
belah kecil difus.
G. Limfoma jenis sel besar difus
Keganasan tinggi H. Limfoma jenis imunoblastik
I. Limfoma jenis limfoblastik (inti berkelok atau
tidak berkelok)
J. Limfoma jens sel kecil tak belah (burkitt atau
non-burkitt)
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 24
Klasifikasi menurut WHO, neoplasia jaringan Limfoid Non-Hodgkin dibagi menjadi 2
golongan besar yitu neoplasia sel B, neoplasia sel T dan NK.6
IV. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis limfoma maligna bervariasi, karena jaringan limfatik tersebar luas
dalam tubuh, jaringan limfatik di bagian manapun dapat menjadi lesi primer atau dalam
perjalanan penyakit mengalami invasi, kelainan di bagian tubuh berbeda dapat menunjukkan
manifestasi berbeda.(1)
a. Limfadenopati
Tampakgejala pertama berupa pembesaran kelenjar limfe superfisial, kelenjar limfe
bagian leher, aksila, inguinal, dan yang mengenai kelenjar limfe mandibula.Pembesaran
kelenjar limfe sering kali asimetri, konsistensi padat dan kenyal, tidak nyeri, pada stadium
dini idak saling melekat, pembesaran kelenjar limfe profunda, dapat menimbulkan tanda
invasi dan kompresi setempat.
Bila kelenjar limfe mediastinum yang terkena maka dapat timbul sindrom kompresi
ediastinum invasi paru, atelektasis, dan hidrothoraks. Bila kelenjar limfe peritoneal yag
terkena (paraaorta dan mesenterium) dapat timbul nyeri abdomen, lumbago, massa
abdomen, gangguan BAB an BAK, hematuria. Bila kelenjar limfe saluran cerna
(submukosa) terkena dapat timbul nyeri abdomen, diarre, massa abdomen, ileus,
hematokezia, perforasi intestna dan sindrom malabsorpsi. Bila tonsil dan jaringan limfatik
yang terkena maka akan terjadi pembesaran tonsil dan gangguan napas.
b. Kelainan Limpa
Umumnya ditemukan pada limfoma Hodgkin, dapat timbul spleenomegali,
hipersplenisme.
c. Kelainan Hepar
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 25
Terjadi pada stadium lanjut, hepatomegali dan gangguan fungsi hati.Sebagian pasien
dapat menderita ikterik obstruksi akibat limfadenopati portal atau akumulasi cairan
empedu intraheatik.
d. Kelainan Skeletal
Kelainan tulang rangka paling sering ditemukan pada vertebra torakal dan lumbal,
lalu costa dan cranium.
e. Destruksi Kulit
Kelainan kulit spesifik adalah invasi kulit limfoma maligna tampil bervariasi,
adakalanya berupa eritroderma maligna.Non spesifikhanya trasformasi dari dermatitis
biasa, gejalanya berupa pruritus, herpes zoster.
f. Kelainan Sistem Neural
Biasanya ditemukan paralisis neural, sefalgia, dan peningkatan tekanan intrakranial.
g. Gejala Sistemik
- Demam, dapat berupa demam irregular, atau demam rekuren priodik spesifik
- Keringat malam hari
- Penurunan berat badan dalam setengah tahun berat badan turun 10% tanpa penyebab
spesifik.
Limfoma memilki gejala relatif yang khas, berupa demam tinggi 38oC tanpa sebab
jelas, keringat malam hari, dan penurunan berat badan 10% dalam waktu 6 bulan, terdapat
salah satu dari 3 gejala itu disebut memiliki gejala B(sesuai uraian pembagian stadium).1,2
Perbedaan klinis antara limfoma hodgkin dan non-hodgkin.6
Limfoma Hodgkin Limfoma non-hodgkin
Lebih sering terlokalisasi ke satu
kelompok kelenjar getah bening
Lebih sering mengenai banyak
kelenjar perifer
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 26
aksial (servikalis, mediastinum,
paraaorta)
Penyebaran teratur ke jaringan
sekitar
Penyebaran nonkontagiosa
Kelenjar mesenterium dan cincin
weldeyer di faring jarang terkena
Kelenjar mesenterium dan cincin
weldeyer di faring sering terkena
Jarang mengenai sistem diluar
kelenjar getah bening
sering mengenai sistem diluar
kelenjar getah bening
V. PERUBAHAN HEMATOLOGIK
Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom, peyebab anemia
sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan destruksi.Granulosit sering
meningkat sehingga timbul leukositosis.Limfosit sering menurun terutama stadium
lanjut.Apusan sumsum tulang sering menunjukan hiperproliferasi granulosit, disertai
peningkatan histiosit sehingga menyerupa gambaran sumsum tulang infeksius. Biopsy
sumsum tulang dapat menemukan sel reed-strenberg pada infiltrasi fokal atau difus sumsum
tulang.6
Pada limfoma nonhodgkin sering disertai anemia, penyebabnya dapat nultifaktor,
seperti invasi sumsum tulang, invasi saluran gastrointestinal menyebabkan tukak berdarah
dan gangguan absorpsi besi dan asam folat, serta akibat komsumsi kronis radioterapi dan
kemoterapi menyebabkan depresi hemopoiesis atau eritropoiesis inefektif dan factor lainnya.
Sebagian kasus sel abnormal dapat muncul di darah tepi sehingga timbul gambaran
leukemia.6
VI. DIAGNOSIS
Untuk memastikan diagnosis prosedur pemeriksaan lengkap mencakup berikut ini: 1,2,8
- Anamnesis mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik demam ≥38
0C, penurunan berat badan dalam 6 bulan lebih dar 10% tanpa etiologi lain yang
menjelaskan, keringat malam hari.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 27
- Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening diseluruh
tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang sering pada LNH.
- Biopsy kelenjar getah bening untuk menentukan apakah LH atau LNH. Biopsi
dilakukan pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer.
- Pemeriksaan radiologi meliputi foto toraks PA/lateral bertujuan untuk melihat kelenjar
limfe di daerah hilus paru, medastinum, mamaria interna dan ada tidaknya invasi ke
paru. Pemeriksaan CT-scan, USG, MRI abdomen dapat menemukan lesi rongga
abdominal, tomografi mediastinum, limfografi kedua tungkai bawah.
- Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, darah perifer lengkap,
gambaran darah tepi, tes faal hati termasuk alkali fosfatase protein, SGOT, SGPT,
albumin, Gula darah. Tes faal ginjal (urin lengkap), asam urat. Namun semua
pemeriksaan ini tidak spesifik.
VII. KLASIFIKASI STADIUM
Stadium klinis limfoma hodgkin dan non-hodgkin menurut Ann Arbor1,2, 6,8
Stadium Distribusi Penyakit
I Keterlibatan satu regio kelenjar getah bening (I)atau terkenanya
satu organ atau jaringan ekstralimfatik (IE).
II Keterlibatan dua atau lebih regio kelenjar getah bening di sisi
diafragma yang sama saja (II) atau dengan keterlibatan organ
atau jaringan ekstralimfatik didekatnya(IIE).
III Keterlibatan regio kelenjar getah bening di kedua sisi
diafragma (III), yang mungkin mencakup limpa (IIIS), tempat
atau organ ekstralimfatik di sekitar secara terbatas (IIIE)atau
keduanya(IIIES).
IV Fokus (multipel)keterlibatan satu atau lebih organ atau jaringan
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 28
ekstralimfatik dengan atau tanpa keterlibatan limfatik.
Ket: A Tanpa gejalaB Dengan gejala: demam, penurunan BB, keringat malam hariX Bulky disease (pembesaran mediatinum >1/3, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimum 1)E Keterlibatan satu organ ekstranodal yang contiguous terhadap regio kelenjar getah bening
Dikutip dari http://www.lymphomation.org/images/stages_fav.jpg
VIII. TERAPI
Pengobatan LH adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging dan
faktor risiko.
a. Penyakit hodkin stadium I dan IIA dapat diobati dengan henya pemberian
radioterapi. Dosis sebesar 4000 rad mampu menghancurkan jaringan hodgkin
kelenjar getah bening pada sekitar 80% pasien tersebut. Radioterapi
meliputiExtended Field Radiotherapy (EFRT), Involved field Radiotherapy (IFRT),
DAN radioterapi (RT) pada limfoma residual. Faktor risiko untuk terapi menurut
German hodgkin lymphoma study Group (GHSG) meliputi:2,9
- Massa mediatinal yang besar
- Ekstranodal
- Peningkatan laju endap darah, ≥50 untuk tanpa gejala atau ≥30 untuk dengan
gejala.
- Tiga atau lebih regio yang terkena
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 29
b. Kemoterapi digunakan untuk stadium III-IV dan juga pasien- pasien stadium I, II
yang mempunyai penyakit dengan massa besar, gejala-gejala tipe B, dan telah
mengalami relaps setelah radioterapi awal. Dalam guideline yang dikeluarkan oleh
National comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang
direkomendasikan adalah kombinasi Adriamycin, bleomisin, vinblastin, dakarbazin
(ABVD) dan kemoterapi yang lebih intensif seperti stanford V yang juga
menggunakan radioterapi pada tempat-tempat dengan massa besar, sedang diteliti
untuk pasien yang menderita penyakit lanjut atau relaps. Terapi lain yang masih
diteliti adalah imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20, imunotoksin
anti CD25, bispesifik monoklonal antibodi.2,9
Tabel. Kemoterapi banyak gen untuk limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin.10
MOPP Mekloretamin, Onkovin, Prokarbazin, Prednison
C-MOPP Siklofosfamid, Mekloretamin, Onkovin, Prokarbazin, Prednison
COP Siklofosfamid, Onkovin, Prednison
CHOP Siklofosfamid, Hidroksidaunorubisin Onkovin, Prednison
BACOP bleomisin, Adriamycin, Siklofosfamid, Onkovin, Prednison
ABVD Adriamycin, bleomisin, vinblastin, dakarbazin
a. PROGNOSTIK
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: indolent lymphoma dan Agresif
Lymphoma. indolent lymphoma memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median
survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Agresif
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 30
Lymphoma memiliki perjalan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan
secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif.2
Internasional Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien
dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi. Terdapat 5 faktor yang
mempengaruhi prognosis yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan
jumlah lokasi ekstra nodular.2
Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit
FFR (Freedom From Progression) yaitu jenis kelamin, usia > 45 tahun, stadium IV, Hb<10gr
%, leukosit >15000/mm3, limfosit <600/ mm3, serum albumin <4 gr %. Pasien tanpa faktor
risiko FFP 84% , dengan satu faktor risiko 77% , dengan dua faktor risiko 67%, tiga faktor
risiko 60%, empat faktor risiko 51%, lima faktor risiko atau lebih 42%.2
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 31
Nama : Eva widya Putri
NIM : 2013730032
9. Jelaskan DD 3 Kanker tiroid
Jawab:
Karsinoma Tiroid
Karsinoma tiroid jarang terjadi, dilaporkan hanya 1,5% dari keganasan seluruh tubuh.
Biasanya menunjukkan keganasan sistem endokrin. Kebanyakan karsinoma tiroid merupakan
lesi well differentiated. Subtipe mayor karsinoma tiroid yang sering ditemukan yaitu :
• Karsinoma papiler (75%-85% kasus)
• Karsinoma folikular (10%-29% kasus)
• Karsinoma meduler (5% kasus)
• Karsinoma anaplastik (<5% kasus)2,3
Selain daripada karsinoma, keganasan lain yang dapat dijumpai pada tiroid antara lain
limfoma malignan dan metastasis tumor yang tersering berasal dari ginjal, paru, payudara dan
melanoma malignan
Epidemiologi
Karsinoma tiroid diperkirakan sebesar 1,5% dari keganasan seluruh tubuh di negara-
negara berkembang. Karsinoma tiroid menempati urutan ke-9 dari sepuluh keganasan
tersering di Indonesia. Angka insidensi bervariasi di seluruh dunia, yaitu dari 0,5-10 jiwa per
100.000 populasi. American Cancer Society memperkirakan sekitar 17.000 kasus baru
muncul setiap tahunnya di Amerika Serikat dan sekitar 1700 diantaranya mengakibatkan
kematian. Di Amerika Serikat, karsinoma ini relatif jarang ditemukan, mencakup 1% dari
seluruh jenis kanker dan 0,4% kematian akibat kanker. Lebih banyak ditemukan pada wanita
dengan distribusi berkisar 2:1 sampai 3:1. Secara primer dijumpai pada dewasa muda dan
usia pertengahan serta jarang ditemukan pada anak-anak.2,18 Karsinoma tiroid merupakan
jenis keganasan jaringan endokrin yang terbanyak, yaitu 90% dari seluruh kanker
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 32
endokrin.18 Diantara tumor-tumor epitelial, karsinoma yang berasal dari sel-sel folikular jauh
lebih banyak ditemukan daripada yang berasal dari sel C. Kebanyakan yang berasal dari sel
folikular merupakan keganasan yang berkembang secara perlahan dengan 10 year survival
lebih dari 90%. Limfoma tiroid dan keganasan-keganasan non epitelial lain jarang ditemukan
Etiologi
Etiologi yang pasti dari karsinoma ini belum diketahui. Dari beberapa penelitian,
dijumpai beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis karsinoma tiroid yaitu genetik dan
lingkungan. Karsinoma papiler dipengaruhi oleh faktor lingkungan (iodine), genetik dan
hormonal serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut. Sedangkan pada karsinoma folikular
radiasi merupakan faktor penyebab terjadinya karsinoma ini. Faktor yang berperan pada
karsinoma meduler adalah genetik dan sampai saat ini belum diketahui karsinogen yang
menjadi penyebab berkembangnya karsinoma meduler dan anaplastik. Diperkirakan
karsinoma anaplastik tiroid berasal dari perubahan karsinoma tiroid berdiferensiasi baik
(papiler dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular dua kali lebih besar
Gambaran Klinis
Kebanyakan penderita datang disebabkan oleh karena pembesaran tiroid atau
dijumpainya nodul atau beberapa nodul. Untuk alasan yang tidak diketahui, kebanyakan
penderita adalah perempuan. Usia tidaklah begitu penting oleh karena lesi-lesi malignan
dapat ditemukan pada usia yang sangat muda hingga yang sangat tua. Meskipun demikian,
hal yang penting diketahui adalah telah berapa lama kelainan tersebut dijumpai dan apakah
pertumbuhannya lambat, cepat atau timbul secara tiba-tiba. Informasi ini merupakan
diagnostik yang signifikan karena nodul atau massa multipel yang tumbuh perlahan sedikit
sekali yang menjadi malignan dibandingkan dengan pembesaran nodul soliter yang
berkembang dengan cepat. Ukuran yang bertambah dengan tiba-tiba dapat diduga sebagai
hemorrhage. Biasanya nodul tiroid tidak disertai rasa nyeri, apabila ditemukan nyeri
diagnosis banding yang harus dipertimbangkan adalah tiroiditis akut, kista dengan acute
hemorrhage, tiroiditis subakut atau De Quervain, infark tumor sel Hűrtle (jarang) dan
tiroiditis Hashimoto. Sebagian besar keganasan pada tiroid tidak memberikan gejala yang
berat, kecuali jenis anaplastik yang sangat cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu.
Pada pasien dengan nodul tiroid yang besar, kadang disertai dengan adanya gejala penekanan
pada oesofagus dan trakea
Pemeriksaan
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 33
Pemeriksaan Fisik
Nodul diidentifikasi berdasarkan konsistensinya keras atau lunak, ukurannya, terdapat
tidaknya nyeri, permukaan nodul rata atau berbenjol-benjol, berjumlah tunggal atau ganda,
memiliki batas yang tegas atau tidak, dan keadaan mobilitas nodul.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang membedakan neoplasma jinak dan ganas tiroid belum
ada yang khusus. Kecuali karsinoma meduler, yaitu pemeriksaan kalsitonin (tumor marker)
dalam serum. Pemeriksaan T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan karena pada karsinoma
tiroid dapat terjadi tirotoksikosis walaupun jarang. Human Thyroglobulin (HTG) Tera dapat
dipergunakan sebagai tumor marker terutama pada karsinoma berdiferensiasi baik. Walaupun
pemeriksaan ini tidak khas untuk karsinoma tiroid, namun peninggian HTG setelah
tiroidektomi total merupakan indikator tumor residif.
Pemeriksaan Isotop scan dan Ultrasonographic
Metode Isotop scan (IS), ultrasonograhic (USG) dan sitologi saat ini digunakan untuk
mengevaluasi nodul-nodul pada tiroid. IS memiliki spesifisitas tinggi dalam mendiagnosis
neoplasma malignan apabila akumulasi ekstratiroid 99mTc pertechnetate atau I 3IJ pada
nodul metastasis servikal atau demarcated nodul tiroid ”cold” kabur dipertimbangkan positif.
Karsinoma tiroid terlihat sebagai nodul hipoechogenik pada pemeriksaan USG, meskipun
demikian beberapa lesi benign juga mirip dengan gambaran echographic seperti pada lesi
malignan.
Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Biopsi aspirasi jarum halus tiroid telah berusia lebih dari 50 tahun dan merupakan
metode utama yang digunakan untuk diagnosis preoperatif pada anakanak dan dewasa. Biopsi
aspirasi jarum halus memegang peranan yang penting dalam mendeteksi neoplasma tiroid
dan membantu dalam penanganan reseksi pembedahan selanjutnya serta mengidentifikasi
lesi-lesi non neoplastik yang dapat ditangani secara konservatif. Biopsi aspirasi jarum halus
merupakan test yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis lesi tiroid dan telah banyak
publikasi yang mengkonfirmasi keunggulan dari biopsi aspirasi jarum halus ini. Akan tetapi,
walaupun merupakan test yang akurat dengan biaya yang murah dan sering tanpa komplikasi,
biopsi aspirasi jarum halus juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yaitu :
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 34
• Ketidakmampuan biopsi aspirasi jarum halus untuk memberikan diagnosis banding nodul
pada hypercellular goitre dan neoplasma folikular benign dan malignan. Keterbatasan ini
menyebabkan ahli sitologi sering mendiagnosisnya sebagai suspect (4-24%) dan
mengharuskan penderita untuk melakukan lobectomy untuk diagnosis yang lebih obyektif.
• Keterbatasan yang berkaitan dengan jumlah negatif palsu (1,3-17%) yang akhirnya akan
menyebabkan kegagalan penanganan neoplasma malignan.
• Sejumlah kasus dimana tidak mungkin merumuskan satu diagnosis disebabkan karena
material inadekuat (2-31%) sehingga menurunkan akurasi metode ini dan jumlah penderita
yang menjalani lobectomy meningkat untuk mendapatkan hasil diagnosis yang lebih akurat.
Sitologi biopsi jarum halus terutama diindikasikan pada nodul tiroid soliter atau nodul
dominan pada multinodul goiter. Empat sampai tujuh persen orang dewasa memiliki nodul
tiroid yang dapat diraba dan angka ini meningkat dengan ultrasonografi atau pada
pemeriksaan otopsi (>60%).
Klasifikasi Diagnosis Sitologi Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Kategori Sitologi
THY 1 Bahan tidak cukup ((Insufficient material)
THY 2 Jinak (nodul goiter)
( Benign (nodular goitre)
THY 3 Curiga suatu neoplasma
(Suspicious of neoplasm (follicular))
THY 4 Curiga keganasan
(papilari/meduler/anaplastik)
(Suspicious of malignancy
(papillary/medullary/anaplastic))
THY 5 Positif ganas
(Definite malignancy)27
Tabel 1. Klasifikasi diagnosis sitologi biopsi aspirasi jarum halus
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 35
Tipe Sitologi Lesi Neoplastik Tiroid
Karsinoma Papiler dan Varian
Aspirat dari karsinoma papiler biasanya kaya akan sel, dapat berupa sebaran, tersusun
dalam beberapa struktur seperti anastomosing papillary fragment, struktur folikular atau
dalam monolayered sheet, umumnya tidak dijumpai koloid. Diagnosis dari karsinoma ini
berdasarkan dengan dijumpainya kelompokan papiler kompleks yang dapat dilihat di bawah
mikroskop dengan pembesaran kecil. Calsified psammoma bodies dapat ditemukan. Harus
diingat bahwa struktur kalsifikasi yang menyerupai psammoma bodies juga terkadang
ditemukan pada tiroid normal, tiroiditis kronis dan terkadang pada beberapa tipe tumor. Sel-
sel tumor mirip dengan sel-sel folikular normal tetapi ukurannya lebih besar. Sitoplasma
basofilik dan opaque, biasanya ditemukan vakuola. Abnormalitas nukleus merupakan tanda
yang penting dari karsinoma papiler. Nukleus sel-sel kanker lebih besar daripada sel-sel
folikular. Gambaran nukleus berupa opaque ground glass dengan kromatin nukleus terdorong
ke pinggir dan nukleoli kecil berada di tengah. Karakteristik dan juga memiliki nilai
diagnostik adalah ditemukannya intracytoplasmic nuclear inclusion berbatas tegas yang
dapat dilihat dengan pewarnaan Diff-Quik atau Papanicolaou merupakan patognomonik
untuk karsinoma papiler meskipun tidak ditemukan struktur papiler. Gambaran nukleus lain
yaitu adanya lipatan dan celah berisi granul-granul halus. Multinucleated giant cell dari tipe
foreign body sangat sering ditemukan di dalam smear karsinoma papiler. Giant cell
berdampingan dengan fragmen monolayer atau papiler sel-sel tumor
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 36
Gambar 1. Karsinoma papiler tiroid. A. Multilayered, susunan papiler kompleks sel-sel
folikular merupakan diagnostik dari karsinoma papiler (MGG, 20x). B. Sheet sel-sel folikular
menunjukkan pembesaran nukleus dan intranuclear cytoplasmic inclusion (Diff-Quik stain).
(Dikutip dari: A. Koleksi pribadi Prof.Dr.HM.Nadjib D. Lbs,Sp.PA(K), B. Koss Leopold G.
Koss’ diagnostic cytology and its histopathologic bases. The Thyroid, Parathyroid, and Neck
Masses Other Than Lymph Nodes. 5th ed. Philadelphia. 2006).
Varian dari karsinoma papiler terdiri dari :
• Cystic papillary carcinoma
• Follicular variant of papillary carcinoma
• Tall-cell variant of papillary carcinoma
• Columnar cell variant of papillary carcinoma
• Warthin’s like variant of papillary carcinoma
• Diffuse sclerosing variant of papillary carcinoma in childhood
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 37
• Oxyphilic variant of papillary carcinoma7,10
Bentuk lain yang sangat jarang dari karsinoma papiler antara lain micropapillary,
macrofollicular, carcinoma with nodular fasciitis-like stroma dan clear cell.
Karsinoma Folikular
Umumnya aspirat karsinoma folikular adalah selular dan memiliki populasi sel sel
yang banyak dengan sedikit atau tidak adanya koloid. Sel-sel tersusun di dalam kelompokan-
kelompokan dan strukturnya berupa folikel. Adakalanya, sel-sel ini mirip dengan sitologi
adenoma folikular. Pada well-differentiated follicular carcinoma, sel atipik minimal, di mana
kesannya secara umum diduga benign.
Gambar 2. Karsinoma Folikular. Agregat sel-sel folikular dengan nukleus besar dan
intranuclear cytoplasmic inclusion kecil. Koloid sedikit. (Diff-Quik stain). (Dikutip dari:
Koss Leopold G. Koss’ diagnostic cytology and its histopathologic bases. The Thyroid,
Parathyroid, and Neck Masses Other Than Lymph Nodes. 5th ed. Philadelphia. 2006).
Nukleus atipik dapat dijumpai dengan ukuran bervariasi dan hiperkromatin. Nukleus
yang pucat dan intracytoplasmic inclusion kecil jarang ditemukan. Dikarakteristikkan dengan
dijumpainya nukleolus besar dan prominen di dalam selsel Folikular
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 38
Gambar 3. Karsinoma Folikular. Kelompokan sel-sel folikular menunjukkan keberagaman
ukuran nukleus (MGG, 40x). (Dikutip dari: Koleksi pribadi Prof.Dr.H.M.Nadjib D. Lbs,
Sp.PA(K))
Gambar 4. Karsinoma Folikular. Sel-sel tumor menunjukkan nukleolus yang prominen di
dalam nukleus besar. (Dikutip dari: Koss Leopold G. Koss’ diagnostic cytology and its
histopathologic bases. The Thyroid, Parathyroid, and Neck Masses Other Than Lymph
Nodes. 5th ed. Philadelphia. 2006).
Secara garis besar kriteria diagnosis karsinoma folikular adalah sebagai berikut:
• Selular, biasanya smear banyak darah
• Banyak kelompokan sel-sel epitelial berukuran sama yang tersebar pada smear
• Agregat sel syncitial, nukleus banyak dan overlapping
• Mikrofolikel dan rosette
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 39
• Sedikit atau tidak ada koloid
Sel-selnya multilayered ukuran bervariasi, populasi sel uniform, kelompokan
mikroasinar dengan lumen sentral mengandung tetesan koloid mempresentasikan
mikrofolikel. Mikrofolikel adalah karakteristik neoplasma folikular tetapi dapat juga
ditemukan secara fokal pada goiter multinodular. Pola trabekular ditunjukkan dengan adanya
agregat-agregat berbaris dan elongated dari sel-sel epitelial yang melekat pada stroma
vaskular dan menyerupai struktur papiler. Pembuluh darah kecil dengan sel-sel epitelial yang
berdekatan dapat ditemukan pada beberapa tipe neoplasma folikular.
Karsinoma Meduler
Smear biasanya selular dan sel-sel malignan tersebar. Mengandung sel-sel epitelial
besar dengan sitoplasma ireguler yang banyak, tetapi sering kali berbentuk triangular dan
besar, hiperkromatik, nukleus eksentrik disertai dengan nukleoli yang prominen. Pada
beberapa kasus, sel-sel mirip dengan sel plasma (sel plasmasitoid) tetapi ukurannya lebih
besar. Smear juga mengandung sebaran giant cell dengan nukleus besar dan hiperkromatik.
Sitoplasma dari sel malignan bergranul pudar di dalam material yang difiksasi, sedangkan di
dalam air-dried May Grűnwald Giemsa berwarna merah terang. Granul merefleksikan
aktifitas endokrin, sering berupa sekresi calcitonin yang dapat dilihat dengan mikroskop
elektron atau imunositokimia. Varian dari tumor mengandung sel-sel spindel, elongated atau
sel-sel malignan kecil mirip dengan sel-sel carcinoid. Pola sel-sel yang kecil sering
disalahdiagnosiskan dengan limfoma malignan, sedangkan sel-sel spindel
disalahdiagnosiskan dengan sarkoma atau metastasis karsinoma renal. Substansi amorf
(amiloid) merupakan komponen karakteristik karsinoma meduler tiroid.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 40
Gambar 5. Karsinoma meduler tiroid. A. Sitoplasma bergranul. B. Sel-sel malignan hampir
menyerupai sel-sel plasma (MGG). (Dikutip dari: Koss Leopold G. Koss’ diagnostic cytology
and its histopathologic bases. The Thyroid, Parathyroid, and Neck Masses Other Than
Lymph Nodes. 5th ed.
Philadelphia. 2006).
Karsinoma Anaplastik
Dijumpai dua bentuk karsinoma anaplastik yaitu karsinoma spindel dan giant cell dan small-
cell-type carcinoma. Smear aspirat dari anaplastic giant cell carcinoma biasanya
mengandung materi nekrotik, debris selular, sel inflamasi terutama granulosit dan polimorf
besar, sering dijumpai multinucleated cell dengan inti besar bizarre dan nukleoli yang sangat
prominen. Pada small-cel anaplastic carcinoma, aspirat mengandung sel-sel malignan
dengan inti bulat atau oval dan sitoplasma sedikit. Sangat sulit dibedakan dengan limfoma
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 41
malignan meskipun dilihat dengan pemeriksaan histopatologi. Untuk membedakan antara
kedua tumor ini digunakan flow cytometry atau imunositokimia.
Gambar 6. Karsinoma anaplastik tiroid. A. Tumor dengan multinucleated giant cells besar. B.
Karsinoma anaplastik tiroid dengan nukleus kecil multipel (Diff-Quik). (Dikutip dari: Koss
Leopold G. Koss’ diagnostic cytology and its histopathologic bases. The Thyroid,
Parathyroid, and Neck Masses Other Than Lymph Nodes. 5th ed. Philadelphia. 2006).
Staging Karsinoma Tiroid
Stadium Klinik Berdasarkan Sistem TNM :
T (Tumor primer)
• Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
• T0 Tidak didapat tumor primer
• T1 Tumor dengan ukuran 2cm atau kurang, masih terbatas pada tiroid
• T2 Tumor dengan ukuran lebih dari 2cm namun tidak lebih dari 4cm, masih terbatas pada
tiroid
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 42
• T3 Tumor dengan ukuran lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid, atau tumor dengan
ukuran berapa saja dengan perluasan ekstratiroid minimal (misal perluasan ke sternohyoid
muscle atau perithyroid soft tissue)
• T4a Tumor dengan ukuran berapa saja yang telah meluas keluar kapsul tiroid hingga
menginvasi subcutaneous soft tissue, larynx, trachea, esophagus, atau recurrent laryngeal
nerve
• T4b Tumor menginvasi prevertebra fascia atau melapisi arteri karotid atau pembululuh
darah mediastinum Seluruh tumor undifferentiated (anaplastic) dianggap T4
• T4a Karsinoma anaplastik intratiroid – surgically resectable
• T4b Karsinoma anaplastik ekstratiroid – surgically unresectable
N (Kelenjar getah bening regional)
• Nx Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
• N0 Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening regional
• N1 Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional
• N1a Metastasis ke level VI kelenjar getah bening ( pretracheal, paratracheal, dan
relaryngeal/Delphian)
• N1b Metastasis pada kelenjar getah bening unilateral atau kontralateral atau mediastinum
posterior
M (Metastasis jauh)
• Mx Metastasis jauh belum dapat dinilai
• M0 Tidak terdapat metastasis jauh
• M1 Terdapat metastasis jauh
Prognosis
Prognosis karsinoma papiler baik, 10-year survival lebih dari 90% dan untuk pasien
muda lebih dari 98%. Perbandingan relatif area-area papiler dan folikular tidak berhubungan
dengan prognosis, tetapi invasi vaskular dan nuklear atypia mungkin merupakan tanda-tanda
prognostik yang berlawanan. Sedangkan pada tall-cell variant dan columnar cell variant
prognostiknya sangat jelek oleh karena memiliki behavior yang sangat agresif. Karsinoma
folikular lebih agresif daripada karsinoma papiler. Prognosis bergantung pada invasi jauh dan
staging. Secara langsung berhubungan dengan ukuran tumor (<1,0cm mempunyai prognosis
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 43
yang baik). Lebih dari setengah penderita meninggal dunia dalam 10 tahun tetapi hal ini
bervariasi tergantung pada derajat invasi tumor ke dalam pembuluh darah, kapsul tumor, atau
jaringan sekitarnya. Gambaran klinis umum berhubungan dengan prognosis bergantung pada
usia, ukuran tumor, perluasan keluar dari tiroid, pembedahan yang komplet dan metastasis
jauh. Efek prognostik yang berlawanan pada usia tua ditekankan terhadap ukuran tumor yang
besar dan perluasan ekstraglandular dari tumor.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 44
Nama : Hansa Eka Pertiwi
NIM : 2012730044
10. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus diskenario!
Jawab:
OAT Dosis Harian Mg/kg BB/ hari
Dosis 2x/ minggu Mg/KgBB/ hari
Dosis 3x/ minggu Mg/KgBB/hari
Isoniazid (INH) 5-15 max 300 mg 15-40 max 900 mg 15-40 max 900 mgRifampisin 10-20 max 600 mg 10-20 max 600 mg 15-20 max 600 mgPirazinamid 15-40 max 2 g 50-70 max 4 g 15-20 max 3 gEtambutol 15-25 max 2,5 g 50 max 1,5 g 15-25 max 2,5 gStreptomisin 15-40 max 1 g 25-40max 1,5 g 25-40 max 1,5 g
Isoniazid
Isoniazid diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Obat ini juga diberikan melalui intramuscular dan intravena. Obat ini mempunyai tingkat pengikatan pada protein yang sangat rendah (10%), dan waktu paruhnya adalah 1-4 jam. Isoniazid dimetabolisme oleh hati dan 50 % dari obat ini diekskresikan tanpa mengalami perubahan ke dalam urin. Isoniazid menghambat sintesis dinding sel dari basil tuberkulose.
Rifampisin
Rifampisin aktif terhadap kuman gram-positif dan kuman gram negative. Efek samping tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut. Semua OAT diminum malam sebelum tidur.
Pirazinamid
Resorpsinya cepat dan hampir sempurna; kadar maksimal dalam plasma sudah daicapai dalam 1-2 jam. PP-nya k.l 50%, plasma-t stngah nya 9-10 jam. Efek sampingnya yang sering kali terjadi dan berbahaya adalah kerusakan hati dengan icterus. Pengobatan harus segera dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati.
Etambutol
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mg/kg BB menimbulkan efek toksis yang minimal. Pada dosis ini kurang 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit dan demam
Streptomisin
Gangguan penglihatan berupa Neuritis
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 45
Nama : Fauzio N. Khaira
NIM : 2012730037
11. Bagaimana prognosis, preventif, dan komplikasi pada skenario? Jawaban:
PROGNOSIS
• Prognosis untuk pemulihan adalah baik jika segera diobati dengan pengobatan yang tepat. Dalam kebanyakan kasus, infeksi dapat dikendalikan dalam tiga atau empat hari. Namun, dalam beberapa kasus mungkin diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan untuk pembengkakan menghilang, panjang pemulihan tergantung pada penyebab infeksi. Pengobatan yang tidak tuntas dapat menyebabkan resistensi dan septikemia
PREVENTIF
• Menerapkan pola hidup sehat, makan makan bernutrisi dan gizi yg baik
• Olahraga teratur
• Istirahat yg cukup
• Intinya sehat
KOMPLIKASI
• Penyebaran langsung melalui kel limfe >> servikal, inguinal, aksial
• Penyebaran melalui darah >> paru, otak, tulang
• Pembentukan abses
• Sepsis
• Fistula
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 46
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan Jadi, simpulan yang didapatkan pada Modul 3 – Benjolan pada leher ini adalah telah
didapatkan beberapa DD yaitu limfoma, limfodenitis dan kanker tiroid. Tapi kelompok kami
lebih mengarah ke TB Kelenjar karena manifestasi klinis yang terdapat diskenario sangat
mendekati dengan penyakit tersebut.
Tetapi untuk lebih memastikan lagi, selain pasien telah di anamnesis pasien juga
harus melakukan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai sehingga
dapat diberikan penatalaksanaan yang tepat.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 47
DAFTAR PUSTAKA
Bratawidjaja, Karnen Garna & Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi VI
Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2, FKUI
Buku Ajar Penyakit THT BOIES Edisi 6, EGC
FKUI. Limfoma maligna. Dalam: Wan Desen, penyunting. Buku Ajar Onkologi Klinik ed.2.
Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008. h. 547-63.
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Isselbacher, dkk. 2014. Horrison “Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam” ed 13 vol 4.
Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses penyakit, alih bahasa
Peter Anugrah, edisi 4. Jakarta. EGC. 1999
Reksodiputro A.H., sumantri R. dan Irawan C. Limfoma Non-Hodgkin dan Penyakit
Hodgkin. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5-jilid II. Jakarta:Interna Publishing. 2009. h 1251-65.
Snell RS. Anatomi Klinik. ed 6. Jakarta: EGC, 2006. h. 21
Sherwood L.Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. ed 2. Jakarta: EGC, 2007. hal. 323.
Modul 3 – Benjolan Pada Leher | 48