Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan
Bab 1 Konsep, Prinsip, dan Syarat-syarat Kepemimpinan Pendidikan
A. Konsep Dasar Kepemimpinan Pendidikan
1. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan
Menurut bafadal (2003), kepemimpinan dapat didefinisikansebagai
keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan dan
menuntun orang lain dalam proses kerja agar berpikir, bersikap, dan bertindak
sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah di
tetapkan
Dengan demikian pada hakikatnya proses kepemimpinan dapat muncul bila
terdapat unsure-unsur berikut :
Orang yang memimpin
Orang-orang yang dipimpin
Kegiatan atau tindakan penggerakan untuk mencapai tujuan
Tujuan yang ingin dicapai bersama
2. Teori-teori Kepemimpinan
Beberapa inti sari teori kepemimpinan dari berbagai penulis :
a. Teori Sifat (Traits Theory)
Teori ini beranggapan bahwa apa yang membuat seorang pemimpin
berhasil (efektif) bersumber dari kepribadian (personality) pemimpin itu
sebagai seorang insan. Penganut teori ini berusaha mengidentifikasikan ciri-
ciri seorang pemimpin yang berhasil dan yang tidak berhasil melalui sifat-sifat
pemimpin. Sifat-sifat tersebut antara lain intelektual, hubungan sosial, keadaan
emosional, keadaan fisik, imajinasi, kekuatan imajinasi dan sebagainya yang
di perkirakan merupakan sifat-sifat yang dimiliki seorang pemimpin.
Pada dasarnya teori ini memiliki beberapa kelemahan, di antaranya sebagai
berikut :
Tidak adanya penyesuaian atau kesamaan mengenai perincian sifat-
sifat yang dimaksud.
Terlalu sulit untuk menetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin.
Situasi dan kondisi tertentu memerlukan sifat-sifat pemimpin yang
tertentu pula.
b. Teori Lingkungan (Environmental Theory)
Teori ini berpendapat bahwa kemunculan pemimpin merupakan hasil
dari waktu, tempat, dan situasi sesaat. Seorang pemimpin akan timbul dari
situasi tertentu dan dari situasi tertentu ini sekelompok orang akan
memerlukan seseorang yang memiliki kelebihan dan ketrampilan tertentu
untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam situasi tersebut.
Dengan demikian, kepemimpinan tidak terletak pada diri individu
melainkan merupakan fungsi dari suatu peristiwa. Kepemimpinan dapat
dianggap sebagai faktor instrument pemimpin dalam memecahkan masalah
yang muncul.
Melalui teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan muncul sebagai
pemimpin apabila ia berada dalam lingkungan sosial, yaitu suatu kehidupan
kelompok dan memanfaatkan situasi dan kondisi sosial untuk bertindak dan
berkarya mengatasi masalah-masalah social yang timbul.
c. Teori Pribadi dan Situasi (Personal – Situational Theory)
Menjelaskan kepemimpinan sebagai akibat dari seperangkat kekuatan yang
tunggal. Sementara itu adanya interaktif antara faktor pribadi dan faktor situasi
diabaikan. Pada dasarnya teori ini mengakui bahwa kepemimpinan merupakan
produk dari terkaitnya 3 faktor:
Perangkai (sifat-sifat) pribadi dari pemimpin,
Sifat dari kelompok dan anggota-anggotanya, dan
Kejadian-kejadian (atau masalah-masalah) yang di hadapi oleh
kelompok.
d. Teori Interaksi dan Harapan (Interaction – Expectation Theory)
Mendasarkan pada variabel-variabel; aksi, reaksi, interaksi, dan perasaan.
Oleh karena itu aksi-aksi pemimpin harus berisi sesuai dengan harapan untuk
kemudian ditanggapi dengan reaksi sehingga dengan demikian terjadilah
interaksi yang dipatrisipasikan dengan perasaan-perasaan tertentu. Interaksi
tersebut diusahakan dapat memenuhi harapan-harapan bersama.
e. Teori Humanistik (Humanistic Theory)
Menurut teori ini menjelaskan bahwa perlu dilakukannya otivasi pada
pengikut dengan memenuhi harapan mereka dan memuaskan kebutuhan
mereka. Dengan mengusahakan keseimbangan antara kebutuhan/ kepentingan
perseorangan dan kebutuhan/ kepentingan umum organisasi.
f. Teori Tukar-Menukar (Exchange Theory)
Berdasarkan asumsi bahwa interaksi social menggambarkan suatu bentuk
tukar-menukar dimana pemimpin dan yang dipimpin memberikan kontribusi
dengan pengorbanan dan menerima dari pengorbanan yang mereka berikan.
Maka dengan cara demikian terjadi gerak, yaitu gerak dari pengikut yang
digerakkan oleh pemimpin.
3. Sumber-Sumber Kepemimpinan
Kepemimpinan pendidikan dapat di golongkan melalui statusnya menjadi :
Pemimpin Resmi, merupakan sebutan bagi mereka yang menduduki posisi
pimpinan dalam suatu struktur organisasi pendidikan
Pemimpin yang Tidak Resmi merupakan sebutan bagi mereka yang
mampu mempengaruhi dan mendorong ke arah perbaikan pendidikan dan
pengajaran, walaupun mereka tidak menduduki posisi pimimpinan dalam
struktur organisasi pendidikan.
Melalu penjabaran di atas akan lebih baik bila seorang pemimpin dalam struktur
organisai pendidikan juga memiliki kelebihan-kelebihan yang berasal dari dirinya.
4. Fungsi-Fungsi Kepemimpinan Pendidikan
Sebelum menjelaskan tentang kepemimpinan pendidikan, berikut
merupakan fungsi-fungsi kepemimpinan secara umum, oleh Bales dan Slater
(1955) melihat ada 2 fungsi utama dalam yang di tampilkan oleh pemimpin.
1) Dihubungkan dengan produktifitas seorang pemimpin
2) Berkaitan dengan dukungan sosio emosional dari anggota-anggota kelompok.
Saat ini di jelaskan pembahasan tentang fungsi-fungsi kepemimpinan
dalam pendidikan oleh Tahalele dan Indrafachrudi (1975) menyebutkan ada 2
fungsi primer pada kepemimpinan pendidikan :
1) Yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai.
2) Yang berkaitan dengan penciptaan suasana pekerjaan yang sehat dan
menyenangkan.
B. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Pendidikan
Dapat dikemukakan beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Prinsip Pelayanan
Prinsip pelayanan berarti bahwa kepemimpinan sekolah harus menerapkan unsur-
unsur pelayanan dalam kegiatan operasional di sekolahannya. Unsur pelayanan
dititikberatkan pada diri pemimpin pendidikan (kepala sekolah). Yang difokuskan
pada kepentingan dan perkembangan peserta didik dan para guru agar dapat
mencapai prestasi yang diharapkan.
2. Prinsip Persuasi
Prinsip persuasi menekankan agar dalam menjalankan kepemimpinannya,
pemimpin pendidikan memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi
setempat demi keberhasilan kepemimpinan pendidikan atau program pendidikan
yang sedang dan akan dilaksanakan. Diharapkan agar segala sesuatu dapat
berjalan secara serasi, seimbang dan selaras sehingga proses brlajar-mengajar
dapart berlangsung secara wajar dan mantap. Dengan melihat beberapa faktor
yang ada; faktor lingkungan, peraturan, dan kebijakan yang berlaku.
3. Prinsip Bimbingan
Prinsip bimbingan ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan kepemimpinannya,
pemimpin pendidikan hendaknya membimbing peserta didik ke arah tujuan yang
ingin dicapai sesuai dengan perkembangan peserta didik di lembaga yang ada
dalam wilayah pembinaannya.
4. Prinsip Efisiensi
Prinsip ini merupakan prinsip yang bersifat ekonomis. Pada dasarnya prinsip ini
menekankan pada pengolahan daya guna yang maksimal dalam melaksanakan
kepemimpinannya. Yang berkaitan dengan dana, waktu, tenaga, dan pikiran.
5. Prinsp Berkesinambungan
Prinsip berkesinambungan adalah prinsip yang bertujuan agar kepemimpinan
pendidikan ini tidak hanya diterapkan pada 1 waktu saja, tetapi perlu secara terus
menerus selama mereka berada di sekolah. Hal ini menjadi penting karena dalam
proses belajar-mengajar memerlukan waktu yang cukup lama dan panjang.
C. Syarat-syarat Kepemimpinan Pendidikan
Seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin pendidikan harus memenuhi beberapa
persyaratan yang telah ditentukan. Syarat-syaratnya yakni :
1. Syarat-syarat Formal
Syarat-syarat formal seseorang yang menjabat sebagai pemimpin pendidikan
tertuang dan dirumuskan secara lengkap dalam Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Republiki Indonesia Nomor 162/U/2003 Tentang Pedoman Penugasan
Guru Sebagai Kepala Sekolah
2. Syarat Fundamental
Syarat Fundamental yang dimaksudkan adalah Pancasila yang merupakan falsafah
Negara yang tidak dapat dilepas dari kegiatan pendidikan dan dasar-dasar
pendidikan nasional. Pancasila ini dijadikan acuan/ dirujuk, dihayati, dan
diamalkan.
3. Syarat-syarat Praktis
Syarat-syarat praktis merupakan syarat-syarat yang berkaitan dengan tugas sehari-
hari bagi pemimpin pendidikan, yang terbagi sebagai berikut :
1) Memiliki kelebihan dalam pengetahuan dan kemampuan.
2) Memiliki kelebihan dalam kepribadian.
4. Syarat-syarat Kepemimpinan Lainnya
Nawawi (1988) mengemukakan bahwa menjadi seorang pemimpin memiliki :
a. Kecerdasan atau intellegensi yang cukup baik.
b. Percaya diri dan bersifat membership.
c. Cakap bergaul dan ramah tamah.
d. Kreatif, inisiatif, dan memiliki kemauan berkembang menjadi lebih baik.
e. Organisatoris yang berpengaruh dan berwibawa.
f. Memiliki keahlian dan ketrampilan dalam bidangnya.
g. Suka menolong, memberi petunjuk, menghukum secara konsekuen, bijaksana.
h. Memiliki keseimbangan/ kestabilan emosional dan bersifat sabar.
i. Memiliki semangat pengabdian dan kesetiaan yang tinggi.
j. Berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab.
k. Jujur, rendah hati, sederhana, dan dapat dipercaya.
l. Bijaksana dan selalu berlaku adil, disiplin.
m. Berpengetahuan dan berpandangan luas.
n. Sehat jasmani dan rohani.
Bab 2 Tipe-tipe Kepemimpinan Pendidikan
A. Kepemimpinan yang Otokratis
Pada dasarnya pemimpin yang otokratis memiliki sifat yang ingin berkuasa
dan memperlihatkan kekuasaannya. Pemimpin yang seperti ini berpandangan bahwa
maju-mundurnya seolah hanya bergantung pada kepemimpinannya. Pemimpin yang
seperti ini merupakan tipe pemimpin yang pekerja keras, teliti dan tertib sertqa
menghendaki bawahannya juga bekerja keras dan serius. Memiliki ketakutan dan
kekhawatiran akan kinerja bawahannya. Sehingga pengawasan terhadap bawahannya
sangat ketat yang mengakibatkan suasana sekolah menjadi tegang.
B. Kepemimpinan yang Pseudo-Demokratis
Seorang pemimpin yang pseudo-demokratis diibaratkan banyak memakai
topeng. Ia berpura-pura memperlihatkan sikap demokratis di dalam
kepemimpinannya. Ia member hak dan kuasa kepada para guru untuk menetapkan dan
memutuskan sesuatu, tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Di situ ia
mengatur siasat agar kemauannya juga terwujud.
Dengan demikian maka sifat-sifat seorang pemimpin yang disebut pseudo-
demokratis sebenarnya bersifat otokratis, tetapi dalam kepemimpinannya ia member
kesan seperti demokratis. Yang disebut juga sebagai manipulasi diplomatis.
C. Kepemimpinan yang Laissez-Faire
Kepemimpinan yang Laissez-Faire menghendaki bawahannya diberi banyak
kebebasan. Ia berpandangan bahwa biarlah para guru bekerja sesuka hatinya,
berinisiatif, dan menjalankan kebijaksanaannya sendiri. Menghargai usaha para guru
tidak menghalang-halangi dan tidak usah diawasi dalam menjalankan tugasnya.
Pandangannya bahwa para guru akan bekerja dengan kegembiraannya tanpa
kekangan.
Namun pemimpin yang seperti ini bekerja tanpa rencana, sehingga suasana
menjadi tidak teratur, kacau balau dan tidak disiplin. Kepemimpinan seperti ini dapat
memperlihatkan ketidakmampuan, kemalasan seorang pemimpin dan sifat masa
bodoh dan ketidak mengertian akan makna demokrasi.
D. Kepemimpinan yang Demokratis
Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari
kelompok yang secara bersama-sama berusaha dan bertanggung jawab mencapai
tujuan bersama. Sehingga sosok pemimpin ini melibatkan para bawahannya dalam
proses kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Serta menganggap bahwa
baawqahannya merupakan sumber potensi yang berharga dan mempunyai peranan
dalam uaha pencapaian tujuan.
Melalui kepemimpinan demokratis mewujudkan suasana yang harmonis,
munculnya ketaatan akan perencanaan dan pelaksanaan yang telah dibuat bersama.
Para guru dapat dengan inisiatif dan inovatif mengembangkan metode-metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas belajar-mengajar di kelas.
Bab 3 Perkembangan Teori Kepemimpinan Dalam Organisasi Pendidikan
Pada dasarnya kepemimpinan pada supervisi bukanlah serangkaian
kompetensi yang dibuat oleh seseorang dalam suatu peranan. Akan tetapi,
kepemimpinan adalah suatu pendekatan atau suatu cara kerja dengan manusia dalam
suatu organisasi untuk menyelesaikan dalam suatu tugas. Dengan demikian orang-
orang yang berperan dalam kepemimpinan supervisi harus mengerti kondisi suatu
organisasi dan memiliki tinjauan terhadap apa yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki organisasi dan menyambungkan perilaku-perilaku orang lain dengan
struktur organisasi yang bersangkutan.oleh karena itu, untuk memimpin supervisor
(pengawas) harus memiliki teori kepemimpinan.
A. Asal Usul Organisasi
Bangsa mesir kuno (sekitar 500 tahun SM ), memperlihatkan ketrampilan
berorganisasi yang kompleks dalam membangun peramida.
Bangsa Babylonia (sekitar tahun 2000-1700 SM), menciptakan monument
megah yang disebut “Code of Hammurabi”.
Cina (Ribuan tahun yang lalu), mempunyai program latihan yang kompleks
untuk melatih para pemimpin dan ilmuan.
Amerika serikat (Pada Permulaan Abad ke-19), revolusi industri mendorong
studi perilaku kepemimpinan.
B. Situasi sebagai Struktur Organisasi
Merekomendasikan suatu piramida struktur organisasi secara hierarki yang
membatasi pengambilan keputusan dari atasan turun kepada bawahan. Pola tradisional
ini yang dikenal sebagai “organisasi formal”.
Melalui teori-teori yang berkembang (Frederick Taylor, Max Weber, dan
Henry Fayol) dijelaskan sebagi berikut:
Frederick Taylor (1911), dalam studi mengenai struktur sebagai dasar
organisasi. Dalam bukunya tentang prinsip-prinsip manajemen ilmiah yang
menyatakan bahwa proses kerja yang teliti dan mengatur kembali organisasi
menurut garis fungsional.
Henry Fayol (sekitar abad ke-19 dan ke-20), untuk mengungkapkan prinsip-
prinsip umum organisasi melalui bukunya yang berjudul manajemen umum
dan organisasi. Ia berpendapat bahwa manajemen adalah jendral untuk semua
usaha manusia dan prinsip yang dapat diterapkan dalam semua kegiatan
manajemen.
Max Weber, melalui analisisnya ia menetapkan suatu konsep birokrasi dan
penyesuaian sistem administrasi pada kebutuhan organisasi yang kompleks
dan luas.
Melalui ketiga pandangan tersebus dapat kategorikan pada susunan dministrative
yang didominasi oleh perhatian pada struktur. Kategori tersebut yakni :
Organisasi formal yang kurang kompleks (organisasi lini).
Organisasi formal yang memiliki garis hubungan sama dengan anggota-
anggota staf tidak terikat dalam rantai kekuasaan.
Organisasi formal yang lebih kompleks, dalam organisasinya terdapat
beberapa lapis (berlapis tinggi dan berlapis tipis).
Selama sekitaran abad tersebut pendidikan juga mengikuti pola struktur yang
demikian, namun dengan perkembangan waktu sekolah-sekolah menggunakan
birokrasi yang sudah di modifikasi. Dalam modifikasi tersebut di temukan suatu hal
yang lebih fleksibel dan tanggap terhadap perubahan lingkungan pendidikan.
C. Proses sebagai Dasar Organisasi
Sebagai dasar organisasi, proses meliputi suatu siklus yang berhubungan
dengan perubahan langkah-langkah yang termasuk di dalamnya penganalisisan,
perencanaan, penerapan, dan penilaian. Penyelidikan dalam ilmu pengetahuan social
telah mengungkapkan variasi bidang pengetahuan social. Dengan pengungkapan ini
telah mengungkapkan variasi bidang penemuan khusus yang mengagetkan dalam
penganalisisan proses organisasi.
Beberapa teori yang di ungkapkan sebagai cara untuk melukiskan proses
administrasi sekolah sebagai berikut :
Teori Sistem (hasil dari ilmu pengetahuan fisika), memberikan konsep tentang
saling ketergantungan dalam organisasi dan menjelaskan mengapa perubahan
tersebut berpengaruh pada suatu organisasi pada satu pihak dan pada seluruh
organisasi pada pihak lain. Sebuah sistem secara sederhana adalah sekelompok
objek yang diperlakukan sebagai 1 kesatuan. Dengan menyerap teori sistem
dalam administrasi pendidikan, semuanya merupakan proses pelaksanaan
organisasi sekolah yang memiliki arti penting atau wilayah sekolah secara
keseluruhan.
Dalam teori modern, konsep sistem kedudukan administrasi sebagai kekuatan
sentral dalam organisasi yaitu 1 kekuatan yang mengkoordinasikan dan
merangkaikan kegiatan. Peranan tersebut mengharuskan administrator
memahami dan terampil dalam mengkonseptualisasikan hubungan yang
terjadi di dalamnya
Dalam perngkat sekolah, sebuah sistem boleh dirumuskan sebagai seperangkat
komponen yang datur sedemikian rupa untuk tercapainya tujuan yang diharapkan.
Komponen tersebut terdiri atas fasilitas, material, dana, guru pengujian dan
sekumpulan variabel pengembangan lain untuk mendidik anak-anak. Nilai nyata dari
perspektif sistem bagi supervisor sebagai alat mengidentifikasi kondisi-kondisi yang
tidak menyumbang atau menghambat dalam arus kegiatan. Dapat dikatakan, sekali
dapat diidentifikasikan kekurangan sistem dapat ditargetkan kembali untuk membuat
rancangan. Sistem dapat juga membantu pendidik membangun model-model kondisi
belajar yang di inginkan.
D. Relasi-Relasi sebagai Dasar Organisasi
Studi relasi diantara orang dalam organisasi merupakan focus yang lain yang
perlu diperhatikan. Hal ini dapat didekati dari sejumlah variabel. Misalnya
komunikasi, kebutuhan individual, semangat juang, motivasi, dan kelompok kerja
kecil studi relasi organisasi telah diperkaya oleh studi kepemimpinan dan member
petunjuk terhadap fungsi organisasi.
Secara keseluruhan, studi mengenai organisasi dari perspektif relasi
menawarkan praktik supervisor dengan berbagai pemahaman tentang peranan mereka
dalam mempengaruhi perilaku manusia.
E. Pengaruh sebagai Dasar Organisasi
Studi mengenai pengaruh terdiri atas :
a. Perubahan
Menurut Guba (1967), disini guba mengidentifikasi menjadi 3 macam
perubahan yakni :
1. Evolusioner (perubahan alamiah)
2. Homeostatic (perubahan rektif)
3. Neomobilisrik (perubahan direncanakan)
Menurut Chin (1969), mengenai strategi perubahan yakni :
1. Rasional empirik
2. Normatif-reedukatif
3. Wibawa-paksa
b. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan suatu kekuatan pendorong yang tidak dapat diraba
dalam suatu perubahan yang direncanakan. Usaha-usaha untuk mempelajari dan
menganalisis kepemimpinan telah berkembang melalui 3 tahap penyelidikan :
Studi mengenai sifat-sifat kepemimpinan.
Analisis situasi atau lingkungan yang mempengaruhi kepemimpinan.
Studi mengenai pertukaran atau transaksi diantara pemimpin dan
pengikut.
c. Pengambilan keputusan
Pengembangan kebijakan atau kewenangan keputusan untuk menuntun
keputusan lain dilengkapi oleh supervisor dengan cara mengature dan
menstabilkan organisasi melalui perubahan waktu. Bidang-bidang khusus dalam
studi kebijakan, termasuk pembentukan kebijakan, cara-cara untuk pengambilan
keputusan, mempengaruhi badan-badan luar dalam pembentukan kebijakan, dan
pemecahan konflik banyak mendapat perhatian studi kebijakan. Minat dalam
kebijakan dan pengambilan keputusan akan berlanjut dan berkembang luas.
Sehubung dengan hal tersebut, Compbell mengamati hal-hal tersebut dan
diterjemahkan sebagai berikut dalam menjalankan perubahan:
1. Keefektifan sekolah.
2. Kerepresentatifan pembuat kebijakan sekolah.
d. Peranan politik pendidikan
Politik dapat dirumuskan sebagai suatu seni atau ilmu pengetahuan
memerintah, tetapi perhatian penyelidikan terpusat pada aplikasi kewibawaan
untuk mempengaruhi organisasi.
Sistem sekolah diadministrasikan dalam struktur kewibawaan yang
kompleks. Badan pendidikan tidak melakukan wewenang akhir atas kebijakan
pendidikan. Dalam relitasnya badan pendidikan hanya melakukan kewibawaan
sampai ia dapat mensahkan keputusan (membuat keputusan itu dapat diterima)
dalam sistem politik. Badan pendidikan tidak dapat memaksa kebijakan yang
tidak dapat diterima oleh orang yang dilayaninya dan menahan kebijakan itu.
Dengan demikian, orang yang bergerak di sekolahan harus secara continue
mencari persetujuan masyarakat mengenai pelaksanaan kebijakan.
Bab 4 Kepemimpinan dalam Administrasi
Administrasi sudah muncul sejak zaman dahulu, tetapi dalam konteks masih
sangat terbatas dan sempit. Seiring dengan perkembangan zaman dan perdaban
manusia maka manusiapun mulai menata dan memaknai sistem administrasi ke arah
yang lebih luas. Kini administrasi sudah masuk dalam berbagai segi kehidupan
manusia. Tak ketinggalan dunia pendidikan saat inipun mulai mengembangkan sistem
adminstrasinya dengan baik. Dengan mengembangkan dan menerapkan sistem
administrasi dengan baik, maka dapat dikatakan tata kelola sistem pendidikan akan
berjalan dengan baik pula dan apa yang diharpakan dapat tercapai.
Administrasi dalam dunia pendidikan dimaksudkan untuk mengelola dan
memecahkan berbagai permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan. Misalnya
saja permasalahan yang berkaitan dengan organisasi pendidikan yang menyangkut
dengan tanggung jawab dang wewenang kepala sekolah maupun guru, masalah
pembelajaran yang kerap kali dihadapi oleh guru dikelas dan sebagainya, data dan
jumlah murid, keuangan sekolah, dan sebagainya. Di sekolah, kepala sekolah juga
selain sebagai adminstrator ia berperan sebagai supervisor. Maka oleh karena itu,
kepala sekolah harus memiliki skil yang baik sehingga mampu untuk menjalankan
tugasnya dengan baik pula.
Bab 5 Membina Hubungan Baik dengan Masyarakat
Sekolah dan masyarakat merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. Hubungan komunikasi sekolah dengan masyarakat harus tetap terjaga.
Hubungan ini merupakan hubungan yang saling memerlukan dimana sekolah
memerlukan masukan-masukan atau pendapat dari masyarakat demi kemajuan
sekolah dan masyarakat juga memerlukan program-program sekolah yang berkualitas.
Dalam membina membangun komunikasi sekolah harus melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh
dalam masyarakat, kemudian melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dalam kegiatan-
kegiatan/program sekolah. Disampin itu juga sekolah harus memperkenalkan
program-program sekolah kepada masyarakat agar masyarakat juga dapat mengetahui
sehingga masyarakat dapat ikut ambil bagian dalam program tersebut. Dalam
menyusun program sekolah juga harus dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat
yang dapat memberikan sumbangan pikiran yang baik.
Dalam hubungan dengan masyarakat, juga tak jarang terjadi kesalahpahaman.
Maka dari itu, pihak sekolah harus bijaksanan dalam menangani jika terjadi hal-hal
seperti itu. Dalam membuat program dan mengevaluasinya sebaiknya sekolah
menlibatkan masyarakat atau tokoh-tokoh yang ada dimasyarakat.
Sekolah harus mampu menyusun program dan dapat menyampaikannya serta
memberikan pemahaman sebaik mungkin kepada masyarakat dengan strategi-strategi
yang baik, agar kerja sama sekolah dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik
pula. Ketika masyarakat dapat memahami program sekolah, maka program sekolah
juga akan berjalan dengan baik.
Penyampaian informasi kepada masyarakat selaku konsumen/pengguna jasa
layanan pendidikan juga harus benar-benar dikemas dengan baik. Informasi yang
disampaikan itu dapat berupa visi-misi sekolah, prestasi yang pernah diraih sekolah
serta keadaan sekolah berupa data-data sekolah serta laporan-laporan lainnya yang
perlu diketahui oleh masyarakat selaku konsumen. Dengan demikian ada ketertarikan
masyarakat dan kepuasan tersendiri terhadap pelayanan sekolah terhadap
masayarakat. Penyampaian informasi kepada masyarakat dapat dilakukan dengan
berbagai cara misalnya, melalui media masa, baik cetak maupun elektronik dan acara-
acara sekolah yang dapat melibatkan kehadiran orang tua atau masyarakat.
Perlu diingat bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat tidak selamanya
berjalan mulus dan lancar-lancar. Ada juga sering terdapat kendala-kendala dan
tantangan yang dapat menyebabkan konflik antara sekolah dan masyarakat.
Terjadinya konflik dapat juga disebabkan oleh minimnya atau sempitnya pemahaman
masyarakat tentang pendidikan, adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
guru-guru, kinerja kepala sekolah yang kurang baik dan lain-lain.
Bab 6 Manajemen Konflik
Terjadinya konflik disebabkan karena ketidakcocokan atau perbedaan persepsi
dalam mencapai suatu tujuan. Dalam pandangan lama, konflik selalu berakibat
negatif bagi suatu organiasasi. Oleh karena setiap organisasi harus sedapat mungkin
mencegah atau meminimalkan konflik bahkan meniadakan agar organisasi berjalan
mulus dalam mencapai tujuannya. Sedangkan dalam pandangan baru, konflik dapat
berakibat positif bagi suatu orgnisasi. Dengan adanya konflik, oraganisasi akan
melakukan evaluasi dan perubahan-perubahan terhadap kebijakan-kebijakan yang
lama yang dianggap tidak sesuai dan tidak efektif yang dapat mengakibatkan
ketidakcocokkan. Oleh karena itu menurut pandangan baru konflik harus dapat
ditangani sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi oraganisasi.
Konflik dapat bersumber dari perorangan, antar perorangan, dalam kelompok,
antar kelompok, dalam organisasi dan antar organisasi. Konflik yang terjadi di dunia
pendidikan dapat disebabkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
misalnya alat-alat prasarana, keuangan dan adanya pelanggaran kewenangan. Perlu
diingat bahwa konflik yang terjadi buka saja berdampak atau memiliki nilai negatif
terhadap organisasi tetapi juga dapat menimbulkan nilai positif.
Perkembangan konflik merupakan sebuah proses dan terjadi secara bertahap
mulai dari awal berupa adanya situasi yang berpotensi terjadinya konflik, sampai pada
tahap dirasakan akibat dari konflik yang ditimbulkan. Setiap konflik yang terjadi
dapat ditangani / diselesaikan dengan cara-cara misalnya memberikan solusi-solusi
bagi sebuah konflik yang terjadi sehingga konflik tidak berkepanjangan. Selain itu
juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan pihak ke tiga untuk menjadi penengah
dalam memberikan pandangan dan penyelesaian dengan jalan damai.
Bab 7 Pengambilan Keputusan
Dalam setiap organisasi pasti terdapat masalah. Ketika hasil yang diharapkan
tidak sesuai dengan direncanakan, maka timbulah masalah yang harus dipecahkan
oleh seorang pemimpin. Masalah-msalah yang timbul itu harus segara diselesaikan
agar tidak berlarut-larut sehingga dapat mengganggu keberlangsungan organisasi.
oleh karena itu, pemimpin harus bisa dengan segara mengambil langkah-langkah atau
tindakan yang dengan segera untuk dapat mengatasinya. Pemimpin harus mempunyai
cara atau teknik untuk dapat memecahkan masalah dengan baik atau dengan kata lain
mengatasi mesalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Dalam mengatasi masalah, pasti berhubungan dengan adanya keputusan yang
harus diambil oleh seorang pemimpin. Pengambilan keputusan ini haruslah dilakukan
secara objektif dengan tidak merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak
lain. Artinya bahwa dalam setiap pengambilan keputusan harus memuaskan semua
pihak yang berkaitan, dengan mempertimbangkan perasaan-perasaan yang menerima
keputusan tersebut.
Bab 8 Evaluasi Kepemimpinan dalam Pendidikan
Semuah program baik yang sementara berjalan maupun yang telah
dilaksanakan harus dinilai atau dievaluasi. Hal ini sangat penting karena dengan
evaluasi kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan atau tingkat
pencapaian suatu perogram dimaksud. Dengan efaluasi kita juga dapat mengetahui
faktor-faktor yang yang mungkin saja ada dan yang dapat menjadi penghalang
berjalan tidaknya suatu program.
Evaluasi harus dilakukan secara berkala, karena apabila sebuah program itu
dievaluasi secara terus menerus maka kita akan segera mengetahui kemajuan
perogram itu serta dengan segera menganalisis masalah-masalah atau kendala yang
ditemui untuk mencari solusi atau cara dalam mengatasi masalah-masalah yang
menjadi faktor penghambat program tersebut.
Dalam dunia pendidikan evaluasi sangat penting sekali dan besar
manfaatnya/kegunaannya. Banyak hal yang hal yang dapat dievaluasi dalam sebuah
sekolah. Kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja staf atau guru-guru dalam
melakukan tugas-tugasnya, mengevaluasi prestasi siswa secara keseluruhan,
mengevaluasi program baik semester atau tahunan sekolah. Bagi guru-guru, evaluasi
dapat dapat mengukur tingkat keberhasilan atau penapaian program pengajaran di
kelas serta dapat mengetahui dan mengukur keberhasilan siswa. Adapun pihak-pihak
yang dapat melakukan evaluasi adalah pengawas atau supervisor, kepala kantor,
kepala bagian, kepala sekolah, dan guru-guru.
Bab 9 Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan sangat vital bagi penyelengaraan pendidikan. Sekarang
ini pemerintah sudah menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam
APBN, namun hasil dari anggaran pendidikan itu belum terlalu signifikan bagi
keberlenagsungan pendidikan di Indonesia. Besar-kecil serta pemerataan anggaran
pendidikan sangat berpengaruh terhadap mutu dan kualitas pendidikan.
Di era otonomi daerah sekarang ini ternyata masih banyak masalah dengan
anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan masih dirasa sangat terbatas dan belum
mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pendidikan pada umumnya. Masih banyak
ketimpangan-ketimpangan atau kebijakan-kibijakan yang menyimpang sehingga
menimbulkan masalah terhadap sekolah-sekolah sebagai salah satu sasaran utama
anggaran pendidikan. Sebagian besar anggaran pendidikan di seluruh daerah masih
tergantung pada subsidi dari pemerintah. Dimana sebagian besar anggaran pendidikan
masih digunakan untuk pembiayaan gaji guru sedangkan pembiayaan untuk
peningkatan mutu pendidikan masih sangat kecil.
Dengan anggaran yang dirasa masih terbatas, maka orang tua siswa sebagai
mitra dari pendidikan itu sendiri harus dapat berperan dan berpartisipasi aktif dalam
menunjang keterbatasan pembiayaan pendidikan. Di era otonomi daerah ini ternayat
masih ada daerah-daerah yang belum mampu menganggarkan anggaran pendidikan
dalam APBD-nya sesuai dengan acuan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan ada
daerah yang memang memliki keterbatasan sumber-sumber pendapatan asli daerah
(PAD) sehingga belum mampu untuk menggenjot pembiayaan pendidikan di daerah
mereka.
Mengingat masih banyak anak-anak Indonesia yang putus sekolah bahkan
belum pernah merasakan sentuhan pendidikan, maka pemerintah mencoba untuk
meringankan pembiayaan masyarakat terutama mereka yang termasuk golongan
menengah kebawah, dengan menerapkan bantuan operasional sekolah (BOS) agar
pendidikan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
Penggunaan dana BOS oleh sekolah dilaksanakan sesuai dengan RAPBS dan
mekanisme yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga diharpakan efektif dan
tepat sasaran.
Bab 10 Akuntabilitas Pendidikan
Dalam penjelasan UURI nomor 21 tahun 2003 tentang system pendidikan
nasional, pada bagian umum dijelaskian bahwa pndidikan mempunyai misi salah 1
fungsi tersebut untuk meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga
pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman,
sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global (UU no. 20 Tahun 2003). Di
sekolah yang melakukan, akuntabilitas lembaga pendidikan secara yuridis formal
adalah kepala sekolah.
Akuntabilitas identik dengan pertanggungjawaban seseorang/ badan hukum
kepada pihak-pihak yang berwenang. Lembaga administrasi Negara (2003)
merumuskan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan
pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerapkan kinerja dan tindakan
seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang
memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawab.
A. Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas diterapkan pada semua aspek pendidikan, yakni mulai dari
penyusunan program program pengajaran sampai pada pengelolaan lembaga
pendidikan (pertanggungjawaban lembaga dan pencapaian tujuan pendidikan).
Corton (1976), mengemukakan ada 3 kunci akuntabilitas yakni:
1) Siapa yang bertanggungjawab.
2) Tentang apa
3) Kepada siapa
Akuntabilitas pendidikan secara sederhana dapat diartika sebagai
pertanggungjawaban atas keberhasilan proses belajar dan perkembangan peserta didik
dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah diterapkan.
Dalam penyusunan pelaporan akuntabilitas yang tidak kalah pentingnya adalah
apabila ada 1 program yang gagal, maka perlu juga dilaporkan dan sekaligus
memberikan penjelasan mengapa sampai gagal.
1. Jenis-jenis Akuntabilitas
Dalam Depdikbud, 1983/1984 menjabarkan bahwa akuntabilitas pendidikan dapat
terbagi dalam 3 jenis :
Akuntabilitas keberhasilan
Akuntabilitas Profesional
Akuntabilitas Sistem
2. Pelanggaran Terhadap Akuntabilitas Pendidikan
Suatu tindakan dalam bidang pendidikan dianggap menyimpang kalau
tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang lain dan/ atau
kepentingan umum baik secara moril maupun materiil.
Halim (1982) membagi menjadi 14 kelompok, yakni :
1) Penekanan yang dilakukan oleh pengajar kepada siswanya.
2) Penekanan dari pengajar kepada siswanya untuk memenuhi kemauan
pengajar.
3) Perlakuan-perlakuan yang tidak wajar yang dilakukan oleh pengajar kepada
siswanya baik secara fisik maupun secara mental.
4) Pelaksanaan pengajaran dengan member isi dan metode yang bermutu rendah
yang hampir tidak ada manfaatnya bagi siswa, bahkan dapat
membahayakannya.
5) Pencurian, pemalsuan atau pembajakankarya ilmiah orang lain dalam bentuk
apapun baik seluruhnya atau sebagian.
6) Penipuan atau pengakuan palsu dari seseorang mengenai jabatan dan/atau
hasil karya tertentu dengan maksud agar dipercaya orang lain sehinggar dapat
memperoleh sesuatu yang sebenarnya bukan haknya.
7) Pencemaran nama baik atau wibawa suatu lembaga formal melalui perbuatan
tidak layak yang dilakukan dengan melibatkan orang dalam lembaga itu.
8) Berbagai pemborosan rahasia yang merusak objektifitas nilai serta mutu
pendidikan dan pengajaran.
9) Penyalahgunaan jabatan dalam bentuk manifestasinya merugikan kepentingan
umum dan merusak kewibawaan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
10) Penyelewengan dan penyalahgunaan beasiswa.
11) Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari
kebenaran umum tanpa dapat dipertanggungjawabkan oleh pengajar yang
bersangkutan serta berakibat buruknya bagi siswa.
12) Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari nilai-nilai
kesopanan, kesusilaan, hokum dan ketertiban umum.
13) Berbagai tindakan pengacauan terhadap situasi dan kondisi yang normal untuk
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
14) Tindakan-tindakan pengancaman, penggeseran, pemojokan, pemfitnahan,
penghalang-halangan dan sejenisnya terhadap pihak yang sunggunh-sungguh
ingin mengusut/membongkar/menindak setiap pelaku tindak pidana
pendidikan.
B. Peranan Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Akuntabilitas Lembaga
Pendidikan
Dalam Depdikbud (1997), dijelaskan kepala sekolah memiliki tanggungjawab
terhadap penyelenggaraan sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas :
1) Penyelenggaraan program kerja sekolah
2) Pembinaan kesiswaan
3) Pelaksanaan bimbingan dan penilaian bagi guru dan tenaga kependidikan lainya
4) Penyelenggaraan administrasi sekolah, melihat administrasi ketenagaan,
keuangan, kesiswaan, perlengkapan dan kurikulum
5) Pelaksanaan hubungan sekolah dengan lingkungan dan/atau masyarakat
Dalam Depdikbud (1999/2000) di jelaskan secara rinci 7 komponen peran
kepala sekolah, yaitu kepala sekolah sebagai pendidik, manajer, pengelola
administrasi, penyelia, pemimpin, pembaru, dan pendorong. Dan dalam melaksanakan
tugas tersebut, kepala sekolah membuat laporan kegiatan secara periodik sebagai
wujud dari akuntabilitas lembagapandidikan yang dikelolanya atau di bawah
wewenangnya.
C. Peran Komite Sekolah
Komite sekolah dibentuk di setiap sekolah sebagai hasil dari SK Menteri No.
202 untuk desentralisasi. Komite diharapkan bekerjasama dengan kepala sekolah
sebagi partner untuk mengembangkan kualitas sekolah dengan menggunakan konsep
manajemen berbasis sekolah dan masyarakat yang demokratis, transparan, dan
akuntabel. UU pendidikan bulan Juni 2003 (pasal 56) memberikan kepada komite
sekolah dan madrasah peran untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan
melalui nasihat, pengarahan, bantuan personalia, material dan fasilitas maupun
pengawasan pendidikan.
Suryadi (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pokok pikiran yang
disampaikan pada sosialisasi Dewen Sekolah dan Komite Sekolah, Yaitu :
1) Penyusunan rencana dan program
2) Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapata dan Belajar Sekolah (RAPBS)
3) Pelaksanaan program pendidikan
4) Akuntabilitas pendidikan
D. Pengelolaan Keuangan Sekolah
Menurut Mulyasa (2005), dalam pengelolaan keuangan sekolah terdapat 3 komponen:
1. Uang dan Pendidikian, kaitannya dalam besar alokasi uang untuk pendidikan
Merupakan tugas dan tanggungjawab dari administrasi sekolah, sebagai berikut :
a. Perencanaan anggaran dan
financial
b. Pengaturan pemasokan
c. Perencanaan dan
peningkatan fasilitas
sekolah
d. Hubungan dengan
masyarakat
e. Pengaturan pegawai
f. Penataran
g. Pelaksanaan rencana
h. Transportasi
i. Layanan makanan
j. Keuangan dan laporan
k. Manajemen kantor
2. Pengembangan Rencana Anggaran Belanja Sekolah (RAPBS)
Proses pengembangan RAPBS menempuh langkah-langkah pendekatan dengan
proseduran sebagai berikut :
a. Pada tingkat kelompok kerja
b. Pada tingkat kerjasama dengan komite sekolah
3. Sosialisasi dan Legalitas
Setelah RAPBS dibicarakan dengan komite sekolah selanjutnya disosialisasikan
kepada berbagai pihak. Pada tahap ini kelompok kerja melakukan konsultasi
dalam laporan kepada pihak pengawas serta mengajukan usulan RAPBS kepada
kantor inspeksi pendidikan untuk mendapat pertimbangan dan pengesahan
.
E. Hubungan antara Sekolah dengan Sekolah yang Efektif
Depdiknas (2000), menyatakan bahwa pada umumnya sekolah yang efektif memiliki
sejumlah karakteristik proses sebagai berikut :
1. Proses belajar-mengajar yang efektifitasnya tinggi
2. Kepemimpinan sekolah yang kuat
3. Lingkunagn sekolah yang aman dan tertib
4. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
5. Sekolah memiliki budaya mutu
6. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis
7. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
8. Partisipasi yang tinggi dari warga dan masyarakat
9. Sekolah memiliki keterbukaan (transparasi) manajemen
10. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (Psikologis dan fisik)
11. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
12. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan
13. Memiliki komunikasi yang baik
14. Sekolah memiliki akuntabilitas
15. Sekolah memiliki kemampuan manajemen sustainabilitas
Bab 11 Kepala Sekolah dan MPMBS
A. Pola Manajemen
Pada dasarnya definisi manajemen dapat didefinisikan suatu aktifitas
mengelola organisasi atau kelompok manusia dalam menggerakkan komponen-
komponennya demi tercapainya tujuan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien.
Kepala sekolah adalah seorang pemimpin sekolah dan merupakan orang
terpenting di suatu sekolah. Dari berbagai peneliti dan pengamatan tidak formal
diketahui bahwa kepala sekolah merupakan kunci bagi pengembangan dan
peningkatan suatu sekolah. Indicator keberhasilan sekolah adalah kalau sekolah
berfungsi dengan baik.
B. Manajemen Berbasis Sekolah
Seiring dengan berlakunya UU RI no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah (otonomi daerah) dan bukti-bukti empiris tentang kurang efektif dan efisiennya
manajemen berbasis pusat, maka dekdiknas melalui, perubahan dan penyesuaian,
salah 1 diantaranya melalui pergeseran pendekatan manajemen, yaitu Manajemen
Berbasis Pusat manjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
1. Pola Manajemen Berbasis Sekolah
Dapat dikemukakan bahwa otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian. Dengan
demikian otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengurus dan
mengatur kepentingan semua warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai peraturan dan perundangan pendidikan nasional
yang berlaku.
Berikut adala dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan
Pola Lama Menuju Pola Baru
Subordinasi
Pengambilan keputusan
terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratis
Sentralistik
Diatur
Over regulasi
Mengental
Mengareahkan
Menghindari resiko
Menggunakan uang seenaknya
Individu tercerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi hierarki
Otonomi
Pengambilan keputusan
partisipatif
Ruang gerak luwes
Pendekatan professional
Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengelola resiko
Menggunakan uang efisien
Team Work ce4rdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar
Dari tabel di atas dapat disimpulkan sebaga berikut :
1) Pada pola lama tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program
daripada mengambil inisiatif untuk merumuskan dan melaksanakan program
peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
2) Pada pola baru sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan
lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan
partisipasi masyarakat menjadi semakin besar. Sekolah menjadi lebih luwes
dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan
daripada pendekatan birokratis, pengelolaan sekolah lebih desentralisasi,
perubahan sekolah lebih didorong motivasi diri daripada diatur dari luar,
regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat lebih bergeser dari
mengontrol memengaruhi dan dari mengarahkan menjadi memfasilitasi dari
menghindari resiko menjadi mengelola resiko, penggunaan uang menjadi lebih
efisien.
2. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut dekdiknas (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
bentuk alternative yang dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian
sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan
semua kelompok kepentingan yang berkaitan dengan sekolah. MBS juga
bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
wewenang, keluwesan dari sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.
C. Kepala Sekolah dalam Era MPMBS
Pada hakikatnya peran kepala sekolah dalam era MPMBS dapat dirinci sebagai
berikut :
1. Memiliki masukan manajemen yang lengkap dan jelas yang ditampilkan oleh
kelengkapan administrasi serta kejelasan dalam tugas, rencana ketentuan-
ketentuan/ limitasi pengendalian, dan dapat memberikan kesan yang baik bagi
anak buahnya.
2. Memahami, menghayati, dan melaksanakan pernnya sebagi manajer, pemimpin,
pendidik, penyelia, pencipta iklim kerja, pengurus/ administrator, pembaru, dan
pembangkit motivasi.
3. Mampu menciptakan tantangan kinerjanya berangkat dari sinilah, kemudian
merumuskan sasaran apa yang akan dicapai oleh sekolah, melanjutkan dengan
melakukan analisis SWOT, dan berupaya mencari langkah-langkah pencegahnya.
4. Menciptakan Team Work yang kompang/kohesif dan cerdas, serta menciptakan
koneksi dan saling ketergantungan antar fungsi dan antar warganya sehingga
membentuk suatu system yang utuh dan benar yang dapat menjamin kepastian dan
kebermanfaatan hasilnya.
5. Mampu menciptakan situasi dan menumbuhkan kreatifitas dan memberikan
peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi dalam rangka mencari
penemuan-penemuan baru walaupun kurang akurat atau salah sehingga kepala
sekolah mendorong warganya untuk mengambil resiko dan dilindungi apabila
hasilnya salah.
6. Mampu dan sanggup menciptakan sekolah sebagai tempat belajar. Suatu lembaga
pendidikan atau sekolah perlu penataan.
7. Mampu dan mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan manajemen berbasis
sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen dari
kebijakan manajemen pusat menjadi manajemen berbasis sekolah.
8. Mampu memutuskan perhatian terhadap pengelolaan proses belajar-mengajar
sebagai kegiatan utamanya karena kegiatan-kegiatan lainnya dipandang sebagai
kegiatan pendukung/penunjang proses belajar-mengajar.
9. Sangup dan mampu memberdayakan sekolahnya, terutama sumber daya manusia
melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan kemandirian sehingga nantinya
komitmen yang tinggi dari warganya terhadap visi dan misi sekolah, tingkat
kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah, bersifat adaptif dan
proaktif.
D. Kinerja Kepala Sekolah
1. Kinerja
Dapat didefinisikan sebagai keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya menurut ukuran yang berlaku dan ditetapkan untuk pekerjaan
yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa kinerja kepala
sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya menurut ukuran yang berlaku serta ketetapan pekerjaan yang
bersangkutan.
2. Faktor-faktor yang Menentukan Tingkat Kinerja Kepala Sekolah
Menurut Depdiknas (2000), kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah 1
faktor yang mendorong kepala sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, dan
sasaran sekolahnya. Pada dasarnya kepala sekolah memiliki tugas dan fungsi yang
sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses persekolahan.
Faktor-faktor yang menentukan tingkat kinerja kepala sekolah, antara lain
lingkungan, perilaku manajemen, desain jabatan, penilaian kerja, umpan balik,
dan administrasi.
Kinerja kepala sekolah dalam hal ini mempunyai beberapa aspek, Yaitu :
a. Rencana Program Pengembangan Sekolah
Dalam Depdikbud (1998), rencana program pengembangan sekolah
merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan dan
memanfaatkan segala sumber daya yang ada sehingga mampu mencapai
tujuan yang diinginkan di masa yang akan datang.
b. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPB)
Dalam penyusunan rencana anggaran ada 3 bagian pokok anggaran , yaitu :
1) Target penerimaan
2) Rencana pengeluaran
3) Sumber dana lainnya (Sisa dana periode sebelumnya)
Adapun langkah-langkah dalam penyusunan anggaran adalah :
1) Menginventarisasi rencana yang akan dilaksanakan
2) Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya
3) Menentukan program kerja dan rincian program kerja
4) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program kerja
5) Menghitung dana yang dibutuhkan
6) Menentukan sumber dana yang membiayai rencana
c. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Menurut Depdiknas (2001) pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu
cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka
dan demokratis. Dalam keputusan tersebut warga sekolah, yaitu guru, siswa,
karyawan, orang tua siswa, komite sekolah menyusun dan didorong untuk
terlibat langsung dalam proses pengambiloan keputusan yang akan
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
d. Kemandirian
Sekolah memiliki kemandirian untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya
sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang
tidak selalu menggantungkan pada atasan untuk menjadi mandiri, sekolah
harus memiliki sumber daya yang cakap untuk menjalankan tugasnya.
e. Keterbukaan
Sekolah memiliki keterbukaan manajemen. Keterbukaan dalam pengeloloaan
sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Keterbukaan di tunjukkan dalam pengambiloan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan tugas atau kegiatan, penggunaan
uang dsb.
f. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah suatu kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban
atas tindakan seseorang, badan hokum atau pimpinan kolektif suatu organisasi
kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan
atau pertanggungjawaban.
g. Kerjasama
Menurut Depdiknas (2001) output sekolah merupakan hasil kolektif warga
sekolah sehingga budayaq kerjasama antar omponen dalam sekolah dengan
pihak luar sekolah merupakan factor kunci keberhasilan peloaksanaan MBS.
Bab 12 Kepala Sekolah dan Supervisi Pengajaran
A. Mutu Pendidikan dan Supervisi Pengajaran
Paradigm baru mengenai pendidikan tinggi terdiri atas akreditasi,
akuntabilitas, evaluasi, otonomi, dan mutu. Kelima paradigm baru tersebut ,
hakikatnya terkait 1 sama lain. Untuk itu, sebaiknya dijadikan acuan dalam proses
peningkatan mutu pendidikan.
Pada dasarnya, permasalahan pendidikan yang diidentifikasikan (Depdikbud
1983) sebagai berikut :
1. Masalah Kuantitatif, masalah yang timbul sebagai hubungan akibat antara
pertumbuhan system pendidikan pada 1 pihak dan pertumbuhan penduduk
Indonesia pada pihak yang lain
2. Masalah Kualitatif, berkaitan dengan bagaimana peningkatan kualitas sumber
daya manusia dan bangsa Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya.
Tercangkup pula masalah ketertinggalan bangsa Indonesia dan perkembangan
modern.
3. Masalah Relevansi, masalah yang timbul dari hubungan antara system
pendidikan dan pembangunan nasional serta antara kepentingan perorangan,
keluarga, masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
4. Masalah Efisiensi, masalah pengelolaan pendidikan nasional. Adanya
keterbatasan dana dan daya manusia sungguh memerlukan system pengelolaan
yang efisien dan terpadu. Yang tercangkup antara unsur dan unit secara
keseluruhan.
5. Masalah Efektifitas, manyangkut keampuhan pelaksanaan pendidikan nasional.
Daloam hubungan dengan permasalahan keseimbangan yang dinamis antara
kualitas dan kuantitas, efektivitas proses pendidikan juga penting.
B. Mutu Tenaga Kependidikan
Peningkatan mutu pendidikan merupakan tugas yang tidak mudah kaena
dipengaruhi oleh beberapa factor, dalam hal ini lebih difokuskan pada mutu guru yang
merupakan factor yang paling konsisten dan kuat dalam mempengaruhi mutu
pendidikan.
Dalam meningkatkan kemampuan guru diperoleh kesimpulan bahwa guru
yang bermutu diukur dengan 4 faktor utama, yakni :
1) Kemapuan professional. Terdiri atas kemampuan intelegensi, sikap dan
prestasi dalam bekerja.
2) Upaya professional. Merupakan upaya seorang guru dalam
menteransformasikan kemampuan professional yang dimiliki kedalam proses
belajar-mengajar.
3) Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan professional. Menunjukkan intensitas
waktu yang dipergunakan oleh seorang guru untuk tugas-tugas profesionalnya.
4) Kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya. Factor yang mempengaruhi
kemampuan profesional seorang guru.
C. Konsep Dasar Supervisi Pengajaran di Sekolah Dasar
Mengkaji tugas-tugas supervise pengajaran tersebut, dapat ditelaah dari tujuan
supervise pengajaran itu sendiri. Sesuai dengan fungsi pokok supervise, yaitu
memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional. Maka tujuan supervise nasional mencangkup tujuan
dasar, umum, dan khusus.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat di kemukakan bahwa untuk
meningkatkan kualitas belajar-mengajar guru merupakan factor sentral yang perlu
mendapat perhatian secara optimal. Adapun media untuk meningkatkan
profesionalisme guru melalui supervise.
D. Profesionalisme Guru Seolah Dasar
Dalam kurikulum Sekolah Dasar 1975, garis-garis besar program pengajaran
buku 3 D Pedoman Administrasi dan Supervisi dijelaskan bahwa sikap professional
hanya dilihat dari moral kerja guru.. moral kerja ialah reaksi mental (emosi) guru
dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang disertahkan padanya. Dari reaksi
mental guru terhadap tugas yang diserahkan kepadanya dapat dilihat secara nyata
professional guru. Hal tersebut dapat diukur melalui penilaian segi-segi kegiatan,
yakni berkaitan dengan kehadiran guru, tugas mengajar, dan hubungan kerjasama.
E. Pendekatan Profesionalisme
Menurut Danim (2002), dalam konteks profesionalisasi istilah profesi dapat
dijelaskan dengan 3 pendekatan :
1. Pendekatan Karakteristik, yang memandang bahwa profesi mempunyai
seperangkat elemen inti yang membedakannya dari pekerjaan yang lain.
Karakteristik profesi tersebut dapat di bagi menjadi :
a. Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan.
b. Memiliki pengetahuan spesialisasi.
c. Memiliki pengetahuan praktis yang dapat dipergunakan langsung oleh
orang lain/klien (bersifat aplikatif).
d. Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan (communicable).
e. Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara mandiri (self
organization).
f. Mementingkan kepentingan orang lain (altruism).
g. Memiliki kode etik.
2. Pendekatan Institusional, memandang profesi dari segi proses institusional atau
perkembangan asosiasional, mengemukakan 5 langkah :
a. Merumuskan suatu pekerjaan yang penuh waktu/ full time, bukan
pekerjaan sambilan.
b. Menetapkan sekolah sebagai tempat menjalani proses pendidikan/
pelatihan.
c. Mendirikan asosiasi profesi.
d. Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya
perlindungan hokum terhadap asosiasi/ perhimpunan tersebut.
e. Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan
3. Pendekatan Legalistik, pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas
suatu profesi oleh suatu Negara/ pemerintahan
F. Peranan Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Menurut suparno (2002) Kepemimpinan seorang kepala sekolah mencangkup
cara-cara dan usahanya dalam memengaruhi, mendorong, membimbing, serta
menggerakkan guru, staf, siswa, dan orang tua siswa demi tercapainya tujuan sekolah.
Segala cara tersebut mengharuskan seorang kepala sekolah menguasai :
a. Tujuan pendidikan sekolah yang dipimpinnya
b. Pengetahuan yang cukup mengenai bidangnya dan medan tugas yang ada di
bawah pimpinannya
c. Ketrampilan professional meliputi ketrampilan teknis, relasi kemanusiaan, dan
ketrampilan konseptual.