MODEL KEEFEKTIFAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAHBERBASIS TRANSENDENSI
oleh Daulat Siregar, NIM. 8106111069, Mahasiswa S3- Program
Pasca Sarjana Manajemen Pendidikan, UNIMED.
Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar mengembangkan
potensi individu dalam masyarakat agar individu
mampu menjalankan perannya dalam kehidupan. Upaya-
upaya pendidik yang dilakukan diarahkan pada
pengembangan individu sekaligus pengembangan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan
demikian pendidikan mempunyai fungsi individual dan
sekaligus fungsi sosial. Fungsi individual berhubungan
dengan pengembangan individu secara utuh, mantap,
dan mandiri. Sedangkan fungsi sosial bertanggung
jawab terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan
yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar
dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan
sesuai dengan yang diharapkan. Efektifitas pendidikan
di Indonesia sangat rendah, salah satu penyebabnya
adalah kurang efektifnya kepemimpinan kepala sekolah,
sehingga menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak
tahu “goal” apa yang akan dihasilkan dan tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
Hal ini berdampak terhadap kualitas lulusan yang
dihasilkan. Dari hasil penelitian terhadap sekolah
madrasah yang dilakukan Rois, (2008) “Rendahnya mutu
pendidikan di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya: (1) kinerja kepala sekolah yang tidak
memiliki visi dan misi yang jelas; (2) budaya
organisasi sekolah yang belum kondusif yaitu adanya
dualisme dalam manajemen antara kepala sekolah dengan
ketua yayasan/pengurus, serta masih menganut
“manajemen” paternalistik dan feodalisme; serta (3)
kompetensi guru belum optimal.”
Hasil Penelitian kualitas SDM pendidik dan tenaga
kependidikan menunjukkan bahwa kualitas SDM
Pendidikan masih rendah (Kompas, 15 Maret 2012). Hasil
penelitian Milfa (2010) pada SDM di lingkungan Dinas
Pendidikan Pemprovsu menunjukkan bahwa sekitar 80%
keefektifan SDM terutama dari kompetensinya masih
berada pada taraf cukup dan rendah. Kondisi ini
menyebabkan mereka belum memberi kontribusi maksimal
terhadap pencapaian tujuan kerja yang diharapkan. Jika
dihubungkan dengan kondisi siswa mulai dari SD hingga
sekolah lanjutan yang diungkap melalui alat ungkap
masalah (AUM) Umum dan AUM belajar pada sekitar 1000
orang calon peserta OSN 2010 di Sumatera Utara
menunjukkan bahwa hampir semua siswa memiliki masalah
pada aspek pendidikan dan pengajaran, diri pribadi,
keterampilan belajar dan hubungan sosio emosional.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia
tidak lepas dari peran seorang kepala sekolah sebagai
pimpinan puncak. Melihat pentingnya fungsi kepemimpinan
kepala sekolah, maka usaha untuk meningkatkan kinerja
yang lebih tinggi bukanlah pekerjaan mudah bagi kepala
sekolah, karena kegiatan berlangsung dalam sebuah
proses panjang yang direncanakan dan diprogram secara
baik. Pada kenyataannya tidak sedikit kepala sekolah
hanya berperan sebagai pimpinan formalitas dalam sebuah
sistem yang hanya sekedar pemegang jabatan di sekolah
sambil menunggu masa purna tugas. Untuk dapat
melaksanakan tugas pokok, seorang kepala sekolah
dituntut memiliki sejumlah kompetensi untuk mencapai
tujuan sekolah.
Pembahasan
Transcendere, adalah bahasa latin transendensi
yang artinya ‘naik keatas’. Dalam bahasa Inggris adalah
to transcend yang artinya ‘menembus’,‘melewati’,
‘melampaui’. Menurut istilah artinya perjalanan di atas
atau diluar (Saiholami, 2011).
Menurut Kuntowijoyo, Transendensi mempunyai makna
teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman
kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan
dimensi transendental dengan cara membersihkan diri
dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang
dekaden.
Bernard Lonergan, filsuf dan teolog, dalam bukunya
Method in Theology (1975) menulis bahwa manusia
mencapai keotentikannya dalam transendensi diri (self-
transcendence). Transendensi diri berarti suatu gerak
melampaui apa yang telah dicapai. Suatu gerak dari yang
kurang baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi
lebih baik.
Namun, ide transendensi diri ini berbenturan
dengan penafsiranan realisasi diri atau aktualisasi
diri manusia modern yang lebih berciri egois and self-
centered. Terhadap hal ini Walter E. Conn (1998) dalam
bukunya The Desiring Self: Rooting Pastoral Counseling and Spiritual
Direction in Self-Transcendence menilai secara kritis akan
ide realisasi diri (self-realisation) atau aktualisasi diri
(self-actualisation) dalam masyarakat modern dengan ide
penyangkalan diri (self-denial) dalam agama-agama. Dapat
dikatakan bahwa melalui transendensi diri, pribadi
tidak dikorbankan, tetapi direalisasikan dalam
kemanusiaannya yang otentik. Perealisasian diri yang
sejati dalam pencarian akan makna, kebenaran, nilai dan
cinta akan menolak segala bentuk dorongan egoisme yang
berpusat pada diri sendiri (self-centered).Berpikir
transenden dapat dilatih dalam kehidupan sehari-hari
ketika menghadapi segala hal yang ditemui dalam
kehidupan nyata. Berikut beberapa kasus yang sering
dijumpai dalam masyarakat namun terkadang luput dari
proses transendensi pemikiran orang-orang yang terlibat
didalamnya. Contoh pola fikir transenden. Ada kelompok
sekolah yang diakui oleh dinas atau lembaga terkait
sebagi kelompok sekolah terbaik jika dibandingkan
dengan sekolah yang lain, misalnya dari segi
terpenuhinya syarat administratif yang diminta serta
tersedianya fasilitas memadai yang juga disyaratkan.
Syarat yang paling penting bagi sekolah untuk dapat
disebut sebagai sekolah unggulan adalah prestasi
akademik maupun non akademik siswa serta nilai ujian
mereka yang memenuhi standar bahkan lebih. Oleh karena
itu, siswa yang dapat masuk ke sekolah unggul telah
melalui proses yang sangat sulit untuk dapat
mengalahkan mereka yang tidak memenuhi nilai tertentu
yang harus dicapai.
Pemikiran Transensden: Sekolah unggul bukanlah
sekolah unggul jika yang dapat mereka didik adalah
siswa-siswa yang memang sudah unggul dari awalnya
karena mereka hanya menerima siswa-siswa terbaik. Jadi
tidak mengherankan bila output yang didapat berupa
prestasi maupun nilai ujian juga memuaskan. Yang
membuat sekolah itu unggul adalah siswa yang masuk
sekolah tersebut. Padahal, hakikat sekolah unggul
adalah sekolah yang dapat menghasilkan output yang
unggul justru dari input siswa-siswa yang tidak unggul.
Sehingga yang unggul disini adalah prosesnya, bukan
hanya berorientasi pada hasilnya.
Kepemimpinan efektif Kepala sekolah
Kepala sekolah yang profesional akan
menunjukkan motivasi kerja dan kinerja yang
tinggi. Motivasi kerja dan kinerja yang tinggi jika
di dukung dengan kepemimpinan kepala sekolah yang
efektif maka akan mencapai tujuan sekolah yang
sempurna dan bermutu.
Menurut Townsend dan Butterworth (1992) dalam
bukunya Your Child’s School, ada sepuluh faktor penentu
terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni
keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; partisipasi
dan rasa tanggung jawab guru dan staf; proses belajar
mengajar yang efektif;pengembangan staf yang terpogram;
kurikulum yang relevan; memiliki visi dan misi yang
jelas; iklim sekolah yang kondusif; penilaian diri
terhadap kekuatan dan kelemahan; komunikasi efektif
baik internal maupun eksternal; serta keterlibatan
orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Lussier (2009) memberi arti kepemimpinan adalah
proses mempengaruhi karyawan agar bekerja ke arah
pencapaian tujuan organisasi. Vethzal Rivai (2003:2)
mendefinisikan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku
pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Yukl (2009:4)
mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan individu
untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain
mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan
keberhasilan organisasi.
Andrian Gostick dan Chester Elton (2009) dalam
bukunya The Carrot Principle menyatakan ada 4 hal yang
mendasari kepemimpinan yang efektf, yaitu penentuan
tujuan (goal setting), komunikasi (communication),
kepercayaan (trust), dan tangung jawab (Accountability)
Peningkatan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
dapat dikembangkan melalui pelaksanaan peran kepala
sekolah sebagai pendidik, manajer, administrator,
dan supervisor. Menurut Permen Diknas No.13 tahun
2007 tentang Standar Kompetensi Kepala sekolah
terdiri dari: (1) Kepribadian; (2) manajer; (3)
kewirausahaan; (4) supervisor; (5) sosial.
Menurut Robin (2007) Keefektifan adalah tindakan
melakukan hal yang benar atau menyelesaikan semua
aktivitas yang memungkinkan tujuan organisasi tercapai.
Menurut Bernard (1982) “jika tujuan yang diinginkan
tercapai maka tindakan untuk itu dikatakan efektif”.
Suatu tindakan yang efektif belum tentu efesien, dalam
konteks ini menurut Bernard (1982) jika dampak
pencapaian tersebut dianggap lebih penting dari pada
pencapaian tujuan yang diinginkan maka tindakan
tersebut dikatakan tidak efesien. Demikian juga jika
hasil dari pencapaian tujuan tidak memuaskan maka
tindakan efektif tersebut dikatakan tidak efesien.
Adakalanya tujuan yang dicari tidak tercapai, tetapi
akibat yang tidak dicari, memenuhi keinginan atau motif
yang bukan “sebab” tindakan tersebut, maka tindakan
semacam itu dikatakan efesien tetapi tidak efektif.
Suatu tindakan dikatakan efektif jika mencapai tujuan
objektif. Suatu tindakan dikatakan efesien jika
memenuhi motif tujuan tersebut.
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) merumuskan
bahwa Kepemimpinan yang efektif meliputi dimensi
struktur kelembagaan dan dimensi konsiderasi. Ada 2
hal yang dapat dapat dilihat dari dimensi struktur
kelembagaan. pertama, sejauh mana para pemimpin
mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi. Kedua, sejauh mana
para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha
para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Demikian pula
halnya dengan dimensi konsiderasi yang menggambarkan:
pertama, sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja
antara pemimpin dan bawahannya. kedua, sampai sejauh
mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi
bagi bawahan. misalnya kebutuhan akan pengakuan,
kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi
kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi
ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan
kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan
bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung
menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap aspek struktur
organisasi dan konsiderasi. Mereka berpendapat bahwa
pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata
kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur,
dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat
baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa
hangat dengan bawahannya.
Traits theory menyatakan bahwa efektivitas
kepemimpinan tergantung pada karakter pemimpinnya.
Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian,
keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Menurut Gordon
(2002), Karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin
mencakup kemampuan intelektual, kematangan pribadi,
pendidikan, status sosial ekonomi, human relation,
motivasi intrinsik, dan dorongan untuk maju. Menurut
Ghiselli (1963), enam sifat yang signifikan untuk
kepemimpinan efektif, yaitu: (1) kemampuan pengawasan,
(2) kebutuhan pencapaian pekerjaan, (3) inteligensi,
(4) ketegasan, (5) jaminan diri dan (6) inisiatif.
Dalam perkembangannya, teori mendapat pengaruh
dari aliran perilaku pemikir psikologi yang
berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak
seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai
melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu
antara lain; sifat fisik, mental dan kepribadian.
Kepemimpinan efektif yang diterapkan di sekolah
merupakan manifestasi dalam pencapaian tujuan
organisasi. Tujuan organisasi adalah outcome yang ingin
dicapai. Tujuan menentukan arah semua keputusan dan
tindakan sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur
keadaan pekerjaan. Tujuan (goal) dan sasaran (objektif )dari
organisasi sekolah merupakan pedoman yang harus
dicapai. Tujuan (goal) di artikan target umum untuk
dicapai, sedangkan sasaran (objektif) diartikan sesuatu
yang dapat dicapai, tunggal, spesifik, terukur dengan
waktu tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Locke dan Latham dalam Hoy and Miskel (2008)
mengemukakan bahwa suatu tujuan terdiri atas dua
dimensi yaitu konten dan intensitas. Konten adalah
objek atau hasil fikiran dan bervariasi mulai dari yang
konkret sampai yang abstrak.konten suatu tujuan dapat
dilihat dari spesifikasi, perspektif waktu jangka
panjang atau pendek, tingkat kesulitan dan jumlahnya.
Intensitas tujuan adalah usaha yang diperlukan untuk
mencapai tujuan, pentingnya individu mencapai tujuan
dan komitmen tujuan. Tujuan didalam organisasi
berhubungan dengan pekerjaan. Tujuan seperti ini
disebut dengan tujuan kerja, yaitu berhubungan dengan
inti tanggung jawab yang cocok dengan bagian dan posisi
pekerjaan.
Pencapaian tujuan kerja di dalam organisasi kerja
dapat dibahas dengan mengacu pada pendapat Hoy dan
Miskel. Tujuan kerja dan pemanfaatan sumber-sumber
dilakukan untuk mendapat tujuan yang diinginkan.
Indikator pencapaian tujuan ini antara lain adalah
kemajuan yang dapat dicapai, pemanfaatan sumber,
kualitas pelayanan. Pencapaian tujuan kerja dapat
dilakukan melalui hasil evaluasi diri dan dapat juga
melalui evaluasi pihak luar. Model evaluasi diri dapat
dilakukan dengan model pencapaian tujuan (goal attainment).
Model ini membandingkan hasil yang dicapai melalui
pemanfaatan sumberdaya dan proses yang dilaksanakan
dengan tujuan/sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Artinya pencapaian tujuan tersebut dapat dilihat dari
output (hasil dari upaya pencapaian tujuan tersebut).
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan ini antara lain adalah kesesuaian jumlah dan
mutu output yang dihasilkan dengan sasaran yang
direncanakan, dampak output terhadap pelaksanaan proses
dan penggunaan, pendapat stake holder terhadap materi dan
pelayanan, pendapat pengguna tentang output yang mereka
pakai, mekanisme penyaluran pendapat, proyeksi tentang
mutu dan output yang dihasilkan pada waktu yang akan
datang.
Berdasarkan pembahasan keefektifan pencapaian
tujuan kerja dapat dikemukakan bahwa secara konseptual
keefektifan kerja adalah hasil perbandingan antara
target yang ditetapkan dan tingkat pencapaian target
tersebut dalam jangka waktu tertentu di dalam suatu
pekerjaan. Keefektifan kepala sekolah dapat dilihat
dari tujuan kerja yang telah ditetapkan. Dengan
demikian secara operasional keefektifan kepala sekolah
dapat diukur dari indikator prncapaian target yang
dapat mereka lakukan sesuai dengan ukuran kerja yang
ditetapkan dalam jangka waktu tertentu.
Sebagai faktor yang berkontribusi terhadap
Kepemimpinan efektif kepala sekolah, kinerja kepala
sekolah dimanifestasikan oleh kinerja kepala sekolah
yang handal dan produktif dalam pengelolaan kurikulum,
metode, siswa, biaya/keuangan, pengelolaan sarana
prasarana, dan pengelolaan tenaga kependidikan.
Dengan demikian dapat dikatakan agar kepemimpinan
kepala sekolah menjadi efektif bergantung pada karakter
pemimpin, penataan lembaga, penataan hubungan sosial-
emosional, dan pencapaian kerja.
Konsep Karakter Transendensi
Transendensi merupakan sebuah konsep psikologi
yang menjelaskan kemampuan manusia untuk
mengorientasikan dan mengalihkan diri dari hal-hal yang
terarah dari kepentingan pribadi kepada kepentinngan
diluar dirinya. Victor Frank (1954) dalam psikologi
logoterapi menyebut transendensi diri (self trancendence)
sebagai kemampuan yang memungkinkan manusia untuk
melepaskan perhatian dari kondisi diri saat ini dan
memusatkan perhatian pada kondisi yang dicita-citakan,
dari the actual self ke ideal self , dari being ke meaning.
Vroom dalam Duane (1991) menyebutkan transendensi
sebagai kemauan individu untuk mengalihkan diri dari
kondisi pasif menjadi produktif. Transendensi
memampukan individu menciptakan karya kreatif dan
produktif. Transendensi merupakan suatu prasyarat untuk
mengembangkan kepribadian yang sehat yaitu mampu
membina hubungan dan kerjasama dengan orang lain,
memiliki ikatan yang kuat sebagai warga negara dan
penduduk global, merasakan identitas diri sebagai
individu yang unik dan kemauan untuk mengorientasikan
diri dalam kehidupan. Moslow dalam Soren (2003) dan
Shane (2008) menjelaskan bahwa transendensi bersumber
dari pertumbuhan kepribadian secara intuitif, yang
diwujudkan dalam bentuk kemauan untuk hidup bermakna,
bekerja dan memberikan pelayanan, mengutamakan
keadilan, memenuhi kebutuhan spritual, mengorientasikan
diri terhadap kebenaran, keindahan, ketuhanan. Termasuk
didalamnya nilai-nilai kemuliaan yaitu kepedulian
terhadap kesejahteraan terhadap manusia dan alam.
Karakter transendensi di identifikasi sebagai
suatu yang bersumber dari motivasi altruistik, yaitu
suatu keluhuran membantu sesama tanpa bersyarat,
mempersembahkan sesuatu kepada orang lain tanpa ada
maksud pribadi tertentu. Transendensi dalam konteks
prilaku organisasi (organizational behaviour) merupakan
suatu aspek dalam personal ability. Transendensi diwujudkan
dalam kemampuan memahami makna esensial kehidupan
berorganisasi sebagai pengabdian hidup. Kemampuan untuk
menyadari sepenuhnya pencapaian tujuan organisasi
sebagai sesuatu yang identik dengan pencapaian tujuan
masyarakat secara holistik. Oleh karena itu, hal
penting yang paling utama bagi SDM dengan karakter
transendensi ini adalah menempatkan kepentingan
institusi melebihi kepentingan lainnya. Kemampuan
memaknai filosofis institusi sebagai kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan dalam menjalankan perannya
secara sinergis untuk mencapai tujuan institusi.
Kemempuan SDM memahami pergantian jabatan, mutasi,
sebagai regulasi institusi yang alamiah, sehingga dapat
menerima generasi berikutnya dan menyiapkan mereka
untuk meneruskan misi institusi (generativity). SDM yang
transendensi dapat menjalankan perannya demi keuntungan
bersama dengan tetap mempertimbangkan keuntungan
institusi sebagai prioritas utama. Kesadaran
berorganisasi tumbuh lebih baik pada SDM yang
transendensi . motivasi altruistiknya memampukannya
memahami hakekat kehidupan institusi yang
sesumngguhnya. Mampu memahami visi, misi, tujuan
institusi melebihi yang telah digariskan, mampu
melibatkan dirinya kepada kepentingan institusi (civil
aspiration).
Sumberdaya manusia yang transendensi akan
menggerakkan dan mengarahkan institusi berkembang
menuju institusi transendensi. Herbert (1987)
mengatakan bahwa institusi transendensi memiliki
kualitas sistem terbaik diantara semua organisasi yang
ada. Pada institusi transendensi berlangsung komunikasi
dua arah yang memusatkan perhatian pada persoalan yang
hakiki, yaitu tingkat produktivitas yang tinggi dengan
melakukan sesuatu yang benar dan bermakna (good and
meaningfull). Setiap anggotanya bekerja untuk mencapai
tingkat produktivitas yang sangat tinggi hasil kerjanya
dapat dinilai dari berbagai persyaratan, tidak hanya
sekedar membagi keuntungan, akan tetapi juga bermakna
bagi institusi secara keseluruhan. Institusi
transendensi memusatkan perhasian pada semua anggotanya
untuk menunjukkan keterlibatan yang tinggi terhadap
institusi, melakukan sesuatu dengan benar, bermakna
besar secara holistik.
Pusat perhatian institusi transendensi terletak
pada proses-proses institusional bukan pada insentif
yang akan diterima. Insentif tidak berada pada proses
kerja melainkan disekitar produk dan sudah berada di
luar pekerjaan orientasi SDM pada institusi
transendensi lebih kuat untuk mencari keutamaan atau
kemuliaan dari pada mendapatkan insentif. Gaji, kondisi
kerja yang nyaman, hanya akan memberikan kepuasan dan
kegembiraan jika diarahkan kepada sesuatu yang
esensial. Dalam institusi transendensi, SDM tidak akan
menguntungkan diri sendiri melainkan memberi keuntungan
timbal balik bahkan melebihi kepentingan institusi,
memberi keuntungan yang lebih besar kepada masyarakat
dan kehidupan manusia pada umumnya. Institusi
transendensi tidak mendapatkan keuntungan dengan
merugikan yang lain akan tetapi memberikan keuntungan
secara timbal balik. Sesuatu yang baik bagi SDM adalah
juga kebaikan bagi institusi dan masyarakat luas
(mutually), karena taraf aktualisasi diri paling tinggi
adalah yang mampu menyentuh sesuatu yang esensial bagi
kehidupan umat manusia.
Model Kepemimpinan Transendensi
Selain melalui program institusional pengembangan
diri dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan.
Hal ini dilakukan dilakukan dengan pendidikan dan
latihan transendensi. Konsep pendidikannya dikembangkan
dari Stenberg (1990), Kramer (1990), Casttle & Jewet
(1994), Robert Giacalone dalam Bateman (2008) dalam
bentuk pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan
kemampuan (abilities yaitu loving dan doing) yang dilakukan
dengan pendekatan kondisioning untuk membentuk
kebiasaan (habit) hingga akhirnya akan tampil prilaku
terpuji (akhlak mulia). Indikator karakter transendensi
yang dikembangkan tersebut sebagai berikut;
1) Empati
Eileen R. dan Sylvina S (Kompas, 18 Nop. 2006)
menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir
individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika
berhubungan dengan orang lain. Kemampuan empati kepala
sekolah merupakan kesediaan untuk memahami orang lain
secara utuh baik yang nampak maupun yang tersirat,
khususnya dalam aspek perasaan, fikiran, dan keinginan.
Kemampuan empati memungkinkan kepala sekolah dapat
menempatkan dirinya dalam suasana perasaan, fikiran dan
keinginan orang lain sedekat mungkin. Empati menekankan
kebersamaan dengan orang lain lebih daripada sekadar
hubungan yang menempatkan orang lain sebagai obyek
manipulatif, tetapi dapat menghayati bagaimana perasaan
seandainya berada dalam situasi yang sama dengan orang
tersebut. Situasi ini dapat mengembangkan suasana
hubungan yang didasari atas saling pengertian, suasana
rasa diterima dan dipahami serta kesamaan diri.
Kemampuan empati akan menumbuhkan kearifan didalam diri
SDM yang diekspresikan dalam kepekaan sosial.
2) Generativity
Konsep ini berkenaan dengan kepedulian dan
kesediaan mengulurkan tangan. Peduli Adalah sikap untuk
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, selalu tergerak
membantu kesulitan manusia lainnya. Sikap peduli adalah
sikap untuk berusaha membangkitkan kemandirian,
memelihara kehidupan sosial berdasarkan norma dan
nilai-nilai yang dianut. Memberi arahan untuk menerima
generasi yang akan datang. Generativity ini dikembangkan
dengan memupuk sikap melindungi dan memelihara.
3) Mutuality
Kesediaan memandang sukses tidak hanya untuk
kepentingan diri sendiri tetapi juga sesuatu yang
bermakna bagi kepentingan orang banyak. Hal ini
dibangun dengan sikap berbagi, kemauan untuk bekerja
sama dan menjaga sikap adil terhadap sesama. Karakter
kebebasan berfikir yang menghargai adanya perbedaan
pendapat tumbuh kepada situasi yang memungkinkan
tercapainya kesepakatan bersama untuk mencari yang
terbaik untuk semua, kesediaan untuk mengapresiasikan
perbedaan (Milfa, 2012).
4) Civil Aspiration
Sikap mengedepankan kepentingan bersama merupakan
makna dari civil aspiration. Dilatih dengan tidak hanya
berfikir dalam terminologi negatif tetapi memberi
kontribusi melalui pemikiran positif. Dalam hal ini
perlu dikembangkan cara memberi respon yang baik dan
menyenangkan bagi orang lain serta menghindari respon
atau tindakan yang tidak menyenangkan orang lain dan
yang tidak patut dilakukan (Milfa, 2012).
5) Intolerance Ineffective Humanity (Humanis)
Menolak dan tidak bertoleransi terhadap tindakan
yang tidak humanis. Berusaha untuk mencegah dan melawan
tindakan yang tidak etis. Mengendalikan dan memantau
diri sendiri sehingga orang lain tidak perlu lagi
mengendalikan perilaku yang bersangkutan dari luar.
Kemampuan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang
terjadi serta mengatasi konflik yang terjadi. Keteguhan
hati yaitu berani menempuh bahaya, persistensinya,
integritas, dan vitalitasnya untuk kemanusiaan (Milfa,
2012).
Dengan demikian dapat dikatakan agar kepemimpinan
kepala sekolah menjadi efektif bergantung pada karakter
pemimpin yang transenden (memiliki Emphaty,
Generativity, Mutuality, Civil Aspiration, dan
Humanity) dengan dimensi yang mempengaruhinya yakni:
penataan lembaga, penataan hubungan sosial - emosional,
dan pencapaian kerja. Untuk membangun pemimpin yang
memiliki karakter transendensi dapat dilihat tahapan
sebagai berikut:
Dimensi/aspek Emphaty Generati
vityMutuali
tyCivil
AspirationHumani
tyKnowing Ilustrasi cerita, pendalaman, definisiLoving Afirmasi Doing Aktivitas, refleksi, reviewHabit pembiasaanCharacter Perilaku efektifSumber: Milfa, Majalah UNIMED, edisi 3 Januari 2012
PENUTUP
Transendensi diri dapat dilihat sebagai upaya
manusia untuk bergerak melampaui sisi-sisi gelapnya,
dan membiarkan dirinya dibimbing oleh nilai-nilai luhur
kehidupan yang lahir dari konteks komunitas hidupnya.
Transendensi diri setiap pribadi adalah kunci utama
untuk menghadapi permasalahan pendidikan. Transendensi
diri juga berarti membiarkan diri dibimbing oleh
kesadaran dan akal budi.
Kepemimpinan transenden identik dengan sikap
skeptik dimana seseorang tidak lagi meyakini adanya
kebenaran akan suatu hal. Ketika orang lain mencari
pembenaran dari pendapatnya, maka orang-orang skeptik
yang berpikir transenden akan berpendapat bahwa
kebenaran tunggal akan suatu hal itu tidak ada dan
bahwa kebenaran-kebenaran yang telah diungkapkan
tersebut masih dapat disangkal dengan kebenaran-
kebenaran lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan transenden dapat membuka cakrawala
pemikiran dengan lebih luas dalam melihat segala
sesuatunya. Kefektifan kepemimpinan transenden yang
meliputi variabel yang terkandung dalam model
keefektifan pemimpin kepala sekolah memberikan indikasi
betapa luas peran kepala sekolah yang bersifat kompleks
dan unik.
Berpikir transenden adalah pola pemikiran bebas,
dalam arti pemikiran transenden hanya dapat dicapai
apabila kita dapat berpikir secara filsafati yang
berarti membebaskan diri dari doktrin apapun karena
doktrin yang tertanam tersebut selalu bisa diragukan
kebenarannya. Dalam konteks transendensi, manusia
berpikir dalam rangka berbuat. Setelah berbuat, ia akan
mulai mengevaluasi diri.
DAFTAR PUSTAKA
Bateman & Snell. (2008). Mangement. Newyork: Mc.Graw
Hill
Blake, R.R. & Mouton, J. S. (1985). The managerial grid III:The key to leadership excellence. Houston: Gulf Publishing
Duane, Schultz. D. (1991). Odels of the Healthy PersonalityResearch. Van Nostrand Company
Chester, I.Barnard. (1982). Fungsi Eksekutif, Jakarta. PPM
Colquit, Le. Pine. Wesson .(2009). Organizational Behavior.New York. Mc.Graw Hill
Frank, Lawrence K. , (1954). Feelings and emotions.Doubleday papers in psychology., (pp. 1-4). NewYork, NY, US: Doubleday & Co
Ghiselli, E.E. (1963). Management Talen. American phycologist. Vol. 18
Gordon, R. Judith. (2002), Organizational behavior: a diagnostic approach. Prentice Hall. New York
Gotick, A. & Chester Elton (2009), “The Carrot Principle”Book Review and Innovation Summaryhttp://www.innovationexcellence.com. Posted onJune 24, 2009 by Braden Kelley
Herbert, G. Hicks., Gullet, G. Ray. (1987).Organizational Theory and Behavior. (terj). Jakarta: BumiAksara.
Hoy, W.K., Tarter, C.J., & Woolfolk Hoy, A. (2006).Academic optimism of schools: A force for studentachievement. American Educational ResearchJournal, 43,425-446.
Hoy, W. K., & Miskel C. G. (2008). Educationaladministration: Theory, research, and practice (8th ed.). NewYork, NY: McGraw Hill.
Kinicki and Robert (2010). Organizational Behavior. NewYork: Mc.Graw Hill.
Kompas, (2012). SDM Pendidikan masih Rendah. Terbitan 15Maret.
Kuntowijoyo, (2011). Pengertian humanisasi, liberasi, dan transendensi menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo. http://hardikadwihermawan.blogspot.com
Mc.Shane & Von Glinow. (2008). Organizational Behavior, new York: McGraw Hill Book Co.
Morzano, R.J (1998). A Theory based meta analysis of research oninstruction. Aurora, C: Mid Continent Research forEducation and learning. www.merel.org.
-----------, (2000). A New Era of school reform. Going Whereresearch takes us Aurora, Co: Mid Content research forEducation and Learning.www.merel.org
-----------, (2003). What works in school. Translating researchinto action. Alexandria, V A. Association forSupervision and Curriculum Development.Learning.www.merel.org
Laurier, J. Mullin. (2005). Management and OrganizationalBehavior, Edinburg Gate Harlow: Prentice Hall Inc.
Lussier, Robert N. (2009). Management Fundamental. USA.South Western.
Manullang, Belferik dan Milfa. (2010). Integrasi Soft Skilldalam Revolusi Belajar. Medan. PPs Unimed.
------------, Disain Diklat Pegawai di Kabupaten Tapanuli Tengah.(Laporan Penelitian). PPs Unimed.
------------, (2011). Soft Skill SDM Pegawai. (LaporanPenelitian). PPs Unimed
------------, (2011). Model pengembangan Komitmen NormatifGuru, Cerdas Spritual, Habitual Pedagogis, Mind Set Ilmiah danKompetensi Abiliti. Jurnal Educandum. Vol. IV, No. 1.Juli 2011.
Milfayetty, Sri. (2009). Pengaruh kebutuhan Transendensi,Kesadaran Berorganisasi, Kejelasan Peran, Pencapaian TujuanKerja Terhadap Kepuasan Kerja. (Disertasi). Jakarta:PPs UNJ.
Milfayetty, Manullang. (2010). Efektivitas Personal (analisisKnowledge, Skill and Ability SDM Pemprovsu). Medan, PPsUnimed.
Milfayetty., Rahmulyani. (2011). Analisis Knowledge, Skill andAbility (Kasus Konselor). Jurnal Educandum. Vol. IV,No.1, Juli 2011
Milfayetty, Sri (2012). Karakter Totaliter, Konformis Vs KarakterTransendensi. Majalah UNIMED. Artikel edisi 3Januari 2012
Rachman, Eileen & Savitri, Sylvina. (2006, November18). Asah Empati. Kompas p. 57
Robin.P, Steven and Timothy. (2008). A Judge OrganizationalBehavior. New Jersey.
Rois, M. (2008). Pengaruh Gaya Kinerja Kepala MAterhadap Kompetensi guru dalam Peningkatan MutuPendidikan. Program Pasca Sarjana. UIN SGDBandung. Tidak Diterbitkan
Saholami, 2011. Pengertian Transendensi. http://id.shvoong.com
Sanders, W. And River, J. (1996). Comullative and ResidualEffects of Teacher on Future Student Academic Acievement.Knoxvile: University of Tenesee (Value-AddedResearch and Assesment Centre).
Soren V, Joeav., M. Niels J. (2003) Quality of Live Theory III.Maslow Revised. www.thesaintificworld.com
Townsend, D. and Butterworth., (1992). Your Child’s School.UK: Walker & Co
Victor , E. Frank. (2003). Logo terapi melalui pemaknaanEksistensi (terjemahan M. Murtadio). Yogyakarta: KreasiWacana.
Conn, Walter E. and. Comm, Walter E., (1998). The DesiringSelf: Rooting Pastoral Counseling and Spiritual Direction in Self-Transcendence. New Jersey. Paulist Press
---------, (2010). Model of Effective Leaders. http://wawan-junaidi.blogspot.com
----------,. 2012. Korupsi dan Transendensi Dirihttp://rszyszka.com. Dipublikasi pada Februari 17, 2012oleh Wattimena, Reza A. A
Yukl, G. (2009). Leadership and organizational learning: Anevaluative essay. Leadership Quarterly, 20 (1), 49-53.
Yukl, G. (2009). Power and the interpersonal influence ofleaders. In Tjosvold, D. and van Knippenberg, B.(Eds.), Power and interdependence in organizations. CambridgeUniversity Press