KEDUDUKAN TNI DAN POLRI DALAM MASYARAKAT
KELAS B
Anggi Sherli A, 1106007022
Fachrum Nisa Ariyani, 1106006921
Gabriele Griselda, 1106006820
Makalah untuk Mata Kuliah Hukum Tata Negara
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan YME,
karena berkat bimbingan dan rahmatnya, kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini kami
susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata
Negara Kelas B.
Makalah ini secara umum membahas kedudukan TNI dan
Polri dalam masyarakat Indonesia. Secara khusus,
makalah ini membahas mengenai peranan ABRI pada masa
Orde Baru, peranan ABRI (TNI) pada masa sekarang,
pemisahan Polri dari TNI, perbedaan antara TNI dan
Polri, dan tugas TNI dan Polri di Indonesia. Kami juga
menyertakan analisis kasus demonstrasi BBM dan
hubungannya dengan penurunan aparat TNI dalam
penanganan demonstrasi tersebut.
Kami berharap makalah yang kami susun ini dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Depok, 13 Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................2
Bab I. Pendahuluan....................................5
1. Latar Belakang................................5
2. Pertanyaan Penelitian.........................7
Bab II. Isi...........................................8
1. Peranan ABRI Pada Masa Orde Baru..............8
ABRI dan Politik.......................8
ABRI dan Lembaga Eksekutif............11
ABRI dan Lembaga Legislatif...........12
ABRI, Orsospol, dan Ormas.............13
2. Peranan ABRI (TNI) Pada Masa Sekarang........17
3. Pemisahan TNI dan Polri......................19
Alasan Dipisahkannya Institusi TNI dan
Polri.................................19
Keuntungan Polri di dalam Statusnya
Sebagai ABRI..........................23
Keuntungan Apabila Polri Berada di Luar
ABRI..................................23
4. Perbedaan Antara TNI dan Polri...............24
5. Tugas TNI dan Polri di Indonesia.............28
Tugas TNI di Indonesia................29
Tugas Polri di Indonesia..............29
6. Perlunya TNI dalam Hal Penanganan Demonstrasi
(analisis kasus).............................34
Bab III. Penutup.....................................38
1. Kesimpulan...................................38
2. Ucapan Terima Kasih..........................40
3. Saran........................................41
Daftar Pustaka.......................................42
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Salah satu kebutuhan dasar masyarakat adalah
perasaan aman dan tenteram dalam menjalankan tugas
dan aktivitas sehari-hari. Rasa aman dan tenteram
ini akan tercipta apabila keadaan Negara tertib,
baik kondisi internal maupun eksternal. Untuk
mewujudkan hal ini, Negara sebagai suatu
organisasi yang dengan kekuasaannya bertujuan
menyelenggarakan suatu masyarakat, memerlukan
institusi yang bisa menciptakan keamanan dan
ketertiban tersebut.
Di Indonesia, institusi yang didaulat
pemerintah untuk menjalankan fungsi politie atau
polisi (pertahanan dan keamanan) tersebut tidak
terbatas pada institusi yang bernama “kepolisian”
atau Polisi Republik Indonesia (Polri) saja, namun
Polri adalah salah satu institusi yang
menjalankannya. Institusi lain yang menjalankan
fungsi polisi adalah Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan satuan pengamanan yang ada di kantor-
kantor, perumahan, ataupun pusat perdagangan.
Institusi tersebut bertugas untuk menciptakan
ketahanan dan keamanan, baik di wilayah internal
maupun eksternal Negara Indonesia.
Contoh fungsi polisi internal yang berusaha
diwujudkan adalah pemberantasan kejahatan yang
meresahkan masyarakat, agar memberikan rasa aman
dalam masyarakat. Polri-lah yang bertanggung jawab
atas peran ini. Sedangkan secara eksternal, yang
dimaksud adalah penjagaan batas wilayah atau
daerah terluar Indonesia, agar tidak dikuasai oleh
pihak-pihak yang tidak berhak. Tugas ini ditangani
oleh institusi TNI dan lebih dikenal dengan nama
“pertahanan”.
Tugas-tugas TNI dan Polri yang disinggung di
atas tentu hanyalah sebagian kecil pembahasan
mengenai kedudukan keduanya dalam masyarakat.
Kedudukan TNI dan Polri tentu menimbulkan tugas-
tugas dan peran-peran yang lebih jauh dalam
masyarakat. Berangkat dari pemikiran tersebut,
maka makalah ini akan mengkaji lebih jauh mengenai
kedudukan TNI dan Polri dalam masyarakat Indonesia
I.2. PERTANYAAN PENELITIAN
1. Apa peranan ABRI pada masa Orde Baru?
2. Apa peranan ABRI (TNI) pada masa sekarang?
3. Mengapa Polri dipisahkan dari TNI?
4. Apakah perbedaan antara TNI dan Polri?
5. Apa tugas TNI dan Polri di Indonesia?
6. Perlukah TNI dalam hal penanganan demonstrasi?
(analisis kasus)
BAB II
ISI
II.1. Peranan ABRI Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, ABRI memiliki lebih
dari satu fungsi. Bukan hanya sebagai alat
pertahanan negara, namun juga sebagai kekuatan
sosial politik. Ini sesuai dengan yang tertulis
di Undang-undang Tentang Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, yang bunyinya:
“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia mengemban Dwifungsi ABRI, yaitu
sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan
kekuatan sosial politik.”1 Fungsi dan peran ABRI
yang lain akan diuraikan dalam bahasan berikut
ini.
II.1.1. ABRI dan Politik
Pada masa Orde Baru, militer tidak hanya
berperan di bidang pertahanan, namun berperan
juga di bidang sosial dan politik2. Ada
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pasal 62 Indria Samego, Bila ABRI Menghendaki (Bandung: 1998), hlm. 114
beberapa faktor yang menyebabkan militer
berperan dibidang sosial politik.
Pertama, adanya anggapan bahwa militer
mengemban tugas sebagai penyelamat negara.
Anggapan ini muncul karena mereka dibentuk
sebagai alat pertahanan negara. Oleh karena
tugas ini pula, rasa nasionalisme yang
melekat pada militer kelihatan lebih kuat.
Sayangnya, tidak selamanya pemilikan monopoly
of forces oleh ABRI ini dijabarkan secara
tepat di lapangan. Dalam praktik, peran yang
dominan tersebut kerap disalahgunakan atau
disalahtafsirkan oleh anggotanya.
Kedua, ada semacam kepercayaan pada
golongan militer bahwa mereka memiliki
identitas khusus didalam masyarakat. Mereka
mengidentifikasikan dirinya sebagai pelindung
kepentingan nasional.
Ketiga, militer mengidentifikasikan
dirinya sebagai arbiter atau stabilisator
bagi negaranya. Peran ini sering diartikan
bahwa pengambil alihan kekuasaan politik oleh
militer yang disertai dengan pengambil alihan
peranan politik hanya bersifat sementara
sampai stabilitas dan ketertiban umum
terpenuhi.
Keempat, militer mengidentifikasikan
dirinya sebagai pelindung kebebasan umum.
Namun demikian, peran-peran yang secara
doktriner dimaksudkan untuk kepentingan
nasional, pada kenyataannya direduksi menjadi
kepentingan militer belaka. Bahkan kadangkala
distorsi ini mencapai tingkatan yang paling
rendah – di mana para perwira militer
memainkan peranan-peranan politiknya dengan
tujuan untuk keuntungan pribadi.
Peran non-militer ABRI pada masa Orde Baru
dimulai sejak tahun 1966, setelah Jenderal
Soeharto diangkat sebagai Ketua Presidium
Kabinet merangkap Menteri Utama Bidang
Pertahanan Keamanan, dan Jenderal Nasution
secara aklamasi dipilih menjadi Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Keterlibatan peran ABRI secara aktif pada
masa awal Orde Baru ini, antara lain untuk
memulihkan krisis nasional yang terjadi
akibat pemberontakan G-30-S/PKI. Pada saat
itu, situasi politik tidak menentu dan
terjadi krisis ekonomi. Kondisi ini mendorong
terjadinya demonstrasi mahasiswa yang
menuntut pembubaran PKI, penurunan
harga/perbaikan ekonomi, serta retooling
Kabinet Dwikota, yang kemudian dikenal dengan
Tritura.
II.1.2. ABRI dan Lembaga Eksekutif
Penempatan ABRI di lembaga eksekutif pada
masa Orde Baru terlihat dari banyaknya
anggota ABRI yang dikaryakan baik sebagai
anggota kabinet, duta besar, gubernur,
bupati, serta jabatan-jabatan penting lain di
birokrasi pemerintahan. Pada masa awal Orde
Baru, dari 27 anggota kabinet yang diangkat
Soeharto pada Juli 1966, terdapat dua belas
menteri yang merupakan anggota ABRI, yakni
enam menteri berasal dari Angkatan Darat dan
enam lainnya merupakan panglima-panglima di
luar Angkatan Darat. Meskipun wakil-wakil
sipil pada saat itu merupakan mayoritas dari
kabinet, namun sebagian besar departemen-
departemen yang strategis dipegang oleh
militer.
Dominasi ABRI di lingkungan birokrasi
pemerintahan, menempatkan ABRI sebagai
penentu kebijakan, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Akibatnya, pengangkatan
jabatan-jabatan birokrasi di semua tingkat
bergantung pada persetujuan pimpinan ABRI.
Masalah perizinan, pemberian kontrak, dan
keputusan atas proyek-proyek juga harus
mendapat restu dari – atau dalam istilah
halusnya dikoordinasikan terlebih dahulu
dengan – ABRI. Sehingga anggota-anggota ABRI
yang ditempatkan pada jabatan-jabatan
birokrasi akan lebih mendahulukan apa yang
diinginkan oleh lembaga yang menempatkannya.
Akibatnya, kepentingan dan aspirasi
masyarakat terkadang harus dikalahkan oleh
kepentingan dan aspirasi ABRI. Selain itu,
penempatan ABRI di jabatan-jabatan birokrasi
lebih sering dilakukan dengan cara penunjukan
dan bukan melalui mekanisme seleksi yang
kompetitif.
II.1.3. ABRI dan Lembaga Legislatif
Persoalan utama penempatan ABRI di
legislatif bukan hanya terletak pada jumlah,
tetapi juga pada banyaknya anggota ABRI yang
duduk sebagai ketua lembaga-lembaga
legislatif tingkat daerah. Fenomena tersebut
terutama terlihat pada perbandingan antara
jumlah ABRI dan non-ABRI yang menjadi Ketua
DPRD II.
Banyaknya anggota ABRI yang menjabat Ketua
DPRD dianggap oleh sementara kalangan
menghalangi penyaluran aspirasi masyarakat.
Penekanan konsep stabilitas pada mekanisme
kerja ABRI, mengakibatkan masyarakat takut
untuk datang ke DPRD. Selain itu, sistem
komando dan hierarki pada ABRI sering
menjadikan ABRI lebih mendahulukan
kepentingan korpsnya daripada aspirasi
masyarakat.
II.1.4. ABRI, Orsospol, dan Ormas
Keterlibatan ABRI dalam organisasi
kemasyarakatan maupun sosial politik pada
masa Orde Baru secara terbuka dimulai saat
ABRI membidani pembentukan Golongan Karya
(Golkar) sebagai salah satu kekuatan politik
baru 1964. Alasan pembentukan Golkar, konon
karena partai politik pada saat itu dipandang
sebagai sumber konflik dan ketidakstabilan
politik. Dengan demikian, pemerintahan oleh
partai maupun keikutsertaan partai dalam
pemerintah dianggap sebagai “masa lalu yang
buruk” yang tidak perlu diulang lagi. Selain
itu, guna mendukung gagasan pembaruan ekonomi
yang dilakukan pemerintah Orde Baru,
dipandang perlu untuk membentuk “kelompok non
partai” yang dapat mendukung program-program
tersebut. Dalam hal ini, Golkar diharapkan
menjadi lokomotif kebijakan pemerintah Orde
Baru.
Pada masa lalu, ABRI juga telah membentuk
organisasi kemasyarakatan (ormas) yang
berafiliasi pada lembaga ini (ABRI) seperti
MKGR, Soksi, dan Kosgoro. Tujuan pembentukan
ormas tersebut untuk mengimbangi kekuatan
komunis dan organisasi-organisasi yang
berafiliasi di bawahnya juga. Tahun 1964,
kedua ormas tersebut bersama-sama oeganisasi
yang berafiliasi non-partai lain membentuk
Sekber Golkar. Mereka tersebut termasuk 53
organisasi serikat buruh yang disponsori
militer dan pegawai negeri, 10 organisasi
profesi, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa,
ABRI, 5 organisasi wanita, 4 organisasi media
massa, dan organisasi petani dan nelayan,
serta 9 organisasi lainnya.
Masalah klasik yang berhubungan dengan
keterlibatan ABRI dalam orsospol/ormas adalah
peranan ABRI dalam menentukan kepengurusan
mereka. Masalah lain adalah sikap ABRI yang
dipandang cenderung memihak ke Golkar. Hal
ini terutama berkaitan dengan kegiatan yang
dilakukan partai.
Sementara itu, campur tangan ABRI di ormas
cukup dominan. Terutama bagi ormas yang
mempunyai ikatan dengan ABRI seperti Pepabri.
Penetapan pengurus pada ormas tersebut harus
lebih dahulu dikonsultasikan dengan para
pembinanya (pimpinan ABRI). Sedangkan untuk
ormas lain, konsultasi serupa juga harus
dilakukan terutama kepada aparat keamanan
setempat.
Jika orsospol menganggap bahwa campur
tangan ABRI cukup mengganggu, maka tidak
demikian dengan yang dirasakan oleh ormas.
Bahkan ABRI sendiri secara resmi memiliki
organisasi-organisasi “mantel” baik yang
berhubungan dengan masalah kepemudaan
(FKPPI), purnawirawan, dan juga organisasi
yang dikelola oleh istri-istri anggota ABRI
(Dharma Pertiwi). Aktivitas ketiga organisasi
itu tidak sebatas pada tingkat kabupaten tapi
juga telah menjangkau sampai tingkat
kecamatan. Di daerah, beberapa ormas melihat
keterlibatan ABRI sebagai cukup positif,
terutama dalam pelatihan-pelatihan
kepemimpinan yang dilakukannya.
Karena hal tersebut, TNI dinilai
kebablasan sampai akhirnya menjadi alat
politik kekuasaan rezim Orde Baru (ORBA).
Terdapat dua faktor eksternal dan internal.
Dari faktor eksternal, politik Orba dibangun
dengan dukungan militer. Ini format Orba dan
waktu itu kita menerimanya, bahwa jika semua
pembangunan berjalan secara berkesinambungan,
maka kegiatan-kegiatan politik harus di-
repress. Boleh ada partai politik, tetapi
cuma ada tiga. Terkontrol semua dan tidak ada
rivalitas. Apalagi organisasi masyarakat,
boleh ada sebagai perwujudan kebebasan
berserikat, tapi hanya ada satu setiap jenis
organisasi.
Faktor internal, kalau kita lihat doktrin
TNI mereka adalah sebuah kekuatan Sapta Marga
yang mengutamakan kepentingan nasional di
bawah kepentingan pribadi, yakni pada saat
Orba yang dinamakan kepentingan nasional itu
seperti yang ada di GBHN, TAP MPR, dan segala
macamnya. Doktrin TNI mengatakan mempunyai
fungsi mengamankan negara, konstitusi, dan
pemerintahan, tapi praktiknya dia ingin
memiliki karier yang cemerlang dalam tugas.
Dalam konteks ini pula, profesionalisme TNI
semakin menurun. Bahkan terkesan merosot.
Karena mereka terlalu sibuk mengurusi peran
sosial-politiknya.
II.2. Peranan TNI Pada Masa Sekarang
Dalam tatanan demokrasi saat ini, TNI
merupakan alat negara yang menjalankan
sebagian fungsi pertahanan3. UU Pertahanan4
3 Kiki Syahnakri, Aku Hanya Tentara (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 974 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, Pasal 10 ayat 3
kita dengan gamblang menegaskan bahwa tugas
pokok TNI adalah mempertahankan kedaulatan
negara dan keutuhan wilayah, melindungi
kehormatan dan keselamatan bangsa,
menjalankan Operasi Militer Selain Perang,
dan ikut serta secara aktif dalam tugas
pemeliharaan perdamaian regional dan
internasional. Dengan tugas dan kedudukan TNI
yang secara formal sudah diundangkan, berarti
masyarakat dan negara Indonesia berpijak pada
kesepakatan yang sama bahwa TNI harus
profesional. Profesionalisme TNI merupakan
wujud nyata dari komitmen fundamentalnya
untuk menjadi pengawal kedaulatan negara dan
penjaga integritas bangsa.
Menteri pertahanan memiliki kewenangan
dalam menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan
kebijakan umum yang ditetapkan presiden5.
Berbeda pada masa Orde Baru, di mana
anggota TNI (ABRI) boleh ikut terjun dalam
sistem pemerintahan, maka pada masa sekarang,
5 Lukman Surya Saputra, Pendidikan Kewarganegaraan : Menumbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), hlm. 8
TNI tidak boleh berpolitik praktis, juga
tidak boleh berbisnis. Ini sesuai dengan yang
tertulis dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun
2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal
2d, yang bunyinya: “Tentara Profesional,
yaitu tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik
praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan
politik negara yang menganut prinsip
demokrasi, supremasi sipil, hak asasi
manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum
internasional yang telah diratifikasi6.”
II.3. Pemisahan TNI dan Polri
II.3.1. Alasan Dipisahkannya Institusi TNI dan Polri
Panglima TNI Laksamana Widodo AS dalam
Rapin TNI 19-20 Mei 1999 di Cilacap,
merumuskan bahwa TNI telah melepaskan fungsi
sosial dan politik dan melepaskan fungsi
keamanan menjadi wewenang Polri7. Dgn
6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 2d7 Connie Rahakundini Bakrie, M.Si, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 3
demikian, TNI kembali ke pada jati dirinya
yang profesional sebagai alat pertahanan RI.
Maka secara tidak langsung dapat dikatakan
bahwa Dwi Fungsi ABRI sudah berakhir. Ada
beberapa hal penting yang menjadi alasan
mengapa Polri dikeluarkan dari ABRI. Alasan-
alasannya adalah sebagai berikut8:
1. Polri adalah institusi publik yang
berwatak sipil dan dituntut untuk
menjalankan peranannya yang demikian
itu;
2. Polri menghadapi masyarakat sebagai
sasaran kontrol yang harus dilindungi,
Polisi tanpa masyarakat bukan apa-apa;
3. Doktrin polisi adalah melindungi, sedang
doktrin militer adalah menghancurkan
musuh. Keduanya tidak dapat dipersatukan
atau doktrin polisilah yang akan kalah
atau “terkontaminasi”;
4. Polisi tidak melihat masyarakat sebagai
satuan absolut melainkan sebagai
8 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, “Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi”, Seminar Nasional : Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi, (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1998), hlm. 7
individu-individu. Pandangan seperti ini
menghasilkan institusi diskresi, yaitu
yang melihat karakteristik individual
dari subyek yang dihadapi dalam tugas;
5. Kultur polisi berbeda dari kultur
militer;
6. Polisi adalah pasukan berseragam tetapi
berjiwa sipil (civilian in uniform).
Seorang polisi pertama-tama adalah
anggota masyarakat biasa (citizen) dan
baru di tempat kedua ia adalah seorang
polisi. Polisi harus mengembangkan
“kepekaan sipil”;
7. Polisi menghadapi manusia, bukan musuh.
Ia menghadapi persoalan-persoalan
transejarah, yaitu menghadapi atau
berurusan dengan masalah-masalah
fundamental masyarakat dan dengan hidup
mati manusia (human survival);
8. Polisi sangat berurusan dan juga menjadi
bagian dari hukum. Oleh sebab itu demi
efisiensi dan kerapian struktur harus
dipertegas tempat Polri sebagai bagian
dari sistem penegakan hukum atau
semuanya menjadi kabur;
9. Keadilan. Untuk bagian subtansial dari
tugas kepolisian berurusan dengan
keadilan, karena ia merupakan bagian
dari sistem peradilan pidana. Oleh
karena itu, selain mengembangkan
“kepekaan sipil”, polisi juga harus
mengembangkan “kepekaan keadilan”;
10. Polisi itu mewakili “moral
masyarakat”, yaitu memenangkan kebaikan
dan mengalahkan keburukan,
ketidakadilan. Dengan demikian pekerjaan
polisi penuh dengan persoalan-persoalan
moral dan itu menunjukkan tempat polisi
dalam kawasan sipil;
11. Kapolri harus memegang puncak
komando kepolisian, karena hanya seorang
yang berasal dari kalangan polisi
profesional akan mampu memahami dan
menjalankan fungsi kepolisian dengan
baik.
II.3.2. Keuntungan Polri di dalam Statusnya sebagai
ABRI
Pertama, bahwa kepentingan sosial-politik
Polri dapat tercapai karena TNI adalah unsur
sosial-politik yang terkuat di Indonesia. Di
samping itu, berhubungan dengan
profesionalisme, Polri dapat memanfaatkan
latihan TNI sebagai dasar profesi bersenjata.
Kerja sama dengan angkatan lain akan
memudahkan Polri dalam mengembangkan
kemampuan teknis profesional lainnya. Apabila
sewaktu-waktu diperlukan dalam pelaksanaan
tugas di lapangan, bantuan pasukan dari
angkatan lain akan lebih cepat diperoleh.
II.3.3. Keuntungan Apabila Polri Berada di Luar ABRI
Setidaknya ada tiga keuntungan yang dapat
diperoleh. Pertama, Polri dapat mengembangkan
organisasi dan personilnya secara lebih
mandiri, sesuai dengan kebutuhan dan
tujuannya sendiri. Secara profesionalisme,
Polri dapat lebih benar-benar terarah sebagai
alat penegak hukum dan pengayom masyarakat,
baik secara individual maupun sebagai
kesatuan, karena Polri dapat lebih otonom
dalam menentukan pola operasi dan pembinaan
profesi. Sedangkan secara administratif,
keberadaan Polri di luar ABRI memungkinkan
Polri mendapat dana lebih besar, birokrasi
pendanaan lebih pendek, sehingga sistem
pembinaan personil dan pola operasi Polri
dapat lebih disesuaikan dengan kepentingan
profesi dan tujuan operasional Polri itu
sendiri.
II.4. Perbedaan Antara TNI dan Polri
Telah disinggung di bagian awal bahwa TNI
dan Polri adalah dua institusi yang sama-sama
menjalankan fungsi polisi. Namun begitu, ada
beberapa hal yang membuat keduanya berbeda.
Berikut pembahasannya.
Pertama, TNI adalah institusi publik yang
berwatak militer, sedangkan Polri adalah
institusi publik yang berwatak sipil dan
dituntut untuk menjalankan peranannya yang
demikian itu. Berangkat dari rumusan
tersebut, maka anggota TNI yang melakukan
kejahatan saat bertugas akan diadili di
Pengadilan Militer. Namun bila kejahatan
dilakukan bukan saat bertugas, anggota TNI
tersebut tetap diadili di Pengadilan Negeri.
Beralih ke hal berikutnya. Bagi anggota Polri
yang melakukan kejahatan harus diajukan ke
muka hukum dan diadili di Pengadilan Negeri,
karena anggota Polri adalah masyarakat sipil.
Kedua, asas pelaksanaan tugas Polri adalah
penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan.
Lain halnya dengan asas TNI sebagai institusi
militer yang mengutamakan komando dan
kehormatan korps.
Ketiga, sifat tugas TNI adalah
menghancurkan, hal ini dikarenakan yang
dihadapi TNI adalah musuh, sehingga tugas
mereka adalah memberantas orang/badan yang
menjadi musuh Negara. Sedangkan sifat tugas
Polri adalah melindungi, karena yang dihadapi
oleh polisi adalah masyarakat. Sudah menjadi
tanggung jawab polisi untuk menumpas
kejahatan. Maka tugasnya adalah menangkap
penjahat dengan tetap memperhatikan sisi
kemanusiaan agar si penjahat mempertanggung
jawabkan perbuatan jahatnya di muka
pengadilan.
Keempat, berhubungan dengan perbedaan
ketiga. Karena yang dihadapi TNI adalah
musuh, maka dikenal perintah “tembak di
tempat” yang diberikan atasan di kalangan
TNI. Berbeda dengan polisi yang sangat
memperhatikan sisi kemanusiaan, “tersangka”
tidak dianggap sebagai “musuh”. Mereka baru
dapat dianggap bersalah apabila sudah ada
keputusan pengadilan yang bersifat tetap.
Kekerasan hanya boleh dilakukan apabila
tersangka melawan sehingga polisi
diperbolehkan melakukan kekerasan yang
bersifat defensif untuk melindungi diri dari
bahaya.
Kelima, berhubungan dengan perbedaan
keempat. Pendidikan TNI dan Polri juga
memiliki perbedaan. Pendidikan TNI ditekankan
kepada bagaimana menyerang dan berperang
dengan baik. Sedangkan Polri perlu memahami
banyak hal yang lebih kompleks lebih daripada
itu. Polri perlu mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan penegakan hukum karena ia
adalah bagian dari sistem peradilan pidana.
Polri juga perlu memahami ilmu-ilmu sosial
lain untuk dapat mengatasi permasalahan
sosial dalam masyarakat, karena seperti yang
sudah dikemukakan sebelumnya, yang dihadapi
Polri adalah masyarakat sosial. Masih
mengenai pendidikan, anggota Polri
disyaratkan untuk mencapai jenjang
SMA/sederajat, sedangkan anggota TNI ada yang
tingkat pendidikannya lebih rendah dari SMA.
Tugas Polri menuntut kecerdasan dalam
menghadapi tantangan yang kronis. Polisi
membutuhkan kemampuan otak maupun otot9.
Sedangkan TNI selalu harus menunggu perintah
atasan dalam menjalankan tugas. Ini berkaitan
dengan perbedaan berikutnya.
Keenam, seorang anggota TNI harus bergerak
dalam ikatan kelompok dan mempertanggung
jawabkan perbuatannya secara kelompok pula.
Hal ini berbeda dengan halnya seorang anggota
Polri yang dapat melakukan penilaian sendiri
dan bertindak sendiri kemudian dipertanggung
9 Kombes Pol. Drs. Alfons Loemau, SH, M.Bus, Ekawaty Kristianingsih, SH, M.Hum, Aron Siahaan, SH, MH, Penegakan Hukum Oleh Polri (Jakarta: Restu Agung, 2005), hlm. 103
jawabkan kepada atasannya. Hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 18 UU Nomor 28 Tahun 1997.
Ketujuh, dalam hal mengejar seorang
penjahat yang melintasi batas Negara, TNI
tidak dapat memasuki negara tetangganya tanpa
izin karena akan dicap sebagai tindakan
intervensi. Sedangkan anggota Polri
diperbolehkan melakukan hal tersebut, yang
kemudian dipertanggung jawabkan kepada
anggota institusi serupa Polri Negara
tersebut.
Kedelapan, karena TNI adalah “alat tempur”
Negara, maka apabila ia dibunuh dalam
menjalankan tugas, itu adalah risikonya.
Sedangkan Polri, karena ia bukan merupakan
alat perang, maka ia tidak boleh dibunuh.
II.5. Tugas TNI dan Polri di Indonesia
Setelah menemukan perbedaan-perbedaan
antara TNI dan Polri,selanjutnya kita akan
membahas tugas-tugas kedua institusi
tersebut.
II.5.1. Tugas TNI di Indonesia
Di seluruh dunia, peran utama institusi
militer adalah sebagai “war machine” atau
alat perang, sehingga di Indonesia AD, AL,
dan AU dahulu disebut Angkatan Perang. Kata
“perang” identik dengan pikiran adanya
kekuatan musuh. Untuk memenangkan perang, TNI
didoktrin untuk mengalahkan atau
menghancurkan musuh. Namun begitu, sebenarnya
TNI sebagai angkatan perang memiliki tugas
lain di luar berperang. Terdapat Civic
Mission10 yang dikenal dalam angkatan perang,
bahwa angkatan perang tidak hanya berperan
sebagai alat perang, melainkan juga sebagai
perangkat yang membangun kesejahteraan
sosial. Akan tetapi perlu diingat bahwa civic
mission ini bukanlah tugas pokoknya.
II.5.2. Tugas Polri di Indonesia
Secara universal, tugas Polri mencakup dua
hal utama, yaitu menegakkan hukum dan
memelihara keamanan serta ketertiban umum11.
10 Drs. Koesparmono Irsan, MBA, “Polisi”, Seminar Nasional : Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi, (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1998), hlm. 5211 Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, “Polri : Di Dalam atau di Luar ABRI?”, Seminar Nasional : Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi, (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan
Tugas pertama mengandung pengertian represif,
sedangkan tugas kedua mengandung pengertian
preventif12. Tugas represif atau tugas
menindak tegas adalah tugas terbatas yang
kewenangannya dibatasi oleh KUHAP, asasnya
legalitas dan semua tindakan harus
berlandaskan hukum. Sedangkan tugas preventif
atau tugas mengayomi adalah tugas yang luas,
tanpa batas, boleh melakukan apa saja asal
keamanan terpelihara dan tidak melanggar
hukum itu sendiri. Asas yang dianut adalah
asas oportunitas, utilitas, dan kewajiban.
Polri juga bertindak sebagai penyidik dalam
tindak pidana. Hal ini menggambarkan bahwa
penegakan hukum dalam konteks sistem
peradilan pidana, Polri merupakan garda
terdepan/pintu gerbang utama dari aparat
penegak hukum lainnya13.
Kedua tugas ini dalam praktek di lapangan
sering menimbulkan kontroversi. Ketika ia
harus menindak seseorang yang dicurigai
Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1998), hlm. 6012 Kunarto. Perilaku Organisasi Polri. (Jakarta: Cipta Manunggal, 1997), hlm. 11113 Kombes Pol. Drs. Alfons Loemau, SH, M.Bus, Ekawaty Kristianingsih, SH, M.Hum, Aron Siahaan, SH, MH, Penegakan Hukum Oleh Polri (Jakarta: Restu Agung, 2005), hlm. 90
sebagai pencuri, misalnya, ia dibayangi oleh
perannya sebagai pengayom masyarakat. Jika ia
harus mengikuti asas praduga tak bersalah,
maka ia akan terjebak dalam konflik peran
antara menindak si terduga atau atau
melindungi haknya yang belum tentu bersalah.
Secara psikologi, konflik peran ini bisa
menimbulkan stress dan frustrasi yang akan
berujung pada sikap sikap agresif. Tidak
mengherankan jika Polri bisa saja dibenci
oleh masyarakat. Menurut Skolnick, ada dua
unsur yang mempengaruhi tugas Polri, yaitu
unsur bahaya dan unsur kewenangan (termasuk
kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan
atau diskresi)14. Unsur bahaya membuat polisi
selalu curiga, sedang unsur kewenangan
sewaktu-waktu bisa berubah menjadi
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan
wewenang.
Polri juga berperan dalam perubahan sosial
dalam masyarakat karena Polisi merupakan
cerminan dari masyarakatnya, termasuk
perubahan-perubahan yang terjadi pada 14 Sarwono. SW, Psikologi Sosial (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 313
masyarakatnya. Setidaknya ada 9 (sembilan)
pokok pikiran yang diberikan oleh Prof.
Satjipto Rahardjo mengenai peran polisi dalam
menyikapi perubahan sosial yang sedang
terjadi15, yaitu:
1. Polisi harus belajar untuk berbagi
informasi. Dalam hubungan dengan ini,
Toffler mengatakan bahwa pengetahuan
merupakan kekuatan yang sangat dominan
dalam menyikapi berbagai perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat,
menggeser kekuatan kekerasan dan
kemakmuran yang menguasai abad ke-20.
Polisi hendaknya menguasai dengan baik
pengetahuan yang terkini/mutakhir.
2. Tuntutan tersebut berkaitan dengan
keharusan Polisi untuk bertindak sebagai
badan yang menjadi acuan (referral
service) bagi badan-badan lain yang
harus memberikan pelayanan sosial dan
kultural pada masyarakat.
3. Eksekutif Polisi sebaiknya tidak merasa
puas dan membiarkan dirinya senang 15 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 12
dengan apa yang telah dicapainya di masa
lalu.
4. Polisi hendaknya tidak melihat dirinya
sebagai suatu angkatan kerja begitu
saja, melainkan menempatkan dirinya
menjadi bagian integral dari
lingkungannya, serta menjadi anggota
yang selalu dicari oleh lingkungannya
(profesional)
5. Mengacu pada Toffler, maka Polisi masa
kini harus menjadi tokoh protagonis
(bersama masyarakat), bukan antagonis
(bertentangan dengan masyarakat)
6. Cara yang baik untuk melakukan hal
tersebut adalah berintegrasi dengan
jaringan sosial (social network) yang
ada. Untuk mampu melakukannya, Polisi
hendaknya melakukan refleksi terhadap
hakikat dari perubahan sosial.
7. Konsep dan landasan jaringan sosial
tersebut harus diperluas menjadi kerja
sama atau ketergantungan Polisi kepada
partisipasi masyarakatnya.
8. Polisi hendaknya menjadi fasilitator
perubahan. Sikap demikian sulit
dilakukan apabila ia hanya menjadi
penjaga status quo, seperti lazimnya
Polisi tradisional.
9. Para eksekutif penegak hukum masa kini
harus membentuk masa depan, dan untuk
itu mereka harus menjadi pemimpin masa
depan, dan untuk itu harus senantiasa
berada selangkah di depan
bangsa/masyarakatnya.
II.6. Perlunya TNI dalam Penanganan Demonstrasi (kasus)
Berkaitan dengan peran dan fungsi TNI
serta Polri yang telah dibahas sebelumnya, di
bawah ini disajikan kasus dengan tema
terkait.
30 Ribu Aparat Gabungan TNI/Polri Amankan Demo Kenaikan BBME Mei Amelia R - detikNewsSelasa, 27/03/2012 07:03 WIB
Jakarta – Hari ini, sejumlah titik di kawasan Jakarta dan sekitarnya akan dipadati massa pendemo. Sedikitnya 30 ribu aparat gabungan TNI/Polri disiagakan untuk mengamankan aksi demo menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ini.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menerjunkan 22 ribu personel. Sementara TNI mengerahkan sedikitnya 8 ribu personel. Para petugas tersebar di sejumlah lokasi yang menjadi pusat konsentrasi massa seperti Istana Merdeka, gedung DPR, kantor pemerintahan dan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Secara singkat, kasus di atas membahas
mengenai demonstrasi yang diadakan pada
Selasa, 27 Maret 2012 di Jakarta dalam rangka
menentang kenaikan harga BBM. Dalam
demonstrasi tersebut tidak hanya anggota
Polri saja yang akan diturunkan, namun juga
anggota TNI.
Setelah membahas mengenai fungsi, peran,
dan kedudukan masing-masing institusi TNI dan
Polri di Indonesia, kita dapat saja langsung
mengatakan bahwa kebijakan menurunkan TNI
30 Ribu Aparat Gabungan TNI/Polri Amankan Demo Kenaikan BBME Mei Amelia R - detikNewsSelasa, 27/03/2012 07:03 WIB
Jakarta – Hari ini, sejumlah titik di kawasan Jakarta dan sekitarnya akan dipadati massa pendemo. Sedikitnya 30 ribu aparat gabungan TNI/Polri disiagakan untuk mengamankan aksi demo menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ini.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menerjunkan 22 ribu personel. Sementara TNI mengerahkan sedikitnya 8 ribu personel. Para petugas tersebar di sejumlah lokasi yang menjadi pusat konsentrasi massa seperti Istana Merdeka, gedung DPR, kantor pemerintahan dan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
dalam demonstrasi tidaklah tepat. Karena TNI
adalah alat pertahanan, sedangkan Polri
adalah alat keamanan. Ini berarti dalam hal
penanganan demonstrasi, anggota Polri-lah
yang perlu diturunkan, sedangkan TNI tidak.
Namun mari kita tilik lebih jauh mengenai
fungsi pertahanan dan keamanan yang masing-
masing dijalankan oleh TNI dan Polri.
Pertahanan dan keamanan negara sebenarnya
merupakan suatu sistem, karena keduanya
saling berkaitan16. Contohnya adalah bahwa
sebelum demonstrasi, para demonstran harus
melapor secara jelas kepada Polisi mengenai
waktu dan tempat akan diadakannya
demonstrasi. Ini bertujuan agar anggota Polri
tahu kapan harus turun untuk mengawasi
jalannya demonstrasi agar tidak terjadi
kekacauan (chaos).
Lain halnya apabila sudah terjadi chaos,
TNI berkewajiban untuk ikut turun
mengamankan. Hal ini merupakan antisipasi
16 Disarikan dari Kuliah Hukum Tata Negara pada hari Kamis, 3 Mei 2012, pukul 09.45, oleh Ibu Fitra Arsil.
jika pertahanan negara dianggap sudah berada
dalam keadaan bahaya.
Dalam kasus di atas, TNI disiagakan di
beberapa obyek vital, salah satunya adalah
gedung istana negara. Seperti yang kita
ketahui, bahwa istana negara adalah simbol
kedaulatan negara. Apabila istana negara saja
hancur akibat aksi anarkis para demonstran,
sama saja kedaulatan negara tersebut telah
hilang. Bila istana rusak, berarti Indonesia
dianggap tidak mampu lagi mempertahankan
kedaulatan negara. Maka TNI diturunkan untuk
menjaga pertahanan Indonesia juga. Penurunan
anggota TNI dalam kasus demonstrasi yang
banyak terjadi di Indonesia sifatnya hanya
mem-back up saja. Namun semua kendali tetap
berada di bawah Polri.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Setelah membahas mengenai peranan TNI pada
masa Orde Baru, peranan TNI pada masa sekarang,
pemisahan institusi TNI dan Polri, perbedaan-
perbedaan antara keduanya, tugas-tugas TNI dan
Polri, serta kebutuhan menurunkan TNI dalam
demonstrasi, dapat ditarik beberapa kesimpulan
seperti di bawah ini.
Pada masa Orde Baru, TNI bukan hanya
sebagai alat pertahanan negara melainkan
juga sebagai alat kekuasaan sosial dan
politik di Indonesia. Hal ini dapat kita
lihat dari adanya anggota TNI (ABRI)
yang berpolitik, ada dalam lembaga
eksekutif, lembaga legislatif, dan
organisasi sosial-politik serta
organisasi kemasyarakatan.
Pada masa demokrasi sekarang ini, TNI
merupakan institusi yang mengusahakan
sistem pertahanan negara, tanpa ada
embel-embel sebagai kekuatan sosial dan
politik Indonesia. Hal ini secara jelas
tertulis dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia, Pasal 2d.
TNI telah melepaskan fungsi sosial dan
politik dan melepaskan fungsi keamanan
menjadi wewenang Polisi. Ini merupakan
sekilas hasil Rapin TNI yang
diselenggarakan di Cilacap, 19-20 Mei
1999 oleh Panglima TNI Laksamana Widodo
AS. Mengenai produk perundang-undangan
yang mengaturnya, dapat dilihat pada TAP
MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang
Pemisahan TNI dan Polri.
Walaupun TNI dan Polri merupakan dua
institusi yang menjalankan fungsi polisi
(pertahanan dan keamanan), namun
keduanya memiliki beberapa perbedaan.
Setidaknya ada delapan hal yang
membedakan institusi TNI dan Polri.
Tugas TNI merupakan alat pertahanan
negara. Sedangkan Polri merupakan alat
keamanan negara, dengan menjadi penegak
hukum dan pengayom masyarakat17.
Penurunan aparat TNI dalam penanganan
demonstrasi hanya bersifat mem-back up
17 Kombes Pol. Drs. Alfons Loemau, SH, M.Bus, Ekawaty Kristianingsih, SH, M.Hum, Aron Siahaan, SH, MH, Penegakan Hukum Oleh Polri (Jakarta: Restu Agung, 2005), hlm. 103
saja, namun kendali utama ada di tangan
anggota Polri sebagai alat keamanan
negara.
III.2. Ucapan Terima Kasih
Makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan banyak pihak. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Fatmawati selaku dosen
Hukum Tata Negara kami, kepada Ibu Fitra Arsil,
selaku pemberi materi mengenai Pertahanan dan
Keamanan Negara, kepada para petugas perpustakaan
yang telah membantu kami dalam proses pencarian
referensi, dan kepada pihak-pihak lain yang telah
membantu, yang tidak dapat kami sebutkan namanya
satu-persatu.
III.3. Saran
Sebagai manusia, kami pasti tak luput dari
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
kami membutuhkan kritik dan saran demi perbaikan
pembuatan makalah di masa yang akan datang. Saran-
saran tersebut pasti akan menjadi masukan yang
sangat berharga bagi kami.
Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah
Bakrie, Connie Rahakundini, Pertahanan Negara dan
Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007).
Chrisnandi, Yuddy, Reformasi TNI (MT Arifin, 2005).
Kunarto, Perilaku Organisasi Polri (Jakarta: Cipta
Manunggal, 1997).
Loemau, Alfons, Ekawaty Kristianingsih, dann Aron
Siahaan, Penegakan Hukum Oleh Polri (Jakarta: Restu
Agung, 2005).
Makalah Hasil Seminar ABRI, Peran ABRI Abad XXI
(Bandung, 1998).
Rahardjo, Satjipto, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial
di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002).
_______, dkk, Seminar Nasional : Polisi dan Masyarakat
dalam Era Reformasi (Depok: Fakultas Hukum dan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
1998).
Samego, Indria, Anatomi Kekuatan TNI Sebagai Alat
Pertahanan Negara (Jakarta: Pusat Penelitian Politik
LIPI, 2002).
______, Bila ABRI Menghendaki (Bandung: 1998).
______, TNI di Era Perubahan (Jakarta: Erlangga, 2000).
Saputra, Lukman Surya, Pendidikan Kewarganegaraan :
Menumbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme (Bandung: PT
Setia Purna Inves, 2007).
SW, Sarwono, Psikologi Sosial (Jakarta: Balai Pustaka,
1997).
Syahnakri, Kiki, Aku Hanya Tentara (Jakarta: Kompas,
2008).
Peraturan Perundang-undangan
TAP MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan
Polri.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988
Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Pertahanan Negara.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia.