Top Banner
TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik
294

TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Apr 03, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Page 2: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

TNI-PolriDi Masa Perubahan Politik

Penulis: Adang Daradjatun, Agus Widjojo, Al Araf, Anak Agung Banyu Perwita, Bambang Widodo Umar, Djoko Susilo, Effendy Choirie, Farouk Muhammad, Gatot Arya Putra, Ikrar Nusa Bhakti, Jaleswari Pramodhawardani, Kusnanto Anggoro, Makmur Keliat , Mochammad Sochib , Muladi,Rachland Nashidik, Tedjo Edhy Purdijatno, Theo L Sambuaga.

Editor :Al ArafAnton Aliabbas

Sampul dan tata letak : Sutanandika

Cetakan kedua, Februari 2008Hak Cipta © Program Magister Studi Pertahanan-ITB dan Imparsial; 2008

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Ikrar Nusa Bhakti dkk.

TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik/ penulis Ikrar Nusa Bhakti dkk; editor, Al Araf, Anton Aliabbas; Jakarta; Penerbit: Program Magister Studi Pertahanan-ITB dan Imparsial; 2008 cet. 2-Jakarta: Program Magister Studi Pertahanan-ITB dan Imparsial; 2008; 300 hlm., 14x21 cm

ISBN : 979-97695-14-X

Diterbitkan oleh :

Program Magister Studi PertahananInstitut Teknologi BandungJl. Ganesha 10 BandungJawa Barat, Indonesia 40132

Imparsial; The Indonesian Human Rights MonitorTel. (62) (21) 3913819; Fax. (62) (21) 31900627Jl. Diponegoro No. 9 Menteng, Jakarta 10310Email : [email protected], [email protected] Website: http://www.imparsial.org

Page 3: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Daftar Isi

Pengantar • Pengantar Penerbit, Ketua Program Magister Studi Pertahanan-

ITB, Dr. Bambang Kismono Hadi ..............................................• Ketua Komisi I DPR, Theo L Sambuaga .....................................• Dr. J Kristiadi ..............................................................................• Irjen Pol (purn) Prof. Koesparmono Irsan SIK, SH, MM, MBA ..

1. Dinamika Perubahan TNI-Polri a. Prof (ris) Dr. Ikrar Nusa Bhakti “Agenda dan Tujuan

Reformasi Sektor Keamanan Indonesia” ...........................b. Theo L Sambuaga ”Reformasi Sektor Keamanan”..............c. Letjen TNI (purn) Agus Widjojo “Reformasi TNI” ..........d. Dr. Makmur Keliat ”Reformasi Kepolisian” ......................

2. Polemik Konsep Pertahanan-Keamanan Dan Masalah Tugas Perbantuan TNI-Polri a. Dr. Kusnanto Anggoro “Defense Maxima, Policing Redux, Dan

“Strategi Terdiferensiasi” (Differentiated Strategy)”....................b. Letjen TNI (purn) Agus Widjojo ” Problematika Hubungan

TNI Dan Polri Dalam Menangani Konflik Komunal: Kebutuhan Paradigma Baru Terhadap Cara Pandang Hubungan TNI Dan Polri” ..................................................

c. Effendy Choirie, MA “Menata Kembali Hubungan TNI-Polri Dalam Konteks Pertahanan Dan Keamanan” ..........................

d. Prof. Dr. Irjen Pol (purn) Farouk Muhammad “Keamanan Domestik” .........................................................................

e. Komjen Pol (purn) Adang Daradjatun ” Problematika Hubungan TNI dan Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional (Terutama Tugas Perbantuan dan Regulasi)” ...........................

3. Peran Dan Hubungan TNI Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas a. Prof. Dr. Muladi “Problematika Hubungan TNI-Polri

Dalam Menangani Terorisme Dan Kejahatan Lintas Batas” ...............................................................................

ivxi

58

45

3422151

xv

77

66

91

83

Page 4: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

b. Prof. Anak Agung Banyu Perwita “Masalah-Masalah Hubungan TNI dan Polri Untuk Penanganan Terorisme Dan Kejahatan Lintas Batas” ...........................................

c. Mayjen TNI M. Sochib ”Terorisme Dan Kejahatan Lintas Batas: Dilema Penanganan Keamanan” .................

d. Kombes Pol (Purn) Dr. Bambang Widodo Umar “Relasi TNI - Polri Dalam Menangani Terorisme Dan Kejahatan Lintas Batas .....................................................................

e. Rachland Nashidik dan Al Araf “Problem Keseimbangan Antara Keamanan dan Kebebasan Dalam Penanggulangan Terorisme” ............................................

4. Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan-Keamanan” a. Gatot Arya Putra “Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan

Anggaran Pertahanan Indonesia” .....................................b. Jaleswari Pramodawardhani “Pengaturan Sistem

Penganggaran TNI” ........................................................c. Laksda TNI Tedjo Edhy Purdijatno “Perencanaan

Program Dan Anggaran Pertahanan Negara” ...................d. Djoko Susilo MA ”Politik Anggaran Pertahanan RI” ......

5. TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik (Sebuah Catatan, Kesimpulan Dan Rekomendasi) ...................................................

• Biodata Penulis dan Editor ...........................................................• Profil Program Magister Studi Pertahanan-ITB ...........................• Profil Imparsial .............................................................................

126

113

145

136

159

210

189

227

224

241246

245

Page 5: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

PENGANTAR

Page 6: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik
Page 7: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

PENGANTAR DARI PENERBIT

Buku bertajuk TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik ini merupakan buku pertama yang diterbitkan oleh Program Magister Studi Pertahanan, Institut Teknologi Bandung. Buku ini merupakan rangkaian dari Seminar Nasional “Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional” yang diselenggarakan Program Studi Pertahanan-ITB di Hotel Grand Aquilla, Bandung, pada 10-11 September 2007. Seminar itu melibatkan 16 pembicara yang memiliki beragam latar profesi mulai dari akademisi, LSM, purnawirawan TNI-Polri hingga pejabat struktural.

Kegiatan ini berangkat dari sebuah kegelisahan adanya kekurangharmonisan dan problematika yang mewarnai hubungan antara kedua aktor keamanan itu, TNI dan Polri. Masalah-masalah hubungan TNI-Polri tersebut di satu sisi disebabkan karena belum adanya aturan lebih lanjut yang mempertegas dan memperjelas tentang hubungan dan koordinasi antara TNI-Polri dalam menghadapi ancaman yang sama, dan dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang TNI maupun Undang Undang Polri itu sendiri.

Upaya untuk meningkatkan hubungan dan koordinasi antara TNI-Polri dalam kerangka keamanan nasional nampaknya menjadi persolan penting yang patut dibahas saat ini dalam upaya mendorong jalannya proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Pembahasan ini ditujukan sepenuhnya untuk meningkatkan kinerja dan hubungan diantara TNI-Polri dalam kerangka keamanan nasional.

Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi maupun ancaman ekologis. Perkembangan tafsir dan persepsi terhadap ancaman tersebut tentunya didasarkan pada situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berubah

i

Page 8: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

yang memperlihatkan bahwa persoalan kelaparan, kemiskinan, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyakit menular dan pencemaran lingkungan menjadi ancaman serius bagi keamanan kita.

Dalam konteks hubungan TNI-Polri, kendati secara struktur dan peran terpisah, namun hubungan TNI-Polri sesungguhnya masih memiliki keterkaitan yang erat dalam kerangka keamanan nasional. Hubungan TNI-Polri sebagian terlihat dalam kerangka tugas perbantuan guna menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional (national security). Kompleksnya bentuk dan dinamika ancaman yang berkembang di Indonesia, khususnya terhadap ancaman yang tergolong dalam ancaman non-tradisional seperti terorisme, pembalakan ilegal, pencurian ikan, konflik SARA, separatisme dll, tentunya tidak bisa dihadapi secara terpisah oleh masing-masing aktor keamanan, tetapi dibutuhkan hubungan yang terintegrasi dan tertata dalam menghadapinya. Dalam konteks itu, dan dalam tingkat gradasi dan eksalasi ancaman tertentu, polisi bisa meminta bantuan kepada TNI dan TNI juga memiliki peran dan kewajiban untuk membantu polisi dalam menghadapi ancamana yang ada, begitupun sebaliknya.

Secara normatif, hubungan TNI-Polri tersebut sebenarnya telah diatur sebagian didalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian RI dan UU No 34/2004 tentang TNI. Secara tegas pasal 41 ayat 1 UU 2/2002 menyebutkan bahwa ”dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, kepolisian negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian negara republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 41 ayat 2 UU 2/2002).

Lebih lanjut, tugas perbantuan TNI kepada aparat kepolisian sebagian juga diatur dalam UU TNI no 34 /2004 dimana dalam rangka tugas operasi militer selain perang (military operation other than war) TNI bertugas membantu kepolisian negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang undang (Pasal 7 ayat 2 point 10 UU TNI). Selain itu, dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang, TNI juga bertugas mengatasi pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan objek vital, membantu tugas pemerintah di daerah dll (Pasal 7 ayat 2 UU TNI).

Namun demikian, kendati hubungan TNI-Polri sebagian telah diatur oleh UU TNI dan UU Polri, namun kedua regulasi tersebut belumlah cukup apalagi memadai sebagai pijakan bagi kedua aktor keamanan dalam berhubungan dan berkoordinasi guna menghadapi ancaman yang terjadi. Masih banyak kendala dan problematika yang dihadapi diantara keduanya. Dengan serangkaian

ii

Page 9: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

pemikiran di atas, kami menyelenggarakan seminar nasional dan mencoba mendokumentasikannya dalam sebuah penerbitan.

Buku ini sampai di tangan pembaca tidak lepas dari kerjasama beberapa pihak. Karena itu, secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada Imparsial yang telah mengizinkan penggunaan beberapa artikel mengenai reformasi TNI-Polri. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr J Kristiadi, Bapak Irjenpol (purn) Koesparmono Irsan dan Bapak Theo L Sambuaga yang telah bersedia memberi pengantar buku ini.

Akhir kata, semoga buku ini dapat berguna untuk kemajuan reformasi sektor pertahanan dan keamanan. Selamat membaca!

Bandung, 21 November 2007

Dr. Bambang Kismono Hadi

Koordinator Program Magister Studi Pertahanan-ITB

iii

Page 10: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

iv

Page 11: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

TNI-POLRI DI MASA PERUBAHAN POLITIK

Theo L. Sambuaga1

1 Ketua Komisi I DPR RI

Dinamika politik yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah menghasilkan banyak perubahan. Reformasi keamanan (security reform) tidak luput dari agenda reformasi yang hingga kini terus menjadi pembahasan menarik. Salah satu yang menjadi perdebatan reformasi keamanan adalah terkait dengan persepsi, hakikat dan ruang lingkup, pengelolaan dan aktor-aktor keamanan nasional.

Perdebatan ini terjadi baik di kalangan penyelenggara negara (eksekutif dan legislatif ) maupun di kalangan peminat dan pemerhati masalah keamanan. Sebagian kalangan masih mendikotomikan keamanan (kam) dan pertahanan (han). Dalam pandangan mereka keamanan dan pertahanan berbeda dan karenanya pelaksanaannya harus dilakukan oleh institusi yang berbeda. Sebagian kalangan lagi berpendapat bahwa keamanan dan pertahanan adalah masalah yang berbeda namun terkait erat dan harus dilaksanakan secara terpadu (integrated).

Secara lebih sistematis ada beberapa persoalan pokok keamanan nasional yaitu menentukan hakekat dan definisi keamanan nasional, mengidentifikasi dan mengkualifikisasikan potensi ancaman serta ruang lingkup keamanan nasional, dan menata manajemen pelaksanaan sistem keamanan nasional.

Pertama, hakekat keamanan nasional. Keamanan nasional adalah manifestasi dari keamanan komprehensif yang menempatkan keamanan sebagai agenda penting yang mewajibkan negara/pemerintah untuk mengelolanya. Terdapat beragam definisi tentang keamanan nasional, tetapi secara umum dapat dijelaskan bahwa keamanan nasional mengandung pengertian yang lebih luas yang mencakup keamanan dalam negeri seperti menjaga ketertiban dan

v

Page 12: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

keamanan masyarakat serta perlindungan dan penegakan hukum. Keamanan nasional juga meliputi ancaman keamanan dari luar negara seperti ancaman militer, ancaman terhadap integritas dan kedaulatan negara serta kejahatan transnasional. Sehubungan dengan itu Polri, TNI (AD, AL, dan AU), BIN, Badan Imigrasi, Bea Cukai dan Kejaksaan menjadi pelaksana utama dalam menjalankan fungsi-fungsi keamanan.

Keamanan merupakan kebutuhan masyarakat, namun dalam faktanya urusan keamanan seolah-olah hanya menjadi urusan elit/pemerintah. Masyarakat merasa, bahwa urusan jaminan keamanan adalah kewajiban negara/pemerintah an sich. Karena itu, masalah keamanan harus menjadi tema dan isu publik sehingga masyarakat merasa menjadi bagian penting dari pengelolaan dan pelaksanaan keamanan.

Kedua, mengidentifikasi dan mengkualifikasi potensi ancaman dan ruang lingkup keamanan nasional. Potensi ancaman berlatar belakang nasional dan global. Secara nasional ancaman potensi keamanan nasional lebih banyak dihadapkan pada masalah klasik seperti tindakan kriminal seperti perampokan, pencurian dan kerusuhan. Tetapi belakangan ini muncul ancaman yang lebih kompleks seperti konflik antar etnis, separatisme dan ancaman serangan terorisme. Ancaman nasional juga dihadapkan pada tindakan kekerasan kolektif, anarkisme massa, ancaman terhadap objek vital dan sebagainya.

Namun, sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh global, potensi keamanan dalam negeri semakin kompleks dan membutuhkan penanganan yang lebih cepat serta membutuhkan alat-alat keamanan yang lebih modern. Ancaman keamanan yang bersifat global berwujud ancaman terorisme, sengketa perbatasan, cyber crime, pencurian kekayaan alam, pengerukan dan penjualan pasir ilegal, pencurian hak paten, pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing), illegal logging, perdagangan narkoba (drugs trafficking), penyelundupan bahan peledak, perang informasi, perang bio teknologi, pembajakan hingga ancaman militer langsung.

Ketiga, menata pengelolaan keamanan nasional. Fungsi keamanan dijalankan oleh Negara yang terbagi ke dalam fungsi legislasi dan pengawasan yang dilakukan oleh parlemen (DPR), penetapan kebijakan umum oleh Presiden yang dibantu oleh menteri terkait yang menyusun strategi dan perencanaan penyelenggaraan keamanan nasional serta pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Polri, TNI, intelijen dan institusi lain yang terkait. Dengan demikian, pengelolaan sistem keamanan nasional menjadi wewenang dan tanggung jawab Presiden .

Oleh karena itu, presiden perlu menetapkan kebijakan umum keamanan nasional yang menjadi blue print bagi penyelenggaraan keamanan nasional dengan dibantu oleh Dewan Keamanan Nasional (DKN) sebagai amanat

vi

Page 13: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

undang-undang. Kebijakan tersebut akan menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan sistem keamanan nasional.

Secara bertahap bangsa Indonesia telah menghasilkan beberapa regulasi (Undang-undang) yang berkaitan dengan masalah keamanan. Beberapa UU tersebut antara lain UU No. 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga UU tersebut telah menjadi landasan bagi pengelolaan keamanan nasional. Dalam aturan perundangan tersebut ditegaskan bahwa Polri merupakan alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, mengayomi dan melayani masyarakat serta penegakan hukum. Sedangkan TNI bertugas mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI.

Fungsi TNI sebagai alat pertahanan dan sebagai komponen utama sistem pertahanan negara sebagaimana diatur dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI adalah : a). Penangkal terhadap setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; b). Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; c). Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Sedangkan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan ganguan terhadap keutuhan bangsa dan negara

Sementara itu menurut UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ditegaskan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 4 dalam UU tersebut menyatakan bahwa kepolisian negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terbinannya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM.

Meskipun dari sudut regulasi, fungsi dan peran TNI dan Polri dalam perundang-undangan cukup jelas, namun dalam prakteknya masih sering terjadi pandangan yang dikotomi tentang pertahanan dan keamanan yang seringkali berpotensi menciptakan overlap bahkan kekosongan penanganan keamanan. Pemahaman yang keliru tersebut merupakan salah satu faktor pemicu munculnya konflik otoritas antara TNI dan Polri, bahkan menciptakan kekosongan peran, sehingga terjadi kelambanan penanganan. Fungsi dan tugas

vii

Page 14: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

pertahanan dan keamanan memang berbeda, namun tugas-tugas tersebut terkait erat.

Kaitan tugas keamanan TNI dan Polri sebenarnya sudah diatur dalam perundang-undangan, namun para pembuat undang-undang telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik otoritas. Dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada bab VII pasal 41 mengatur bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, kepolisian Negara RI dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sedangkan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (2) butir b) OMSP, Nomor 10 dinyatakan bahwa tugas pokok TNI dalam menyelenggarakan operasi militer selain perang antara lain adalah untuk: membantu kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU. Meski UU tersebut telah mengatur wewenang dan tugas masing-masing institusi, namun dalam prakteknya masih banyak masalah. Kekuatan TNI dan Polri belum mampu disinergikan secara optimal dalam mengatasi keamanan yang semakin kompleks dan rumit. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dalam bentuk UU yang mengatur tentang perbantuan TNI.

Reformasi sektor keamanan telah menghadapkan Polri dan TNI pada berbagai tantangan yang semakin beragam. Oleh karena itu upaya penataan peran, wewenang dan kelembagaan TNI dan Polri dalam mengefektifkan pelaksanaan keamanan nasional, harus terus diupayakan. Upaya penataan peran dua institusi ini dimaksudkan terutama untuk membangun keterpaduan, termasuk menghilangkan gesekan di lapangan.

Terdapat beberapa agenda utama pada sektor keamanan yaitu pertama, membangun aparat yang profesional. Terutama menyangkut profesionalisme Polri dan TNI yang memiliki tugas paling besar di lapangan. Meski dalam menghadapi masalah tertentu institusi tersebut dibantu oleh institusi lainnya seperti badan intelijen, imigrasi, kejaksaan dan institusi terkait lainnya.

Dengan demikian pendidikan dan latihan berlanjut, perubahan kurikulum, pembinaan, dan disiplin yang lebih ketat serta pemenuhan kebutuhan minimal aparat keamanan menjadi keniscayaan. Selama ini pemerintah belum sanggup memenuhi kebutuhan minimal aparat yang sering mengganggu etos kerjanya.

Kedua, memperinci lebih lanjut peran dan kewenangan TNI-Polri sesuai dengan ketentuan konstitusi dan perundangan sektor keamanan yang telah memisahkan dua institusi ini dan mempertegas tugas TNI dimana ancaman keamanan yang bersifat militer menjadi tugas TNI.

viii

Page 15: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Gagasan akan dirumuskannya undang-undang perbantuan TNI dan rencana merumuskan/memperjelas mekanisme operasi militer selain perang (OMSP) dapat membantu pelaksanaan tugas keamanan. Aturan dan payung hukum yang jelas dan detail mengenai tugas Perbantuan TNI akan membantu TNI maupun Polri dalam melaksanakan tugas di lapangan. Selama ini, TNI dan Polri diliputi keraguan, saling tunggu, kekhawatiran melanggar HAM, bahkan seringkali saling curiga dan kekhawatiran munculnya benturan di lapangan.

Oleh karena itu, aturan perbantuan TNI harus menjelaskan definisi dan pengertian umum tentang tugas perbantuan, mekanisme dan manajemen pelaksanaan tugas perbantuan, argumentasi diperlukannya perbantuan, institusi dan level apa yang berhak meminta perbantuan dan menerima tugas perbantuan, anggaran untuk tugas perbantuan, wilayah, ruang lingkup, dan jangka waktu pelaksanaan tugas perbantuan.

Ketiga, diperlukan UU Keamanan Nasional (KAMNAS). UU Kamnas (atau nama lain) akan menjadi payung bagi TNI dan Polri dalam penyelenggaraan keamanan nasional. RUU Kamnas yang diusulkan pemerintah harus menjelaskan definisi dan pengertian umum keamanan nasional, tujuan dan hakekat keamanan nasional, ruang lingkup keamanan nasional, manajemen pengelolaan keamanan nasional, aktor-aktor (institusi) yang terlibat dalam keamanan nasional, penggunaan sumber daya dan potensi keamanan nasional, akuntabilitas pelaksanaan keamanan nasional, mekanisme pengawasan penyelenggaraan keamanan nasional dan hal lainnya.

Disamping itu, RUU Kamnas harus mampu menjabarkan secara tegas dan lengkap tentang pembagian tugas kepada Polri dan TNI serta institusi-institusi lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan keamanan nasional. Hal ini penting sebagai referensi dan pegangan bagi aparat dalam pelaksanaan tugas serta menghindari terjadinya konflik kewenangan antara Polri dan TNI di lapangan.

Karena ruang lingkupnya yang sangat luas, RUU Kamnas akan menjadi payung bagi UU yang terkait secara langsung yaitu UU No.2 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, UU No.34 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Oleh karena kebutuhan objektif dan kehadiran RUU Kamnas membawa konsekuensi pada perlunya revisi beberapa UU di atas dan sinkronisasi RUU Kamnas dengan RUU Intelijen, RUU Rahasia Negara dan RUU yang terkait lainnya.

Dengan demikian, pada tingkat pemerintah perumusan RUU Kamnas harus bersifat komprehensif dengan melibatkan departemen dan institusi terkait seperti Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, Departemen

ix

Page 16: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, TNI, Polri, BIN, Kejaksaan, Lemhannas, Wantannas dan institusi terkait lainnya.

Keempat, perbaikan kesejahteraan prajurit, fasilitas dan alutsista keamanan. Kebutuhan kesejahteraan prajurit dan alutsista peralatan keamanan yang meliputi keamanan dalam negeri dan pertahanan membutuhkan anggaran yang cukup. Hingga kini anggaran keamanan belumlah memadai. Oleh karena itu, parlemen juga harus berusaha meningkatkan budget di bidang keamanan.

Kemampuan individual, kemampuan institusional, kemampuan operasional, dukungan anggaran bagi kesejahteraan prajurit seperti ULP, asrama, kesehatan dan dukungan operasional sangat menentukan bagi optimalisasi peran TNI-Polri. Oleh karena itu anggaran untuk mendukung kesejahteraan dan alutsista harus ditingkatkan secara signifikan.

Kelima, pengawasan. Dalam upaya mengoptimalkan dan mengawal penyelenggaraan keamanan nasional perlu ditingkatkan pengawasan dari masyarakat melalui parlemen (DPR). Pengawasan itu setidaknya dilakukan pada wilayah proses pembuatan kebijakan dan perencanaan penyelenggaraan keamanan nasional, anggaran untuk pelaksanaan keamanan nasional, dan pelaksanaan keamanan di lapangan.

Berbagai pikiran dan pandangan mengenai sektor keamanan yang tertuang dalam tulisan para pengamat, praktisi dan politisi menunjukkan keragaman pendapat sekaligus perhatian dan komitmen kuat terhadap pentingnya peran sektor keamanan. Buku ini jelas memperkaya khasanah dan wacana tentang keamanan nasional.

Jakarta, 16 November 2007

x

Page 17: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

MENUNTASKAN AGENDA REFORMASI SEKTOR KEAMANAN

Dr. J Kristiadi1

Salah satu agenda yang sangat penting dalam perubahan politik adalah

melakukan reformasi di sektor keamanan. Namun sebagaimana layaknya negara yang mengalami transisi politik, setiap proses untuk melakukan perubahan baik yang menyangkut regulasi maupun membangun institusi selalu dihadapkan kepada masalah yang rumit dan berkepanjangan. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut lebih kompleks mengingat perubahan politik yang terjadi di negara ini mengalami tingkat akselerasi yang sedemikian tinggi. Tingkat percepatan tersebut tercermin antara lain dalam penyelengaraan pemilihan kepala daerah. Sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Oktober 2007, sudah terselenggara 311 pemilihan kepala daerah. Sementara itu jumlah pemekaran provinsi serta kabupaten/kota sejak tahun 1999 hingga menjelang akhir 2007 sudah mendekati 180 daerah baru.

Transformasi politik yang sedemikin akseleratif disertai dengan pertarungan kepentingan politik sempit dan eforia politik yang berlebihan, mengakibatkan penyusunan aturan main mulai dari tingkat konstitusi sampai dengan peraturan perundangan yang lebih rendah tidak disertai dengan latar belakang pemikiran yang mendalam dan komprehensif. Akibatnya regulasi-regulasi tersebut banyak yang rancu, tumpang tindih dan bahkan kabur pengertiannya. Hal tersebut tentu akan mengimbas kepada proses pembangunan institusi-institusi politik dan kenegaraan yang sangat diperlukan untuk menopang srtuktur politik baru berjalan sangat lamban

Kekaburan tersebut juga terjadi dalam penyusunan regulasi yang berkaitan dengan upaya reformasi dibidang keamanan. Persoalan menjadi lebih rumit karena konsep kemanan nasional itu sendiri juga selalu mengalamai perubahan. Sebagai sebuah gagasan, konsep keamanan nasional (negara) telah mempunyai

1 Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies2 Lihat The Jakarta Post, 30 Oktober 2007.

xi

Page 18: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

sejarah yang panjang, lebih kurang 350 tahun yang lalu, persisnya sejak disepakatinya penghentian perang tiga puluh tahun yang dituangkan dalam Treaties of Westphalia tahun 1648. Pada awalnya definisi kemanan nasional diartikan sebagai upaya yang bertujuan mempertahankan integritas teritori suatu negara dan kebebasan untuk menentukan bentuk pemerintahan sendiri. Namun dengan perkembangan global dan semakin kompleksnya hubungan antara negara serta beragamnya ancaman yang dihadapi oleh negara-negara di dunia, maka rumusan dan praktek penyelenggaraan keamanan cenderung dilakukan secara bersama-sama (collective security) menjadi acuan penting negara-negara didunia. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep keamanan yang berorientasi kepada negara mulai bergerak menuju suatu pemikiran yang mengembangkan gagasan keamanan bagi warga negaranya. Kepedulian terhadap keselamatan manusia semakin menjadi penting.

Bebagai latar belakang semacam itulah maka reformasi sektor keamanan yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa masih tertatih-tatih. Persoalan yang paling mendasar adalah masih terjadinya ketidaksamaan pengertian mengenai konsep pertahanan dan keamanan baik di kalangan elit politik maupun masyarakat. Akibat kekaburan tersebut, maka penyusunan regulasi yang akan dijadikan aturan main yang komprehensif, koheren dan terkonsolidasi sulit dilakukan.

Dalam buku ini diungkapkan dengan jelas bahwa berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan reformasi keamanan rancu, tumpang tindih, kabur dan multi interpretasi. Pada tataran Undang Undang Dasar 1945 kerancuan sudah dapat dilihat melalui pasal 3 UUD 1945 mengenai pertahanan dan keamanan dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Misalnya pasal 30 ayat (2) berbunyi sbb : Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuataan pendukung; ayat (3): Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara, dan ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat betugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Ketentuan tersebut sangat eksplisit menunjukkan kekaburan batas pengertian pertahanan dan keamanan serta pembagian fungsi TNI dan Polri dalam menangani dua bidang tersebut.

Kekaburan semakin bertambah setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat menerbitkan ketetapan MPR no. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI dan TAP No.VII tentang peranan TNI dan peran Polisi Negara RI. Ketetapan tesebut justru mengaburkan kewenangan lembaga-

xii

Page 19: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

lembaga yang berfungsi menangani bidang pertahanan dan keamanan. Pasal-pasal tersebut di atas membedakan dengan tegas antara tugas pertahanan yang dilakukan TNI dan tugas keamanan yang dilakukan oleh polisi. Ketentuan tersebut tampaknya terlalu simplistis karena seakan-akan tugas keamanan hanya dibebankan kepada polisi. Pada hal masalah keamanan (kalau yang dimaksud adalah keamanan nasional), karena menyangkut eksistensi dan kepentingan nasional suatu bangsa, penanganannya harus melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk institusi militer. Lain halnya, kalau yang dimaksud pengertian keamanan adalah penegakkan hukum dan ketertiban masyarakat.

Sementara itu pada tataran undang undang, khususnya UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI dan UU 34/2004 tentang TNI yang merupakan derivasi dari UUD 1945 dan Ketetapan MPR, banyak memuat pasal-pasal yang masih perlu disinkronkan bahkan diperlukan review yang lebih komprehensif agar kedua lembaga tersebut dalam melaksanakan fungsinya secara professional. Tanpa dilakukannya upaya tersebut akan mengakibatkan pelaksana atau petugas lapangan mengalami bentrok satu sama lain dalam melaksanakan tugasnya.

Buku ini mengungkapkan pula bahwa pengalaman sepuluh tahun melakukan reformasi keamanan penuh dengan berbagai kesulitan. Namun hal itu bukan berarti tanpa hasil. Terbitnya UU No. 3 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia merupakan pengganti UU No. 3 th 2002 tentang Pertahanan Negara merupakan terobosan yang pantas mendapatkan apresiasi. Beberapa ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan UU TNI sebelumnya antara lain pengakuan supremasi sipil dalam konsiderasi UU tersebut, penetapan penguasa darurat perang serta pemulihan kondisi keadaan darurat perang kekondisi normal, prosedur perlibatan TNI, jati diri TNI, ketegasan TNI tidak berpolitik, akuntabilitas prosedur pengerahan TNI lebih jelas, kewenangan menyatakan perang dengan negara lain, TNI tidak berbisnis, ketentuan kesejahteraan TNI dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau Alfred C. Stepan, Director for the Study of Democracy, Tolerance and Religion at Colombia University, New York, memuji hasil reformasi TNI dengan menyatakan sbb : “During nine years of this transition era, it is good that the TNI has never attempted to take back their power like they used to have the New Order era. There were moments of temptation, but they never did that because they know it would be dangerous for them”.

Meskipun demikian, dalam UU 34/2004 tentang TNI, masih terdapat beberapa hal yang dianggap belum sempurna, misalnya masalah yang berkenaan dengan kemungkinan prajurit menduduki beberapa jabatan sipil (meskipun terbatas), struktur organisasi TNI yang harus lebih didasarkan atas wilayah komando pertahanan yang meliputi ketiga angkatan dan tidak

xiii

Page 20: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

melekat lagi dalam struktur pemerintahan daerah, mengurangi campur tangan parlemen dalam pengangkatan Panglima TNI yang menjadi kewenangan pemerintah, menegaskan fungsi Departemen Pertahanan sebagai pembuat kebijakan sehingga tidak ada departemen lain yang mengadakan Alusista TNI, pengangkatan dan pemberhentian TNI supaya lebih ditegaskan atas dasar kepentingan pengambangan strategi pertahanan negara dan profesionalisme TNI. Penegasan ini perlu dilakukan untuk menghindari campur tangan politik dalam hal pemberhentian dan pengangkatan Panglima TNI, dan lain sebagainya.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka UU No 2 th 2002 tentang Kepolisian Negara RI perlu disempurnakan sesuai dengan tugas pokok Polri yaitu sebagai bagian dari tugas pemerintahan pada umumnya yang meliputi penegakkan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat. Dengan demikian mungkin yang lebih tepat fungsi polisi adalah melaksanakan fungsi pelayanan dan perlindungan masyarakat, khususnya dalam bidang penegakkan hukum. Oleh sebab itu secara organisatoris mungkin kepolisian secara kelembagaan di bawah Depatemen Dalam Negeri. Artinya Mendagri menetapkan kebijakan umum kepolisian serta mengendalikan serta melakukan pengawasan. Sementara itu Kapolri menyelenggarakan tugas operasional dan melakukan pembinaan kemampuan polisi. Oleh sebab itu ia bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Menteri Dalam Negeri. Sejalan dengan proses otonomi daerah, di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, kepolisian daerah berada di bawah Kepala Daerah sesuai dengan tingkat tugas dan tanggung jawabnya.

Sebagai catatan akhir perlu dicatat bahwa buku ini sangat berharga untuk dijadikan salah satu rujukan dalam melakukan upaya reformasi sektor keamanan, khususnya hubungan antar TNI dan POLRI. Didalamnya banyak memuat perdebatan mengenai hal-hal yang sangat mendasar, misalnya mengenai konsep mengenai keamanan nasional, pertahanan serta berbagai gagasan yang merupakan jalan keluar dari kerancuan dan kekaburan serta kesimpangsiuran mengenai berbagi peraturan perudangan yang berkaitan dengan reformasi di bidang keamanan. Dengan demikian buku ini merupakan sumbangan yang sangat bernilai bagi proses penataan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan keamanan nasional, suatu institusi yang sangat penting bagi eksistensi dan kelangsungan bangsa dan negara Indonesia.

Jakarta, 3 November 2007.

xiv

Page 21: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

POLRI MANDIRI DAN BUDAYANYA

Irjen Pol (Purn) Prof. Koesparmono Irsan SIK, SH, MM, MBA

Administrasi negara (termasuk administrasi kepolisian) selalu berkaitan dan saling mempengaruhi (saling ketergantungan) dengan keadaan dan perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya negara yang bersangkutan. Oleh karena administrasi negara saat ini sedang mengalami reformasi, maka mau tidak mau administrasi kepolisianpun menuntut untuk didudukkan sesuai dengan perkembangan tersebut.

Reformasi, kalau dilihat dari kepustakaan, diartikan sebagai reforming or being reformed; a change for better in morals, habits, methods (Funk & Wagnalls, 1961:559). Dengan demikian maka reformasi mempunyai konotasi perbaikan dan/atau pembentukan baru. Reformasi menuntut introspeksi dan evaluasi yang obyektif dan jujur dari keadaan dewasa ini yang diakibatkan perkembangan masa lampau. Reformasi menyeluruh mencakup juga reformasi Polri. Orang hanya dapat membuat kemajuan, apabila mau berterimakasih pada masa lampau dan berani mengadakan perubahan (it is time for a rethink, improvement is never ending).

Pendekatan sistem adalah proses penanganan permasalahan (problem solving) secara efisien. Agar pembahasan kedudukan Polri di masa mendatang benar-benar sesuai dengan semangat dan tujuan reformasi, maka perlu digunakan pendekatan historis, pendekatan komparatif dan pendekatan realistik yang semua itu merupakan pendekatan sistem.

Kepolisian tidak dapat dikembangkan tanpa didasarkan substrat yang ada pada suatu bangsa yang terdiri dari demografi, topografi, pendidikan, sumberdaya alam, tradisi, kultur, struktur sosial dan lainnya. Dengan perkataan lain, Polisi merupakan cermin dari bangsa itu sendiri, yang dapat dijelaskan dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

Setiap tahapan sejarah dari dunia dan negara manapun, akan selalu berpengaruh atau berdampak pada eksistensi polisi-nya. Polisi secara hakiki, hidup dan berkembang sejalan dengan irama kehidupan. Polisi itu ada selama

xv

Page 22: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

ada manusia, karena dalam kehidupan seorang manusia selalu ada polisi yang disebut hati nurani.

Memang di seluruh dunia tidak ada keseragaman posisi polisi, namun yang umum polisi adalah civilian. Hanya di Indonesia, Polri pernah berada di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata RI. Jadi memang Indonesia ini unik. Kepolisian RI dapat dilihat dan dibahas dari beberapa sudut pandang yang dapat mencerminkan budayanya dan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kedudukan dan peran Kepolisian RI dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Kedudukan dan peranan kepolisian berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Bahkan pada kurun waktu tertentu dalam suatu masyarakat kedudukan dan peranannya dapat berbeda, seiring dengan perkembangan masyarakatnya, karena kepolisian merupakan bagian dari masyarakat. la dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan sekaligus mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai keadilan, disiplin dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Perubahan nilai dan perkembangan sosial politik dalam masyarakat berpengaruh luas terhadap visi dan persepsi masyarakat terhadap kepolisian, dan tentunya mempengaruhi pula kedudukan dan peranan kepolisian dalam mengembangkan misinya. Meskipun tugas pokok kepolisian pada umumnya sama yaitu menegakkan hukum, mengayomi masyarakat serta memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi dalam setiap masyarakat atau kurun waktu tertentu kepolisian mempunyai hubungan yang berbeda-beda terhadap proses perubahan sosial masyarakat.

Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah, bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtstaat bukan machtstaat) dan negara kesatuan. Dalam kerangka negara hukum inilah keberadaan Polri sebagai alat pemerintah negara berperan sebagai penegak hukum, pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayanan masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum dan keadilan serta keamanan dalam negeri. Hanya karena adanya fungsi penjaga atau pemelihara keamanan dalam negeri menimbulkan sebab mengapa Polri dahulu ditempatkan dalam lingkungan ABRI. Polri sebagai penegak hukum mempunyai sifat sama seperti aparat penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung dan lainnya, yang juga tidak tepat untuk berada di lingkungan ABRI. Kepada Polri dapat ditambahkan peran, tugas dan fungsi sebagai penegak dan pemelihara kewibawaan pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

xvi

Page 23: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

2. Kedudukan dan peran Kepolisian RI dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Negara adalah organisasi, maksudnya sekelompok manusia, yang dengan mengadakan kerjasama serta pembagian kerja, berusaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu tujuan organisasi (tujuan negara). Dengan adanya pembagian kerja dalam organisasi negara itu, maka setiap orang yang tergolong dalam kerjasama itu mempunyai tugas tertentu dalam ikatan keseluruhan. Inilah yang dinamakan fungsi dan sehubungan dengan organisasi negara fungsi itu disebut sebagai jabatan.

Tujuan negara yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Hubungan antara negara dan konstitusi ini juga memberikan warna yang jelas tentang kedudukan dan peran kepolisiannya. Perlu diketahui bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Hal ini disebabkan karena setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada dalam infrastruktur politik.

Kekuasaan sendiri adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Bahwa konstitusi diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat dari materi muatan yang selalu ada dalam setiap konstitusi, yaitu:

a. adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;b. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar;c. adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang

mendasar.Dengan demikian, pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi

mempunyai arti membatasi kekuasaan dalam negara. Dengan perkataan lain, adanya pengakuan tersebut berarti pihak yang berkuasa dalam negara tidak dapat berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Walaupun pemerintah negara mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mencapai tujuan negara, tanpa pembantu- pembantunya, lembaga negara seperti Presiden tidak dapat berbuat sesuatu.

3. Kedudukan dan peran Kepolisian dalam menegakan Hak Asasi Manusia

Dunia, dan masalah yang tumbuh dan berkembang didalamnya dikaitkan dengan tantangan permasalahan-permasalahan yang harus dihadapinya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

xvii

Page 24: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

- aggressive nationalism- ethnocentrism- racism- anti-semitis- xenophobia and intolerance- religious fanaticism- organized crime- corruption

Kesemuanya itu secara serius telah menghambat pengembangan demokrasi, rule of law dan hak asasi manusia. Hak asasi manusia harus dipahami dan dipertahankan terhadap setiap kekuasaan, bukan hanya kekuasaan negara, tetapi setiap bentuk kekuasaan seperti politik, ekonomi atau sosial. Tentu saja hak asasi manusia harus juga dipertahankan terhadap segala bentuk organized crime. Karena organized crime yang paling terdepan dalam pelangaran hak asasi manusia. Organized crime tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat, melainkan juga segala bentuk kekuasaan terorganisir yang melakukan kejahatan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

P. Leuprecht dalam tulisannya yang diedit oleh A.B. Hoogenboom cs dalam buku Policing the Future (1997 : 15) menulis bahwa hak asasi manusia tidak hanya terancam oleh exorbitant un-controlled state power tetapi juga oleh the absence of state power, by a weak deficient state. Tugas dan misi dari negara demokratik yang bersandarkan rule of law harus dihormati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dilindungi, dan dipromosikan guna melindungi hak asasi manusia. Hak asasi manusia harus didudukan sebagai kekuatan yang mampu menghadapi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang dapat menghalangi, menelantarkan dan melawannya. Kondisi hak asasi manusia di Indonesia.

Setelah mengamati perkembangan dan kehidupan di bidang politik, ekonomi dan hukum dan mempelajari kecenderungan perkembangan masyarakat dan bangsa dalam beberapa tahun belakangan ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Diamati bahwa pemerintah menghadapi kesulitan dalam mengendalikan perkembangan kehidupan pembangunan nasional seperti terjadinya kelambanan dan kurang terkoordinasinya kebijakan menyeluruh terhadap kerusuhan-kerusuhan dan musibah-musibah yang lalu dan belum adanya tindakan hukum yang memadai dalam penanganan masalah yang berdampak langsung bagi kehidupan rakyat, tidak efektifnya penanganan masalah kelaparan, kekurangan gizi yang terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan kematian sejumlah anggota masyarakat dan mulai tidak terkendalinya harga kebutuhan pokok sehari-hari.

xviii

Page 25: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Kemelut ekonomi dan moneter yang sedang melanda kita dewasa ini juga telah menyentuh seluruh presepsi dan pemahaman kita tentang konsepsi pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini. Kondisi pokok nasional yang diperlukan untuk melaksanakan hak hidup layak sebagai hak asasi manusia terus merosot. Pada waktu ini kondisi tersebut telah mendorong hidup rakyat Indonesia ke ujung ketidakpastian, yang sekarang telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini terbukti dari terjadinya sejumlah masalah sosial seperti bangkrutnya banyak pemberi kerja, perorangan, menengah dan besar, sehingga sejumlah pekerja laki-laki dan perempuan yang kehilangan mata pencaharian semakin meningkat. Ini sudah merupakan dislokasi sosial yang luas. Yang merisaukan adalah hingga kini ketidakjelasan bagaimana pemerintah menyusun kebijakan dasar yang ditujukan untuk mengatasi dislokasi sosial ini.

Krisis yang dialami masyarakat dewasa ini telah mengungkapkan suatu kenyataan bahwa kondisi hak asasi manusia di Indonesia masih rapuh. Kondisi itu dapat diamati dari sikap dan perilaku pihak-pihak tertentu yang melanggar hak asasi manusia, yang mengakibatkan kesengsaraan hidup dan rasa takut yang meluas, terutama bagi rakyat miskin dan berbagai kelompok minoritas sosial dan politik. Masalah yang mendasar selama ini adalah :

1. Demokrasi di Indonesia belum memberdayakan rakyat dalam kedaulatannya untuk dapat mengoreksi arah pelaksanaan kebijakan pemerintah.

2. Penegakan hukum di Indonesia dalam bahaya karena lebih menjadi alat kekuasaan sehingga tidak responsif lagi. Akibatnya supremasi hukum tidak dapat ditegakkan.

3. Ketidakadilan sosial dewasa ini telah mencapai tingkat kesenjangan di segala bidang yang tidak dapat lagi ditolerir oleh masyarakat.

Masih rapuhnya kondisi hak asasi manusia disebabkan oleh karena dahulunya meluas gejala kesewenang-wenangan dan dominasi kekuasaan oleh sebagian penyelenggara negara. Akibatnya rakyat terintimidasi secara berkelanjutan sehingga tidak berani menyatakan hak-haknya secara wajar. Kondisi hidup seperti ini mudah menyulut sikap dan tindak kekerasan oleh berbagai pihak. Anjuran-anjuran retorik untuk menyalurkan tuntutan atas hak-haknya melalui institusi-institusi yang ada, baik hukum maupun politik, saat itu sulit terlaksana karena sebagian besar rakyat dibuat tidak berdaya. Sedangkan yang berani menyampaikan rasa keprihatinannya secara damai masih dicurigai, sehingga sering tidak memperoleh pelayanan yang baik.

Tanpa mengingkari telah tercapainya berbagai kemajuan perlindungan HAM, namun kondisi hak asasi manusia dewasa ini masih sangat

xix

Page 26: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

memperihatinkan. Keadaan ini hanya dapat diatasi bila diadakan reformasi ekonomi, politik dan hukum dengan segera dan serentak di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu perlu aspirasi rakyat dengan sungguh-sungguh diperhatikan dan ditindaklanjuti. Kita perlu menyiasati peran polisi dalam negara demokratik dan dalam masyarakat yang demokratik, yang juga merupakan konsep pokok dari Konvensi tentang Hak Asasi Manusia. Adalah sangat bodoh kalau kita mengira bahwa Polisi dianggap sebagai musuh utama hak asasi manusia.

Sebagai insan manusia dan manusia yang berusaha keras, polisi mempunyai kemampuan untuk berbuat baik dan buruk. Seperti halnya negara dan kekuasaan negara, polisi dan kekuasaan kepolisian dapat menjadi pelindung maupun pelanggar hak asasi manusia. Secara jujur, kalau kita harus menjawab apakah polisi itu sebagai pelindung atau pelanggar hak asasi manusia tiada seorang pun yang mampu menjawabnya secara tepat dan mudah. P. Lauprecht dalam tulisannya yang berjudul The Council of Europe: Democracy, Rule of Law and Human Rights menulis : “If we are honest, we have to recognise that there can of cour se be a tension between respect for human rights and the exigencies (keadaan darurat) of law enforcement. There is tension between order and liberty; not only the level of philosophical and moral debate but also in daily conduct of our lives. There is no point in denying the existence of this tension and political conflict. A sodety without conflict is a fiction oftotalitarian regimes.” (1997 : 16).

Polisi harus mempunyai budaya yaitu budaya polisi (police culture). Polisi harus mempelajari bagaimana caranya bergaul dengan berbagai macam komunitas dan minoritas. Polisi harus juga dekat dengan penduduk apapun asal usulnya. Polisi harus mempunyai “muka”, jangan tanpa “muka”.

Oleh karena itu di masa depan Polisi harus :

1. Nampak sebagai unsur yang esensial dalam suatu pluralist democracy berdasarkan rule of law

2. Sebagai pelaku kunci dalam suatu masyarakat yang demokratis3. Berfungsi sebagai pelindung dan promotor dari hak asasi manusia atau

dengan perkataan lain harus siap melaksanakan hak asasi manusia. Tugas pokok, peranan dan fungsi Kepolisian Negara dalam ketatanegaraan

Republik Indonesia, dapat diterangkan melalui bunyi pasal-pasal dalam Undang Undang No. 28 tahun 1997 yang mengatur mengenai Kepolisian Negara RI.

xx

Page 27: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

4. Kedudukan dan peran Kepolisian Republik Indonesia dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System.

Sistem peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS) adalah suatu pendekatan sistem dalam prosedur penanganan perkara pidana yang diwujudkan dalam bentuk input-through-output atau keluaran untuk memelihara dan meningkatkan efisiensi prosedur antara lembaga-lembaga CJS/SPP (Muladi, 1955). Dari pendekatan hukum CJS/SPP merupakan prosedur penanganan perkara-perkara yang bertujuan untuk menemukan kebenaran materil dengan bertumpu pada asas legalitas.

Dua cara pendekatan tersebut dapat merupakan pasangan yang ideal karena dua hal, yaitu :

a. Prosedur penanganan perkara yang efisien dan intergral yang dilandaskan pada rambu-rambu kepastian hukum pada saat ini merupakan tuntutan perkembangan manajemen peradilan pidana modern;

b. Manajemen peradilan pidana modern tanpa rambu-rambu kapastian hukum hanya akan dipandang baik secara administratif, akan tetapi kurang mendukung dicapainya kebenaran materiel yang mengutamakan perlindungan hukum terhadap tersangka atau terdakwa, korban kejahatan, dan aparatur penegak hukum.

Ada tiga pandangan tentang CJS/SPP, yaitu pandangan klasik, moderat dan radikal. Pandangan klasik menitik beratkan pada efektivitas pemberantasan kejahatan tanpa mempertimbangkan sisi efesiensi prosedur perlindungan HAM bagi para pencari keadilan. Pandangan ini sangat mengedepankan Kepolisian sebagai satu-satunya ujung tombak yang paling handal untuk menangkal kejahatan (asas lex talionis). Lex talionis atau Law of the claw diartikan sebagai harsh retalaition for criminal acts, based on the concept of “an eye for an eye” (pembalasan yang kasar bagi perbuatan jahat berdasar kan konsep hutang rnata bayar mata). Pandangan klasik ini telah menempatkan fungsi Polisi kedalam fungsi preventif, represif dan sekaligus protektif terhadap masyarakat.

Pandangan moderat menitik beratkan kepada upaya penegakan hukum yang dilandaskan kepada rambu-rambu kepastian hukum disatu sisi dan melindungan hak asasi manusia tersangka/ terdakwa dan sejauh mungkin meniadakan asas lex talionis demi melindungi masyarakat luas) Pandangan ini menitik beratkan kepada keseimbangan antara perlindungan hak asasi manusia tersangka disatu sisi dan kepastian hukum di sisi yang lain. Kepolisian dalam pandangan moderat ini merupakan pendukung supremasi hukum.

Pandangan radikal dari Hulsman (1964) sama sekali tidak menaruh kepercayaan terhadap CJS/ SPP sehingga langkah yang terbaik menurut

xxi

Page 28: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

pandangan ini adalah penghapusan CJS/SPP berserta lembaga-lembaganya karena dinilai sangat merugikan kepentingan masyarakat luas dan korban kejahatan. Pandangan ini kurang mendapat tempat di kalangan para cendekiawan dan politisi hukum.

Kedudukan kepolisian dalam rangka CJS/ SPP sangat rentan terhadap pengaruh faktor sistem pemerintahan yang dianut suatu negara. Kedudukan kepolisian dalam sistem pemerintahan berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, tidak jelas dan tidak secara eksplisit dicantumkan di dalamnya. CJS menunjukkan bahwa aspek hukum di dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utamanya. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan tugas pokok polisi mencakup kawasan masalah yang amat luas, meliputi hal-hal seperti memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit masyarakat; memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat dengan memberikan pertolongan; mengawasi aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara; dan lainlainnya. Rentetan tugas yang demikian multidimensional itulah yang memberikan ciri khas yang berbeda dengan penegakkan hukum yang dilakukan oleh unsur-unsur dari Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian kedudukan dan peran Polisi tidak hanya sebagai law enforcement agency namun juga maintenance order, peace keeping official serta public servant yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai “badan yang bersifat kerakyatan”.

5. Kedudukan Polisi dalam kepolisian internasional

Pada umumnya tugas, fungsi dan peranan Badan Kepolisian di belahan bumi manapun pada prinsipnya hampir sama saja yaitu yang berhubungan dengan masalah penanggulangan kejahatan/kriminalitas. Perkembangan kejahatan, baik kualitas dan kuantitasnya, banyak dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta pengaruh era globalisasi. Hal tersebut diatas menyebabkan ketergantungan suatu negara terhadap negara lain dalam upaya menanggulangi kejahatan internasional, dan hal ini sangat dirasakan.

Bilamana penjahat sudah bisa bergerak di seluruh dunia, polisi hanya bisa mengibarkan bendera hukum nasionalnya saja. Dengan demikian kerjasama polisi internasional sangat diperlukan. Oleh karena itu peranan Polisi Internasional /International Police (Interpol) sebagai wadah kerjasama kepolisian adalah mutiak dibutuhkan.

Kerjasama ini hanya dapat dilakukan oleh organ kepolisian dan bukan militer atau armed forces, artinya penegakkan hukum bagi masyarakat hanya boleh dilakukan oleh aparat yang bersifat noncombatant. Salah satu konsekwensi utama keberadaan Polri sebagai bagian dari ABRI/armed forces, dilihat dari

xxii

Page 29: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

sudut Hukum Humaniter, adalah disandangnya status combatant bagi anggota Polri. Memang tidak dapat dijumpai dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa Polri adalah combatant.

Namun karena ABRI memenuhi persyaratan/perumusan armed forces seperti terdapat dalam Protokol Tambahan 1-1977 sedangkan armed forces adalah combatant maka anggota armed forces adalah combatant juga.

Pasal 43 Protokol Tambahan 1-1977.

1. The armed forces of a Party to conflict consits of all organized armed forces, groups and units which are under a command responsible to that Party for the conduct of its snbordinates, even if that party is represented by a government or an anthority not recognlzed by an adverse Party. Snch armed forces shall be subject to an internal disciplinary system wbich, inter alia, shall enforce compliance wlth the rnles of law annHnahl^ in armed cobflict.

2. Membersof the armed forces of a Party to a confllct (other than medical personnel and chaplains covered by artlcle 33 of Third Convention) are combatans, that is to say, they have the right to participate directly in hostilities.

3. Whenever a Party to a conflict incorporates a paramiltary or armed law enfores it shall to notify the other Parties to the conflict.

Jadi pasal 43 dari Protokol Tambahan I-1977 menentukan siapa combatant itu, yaitu members of the armed forces. Demikian pula pasal ini merumuskan apa combatant itu, ialah mereka yang berhak turut serta secara langsung dalam permusuhan/hostilities. (Brijen TNI Purn Prof Haryo Mataram, 1998:3)

Dengan melihat bunyi dari pasal 43 Protokol Tambahan I - 1977, nampaknya tidak dapat dihindari bahwa Polri sebagai ABRI/Indonesian Armed Forces adalah tergolong combatant. Dengan perkataan lain semua hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban unit yang combatant berlaku bagi Polri.

Salah satu sendi utama dari Hukum Humaniter / Hukum Perang adalah apa yang disebut distrinction priciples yang memberikan arahan bahwa penduduk negara yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata yang bersifat internasional dibagi dalam dua golongan besar yaitu:

1. Combatant, adalah mereka yang boleh secara aktif ikut dalam permusuhan/pertempuran;

2. Civilians, adalah mereka yang tidak boleh atau tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan/pertempuran; mereka ini harus dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.

xxiii

Page 30: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

The Hague Regulation (annex dari The Hague Convention IV-1907) dalam pasal 1 hanya memberikan kriteria siapa saja yang digolongkan combatant, yaitu mereka yang tunduk pada hukum - hak - kewajiban perang. Sedangkan pada pasal 2 -nya menambahkan satu golongan lain, yang disebut “leavee en masse”, yang juga mencantumkan kreteria tentang siapa saja yang dapat digolongkan combatant. Geneve Convention 1949, menambahkan lagi satu golongan baru, yaitu apa yang dinamakan organized resistance movement.

Dengan demikian sampai sekian jauh belum ada definisi tentang siapa itu combatant.Baru pada pasal 43, ayat (2) Protokol Tambahan 1977 sebagaimana tersebut di atas, menentukan siapa dan apa combatant itu. Dalam pasal ini combatant adalah mereka yang berhak secara langsung turut serta dalam permusuhan bersenjata.

Pada Protokol tersebut dalam pasal 43 ayat (1) juga memberikan arti tentang Angkatan Bersenjata/Armed Forces, yaitu: Angkatan Bersenjata dari pihak dalam konflik terdiri dari semua kekuatan bersenjata yang terorganiser, groups dan kesatuan (units) yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab atas tingkah laku anak buahnya kepada pihak tersebut, sekalipun seandainya pihak tersebut diwakili oleh pemerintahan atau pimpinan (authority) yang tidak diakui oleh pihak lawan. Angkatan Bersenjata tersebut harus tunduk kepada suatu sistem disiplin intern, yang antara lain akan menaati ketentuan/peraturan hukum internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata. (GPH Haryomataram SH : Sekelumit Tentang hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press,1994, hal 103)

Bilamana rumusan ini dibandingkan dengan Undang Undang No. 20 tahun 1982, maka kriteria tersebut memenuhi syarat bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana Polri berada di dalamnya. Sedangkan Civilian dalam pasal 50 Protokol tersebut diartikan sebagai seseorang yang tidak termasuk salah satu kategori yang disebut dalam pasal 4 A (1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi Ketiga dan pasal 43 dari Protokol ini. Apabila ada keraguan apakah seseorang tergolong orang sipil, maka orang itu dianggap sebagai orang sipil.

Hilaire McCoubrey dalam bukunya International Humanitarian Law, The Regulation of Armed Conflicts (1966 : 113) menulis: “a civilian is any person who is not a member of the billigerent armed forces, whether or not tfae authority upon which such a force depeuds is recognized by tlie adverse party, or of associated militia, incorporated paramilitary police or volunteer corps, including organized ‘resistance* units, or a levee en masse acting in immediate resistance to invasion. In any case of doubt the presumption is made in favour of civilian status”. Selanjutnya ia menulis a civilian population may not however be used as a ‘shield’ for military

xxiv

Page 31: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

objectives and will not be protected from the effects of a legitimate attack upon it which is made with due consideration for the fact of their precence.

Di samping itu tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum, dan ini tentunya tidak dapat dilaksanakan bilamana negara kita dalam keadaan perang, karena polisi termasuk golongan combatant. Bagi negara-negara yang tidak menempatkan kepolisiannya ke dalam armed forces, maka ayat (3) dari pasal tersebut di atas perlu diperhatikan. Ayat tersebut memberikan kewajiban untuk memberitahukan kepada other parties bahwa polisi bukan bagian dari armed forces. Namun berdasarkan pasal 5 Undang Undang No. 28 tahun 1997 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri.

Bilamana ditelaah penjelasan pasal 5 Un-dang-Undang No. 28 tahun 1997 yang mengatakan: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiri dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Walaupun merupakan unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia bukan militer.

Dengan menafsirkan bunyi penjelasan pasal 5 Undang-Undang No. 28 tahun 1997, maka Polri adalah bukan militer walaupun tergolong ABRI/Armed Forces. Dengan demikian ABRI terdiri dari dua komponen utama yaitu ABRI dan Polri, sehingga Polri tergolong bukan combatant.

Bentuk dan tata cara kerjasama yang dilakukan Interpol dalam rangka menanggulangi kejahatan internasional, antara lain:

a. Tukar menukar informasi dan data kriminal;b. Saling bantu dalam penyelidikan;c. Kerjasama penyidikan;d. Ekstradiksi.

Dari uraian tersebut diatas dapat dilihat bahwa NCB-Interpol Indonesia dalam bekerjasama di bidang penanggulangan kejahatan internasional mempunyai peran sebagai :

a. Pusat pertukaran informasi dan data kri-minal;b. Penghubung/perantara dalam kerjasama internasional kepolisian;c. Juru penerangd. Koordinator.

Kerjasama kepolisian antar negara anggota ICPO-Interpol dilaksanakan berdasarkan :

xxv

Page 32: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

a. Sovereignty b. Hukum dan Perundang-undangan;c. Universalitasd. Persamaan hake. Metode kerja fleksibel.

Dari apa yang telah ditulis diatas maka jelas lah bahwa Polisi mempunyai sifat universalis yang tidak dipunyai oleh lain-lain Angkatan dalam ABRI. Di samping itu ada beberapa hak dalam pe-negakkan hukum seperti hot pursuit, yang hanya dipunyai oleh Polisi.

6. Polri sebagai penegak hukum/alat negara penegak hukum, pelindung, pengayom masyarakat.

Sebagai konsekuensi negara hukum, maka penegakkan hukum adalah suatu sarana pembukti baginya. Berbicara mengenai fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakkan hukum, pelindung dan pelayanan masyarakat, serta pembimbing masyarakat, sudah tentu tidak terlepas dari bentuk negara. Mengatasi keterbatasan dalam berhubungan dengan masyarakat, pihak kepolisian pada umumnya berkeyakinan bahwa perubahan haruslah dimulai dari Polisinya sendiri yang harus dilaku-kan secara riil, sistematis dan berkesinambungan.

Pada hakikatnya fungsi setiap Polisi di manapun di dunia ini sebenarnya ada tiga yaitu, legalitas, keadilan dan ketertiban. Namun demikian tugas dan fungsi dasar inipun sudah mengandung benih konflik-peran. Dalam memerankan fungsinya sebagai penegak hukum atau keadilan, ada kalanya polisi harus menggunakan tindakan kekerasan atau pemaksaan. Tetapi tindakan kekerasan atau pemaksaan ini mungkin justru akan mengganggu ketertiban, karena adanya kemungkinan bahwa pihak-pihak lain yang tidak terkait ikut terlibat atau ikut menjadi korban. Misalnya tugas pengawalan Presiden, yang secara hukum dan kepatutan harus diberi prioritas di jalan raya, sering kali menimbulkan kemacetan yang sangat mengganggu keteriban lalu lintas dan tidak menimbulkan kenyamanan bagi pengguna jalan lainnya.

Dalam pengertian luas demokrasi berarti dihormatinya prinsip-prinsip kebebasan, kontrol yang efektif warga negara terhadap pemerintah dan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kepolisian Negara RI sebagai bagian intergral fungsi pemerintah negara tentu diharapkan turut serta menciptakan kondisi yang kondusif untuk tegaknya prinsip-prinsip demokrasi.

Kepolisian haruslah dirancang untuk memberikan perlakuan.dan pelayanan yang sama kepada semua orang, menerapkan keterbukaan dan

xxvi

Page 33: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kepolisian tentu tidak boleh bertindak sewenang-wenang apalagi anti demokrasi, karena mereka dituntut untuk tanggap terhadap pendapat umum dan turut bertanggung jawab dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Polisi yang peka terhadap segala bentuk problem masyarakat dalam suatu negara yang demokratis, tidak akan pernah merugikan Polisi sendiri, bahkan akan mengangkat citra polisi, kepercayaan masyarakat yang akhirnya akan menumbuhkan dukungan masyarakat

Polisi Ditinjau Dari Budayanya

Surjono Soekanto menulis bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum1:

a. Faktor hukumnya sendirib. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau failitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di-mana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Suatu organisasi apapun namanya pasti mempunyai budaya. Schien2 dalam bukunya Organizational Psychology (1965:47) menulis tentang Organizational Culture sebagai “the pattern of basic assumption that a given group (the Police) has invented, discovered, or developed ln learning to cope with its problems of external adaptation and internal intergration, (and) that have worked well enough to be considered valid”. Nilai-nilai kepercayaan, dan kaidah-kaidah yang membentuk budaya organisasi Polisi biasanya merupakan kombinasi antara perilaku hukum yang diharapkan secara formal dan informal organisasi.

Sedangkan Thomas G Cummings dan Edgar F.Huse3 dalam bukunya Organization Development and Change (1989:415) menulis “Corporate culture is the pattern of assumptions, values, and norms shared by organizational members”. Selanjutnya ia mengatakan bahwa “... that culture can affect strategy formulation and implementation as well as the firm’s ability to achieve high levels of performance”. Di sini nampak bagaimana pentingnya budaya suatu organisasi

1 Soekanto, Surjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983

xxvii

Page 34: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

karena sangat mempengaruhi strategi guna penampilan peran organisasi yang tinggi dan lebih baik tentunya.

Demikian pula dengan Polri, karena tugas pokoknya mencerminkan adanya budaya polisi, yang dapat dibaca pada pasal 13 UU No. 28/1997. Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 menyebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Penjelasan pasal 4 UU No. 2/2002, Hak asasi manusia adalah hak dasar yang se-cara alamiah melekat pada setiap manusia dalam kehidupan masyarakat, meliputi bukan saja hak perseorangan melainkan juga hak masyarakat, bangsa dan negara yang secara utuh terdapat dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Declaration of Human Rights 1948 dan konvensi internasional lainnya.

Pasal 13 Undang Undang No. 2 tahun 2002, Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakan hukum; c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat Dari cerminan budaya tersebut akan nampak karakter perorangan

yang dicirikan pada para pengemban tugas pokok tadi sehingga sangat akan mempengaruhi organisasi dimana mereka dioperasikan. Misalnya seorang guru yang berbudaya memberikan contoh dan teladan dengan cara mengajar seseorang, akan sulit berperan di dalam suatu satuan yang tugasnya membunuh musuh sebanyak-banyaknya. Demikian juga dengan polisi, dimana harus mempunyai budaya perlindungan dan pengayoman harus bersanding dengan satuan yang mempunyai budaya membunuh musuh. Maka tak pelak lagi budaya pengayoman dan perlindungan itu akan makin lama makin luntur dan terserap pada budaya membunuh musuh.

Di seluruh dunia peran militer utamanya adalah sebagai “war machine” atau alat perang, sehingga di Indonesia AD, AL, AU dahulunya disebut sebagai

2 Schien, Oreanizational Psychology, Enelewood Cliff, N.J. : Prentice-Hall, 1965 hal 473 Thomas G. Cummings &Edgar F.Huse, Organization Development and Change, 4th Edition,

West Publtshing Company, St Paul, 1989, halaman 417

xxviii

Page 35: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Angkatan Perang. Perang selalu menimbulkan pikiran adanya kekuatan lawan yang dinamakan musuh. Dan untuk memenangkan perang doktrinnya adalah kalahkan atau hancurkan musuh itu. Karena tugasnya mengancurkan musuh, maka Angkatan Perang selalu mencari alat “pemusnah” musuh yang hebat, seperti bom atom, bom hidrogen dan lainnya. Namun demikian bukan berarti bahwa Angkatan Perang tidak punya tugas di luar tugas perang. Kita kenal apa yang dinamakan Civic Mission dari suatu Angkatan Perang, dimana Angkatan Perang berperan tidak sebagai war machine, melainkan sebagai perangkat yang membangun kesejahteraan sosial. Tetapi civic mission itu bukan tugas pokoknya.

Polisi dan masyarakat adalah dua subyek sekaligus obyek yang tak mungkin terpisahkan. Polisi lahir karena adanya masyarakat, dan masyarakat membutukan polisi guna menjaga ketertiban, keamanan dan ketentramannya sendiri. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History4 menyatakan bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat setelah kebutuhan pertama akan adanya peraturan maka tumbuhlah kebutuhan kedua yaitu adanya institusi yang mengawasi dan menjamin tegaknya hukum dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keamanan umum sehingga menjamin kelangsungan lestarinya masyarakat baik secara individu mapun kelompok.

Roy R Romberg dan Jack Kuykendal5 dalam bukunya Police & Society (1993:25) mendefinisikan Polisi sebagai “as those nonmilitary individuals or orgaization who are given the general right by government to use coercive force to enforce the law and whose primary purpose is to respond to problems of individual and group conflict that involve illegal behavior”. Di sinilah letak perbedaan yang esensial antara Angkatan Perang dan Polisi. Polisi dalam doktrinnya harus fight crime atau menumpas kejahatan bukan fight the criminals atau menumpas para penjahat. Di sini “musuh” dari Polisi adalah kejahatan bukan penjahat. Namun karena kejahatan itu dilakukan oleh orang yang namanya penjahat, maka tugas polisi adalah menangkap penjahat dengan landasan love humanity atau mencintai kemanusiaan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kejahatannya dimuka pengadilan.

Dalam melaksanakan tugasnya, polisi otonom dalam arti secara perorangan otonom yang harus dipertanggungjawabkan secara perorangan untuk tidak melanggar hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat pada bunyi pasal 18 UU No. 28 tahun 1997, sebagai berikut:

4 Charles Reith, The Blind Eye of History, Farber and Farber, London, 1952 Roy R Roberg & Jack Kuykendal. Police and Society, Pasific Grove, Calif: Brooks/Cole 1993, halaman 25

5 English, Jack., Police TrainingManual, 5”1 Ed, McGrawhill Book Company, 1986

xxix

Page 36: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolislan Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.Seorang anggota Polisi dapat melakukan penilaian sendiri dan mengambil

langkah atau tindakan sendiri yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada atasannya. Tidak demikian dengan angkatan perang, dimana anggotanya harus bergerak dalam ikatan kelompok dan mempertanggungjawabkan perbuatan secara kelompok pula. Di samping itu banyak sifat-sifat polisi yang jauh dari sifat angkatan perang, misalnya dalam rangka “hot pursuit” (mengejar seorang penjahat melintasi batas negara), polisi diperbolehkan “me-masuki” negara tetangganya tanpa izin terlebih dahulu dalam rangka mengejar penjahat, yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada polisi negara tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh satuan angkatan perang, karena kalau dilakukan akan dicap “intervensi”.

Demikian pula ternyata di seluruh dunia, polisi itu adalah “noncombatant” (bukan alat tempur), sehingga karenanya seorang polisi tidak boleh dibunuh. Bahwasanya karena rasa patriotiknya, seorang anggota polisi ikut bertempur karena negaranya diserang musuh, maka itu merupakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara suatu bangsa (hak bela negara). Jadi ciri khas polisi yang tampil sebagai pejuang pembela negara adalah manakala Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 dalam keadaan bahaya, tetapi selebihnya Polri adalah polisi bukan ABRI.

Banyak pendapat yang pernah dilontarkan untuk memberikan penjelasan tentang perbedaan yang mendasar antara Militer dengan Polisi, baik dari segi doktrin, hakekat ancaman yang dihadapi dan tugas pokok, yang kesemuanya akan membawa konsekuensi pada perbedaan tindakan dalam pengelolaan organisasi dan tata laksana serta anggaran. Dengan perkataan lain adalah suatu kejanggalan selama ini tentang terjadi penyatuan secara struktural, karena tindakan penyatuan akan membedakan Polri dengan polisi manapun di belahan dunia ini. Sejak Polri dikukuhkan menjadi bagian yang integral ABRI, telah banyak terjadi penyesuaian-penyesuaian yang diarahkan kepada penyeragaman, walaupun selalu diupayakan tetap terpeliharanya ciri-ciri dari masing-masing angkatan dan Polri sesuai dengan matranya, namun khususnya tugas, fungsi dan peran yang khas memerlukan lebih banyak penyesuaian di segenap fungsi-fungsi manajemen baik di bidang pembinaan maupun operasional serta sistem penganggarannya.

xxx

Page 37: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Berbagai kesulitan ditemui yang menimbulkan kekaburan dalam penjabaran pelaksanaan tugas, terutama dalam konteks keterpaduan atau gabungan. Misalnya dalam pembentukan Polisi PBB untuk Namibia, dimana sebagian besar personilnya adalah dari Angkatan Perang dengan uniform dan NRP Polri. Ini menunjukkan adanya kerancuan dalam menjabarkan tugas pokok. Yang pasti pelaksanaan tugas-tugas polisi mengalami lebih banyak benturan, bukan saja karena rumusan tugas yang semakin membingungkan karena motivasi subyektif dari unsur-unsur ABRI lainnya, dan pengaruh politik yang terus berkembang, tetapi juga karena Polri pun nampak seperti membiarkan dirinya terlarut dalam kepatuhan semu, sehingga semakin meninggalkan identitas “bukan militer”.

Polisi dan Dewan Pengawas

Sesuai dengan apa yang terjadi maka kehadiran suatu Komisi Kepolisian adalah suatu yang perlu dalam rangka mengawasi sepak terjang Polri. Ada beberapa peristiwa yang tidak berkaitan dan bahkan kadang-kadang sepele yang dapat menyebabkan Kepolisian dicurigai. Efek kumulatif dari peristiwa-peristiwa itu, yang secara gamblang ditulis oleh media surat kabar dan televisi dapat menggugah masyarakat untuk menuduh polisi tidak melakukan pelayanan secara bertanggung jawab, juga dapat menuduh polisi tidak menanggapi secara baik setiap keluhan masyarakat, bahkan menuduh bahwa kedudukan konstitusional polisi telah terjangkiti suatu penyakit.

Apakah sebenarnya yang mendasari tuduhan bahwa polisi walaupun sebenarnya sudah melaksanakan tugas sesuai dengan prosedurnya, namun tetap dianggap tidak sensitif? Menurut English5, polisi yang tidak sensitif adalah polisi yang tidak mampu menegang perasaan anggota masyarakat yang menjadi fokus pemolisiannya. Bilamana tindakan tadi berkembang menjadi sesuatu di luar prosedur pada umumnya. Hal ini diakibatkan, karena terjadi penyelewengan kekuasaan polisional (abuse of authority) dan terjadi perilaku diskriminatif (discriminative behavior) baik secara rasial, agama, sosial ekonomi dan sebagainya.

Di samping itu, polisi sangat akrab dengan kekekerasan, baik karena kejahatannya sendiri penuh dengan kekerasan, maupun karena polisi diizinkan menggunakan kekerasan yang terukur (artinya kekerasan yang sesuai dengan hukum dan sesuai dengan kepatutan masyarakat). Sementara itu, tidak sensitifnya polisi terhadap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat terlihat dari adanya kecenderungan dimana kekerasan semakin berpeluang menjadi berkelebihan sehingga menimbulkan cedera bahkan kemungkinan terjadinya kematian pada tersangka. Kekerasan boleh jadi tidak lagi dipergunakan sebagai sekedar fungsi guna mencapai tujuan tertentu, tetapi berpeluang untuk menjadi tujuan itu sendiri.6

xxxi

Page 38: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Maka untuk itu perlu dibangun suatu Dewan Komisi Kepolisian guna mengkaji ulang apakah kedudukan yang diberikan oleh konstitusi kepada kepolisian telah dijalankan dengan sebaik-baiknya di seluruh wilayah. Demikian pula Komisi dapat memberikan penilian terhadap:

a. peran dan fungsi kepolisian daerah;b. status dan akuntabilitas dari para anggota polisi, termasuk Kepala

Kepolisian RI; c. hubungan antara Polisi dengan masyarakat termasuk cara penanganan

setiap keluhan masyarakat; d. prinsip-prinsip umum yang akan mengarahkan regenerasi Polisi di

masa depan.Tujuan dari dibentuknya Dewan Komisi Kepolisian ini untuk

menempatkan polisi dalam kontrol yang efektif dengan membuat mereka lebih dapat dipertanggungjawabkan, dan juga untuk meyakinkan bahwa polisi tidak berbuat semena-mena dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan karena dahulunya Polri berada dalam suatu sistem sepotong-potong yang diciptakan dalam kondisi yang berbeda dan tujuan yang berbeda pula. Dengan demikian Dewan Komisi ini akan secara terus menerus mengawasi tingkah laku Polisi dalam mengembangkan tugasnya tanpa harus menghambatnya. Demikian pula dewan ini dapat mengubah organisasi Kepolisian untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Setiap penggantian Kepala Kepolisian, Dewan Komisi ini ikut menentukan siapa-siapa personil yang dicalonkan untuk dipilih oleh DPR. Hal ini untuk menghidarkan tumbuhnya faktor like and dislike terhadap personil yang akan dijadikan pimpinan. Jumlah dan siapa saja anggota Dewan Komisi ini serta berapa lama jangka waktu kehadirannya ditentukan oleh undang-undang. Dewan ini harus terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan pemerintahan dan beberapa mantan Kepala Kepolisian Negara atau pejabat lain Kepolisian yang mempunyai reputasi baik.

Kedudukan organisasi Kepolisian dalam kemandirannya dapat saja :

a. Di bawah suatu kementerian, dengan catatan bahwa bahwa Menteri hanya diberi tanggung jawab bagi efisiensi dari polisi dan tidak diberikan kekuasaan untuk mencampuri arah dan bentuk operasi kepolisian, karena ini dapat menimbulkan akibat gangguan terhadap sifat tidak memihaknya polisi, tugas-tugas operasional kepolisian harus dipertanggungjawabkan langsung kepada Presiden.

6 Adrianus Meliala, Quo Vadis Polisi, Mengupas Insensivitas Polisi, Jumsan Kriminologi FISIP UI bekerjasama dengan Majalah FORUM, Jakarta, 1996, halaman 28

xxxii

Page 39: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

b. Di bawah langsung Presiden, dalam rangka kesejajaran dan kesetaraan dengan lain-lain anggota dari Criminal Justice System,

Dengan adanya perubahan-perubahan bentuk dan corak Kepolisian RI di masa depan, maka diharapkan bahwa :

a. Otoritas kepolisian akan bertambah efektif dalam menjalankan tugasnya;

b. Polisi akan lebih efisien;c. Akan terdapat kerjasama yang baik antar para penegak hukum,

sehingga rakyat tidak lagi menjadi sasaran perilaku yang otoriter.

Dari semua hal yang diungkapkan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa :

1. Kedudukan Polri dalam Dephan harus ditinjau kembali. Lebih jelasnya sebaiknya Polri dipisahkan dari Dephan dan berada setara dengan Kejaksaan. Kalau harus di bawah suatu Kementerian, maka hubungan antara Menteri dan Kepala Kepolisian harus diatur sedemikian rupa, sehingga di bidang Operasi Kepolisian, Kapolri bertanggung jawab kepada Presiden. Menteri hanya mengupayakan agar polisi menjadi efektif dan efisien.

2. Perlu ada kemauan politik dari pemerintah untuk memisahkan Polri dari Dephan, sehingga Dephan hanya menjadi Departemen yang hanya mengurusi pertahanan saja, seperti Dephan di negara lain.

3. Perlu dikaji lebih dalam resiko-resiko yang mungkin timbul sebagai akibat pemisahan Polri dari Dephan, sehingga Polri tidak dihadapkan kepada pendadakan bilamana pemisahan itu dilaksanakan. Polri harus melakukan mawas diri, agar keberadaan Polri di luar Dephan tidak justru membuat Polri lebih terpuruk. Polri harus mengenali kembali budayanya serta mengubah semua keburukan Polri selama ini agar Polri dicintai masyarakat.

4. Tujuan memandirikan Polri adalah :a. Otoritas Polri menjadi efektif dalam melaksanakan tugasnya; b. Pelayanan Polisi menjadi efisien; c. Ada interforce collaboration dan kerjasama dengan tujuan untuk

mencapai efesiensi, dand. Guna meningkatkan pelayanan Polisi, Polri harus mempunyai

kekuatan yang memadai guna menghadapi tantangan kriminalitas mendatang (the new demention of crime). Kekuatan itu terdiri dari

xxxiii

Page 40: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

men, money, materials dan method dengan cara mengubah sistem manajemennya dan menyusun sumber daya manusia yang tepat guna dengan melakukan:• Well selection/diseleksi dengan baik; • Well motivation/diberi motivasi yang baik; • Well education/dididik yang baik; • Well trainning/dilatih dengan baik; • Well equipt/dilengkapi dengan baik; • Well paid/budgetted/diberi anggaran dan gaji yang baik.

Demikianlah sumbang pikir kami, semoga berguna bagi siapa saja dan masa depannya.

Bandung, 28 Oktober 2007

xxxiv

Page 41: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

Bab I.Dinamika Perubahan TNI-Polri

Page 42: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 43: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

AGENDA DAN TUJUAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN INDONESIA1

Prof (ris). Dr. Ikrar Nusa Bhakti2

Pengantar

Delapan tahun sudah reformasi bergulir. Awalnya, mahasiswa yang bergerak pada 1998 menginginkan terjadinya reformasi total di segala bidang. Sejalan dengan itu, berbagai kelompok masyarakat sipil berupaya agar reformasi sektor keamanan (security sector reform) juga berjalan searah dengan reformasi politik membangun suatu sistem demokrasi yang diidam-idamkan. Namun kenyataan di sana sini menunjukkan betapa hal tersebut masih menjadi impian yang amat panjang. Terlepas dari berbagai kendala yang ada, satu hal terpenting bagi masyarakat sipil ialah agar kita tetap memiliki semangat dan daya tahan yang tinggi agar cita-cita reformasi menjadi kenyataan. Demokrasi memang bukan tujuan akhir dari reformasi total, melainkan bagaimana melalui sistem demokrasi itu negeri yang kita cintai ini dapat mencapai masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan dan terjadi checks and balances dalam sistem politik yang berjalan.

1

1 Makalah singkat disampaikan pada Pelatihan “Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keaman-an Indonesia” ke-II, diselenggarakan oleh Imparsial, INFID dan Kontras, Wisma Hijau, Mekarsari, Depok, 11-14 September 2006.

2 Ikrar Nusa Bhakti adalah Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik-LIPI. Anggota Pokja ProPatria untuk Reformasi Sektor Keamanan dan anggota tim perumus RUU Intelijen versi masyarakat Sipil yang dimotori oleh Pacivis Universitas Indonesia dan Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI).

Page 44: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Secara khusus, reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi TNI, Polri dan Intelijen Negara, masih menunjukkan berbagai kendala. Reformasi TNI dan Polri dapat dikatakan baru menyentuh aspek-aspek legal (hukum) dan struktural yang amat terbatas, dan belum menyentuh aspek-aspek budaya tingkah laku aparat-aparatnya. Sedangkan reformasi intelijen dapat dikatakan masih sedang merangkak dan belum ada aturan hukumnya. Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang digagas oleh Badan Intelijen Negara (BIN) hanya sebatas ingin memberikan payung hukum bagi institusi-institusi intelijen negara, namun belum menyentuh aspek-aspek praktek-praktek intelijen yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan aspek-aspek pengawasan intelijen negara.

Lebih khusus lagi, terlalu naif dan membahayakan jika reformasi sektor keamanan secara privilege diserahkan kepada institusi-institusi TNI, Polri dan Intelijen Negara, tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan pemangku kepentingan, seperti politisi, akademisi, lembaga-lembaga non-pemerintah, praktisi hukum dan kalangan masyarakat sipil lainnya. Karena jika ini diserahkan kepada ketiga institusi tersebut, aturan legal yang mereka buat tentunya hanya ingin memberi kerangka hukum bagi aktivitas keseharian mereka. Jika ini terjadi, berarti kita memberikan cek kosong bagi institusi-institusi tersebut untuk membuat aturan-aturan perundang-undangan yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan sektoral mereka. Lebih buruk lagi, reformasi internal yang ketiga institusi tersebut jalankan tentunya sesuai dengan yang mereka inginkan, dengan definisi keamanan negara yang tidak berubah, yaitu bagaimana mencapai stabilitas keamanan untuk kepentingan negara (baca: pemerintah yang berkuasa dan ketiga institusi tersebut) dengan menafikan keamanan insani (human security). Pada gilirannya, reformasi internal semacam itu hanya akan membuka kotak pandora, yaitu secara lambat tapi pasti metamorfosa peran sosial politik ketiga institusi itu seperti pada masa Orde Baru akan menjelma kembali dalam bentuknya yang lain. Alih-alih kematangan demokrasi yang terbentuk, malah demokrasi itu sendiri akan berada di ujung tanduk.

Seperti telah disebutkan di atas, reformasi sektor keamanan yang terjadi di dalam tubuh TNI dan Polri, barulah pada tahapan awal atau generasi pertama, yaitu baru pada tahapan terbentuknya UU No 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Berbagai perangkat UU lain yang terkait dengan TNI dan Polri masih harus dibuat agar kedua institusi tersebut dapat menjadi masing-masing sebagai kekuatan pertahanan dan

2

Page 45: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

keamanan negara yang profesional dan patut dibanggakan oleh seluruh rakyat Indonesia. TNI dan Polri secara institusional dan bersamaan juga sudah keluar dari peran sosial politik mereka, seperti tidak lagi berada di MPR, DPR, DPD dan DPRD. Namun, generasi kedua reformasi TNI dan Polri masih belum terbentuk, yaitu adanya kerangka kerja demokratik yang memungkinkan lembaga-lembaga perwakilan politik dan NGO dapat berpartisipasi aktif untuk mengawal jalannya reformasi itu, sehingga kedua institusi itu benar-benar profesional dan menjalankan tugas, fungsi dan perannya sesuai dengan UU yang berlaku.

Lebih parah lagi ialah institusi-institusi intelijens negara yang masih belum berubah dan bahkan belum memiliki perangkat hukum bagi kerja mereka. RUU yang mereka buat masih sekedar memberi payung hukum yang membenarkan aktivitas mereka, dengan mengenyampingkan kerangka kerja demokratik yang menjunjung tinggi HAM, demokrasi dan kebebasan sipil.

Tulisan singkat ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis reformasi sektor keamanan yang telah berjalan di Indonesia. Sudah sampai tahap mana reformasi berjalan dan langkah-langkah positif apa saja yang dapat kita lakukan agar perjalanan reformasi tersebut mulus. Namun, harus diakui, penulis lebih otoritatif dan percaya dalam mengupas reformasi di tubuh TNI dan Intelijen Negara, ketimbang reformasi Polri, karena sejak 1995 penulis memang sudah aktif dalam mengupas reformasi TNI yang berawal dari rencana Presiden Soeharto untuk mengakhiri peran sosial politik ABRI, disusul dengan keikutsertaan penulis secara akademis dan praktis dalam reformasi TNI sejak 1998. Ini dilanjutkan dengan keikutsertaan penulis di Propatria, Departemen Pertahanan RI dan Sesko TNI dalam membuat RUU Pertahanan Negara sampai menjadi UU, RUU TNI, RUU Perbantuan TNI (masih sekedar rancangan), pengaturan Dewan Keamanan Nasional (versi LIPI dan masyarakat sipil) dsb. Reformasi intelijen juga menjadi pantauan penulis sejak 2005, khususnya sejak keikutsertaan penulis di Pacivis UI (dan Sandi) untuk membangun kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara. Sedangkan dengan reformasi Polri, hanya sedikit pengalaman yang penulis ikuti bersama Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi Sektor Keamanan di bidang Polri, serta RiDep dan Imparsial. Karena itu, penulis harus mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang otoritatif berbicara soal reformasi Polri.

3

Page 46: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Kendala Membangun TNI yang Profesional

Sejak lahirnya pada 5 Oktober 1945 hingga kini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak pernah lepas dari keterlibatannya dalam kehidupan politik bangsa. Perannya yang kuat semasa revolusi kemerdekaan 1945-1949, terbangunnya NKRI pada 17 Agustus 1950, perannya dalam mengatasi pemberontakan-pemberontakan daerah 1957-1961 dan peran sentral ABRI melalui penerapan Darurat Militer, masuknya TNI dalam Kabinet, Dewan Nasional dan Perusahaan-perusahaan Negara sejak Juli 1957, masuknya TNI ke dalam MPRS, DPR-GR, DPRD-GR sejak Dekrit 5 Juli 1959, disusul dengan Trikora 1961-1963, Dwikora 1963-1966, dan peran dominannya di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya pada era Orde Baru 1966-1998, menyebabkan jiwa pretorian sebagai “the guardian of the state” dan citra “mesianistik” sebagai satu-satunya institusi yang paling berhak menafsirkan dan menjamin kepentingan tertinggi bangsa dan negara, begitu melekat pada korps perwira TNI. Dengan kata lain, jiwa pretorian dan citra mesianistik itu sudah mengental dalam hati sanubari para perwira TNI. Dalam diri para prajurit ABRI/TNI, terinternalisasi dua prinsip dasar, yaitu: pertama, Prinsip Kelahiran (The Birth Right Principle) di mana mereka merasa berhak untuk menentukan ke mana arah negara ini sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam proses kelahiran negara RI; kedua, prinsip kompetensi (The Competence Principle) di mana mereka merasa militer lebih kompeten daripada sipil dalam mengelola negara. Ini menyebabkan sangat sulit bagi TNI untuk mengubah dan mereformasi diri dari paradigma “Tentara Politik” (dan “Tentara Niaga”), menjadi “Tentara Profesional”, yaitu tentara yang lebih mengedepankan paradigma militer profesional yang berlaku secara universal.3

Paradigma sebagai “Tentara Politik” (Political Army) ini amat berpengaruh kuat pada terhambatnya reformasi internal TNI, termasuk dalam hal ini reformasi doktrin dan validasi organisasi TNI, serta reformasi dalam penentuan jabatan dan jenjang kepangkatan di dalam TNI. Faktor-faktor lingkungan sosial, budaya, politik, ekonomi dan keamanan domestik dan internasional juga memberi kendala bagi reformasi internal TNI tersebut.

Mungkin sangat sedikit dari kita yang mau menerima kenyataan bahwa setiap perubahan politik di Indonesia pasti melibatkan ABRI ataupun TNI, baik

4

3 Mengenai reformasi TNI, lihat antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al., Tentara yang Gelisah, Bandung: Mizan, 1999; Lihat juga, Ikrar Nusa Bhakti, “Trends in Indonesian Student Movements in 1998,” dalam Geoff Forrester and R.J. May, eds., The Fall of Soeharto, Bathurst:..., 1999.

Page 47: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

sebagai aktor dominan maupun, lebih sering lagi, sebagai aktor di belakang layar. Sebagai contoh, penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan dikembalikannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tak terlepas dari desakan dan dukungan TNI kepada Presiden Soekarno untuk mengakhiri sistem Demokrasi Liberal/Konstitusional. Perubahan politik pada 1965 dan gerakan reformasi pada 1998 juga tak terlepas dari campur tangan militer.

Gerakan mahasiswa 1965 yang didukung TNI-AD melahirkan Orde Baru dengan bangunan sebuah sistem Demokrasi Pancasila yang memungkinkan ABRI menancapkan kuku-kukunya dalam berbagai bidang kehidupan ipoleksosbudkam. Peranan ABRI dalam politik bahkan sudah melebihi porsinya, atau mencapai military overreach. Tak heran jika seorang wartawan Australia, David Jenkins, mengatakan bahwa yang terjadi pada saat itu bukanlah dwi-fungsi ABRI, melainkan satu fungsi ABRI, yaitu bahwa ABRI menjalankan segalanya (The ABRI is running everythings).

Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998 juga tak terlepas dari dukungan dan peranan militer. Lalu apa kepentingan militer ikut serta menjatuhkan pemerintahan Soeharto? Pertama, di mata sebagian perwira tinggi militer, kepentingan Soeharto tidak lagi identik dengan kepentingan militer, khususnya TNI-AD. Soeharto sudah bermain mata dengan kelompok Islam politik, bisnis putra-putri Soeharto juga sudah melebihi batas, bahkan melebihi kepentingan bisnis tentara; kedua, TNI-AD tak ingin melihat hancurnya negeri ini akibat pergolakan politik yang ada; ketiga, perubahan politik harus sesuai dengan kepentingan militer, khususnya TNI-AD. Karena itu, tidaklah mengherankan jika ABRI adalah organisasi pertama yang melakukan reformasi sektor keamanan atau reformasi internal, melalui apa yang mereka sebut sebagai “Paradigma Baru ABRI.” Melalui dukungan politik atas perubahan itu, khususnya di era Presiden Habibie, tidaklah mengherankan jika reformasi TNI merupakan reformasi internal yang segalanya ditentukan oleh ABRI. Situasi ini menyebabkan betapa sulitnya masyarakat sipil menembus benteng kekuatan militer, karena partai-partai politik dan politisi sebagian besar tidak memiliki keberanian untuk menegakkan kerangka kerja demokratik untuk TNI. Mereka bahkan terpecah-pecah dalam berbagai kepentingan politik dan bahkan mengerdilkan dirinya sendiri dalam berhadapan dengan militer.

Kendala utama dan terbesar bagi TNI untuk menjadi tentara yang profesional ialah masih terjadinya politisasi tentara oleh kalangan elite politik sipil. Tak heran jika pada berbagai kesempatan, Panglima TNI Jenderal

5

Page 48: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Endriartono Sutarto mengingatkan “TNI hanya akan menjadi alat pertahanan negara. Tidak boleh partisan, tidak boleh memihak kekuatan sipil manapun”. Peringatan tersebut sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada seluruh prajurit TNI, tetapi juga bagi para elit politik sipil. Ini sejalan dengan dengan paradigma baru TNI yang ingin menanggalkan peran sosial politik yang pernah dinikmatinya sejak 1957 yang kemudian mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa (military overreach) pada era Orde Baru yang berakhir pada runtuhnya rejim Orde Baru pada 21 Mei 1998.

Problem politisasi tentara ini merupakan fenomena nyata yang sungguh sulit untuk diatasi di era reformasi yang menganut sistem multi partai yang sangat kompetitif. Pada situasi ini, upaya untuk melakukan kontrol obyektif melalui berbagai perangkat kebijakan negara akan menghadapi kendala dari kekuatan-kekuatan politik yang saling berkompetisi tersebut. Berbagai elite politik dari partai-partai besar dan kecil, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, berupaya untuk menarik TNI agar mendukung kebijakan dan kepentingan politiknya.

Dalam kadar yang lebih buruk, elit partai-partai politik yang berkuasa berupaya untuk melakukan kontrol subyektif terhadap institusi TNI. Ini terjadi bukan saja pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Sukarnoputri, melainkan juga berlanjut pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Patut pula disayangkan, para elit partai bukannya memberikan arah pada kalangan masyarakat bahwa TNI merupakan alat pertahanan negara yang tunduk pada otoritas politik sipil dan hanya menjalankan politik negara, tetapi justru mengikuti arus politik massa yang sebagian tidak lagi menentang terjunnya TNI dalam politik. Fenomena ini tampak jelas pada Pemilu Presiden putaran satu dan dua di tahun 2004 dan Pilkada Langsung pada 2005 ini. Lebih parah lagi, tidak sedikit partai-partai politik yang pada pilkada 2006 yang akan mengajukan calon dari mantan TNI, yang berarti mereka kurang percaya diri atau minder untuk memilih kader-kader partai yang murni sipil sebagai bakal calon dalam berbagai pilkada di daerah. Ini bukan hanya terjadi di Golkar dan PDI-P, tetapi juga di PAN dan bahkan PKS. Tanpa disadari oleh para elite politik sipil, politisasi tentara ini pada gilirannya telah menyebabkan kewenangan otoritas politik sipil terhadap TNI menjadi lemah.

Kendala kedua adalah tiadanya keinginan para pengambil keputusan politik pada tingkat pusat dan daerah untuk memahami secara benar berbagai perangkat perundang-undangan yang terkait dengan pertahanan negara, khususnya UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004

6

Page 49: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

tentang Tentara Nasional Indonesia. Tidaklah mengherankan jika, antara lain, mekanisme lama dalam pembelian alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI masih terus berjalan, seperti hiruk pikuk pembelian empat pesawat Sukhoi dan dua helikopter Mi-35, serta rencana pembelian kapal patroli KAL-35 oleh Provinsi Riau Bangka Belitung dan DKI Jakarta pada 2003, kasus senjata Koesmayadi, dan kasus pembelian panser dari Perancis untuk pasukan TNI yang dikirim ke Lebanon pada Oktober 2006 ini.

Kendala ketiga adalah dari kalangan masyarakat sendiri. Jika dilihat sejak 1997 sampai 2003, terjadi penurunan yang amat signifikan atas penentangan masyarakat terhadap terjunnya kembali TNI ke dalam kancah politik nasional maupun lokal. Jika pada 1997, dari berbagai survei, persentasi mereka yang menentang mencapai sekitar 70%, maka sejalan dengan perkembangan waktu tentangan tersebut telah menurun menjadi sekitar 50% pada tahun 2000 dan 37% pada 2003. Angka tersebut mungkin saja berubah pada 2005 lalu khususnya dengan adanya kenaikan harga BBM yang sudah terjadi dua kali dalam setahun di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita juga belum tahu apa pandangan masyarakat atas bakal calon kepala daerah dari kalangan mantan militer yang diusung oleh berbagai parpol pada pilkada 2005 dan 2006 ini.

Penurunan persentase tersebut mungkin diakibatkan oleh persepsi masyarakat bahwa elite politik sipil lebih asyik memperjuangkan kepentingan ekonomi dan politiknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat banyak, sehingga mengesankan bahwa para politisi sipil tersebut sebagai “penjahat-penjahat yang menyabotase demokrasi”. Ini juga terjadi karena masyarakat masih memiliki persepsi bahwa hanya TNI aktif atau pensiunan yang mampu menciptakan stabilitas keamanan di Indonesia. Sebagian masyarakat tampaknya tidak menyadari bahwa tanpa memiliki posisi kekuasaan politik pun, TNI adalah alat negara yang memiliki tugas utama menjaga kedaulatan nasional Indonesia dan mengatasi separatisme bersenjata, serta memiliki tugas perbantuan tidak permanen kepada Polri dalam mengatasi konflik komunal, terorisme, atau keamanan dan keselamatan masyarakat.

Kendala keempat berasal dari sebagian kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih mendikotomikan antara anggaran pemerintah di bidang pertahanan dengan anggaran bidang sosial. Kalangan ini tidak setuju jika anggaran pertahanan dinaikkan, khususnya anggaran kesejahteraan prajurit TNI dan pembelian persenjataan modern bagi TNI. Tanpa adanya kompensasi untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, membeli persenjataan

7

Page 50: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

modern, dan amunisi yang cukup bagi latihan tempur, kita tidak mungkin memiliki TNI yang profesional. Kemampuan negara untuk mencukupi hanya 30-70 persen kebutuhan TNI, menyebabkan institusi dan individu dalam TNI masih berbisnis, mendapatkan anggaran non-bujeter dari institusi pemerintah dan swasta, dan lebih buruk lagi menjadikan institusi dan individu-individu di dalam TNI sebagai tentara bayaran atau “soldier of fortune”.

Kendala kelima dan terakhir adalah dari dalam institusi TNI sendiri. Meski tidak diutarakan secara tegas di muka umum, sampai kini masih terdapat kecenderungan kembalinya TNI ke pemikiran konservatif bahwa otoritas politik sipil kurang mampu mengambil keputusan politik yang cepat dalam mengatasi gejolak keamanan di berbagai daerah yang berkonflik dan masih adanya kuatnya persepsi bahwa hanya militer yang memiliki jiwa pretorian dan segalanya demi negara (propatria).

Fenomena lain, sampai kini sangat sulit bagi kalangan TNI untuk menerima gagasan agar panglima TNI berada di bawah Menteri Pertahanan. TNI juga masih membuat kebijakan sendiri mengenai pembangunan kekuatan TNI yang tidak didasari oleh review atas kemampuan TNI dan perkembangan lingkungan strategis atau Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan. Kaji ulang itu sendiri masih dalam bentuk draft awal 2004 dan belum disempurnakan.

Selain itu, alih-alih komando teritorial yang merupakan “The government skeleton” pada masa Orde Baru akan dihapuskan, malah ia akan menjelma atau bermetamorfosa menjadi Komando Kewilayahan (Kowil) yang lagi-lagi lebih mengedepankan penanganan keamanan dalam negeri seperti konflik komunal, terorisme, dan penanganan bencana alam, ketimbang sebagai bangunan pertahanan keamanan untuk menghadapi ancaman dari luar. Bahkan ada rencana TNI untuk menghidupkan kembali Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) seperti sebelum 1982. Bangunan ini bukan suatu hal yang negatif jika memang untuk memperkuat pertahanan nasional dari ancaman luar. Namun jika ini didasari pemikiran untuk memperkuat atau menandingi institusi birokrasi sipil dan Polri, maka berarti tak ada perubahan dalam cara berpikir dan bertindak TNI.

Penghapusan bisnis militer pada 2009 sesuai dengan amanat UU No 34/2004 juga nampaknya bukan suatu hal yang mudah. Sejak 2004 tampak jelas betapa sudah terjadi pengalihan saham atau pun aset yang dimiliki TNI yang dulu dibisniskan. Upaya untuk mendapatkan dana di luar APBN seperti melalui bisnis militer ini menyimpan suatu bahaya, yaitu terciptanya jejaring bayangan (shadow networks). Karakteristiknya adalah: pertama, terjadinya

8

Page 51: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

interaksi yang fleksibel yang melibatkan aktor militer dengan berbagai struktur birokrasi, bisnis, politik dan beragam lapisan masyarakat; kedua, adanya kemampuan aktor-aktor militer untuk melakukan intrusi ke pembuatan kebijakan-kebijakan publik di hampir semua sektor.4

Paling sedikit ada empat masalah utama yang muncul karena keberadaan jejaring bayangan ini. Pertama, keterlibatan aktif aktor-aktor militer memungkinkan jejaring ini untuk mengeksploitasi sumber daya nasional dan lokal atau bahkan menjalankan kegiatan ekonomi sendiri; kedua, minimnya sumber daya menyebabkan adanya kompetisi yang tidak sehat antar sesama aktor militer; ketiga, keterlibatan militer dalam jejaring ini mempunyai implikasi negatif terhadap profesionalisme militer, khususnya kesiagaan militer dalam menjalankan tugas-tugas utamanya; keempat, aktor militer dapat memanfaatkan jejaring bayangan ini ini untuk mendapatkan sumber-sumber dana non-bujeter itu untuk membiayai operasi-operasi militer rahasia, khususnya operasi-operasi intelijen dan teritorial yang menggunakan unit-unit/pasukan khusus. Ini tentunya dapat membahayakan keamanan negara dan manusia, serta tidak memungkinkan otoritas sipil menerapkan prinsip supremasi sipil ke institusi militer.

Reformasi TNI memang harus inkremental, melalui proses tawar menawar, dialog, serta membangun konsensus bersama ketimbang membuka konfrontasi. Kondisi ini hanya dapat dilakukan apabila ada kontrol obyektif sipil atas militer dan bukan melalui politisasi militer oleh elite politik sipil.

Reformasi Polri

Penulis tidak berani menyentuh reformasi Polri karena tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan hal itu. Namun dari bacaan yang ada, tampaknya reformasi Polri pun baru menyentuh tahapan awal, yaitu perubahan paradigma struktural, instrumental dan kultural setelah Polri dipisahkan dari TNI. Ini juga masih menyisakan reformasi pada tahap berikutnya, yaitu: pengawasan terhadap Polri, masih adanya politisasi polri, pentingnya desentralisasi struktur kepolisian, dan masih adanya citra buruk Polri sebagai akibat dari belum berubahnya tingkah laku aparat polri dalam kesehariannya. Citra buruk ini mencakup masih kuatnya budaya militeristik, korupsi, dan

9

4 Mengenai off-budget militer lihat, Andi Widjajanto, ed., Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Jakarta: Propatria, 2004, hal. 90-91.

Page 52: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

belum profesionalnya sebagian besar aparat Polri. stik, korupsi, dan belum profesionalnya sebagian besar aparat Polri.5

Perlunya Pengawasan Intelijen

Seperti telah diuraikan di atas, intelijen negara sebagai bagian dari sistem keamanan negara merupakan satu-satunya institusi yang belum tersentuh reformasi. Perilaku intelijen negara masih belum berubah dibandingkan dengan masa lalu. Mereka masih menciptakan budaya ketakutan kepada masyarakat, membunuh, menugasi dirinya sendiri, dan bahkan menghambur-hamburkan uang negara seperti menggunakan Gus Dur Institute untuk membayar sebuah perusahaan lobi AS puluhan ribu dolar AS untuk melobi kalangan Kongres AS. Hal ini agak aneh karena beberapa hal: pertama, apakah BIN memiliki tugas untuk melakukan lobi-lobi politik yang seharusnya dilakukan oleh Departemen Luar Negeri RI dan Departemen Pertahanan RI; kedua, lobi untuk mengubah citra TNI sebagai pelanggar HAM di mata Kongres AS itu menunjukkan betapa tidak percayanya institusi intelijen negara yang masih dikuasai oleh kalangan militer terhadap institusi sipil; ketiga, BIN, meskipun sudah banyak memiliki agen-agen intelijen sipil, masih dikuasai oleh kalangan militer dan berbudaya militeristik; keempat, kasus lobi ini juga menunjukkan betapa tidak profesionalnya intelijen negara kita yang tidak menggunakan lobi Indonesia di AS seperti USINDO, malah menggunakan perusahaan lobi yang tidak ada hasilnya. Kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir pada 7 September 2004 yang dilakukan agen intelijen BIN juga menunjukkan betapa masih kentalnya institusi intelijen dengan pola operasi masa lalu. Mereka melakukan self-assesment bahwa Munir adalah musuh negara dan karena itu harus dilenyapkan sebelum ia sempat menulis tesis mengenai hukum humaniter dalam perang. Ketidaksukaan beberapa perwira TNI atas usaha Munir untuk mengungkap pelanggaran HAM dan korupsi oleh oknum-oknum TNI di masa lalu juga menunjukkan betapa ada jejaring kerja antara intelijen BIN dan oknum-oknum TNI. Karena itu, kita harus mengawal reformasi intelijen dan terus menerus mengawasi aktivitas intelijen hitam, sebuah praktek yang sudah mengakar pada era Orde Baru.

Membangun intelijen negara yang capable merupakan suatu keniscayaan, jika kita ingin negara kita aman dari beragam pendadakan strategis (strategic

5 Lihat, S. Yunanto, Moch. Nurhasim dan Iskhak Fatonie, Evaluasi Kolektif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polri, Jakarta: FES dan The Ridep Institute, 2005, Bab III.

10

Page 53: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

surprises) yang dilakukan oleh individu, kelompok atau negara asing yang ingin mengganggu keamanan nasional kita. Intelijen negara bukanlah suatu institusi yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional.

Di masa lalu, citra intelijen negara kita begitu buruk dan menjadi momok bukan saja bagi masyarakat, aktivis mahasiswa atau aktivis lembaga-lembaga non-pemerintah (NGO), melainkan juga bagi kalangan yang bekerja di birokrasi sipil dan militer. Menjelang berakhirnya era Orde Baru, seorang pensiunan perwira tinggi militer bahkan secara terbuka pernah melontarkan kekesalannya di LIPI mengenai teman-temannya yang bertugas di intelijen militer, karena kerja para intel tersebut bukannya mencegah terjadinya pendadakan strategis, melainkan justru “menginteli teman-temannya sendiri!”. Selain itu, seperti layaknya “Intel Melayu”, tidak sedikit personel intelijen yang “demi menciptakan rasa takut masyarakat” justru menyebutkan jatidirinya bahwa ia berasal dari “Senayan”, “Pejaten” atau “Tebet.” Bahkan pistol di pinggang yang seharusnya tidak tampak, justru ditonjolkan dengan cara menggeser-geser ikat pinggangnya. Peneroran, penganiayaan, penculikan, penangkapan, pembunuhan merupakan contoh tindakan yang dulu lazim dilakukan personel intelijen negara. Gambaran buruk di atas menunjukkan bahwa keamanan negara (state security) tidaklah identik atau bahkan bertentangan dengan keamanan insani (human security). Padahal, seharusnya keamanan negara juga mencakup keselamatan dan keamanan insani seluruh warga negara. Keamanan negara tidaklah mungkin diciptakan dengan cara-cara menciptakan rasa takut warga negara.

Jaring-jaring Pengawasan Intelijen

Kita tentunya ingin agar Intelijen Negara kita dapat bekerja dengan baik. Namun, pada saat yang sama kita juga tidak ingin melihat intelijen negara kita melakukan tindakan sewenang-wenang atau bekerja di luar yang seharusnya mereka lakukan. Ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan terhadap institusi intelijen negara dilakukan. Akuntabilitas kinerja intelijen negara kita bukan saja dinilai dari sisi hasil akhir, melainkan juga pada tahapan proses. Karena itu, jaring-jaring pengawasan intelijen negara mencakup berbagai tahapan dan institusi.

Dari sisi tahapan, pengawasan perlu dilakukan pada saat pengajuan anggaran untuk intelijen, pelaksanaan kerja intelijen dan hasil akhir kinerja intelijen. Dari sisi institusi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan satu-satunya institusi yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi atas

11

Page 54: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

kinerja intelijen negara, karena akuntabilitas kinerja intelijen bukan saja dipertanggunggugatkan kepada DPR semata, melainkan juga kepada masyarakat secara langsung.

Lalu, apa saja yang harus diawasi dari kinerja intelijen negara kita?

Pada tahap awal, ketika Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara masih digodok di Badan Intelijen Negara (BIN) dan institusi-institusi intelijen dan keamanan negara yang terkait, kita harus mengawasi apakah misi utama dari BIN untuk membuat RUU tersebut hanya sebatas untuk memberi payung hukum bagi pengembangan kapasitas internal dinas-dinas intelijen negara atau untuk membentuk kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara. Dua hal tersebut tentunya amat berbeda. Jika misi utama BIN yang lebih mengemuka, ini berarti berbagai institusi intelijen negara tersebut hanya membutuhkan payung hukum untuk melakukan tugas-tugasnya dengan mengenyampingkan prinsip-prinsip HAM, demokrasi dan kebebasan sipil atau kebebasan individu warga negara. Dengan kata lain, BIN dan institusi intelijen negara lainnya hanya ingin agar segala tindak tanduknya sesuai dengan aturan hukum yang mereka rancang sendiri. Kalaupun ada 3 dari 48 pasal RUU Intelijen yang berkaitan dengan kerangka kerja demokratik, yaitu Pasal 14, pasal 42 dan pasal 43, itu hanya bunga-bunga untuk memperindah RUU tersebut. Esensinya, bukan mustahil dalam pelaksanaan kerja intelijen di lapangan, tindakan-tindakan buruk di masa lalu akan terulang kembali. Padahal, seperti diutarakan di atas, kita perlu mencari keseimbangan antara kebutuhan untuk menguatkan kapasitas dan kapabilitas intelijen negara dengan pembentukan kerangka kerja demokratik bagi Intelijen Negara.

Terkait dengan itu, apakah demi mencegah terjadinya pendadakan strategis, intelijen negara perlu diberi kewenangan khusus untuk melakukan penangkapan seperti tampak pada pasal 12 RUU Intelijen Negara? Apakah intelijen negara dapat masuk ke ranah penegakan hukum yang seharusnya dimiliki oleh Polri dan kejaksanaan?

Dari RUU tersebut ada suatu kemajuan, khususnya dari segi anggaran bahwa anggaran intelijen negara didapat sepenuhnya dari APBN. Namun kita juga patut bertanya, apa yang dimaksud dengan dari APBN tersebut, apakah anggaran khusus untuk intelijen negara, ataukah intelijen negara juga masih dapat meminta anggaran dari APBD atau anggaran sampingan lain dari negara? Ini patut dikemukakan karena kita tahu bahwa ada dualisme kegiatan intelijen negara di daerah, yaitu kegiatan cabang-cabang BIN dan unsur intelijen lain di daerah dan pembentukan Kominda (Komite Intelijen Daerah).

12

Page 55: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

Bentuk-bentuk pengawasan lain ialah pengawasan internal, pengawasan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Pengawasan internal perlu dilakukan agar personel intelijen negara sesuai dengan hakekat, fungsi, asas, tugas dan wewenangnya. Mereka harus bersikap imparsial (tidak memihak dan tidak berpolitik) dan tentunya tidak dapat menugasi dirinya sendiri. Artinya, jangan sampai ada personel intelijen yang karena kepentingan ideologi atau politiknya bertindak sendiri-sendiri atau bertindak sesuai dengan kepentingan politik partai yang sedang berkuasa. Intelijen juga tidak dapat menugasi dirinya sendiri tanpa ada perintah yang jelas dari atasannya atau negara.

Dalam melakukan tugasnya, seringkali personel atau institusi intelijen melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebebasan sipil atau individu, seperti melakukan penggeledahan rumah, penyadapan telpon atau pencarian informasi mengenai mengenai jati diri seseorang. Dalam hal-hal yang bersifat sensitif tersebut, perlu adanya warrant atau surat persetujuan dari Kejaksaan Agung untuk melakukan penggeledahan atau penyadapan. Ini untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat intelijen negara demi kepentingan pribadi atau institusinya.

Pertanyaan pokok lain yang amat mendasar ialah apakah intelijen negara, demi keselamatan negara, dapat melakukan tindakan pendadakan untuk menjatuhkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat jika pemerintah yang berkuasa dianggap melakukan tindakan yang merugikan negara atau masyarakat? Pertanyaan ini memang amat menggelitik dan memerlukan diskusi yang mendalam untuk menjawabnya. Ini penulis kemukakan karena di negara seperti Amerika Serikat pun muncul pertanyaan apakah CIA terlibat dalam pembunuhan Presiden John Fitzgerald Kennedy di Dallas pada 1963 itu. Hingga kini yang umum berlaku ialah Kennedy dibunuh oleh Lee Harvey Oswald. Namun tak sedikit analisis yang mengemukakan bahwa CIA terlibat dalam tragedi tersebut.

Pengawasan legislatif terhadap Intelijen Negara dapat dilakukan bukan saja oleh Sub-Komisi Intelijen pada Komisi I DPR-RI, melainkan juga oleh Komisi Anggaran DPR. Secara khusus pembentukan Sub-Komisi Intelijen memang suatu keniscayaan agar Dewan dapat memonitor dan mengevaluasi kinerja intelijen negara secara intens dan berkesinambungan. Mengapa sub-komisi ini hanya terdiri atas sedikit anggota yang disumpah, karena kita tahu masalah intelijen negara terkait dengan masalah kerahasiaan negara. Namun Komisi Anggaran DPR juga dapat melakukan fungsi pengawasan melalui

13

Page 56: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

pengkajian mengenai anggaran yang diajukan dan/atau digunakan oleh badan-badan intelijen negara.

Lalu, apakah masyarakat dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja Intelijen Negara? Jawabnya, dapat. Kita sebagai warga negara dapat saja melakukan fungsi pengawasan dengan cara mengkaji anggaran intelijen, proses kerja intelijen dan hasil dari kerja intelijen. Paling tidak kita dapat membaca mata anggaran APBN untuk intelijen negara, melakukan diskusi dengan badan-badan intelijen negara, DPR dan kalangan pemerintah. Partisipasi aktif masyarakat jangan diartikan upaya mempersulit kinerja intelijen negara, melainkan sebagai wujud kepedulian masyarakat agar intelijen negara kita dapat menjadi bagian dari sistem keamanan negara yang andal, yang pada saat bersamaan bekerja sesuai dengan kerangka kerja demokratik yang kita idam-idamkan.

14

Page 57: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i 15

REFORMASI SEKTOR KEAMANAN1

Theo L. Sambuaga2

Perjuangan reformasi dengan tema utama demokratisasi yang dimulai pada pertengahan tahun 1998 telah menghasilkan perobahan fundamental dalam berbagai bidang kehidupan bangsa termasuk bidang sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Reformasi di sektor keamanan (security sector reform) dimulai dengan penghapusan dwifungsi ABRI dan fungsi pembinaan sosial politik yang berarti mengakhiri peranan politik ABRI yang sangat dominan di masa Orde Baru.

TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut dan Udara bukan saja berhenti dari upayanya untuk menduduki jabatan politik tapi juga tidak lagi dikaryakan di birokrasi sipil. Capaian berikutnya adalah pemisahan Polri dengan TNI. Polri yang tadinya bersama Angkatan Darat, Laut dan Udara berada dalam satu organisasi ABRI, diwadahi dalam masing-masing organisasi sesuai dengan fungsinya.

Polri berfungsi sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Sedangkan TNI sebagai alat negara yang bertugas

1Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2Ketua Komisi I DPR RI.

Page 58: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Fungsi dan tugas TNI dan Polri tersebut ditegaskan dalam pasal 30 UUD 45 hasil amandemen (tahun 2000) sebagai regulasi tertinggi yang mewadahi tuntutan dan capaian awal reformasi sektor keamanan lainnya yang sebelumnya sudah diregulasikan melalui Tap MPR 1998, 1999 khususnya Tap MPR VI dan VII tahun 2000.

Capaian lanjutan dalam reformasi sektor keamanan adalah dengan diundangkannya UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU 34/2004 tentang TNI. Melalui UU tersebut tuntutan profesionalisme TNI dan Polri serta supermasi sipil atasnya ditegakkan. Polisi adalah penegak hukum dan pembasmi kejahatan/kriminalitas, subyek dan obyek hukumnya adalah individu, instrumen utamanya adalah hukum. Tentara dituntut oleh tugasnya untuk meningkatkan profesionalisme untuk melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan negara.

Ketentuan TNI berpolitik dikonkritkan dalam bentuk TNI dilarang mengikuti kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dan jabatan politik lainnya. Ketentuan dalam UU 34/2004 tentang TNI ini baru terlaksana sebagaimana mestinya pada Agustus 2006, dengan keputusan Panglima TNI yang mengoreksi keputusan sebelumnya yang masih membenarkan prajurit TNI ikut pilkada tanpa perlu berhenti dari dinas TNI. Scara prinsip hak untuk dipilih sebagaimana halnya hak untuk memilih adalah hak setiap warganegara. Pegawai negeri/aparat negara termasuk prajurit TNI yang digaji untuk melaksanakan tugas negara melayani masyarakat dengan melaksanakan haknya untuk dipilih pada jabatan politik (elected officials) dengan menghentikan posisinya sebagai pegawai negeri/aparat negara dengan privilege yang melekat pada posisinya.

Dalam hal hak memilih, sudah saatnya untuk dipulihkan hak pilih prajurit TNI (juga anggota Polri) dimulai pada pemilu 2009 dengan mengubah ketentuan yang ada sekarang ini dalam UU 12/2003 tentang Pemilu (pasal 145). Menunda atau tidak memulihkan hak pilih bagi anggota TNI dan Polri berarti memperpanjang diskriminasi terhadap sebagian warga negara. Karena hak pilih adalah hak warga negara bukan hak institusi. Mengenai kekhawatiran bahwa anggota TNI dan Polri akan sangat dipengaruhi oleh komandan/atasannya dalam menggunakan hak pilih, atau akan mengakibatkan pertentangan sesama prajurit karena perbedaan pilihan, merupakan kekhawatiran yang tak beralasan dan berlebihan. Justru karena kemajuan reformasi, kesadaran politik rakyat termasuk prajurit meningkat, transaparansi dan kontrol masyarakat menguat,

16

Page 59: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

serta aturan dan rambu hukum yang ada akan mengawal terlaksananya hak pilih anggota TNI dan Polri sebagaimana mestinya.

Reformasi dalam sektor keamanan mencapai kemajuan lagi dengan penegasan oleh UU 34/2004 bahwa prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Ketentuan ini akan dituangkan dalam UU Peradilan Militer yang perbaikannya sekarang ini sedang dalam pembahasan di DPR. Berlakunya ketentuan ini akan mengakhiri perlakuan istimewa bagi TNI yang selama ini berlaku.

Satu langkah maju lagi yang dicapai dalam reformasi TNI adalah larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI, yang ditetapkan dalam pasal 39 UU 34/2004 tentang TNI. Ketentuan ini sangat fundamental artinya untuk memperkuat profesionalisme TNI serta mengembalikan jati diri TNI sebagai tentara pejuang. Sudah tentu dengan diberlakukannya ketentuan ini seluruh anggaran untuk pembiayaan TNI baik kesejahteraannya maupun kekuatan dan kemampuannya harus didukung oleh negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Meskipun terdapat berbagai kemajuan berarti dalam reformasi sektor keamanan selama hampir satu dekade reformasi berlangsung namun sangat jelas urgensinya untuk terus melanjutkan reformasi baik untuk mengawal konsolidasi hasil reformasi maupun untuk reformasi aspek-aspek lainnya.

Dalam hal prinsip bahwa TNI berada di bawah kontrol supremasi sipil, secara semangatnya, Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengaturnya tetapi belum secara tegas menyatakan bahwa organisasi TNI berada dibawah Departemen Pertahanan. Padahal dalam pemerintahan demokratis yang kita jalankan, Menteri Pertahanan yang mengepalai Departemen Pertahanan adalah pembantu presiden yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 3 UU 34/2004 tentang TNI yang menyatakan ”Dalam kebijakan dan strategis pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan”. Dan dalam penjelasan pasal itu; ”Dalam rangka pencapaian efektifitas dan efisiensi pengelolahan pertahanan negara, pada masa yang akan datang institusi TNI berada dalam Departemen Pertahanan”. Oleh karena itu, keberadaan institusi TNI sebagai pelaksana operasional pertahanan dalam Departemen Pertahanan dan oleh karenanya bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan yang adalah pembantu presiden/kepala pemerintahan, perlu ditegaskan regulasinya.

17

Page 60: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Dengan alasan prinsip yang sama, sudah sewajarnya apabila institusi Polri sebagai alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, melindungi mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, juga berada di bawah satu departemen dan bertanggungjawab pada Menteri yang memimpin departemen tersebut. Sebab, dalam menetapkan kebijakan dan menjalankan pemerintahannya sebagai kepala pemerintahan/kabinet, presiden dibantu oleh menteri yang mengepalai departemen dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Sebagaimana disinggung di depan salah satu hasil reformasi sektor keamanan adalah pemisahan organisasi TNI dan Polri – yang tadinya menyatu dalam ABRI yang tugasnya memang berbeda. Meskipun begitu, TNI dan Polri sangat dekat dalam hal fungsi. Sering terjadi persepsi yang keliru dengan menyederhanakan dan oleh karenanya membedakan atau malahan membatasi antara tugas Polri yang pada dasarnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakkan hukum yang sering disederhanakan sebagai keamanan masyarakat, dengan tugas TNI yang membela dan mempertahankan negara dari ancaman luar. Padahal tugas kedua alat negara tersebut sangat berkait karena di sini menyangkut keamanan dalam arti luas.

Dalam spektrumnya yang sangat luas keamanan mencakup keamanan masyarakat dalam hal ketertiban, bebas dari gangguan kriminalitas, bebas dari ancaman dan gangguan dari pihak eksternal mulai dari penyelundupan, pencurian sumber daya alam sampai pada serangan bersenjata, serta yang belakangan ini disebut human security yaitu bebas dari penyakit, kelaparan, dan gangguan kebutuhan pribadi lainnya.

Dalam konteks topik bahasan, keamanan nasional setidaknya mencakup keamanan dalam negeri, ketertiban masyarakat, dan pertahanan negara. Ketiga aspek keamanan nasional ini saling berhubungan, mempengaruhi dan saling tergantung. Demikian juga apabila pertahanan negara jebol maka keamanan dan ketertiban masyarakat akan terancam. Sedangkan pertahanan negara tidak akan kuat apabila keamanan dan ketertiban masyarakat terganggu. Pada tataran operasional tugas keamanan dalam negeri dan pertahanan negara memerlukan saling membantu dan koordinasi. Terutama dalam menghadapi kegiatan penyelundupan dan berbagai illegal fishing, logging, mining. Demikian juga dalam menghadapi gangguan keamanan mulai dari eskalasi konflik antar masyarakat dan kampanye separatisme yang akan melibatkan perlawanan bersenjata, sampai kepada terorisme. Bencana alam luas yang memerlukan

18

Page 61: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

kegiatan SAR dan evakuasi skala besar, sampai kepada kejahatan transnasional dan cybercrime.

Menghadapi tantangan tersebut, capaian reformasi harus terus dikonsolidasikan dan reformasi sektor sekuriti terus dilanjutkan, termasuk kelanjutan regulasi untuk memastikan konsolidasi hasil reformasi. Salah satu keperluan mendesak di tataran operasional adalah membuat regulasi tentang Perbantuan TNI. Salah satu tugas OMSP TNI sebagaimana disebutkan dalam UU 34/2004 tentang TNI pasal 7 ayat 2 b 10 adalah : ”membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang undang”.

Aturan dan payung hukum yang jelas mengenai tugas PerbantuanTNI akan sangat membantu bagi TNI maupun Polri yang selama ini ternyata diantara mereka dalam banyak hal diliputi keraguan,saling tunggu,khawatir melanggar wewenang atau HAM, sampai kepada saling curiga dan benturan di lapangan, dalam menghadapi tantangan tugas, gangguan, dan ancaman dilapangan, yang adakalanya sering merupakan grey area.

Beberapa hal yang perlu diatur dalam regulasi semacam itu diantaranya adalah; definisi dan pengertian umum tugas perbantuan, mekanisme dan managemen pelaksanaan tugas perbantuan, alasan diperlukannya perbantuan, institusi mana dan pada level apa yang berhak meminta perbantuan, institusi dan pada level apa yang berhak menerima tugas perbantuan, anggaran untuk pelaksanaan tugas perbantuan, wilayah, ruang lingkup dan jangka waktu tugas perbantuan.

Tugas perbantuan merupakan salah satu regulasi penting yang diperlukan dalam rangka kelanjutan reformasi sektor keamanan. Tetapi satu hal yang lebih mendesak yang sampai sekarang belum ditetapkan oleh presiden adalah Kebijakan Umum Pertahanan Negara, padahal UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara mengamanatkan hal tersebut yang akan menjadi dasar bagi perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan sistem pertahanan negara. Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang merupakan politik pertahanan negara juga menjadi acuan bagi penyusunan doktrin dan postur pertahanan serta strategi militer dan postur TNI. Belakangan ini Departemen sudah mulai merampungkan dokumen strategi, doktrin, postur dan buku putih pertahanan. Tetapi tidak jelas apa dasar acuan keempat dokumen pertahanan tersebut, karena sampai saat ini Kebijakan Umum tersebut belum ditetapkan.

19

Page 62: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Soal lain yang juga mendesak untuk dipastikan kejelasannya adalah mengenai keberadaan Dewan Pertahanan Nasional yang menurut UU 3/2002, lembaga ini diketuai oleh presiden dan berfungsi sebagai penasihat presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara. Dilihat dari fungsinya, lembaga ini bukanlah Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) yang ada sekarang ini. Bukan juga Lemhannas.

Tetapi mengingat UU 2/2002 tentang Pertahanan Negara telah berlaku lima tahun dan nampaknya ada tanda-tanda presiden tidak tegerak untuk segera membentuk lembaga ini atau merobah Wantanas misalnya untuk disesuaikan dengan fungsi Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana dimaksudkan oleh UU 2/2002, nampaknya ada pandangan yang berbeda yang belum diselesaikan di kalangan pemerintah tentang hal ini. Dan hal ini menyangkut ruang lingkup pertahanan yang lebih sempit dibandingkan keamanan nasional sebagaimana dibahas di depan.

Dari perspektif ini, barangkali yang diperlukan untuk menjawab tantangan dewasa ini bukanlah pembentukan Dewan Pertahanan Nasional tetapi Dewan Keamanan Nasional. Hal ini dapat menjawab pembahasan panjang selama ini tentang pengertian Keamanan Nasional yang meliputi keamanan dalam negeri, ketertiban masyarakat, dan pertahanan negara. Dan sekaligus menegaskan bahwa tugas TNI dan tugas Polri dilaksanakan oleh organisasi masing-masing yang terpisah, tetapi fungsinya yang berdekatan dan saling terkait berada dalam satu atap koordinasi kebijakan dalam Dewan Keamanan Nasional yang diketuai oleh presiden dengan anggota pejabat-pejabat terkait termasuk pejabat non-pemerintah.

Kalau demikian halnya maka konsekwensi logisnya adalah diperlukan perubahan atas UU 2/2002 tentang Polri, UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU 34/2004 tentang TNI. Sekaligus dengan itu beberapa UU turunan dari berbagai UU tersebut yang juga merupakan amanat reformasi seperti UU tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, Wajib Militer, Bela Negara, Tata Ruang Wilayah Pertahanan, Komponen Cadangan Pertahanan Negara dan UU tentang Perbantuan TNI perlu segera dibuat.

Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memperbaiki UU tentang Polri, Pertahanan, dan TNI serta membuat UU baru tentang Keamanan Nasional dengan mewadahi berbagai ketentuan yang menjadi wilayah berbagai UU turunan tadi sekaligus mewadahi berbagai ketentuan pokok yang termuat

20

Page 63: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

dalam UU tentang Polri, TNI, dan Pertahanan termasuk mengubah Dewan Pertahanan Nasional menjadi Dewan Keamanan Nasional.

Sudah tentu diperlukan pengkajian lebih seksama dan mendalam tentang semuanya ini. Terutama menyangkut pembentukan UU Keamanan Nasional yang beberapa waktu lalu pernah diwacanakan tetapi karena terdapat kecenderungan yang lebih menonjol adalah pandangan sempit dan egosektoral maka telah gugur sebelum sempat dibahas secara mendalam di tingkat interdep pemerintah. Padahal UU tentang Keamanan Nasional dalam arti luas, sesungguhnya diperlukan.

Oleh karena itu, nampaknya terdapat kebutuhan urgensi yang melibatkan semua pihak, instansi pemerintah, aparat negara, politisi, akademisi, kalangan pengamat, praktisi dan LSM yaitu para stakeholders Keamanan Nasional, untuk mengkaji dan membahas secara mendalam penyusunan UU tentang Keamanan Nasional ataupun dalam nama lain.

21

Page 64: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k22

REFORMASI TNI1

Letjen TNI [Purn] Agus Widjojo2

Pendahuluan

Memahami reformasi TNI berarti memahami latar belakang mengapa reformasi TNI perlu dilaksanakan. Di dalamnya terkandung perlunya pemahaman tentang latar belakang proses kelahiran serta perkembangan TNI di dalam kaitan perkembangan lingkungan pada lingkup kebangsaan. Karena perkembangan peran militer senantiasa erat berkaitan dengan perkembangan politik suatu bangsa, maka perkembangan peran TNI sangat erat berkait dengan perkembangan sistem politik di Indonesia. Bahkan titik sentral pembahasan dalam reformasi TNI adalah segala sesuatu yang menyangkut peran sosial-politik TNI di masa lalu, di bawah naungan doktrin Dwifungsi.

1Makalah disampaikan dalam Kursus Singkat S-2 FISIP UI, Jakarta pada tanggal 5 Maret 2005, juga dijadikan bahan yang disampaikan pada Pelatihan “Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Indonesia” ke-II, diselenggarakan oleh Imparsial-INFID-Kontras, Wisma Hijau, Mekarsari, Depok, 11-14 September 2006.

2Letnan Jenderal TNI (Purn) Mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Mantan Wakil Ketua MPR – RI, Kini Senior Fellow pada CSIS.

Page 65: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i 23

Reformasi TNI Tahap I: Paradigma Baru Peran Sospol TNI: Penghalusan Dwifungsi

Betapapun perkembangan politik Indonesia di sekitar tahun 1998 menentukan perubahan sistem politik dengan mundurnya presiden Soeharto, keadaan ini secara internal telah mendapat perhatian di dalam kalangan TNI. Dalam SU MPR-RI tahun 1999, F-ABRI merupakan fraksi yang pertama menyampaikan perlunya dilaksanakan reformasi politik. Pernyataan dalam SU MPR tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan penyerahan rumusan Pokok-pokok Pikiran ABRI tentang Reformasi Nasional kepada presiden Habibie. Reformasi internal TNI diawali dengan perumusan Paradigma Baru Peran Sospol TNI yang diterbitkan pada tanggal 5 Oktober 1999. Patut diingat bahwa Paradigma Baru Peran Sospol TNI tersebut dirumuskan ketika ABRI masih menganut Doktrin Dwifungsi. Oleh karenanya, benar adanya kritik yang dilontarkan bahwa Paradigma Baru Peran Sospol TNI masih mengandung aroma sosial politik. Perumusan Paradigma Baru Peran Sospol TNI tersebut ketika itu dimaksudkan untuk mencari bentuk peran sosial politik yang lebih sesuai dengan perkembangan lingkungan.

Dalam brosur TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa yang diterbitkan pada tanggal 5 Oktober 1999, dinyatakan bahwa Paradigma Baru Peran Sospol TNI mengambil bentuk implementasi: (1) Merubah posisi dan metode tidak selalu harus didepan. Hal ini mengandung arti bahwa kepeloporan TNI dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan oleh institutsi fungsional. (2) Merubah dari konsep menduduki menjadi mempengaruhi, yaitu tidak lagi perlu mendudukkan personel TNI dalam jabatan sipil sebagai wakil institusi Dwifungsi, namun TNI masih tetap memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif. (3) Merubah dari cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. (4) Melakukan role-sharing (kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya.

Awal pemikiran terhadap reformasi TNI didasarkan kepada pertimbangan terhadap kepentingan bangsa menghadapi kancah persaingan antar bangsa dalam era globalisasi, yaitu bahwa hanya sistem nasional yang efisien yang mampu bersaing dengan bangsa lain dalam era globalisasi. Efisiensi ini antara lain ditentukan oleh penentuan kewenangan yang jelas kepada institusi fungsional yang dapat mencegah terjadinya duplikasi, sedangkan implementasi Dwifungsi di masa lalu, secara sengaja atau tidak, telah banyak mengakibatkan tumpang tindih fungsi pada berbagai institusi.

Page 66: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k24

Reformasi TNI Tahap II: Paradigma Baru Peran TNI: Penanggalan Dwifungsi

Paradigma Baru Peran Sospol TNI berakhir ketika pada tanggal 20 April 2000, dalam Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI, yang dijabat oleh Laksamana TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan. Dengan ditanggalkannya fungsi sosial politik berarti TNI telah meninggalkan doktrin Dwifungsi. Sebagai rujukan dalam melaksanakan tugas dan perannya, TNI merumuskan Paradigma Baru Peran TNI. Dalam Paradigma Baru Peran TNI dinyatakan bahwa:

(1) Pelaksanaan tugas TNI senantiasa adalah dalam rangka tugas negara dan dalam masa transisi ini diarahkan dalam rangka pemberdayaan kelembagaan fungsional. TNI tidak bertugas untuk kepentingan sendiri, tetapi setiap tugas yang dilakukan TNI senantiasa merupakan tugas negara berdasarkan keputusan politik. Di masa lalu di bawah doktrin Dwifungsi, baik secara sadar maupun tidak, TNI banyak menyelenggarakan fungsi milik departemen lain, karena fungsi tersebut tidak berjalan dengan baik. Keadaan demikian banyak menyebabkan duplikasi fungsi yang menghambat efisiensi pada sistem nasional. Dalam era reformasi, untuk meningkatkan efisiensi sistem nasional, duplikasi perlu dihapuskan sehingga dalam masa transisi ini, pada dasarnya penempatan kembali TNI pada fungsi pertahanan dengan menanggalkan Dwifungsi merupakan proses pemberdayaan institusi fungsional. (2) (Peran TNI) dilaksanakan atas kesepakatan bangsa. TNI tidak menentukan sendiri apa yang harus dilakukan untuk bangsa. Karena TNI merupakan aset bangsa dan salah satu instrumen kekuatan nasional maka apa yang dilakukan (peran) TNI didasarkan kepada kesepakatan bangsa yang diputuskan melalui mekanisme dan prosedur demokratis konstitusional. (3) Bersama komponen bangsa lainnya, TNI tidak berpretensi menjadi satu-satunya pelaksana dalam menyelesaikan masalah bangsa. Penyelesaian masalah kebangsaan diselesaikan oleh segenap komponen bangsa dalam fungsi masing-masing secara terpadu. TNI bahkan tidak lagi menjadi pengirim dalam penyelesaian masalah bangsa karena TNI bertindak berdasarkan keputusan politik. (4) Sebagai bagian dari sistem nasional, TNI tidak hadir dalam isolasi maupun eksklusif, tetapi TNI hadir sebagai bagian dari sistem nasional. Oleh karenanya, tindakan TNI tidak bersifat otonom tetapi akan senantiasa mempunyai keterkaitan dengan bagian lain dalam sistem nasional. Tidak ada peran TNI yang bersifat berdiri sendiri dan otomatis dapat dilakukan oleh TNI. TNI bukan merupakan

Page 67: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

negara dalam negara. (5) Melalui pengaturan konstitusional, kewenangan TNI bukan tidak terbatas, tetapi ditentukan oleh konstitusi (segenap peraturan perundang-undangan terkait). TNI melaksanakan tugas berdasarkan peran dan kewenangan sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paradigma Baru Peran TNI ini murni diarahkan untuk mewujudkan TNI yang profesional berperan sebagai instrumen pertahanan nasional yang bebas dari politik dan peran lain di luar peran pertahanan.

Esensi Reformasi TNI

Pertanyaan yang dapat muncul selanjutnya adalah, apa sebenarnya esensi implementasi reformasi TNI? Esensi reformasi TNI adalah penempatan peran dan kewenangan TNI sesuai dengan kaidah demokrasi. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa UUD 1945 mengamanatkan sistem politik demokratis, sedangkan implementasi reformasi TNI diwujudkan dalam bentuk (1) secara bertahap meninggalkan peran sosial politik, (2) untuk memusatkan perhatian kepada tugas pokok pertahanan nasional (3) melepaskan tanggung jawab utama keamanan dalam negeri dan pembinaan sumber daya nasional dimasa damai (4) meningkatkan konsistensi implementasi doktrin gabungan, dan (5) meningkatkan kinerja manajemen internal TNI. Sesungguhnya reformasi TNI bertujuan untuk meletakkan konstitusi (UUD 1945), kaidah demokrasi sebagai sistem politik yang diamanatkan oleh konstitusi, peran dan kewenangan TNI dalam satu garis yang konsisten. Pada tingkat kebijakan konsistensi garis ini dilanjutkan dan mencakup anggaran yang cukup, agar TNI dapat melaksanakan perannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Pada akhirnya reformasi TNI ditujukan bagi kepentingan prajurit, agar dalam setiap tugas apapun yang dipercayakan kepadanya, setiap prajurit TNI akan dijamin oleh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, dan menghindarkan prajurit dari tuduhan pelanggaran hukum atau hak asasi manusia.

Bila kita kilas balik memandang ke belakang, telah cukup signifikan langkah-langkah reformasi internal TNI yang telah dilakukan. Langkah-langkah ini meliputi:

(1) perumusan Paradigma Baru Peran TNI sebagai rujukan, (2) pemisahan Polri dari TNI, (3) secara bertahap meninggalkan peran sosial politik dan tidak terlibat dalam kegiatan partisan, (4) pengakhiran doktrin kekaryaan sehingga tidak ada lagi prajurit TNI dalam status aktif menduduki jabatan

25

Page 68: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

sipil (5) likuidasi institusi sosial politik dalam struktur TNI, (6) netralitas TNI dalam pemilihan umum sebatas dalam fungsi aparat keamanan yang membantu Polri (7) refungsionalisasi hubungan antara institusi TNI dengan berbagai organisasi Keluarga Besar TNI menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan, (8) penempatan pembinaan organisasi Korpri TNI kembali dalam fungsi pembinaan personel, (9) perumusan konsepsi refungsionalisasi dan restrukturusasi teritorial seagai fungsi pemerintahan, (10) membuka manajemen badan usaha yang bernaung di bawah berbagai yayasan TNI terhadap transparansi, profesionalisme manajemen berdasarkan kaidah manajemen professional badan usaha yang menganut transparansi; (11) meningkatkan pemahaman sadar hukum dan hak asasi manusia kepada prajurit secara keseluruhan, (12) penghapusan F-TNI/Polri dari DPR dan DPRD, dan (13) memandang masalah kebangsaan dari pendekatan peran TNI dan kewenangan sebagai instrumen pertahanan nasional.

Langkah-langkah yang Telah Dilaksanakan dalam Reformasi TNI

Sampai dengan tanggal 1 Februari 2005 langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam rangka reformasi TNI adalah:

1. Merumuskan Paradigma Baru Peran TNI sebagai rujukan reformasi TNI yang didasarkan kepada kaidah demokrasi.

2. Pemisahan Polri dari ABRI (dan kemudian ABRI menjelma menjadi TNI) terhitung mulai tanggal 1 April 1999.

3. Penghapusan Doktrin kekaryaan ABRI dengan menarik seluruh pejabat militer aktif dari jabatan sipil yang tidak memerlukan kompetensi pertahanan, dan seluruh perangkat aparat Dewan Sosial Politik di tingkat pusat maupun daerah.

4. Pemutusan hubungan militer politik dengan Partai Golongan Karya dan penarikan diri dari keterlibatan dalam politik praktis yang mencampuri urusan partai politik.

5. Penataan kembali hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI) Korpri dengan menempatkan KBT dan Korpri dalam fungsi personil dan tidak lagi menempatkan KBT dan Korpri dalam fungsi sosial politik untuk mendukung Partai Golongan Karya.

6. Penghapusan institusi sosial politik pada semua tingkatan dan penghapusan jabatan kepala staf teritorial TNI.

7. Penghapusan lembaga Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional di pusat dan di daerah.

26

Page 69: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

8. Penegasan bahwa calon dengan latar belakang TNI yang mengikuti pemilihan pejabat publik harus dalam keadaan lepas dari dinas aktif TNI, dan mengajukan diri atas nama perseorangan yang tidak dikaitkan dengan TNI sebagai institusi.

9. Penghapusan Fraksi TNI/Polri dari Dewan Perwakilan Rakyat di pusat maupun di daerah serta Majelis Permusyawaratan Rakyat.

10. Perumusan penyesuaian peran dan kewenangan komando teritorial yang dibatasi dalam fungsi pertahanan operasional yang tidak menjangkau menangani sumberdaya nasional.

11. Penerapan akuntabilitas publik terhadap badan usaha militer di bawah yayasan milik TNI sebagai langkah awal reformasi badan usaha militer sesuai dengan Undang Undang TNI.

Hubungan Sipil-Militer di Indonesia

Reformasi TNI sebenarnya pada akhirnya bisa tidak merubah wujud fisik peran yang dapat dilaksanakan oleh TNI. TNI sebagai aset bangsa dapat didayagunakan dalam bentuk peran apapun guna menunjang kepentingan nasional. Dalam wujud konkrit peran yang dapat dilaksanakan TNI mungkin tidak berbeda dengan peran yang dilaksanakan oleh TNI sebelum reformasi, misalnya dalam berbagai bentuk civic mission seperti penanggulangan akibat bencana alam, pembangunan sarana fisik, pendidikan dll. Hal yang membedakan dalam peran yang dapat dilaksanakan TNI antara keadaan sebelum reformasi dan setelah reformasi adalah dalam hal prosedur. Dalam keadaaan sebelum reformasi TNI praktis dapat menentukan sendiri tindakan yang harus diambil serta menentukan kebijakan yang bersifat nasional, terkadang politik seperti ancaman nasional, banyak memasuki wilayah politik luar negeri atau kebijakan tentang masalah politik dengan anggapan tindakan dan hal tersebut adalah keputusan terbaik bagi bangsa, dan TNI adalah penjaga bangsa. Dalam masa purna reformasi, TNI dapat digunakan dalam peran apapun untuk mendukung kepentingan nasional, namun tindakan apapun yang dapat dilakukan oleh TNI harus didasarkan kepada keputusan politik yang dibuat oleh institusi otoritas politik nasional, dalam hal ini Presiden. Tidak lagi TNI dapat memutuskan sendiri secara sepihak apa yang dianggap keputusan terbaik bagi bangsa, karena TNI tidak memiliki otoritas politik untuk membuat keputusan politik. TNI tidak mempunyai akuntabilitas politik langsung terhadap rakyat karena Panglima TNI tidak dipilih oleh rakyat. Kaidah demokrasi menentukan bahwa akuntabilitas politik dimiliki

27

Page 70: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

oleh pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, sedangkan TNI merupakan alat di tangan Presiden.

Keadaan ini menentukan pembagian kewenangan yang tegas antara lapis otoritas politik yang dipegang oleh Presiden sebagai pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, dan TNI sebagai instrumen kekuatan nasional yang berada pada lapis institusi pelaksana profesional. Otoritas politik akan menentukan (1) bilamana TNI akan digunakan, (2) untuk tujuan apa TNI dikerahkan, (3) pada tingkat kekerasan bagaimana TNI melaksanakan tugasnya, dan (4) ke arah mana TNI dibangun dan dikembangkan sebagai pelaku fungsional pertahanan nasional. Di sisi lain TNI mempunyai tugas untuk (1) membina dan membangun kekuatan pertahanan nasional sesuai dengan kebijakan nasional, (2) menyelenggarakan operasi militer dan kegiatan lain sesuai dengan keputusan politik, dan (3) menentukan cara atau strategi yang disepakati otoritas politik guna pencapaian tujuan politik.

Dari alur pikir yang merujuk kepada kaidah demokrasi di atas, diperlukan adanya ketegasan dalam berbagai pengertian yang digunakan dalam penyelenggaraan fungsi pertahanan oleh pemerintah. Pertama, dapat dinyatakan bahwa penentuan peran pertahanan bagi TNI bukan merupakan ketentuan mati sehingga diartikan TNI tidak dapat digunakan dalam peran lain selain pertahanan. Penentuan peran pertahanan bagi TNI merupakan penentuan kompetensi utama (core competence) agar TNI dapat menentukan fokus bagi penentuan skala prioritas dalam pembangunan kemampuannya di tengah keadaan sumber daya yang terbatas. Pada sisi lain, pertahanan pada prinsipnya diartikan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa terhadap ancaman militer dari luar negeri. Gangguan dari dalam negeri, betapapun dapat dikatakan sebagai ancaman, pada dasarnya merupakan tindakan pelanggaran hukum yang direspon dengan tindakan penegakan dan penindakan hukum, melalu pengerahan institusi fungsional penegak hukum, termasuk polisi. Namun TNI dapat dikerahkan memasuki wilayah keamanan dalam negeri berdasarkan keputusan politik Presiden.

Tidaklah pula produktif untuk mencoba memasangkan ancaman apa harus dihadapi oleh institusi mana, karena kaidah demokrasi tidak menjanjikan benar atau salahnya sebuah kebijakan. Kaidah demokrasi mempersoalkan sah atau tidaknya sebuah keputusan, ditinjau dari proses pengambilan keputusan bagi kebijakan tersebut. Benar atau tidaknya kebijakan tersebut akan merupakan isu politik yang dibahas melalui sistem kontrol dan checks and balances antara kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dan publik. Oleh karenanya, penting

28

Page 71: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

di sini untuk menempatkan TNI sebagai instrumen pertahanan nasional yang profesional, agar tidak ikut menentukan keputusan politik (kecuali melalui saran profesional), dan setiap ketentuan tugas yang harus dilaksanakan TNI tidak mengandung isu politik. Sebaliknya akuntabilitas politik diletakkan kepada Presiden, bukan kepada TNI.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa reformasi TNI tidak dapat diserahkan dan dituntut kepada TNI saja, karena sebagai konsekuensi memasuki tatanan demokrasi, kekuasaan politik untuk menentukan kebijakan nasional telah berada pada elit politik pejabat publik yang dipilih oleh rakyat, termasuk kebijakan tentang fungsi pertahanan untuk menentukan struktur postur pertahanan, dengan melihat posisi dan peran TNI sebagaimana telah ditentukan oleh konstitusi. Reformasi TNI merupakan proses dua arah kesepahaman antara TNI dan otoritas politik untuk memahami kewenangan masing-masing dan saling menghargai kewenangan satu sama lain. TNI perlu menyadari menempatkan dirinya pada posisi yang senantiasa tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, menghargai dan tunduk kepada otoritas dan kontrol sipil serta tidak memasuki wilayah kegiatan politik. Politisi sipil, sebaliknya memerlukan kepahaman tentang masalah pertahanan dan kultur militer, tidak menggunakan TNI bagi kepentingan partisan dan dukungan kekuasaannya dan mendukung penyelenggaraan fungsi pertahanan melalui alokasi anggaran yang sepadan dengan tugas yang diberikan kepada TNI.

Pengesahan UU TNI oleh DPR merupakan langkah maju dalam proses reformasi TNI. Disadari bahwa wujud UU TNI tersebut masih jauh dari sempurna dan banyak mengandung ‘wilayah abu-abu’ dalam berbagai istilah dan pengertian yang digunakan. Disadari bahwa proses pengesahan UU TNI tersebut merupakan sebuah proses kompromi politik. Namun kemajuan dapat dilihat dari bentuk UU TNI yang disahkan telah jauh berubah dari rancangan yang diajukan oleh pemerintah Megawati yang bersifat konservatif. UU TNI pada sisi positif, telah memuat beberapa materi progresif seperti perlunya Panglima TNI berada dalam Depertemen Pertahanan, penentuan reformasi badan usaha militer dalam kurun waktu 5 tahun sampai dengan 2009 serta penghapusan penggunaan istilah teritorial. Namun sebaliknya hal-hal yang positif tersebut belum diganti dengan ketentuan yang bersifat mengatur kewenangan secara definitif sebagaimana layaknya isi sebuah undang undang. Hal ini dapat menyebabkan kembali multitafsir yang dapat dimanfaatkan bagi pemikiran konservatif dan dapat menghambat gerak maju jalannya reformasi TNI. Kalau dipertanyakan mengapa reformasi TNI mengalami pelambatan

29

Page 72: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dibandingkan hasil yang telah dicapai dalam kurun waktu 1998 – 2002, kiranya dapat dikatakan bahwa belum ada kemauan dan komitmen yang ditujukkan oleh otoritas sipil untuk mereformasi TNI. Apabila kita mengadakan kilas balik dalam sejarah bahkan hingga menjangkau masa reformasi saat ini, kita melihat setiap kali bangsa ini memiliki kesempatan memasuki proses demokratisasi, terdapat kecenderungan bahwa kaum elit politik selalu mencoba menarik TNI mendukung kekuasaannya, sekaligus berarti mengundang TNI memasuki wilayah politik, seolah politisi sipil menggunakan standar ganda bahwa “Dwifungsi itu buruk bila saya tidak didukung, bahkan menjadi korban kekuasaan TNI, tetapi Dwifungsi perlu dan baik, bila kekuasaan saya mendapat dukungan politik TNI”. Bencana alam di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 juga telah menunjukkan betapa publik masih ambivalen terhadap TNI. TNI seolah diharapkan punya kewenangan penuh untuk bertindak otomatis ketika kita berhadapan dengan ketidakberdayaan, tanpa menyadari bahwa dengan mengambil sikap seperti itu kita seperti menempatkan TNI sebagai negara dalam negara dan kembali ke masa Dwifungsi.

Pending Issues (Masalah yang Belum Terselesaikan)

Wajar bila di tengah masa transisi terdapat persepsi dan pendapat yang ambivalen. Namun kewajaran ambivalen itu bukan untuk diterima sebagai kenyataan dan dibiarkan begitu saja. Masa transisi memerlukan proses pembelajaran guna akhirnya kita dapat menentukan arah sebagai upaya jalan keluar ke masa depan. Salah satu bentuk ambivalensi dalam masa transisi sekarang ini adalah masih adanya pemberian pengertian secara kurang tepat pada istilah-istilah yang terdapat pada doktrin dan pelaksanaan peran TNI. Masalahnya penentuan definisi terhadap beberapa istilah masih didasarkan kepada konteks peran TNI masa lalu tanpa mampu menyentuh tingkat hakikat arti sesungguhnya. Beberapa pengertian yang dimaksud antara lain:

a. Kemanunggalan TNI - Rakyat

Doktrin kemanunggalan TNI – rakyat merupakan hal yang wajar muncul pada tentara yang berasal dari tentara pejuang merebut kemerdekaan. Jiwa dan semangat doktrin inipun sebenarnya tidak akan pernah pudar dan tetap diperlukan setiap saat. Doktrin ini diperlukan agar prajurit TNI tetap dekat dan tidak meninggalkan rakyat sebagai kekuatan bangsa ketika harus melawan kekuatan yang dapat mengancam kelangsungan hidup. Namun hal yang harus diingat adalah bahwa doktrin ini harus mengisi jiwa prajurit dan diperuntukkan bagi prajurit secara perseorangan.

30

Page 73: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

Kesalahan kita di masa lalu adalah menempatkan doktrin kemanunggalan TNI – rakyat pada tingkat dan lingkup institusional seolah-olah TNI mempunyai monopoli atas rakyat dibandingkan dengan komponen bangsa lainnya. Panglima TNI tidak mempunyai garis langsung yang menghubungkannya dengan rakyat, karena Panglima TNI tidak dipilih oleh rakyat. Panglima TNI mempunyai garis institusional dengan rakyat melalui Presiden, karena Presiden yang dipilih oleh rakyat, sedangkan Panglima TNI adalah pembantu yang diangkat Presiden.

b. Fungsi Teritorial

Fungsi teritorial pada hakikatnya merupakan fungsi pengelolaan sumber daya nasional guna didayagunakan untuk mendukung upaya pertahanan. Ditinjau dari pengertian ini, maka fungsi teritorial sesungguhnya merupakan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh institusi fungsional mengikuti bentuk pemerintahan. Fungsi teritorial diselenggarakan oleh TNI karena kita mewarisi tatanan dari kondisi yang berlaku di masa lalu, yang pada hakikatnya berasal dari tatanan keadaan darurat bahkan tatanan pemerintahan gerilya dari masa perjuangan merebut kemerdekaan ketika pemerintahan berbentuk pemerintahan darurat militer. Pada masa itu pengelolaan sumber daya nasional diselenggarakan oleh TNI sebagai pelaksana dari pemerintahan darurat militer. Di masa damai (tertib sipil) dan darurat sipil dimana pemerintahan berbentuk pemerintahan sipil, maka fungsi pengelolaan sumber daya nasional diselenggarakan oleh institusi fungsional (sipil). Dalam keadaan darurat militer dan perang (bila merujuk kepada UURI/Prp No. 23/1959) mengikuti bentuk pemerintahan darurat militer dan perang, fungsi pengelolaan sumber daya nasional diselenggarakan oleh TNI yang dikenal sebagai fungsi teritorial.

c. Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)

Sishankamrata pada dasarnya merupakan perwujudan dari pengerahan totalitas potensi dan sumber daya bangsa untuk dihadapkan kepada kekuatan yang mengancam kelangsungan hidup bangsa. Kondisi ini merupakan keadaan yang umum terjadi pada bangsa manapun ketika kelangsungan hidup bangsa itu terancam. Doktrin seperti ini dikenal dengan kaidah ‘total defence’ atau ‘pertahanan menyeluruh’ atau pertahanan semesta. Dalam masa perang (merebut) kemerdekaan. Ketika kita belum mampu mengubah sumber daya nasional yang ada yang masih merupakan potensi menjadi kekuatan pertahanan, kita hanya memiliki rakyat sebagai kekuatan pertahanan yang siap pakai. Dalam keadaan perang melawan

31

Page 74: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

penjajah dari luar, ditambah dengan pertimbangan politis ketika itu sehingga pertahanan menyatu dengan keamanan, maka muncul wujud sistem pertahanan rakyat semesta. Tantangan yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana mewujudkan hakikat Sishankamrata dalam sebuah negara modern dan demokratis. Setelah kita mampu menyelenggarakan program pembangunan yang mengolah sumber daya sebagai potensi menjadi kekuatan nasional, maka sudah seharusnya kesemestaan tidak terbatas kepada tenaga dan kekuatan rakyat saja, tetapi mampu mencakup seluruh lingkup potensi nasional yang kita miliki seperti infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya. Sisi lain dari kemajuan yang telah dicapai bangsa adalah persyaratan bahwa pendayagunaan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan harus dapat diwakili dalam sistem nasional melalui sistem cadangan, sistem mobilisasi dan demobilisasi, sistem militer sukarela dan wajib dll.

d. Berbagai istilah yang digunakan dalam menentukan peran TNI seperti TNI adalah penjaga keutuhan wilayah nasional, TNI adalah penjaga persatuan dan kesatuan bangsa dll. Yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa peran apapun yang diberikan kepada TNI harus memenuhi persyaratan:

1) Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang undang kepada TNI.

2) Tidak dilakukan secara otomatis oleh TNI, tetapi didasarkan kepada keputusan politik yang dibuat oleh otoritas politik.

Dapat dinyatakan sebagai contoh, bahkan untuk berperang menghadapi musuh serangan militer dari luar negeri, perlu didahului oleh pernyataan perang yang dikeluarkan oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. TNI hadir di bawah kekuasaan presiden, TNI tidak berada di luar kekuasaan presiden.

Periksa lampiran untuk melihat perbandingan antara dua cara pandang yang berasal dari cara pandang menempatkan TNI sebagai instrumen pertahanan dan bagian dari sistem demokrasi dengan cara pandang yang menempatkan TNI dalam peran penjaga bangsa (guardian of the nation) seperti masa lalu dalam Doktrin Dwifungsi.

Penutup

Pada akhirnya reformasi TNI pada hakikatnya merupakan penempatan peran dan kewenangan TNI sesuai dengan kaidah demokrasi dan amanat

32

Page 75: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

konstitusi, untuk memberi jaminan hukum kepada prajurit TNI ketika bertugas di lapangan. Reformasi TNI juga akan ditentukan oleh proses dua arah antara kebijakan nasional pada lapis otoritas politik beserta segenap perangkat politiknya serta kesadaran dan pemahaman elit pimpinan TNI untuk menyadari akan peran dan posisi militer sebagai bagian dari sistem politik demokratis. Oleh karenanya, perkembangan reformasi TNI ke masa depan akan sangat ditentukan oleh visi, kemauan politik dan komitmen pemerintah untuk mereformasi TNI.

33

Page 76: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k34

REFORMASI KEPOLISIAN1

Dr. Makmur Keliat2

Pendahuluan

Reformasi kepolisian merupakan bagian integral dari reformasi sektor keamanan di Indonesia. Perkembangan reformasi kepolisian telah menunjukkan perkembangan yang pesat dalam lima tahun terakhir. Terdapat tiga indikator yang menunjukkan perkembangan itu.

Pertama, pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari TNI melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000. dan penetapan tugas dan fungsi kedua institusi tersebut dalam TAP MPR No.VII/MPR/2000. Pemisahan Polri dari TNI memperlihatkan adanya harapan dan keinginan bahwa Polri di masa depan tidak lagi akan memiliki karakter militeristik dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Kedua, pemisahan itu juga diiringi adanya ketentuan bahwa baik polisi maupun TNI tidak lagi memiliki perwakili di lembaga legislatif . Ketentuan ini menyampaikan pesan bahwa Polri tidak lagi terlibat dalam kehidupan politik dan sekaligus diharapkan dapat memperkuat proses

1Makalah disampaikan pada Pelatihan “Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Indonesia” ke-II, diselenggarakan oleh Imparsial-INFID-Kontras, Wisma Hijau, Mekarsari, Depok, 11-14 September 2006. Makalah ini juga pernah disampaikan pada ”Workshop Reformasi Kepolisian untuk Aceh”, kerjasama Imparsial-Polda NAD-PTIK, Banda Aceh, Seri I, 3-7 April 2006, Seri II, 17-21 April 2006.

2Staf pengajar FISIP Universitas Indonesia.

Page 77: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i 35

demokratisasi yang tengah berlangsung di masyarakat. Ketiga, kehadiran UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keluarnya UU ini membawa konsekuensi penghapusan UU No. 28 tahun 1997 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. UU No 2 tahun 2002 secara jelas menyebutkan bahwa polisi tidak lagi terlibat dalam fungsi pertahanan.

Sebagai rentetan dari tiga perkembangan di atas, telah terdapat pula upaya untuk melanjutkan dan memperkuat reformasi kepolisian melalui kehadiran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Landasan hukum dari Kompolnas ini terdapat pada pasal 37 UU No.2 tahun 2002 yang menyebutkan adanya Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut dengan istilah Komisi Kepolisian Nasional. Dalam pasal berikutnya (pasal 38 ayat 1) UU No. 2 tahun 2002 itu menyebutkan bahwa tugas Kompolnas itu adalah membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan memberikan pertimbangan kepada presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Selanjutnya pasal 38 ayat 2 menyebutkan bahwa komisi ini memiliki wewenang mengumpulkan dan menganalisis data tentang anggaran, sumber daya manusia, dan sarana dan prasarana Polri, memberi saran kepada Presiden dan menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian serta menyampaikannya kepada presiden. Pasal 37 ayat 2 menyebutkan bahwa KKN itu dibentuk oleh Keputusan Presiden. Atas dasar mandat UU ini (terutama pasal 37, 38 dan 39), Presiden telah pula mengeluarkan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional.

Polisi sebagai Institusi

Meski demikian, perkembangan ini tampaknya masih perlu pula diiringi dengan beberapa langkah lanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas reformasi kepolisian itu. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan upaya peningkatan kualitas reformasi itu pada tiga parameter yaitu pada sruktur organisasi, fungsi dan legitimasi polisi. Namun sebelum membahas ketiga parameter itu, tampaknya perlu untuk membedakan terlebih dahulu pengertian polisi (police) sebagai institusi dan polisi sebagai suatu proses (policing). Polisi sebagai suatu proses (pemolisian) merujuk pada pengertian proses untuk mencegah dan mendeteksi kejahatan (crime) dan memelihara ketertiban (maintaining order). Proses untuk melakukan kegiatan semacam ini dapat melibatkan sejumlah lembaga (agencies) atau individu. Individu dapat terlibat tindakan pemolisian, khususnya para korban, sejauh mereka

Page 78: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k36

melaporkan kejahatan-kejahatan kepada pemegang otoritas dan membantu mengidentifikasikan pelakunya. Demikian juga halnya, lembaga-lembaga lainnya, baik LSM maupun nonpemerintah lainnya, dapat terlibat dalam tindakan pemolisian, misalnya melalui kesepakatan untuk melestarikan norma-norma ketertiban pada tataran komunitas. Dari pemahaman semacam ini, polisi hanyalah salah satu dari aktivitas untuk melakukan proses pemolisian.

Di sisi lain, pengertian polisi sebagai institusi memiliki perbedaan dengan polisi sebagai proses. Sebagai institusi, polisi memang diberikan tanggung jawab untuk memberikan beragam pelayanan (range of services). Namun, seperti yang nantinya dipaparkan, pelayanan apa yang harus dan layak diberikan oleh polisi masih merupakan perdebatan dan juga merupakan isu-isu utama dalam setiap pembahasan tentang polisi. Dalam kaitannya dengan pertemuan kita pada hari ini, pembahasan tentang tiga parameter dalam tulisan ini berangkat dari pengertian polisi sebagai institusi atau lembaga dan bukan dari pengertian polisi sebagai suatu proses. Sekarang marilah kita menguraikan dengan lebih rinci tentang ketiga parameter itu.

Parameter struktur organisasi merujuk pada pengertian bahwa polisi adalah suatu kekuatan paksa fisik yang terorganisir (organized force) yang memiliki derajat spesialisasi tertentu dan yang memiliki suatu aturan perilaku (code of practice) sebagai dasar bagi penggunaan kekuatan paksa fisik yang sah. Dengan kata lain, sebagai institusi, polisi tidak dibenarkan menerapkan paksa fisiknya secara tidak teroganisir. Ciri pengorganisasian paksa fisik ini yang membedakan tindakan kekarasan yang diadakan oleh polisi dengan yang bukan oleh polisi. Sementara itu legitimasi merujuk pada pengertian bahwa polisi sebagai suatu lembaga diberikan derajat monopoli tertentu di dalam masyarakat oleh pemegang kekuasaan untuk melakukan tugasnya. Sedangkan fungsi merujuk pada pengertian peran polisi dipusatkan pada pemeliharaan hukum (maintenance of law) dan pencegahan serta pendeteksian pelanggar hukum.

Parameter Struktur Organisasi

Dalam kaitannya dengan parameter struktur organisasi terdapat satu pertanyaan yang perlu dilontarkan yaitu bagaimanakah hubungan antara struktur organisasi polisi dan otonomi daerah di masa depan? Ada dua alasan utama mengapa kita perlu membahas tentang hubungan ini. Alasan pertama terkait dengan kehadiran UU Kepolisian Negara RI. No.2 tahun 2002. Seperti yang kita ketahui, pasal-pasal yang terdapat dalam UU ini berikut penjelasannya

Page 79: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i 37

sama sekali tidak menyebutkan adanya kemungkinan bagi Indonesia untuk memiliki polisi lokal. Undang Undang ini hanya mengakui adanya sebutan polisi nasional. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa pasal berikut.

Pasal 5 ayat 2 berbunyi: ”Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1”. Adapun bunyi dari ayat satu itu ”Kepolisian negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Menurut pengamat kepolisian dari kalangan polisi, seperti Momo Kelana, pasal 5 ayat 2 ini mengandung makna bahwa Kepolisian Negara RI yang ada di tingkat wilayah (Polda, Polwil, Polres, dan Polsek) bukan merupakan perangkat pemerintah daerah. Demikian juga halnya pasal 10 dari UU tersebut yang berbunyi: ”Pimpinan Polri bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian secara hirarkis.” Penulis yang sama, Momo Kelana, memaknakan pasal 10 ini dalam pengertian bahwa hubungan antara Kapolri dengan kepala kesatuan wilayah bersifat ”desentralisasi administratif ”, yang intinya adalah pelimpahan wewenang dari Kapolri kepada para kepala satuan kewilayahan Polri sebagai perangkat kepolisian nasional di daerah.

Alasan kedua terkait dengan kehadiran Undang Undang Pemerintahan Daerah No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 13 dan 14 dari UU ini, masing-masing pada ayat c, menyebutkan bahwa ”baik pemerintah daerah tingkat satu maupun tingkat dua (Kabupaten dan Kota) memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan kententraman masyarakat”. Selanjutnya pada pasal 27 ayat c dalam UU yang sama disebutkan bahwa ”kepala daerah dan wakil kepala daerah memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat”.

Dua undang-undang ini menyampaikan empat hal yang perlu untuk kita cermati dan diskusikan. Pertama, baik pemerintah daerah maupun polisi di daerah memiliki kewenangan yang tumpang tindih untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang terkait dengan ketertiban masyarakat. Kedua, jika polisi di daerah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya itu bertanggungjawab kepada Kepolisian Nasional, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, DPRD, dan masyarakat (lihat pasal 27 ayat 2 UU Pemerintahan Daerah). Dengan rumusan berbeda kita juga bisa menyatakan bahwa pemerintah daerah dan polisi memiliki fungsi yang sama tetapi struktur

Page 80: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k38

dan proses akuntabilitasnya berbeda. Jika pemerintah daerah hadir sebagai bagian dari struktur pemerintah nasional yang terdesentralisir, dengan proses akuntabilitas horizontal maupun vertikal, maka polisi daerah hadir sebagai bagian dari struktur pemerintah yang tersentralisir dengan proses akuntabilitas yang bersifat vertikal.

Ketiga, keadaan struktur dan proses akuntabilitas pemerintah daerah dan polisi yang sudah dijelaskan di atas menciptakan suatu lingkungan kerja yang rumit baik bagi pemerintah daerah dan juga bagi kepala daerah itu sendiri. Ia berada dalam lingkungan yang tidak memungkinkannya untuk menggunakan instrumen sesuai mandat yang telah diberikan UU Pemerintahan Daerah melalui Pasal 13, 14, dan 27, yaitu untuk menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Polisi sebagai instrumen yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini tidak berada di bawah kendali maupun bertanggung jawab kepada pemerintahan daerah dan kepala daerah.

Keempat, selain akibat dari poin ketiga di atas, akan terdapat kesulitan yang besar untuk melakukan kordinasi pada tingkat lapangan antara pemerintah daerah dan polisi daerah untuk bekerja secara sinergis merespon ancaman atau potensi ancaman keamanan yang terjadi di daerah. Di lain pihak, sebagaimana diungkapkan baru-baru ini oleh mantan Kapolri Chaeruddin Ismail, dalam beberapa kasus pemerintah daerah telah mendanai sebagian biaya operasional polisi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan daerah telah mulai bergerak untuk memperkuat kapasitas instutional polisi di daerah. Dengan demikian pemerintahan daerah, di satu sisi sudah mulai bertanggungjawab terhadap pendanaan polisi di tingkat wilayah, namun di sisi lain, ironisnya belum memiliki kewenangan dan kontrol yang penuh dan efektif terhadap polisi.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, kini telah terdapat usulan untuk menempatkan polisi sebagai bagian dari proses desentralisasi yang kini tengah berlangsung. Usulan ini dipandang sebagai alternatif yang sulit dielakkan untuk mewujudkan keamanan daerah. Masalah ini menjadi nyata dengan keadaan geografis Indonesia yang luas dan bersifat kepulauan. Kenyataan menunjukkan bahwa hanya negara-negara kecil dengan luas geografis yang sempit yang menerapkan pengorganisasian polisi yang sentralistik. Jepang, Singapura, Thailand, Sri Lanka, adalah contoh-contoh negara yang memiliki organisasi polisi tersentralistis. Negara-negara ini menerapkan model pemolisian Eropa Kontinental, mengikuti model pemolisian yang diterapkan Jerman dan Perancis. Sementara negara yang luas seperti AS, Australia, dan Canada menerapkan model pemolisian terdesentralisasi (bahkan terfragmentasi untuk

Page 81: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

AS) atau model Anglo-Saxon, mengikuti model pemolisian yang diterapkan Inggris.

Namun, usulan ini tidak serta merta dapat diterima oleh berbagai kalangan. Seorang pengamat polisi lainnya, seperti Farouk Muhammad, memperingatkan bahwa proses ini bukannya tidak memiliki konsekuensi. Menurutnya keberadaan polisi di bawah kepemimpinan pemerintah daerah dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi sebagai instrumen pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan politik pemerintah daerah. Namun terlepas dari debat pro dan kontra ini, kita perlu mencatat fakta bahwa hampir tidak ada negara yang menerapkan organisasi polisi yang murni terdesentralisasi atau tersentralisasi. Karena itu yang perlu dicari adalah menemukan titik tengahnya dan harus dirancang dengan langkah-langkah yang terencana dengan baik.

Ada dua alternatif pemikiran yang sejauh ini dapat dimunculkan untuk mencari titik tengah tersebut. Alternatif pertama adalah dengan mempertahankan struktur organisasi polisi yang ada sekarang namun dengan melakukan modifikasi pada pertanggungjawabannya di tingkat daerah. Di dalam kerangka pemikiran seperti ini struktur organisasi polisi di daerah diharapkan juga akan bertanggungjawab kepada DPRD, Kepala Daerah, publik, dan (bila ada) Komisi Kepolisian di tingkat daerah. Jika alternatif ini dipakai maka pemenuhan sebagian dari pendanaan polisi di daerah seperti yang sudah terjadi saat ini dapat menemukan landasan hukum yang lebih kokoh.

Alternatif kedua adalah dengan membentuk struktur organisasi polisi yang terfragmentasi. Dalam kerangka pemikiran seperti ini di samping struktur polisi nasional maka dipandang pula perlu untuk membentuk struktur polisi lokal yang berjalan paralel dengan keberadaan polisi nasional. Polisi lokal ini akan sepenuhnya dikendalikan, didanai oleh dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah. Tanggung jawab polisi lokal ini juga nantinya juga tediversifikasi yaitu kepada pemerintah daerah, DPRD, publik. Kapolri, dalam struktur organisasi polisi seperti ini, tidak dapat mengurusi masalah operasional polisi lokal. Di luar dua alternatif yang sudah muncul ini, tentu saja kita masih perlu mencari alternatif-alternatif lainnya.

Parameter Fungsi

Dalam kaitannya dengan parameter kedua ini, pertanyaan yang patut dilontarkan adalah fungsi apakah yang sebaiknya dijalankan oleh polisi

39

Page 82: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

sebagai institusi? Apakah polisi perlu untuk tidak sekadar melaksanakan fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban (maintenance of law and order)? Ada dua alasan utama mengapa pertanyaan ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Pertama, polisi Indonesia secara legal-formal tidak sekadar menjalankan fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban seperti yang biasanya dikenal melekat dalam institusi polisi. Kalau kita merujuk pada pasal 2 UU Kepolisian Negara No.2 tahun 2002, jelas disebutkan bahwa di samping fungsi pemeliharaan hukum dan ketertiban itu, polisi Indonesia juga diharapkan menjalankan fungsi pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kedua, adanya keraguan terhadap efektivitas polisi untuk melaksanakan keseluruhan fungsi-fungsi itu. Dalam pandangan sekilas memang tidak terdapat masalah serius dengan pelaksanaan fungsi-fungsi semacam itu. Namun jika kita melakukan analisis lebih dalam, ada beberapa pertanyaan yang patut dilontarkan. Apakah polisi Indonesia memiliki kapasitas kelembagaan yang memadai untuk menjalankan seluruh fungsi yang dimandatkan UU No. 2 tahun 2002 itu itu secara efektif? Bukankah lebih baik bagi polisi Indonesia untuk hanya memfokuskan fungsinya pada pemeliharaan hukum dan ketertiban? Terlebih lagi bukankah persoalan paling besar yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan bagaimana mewujudkan pemiliharaan hukum dan ketertiban? Inti dari seluruh pertanyaan ini terletak pada adanya keyakinan bahwa institusi yang moderen biasanya adalah institusi yang memiliki spesialisasi fungsi.

Ada dugaan bahwa pencantuman fungsi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat itu terkait dengan tujuan tertentu. Tujuan tersebut terkait dengan upaya untuk menciptakan citra polisi yang lebih dekat dengan masyarakat. Meski demikian, ada juga pandangan yang meragukan apakah tujuan ini akan dapat tercapai. Menurut pandangan ini pembentukan citra polisi itu ini sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh perilaku polisi di lapangan. Menurut mereka, realitas menentukan citra dan bukan sebaliknya. Di samping itu terdapat juga kekhawatiran bahwa justru dengan menjalankan fungsi pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat itu, polisi mendapatkan landasan dan penguatan hukum untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar fungsi utamanya.

Sebagai misal terdapat kritikan bahwa kegiatan polisi dalam mengeluarkan surat izin mengemudi. Dalam kenyataan jelas terlihat dalam pandangan publik bahwa kegiatan-kegiatan semacam ini, walau dapat dikelompokkan sebagai kegiatan pelayanan terhadap publik, telah menghasilkan pendapatan sampingan bagi polisi. Demikian juga halnya atas nama pengayoman dan perlindungan

40

Page 83: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

masyarakat, polisi dapat digunakan untuk melakukan fungsi politik dari rejim yang berkuasa. Hal ini dulu terjadi di Uni Soviet dan masyarakat kolonial, dan juga di Cina hingga saat ini. Karena itu gagasan agar polisi Indonesia hanya memfokuskan pada pelaksanaan fungsi pemeliharan hukum dan ketertiban bukanlah tidak beralasan. Namun hal ini tidak mudah dilakukan. Kasus polisi di Inggris dan Eropa Kontinental barangkali telah memberikan insiprasi bagi para pendukung pandangan bahwa polisi tidak sekadar menjalankan dua fungsi tersebut.

Polisi di Inggis memang tidak hanya sekadar menjalankan fungsi sebagai pengendali dan pencegahan kejahatan (crime control and prevention) melalui kegiatan patroli yang tidak berseragam (uninformed patrol) maupun pemeliharaan ketertiban umum (public order maintenace). Polisi Inggis juga ditanamkan untuk memiliki citra sebagai institusi pemberi pelayanan dan bukan semata-mata sebagai institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan kekuatan paksa fisik. Fungsi polisi di Eropa Kontinental juga lebih menekankan pada tugas-tugas administratif dan politik. Misalnya melakukan pengontrolan paspor, regulasi bangunan, pengumpulan pajak dan bahkan melakukan pengumpulan data meteorologi.

Namun harus pula dicatat bahwa konteks ekonomi dan politik dari negara-negara di Eropa dan Inggris berbeda dengan Indonesia. Sumber dukungan finansial untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu kemungkinan jauh lebih besar daripada Indonesia. Demikian juga halnya, sistem politik demokratis yang mereka praktekkan jauh lebih mapan daripada Indonesia. Hal ini mengakibatkan terdapat sistem yang baik untuk mengelola tugas-tugas administratif tambahan yang diemban polisi sehingga tidak terjadi penyimpangan. Kemewahan semacam ini tentu saja belum dimiliki Indonesia saat ini. Krisis keuangan yang melanda negeri ini pada tahun 1998 bagaimanapun telah membatasi kemampuan seluruh institusi untuk menjalankan fungsinya secara efektif. Karena itu di bawah situasi semacam ini pertanyaan yang tampaknya perlu kita jawab bersama-sama adalah apakah memang lebih realistis bagi polisi di Indonesia untuk melaksanakan fungsi yang terbatas tetapi efektif daripada banyak fungsi tetapi tidak efektif?

Parameter Legitimasi

Mengapa perlu membicarakan parameter legitimasi polisi? Alasannya ada dua. Pertama, setiap lembaga negara harus diberikan derajat monopoli tertentu oleh pemegang kekuasaan untuk menjalankan tugasnya. Hal ini menjadi sangat

41

Page 84: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

penting bagi polisi karena dalam menjalankan fungsinya maka polisi sebagai institusi perlu mendapatkan mandat untuk menerapkan kekuatan paksa fisik yang terorganisir. Kedua, dalam negara demokratik seluruh lembaga negara harus memiliki akuntabilitas dalam menjalankan fungsinya itu. Ini berarti bahwa mandat yang diperoleh polisi untuk mengggunakan kekuatan paksa fisik itu harus disertai dengan pertanggungjawaban dan kegagalan untuk memberikan pertanggungjawaban itu harus disertai dengan hukuman.

Pada titik ini pertanyaannya kemudian adalah darimanakah polisi sebaiknya memperoleh mandat kekuasaaanya dan kepada siapakah polisi harus bertanggung jawab? Apakah pimpinan polisi harus bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan, elit politik di parlemen atau kepada kepada publik? Tidak ada jawaban yang pasti untuk ini. Praktek-praktek yang ada di Inggris, negara-negara Eropa Kontinental, negara-negara komunis maupun masyarakat kolonial menunjukkan bahwa terdapat variasi dalam memperoleh legitimasi itu maupun dalam memberikan pertanggungjawabannya.

Di Inggris misalnya, polisi di negeri tersebut memperoleh legitimasinya dari aturan hukum dan kesepakatan publik. Ada dua implikasi dari pengertian semacam ini. Pertama, kontrol terhadap kekuasaan polisi, termasuk regulasi-regulasi terhadap prosedur dan praktek harus dilakukan melalui pembuatan hukum. Kedua, adanya pertanggungjawaban polisi kepada publik. Meski demikian, ada dua interpretasi dalam pertanggungjawabkan ini. Ada yang menyatakan medium pertanggunjawaban ini harus dilakukan melalui politisi terpilih baik pada tataran nasional maupun lokal. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban itu harus bersifat langsung kepada publik.

Sementara itu jika kita merujuk pada praktek umum yang ada negara-negara Eropa Kontinental, situasi yang sangat berbeda dapat kita temukan. Umumnya polisi di negara-negara Eropa Kontinental lebih terkait dengan pemerintah dan kurang bertanggung jawab pada publik dan hukum. Artinya polisi harus bertanggung jawab secara langsung kepada kepala negara (head of state). Situasi semacam ini mirip dengan polisi di masyarakat kolonial dimana polisi dalam menjalankan tugasnya memperoleh legitimasi dari pemerintah kolonial dan bukan dari penduduk yang dijajah. Tujuannya adalah untuk mempertahankan status quo rezim pemerintahan kolonial.

Yang sangat mencolok adalah dalam kasus polisi di bekas Uni Soviet dan Cina. Di kedua negara ini tidak dikenal adanya mekanisme legitimasi maupun pertanggungjawaban itu. Hal ini terutama disebabkan pengaruh partai

42

Page 85: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

D i n a m i k a P e r u b a h a n T N I - P o l r i

komunis yang sangat besar. Akibatnya polisi hampir tidak dapat dibedakan dari partai. Secara umum kita dapat menyatakan bahwa polisi menjadi instrumen partai dan anggota polisi sebagian juga menjadi anggota partai. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan polisi kerapkali berada di luar hukum dan hampir tidak memiliki akuntabilitas terhadap publik.

Kalau kita melihat polisi Indonesia ada satu hal menarik yang bisa kita catat. UU Kepolisian Negara (UU No.2 tahun 2002) tidak memuat aturan hukum yang secara spesifik mengatur soal legitimasi dan mekanisme pertanggungjawaban polisi secara berkala sebagai institusi di Indonesia. Memang terdapat aturan (pasal 11 ayat 1) yang menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, Namun pasal ini tidak dapat disebut sebagai pasal yang mengatur pertanggung- jawaban institusional, tetapi lebih merupakan aturan tentang pengangkatan pemberhentian Kapolri.

Kesan ini semakin menguat kalau kita merujuk pada pasal 10 UU itu yang menyatakan Kapolri merupakan pengemban tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hirarkis. Kata hirarkis disini kembali memperkuat kesan bahwa polisi Indonesia tidak diharapkan memberikan tanggung jawab institusional pada tingkat lokal dan masih merefleksikan karakter militeristik yang diwariskan dari masa sebelumnya. Untuk pengembangan demokrasi ke depan, proses pertanggungjawaban polisi semacam ini tampaknya perlu dibenahi. Idealnya di masa depan Indonesia perlu menciptakan mekanisme melalui mana polisi dapat memberikan pertanggungjawaban secara institusional dan reguler kepada publik dan lembaga perwakilan baik pada tingkat nasional maupun lokal.

Tujuannya ada dua. Pertama, pada tataran nasional adalah untuk membantah kritikan bahwa polisi Indonesia masih seperti polisi dalam masyarakat kolonial yang dapat digunakan untuk mendukung pemerintahan dan partai yang berkuasa. Kedua, pada tataran lokal, adalah untuk memperkuat proses otonomi daerah yang kini tengah berjalan. Hal ini tentu saja mensyaratkan perlunya perombakan terhadap struktur polisi yang memungkinkan kita untuk mengenal adanya istilah polisi lokal.

43

Page 86: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 87: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Bab II.Polemik konsep pertahanan-

keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Page 88: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 89: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

DEFENSE MAXIMA, POLICING REDUX, DAN “STRATEGI TERDIFERENSIASI” (DIFFERENTIATED STRATEGY)1

Kusnanto Anggoro2

Dalam dua dasawarsa belakangan ini sulit ditemukan teori-teori yang secara sempurna menjelaskan apa dan bagaimana fungsi, kedudukan dan peran instrumen koersif – intelijen, polisi, tentara -- dalam pengelolaan “keamanan nasional” (national security). Di negara-negara pasca-otoriter, ilmuwan politik lebih sibuk membicarakan tentang depolitisasi peran tentara. Para pecinta damai pada umumnya hanya memusatkan perhatiannya pada minimalisasi dampak tindak kekerasan; ilmuwan politik lebih risau tentang bagaimana membangun akuntabilitas institusi-institusi keamanan (security actors); para pengkaji masalah-masalah keamanan lebih tekun mendalami bagaimana intervensi dapat dilakukan untuk de-eskalasi konflik. Pelaku kebijakan menggunakan kombinasi-kombinasi itu untuk menentukan pilihan strategis. Karena itu tidak mengherankan jika solusi yang ditawarkan kerapkali sesuatu yang dirumuskan dengan istilah yang sangat baik, misalnya sudut pandang holistik, kebijakan komprehensif, dan strategi integratif. Bagi saya, kecenderungan semacam itu terdengar janggal. Dalam pengelolaan keamanan nasional, desekuritisasi (desecuritization) kebijakan dan pilihan tingkat koersi yang memadai (adequate response) menjadi frasa sekawan yang tak boleh dipisahkan. Karena itu, yang

1 Disajikan pada Seminar Nasional “Memperkuat Hubungan TNI-Polri Dalam Kerangka Keamanan Nasional”, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Peneliti Senior CSIS

45

Page 90: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

diperlukan justru sudut pandang spesifik, kebijakan terdiferensiasi, dan strategi sinegertik.3

***

Perkembangan kontemporer dalam studi strategi dan keamanan memperkenalkan berbagai konsep, misalnya keamanan menyeluruh (comprehensive security), keamanan bersama (common security), dan keamanan bekerjasama (cooperative security). Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Kerap kali konsep-konsep tersebut hanya lebih menonjolkan salah satu aspek saja dibanding yang lain. Kebaruan mereka, jika dibandingkan dengan konsepsi masa-masa sebelumnya, mungkin hanya terletak pada apa yang menjadi referent objects dan bagaimana kebutuhan atas keamanan dapat dipenuhi. Ketiga-tiganya percaya bahwa militer (senjata, tindak kekerasan) merupakan instrumen yang tidak lagi memadai untuk mencapai tujuan-tujuan keamanan.

Kecenderungan itu dapat disebut sebagai demiliterisasi masalah-masalah keamanan. Namun apa yang dimaksud dengan “keamanan” (security) pada kata-kata majemuk itu memang jauh lebih luas dari sekedar pertahanan (defence) dan perpolisian (policing), apalagi dengan sekedar instrumen pelaksana seperti tentara (TNI) dan polisi (Polri). Dalam pengertian sempit seperti ini tidak banyak yang ditawarkan oleh gagasan-gagasan baru, kecuali sekedar mengingatkan kembali bahwa penggunaan instrumen-instrumen seperti itu harus hanya merupakan bagian dari kebijakan yang lebih komprehensif. Di luar persoalan seperti itu, wilayah (berikut segala sesuatu yang berada di dalamnya) dan instrumen koersif (digunakan sebagai penyanggah, penangkal atau penindak) tetap merupakan dua faktor kunci dari keamanan nasional.4 Persoalan inti tidak berubah: mengapa, kapan, dan bagaimana kekuatan koersif itu dapat digunakan.

3 Kusnanto Anggoro, “Perkembangan Teknologi, [De]Eskalasi Konflik dan Dilema Pertahanan”, Discussion Paper (Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1999)

4 Persoalan lain jika demokrasi menuntut agar pengembangan, pengelolaan dan penggunaan tentara maupun polisi menjadi lebih bertanggungjawab, akuntabel, dan memperhatikan etika penggunaan Bagi saya, keamanan, sebagai fungsi utama negara, bukan merupakan antidote dari demokrasi. Mereka dapat berjalan seiring sejalan. Dengan demikian semakin kuatnya tuntutan demokratisasi seharusnya tidak perlu mengakibatkan kontraksi fungsi pertahanan dan/atau perpolisian. Dalam keadaan tertentu, sistem demokrasi dapat menggunakan instrumen koersif, sekalipun harus diatur secara ketat dan mematuhi berbagai ketentuan yang berlaku.

46

Page 91: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Seiring dengan perkembangan konseptualisasi keamanan, pemahaman atas ancaman juga mengalami perubahan. Ancaman bukan hanya dapat dilakukan oleh negara, tetapi juga non-negara. Selain itu, ancaman juga bersifat multi dimensional, mulai dari non-militer hingga militer (membawa konsekuensi kekerasan dan korban fisik); dan menampilkan diri dalam bentuk konflik sub-nasional, nasional, ataupun transnasional. Apa yang disebut sebagai ancaman menjadi sesuatu yang mengalami mutidimensionalisasi (multidimensionality of threats).

Persoalan yang merisaukan bukan karena ancaman-ancaman itu dapat mengarah pada setiap referent objects keamanan nasional, melainkan bagaimana menyusun strategi efektif dan instrumen yang memadai untuk menjawabnya. Tak usah diragukan, instrumen koersif hanya dapat digunakan sebagai pilihan terakhir, itupun pada tingkat secukupnya, setelah tak ada lagi celah tersisa untuk menempuh jalan damai. Penggunannya sekalipun harus pada tingkat yang penangkalan minimal (minimum deterrence), tidak perlu menggunakan compellence atau coercion. Bangunan akhir yang hendak dicapai tidak lebih dari sekedar non-provocative defense.5

Negara, seperti dimengerti oleh Weber sebagai pemegang monopoli atas kekuatan koersif, bukan penafsiran a moral “monopoli atas penggunaan kekerasan” seperti selama ini dirujuk, seakan-akan berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi mereka dituntut untuk memiliki kompetensi, selalu waspada dan dapat bertindak cekatan. Namun di sisi lain mereka juga diminta untuk tidak terburu-buru, gegabah, dan semena-mena -- sebagaimana lazim digambarkan dengan istilah “sekuritisasi” atau “de-sekuritisasi”. Perlu diingat bahwa tidak semua ancaman terhadap warganegara menjadi ancaman bagi negara; begitu pula sebaliknya, tidak setiap ancaman terhadap wibawa negara akan secara langsung menjadi ancaman terhadap keamanan individu atau kelompok. Sesuatu mungkin menjadi ancaman kedaulatan tanpa harus menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah dan/atau keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara tentatif, tabel-tabel dalam lampiran menunjukkan keharusan itu.

***

Di Indonesia, sejak awal keamanan dipahami tidak pernah hanya dalam kaitannya dengan ancaman militer tetapi juga non-militer (ideologi, politik,

5Kusnanto Anggoro, “Penangkalan Nuklir setelah Perang Dingin”, ed. Juwono Sudarsono et al, Hubungan Internasional Masa Kini (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996)

47

Page 92: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

sosial, ekonomi, budaya). Jauh-jauh hari Indonesia menganut prinsip minimum defence, sekedar untuk mempertahankan apa yang sudah dimiliki, tidak untuk ekspansi pengaruh. Jalan pedang, pecahing dada wutahing ludira, baru dilakukan ketika martabat terjamah,seperti dalam tamsil sadumukbathuk sanyari bumi. Ancaman sejak awal dirumuskan sebagai sesuatu terkait dengan intensitas, skala atau magnitude – sebagaimana terlihat dari istilah ancaman, hambatan, gangguan dan tantangan; dan, lebih dari itu, di berbagai kebijakan operasional telah kama dikenal istilah pencegahan dini, penangkalan (preventive, pre-emptive), dan penindakan. Semua itu seringkali muncul di sejumlah dokumen lama, khususnya sebelum Orde Baru menghapus jejak kebesaran dasamanawa dan menggantikannya dengan dwi-fungsi.

Kalau ada kekurangan tampaknya adalah bahwa semua itu tidak pernah muncul sebagai gagasan yang koheren. Istilah “pertahanan [dan] keamanan rakyat semesta” (hankamrata) menjadi atribusi untuk beberapa konsep, seperti terlihat dalam konsep hankamrata, sistem hankamrata, atau doktrin hankamrata. Tak heran jika oleh karenanya kerap terjadi seling surup antar generasi ketika memperbincangkan tentang bagaimana seharusnya tata perang digelar, prajurit dipersenjatai, dan irama tambur ditabuh mengiringi sepanjang jalan menuju palagan.

Wajar jika apa yang dimaksud dengan “keamanan nasional” hingga kini belum disepakati.6 Istilah keamanan pertahanan nasional pernah dipakai dalam Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 yang dimuat dalam Peperti No.169/1960. Istilah yang digunakan pada masa Orde Baru adalah ”pertahanan keamanan negara” yang kemudian menjadi ”pertahanan dan keamanan negara” setelah perubahan UUD 1945. Kedua-duanya menempatkan TNI dan Polri sebagai komponen utama berturut-turut dalam fungsi pertahanan dan keamanan dalam negeri. Dalam sejumlah pengaturan yang dilahirkan pada masa pasca-Orde Baru, istilah “keamanan” pada umumnya menjadi atribusi bagi “dalam negeri” (keamanan dalam negeri), “masyarakat” (keamanan dan ketertiban masyarakat), atau “negara” (keamanan negara).

Keamanan nasional masih menjadi istilah gaib. Tidak terlalu jelas apakah keamanan nasional merupakan penjumlahan dari pertahanan eksternal dan

6Kusnanto Anggoro, “Pertahanan dan Keamanan Negara pada Milleneum Ketiga”, Review Draft RUU Pertahanan Nasional, Jakarta: Departemen Pertahanan RI, 12 Juni 2000

48

Page 93: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

keamanan dalam negeri, atau identik dengan pertahanan keamanan negara, atau sekedar istilah lain dari pertahanan dan keamanan negara. UUD 1945 yang diamendemen cenderung pada yang disebut terakhir, tetapi hanya memberikan kepada Polri sebagian dari fungsi keamanan dalam negeri itu, khususnya yangterkait dengan keamanan dan ketertiban masyarakat. Akibatnya, menjadi perdebatan tak kunjung akhir apakah keamanan negara identik dengan keamanan dalam negeri.

Bahkan dalam sejumlah diskusi kerap menjadi perdebatan apakah “keamanan nasional” merupakan pendekatan untuk menyelesaikan masalah, dan oleh karenanya terdiferensiasi menjadi beberapa fungsi penyelenggaraan pemerintahan; atau justru merupakan ultima prima, sistem nasional yang kemudian didiferensiasi menjadi berbagai sub-sistem. Belum tercapai kesepakatan apakah pengelolaan sistem nasional akan berpijak dari pendekatan fungsional atau struktural. Masih menjadi perdebatan bagaimana TNI dapat digunakan untuk keamanan dalam negeri ataupun apakah Polri merupakan satu-satunya pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Sama halnya seperti persoalan apakah senjata harus hanya dikaitkan dengan ancaman militer dari luar; dan apakah segenap persoalan keamanan dalam negeri dapat diselesaikan dengan penegakan hukum.

***

Barangkali kegamangan seperti itu pula yang menyebabkan konseptualisasi tentang keamanan gagal menampilkan sosoknya yang lebih konkrit. Seperti arus yang terjadi di berbagai belahan bumi yang lain, Buku Putih Pertahanan 2003 juga mengindentifikasi ancaman non-tradisional sebagai ancaman yang paling mengancam Indonesia dibanding dengan ancaman-ancaman tradisional dalam bentuk invasi dan agresi. Dalam berbagai kempatan para punggawa Departemen Pertahanan bahkan terlalu antusias untuk mengakulturasi konsepsi baru, seperti terlihat ketika mereka hendak menggunakan istilah keamanan individu (individual security) sebagai salah satu elemen bagi keamanan nasional.7

UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara tetap memahami ”pertahanan” sebagai sesuatu yang amat luas, menyerupai konsep “keamanan nasional”. Istilah sifat dan bentuk ancaman “militer” dan “non-militer” dikaitkan dengan

7Kemudian istilah itu diganti dengan keamanan insani (human security), yang sekalipun mungkin lebih baik diadopsi secara tidak langsung, sekurang-kurangnya menyelamatkan negara dari ancaman class action atau sejenis itu hanya karena satu orang kelaparan.

49

Page 94: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

“komponen pertahanan”, bukan dengan force continuum atau continuum of response. Pertahanan tidak dirumuskan sebagai fungsi militer untuk mencapai tujuan (keutuhan wilayah, kedaulatan negara dan keselamatan segenap bangsa). Agak melegakan ketika pasal 6 ayat 1 UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia membatasi fungsi TNI sebagai penangkal dan penindak ancaman militer dan ancaman bersenjata. Tugas TNI dalam keamanan negara dibatasi hanya sebagai ”pemulih”. Pasal 6 ayat 1.c UU TNI tersebut menyatakan bahwa ”kekuatan TNI bersama-sama dengan instansi pemerintah lainnya membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara yang telah terganggu akibat kekacauan keamanan karena perang, pemberontakan, konflik komunal, huru-hara, terorisme, dan bencana alam”.

Lebih dari itu, hingga kini tidak terlihat kaitan antara antara perubahan karakter ancaman maupun semakin kompleksnya sumber ancaman (maritime based threats, ancaman lintas batas dsb) dengan pembangunan postur (gelar, kemampuan, kekuatan) pertahanan. Jauh panggang dari api. Jika persoalannya melulu keterbatasan anggaran, seharusnya trend perubahan itu mulai terlihat. Prinsip ”memenuhi kebutuhan” (filling the gap) hanya akan melanggengkan postur pertahanan saat ini. Belakangan sasaran untuk mengisi kekurangan itu dipadu dengan istilah lain, misalnya modernisasi persenjataan untuk TNI AU dan TNI AL serta stabilisasi untuk TNI AD – sekalipun bagi saya pendekatan seperti itu masih terlalu konserfatif. Restrukturisasi postur pertahanan Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih progresif – reduction!

Persoalan yang sama seriusnya terlihat di bidang kepolisian.8 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara memahami keamanan dalam negeri sebagai kondisi yang hendak dicapai melalui terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), penegakan hukum, dan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan masyarakat. Konseptualisasi seperti itu tidak dibangun berdasarkan logika fungsi (penegakan hukum) untuk mencapai tujuan (keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan dan pengayoman serta pelayanan masyarakat) yang merupakan bagian (dalam rangka) keamanan dalam negeri. Rumusan semacam itu tidak juga dibaca sebagai pemahaman bahwa keamanan dalam negeri lebih dari sekedar penyelenggaraan fungsi-fungsi kepolisian.

8Kedudukan dan peran Polri dalam penyelenggaraan keamanan negara, Bahan Pelajaran, Sespimpol, Lembang, 4 April 2007

50

Page 95: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Menjadi pertanyaan apakah isyarat teritorialisasi fungsi kepolisian ini dapat koheren dengan deteritorialisasi ancaman. Fungsi kepolisian terlalu disederhanakan menjadi Polri, sekalipun Polri hanya salah satu dari pengemban fungsi kepolisian. Konstruksi pasal 1-12 UU No. 2/2002 itu sangat kental dengan niatan untuk mengatur fungsi kepolisian. Namun pasal-pasal berikutnya sengaja membatasi diri pada Polri. Polisi sering membaca rumusan seperti itu sebagai legalisasi bahwa seluruh masalah yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri merupakan tugas Polri.

Perjalanan penyusunan dan pembahasan RUU Kepolisian Negara, sejak 1997 hingga 2002, berlangsung dalam berbagai pergumulan politik, mulai dari akhir pemerintahan Suharto, reformasi TNI (Paradigma Baru TNI), pembahasan amandemen konstitusi dan beragam persoalan konsolidasi rejim pasca Suharto. Para perwira Polri pada waktu itu juga mereka yang dididik di lingkungan ketentaraan, dan menggenggam budaya kekuasaan yang tidak jauh berbeda dengan tentara. Disadari atau tidak, semangat dan bangunan RUU Kepolisian Negara agaknya sarat dengan ”inspirasi” dari UU Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara dengan sekedar mengeluarkan fungsi kepolisian dari ”hankamneg”, tetapi kerancuan fungsi kepolisian dengan Polri sebagai pelaksana.

Dengan demikian formulasi pertahanan dan keamanan negara seperti tertuang dalam UU Pertahanan Negara dan UU Kepolisian Negara itu justru menunjukkan gejala “defence maxima” dan “policing redux”, sesuatu yang mengisyaratkan akan terjadinya asimetri dalam berbagai hal, mulai dari kebijakan, strategi, sampai dengan postur antara kekuatan pertahanan dan kekuatan kepolisian. Masih terlalu pagi untuk menyimpulkan apakah gejala semacam ini pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya sebuah ”police state” di Indonesia, atau dapat dibatasi hanya sampai asimetri postur kekuatan pertahanan dan kepolisian. Untuk sementara, kontraksi asimetrik itu tidak harus menjadi soal dalam membangun hubungan TNI dengan Polri. Peningkatan kemampuan Polri masih berada dalam batas kewajaran, dalam beberapa kasus, misalnya Detasemen 88 (anti-teror), malahan merupakan success story yang diakui oleh banyak pihak. Kekurangberdayaan alutsista TNI tidak harus menjadi kendala tugas perbantuan karena pada akhirnya yang boleh digunakan untuk membantu adalah idle capacity.

***

Banyak faktor yang harus dilihat untuk memahami beragam permasalahan dan kendala umum hubungan TNI- Polri (dalam rangka keamanan nasional).

51

Page 96: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Ketidakserasian hubungan mereka terjadi pada tingkat individual maupun institusional, berturut-turut seperti sering terdengar dari berita mengenai perkelahian antara oknum polisi dan TNI ataupun penolakan Polri pada RUU Keamanan nasional yang dirancang oleh Departemen Pertahanan. Persoalan itu dapat dipandang dari berbagai sudut, mulai dari latar belakang sosial para anggota TNI dan Polri sampai dengan masalah yang lebih serius, khususnya yang berkaitan dengan dampak pemisahan Polri dari komando TNI (TAP MPR VI dan VII/2000), kerancuan Bab XII UUD 1945 yang di amandemen dan/atau soal-soal lain.

Selain masalah politik itupun masih terdapat persoalan lain yang tak kalah seriusnya. Beberapa jenis ancaman yang penangggulangannya merupakan bagian dari tugas TNI, seperti dimaksud pasal 7 ayat 2 UU TNI, dapat ditafsirkan juga sebagai berada dalam kewenangan hukum Polri karena [ancaman] yang sama juga merupakan tindak pidana dalam KUHP. Beberapa contoh adalah pemberontakan bersenjata (pasal 108-109), ancaman terhadap instalasi militer (pasal 107F UU No. 27/1999), pembajakan di laut (pasal 438-439), spionase (pasal 124). Dapat diperdebatkan apakah “separatis bersenjata” dapat dianggap sebagai makar dan/atau pemberontakan bersenjata, atau apakah pembajakan sama dengan perompakan. Penyelundupan senjata, amunisi atau barang terlarang yang lain dapat dicari rujukannya sebagai tindak pidana menurut KUHP. UU No. 2/2002 memberi kewenangan kepada Polri untuk, misalnya mengawasi orang asing (pasal 15.2.1) dan melakukan penyidikan dan penyelidikan semua tindal pidana (pasal 14.1.g).

Dalam pengelolaan keamanan nasional, berbagai upaya diperlukan, mulai dari peringatan dini, pencegahan, maupun penindakan. Sub-sistem pertahanan negara mengandaikan penangkalan (deterrence) sehingga perang dapat dicegah, dan oleh karenanya tidak perlu darah tertumpah. Kesiagaan tentara setiap saat dimaksudkan untuk tujuan seperti itu pula. “Kejadian” dalam arti pertahanan adalah titik terjadinya perang, atau sekurang-kurangnya kulminasi ketegangan pada ranah pertikaian yang berbeda. Penangkalan dalam kacamata pertahanan bertujuan untuk minimalisasi risiko jika sesuatu terpaksa harus terjadi.

Sementara itu, kepolisian merupakan sebagian dari fungsi penegakan hukum dan sekaligus juga fungsi non-justicia seperti perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan kondisi yang selalu harus dipelihara. Sebagai bagian dari fungsi kepolisian, penangkalam ditujukan untuk mencegah kejadian yang sama terulang; atau pelaku yang sama kembali melakukan tindak pidana. Senjata

52

Page 97: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

utama Polri adalah KUHP. Jarang dipersoalkan bahwa tugas kepolisian lebih terkait dengan setelah kejadian, sedangkan operasi militer mengenal operasi intelijen, teritorial dan.atau keamanan dalam negeri yang dapat dilakukan sebagai upaya preventif. Lebih dari itu, KUHP hanya memiliki yurisdiksi terbatas pada warga negara, tidak pada warga negara asing yang dalam konteks ancaman transnasional justru merupakan pelaku utama, seperti dalam kasus perompakan dan penyelundupan.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan liberalisasi lintas batas, beberapa bentuk ancaman secara cepat bisa meningkat menjadi bentuk ancaman yang lebih serius. Tindakan persuasif sangat diperlukan tetapi belum tentu efektif. Belum diketahui dengan pasti apakah fungsi kepolisian di kelak kemudian hari akan meninggalkan pijakannya semata-mata pada penegakan KUHP tetapi juga menjangkau tindakan-tindakan yang lebih preventif. Sampai saat ini Polri tetap berpijak pada keharusan untuk membedakan sumber ancaman (eksternal dan internal) yang memberi kewenangan kepada Polri untuk memutuskan apakah akan meminta bantuan TNI atau tidak.

Sementara itu, Departemen Pertahanan dan TNI pada umumnya lebih menyukai menggunakan tingkatan eskalasi (aman, rawan, gawat) atau keadaan (darurat sipil, militer, perang) sebagai kriteria utama. Di satu sisi, alternatif ini membawa konsekuensi lemahnya akuntabilitas publik, khususnya pada tingkat Presiden-DPR, khususnya karena lemahnya mekanisme pertanggugjawaban politik menurut UU Darurat 1959. Namun di sisi lain, batasan atas fungsi pemulihan yang dapat dilakukan oleh TNI, seperti disinggung sebelumnya, seharusnya dapat menjadi pijakan untuk mengurangi perbedaan persepsi antara Polri dan TNI.

***

Tidak mudah menjawab pertanyaan tentang bagaimana membangun hubungan TNI- Polri yang konstruktif. Sejumlah persoalan legal, ego sektoral (politik birokrasi) maupun faktor-faktor emosional memainkan peranan penting. UUD 1945 mengharuskan hubungan TNI- Polri yang harmonis, sesuai dengan kompetensi (pertahanan negara atau keamanan negara). Perlu disusun lebih dulu berbagai ketentuan perundangan. Bentuk hukum UU menentukan ruang demokrasi, sekalipun belum tentu berkaitan dengan efektifitas kerja dan Profesionalisme. Perbedaan mandat untuk menyusun sebuah UU (seperti diminta oleh UUD 1945 dan UU No. 34/2004 tentang TNI) atau sekedar cukup peraturan pemerintah (seperti dituntut oleh pasal 41 UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara) tidak mungkin diselesaikan tanpa intervensi Presiden dan/atau DPR.

53

Page 98: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Program pembanguan kekuatan Polri masih memerlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk memiliki kekuatan yang bukan hanya memiliki kemampuan teknis profesional tetapi juga sebaran yang memadai seluruh Indonesia. Sebaliknya, biaya pemeliharaan TNI akan terlalu besar jika hanya akan digunakan untuk masa-masa perang. Idle capacity itu dapat dipakai untuk tugas-tugas perbantuan, satu diantaranya adalah perbantuan untuk fungsi kepolisian.

Karena kompetensi TNI adalah dalam penggunaan kekuatan militer, maka tugas perbantuan TNI perlu diatur dengan jelas agar tidak membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, nilai-nilai demokrasi, dan kebebasan sipil.9 Pelaksanaan tugas perbantuan harus menjaga perimbangan antara efektivitas penggunaan kemampuan militer (military necessity) tetapi sedapat mungkin meminimalisasi kurban yang tidak perlu (unnecessary suffering). Selain itu, tugas perbantuan dilakukan bersama dengan institusi/organisasi lain yang memiliki jalur pertanggungjawaban dan tatakerja yang berbeda dari hirarki militer. Oleh sebab itu, perlu pengaturan yang jelas mengenai hubungan komando antara kepolisian dan satuan prajurit/TNI yang diperbantukan maupun pengaturan tentang sanksi hukum terhadap tidak dipatuhinya relasi komando itu.

Yang barangkali perlu segera diatur adalah prosedur pengerahan dan penggunaan TNI. Pada dasarnya, prosedur pengerahan TNI ini terdiri dari prosedur penggunaan TNI dan prosedur tugas perbantuan TNI. Terminologi penggunaan TNI digunakan untuk operasi-operasi perang yang dilakukan TNI. Dengan demikian, regulasi tentang penggunaan TNI perlu mengatur tentang prosedur: (1) deklarasi perang ke negara lain oleh presiden yang disetujui DPR; (2) penetapan kondisi keadaan darurat perang di Indonesia; (3) penetapan penguasa darurat perang; (4) pemulihan kondisi darurat perang ke kondisi normal. Prosedur diatas juga perlu dilengkapi dengan adopsi doktrin just war. Adopsi ini bisa dilakukan dengan cara melakukan ratifikasi konvensi-konvensi humaniter internasional.

Terminologi tugas perbantuan TNI digunakan untuk military operations other than war. Operasi-operasi tersebut adalah: (1) operasi untuk menjaga stabilitas keamanan (TNI diperbantukan ke Polri); (2) operasi untuk menjalankan misi sosial-kemanusiaan (TNI diperbantukan ke pemerintah);

9 Kusnanto Anggoro, “Keamanan nasional, pertahanan negara, dan tugas-tugas perbantuan TNI”, Naskah Tidak Terbit, disiapkan untuk Focus Group Discussion, Bandung, Holiday Inn, Jakarta, 1-2 Februari 2003

54

Page 99: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

dan (3) operasi untuk menjalankan misi perdamaian dunia (TNI diperbantukan ke PBB). Untuk seluruh operasi ini, kewenangan dan tanggung-jawab pengerahan TNI tidak berada di tangan Panglima TNI namun berada di tangan institusi yang meminta tugas perbantuan TNI. Pengerahan TNI untuk operasi-operasi ini perlu diatur secara ketat di UU Tugas Perbantuan TNI sehingga didapat kejelasan tentang: (a) tataran kewenangan dan mekanisme pertanggung-jawaban; (b) prosedur perbantuan TNI; (3) waktu perbantuan TNI; (3) besarnya unit TNI yang diperbantukan; dan (4) besarnya anggaran dan sumber anggaran perbantuan TNI.

***

Keamanan nasional, seperti telah disampaikan sebelumnya, merupakan kondisi tiadanya segenap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap normalcy (kehidupan bernegara dan bermasyarakat) baik yang timbul dari dalam maupun luar oleh seseorang, sekelompok orang, ataupun bahkan kekuatan terorganisasi dari luar wilayah sehingga obyek itu dapat mengembangkan diri untuk memenuhi tujuan dan keinginannya. Keamanan nasional meliputi berbagai dimensi, mulai dari keamanan bagi negara dan masyarakat (maupun individu).10 Namun demikian perlu diingat bahwa instrumen untuk menggapai harapan tersebut terdiri dari beragam cara, mulai dari penyelenggaraan fungsi pemerintahan secara sektoral sampai dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang menggunakan kewenangannya untuk menggunakan alat koersif (hukum dan senjata).

TNI dan Polri adalah sebagian dari instansi yang menunaikan tugas itu, dalam fungsi-fungsi yang lazimnya menggunakan pendekatan keamanan (security approach) dalam tugas-tugas ”pertahanan” dan ”keamanan”. Tentu, penggunaan alat koersif itu harus memperhatikan force continuum, seiring dengan eskalasi ancaman, maupun dalam beragam bingkai ketentuan hukum,

10T. Hari Prihartono (Koord), Keamanan Nasional: Kebutuhan membangun perspektif integratif vs. pembiaran politik dan kebijakan (Jakarta: Propatria, 2007).

55

Page 100: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

konvensi maupun etik (nasional dan internasional). Sangat mungkin oleh sebab itu merancang sistem keamanaan nasional dengan memperhatikan diferensiasi tanggapan dalam spektrum mulai dari politik (non-koersif ) hingga pendekatan koersif; dalam rentang sektoral (keamanan nasional dan yang berada di luarnya) dan dalam vertikal (peringatan dini, pencegahan, dan penindakan). Model matematiknya dapat digambarkan sbb:

Tabel 1Sifat dan obyek ancaman terhadap keamanan nasional

Kesejahteraan dan ketentraman masyarakat

Keamanan dan ketertiban umum

Keamanan negara

Internal External

Keutuhan wilayah dan keamanan sumberdaya

Separatis bersenjata

Agresi, invasi, dan okupasi

Fungsi pemerintahan (stabilitas sistem politik, dan hukum)

Penyelundupan, pembuatan dan penyebaran matauang palsu, perdagangan obat bius, dan berbagai tindakan kriminal lainnya

Pemberon-takan bersenjata

Pelanggaran perbatasan, perompakan

Keselamatan masyarakat

Bencana alam, wabah penyakit, kecelakaan berskala besarKesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan

Pertikaian komunal dan antar golongan dan kelompok

Tanggapan Fungsional

Berfungsinya pemerintahan yang bersih dan efektif

Persuasive policingRepressive policing

Military operations and diplomacy

Instrument of responses

Kinerja pemerintahan yang tanggap dan berwibawa

Penegakan hukum (nasional dan internasional) yang efektif (effective law enforcement)

Professional military dan effective diplomacy

56

Page 101: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Tabel 2Pengelolaan ancaman dan instrumen respons

Instrument of responses Penegakan hukum yang efektif Diplomasi preventif dan

operasi militerFungsi operasional

Persuassive policingCooercive policing Coercive policing

Combat operation

Misi Penegakan hukum

Perbantuan militer kepada fungsi pemerintahan (termasuk fungsi kepolisian)

Tanggapan komprehensif

* Pencegahan dini* Penindakan (penangkalan dan perlawanan)* Pemulihan keadaan

Pengelolaan

* Penyiapan sumberdaya* pemeliharaan kesiagaan sumberdaya* pengerahan dan penggunaan kekuatan militer* pendayagunaan intelijen

Prinsip pengaturan

* Supremasi otoritas politik* Akuntabilitas organisasional dan kejelasan tugas organisasi* Keandalan postur pelaksana (gelar, kemampuan,

kekuatan)* Kompetensi teknis dan integritas aparat pelaksana * Akuntabilitas dan transparansi dalam proses kebijakan

keamanan nasional

Organisasi pelaksana

Badan Intelijen, Polisi Pamong Praja, Polisi Khusus, Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia

57

Page 102: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

PROBLEMATIKA HUBUNGAN TNI DAN POLRI DALAM MENANGANI KONFLIK KOMUNAL

KEBUTUHAN PARADIGMA BARU TERHADAP CARA PANDANG HUBUNGAN TNI DAN POLRI1

Letjen TNI [Purn] Agus Widjojo2

1. Problematika Hubungan TNI dan Polri

Konstitusi mengamanatkan fungsi pertahanan untuk dilaksanakan oleh TNI dan fungsi pertahanan merupakan fungsi dan tanggung jawab pemerintah pusat yang tidak pernah didelegasikan kepada pemerintah daerah. Fungsi pertahanan merupakan upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa ketika menghadapi ancaman militer dari luar negeri. Ketika terjadi adanya ancaman dari luar negeri maka pertahanan bersifat nasional dan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Penyelenggaraan fungsi pertahanan di daerah merupakan pelaksanaan fungsi pertahanan yang merupakan bagian dari penyelenggaraan upaya pertahanan nasional.

Sebaliknya Polri merupakan bagian dari fungsi penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang memiliki bentuk dan ciri berbeda dari daerah ke daerah serta merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Mantan Wakil Ketua MPR – RI, kini Senior Fellow CSIS, Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timor Leste, Anggota Dewan Pengarah Lemhannas dan Deputi I UKP3R.

58

Page 103: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Polri tetap merupakan institusi kepolisian negara yang bersifat nasional. Pelaksanaan fungsi penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dilaksanakan berdasarkan kebijakan pemerintah daerah, karena fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat dilaksanakan berdasarkan kebijakan pemerintah daerah, karena fungsi penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Cara ini juga dilaksanakan oleh Polisi Nasional Jepang yang dikenal sebagai polisi nasional yang sangat bercirikan lokal dan mampu menampilkan kinerja yang dapat menekan tingkat kriminalitas pada salah satu tingkat terendah di dunia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tata cara pelaksanaan tugas TNI dan Polri seperti tersebut di atas tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada? Bila jawabnya ‘tidak’ maka mengapa perbedaan tersebut terjadi? Dan bagaimana kita menentukan seharusnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, adalah, bahwa peraturan perundang-undangan yang ada merupakan produk sebuah masa transisi, yang terkadang juga merupakan ceriminan dari keadaan reformasi yang kebablasan sehingga dapat dikatakan bahwa proses transisi dan transformasi dari interaksi TNI dan Polri dari bentuk ABRI (dimana Polri merupakan bagian dari ABRI) menjadi bentuk Polri yang sepenuhnya menjadi institusi kepolisian sipil, dan merupakan bagian dari instrumen penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, belum secara tuntas tercapai. Apakah ketentuan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak dapat dilaksanakan dan apakah terkandung resiko bila dilaksanakan fungsi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada? Kelemahan yang paling fundamental dari ketentuan yang ada sekarang adalah (1) karena Polri tidak berada di bawah salah seorang menteri ditingkat pusat dan tidak dikaitkan dengan pemerintah daerah, tidak ada pejabat politik (yang dipilih oleh rakyat) yang memegang akuntabilitas politik atas Polri baik dipusat maupun daerah (2) Polri praktis menentukan dan melaksanakan keputusan politik, kebijakan dan anggarannya sendiri sehingga praktis mengingkari sistem kontrol dan check and balances dari kaidah demokrasi. Dengan demikian Polri praktis telah menjadikan dirinya sebagai ‘TNI kedua’ dengan dosa lebih besar, karena dibandingkan dengan TNI yang merupakan institusi pemerintah pusat dan tidak berhubungan langsung dengan masyarakat kecuali dalam masa keadaan darurat militer dan perang, Polri yang merupakan institusi pemerintah yang langsung memberi pelayanan kepada publik, jauh tersentuh oleh kontrol publik.

59

Page 104: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

2. Hubungan Normatif Fungsional Polri dan TNI dalam sistem Politik Demokrasi

Sebuah tatanan politik berdasarkan kaidah demokrasi mengamanatkan kewenangan politik untuk menyelenggarakan kekuasaan negara berada di tangan pejabat publik yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pejabat publik inilah yang dalam kekuasaan eksekutif menentukan kebijakan dalam rangka membangun dan merespon permasalahan yang dihadapai negara, dan dalam kekuasaan legislatif, untuk mengontrol penyelenggaraan kekuasaan oleh eksekutif. Untuk merespon permasalahan yang dihadapi negara, khususnya dalam aspek pertahanan, pemerintah memiliki instrumen diplomasi dan militer (TNI), sedangkan dalam aspek penegakan hukum serta keamanan dan ketertiban masyarakat, pemerintah mempunyai pilihan instrumen berbagai institusi penegakan hukum, termasuk Polri. Karena merupakan sesama instrumen kekuatan nasional, TNI dan Polri tidak mempunyai hubungan langsung, kecuali dalam penyesuaian operasional di lapangan. Ketentuan pengerahan TNI berada pada kewenangan Presiden sedangkan ketentuan pengerahan Polri berada pada kepala daerah. Oleh karenanya, hubungan TNI dan Polri di daerah terjadi ketika acaman yang ada melampaui kemampuan Polri untuk mengatasi sehingga memerlukan bantuan TNI. Permintaan bantuan ini dilakukan dengan menggunakan prosedur kepala daerah yang menentukan penilaian tentang keterbatasan kemampuan Polri guna melapor kepada Presiden untuk meminta bantuan TNI. Presiden kemudian memerintahkan Panglima TNI untuk memerintahkan satuan TNI di daerah terkait untuk membantu kepala daerah yang bersangkutan. Karena keadaan ini dapat diantisipasi sebagai keadaan yang dapat berulang, prosedur dan mekanisme ini dapat disusun untuk dipersingkat dalam sebuah prosedur operasi tetap (protap) untuk menyingkatkan rantai komando. Prosedur dan mekanisme seperti ini didasarkan kepada kaidah demokrasi, sehingga dapat dengan jelas menentukan kewenangan yang memegang akuntabilitas politik, dan cepat dan mudah mencari kewenangan yang bertanggung jawab bila terjadi penyimpangan.

Bila prosedur dan mekanisme ini kita pegang berdasarkan kaidah demokrasi terdapat beberapa ketentuan yang terkandung dalam kalimat beberapa peraturan perundang-undanganan yang dirasa tidak konsisten, yaitu:

60

Page 105: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

2.1 Amandemen UUD 1945 Bab XII, pasal 30:

2.1.1 Judul Bab XII semula ‘Pertahanan’ menjadi ‘Pertahanan dan Keamanan Negara’ mengakibatkan kerancuan dengan mencampuradukkan fungsi pertahanan dan keamanan negara (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan mencampuradukkan fungsi TNI dengan fungsi Polri. Fungsi Polri lebih dekat dengan fungsi penegakan hukum seperti kejaksaan, pengadilan, politik dalam negeri, bukan dekat dengan fungsi TNI dalam pertahanan yang pada dasarnya diartikan perang.

2.1.2 Pada ayat (2) dinyatakan Polri juga terikat dengan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Hal ini kurang tepat, karena Sishankamrata berlaku terbatas pada fungsi. Pertahanan yang dilaksanakan oleh TNI sebagai institusi utama. Sishankamrata pada dasarnya dijabarkan kedalam sistem cadangan dan wajib militer, sedangkan dalam kepolisian tidak memerlukan atau mengenal cadangan atau sistem dinas wajib.

2.1.3 Ayat (5) menyatakan bahwa ‘hubungan kewenangan TNI dan Polri di dalam menjalankan tugasnya (dst) diatur dengan undang - undang. Hubungan kewenangan TNI dan Polri tidak berbentuk hubungan langsung, karena ditentukan oleh keputusan otoritas politik. Hubungan ini pernah dicakup dalam ketentuan yang mengatur operasi pembentukan TNI kepada otoritas politik dan bukan kepada Polri.

2.2 Kesalahan pengertian tentang hubungan perbantuan antara TNI dan Polri juga terkandung dalam bagian ketiga ‘Tugas’ dalam butir b10 ayat (2) UU RI Nomor 3 tahun 2004, yang mengatakan bahwa salah satu tugas TNI adalah membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas perbantuan TNI pada hakikatnya bukan tugas perbantuan TNI kepada Polri tetapi tugas perbantuan TNI kepada otoritas sipil (kepala daerah) di daerah.

61

Page 106: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

2.3 Bab VII Bantuan Hubungan dan Kerjasama pasal 41 UU RI Nomor 2 dan 3 tahun 2002:

2.3.1 Dinyatakan dalam ayat (1) bahwa Polri dapat meminta bantuan TNI dipahami bahwa dua instansi yang setingkat sulit untuk menilai diri sendiri dan meminta bantuan. Kewenangan meminta bantuan TNI berada pada kepala daerah setelah menilai bahwa Polri telah sampai pada batas kemampuannya untuk mengatasi suatu keadaan.

2.3.2 Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Polri memberikan bantuan kepada TNI. Pencatuman ketentuan ini dalam sebuah undang-undang Negara dapat dijadikan dasar oleh pihak lawan untuk menempatkan Polri dalam situasi sebagai kombatan, karena tidak dijelaskan apakah dalam membantu TNI, Polri menjadi sama statusnya dengan TNI atau tidak. Padahal dalam keadaan perang sekalipun, Polri dimaksudkan tetap dalam status non-kombatan dengan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan berperang melawan musuh sebagai hambatan.

Peran Polri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada dasarnya dapat digolongkan kedalam tiga bagian yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan, yaitu (1) tugas penyidikan sebagai bagian dari ‘criminal justice system’, yang walaupun tidak dapat di intervensi siapapun, namun masih merupakan bagian dari fungsi kekuasaan eksekutif. (2) Fungsi penegakan hukum berdasarkan kewenangan diskresi seperti berbagai operasi tertib memeriksa kelengkapan dokumen (SIM, KTP dan lain-lain) dan (3) tugas operasional keamanan dan ketertiban masyarakat, yang pada hakekatnya serupa dengan dasar di atas, namun karena bersifat operasional berdasarkan dukungan anggaran dalam batas waktu tertentu, lazimnya dilakukan berdasarkan kebijakan kepala daerah sebagai pemegan otoritas politik di daerah. Dari ketiga bentuk fungsi dan peran Polri tersebut, semua merupakan bagian dari fungsi kekuasaan eksekutif merintah dan tidak menempatkan Polri sebagai institusi yang independen secara mutlak. Hanya fungsi dan peran hakim yang sepenuhnya bersifat independen. Polri tidak pernah bertindak sebagai hakim. Disisi lain peran dan kewenangan TNI menempatkan TNI dalam keadaan bahwa, peran apapun yang dilakukan

62

Page 107: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

oleh TNI, senantiasa harus didasarkan kepada keputusan otoritas politik Presiden. Tidak ada peran TNI yang dilakukan secara otomatis.

3. Penutup

Dengan uraian di atas kiranya dapat kita pahami dan simpulkan, bahwa kedudukan masing-masing dan hubungan TNI dan Polri harus diletakkan sesuai dengan kaidah demokrasi sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi bahwa sistem politik Indonesia dibangun atas dasar kaidah demokrasi. Kesulitan dan ambivalensi yang kita hadapi saat ini disebabkan karena kita berada masa transisi demokrasi, dengan implikasi bahwa perubahan tatanan kewenangan dalam sektor keamanan khususnya antara TNI dan Polri. Masa transisi yang menimbulkan kebingungan ini juga kurang dibantu dengan pembuatan amandemen UUD 1945 serta undang-undang jabarannya dalam era eforia reformasi yang sarat politisasi. Era transisi juga ditandai oleh ketidak samaan berbagai komponen dalam kecepatan dan pemahamannya atas persoalan mengapa kita harus berubah, ke arah mana kita berubah, dan bagaimana kita berubah, sehingga disamping ada komponen yang telah dapat memahami kerangka pikir ke masa depan, masih ada komponen lain yang tertambat ke masa lalu, sehingga masih memaksakan konsep dan paradigma berpikir yang berasal dari masa lalu.

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari seluruh pembahasan ini adalah perlunya sistem yang mengalir secara konsisten sejak dari UUD hingga implementasinya. Cara berpikir seperti ini juga mengemukakan kepentingan bagi kita untuk dapat berpikir tajam analitikal, dan melepaskan diri dari car berpikir yang dipengaruhi oleh keinginan kita, padahal keinginan kita merupakan cerminan dari parameter masa lalu. Mengembangkan kemampuan berpikir analitikal konseptual pada akhirnya merupakan kebutuhan untuk menggantikan cara berpikir yang dikendalikan oleh kultur yang berbasis pada orientasi kepada hasil, dan hasil tersebut juga merupakan cerminan kebiasaan masa lalu. Mencari jawaban terhadap problematika hubungan TNI dan Polri tidak merupakan pengecualian dari permasalahan transisi cara berpikir diatas. Bentuk peran dan tugas Polri dalam berbagai bentuk gangguan keadaan yang terjadi di dalam negeri tidak memberi problematika yang berbeda dalam kaitan hubungan antara TNI dan Polri. Setiap gangguan keamanan yang datang dalam bentuk ancaman dari dalam negeri pada hakikatnya merupakan tindakan pelanggaran hukum, dan direspon dengan tindakan penegakan hukum. Polri merupakan salah satu instrumen yang dapat dikerahkan dalam

63

Page 108: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

upaya penegakan hukum. Peran ini berbeda prinsipil dengan peran pertahanan yang dilakukan oleh TNI. Disinilah perbedaan mendasar antara peran TNI dan peran Polri. Problematika hubungan TNI dan Polri dalam menangani konflik komunal tidak berbeda dengan penanganan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat lainnya selama peran Polri berada dalam wilayah penegakan hukum dan kamtibmas.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:

3.1 Masa transisi merupakan masa pertemuan antara pemikiran dalam parameter masa lalu, dengan pemikiran yang menggunakan parameter yang menyesuaikan dengan perubahan menuju tataran yang lebih didasarkan kepada kaidah demokrasi.

3.2 Pertemuan berbagai parameter ini belum mendapatkan proses yang tuntas untuk sampai kepada kesepakatan.

3.3 Keadaan yang tengah membuka wacana berbagai parameter pemikiran yang belum disepakati secara tuntas ini mengakibatkan perumusan berbagai peraturan perundang-undangan mengalami kerancuan yang melahirkan inkonsistensi.

Oleh karenanya, problematika hubungan TNI dan Polri hanya dapat diselesaikan dengan proses pembelajaran melalui berbagai wacana guna mencapai kesepakatan tentang tataran kewenangan berbagai institusi pemerintah, khususnya antara TNI dan Polri. Hanya apabila kita telah mencapai kesepahaman pada tataran konsep melalui proses pembelajaran, penuangan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat kita harapkan konsisten.

64

Page 109: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri 65

Page 110: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

MENATA KEMBALI HUBUNGAN TNI-POLRI DALAM KONTEKS PERTAHANAN DAN

KEAMANAN1

Effendy Choirie, MA2

Semakin berkurangnya ancaman militer (konvensional) dan semakin banyaknya ancaman non-militer, telah berpengaruh terhadap tugas militer di hampir semua negara. Kecenderungan ini juga menciptakan dinamika (ketegangan) hubungan antara militer dan aparat keamanan (polisi), terutama di negara-negara berkembang. Ketegangan semakin terbuka terutama di negara yang sedang mengalami transisi dari rezim militer ke rezim demokratis (sipil) yang biasanya menganut prinsip civilian supremacy.

Dinamika hubungan antara militer dan polisi muncul dari perdebatan seputar siapa yang paling berwenang dalam mengatasi masalah keamanan dan keselamatan negara dari beragam ancaman, baik yang timbul dari dalam negara maupun dari luar negara. Semakin kompleksnya ancaman non-militer telah berpengaruh terhadap meluasnya peran militer di samping polisi. Sebagai konsekuensinya, beberapa negara kemudian menerapkan konsep military operation other than war (Operasi Militer Selain Perang). Secara umum

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Ketua DPP PKB, Ketua F-KB DPR RI

66

Page 111: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

OMSP diartikan sebagai tugas tambahan militer selain tugas pokoknya yaitu pertahanan.

Dalam Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 Ayat (2) disebutkan 14 jenis tugas OMSP, antara lain: mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia; mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya; membantu tugas pemerintahan daerah; membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (SAR); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan.

Namun, dalam faktanya, penerapan konsep OMSP seringkali menimbulkan problem antara dua institusi yaitu militer dan polisi. Konsep ini seringkali menimbulkan tumpang tindih peran TNI dengan kewenangan Polri, terutama dalam menangani dan menyelesaikan konflik. TNI adalah kekuatan bersenjata untuk mengatasi ancaman, sedangkan tugas Polri adalah menegakkan keamanan dan ketertiban umum (public order).

Oleh karena itulah implementasi tugas OMSP TNI membutuhkan keputusan politik negara (payung hukum) sebagaimana ditegaskan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 Ayat (3) bahwa ketentuan pelaksanaan OMSP didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Penggunaan kekuatan TNI dalam tugas OMSP terutama untuk menghadapi eskalasi ancaman. Dalam situasi di mana ancaman masih berupa tindak kejahatan biasa (kriminal), penanganan sepenuhnya berada di wilayah kewenangan Polri. Namun, apabila ancaman terus berkembang dan membahayakan, maka status wilayah meningkat dari tertib sipil menjadi Darurat Militer. Pada titik itu keterlibatan TNI masih dalam tugas OMSP.

Berhubung tugas OMSP TNI cukup luas dan bersinggungan dengan tugas Polri, maka untuk menghindari konflik otoritas diperlukan sebuah aturan main (rule engagement) bagi pelibatan TNI dalam melaksanakan tugas-tugas OMSP. Dengan demikian, perlu dirumuskan sebuah aturan tentang perbantuan TNI dalam mendukung tugas institusi lainnya, dalam hal ini tugas polisi.

67

Page 112: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Perbantuan TNI dalam melaksanakan peran kepolisian harus dilandaskan pada keputusan presiden, baik karena permintaan dari pemerintah daerah, Polri, maupun berdasarkan pertimbangan pemerintah pusat. Keputusan presiden untuk memperbantukan TNI dilandasi oleh penilaian pemerintah daerah maupun pihak kepolisian. Penilaian itu menyimpulkan bahwa telah terjadi gangguan yang tidak mampu diselesaikan oleh kepolisian.

Untuk tujuan akuntabilitas dan kekuatan perbantuan TNI, permintaan dan keputusan tersebut harus dilakukan secara tertulis dengan memberikan rincian alasan perbantuan, wilayah perbantuan, durasi perbantuan, dan alokasi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan tugas perbantuan.

Pelaksanaan tugas perbantuan TNI terhadap Polisi dalam menangani masalah ancaman dan keamanan berada di bawah kendali Polri. Hal ini berkonsekuensi pada penataan hubungan komando yang mempertimbangkan efektivitas pelaksanaan tugas perbantuan. Penataan rantai komando ini penting untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas perbantuan.

Tugas perbantuan TNI adalah tugas-tugas yang dilakukan di luar tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Tugas ini merupakan OMSP yang mengacu pada keputusan politik pemerintah yang dianggarkan sepenuhnya melalui APBN dan dipertanggungjawabkan kepada DPR. Ruang lingkup tugas perbantuan TNI ditentukan oleh lembaga yang meminta tugas perbantuan.

Tugas perbantuan TNI dapat dirangkum menjadi tugas penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (humanitarian relief), tugas kegiatan kemasyarakatan (civic mission), tugas pemberian bantuan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum, serta tugas pemeliharaan perdamaian dunia. Pelibatan TNI dalam operasi perdamaian dunia diputuskan oleh presiden dengan persetujuan DPR yang mempertimbangkan kebijakan politik luar negeri serta ketentuan hukum internasional.

Meski demikian, tugas perbantuan dapat dilakukan sejauh tidak mengurangi kekuatan TNI untuk melaksanakan tugas utamanya. Tugas-tugas perbantuan tersebut juga tidak boleh mengurangi atau mematikan kapasitas institusi-institusi sipil dan/atau kepolisian negara dalam melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas perbantuan tersebut tidak bersifat permanen dan hanya dapat dilakukan setelah ada keputusan politik pemerintah.

Pelaksanaan tugas perbantuan TNI dinyatakan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan dan/atau adanya keputusan pemerintah untuk mengakhiri tugas perbantuan tersebut yang dinyatakan secara tertulis.

68

Page 113: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Kesimpulannya, perumusan tugas perbantuan TNI untuk mendukung tugas polisi perlu diatur serinci mungkin sebagai upaya mengefektifkan penyelesaian konflik di masyarakat dan yang juga tidak kalah pentingnya untuk menghindari konflik otoritas antara polisi dan TNI.

69

Page 114: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

KEAMANAN DOMESTIK1

Irjen Pol [Purn] Prof. Dr. Farouk Muhammad2

Dalam waktu beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia menghadapi berbagai bentuk gangguan keamanan. Di samping gangguan keamanan dalam bentuk kejahatan yang bersifat konvensional (ordinary crimes) dan yang menyangkut kekayaan negara, seperti keuangan negara (korupsi), kekayaan/hasil laut (illegal fishing) dan hasil hutan (illegal logging), kita harus menghadapi peningkatan kejahatan lintas negara (transnational crimes). Lebih dari itu bangsa kita juga mengalami krisis keamanan yang cukup menganggu sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam bentuk peledakan bom (teror), kerusuhan massa, konflik sosial dan gerakan separatis/ pemberontakan bersenjata (gangguan berimplikasi kontijensi).

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Purnawirawan Pati Polri, Mantan Gubernur PTIK.

70

Page 115: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Gam

bara

n te

ntan

g pe

rkem

bang

an k

ejah

atan

(krim

inal

itas)

dal

am b

eber

apa

tahu

n te

rakh

ir ad

alah

seba

gai b

erik

ut :

No

Ura

ian

1999

2000

2001

2002

2003

Ket

eran

gan

1C

rime

tota

l17

5.98

718

5.79

220

2.40

818

4.37

357

.890

Thn

2003

ter

data

s/d

bu

lan

April

200

3

2C

rime

clea

red

98.8

4410

0.03

510

6.79

597

.240

31.2

54

3C

lear

ance

rate

56,1

7 %

53,8

4 %

52,7

4 %

52,7

4 %

53,9

8 %

4C

rime

rate

8590

9786

89

5C

rime

cloc

k2’

59”

2’49

”2’

35”

2’52

”2’

49”

71

Page 116: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Gangguan yang termasuk kelompok kejahatan lintas negara yang menonjol adalah terorisme/pemboman. Selama tahun 1999 – 2002 tercatat 191 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 272 dengan rincian sebagai berikut:

No Tahun Lapor Selesai Persentase

1 1999 7 3 42,86 %

2 2000 75 42 56,00 %

3 2001 81 59 72,83 %4 2002 25 19 76,00 %5 2003 3 2 66,66 %

J u m l a h 191 125 65,45 %

Berkenaan dengan peledakan bom, masalah dan sekaligus prestasi internasional yang patut dicatat adalah kasus bom Bali yang menelan korban 184 orang. Keseluruhan kasus tersebut telah berhasil diungkap oleh Polri dan perkaranya dewasa ini sedang dalam proses pengadilan. Berkaitan dengan itu, Polri berhasil mengungkap kasus-kasus pemboman sebelumnya sehingga dari 191 kasus sebanyak 125 kasus (65,45 %) telah berhasil diungkapkan Polri.

Gangguan keamanan berupa konflik horisontal bernuansa SARA seperti kita ketahui terjadi di beberapa daerah :

1) Kasus Sampit/Kalteng (2001) merupakan puncak dari konflik antar etnis, yang menelan korban meninggal dunia sampai 371 orang.

2) Kasus Kupang (1999), Mataram (1999) dan Ketapang – Jakarta (1998) merupakan konflik antar agama, yang menelan korban meninggal dunia seluruhnya 43 orang.

3) Kasus Poso juga merupakan konflik antar agama tetapi berbeda dengan tersebut no. 2) berlangsung relatif lama, yaitu dari tahun 1998 sampai 2002 yang keseluruhannya menelan korban meninggal dunia mencapai 251 orang.

Walaupun diawali dan dipicu masalah SARA, konflik Maluku tidak dapat dikategorikan semata-mata sebagai konflik horizontal, karena ternyata juga

72

Page 117: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

ditumpangi gerakan separatis RMS. Konflik Maluku telah berlansung sejak tahun 1999. Sejalan dengan penyelesaian konflik Poso, konflik Maluku lambat laun mengalami kemajuan berarti dalam penyelesaiannya.

Gambaran tentang kondisi keamanan seperti diutarakan di atas menunjukkan bahwa gangguan-gangguan keamanan meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam era bangsa Indonesia melancarkan gerakan reformasi. Tidak ayal lagi, sebagian orang terutama kalangan masyarakat awam secara negatif mengomentari bahkan mencemoohi gerakan reformasi. Bagi mereka, perubahan situasi keamanan yang pada masa “orde baru” relatif “stabil” merupakan produk gerakan reformasi.

Penilaian minor terhadap gerakan reformasi tentu tidak bisa diterima terutama oleh para tokoh reformis. Dikatakan misalnya, bahwa peristiwa-peristiwa gangguan keamanan termasuk kerusuhan dan konflik sosial yang terjadi merupakan akibat langsung dari kebijakan “sentralisasi” pada masa orde baru. Kebijakan tersebut menuntut penyeragaman dalam hampir seluruh aspek kehidupan, sehingga perbedaan-perbedaan yang sebenarnya ada mendapat tekanan (represif ) atas nama “stabilitas keamanan” (Nitibaskara, 2000). Lebih dari itu, faktor penting yang memicu terjadinya gangguan keamanan adalah angin kebebasan yang terbawa arus globalisasi. Masyarakat Indonesia mengalami eforia kebebasan untuk menyatakan pendapat dan seringkali kebebasan tersebut kebablasan karena ditafsirkan sebagai kebolehan atau “kemerdekaan” tanpa batas ; tujuan menghalalkan segala cara (Muhamad, 2003).

Sementara itu, sebagian lain melihat bahwa kondisi keamanan tidak bisa dipisahkan dengan sejumlah agenda reformasi dalam bidang keamanan. ABRI dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap segala “kebobrokan” orde baru, terutama berkenaan dengan peranan sosial politiknya termasuk penempatan Polri sebagai bagian integralnya. Langkah-langkah refungsionalisasi, reposisi dan restrukturisasi ABRI sebagai respon atas tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut peran Sospol ABRI menempatkan TNI pada posisi yang hampir tidak memiliki peran yang berarti, sementara Polri ditempatkan pada posisi yang terpisah dengan TNI. Lebih dari itu, politik keamanan (Tap MPR No. VI dan VII/2000) menetapkan bahwa TNI “hanya” berperan dalam pertahanan negara, sementara Pori berperan dalam pemeliharaan keamanan. Politik keamanan tersebut dipandang oleh sebagian orang sebagai faktor yang membuat negara tidak mampu menangkal

73

Page 118: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dan mengatasi gangguan-gangguan yang terjadi. Yogi Supardi (2001) menyatakan:

Dari banyaknya masalah keamanan nasional yang tidak ditangani atau dikelola dengan baik sekarang ini, salah satu kelemahannya adalah tidak disinergikannya pelaksana; piranti-piranti yang dimiliki. Lebih serius lagi, tidak ada politik keamanan nasional; politik, kebijakan atau policy keamanan nasional kalaupun dikatakan ada, maka tidak jelas, tidak ada kemantapan, inconsistent. Kecuali itu, ada kerancuan dalam konsep atau wacana keamanan nasional ; keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); pertahanan; TNI; dan Polri (2001 : 9).

Penilaian tersebut di atas sudah barang tentu tidak bisa diterima sepenuhnya. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya, berbagai kasus “besar” yang melanda bangsa lambat laun akhirnya dapat teratasi dengan format “politik keamanan” yang baru. Kasus yang cukup alot penyelesaiannya adalah konflik Maluku dan GAM. Konflik Maluku yang warna konflik horizontalnya (SARA) lebih menonjol dihadapi dengan skema “Darurat Sipil” dengan mengedepankan peran TNI, sedangkan masalah Aceh yang merupakan pemberontakan bersenjata ditangani dengan skema “Tertib Sipil” dengan mengedepankan peran Polri (Komando Operasi Pemulihan Keamanan). Seperti kita ikuti perkembangannya, masalah gangguan keamanan di Maluku lambat laun semakin mereda.

Penilaian tersebut tidak berarti tidak ada permasalahan yang timbul berkenaan dengan perubahan kebijakan nasional dalam bidang keamanan yang dapat dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kekurang-efektifan upaya penanganan gangguan keamanan. Pada lapis operasional, permasalahan yang timbul misalnya, konflik antara anggota TNI dan Polri dan bahkan kekurang-harmonisan hubungan manajerial. Namun, dalam pandangan saya, permasalahan tersebut lebih banyak diterangkan oleh faktor-faktor kultural. Artinya, karena menyangkut pergeseran paradigma, perubahan kebijakan tersebut menuntut adanya “fundamental shift of mind” (metanoia) yang memerlukan proses dan waktu yang tidak singkat.

Butir-butir kritikan Jenderal Yogi Supardi yang diutarakan di atas juga ada benarnya, tetapi bukan terletak pada hakekat melainkan rumusan-rumusan konseptual politik keamanan kita. Menurut hemat saya, perbedaan pendapat yang masih terus berkembang berkenaan dengan konsep dan ruang lingkup

74

Page 119: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

pertahanan dan keamanan sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang ada, justru bersumber dari kerancuan penggunaan istilah (Dewan Ketahanan Nasional, 2003).

Selama ini kita selalu mempersandingkan dua konsep: (1) pertahanan (defence/defense), dan (2) keamanan (security). “Pertahanan”) adalah kata benda yang menggambarkan upaya atau proses, sedangkan “keamanan”) adalah kata benda yang menggambarkan keadaan atau kondisi, dan merupakan hasil atau “outcome” (dari suatu proses). Istilah “pertahanan” biasanya dikaitkan dengan bidang politik dan pemerintahan (negara) sementara istilah “keamanan” mencakup bidang yang lebih luas, yaitu keamanan negara dan keamanan kehidupan dalam negara, baik yang bersifat umum (publik) maupun individu. Upaya pertahanan akan menentukan kondisi keamanan (negara), tetapi keamanan tidak hanya bergantung pada upaya pertahanan karena banyak faktor yang menentukannya. Jika dirumuskan secara teoritis, pertahanan (jika ditransformasikan ke dalam item yang terukur) bukan satu-satunya “independent variable” yang menerangkan keamanan (dependent variable). Berkaitan dengan topik yang kita bicarakan maka konsep “keamanan” mencakup keamanan negara dan keamanan umum.

Keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi/kelangsungan hidup dan ketentraman individu/kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama disebut rakyat (people) yang terikat dalam pesetambatan politik, sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society) yang terikat dalam persetambatan sosial. Karena itu ancaman/gangguan terhadap keamanan negara belum tentu merupakan ancaman/gangguan terhadap keamanan individu/kelompok/masyarakat.

Uraian tersebut di atas hendak menunjukkan bahwa pemikiran untuk mengembangkan satu sistem yang mencakup kedua domain tersebut merupakan hal yang tidak tepat. Dewan Ketahanan Nasional, misalnya mengembangkan konsep Sistem Keamanan Nasional yang mencakup ketentraman masyarakat, keselamatan dan perlindungan masyarakat, penegakan hukum dan pertahanan negara. Kedua domain tersebut bukan saja menyangkut dua kepentingan yang berbeda, tetapi jika diintegrasikan ke dalam satu sistem akan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan—paling tidak kooptasi—negara terhadap individu/kelompok orang yang hidup dalam negara. Ini tidak berarti bahwa

75

Page 120: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

negara boleh tidak memperdulikan kepentingan individu/kelompok terutama yang menjadi pilar (stakeholder)-nya, sebagaimana juga sebaliknya. Tetapi relasional tersebut bukan lagi dalam hubungan “top down” dan “trickle down effects” seperti dalam paradigma lama kita tentang konsep sebuah negara. Pendekatan atas nama “stabilitas keamanan” seperti yang diterapkan pada masa lalu justru semakin menjauhkan kita dari tujuan nasional “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Nampaknya, wacana untuk mengembangkan (baca: menghidupkan kembali) Sistem Keamanan Nasional seperti yang disarankan Dewan Ketahanan Nasional lebih dilandasi oleh “teori” eskalasi ancaman, di mana gangguan terhadap keamanan negara dipandang berkembang secara eskalatif dari gangguan kriminalitas mulai dari bentuk yang paling ringan/individual sampai yang paling berat/massal, sehingga situasi keamanan dikelompokkan secara bertahap mulai dari situasi aman, rawan, gawat, dan krisis. Teori tersebut seolah-olah menghipotesiskan bahwa gangguan keamanan yang lebih besar (dependent variable) senantiasa diakibatkan oleh gangguan yang lebih kecil (independent variable). Permasalahannya tentu tidak sesederhana itu. Suatu gangguan yang lebih besar bisa saja tiba-tiba terjadi karena dipicu oleh suatu kasus kecil yang sepele.

Kenyataannya, berbagai kasus konflik/kerusuhan yang terjadi, misalnya, tidak merupakan peningkatan yang eskalatif dari perkembangan situasi keamanan dari yang terendah. Kota Ambon, Kupang, Mataram dan lain-lain tiba-tiba saja dihentakkan oleh kerusuhan sosial tanpa melalui proses perkembangan situasi keamanan yang bersifat eskalatif. Tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa konflik Maluku pecah karena kegagalan penanganan kasus pertikaian/pengeroyokan (peristiwa pidana) yang melibatkan Yopie dari Kampung Aboru dengan Usman Bugis dari Kampung Batu Merah; hanya dalam waktu beberapa jam kemudian, penyerangan dan bentrokan terjadi diberbagai sudut kota Ambon bahkan telah didahului dengan peristiwa yang serupa di kota Dobo (Majelis Ulama Indonesia, 2000) sehingga dikenal dengan peristiwa “Idul Fitri Berdarah”. Apa yang dapat kita katakan adalah bahwa akar permasalahan konflik Maluku tidak terlepas dari kondisi sosial budaya, ekonomi dan politik. Demikian pula halnya dengan konflik di wilayah-wilayah lain. Peristiwa pidana yang mengawali konflik/kerusuhan di beberapa wilayah hanyalah merupakan faktor pemicu (intervening variable). Nitibaskara, dengan menyitir Moeslim Abdurrahman, misalnya, mengemukakan :

76

Page 121: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Dalam peristiwa seperti Tanjung Priok itu, tanpa didahului social unrest (ketegangan sosial), tidak mungkin simbol-simbol agama yang tersedia di lokasi hunian sosial itu bekerja dengan efektif. Konflik yang berlangsung lama akan mengalami transformasi-transformasi, yang semula mungkin akar konflik hanya faktor ekonomi, karena mendapat bumbu kedaerahan (localism) dan kesukuan (etnisitas), berubah menjadi konflik budaya yang berlatar belakang kedaerahan dan kesukuan (2002 : 29).

Dalam konflik Aceh, atau lebih tepat disebut pemberontakan GAM, juga tidak dapat kita pandang penyebabnya karena perkembangan yang eskalatif dari gangguan-gangguan keamanan yang lebih ringan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa permasalahan-permasalahan dalam bidang keamanan yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir ini lebih merupakan efek sampingan gerakan reformasi, daripada perubahan-perubahan mendasar mengenai politik keamanan. Secara esensial, politik keamanan sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 dan TAP MPR No. VI dan No. VII sudah tepat, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, TNI merupakan alat negara yang berperan dalam pertahanan negara dengan tugas pokok : (1) menegakkan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah negara, dan (2) melindungi bangsa dan tanah air dari ancaman dan gangguan terhadap keuntuhan bangsa dan negara; di samping tugas-tugas tambahan (bantuan) termasuk bantuan dan kerjasama dengan Polri.

Kedua, Polri merupakan alat negara yang berperan dalam pemeliharaan keamanan dengan tugas pokok : (1) menjaga Kamtibmas; (2) menegakkan hukum; dan (3) melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; di samping tugas-tugas tambahan lainnya termasuk bantuan (?) dan kerjasama dengan TNI.

Ketiga, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Keempat, Pembantu Presiden dalam Perumusan Kebijakan Umum Kepolisian adalah Lembaga Kepolisian Nasional (dan dalam perumusan kebijakan umum pertahanan negara adalah Dewan Pertahanan Nasional (UU No. 3/2002).

77

Page 122: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Didasari bahwa, sebagaimana disinggung di atas, ada sejumlah permasalahan rumusan konseptual yang berkaitan dengan politik keamanan.

Pertama, tidak ada konsistensi rumusan peran dan tugas TNI pada UUD dan TAP-TAP MPR, bahkan UU (No. 2 dan No. 3/2002). Rumusan tugas TNI dalam UUD justru “kalah” tegas dari rumusan TAP (VII). Sebaliknya rumusan peran dan tugas Polri dalam TAP VI lebih luas daripada rumusan UUD dan TAP VII. Oleh karena itu, rumusan yang terkandung dalam ketiga produk tersebut semestinya dipandang sebagai satu kesatuan yang saling tmemperjelas/ melengkapi/membatasi, bukan dipahami secara hirarkis. Berkenaan dengan itu pula, pemikiran untuk mencabut TAP VI dan VII karena subtansinya dipandang sudah tercakup dalam UUD dan UU No. 2 dan No. 3 justru akan menimbulkan permasalahan yang lebih serius, apabila tidak diubah secara simultan dengan penyempurnaan rumusan UUD; sebagian ketentuan dalam UU No. 2 dan No. 3 justru berlandaskan bukan pada UUD tetapi TAP MPR. Apalagi di antara ketentuan dalam TAP masih ada yang belum diatur dalam UU, misalnya UU TNI, masalah kompetensi peradilan umum atas pelanggaran pidana umum oleh anggota TNI dan bantuan TNI kepada Polri.

Kedua, Konsep pertahanan dan keamanan negara versus Keamanan Nasional. Di satu pihak Tap MPR memisahkan dengan tegas konsep pertahanan dan konsep keamanan, di lain pihak UUD mengintegrasikannya dalam konsep pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Sebelumnya telah diuraikan bahwa dari segi penggunaan kata (bahasa Indonesia) penyandingan kedua istilah tersebut menimbulkan kerancuan dan duplikasi terutama jika digunakan untuk menentukan pembagian tugas TNI dan Polri. Perumusan tersebut menimbulkan penafsiran bahwa TNI hanya mengurusi pertahanan saja, sementara Polri dipandang mendapat porsi kewenangan yang lebih luas yaitu keamanan, yang dalam UU No. 2/2002 dikaitkan pula dengan keamanan dalam negeri. Kapolri Jenderal Polisi Drs. Da’i Bachtiar telah berulang kali menegaskan bahwa keamanan dalam negeri merupakan “outcome” dari berbagai upaya dan Polri tidak berpretensi untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berperan dalam penanganan seluruh permasalahan yang menyangkut keamanan dalam negeri. Sebaliknya, UUD dan TAP MPR juga tidak mengadopsi pemikiran yang membatasi upaya pertahanan untuk hanya ditujukan terhadap ancaman dari luar negeri. UU No. 3/2002 bahkan mengatur bahwa upaya pertahanan juga ditujukan terhadap ancaman/gangguan dari dalam negeri, tetapi sepanjang

78

Page 123: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

menyangkut keamanan negara dan bersifat militer,seperti gerakan separatis berbentuk pemberontakan bersenjata.

Tugas untuk menghadapi pemberontakan bersenjata semestinya tidak dibebankan kepada Polri karena:

1) Kepolisian bukan merupakan institusi “kombatan”, sementara ancaman militer walaupun bersumber dari dalam negeri harus dihadapi dengan pendekatan “kombatan”.

2) Fungsi kepolisian ditujukan kepada unsur perbuatan manusia dan bukan unsur manusianya (fight crime and help delinquent), sementara ancaman militer pada dasarnya harus dilakukan dengan prinsip “membunuh atau dibunuh” (kill or to be killed).

3) Penggunaan kekerasan dan bahkan penembakan terhadap penjahat hanya boleh dilakukan oleh polisi sebagai alternatif yang terpaksa (accident), sementara penembakan/pembunuhan terhadap “musuh” pada dasarnya merupakan bagian dari upaya penanganan ancaman militer.

Berdasarkan pemikiran di atas, ada dua hal yang membatasi penggunaan upaya pertahanan terhadap ancaman yang bersumber dari dalam negeri, yaitu:

1) Hanya ditujukan pada ancaman terhadap keamanan negara yang teraktualisasikan dalam wujud serangan bersenjata yang terorganisir, termasuk kerusuhan massa berlatar belakang perbedaan SARA yang sedemikian rupa telah mengarah pada disintegrasi bangsa sehingga mengancam keutuhan dan negara;

2) Penggunaan upaya pertahanan terhadap ancaman yang bersumber dari dalam negeri dapat dilakukan hanya apabila kekuatan keamanan umum (Polri) dipandang tidak mampu;

Penilaian atas ancaman tersebut dilakukan oleh otoritas sipil sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku yaitu dengan menetapkan “Keadaan Darurat Militer”. Penetapan keadaan darurat militer hanya berdasarkan pada perkiraan intelijen yang akurat yang mengungkapkan kekuatan lawan guna menentukan kekuatan sendiri sehingga dapat ditetapkan jangka waktu yang relatif tertentu. Mengingat bahwa penggunaan kekuatan militer sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, maka pemberlakuan keadaan darurat harus mengakomodir kepentingan akuntabilitas publik dan menjamin akses publik dalam pengawasannya.

79

Page 124: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas maka wacana untuk mengembangkan Sistem Keamanan Nasional dapat saja dilakukan. Hanya saja istilah “nasional” (national) di sini mengandung pengertian “negara” bukan “negara beserta keseluruhan kehidupan dalam negara”. Domain Sistem Keamanan Nasional mencakup permasalahan yang berkenaan dengan keamanan negara, yang ancaman/gangguannya bersumber baik dari luar maupun dalam negeri. Pemikiran tersebut membenarkan pembentukan Dewan Keamanan Nasional sebagai pengganti Dewan Pertahanan Nasional, jika rumusan ketentuan dalam UU No. 3/2002 telah disesuaikan.

Sistem Keamanan Nasional berinterseksi dengan, tetapi tidak mencakup, sistem keamanan umum, yang domainnya meliputi permasalahan yang berkenaan dengan keamanan dan ketertiban individu/kelompok/ masyarakat, yang ancaman/gangguannya bersumber baik dari dalam maupun luar negeri. Seperti halnya dalam Sistem Keamanan Nasional, pembantu Presiden dalam perumusan kebijakan keamanan umum adalah Lembaga (Komisi) Kepolisian Nasional.

Sebagai ilustrasi perlu disinggung bahwa sistem keamanan umum berinterseksi dengan, tetapi tidak mencakup sistem penegakan hukum atau sistem peradilan pidana. Sistem keamanan umum berbicara tentang sumber permasalahan dan penanganan gangguan keamanan serta pemulihan situasi keamanan (masyarakat), sedangkan sistem penegakan hukum berbicara tentang proses peradilan mulai dari penyelidikan/penyidikan sampai rehabilitas individu pelanggar hukum. Interseksi kedua sistem tersebut timbul dalam proses penanganan kasus dan proses penyelidikan/penyidikan.

Selanjutnya, sebagaimana disinggung di atas, politik keamanan telah menggariskan tentang kewajiban bekerja sama dan saling membantu antara TNI dan Polri (TAP VI). TNI memberikan bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam UU) (TAP VII).

Permasalahan yang timbul dalam penafsiran kebijakan tersebut adalah apakah bantuan tersebut hanya menyangkut penanganan gangguan keamanan berintensitas tinggi atau juga menyangkut pemeliharaan—dalam arti pencegahan gangguan dan penjagaan—keamanan, seperti yang dipraktikkan selama ini. Menurut hemat saya, praktek bantuan dan kerja sama yang sudah terjalin selama ini perlu dipertahankan—setidak-tidaknya dalam masa transisi sampai mapannya peran masing-masing TNI dan Polri. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, seperti dikemukakan oleh Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar, bahwa TNI “tidak mendahului tetapi juga tidak terlambat” dalam penanganan kasus gangguan keamanan.

80

Page 125: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

Berkaitan dengan politik saling membantu yang ditetapkan oleh MPR, skema yang sebaliknya, yaitu dalam keadaan darurat Polri membantu TNI (TAP VII), patut dipertanyakan. Rumusan ketetapan ini berbeda dengan bantuan TNI kepada Polri yaitu dalam rangka tugas keamanan. Pertanyaannya, tugas apa yang dibantu oleh Polri? Kalau yang dimaksud adalah tugas keamanan umum dan penegakan hukum, itu memang tugas Polri, dimana dan kapan saja. Dalam keadaan darurat pelaksanaan tugas tersebut sudah barang tentu disesuaikan dengan kebijakan penguasa darurat. Tetapi kalau yang dimaksud adalah tugas pertahanan, maka hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh Polri karena bertentangan dengan Konvensi Geneva. Namun jika yang dimaksud adalah individu anggota Polri yang ingin menggunakan haknya setelah terlebih dahulu menanggalkan atributnya sebagai anggota Polri, maka di sini tidak ada bantuan intitusional Polri kepada TNI.

Sebagai kesimpulan dapat kemukakan bahwa kita memiliki “politik keamanan” sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 dan TAP MPR No. VI dan No. VII. Implementasi politik keamanan tersebut cukup efektif dalam penanganan gangguan-gangguan keamanan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun disadari bahwa rumusan-rumusan konseptualnya kadangkala menimbulkan kerancuan dan penafsiran ganda, walaupun pada hakekatnya mengandung pengertian yang jelas. Politik keamanan mengatur pemisahan atas tugas pertahanan (dalam rangka menjamin keamanan negara) yang diemban oleh TNI sebagai komponen utama, dan tugas pemeliharaan keamanan (umum) atau Kamtibmas (dalam rangka menjamin keamanan kehidupan dalam negara), yang diemban oleh Polri sebagai komponen utama.

Sejalan dengan pembagian tugas tersebut, pemikiran untuk mengembangkan Sistem Keamanan Nasional dan merubah Dewan Pertahanan Nasional menjadi Dewan Keamanan Nasional dapat saja dilakukan sepanjang domainnya menyangkut keamanan negara, bukan keamanan negara beserta seluruh aspek kehidupan dalam negara sebagaimana pernah diimplementasikan sebelumnya.

Sistem Keamanan Nasional berinterseksi dengan sistem keamanan umum, yaitu berkenaan dengan gangguan/ancaman yang bersifat militer dari dalam negeri yang ditujukan terhadap keamanan negara. Dalam hal ini pengambil-alihan penanganan oleh TNI dimungkinkan melalui skema pemberlakuan keadaan darurat militer sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

81

Page 126: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Ketahanan Nasional, Sekretaris Jenderal (2003). “Policy Paper Tentang Pengembangan Sistem Keamanan Nasional”. Jakarta.

Majelis Ulama Indonesia, Team Penulis (2001). Merajut Damai di Maluku : Tokoh Konflik Antar Umat 1999 – 2000. Jakarta : Yayasan Pustaka Umat.

Muhammad, Farouk (2003). Menuju Reformasi Polri. Jakarta : PTIK Press & Restu Agung.

Niti Bakasra, Tubagus Ronny Rahman, Prof. Dr. (2002). Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah. Jakarta: Peradaban.

Supardi, Yogi (2001). “Dewan Keamanan Nasional”. Jakarta.

Tim Nasional Reformasi (1999) “Transformasi bangsa Menuju Masyarakat Madani” Jakarta : Kantor Sekretariat Wakil Presiden R.I.

82

Page 127: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri 83

PROBLEMATIKA HUBUNGAN TNI DAN POLRI DALAM KERANGKA KEAMANAN NASIONAL

(TERUTAMA TUGAS PERBANTUAN DAN REGULASI)1

Komjen Pol (Purn) Drs. Adang Daradjatun2

Pendahuluan

Berbicara tentang “problematika hubungan TNI dan Polri dalam kerangka keamanan nasional (terutama tugas perbantuan dan regulasi)”, mengingatkan kami pada awal-awal reformasi nasional yang terjadi (1997/1998) sampai dengan tahun-tahun berikutnya sehingga terbitnya aturan-aturan yang mengatur tentang Pertahanan dan Keamanan (dulunya Pertahanan Keamanan).

Proses tersebut telah menetapkan tentang kebijakan politik pertahanan dan keamanan yang isinya dapat dilihat pada fakta-fakta di beberapa Undang - Undang yang mengatur. Selain itu ada pemikiran-pemikiran baru yang timbul, yang terus didiskusikan sampai saat ini (seperti RUU Kamnas). “ Sehingga apabila saya diminta untuk berbicara tentang “Problematika hubungan TNI – Polri dalam kerangka keamanan nasional”, mungkin pemikiran-pemikiran saya dapat dianggap “subyektif ” karena pada saat itu saya sebagai “Ketua

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Pemerhati bidang Keamanan, Mantan Wakil Kepala Polri

Page 128: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tim Reformasi Polri” bersama-sama para Perwira Tinggi Polri dan Perwira Tinggi TNI (ABRI saat itu) sebagai pejabat-pejabat yang “ikut” membantu terbitnya Undang-Undang tentang pertahanan dan keamanan. Selain dari pada itu apabila saya baca konsep RUU Keamanan, ternyata literatur-literatur yang menjadi dasar pemikiran RUU-Keamanan saat ini sama dengan literatur-literatur yang digunakan saat kita melakukan reformasi dibidang Pertahanan dan Keamanan.

Jadi apabila dalam analisa kami ini kami lebih mengkaji fakta-fakta yang ada dan masih berlaku sampai saat ini (Undang-undang yang mengatur tentang Pertahanan dan Keamanan), adalah hal yang lumrah, karena kenyataan obyektif menunjukan bahwa tiap bangsa memiliki sistem nilai internalnya sendiri, sehingga diantara bangsa-bangsa akan selalu terdapat perbedaan pemahaman tentang konsepsi keamanan nasionalnya. Dengan demikian, pemahaman jatidiri bangsa dalam rangka sistem nilai internal bangsa sendiri lebih relevan ketimbang memperbandingkan dengan konsep bangsa lain yang sistem internalnya nyata-nyata berbeda.3

Fakta-fakta yang berhubungan dengan Tugas Perbantuan dan regulasi.

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia :a. Menimbang :

1) Bahwa telah menjadi kenyataan fungsi keamanan yang dilaksanakan Polri dan fungsi Pertahanan yang dilakukan oleh TNI telah terpisah berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah sejak 1 April 1999.

2) ..............Polri di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden

3) .............Perlu perubahan Undang - Undang (Pemisahan)

3 Pemahaman Keamanan Nasional di Indonesia, Dr. Momo Kelana kenyataan obyektif menunjukan bahwa tiap bangsa memiliki sistem nilai internalnya sendiri, sehingga diantara bangsa-bangsa akan selalu terdapat perbedaan pemahaman tentang konsepsi keamanan nasionalnya. Dengan demikian, pemahaman jatidiri bangsa dalam rangka sistem nilai internal bangsa sendiri lebih relevan ketimbang memperbandingkan dengan konsep bangsa lain yang sistem internalnya nyata-nyata berbeda

84

Page 129: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

b. Pasal 1 :Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakan hukum, ketentuan hukum dan memelihara keamanan dalam negeri.

2. TAP MPR Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polria) Menimbang :

1) ...........sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan “pertahanan” Negara dengan peran dan tugas Polri sebagai kekuatan “Keamanan” dan Ketertiban Masyarakat.

b) Memutuskan : 1) Pasal 2

(1) TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara.

(2) Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan.

(3) Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu

3. TAP MPR No. VII/MPR/2000a. Pasal 2 :

(1) TNI merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan NKRI

a. Pasal 4 : (1) TNI membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan (civic

mission)(2) TNI memberikan bantuan kepada Polri dalam rangka tugas

keamanan atas permintaan yang diatur dalam Udang-undang.b. Pasal 9 :

(2) Dalam keadaan darurat Polri memberikan bantuan kepada TNI yang diatur dalam undang-undang.

85

Page 130: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

4. Undang Undang Dasar Tahun 1945

BAB XIIIPERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA

Pasal 30(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan waib ikut serta dalam usaha

pertahanan dan keamanan negara.(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui

sistem dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekutan pendukung.

(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara, dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

5. Undang Undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.a. Pasal 1

1. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya Kamtibmas, tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

b. Pasal 4Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya Kamtibmas, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat............

86

Page 131: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

c. Pasal 411. Polri dapat minta bantuan TNI, diatur dengan Peraturan

Pemerintah.2. Darurat Militer dan Perang Polri bantu TNI diatur dengan

undang-undang.d. Pasal 42

4. Hubungan Kerjasama Polri dengan badan lembaga… (dsb) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negaraa. Pasal 1

1. Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan Bangsa dan Negara.

5. Komponen Utama adalah TNI yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.

b. Pasal 73. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman non

militer menempatkan lembaga pemerintah diluar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

c. Pasal 101. TNI berperan sebagai alat pertahanan negara.3/c. Melaksanakan operasi militer selain perang.

d. Pasal 151. Presiden dibantu Dewan Pertahanan Nasional .2. Dewan Pertahanan Nasional berfungsi sebagai penasehat

Presiden.e. Pasal 20

1. Segala sumber yang digunakan diatur dengan peraturan pemerintah.

7. Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNIa. Pasal 1 (5).

Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap

87

Page 132: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

keutuhan bangsa dan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

b. Pasal 7

1. Tugas pokok dilakukan dengan (a) Operasi Militer untuk perang(b) Operasi Militer selain perang yaitu untuk :

- Membantu Polri dalam rangka tugas keamanan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.

2. Ketentuan dimaksud (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Pembahasan

1. Apabila melihat tema yang ditetapkan yaitu “Problematika hubungan TNI dan Polri dalam kerangka kemanan Nasional (terutama tugas perbantuan dan regulasi)” dihubungkan dengan proses persiapan RUU-Keamanan Nasional, kami akan menyajikan 2 (dua) tanggapan :

a. Tanggapan tentang problematika hubungan TNI – Polrib. Tanggapan tentang RUU Kamnas

2. Tanggapan tentang problematika hubungan TNI – Polri

a. Sudah banyak seminar/forum-forum pertemuan /kajian-kajian selama ini yang dilakukan (penulis hadir dan membaca naskah yang ada)

b. Dari beberapa kajian/tulisan yang sempat kami baca akhirnya ada pertanyaan dan jawaban akan hal tersebut :

1) Apakah fungsi pertahanan dan keamanan akan tetap dipisahkan atau akan disatukan lagi seperti dulu?

2) Dari semua kajian mengatakan tetap dipisahkan tetapi dalam hal tertentu ada aturan yang mengatur tentang perbantuan / kerjasama / dan sebagainya.

3) Apabila memang pendapat tersebut (2) disepakati maka, dengan mendasarkan fakta-fakta di halaman terdahulu, menurut kami sebaiknya amanat undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan membuat peraturan pemerintahnya, sehingga tidak ada lagi “ketidakjelasan” atas isi undang-

88

Page 133: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Polemik konsep pertahanan-keamanan dan masalah tugas perbantuan TNI-Polri

undang tersebut. Sebaiknya pemerintah bersama lembaga terkait segera membuat peraturan pemerintahnya, karena menurut kami, dari fakta yang ada hal-hal yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan secara jelas dinyatakan, hanya pada tingkatan-tingkatan apa TNI dan Polri dilibatkan (termasuk kegiatan yang berhubungan dengan fungsi-fungsi pemerintah lainnya)

3. Bahasan terhadap RUU Kamnasa. Karena kami (waktu masih menjadi Wakapolri) adalah penanggung

jawab atas tanggapan terhadap RUU Kamnas, maka kami berpendapat masih banyak permasalahan-permasalahan yang timbul dalam RUU tersebut, maka setidaknya RUU Kamnas perlu dikaji kembali.

b. Beberapa permasalahan antara lain :1) Kurang memenuhi ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang tata

cara pembentukan Undang Undang. (antara lain tentang tujuan/lembaga yang berwenang/adanya problematika tata hubungan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang lain)

2) Tidak sesuai dengan program legislasi nasional (antara lain tentang skala prioritas dan tidak disebarluaskan dahulu)

Kesimpulan 1. Untuk tugas perbantuan dan regulasi TNI dan Polri agar segera dibuat

peraturan pemerintahnya. (Vide Keputusan Menhankam/Pangab No. : Skep/920/M/VIII/99- tgl 2 Agustus 1999 – Tentang Tata Cara Perkuatan TNI kepada Polri)

2. Untuk RUU Kamnas, perlu dipenuhi seluruh persyaratan pembentukan Undang Undang sesuai UU No. 10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

89

Page 134: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k90

Page 135: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Bab III.Peran dan Hubungan TNI Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Page 136: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 137: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

PROBLEMATIKA HUBUNGAN TNI-POLRI DALAM MENANGANI TERORISME DAN KEJAHATAN LINTAS

BATAS1

Prof. Dr. Muladi SH2

1. Umum.

Di era demokratisasi dan globalisasi saat ini, persoalan pertahanan dan keamanan Indonesia tidak hanya berkisar pada sistem dan strategi pertahanan dan keamanan negara yang harus dirumuskan sesuai dengan geopolitik dan geostrategi Indonesia yang memiliki karakter khusus, di samping kondisi lingkungan strategis regional dan global yang berkembang secara dinamis. Namun masih terdapat persoalan-persoalan kelembagaan sebagai ekses dari proses demokratisasi yang merupakan “on going process”.

Tidak ada satupun negara di dunia ini yang dapat mengandalkan kebijakannya tanpa merumuskan kebijakan yang komprehensif integral, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Konsep itu sendiri secara sistemik merupakan keseluruhan upaya penyelenggaraan yang pada hakekatnya melibatkan berbagai lembaga/departemen terkait secara proporsional baik dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan kegiatan, hingga pada taraf

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Gubernur Lemhannas

91

Page 138: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

evaluasinya. Dalam konstruksi kabinet pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya masing-masing lembaga/departemen telah menyelenggarakan kebijakan sesuai wewenang, tugas dan tanggung jawab di bidangnya, namun disadari dalam penyelenggaraannya sebagian masih bersifat sektoral, terdapat berbagai kendala utamanya tumpang tindih dalam peraturan dan perbedaan penafsiran, persepsi sehingga pelibatan dalam penanganannya sering tidak efektif dan efisien. Di samping itu hadirnya Undang Undang yang diperuntukan kepada aktor-aktor keamanan tidak sepenuhnya mengacu pada Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 seperti terbitnya Undang Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, belum mampu merespons secara komprehensif pasal 30, ayat (2) UUD 1945, yaitu “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Sedangkan pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga tidak menyebutkan adanya tugas Polisi dalam menangani terorisme, baru kemudian diterbitkan Perppu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian menjadi UU No. 15 Tahun 2003 .

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dalam Bab I pada Pasal 1 ayat (2), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 pada Pasal 1 ayat (6) tentang Tentara Nasional Indonesia menjelaskan “Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman”. Sedangkan yang dimaksud ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.

Secara normatif, hubungan TNI-Polri tersebut sebenarnya telah diatur sebagian di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Secara tegas Pasal 41 ayat 1 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan

92

Page 139: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 41 Ayat 2 Undang Undang No. 2 Tahun 2002).

Lebih lanjut, tugas perbantuan TNI kepada aparat kepolisian sebagian juga diatur dalam Undang Undang TNI No. 34 Tahun 2004 dimana dalam rangka tugas operasi militer selain perang (military operation other than war) TNI bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang undang (Pasal 7 Ayat 2 poin 10 Undang Undang TNI). Selain itu, dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang, TNI juga bertugas mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital, membantu tugas pemerintah di daerah dan lain-lain (Pasal 7 Ayat 2 Undang Undang TNI).

Namun demikian, kendati hubungan TNI-Polri sebagian telah diatur oleh Undang Undang TNI dan Undang Undang Polri, namun kedua regulasi tersebut belumlah cukup apalagi memadai sebagai pijakan bagi kedua aktor keamanan dalam berhubungan dan berkoordinasi guna menghadapi ancaman yang terjadi. Masih banyak kendala dan problematika yang dihadapi di antara keduanya.

Pada hakekatnya TNI dan Polri merupakan aktor-aktor yang bertanggung jawab dibidang keamanan nasional, mengartikan ruang lingkup keamanan nasional tidak dapat dilepaskan dari definisi persyaratan pertahanan (defence requirements) yang pada dasarnya merupakan usaha untuk menemukan keseimbangan antara dua kebutuhan dasar dan tanggung jawab fundamental negara terhadap rakyatnya yaitu kesejahteraannya (well-being) dan keamanannya (security). Negara wajib menciptakan kesejahteraan rakyatnya termasuk generasi mendatang dan menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan yang telah dicapai, dua hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain (cannot be subdivided). Ketiadaan keamanan akan berdampak luas terhadap konsep kesejahteraan (le Roux, 1999).

2. Kebijakan Pemerintah dalam Menghadapi Aksi Terorisme dan Menghadapi Kejahatan Lintas Batas.

Definisi terorisme. Terorisme dapat dipandang dari berbagai sudut ilmu: Sosiologi kriminologi politik, psikiatri, hubungan internasional dan hukum.

93

Page 140: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Oleh karena itu, sulit merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup seluruh aspek dan dimensi berbagai disiplin ilmu tersebut. Masalah terorisme adalah masalah yang sangat kompleks karena selain melibatkan jaringan yang luas dan berlatar belakang ideologi politik, penanganannya juga perlu dilakukan secara komprehensif integral dengan melibatkan berbagai elemen kelembagaan dan bangsa. Pada awalnya strategi penanganan terorisme di Indonesia berkembang karena adanya sejumlah serangan teror seperti kasus Bom Bali 1, Hotel JW Mariott, Kedubes Australia, Bom Bali 2 dan lain-lain. Strategi tersebut lebih diwarnai dengan upaya “Post Incident” yang bersifat “fire brigade” dengan mengedepankan taktik penegakan hukum guna mengungkap kasus, menangkap pelaku dan membuka jaringan terorisme.

Sekalipun demikian secara umum definisi terorisme selalu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan berupa :

“ a violent act or threats of violence or an act dangerous to human life to cause a situation of terror or widespread fear on people or to cause security disturbances or with the purpose and appears to be intended –(1) to intimidate or coerce a civilian population; (2) to influence the policy of a government or international organization by intimidation or coercion; or (3) to affect the conduct of a government or international organization” (Black, 2002).

Dalam hal ini dapat dibandingkan pula pengertian terorisme yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 6 dan 7 UU No. 15 Tahun 2003.

Namun seiring dengan dinamika operasi penegakan hukum yang melibatkan aparat Criminal Justice System, dirasakan bahwa penanggulangan kasus terorisme tidak dapat dihadapi semata dengan penegakan hukum yang bersifat represif. Perlu dilaksanakan upaya-upaya lain yang lebih komprehensif integral (comphrehensive strategy) sesuai dengan sifat dan karakteristik khas kasus terorisme itu sendiri, yaitu upaya preemtif, preventif dan rehabilitatif, yang berorientasi pada akar permasalahannya (root causes).

Penegakan yang bersifat represif, upaya preemtif, preventif, dan rehabilitatif merupakan empat rangkaian kegiatan yang menuntut sistem koordinatif dengan melibatkan berbagai institusi pemerintahan dan unsur masyarakat. Bahkan di bidang preemtif, preventif, dan rehabilitatif, banyak unsur yang harus terlibat dengan ujung tombak justru bukan dari instansi penegakan hukum. Kegiatan preemtif untuk menyelesaikan akar masalah dan preventif guna mencegah terjadinya kasus terorisme bahkan di luar kapasitas dan domain instansi penegak hukum seperti halnya Polri.

94

Page 141: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Akar permasalahan terorisme pada dasarnya berkaitan dengan deprivasi ekonomi, perasaaan-perasaan tertekan, diskriminatif, kecewa, ketidakpuasan, kemiskinan, pengangguran, degradasi kondisi kemanusdiaan, pertumbuhan penduduk yang cepat dan padat, kelaparan, ketiadaan harapan, pendudukan asing, penderitaan sosial ekonomi politik, marginalisasi minoritas, dan runtuhnya suatu negara (fail state or state collapse). Hal-hal ini kemudian dimanipulasikan oleh kaum fundamentalis, radikalis untuk menjadi perbuatan terorisme.

Terorisme sebenarnya masuk kategori “political crime” yang dilatarbelakangi oleh faktor ideologis. Dalam kehidupan negara demokratis terkait di sini “crimes against government”, namun dalam negara-negara otoriter ada pendapat bahwa justru gerakan perlawanan dilakukan untuk melawan “crimes by government”.

Terorisme dirasakan benar-benar sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) karena penerapan target yang bersifat acak (random target, non-selective target), penggunaan senjata-senjata canggih dan tidak jarang melibatkan jaringan kejahatan transnasional terorganisasi serta jaringan antar negara.

Di Indonesia dengan sistem pemerintahan yang demokratis, maka diperlukan suatu sistem yang koordinatif dan integratif untuk mensinergikan aktor-aktor keamanan seperti TNI-Polri dan semua sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan terorisme di Indonesia.

Pemerintah Indonesia segera dapat menentukan bahwa terorisme di Indonesia merupakan masalah kriminal, yaitu dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 beberapa hari setelah kejadian Bom Bali tahun 2002. Dimana Perppu tersebut kemudian diubah menjadi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang berisi tentang berbagai tindak pidana terorisme, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, serta pengaturan kerjasama internasional. Oleh karena kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan masalah terorisme sebagai masalah kriminal, maka dalam penegakan hukumnya tidak terlepas dari dinamakan sistem peradilan pidana. Kebijakan dimaksud sejalan dengan konstitusi RI UUD 1945 yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dimana hukum merupakan panglima. Bahkan masalah promosi dan perlindungan HAM tetap dikedepankan (prinsip “safe guarding rules” dalam Pasal 2 UU No. 15 tahun 2003).

95

Page 142: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Kebijakan ini juga cukup tepat dan sesuai dengan situasi internasional dan nasional saat ini. Isu demokratisasi dan perlindungan HAM yang makin mengemuka telah menempatkan Indonesia untuk mengatasi berbagai masalah keamanan dalam negeri dengan mengedepankan penegakan hukum. Dengan langkah penegakan hukum maka setiap tindakan penggunaan kekuasaan (power) dan kekerasan (force) akan dapat dipertanggungjawabkan (accountable) secara hukum dan secara terukur.

Langkah Indonesia untuk secara intensif memberantas terorisme bukan atas pesanan negara lain, tetapi semata-mata karena berkali-kali menjadi ajang perbuatan terorisme dengan korban yang signifikan, selanjutnya juga dengan semangat untuk melaksanakan paling tidak 12 Konvensi Internasional melawan terorisme serta mematuhi pelbagai Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menganggap terorisme internasional sebagai bahaya bersama terhadap perdamaian dan keamanan internasional (threats to international peace and security).

Berkaitan dengan problematika hubungan TNI-Polri dalam menangani terorisme aparat militer seperti TNI-AD, TNI-AU, dan TNI-AL juga bisa diperankan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Di samping memiliki kapabilitas dalam penanggulangan terorisme seperti Detasemen 81/Gultor dari Kopassus TNI-AD. Detasemen Bravo dari Kopaskhas TNI-AU dan Detasemen Jala Mengkara dari Marinir TNI-AL, aparat militer memiliki jaringan intelijen dan teritorial yang sangat luas.

Pada situasi tertentu polisi tidak dapat mengatasi serangan terorisme. Ancaman yang dinilai sangat besar dan melebihi kapasitas polisi seperti penyanderaan dengan kekuatan bersenjata yang penanganannya memerlukan dukungan logistik yang panjang. Dalam situasi seperti ini, militer dapat digunakan dalam rangka penegakan hukum.

Ada empat kondisi dimana militer dapat digunakan untuk penanggulangan terorisme :

a. Military force has been used as an extension of police force.b. When terrorist groups are supported by countries or when they operate from

specific geographic areas, military force has been used to strike terrorist based.

c. Military force has been the evolution of counter terrorist commando units. These has been used primarily in hostage rescue operation, but they have also been employed as specialized strike units.

96

Page 143: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

d. With the threat of destruction from WMD, specialized military responses have been developed for a technological attack. (White, 2003, 277).

Penggunaan kekuatan militer untuk tindakan penanggulangan terorisme sebaiknya mengikuti standar internasional penggunaan kekuatan dan senjata, dalam rangka penegakan hukum dan tetap menghormati hak asasi manusia.

Oleh karena ancaman terorisme masih belum ditangani oleh aktor-aktor keamanan secara akomodatif, komprehensif dan integral dalam satu wadah peraturan perundang-undangan maka diperlukan satu peraturan perundang-undangan yang akomodatif terhadap semua pihak aktor-aktor keamanan nasional secara terpadu, bukan saja berisi sistem, prosedur dan tata caranya namun seyogyanya memuat tata cara penindakan secara terpadu serta penyediaan dana, sarana dan prasarana pendukungnya.

Menghadapi kejahatan lintas negara

Palermo Convention 2000 tentang TOC mendefinisikan kejahatan transnasional sebagai berikut (Art. 3 (2)) :

“a. It is committed in more than one State;b. It is committed in one State but a substantial part of its preparation,

planning, direction or control takes place in another state;c. It is committed in one State but involvers a organized criminal group that

engages in criminal activities in more than one State; ord. It is committed in one State but has substantial effects in another State“.

Di samping pedoman dalam mengatasi transnational organized crimes atas dasar Palermo Convention tahun 2000, salah satu dokumen penting yang ditandatangani pada KTT ASEAN ke-9 di Nusa Dua Bali adalah Deklarasi Bali Concord II atau dinamai pula ASEAN Concord II. Deklarasi itu menyebutkan tiga pilar utama sebagai pembentuk kawasan Asia Tenggara, yaitu Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Social Cultural Community/ASCC). Ketiganya merupakan bagian penting dari Bali Concord II yang disahkan para kepala negara/pemerintah ASEAN. ASC merupakan usulan dari pihak Indonesia dalam mewujudkan suatu keamanan regional intra ASEAN. Namun, istilah keamanan di situ bukan dalam pengertian militer, melainkan tatanan yang mewujudkan integrasi ekonomi melalui konsep komunitas. Pengertian secara mendalam ditegaskan Menlu Hassan Wirajuda pada suatu kesempatan seminar “Kerjasama ASEAN, mewujudkan Komunitas

97

Page 144: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Ekonomi dan Keamanan ASEAN”. “Istilah keamanan bukan dalam pengertian keamanan militer, tetapi suatu upaya membangun tatanan regional yang berujung pada integrasi ekonomi melalui konsepsi komunitas ekonomi dan dari sisi politik dan keamanan menjadi satu konsep Komunitas Keamanan ASEAN”, Konsep tersebut telah dilontarkan Indonesia pada pertemuan para menlu se-ASEAN ke-36 (AMM) di Pnom Penh, Kamboja. “Indonesia terdorong mengajukan konsep Komunitas Keamanan ASEAN (ASC) untuk mewujudkan ASEAN yang bebas konflik. Maka, komunitas keamanan dapat didefinisikan sebagai kelompok negara-negara yang telah mengembangkan kebiasaan berinteraksi secara damai dalam jangka panjang dan meniadakan penggunaan kekuatan bersenjata dalam menyelesaikan masalah di antara anggotanya. Terdapat perbedaan antara pengertian Komunitas Keamanan dan Rezim Keamanan (Security Regime) yang mensyaratkan adanya kekuatan eksternal dan mengandalkan perimbangan kekuatan (balance of power) serta tidak dimaksudkan untuk membentuk organisasi pakta pertahanan. “Selain itu, penolakan atas penggunaan atau ancaman penggunaan kekuatan bersenjata harus menjadi dasar bagi ASC. ASEAN juga harus mengubah dirinya dari institusi manajemen konflik menjadi penyelesaian konflik“. (Hasan Wirayuda, Jakarta, 2006).

Bentuk kerjasama negara-negara ASEAN dalam menanggulangi kejahatan lintas negara (Transnasional crime).

Bentuk kerjasama yang telah dilaksanakan oleh negara-negara ASEAN dalam menanggulangi kejahatan transnasional saat ini adalah sebagai berikut:

a. Pembentukan Kesepakatan yang mengikat.Dalam memerangi kejahatan transnasional, negara-negara anggota ASEAN melakukan kesepakatan atau perjanjian yang lebih mengikat baik bilateral maupun multilateral. Pengikatan tersebut dilakukan dengan cara :

1. Meratifikasi konvensi-konvensi internasional ke dalam Undang Undang negara masing-masing.

2. Melakukan perjanjian ekstradisi dengan negara-negara anggota ASEAN. Dasar hukum bagi Indonesia dalam melakukan perjanjian ekstradisi adalah Undang Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Sampai saat ini, Indonesia baru merealisasikan perjanjian

98

Page 145: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

ekstradisi dengan 4 (empat) negara ASEAN dan 3 (tiga) negara di luar ASEAN yaitu:a) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia yang disahkan

berdasarkan UU No. 9 Tahun 1974.b) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Filipina yang disahkan

berdasarkan UU No. 10 Tahun 1976.c) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand yang disahkan

berdasarkan UU No. 2 Tahun 1978.d) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Australia yang disahkan

berdasarkan UU No. 8 Tahun 1994.e) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Hongkong yang disah-

kan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2001.f ) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Korea Selatan,g) Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura masih dalam

proses di DPR RI.3. Melakukan Kesepakatan/Perjanjian tentang Bantuan Timbal

Balik Hukum di bidang Kejahatan (Mutual Legal Asistanse in Criminal Matter-MLA) negara-negara anggota ASEAN telah melakukan perjanjian multilateral tentang MLA pada tanggal 29 November 2004 di Kuala Lumpur, Malaysia; Namun baru Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam yang sudah meratifikasinya. Selain itu Indonesia telah melakukan perjanjian MLA dengan tiga negara di luar ASEAN yaitu Australia, Republik Rakyat Cina (RRC), Korea Selatan, namun baru perjanjian MLA dengan Australia yang diratifikasi/disahkan oleh DPR-RI. Sedangkan Perjanjian MLA dengan Prancis dan Hongkong masih dalam pembahasan. Dasar hukum untuk melakukan perjanjian MLA antara Indonesia dengan negara lain adalah Undang Undang No. 1 Tahun 2006 tanggal 3 Maret 2006 t e n t a n g Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

4. Kerjasama dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang. Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melakukan kerjasama dengan 3 (tiga) negara ASEAN dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang yang dituangkan

99

Page 146: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU), yaitu Thailand, Malaysia dan Filipina.

5. Membuat Kesepakatan Bersama melalui Nota Kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) tentang Penanggulangan Kejahatan Transnasional, antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina, Malaysia.

6. Sampai saat ini, kesepakatan ini belum diintensifkan dalam operasional penanggulangan kejahatan transnasional karena belum ada mekanisme yang mengatur kerjasama tersebut.

b. Untuk TNI-Polri.

TNI bekerjasama dalam intelligence sharing, terorisme, penempatan atase militer, tukar menukar siswa dan patroli bersama perbatasan dengan negara-negara ASEAN. Sedang antara anggota kepolisian negara ASEAN melakukan; investigasi bersama, tukar menukar informasi/intelijen kriminal, penempatan perwira penghubung (Liaison Officer), penunjukan contact person, penunjukan negara focal point, pembangunan capacity building.

c. Kebijakan, Posisi dan Peran Indonesia.

Indonesia telah menyuarakan kepada ASEAN untuk memperkuat kerjasama ASEAN dalam rangka pemberantasan korupsi yang terkait dengan pncucian uang dan perubahan kewarganegaraan, yang selama ini ditengarai dilakukan oleh beberapa WNI pelaku kejahatan korupsi besar-besaran. Di samping itu, Indonesia juga telah menyuarakan kepentingan untuk memperkuat kerjasama internasional/ASEAN dalam rangka memerangi child sex tourism melalui pendekatan multi-prongs termasuk memerangi demand atas child sex tourism, dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa anak-anak yang terlibat dalam aktivitas ilegal tersebut merupakan korban eksploitasi yang perlu dilindungi di bawah Konvensi Hak Anak. Indonesia mendukung segala upaya baik di tingkat nasional, bilateral, regional maupun internasional dalam upaya-upaya memberantas segala bentuk dan manifestasi kejahatan-kejahatan lintas negara.

Hingga saat hampir di seluruh perbatasan baik di laut maupun di darat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia masih terdapat berbagai kendala komunikasi dan koordinasi, sehingga memudahkan

100

Page 147: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

bagi pihak-pihak lain untuk berbuat melanggar hukum di wilayah perbatasan utamanya tidak tersedianya pos-pos pengaman dan pengawas yang dapat berhubungan secara cepat baik secara lokal maupun ke pusat.

Oleh karenanya, secara internal memang perlu pola pembangunan daerah perbatasan karena sifat-sifatnya yang khas, pada semua daerah perbatasan seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua, Timor di samping perbatasan laut. Pola itu harus memasukan kepentingan kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional. Secara garis besar dikemukakan bahwa di sepanjang garis batas di daratan harus dibangun jalan lintas dari ujung ke ujung, kemudian pada titik tertentu dibangun jalan akses yang menghubungan desa dan kecamatan yang terdekat. Bagi aspek hankam pembangunan jalan lintas sepanjang garis batas sangat diperlukan untuk meningkatkan mobilitas patroli daerah perbatasan utamanya untuk mengamankan sumber kekayaan alam yang ada di sepanjang daerah perbatasan.

d. Teroris tidak dapat ditolerir karena bertentangan dengan perikemanusiaan yang adil dan beradab, Selanjutnya korban teror dan sandera adalah korban yang tidak berdosa dan harus diselamatkan.

e. Pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme. Terorisme harus dibasmi tanpa mengenal kompromi.

3. Peran dan Fungsi aktor-aktor keamanan dalam penanggulangan aksi terorisme dan kejahatan lintas batas.

Perkembangan dan kecenderungan dalam konteks strategis memberi indikasi bahwa ancaman tradisional berupa agresi atau invasi sesuatu negara terhadap negara lain sangat kecil kemungkinannya. Sedangkan kecenderungan keamanan global memunculkan ancaman baru, yakni ancaman keamanan yang bersifat non-tradisional (non-traditional security threats) yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Ancaman keamanan non-tradisional tersebut pada awalnya merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban publik. Namun pada tingkat eskalasi tertentu, ancaman dapat berkembang sampai pada taraf yang membahayakan keselamatan bangsa. Untuk mencegah

101

Page 148: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dampak yang lebih luas dan mengatasi ancaman yang mungkin timbul, diperlukan kehadiran kekuatan militer. Diperkirakan, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia lebih besar kemungkinannya yang berasal dari ancaman non-tradisonal, baik yang bersifat lintas negara maupun yang timbul didalam negeri. sehingga, kebijakan strategis pertahanan Indonesia untuk menghadapi dan mengatasi ancaman non-tradisional merupakan prioritas dan mendesak. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 3 tahun 2002, yaitu TNI mempunyai tugas untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Oleh karena itu, kebijakan pertahanan negara untuk menghadapi dan mengatasi ancaman non-tradisional dilaksanakan dengan OMSP yang dipertanggungjawabkan kepada TNI. Dalam pengalaman tugasnya, TNI sarat dengan pengalaman operasi militer selain perang, baik di dalam maupun luar negeri.

Hakekat Ancaman Keamanan Non-Tradisional atau Ancaman Non-Militer.

Dengan usainya Perang Dingin, ancaman keamanan yang non-tradisional menjadi perhatian bagi negara-negara, NGOs, para pakar dan organisasi internasional. Secara tradisional, keamanan telaah didefinisikan dalam kerangka geo-politik, yang mencakup pelbagai aspek seperti “deterrence, power balancing dan military strategy”. Digunakannya istilah “security” dalam masalah ancaman tradisional dengan tujuan agar supaya masalah ini mendapatkan perhatian serius dari negara-negara.

Krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an telah menyadarkan manusia terhadap faktor-faktor lain penyebab ketidakamanan (other causes of insecurity), dengan kata lain konsep keamanan harus diperluas keluar dari terminologi militer yang sempit, yang dianggap sebagai “intellectual myopia” atau “intellectual strait jacket”.

Bahaya terhadap keamanan tradisional pada hakekatnya cenderung bersifat transnasional dan mencakup bahaya terhadap alam, ekonomi dan pembangunan dan sosial-politik seperti: terorisme, kultur militerisme, kejahatan terorganisasi, perdagangan narkotika gelap, konflik etnis, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut (sea piracy), illegal fishing, illegal logging, perubahan iklim (climate change), ekstrimisme, peledakan penduduk, urbanisasi, keterbatasan sumber yang mengakibatkan kemiskinan, krisis ekonomi/finansial, migran gelap, perdagangan manusia (termasuk perdagangan organ manusia) penyelundupan, bencana alam, perdagangan senjata (ringan) gelap, gerakan separatis, radikalism, penyakit infeksi menular, konflik etnik dan agama dan

102

Page 149: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

degradasi lingkungan. Dampak dari hal-hal tersebut telah diperparah oleh proses globalisaalisasi sejak tahun 1990-an, yang mengakibatkan kesenjangan antar dan inter negara termasuk krisis energi khususnya dengan kemajuan pesat di bidang telekomunikasi, TI dan transportasi modern. Semua hal ini telah mengikis (eroded) batas-batas ekonomi tradisional dan transnasionalisasi dampak issue dan masalah lokal. Contoh penyakit menular (pandemik), krisis ekonomi, maraknya terorisme dan kejahatan transnasional terorganisasi yang mendayagunakan teknologi internet dan komputer.

Dalam hal ini “individual security” sangat berbeda dengan “nation’s security”. “Human security” akan berkaitan dengan kondisi kehidupan sehari-hari seperti makanan, tempat berlindung, lapangan kerja, kesehatan, kemanan masyarakat, dan HAM, lebih daripada sekedar dalam kaitannya dengan hubungan antar negara, dan kekuatan militer.

Dengan demikian pendekatan keamanan yang didasarkan atas “state–centrism” harus digantikan oleh kerangka “human security” yang mencakup keamanan individual, masyarakat dan kelompok.

Dalam hal ini definisi UNDP tahun 1994 tentang “human security” termasuk “issues such as unchecked population growth, disparities in economic opportunities, migration pressures, environmental degradation, drug trafficking and international terrorism”.

Dalam hal ini bahaya non-tradisional di pelbagai negara dianggap bisa mencederai kedaulatan negara dan menimbulkan bahaya terhadap masyarakat, sehingga dalam beberapa hal timbul dilema antara pelibatan militer untuk mengatasinya dengan semangat demokratisasi.

Khusus bahaya terhadap keamanan yang non-tradisional berupa kelompok bersenjata transnasional, terorisme, perompakan dan ekstremisme terdapat “overlap” dimana “soft security” berinteraksi dengan ancaman tradisional berupa “hard security”.

Dalam melaksanakan OMSP, TNI tidak akan mengambil alih peran instansi pemerintah yang lain dan tidak selalu berperan secara tunggal. Pada keadaan tertentu, TNI melaksanakan OMSP bersama-sama dengan instansi fungsional dalam suatu keterpaduan usaha yang sinergis. Sesuai bentuk ancaman, OMSP dilaksanakan TNI dengan memprioritaskan tindakan preventif dibandingkan dengan tindakan refresif. Keberhasilan tindakan preventif akan mampu menghindari jatuhnya korban dampak negatif yang lebih besar.

103

Page 150: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Secara eksplisit dalam Undang Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam Pasal 7 tugas TNI adalah :

a. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

b. Tugas pokok TNI sebagaimana dimaksud dilakukan dengan :

1) Operasi militer untuk perang2) Operasi militer selain perang yaitu untuk :

- Mengatasi gerakan separatis bersenjata.- Mengatasi gerakan pemberontakan bersenjata.- Mengatasi aksi terorisme- Mengamankan wilayah perbatasan- Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis.- Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan

kebijakan politik luar negeri.- Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta

keluarganya.- Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan

pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta.

- Membantu tugas pemerintahan di daerah.- Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang undang.

- Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia.

- Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.

- Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search dan rescue).

- Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

104

Page 151: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Sedangkan secara eksplisit dalam Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Bab III pada Pasal 13 tugas Polri adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.b. Menegakkan hukum,c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

- Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

- Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan.

- Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

- Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.- Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.- Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

- Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

- Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.

- Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

- Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

- Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.

- Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

105

Page 152: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tindakan Preventif.

Kegiatan penanggulangan anti teror ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aksi teror. Kegiatan ini meliputi teknik pencegahan kejahatan murni yang ditujukan untuk memperkuat target serta prosedur untuk mendeteksi aksi teror yang terencana. Perencanaan dan latihan adalah unsur penting dalam program penanggulangan teror. Kegiatan preventif meliputi perencanaan, tindakan pencegahan, persiapan dan latihan sebelum insiden terjadi. Selama tahap ini pertimbangan diberikan kepada penelitian, pengumpulan informasi dan intelijen, tindakan pencegahan, perencanaan yang mendalam serta latihan yang intensif. Pengalaman membuktikan bahwa pencegahan adalah cara terbaik untuk melawan terorisme. Ada beberapa langkah dalam pencegahan meliputi:

- Intelijen. Pengumpulan keterangan/intelijen mengenai teroris adalah hal terpenting dalam memerangi teroris. Siapa teroris, kapan, dimana dan bagaimana ia akan melancarkan aksinya adalah pertanyaan yang harus terjawab dalam pengumpulan intelijen ini. Informasi yang dikumpulkan meliputi bidang sosial, ekonomi dan politik dari suatu daerah.

- Analisa Ancaman. Idealnya langkah ini dilaksanakan secara terus menerus. Analisa terhadap ancaman ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan ancaman yang dapat terjadi. Dalam melakukan analisa ini kita harus berfikir dari sudut pandang seorang teroris. Bagaimana kita akan melancarkan aksi teror terhadap sasaran? Daerah mana yang memiliki titik lemah dan kerawanan? Strategi dan taktik apa yang akan digunakan.

- Pengamanan Operasi. Pengamanan operasi atau kegiatan merupakan hal penting dalam pencegahan terjadinya aksi teror. Dalam pelaksanaan aksinya, teroris akan mengeksploitasi data intelijen dari sasaran. Data intelijen ini diperoleh dari menggunakan agen, peyadapan dengan alat komunikasi dan penggunaan foto intelijen. Hal ini dapat kita cegah dengan kegiatan lawan intelijen serta dengan meningkatkan kesiapsiagaan terutama aparat keamanan. Dasar dari pengamanan kegiatan ini adalah rasa kepedulian dan latihan.

- Pengamanan Personil. Tidak seorangpun yang kebal terhadap serangan dari teroris. Dalam memilih sasarannya teroris tidak pernah memandang bulu. Target dapat berupa kantor pemerintah, instalasi

106

Page 153: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

atau tempat-tempat umum. Orang-orang yang berada di tempat tersebut menjadi sasaran teroris semata-mata karena mereka berada di tempat tersebut saat serangan teroris. Seringkali teroris juga memilih orang-orang tertentu sebagai sasaran untuk penculikan, penyanderaan dan pembunuhan.

- Pengamanan Fisik. Pengamanan fisik mencakup pengamanan terhadap berita, materi serta pencegahan tindak kejahatan. Meskipun tindak kejahatan termasuk dalam kegiatan teoris namun terdapat beberapa perbedaan yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan pengamanan fisik. Teroris biasanya lebih terorganisir, terlatih, dan lebih memiliki motivasi dibanding kriminal biasa.

- Wewenang dan Yuridiksi. Dalam menghadapi aksi teror harus jelas batas wewenang dan wilayah tanggung jawab dari setiap satuan yang terlibat, sehingga dapat tercipta satu kesatuan komando.

- Pembentukan Manajemen Krisis. Merespon dari insiden terorisme dibutuhkan suatu keahlian khusus dan banyak pertimbangan. Tindakan yang paling awal adalah insiden yang terjadi harus dipastikan aksi teroris bukan hanya sekedar tindak kejahatan. Langkah selanjutnya adalah rencana operasi harus segera dibentuk untuk menghadapi aksi teroris tersebut. Karena aksi teroris tidak mengenal batas wilayah, maka penanganannya pasti melibatkan banyak unsur, baik itu kepolisian, militer maupun pemerintah, untuk itu dibutuhkan suatu badan yang mengkoordinasikannya. Badan tersebutlah yang bertanggung jawab membentuk manajemen krisis agar setiap tindakan dapat terarah dan terpadu secara efektif dalam menangani terorisme.

- Tindakan Represif. Segala usaha dan tindakan untuk menggunakan segala daya yang ada meliputi penggunaan alat utama sistem senjata dan sistem sosial yang ada untuk menghancurkan aksi teror. Dalam pelaksanaan penanggulangan teror pembuat keputusan harus memahami benar kemampuan dari tim aksi khusus dan hanya menggunakan tim ini dalam perang yang berada dalam koridor kemampuannya. Penggelaran dari kekuatan tim aksi khusus ini akan tergantung pada situasi yang terjadi. Dalam manajemen penanggulangan teror ini pelaksanaan operasi.

107

Page 154: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

4. Masalah yang dihadapi Indonesia dalam penanggulangan aksi terorisme dan kejahatan lintas batas.

Secara faktual bahwa terorisme adalah ancaman global yang dapat masuk ke dalam sebuah negara dengan cara apapun dan rumit diidentifikasi pola aksinya. Sedangkan di Indonesia, dimana dua pertiga wilayah negaranya adalah perairan dan diliputi oleh pulau-pulau kecil yang saling berjauhan menyebabkan potensi masuknya ancaman terorisme semakin besar.

Dalam proses demokratisasi dan perubahan dalam menghadapi tuntutan masa depan yang memerlukan peningkatan kinerja dan profesionalisme aktor-aktor keamanan nasional seperti TNI-Polri utamanya dalam penanggulangan aksi terorisme dan kejahatan lintas batas, menghadapi beberapa masalah :

a. Dalam UU Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 25 A adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang undang. Namun penetapan Undang Undang tentang batas wilayah NKRI inipun masih dalam proses. Walaupun terorisme tidak mengenal batas wilayah.

b. Program memerangi terorisme adalah menetralisir kelompok teroris, untuk itu menetralisasi kelompok tersebut harus benar-benar akurat dan tuntas memerlukan pola tindakan yang komprehensif integral mulai dari mendeteksi idea, jaringan organisasi, aktivitas dan kemampuan, sarana prasarana dukungan dana dan hubungan kompleksitas lainnya. Ini memerlukan sumber daya manusia yang terlatih, terdidik, dan profesional. Sumber daya manusia cukup kita miliki tetapi untuk menjadikan profesional memerlukan dana yang cukup memadai untuk ini dukungan masih belum mencukupi.

c. Untuk kegiatan operasional dalam menggapai kegiatan preventif juga memerlukan standar keamanan dan standar operasi yang memadai, hal inipun belum tertata dalam sistem dan metoda piranti lunak yang komprehensif integral perlu penataan ulang.

d. Idealnya sebuah operasi gabungan TNI-Polri dan unsur terkait lainnya seperti imigrasi dll terkendali oleh sebuah sistem semacam Pusat Komando Pengendali Terpadu Nasional yang bersifat tetap, hal ini sangat diperlukan dan belum terwujud.

108

Page 155: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

e. Yang lebih penting adalah terwujudnya :

1) Organisasi Terpadu secara nasional yang bersifat tetap yang bertugas menangani terorisme dan pelintas batas.

2) Persepsi dan interpretasi yang sama dalam mengedepankan ancaman.

3) Legitimasi aktor-aktor keamanan terpadu berupa payung hukum tetap dalam menjalankan tugasnya baik secara organisasi maupun perorangan.

4) Dukungan sarana dan prasarana serta dana yang memadai.

5. Membangun hubungan dan koordinasi Polisi dan TNI yang efektif dan konstruktif dalam menanggulangi aksi terorisme dan kejahatan lintas batas.

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR 2000 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Bab I Pasal 4 Tugas bantuan TNI ayat (2). Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam Undang Undang. Dalam Pasal 9 tugas bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada ayat (1) dalam keadaan darurat Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia yang diatur dalam Undang Undang.

Dalam kaitan tersebut maka aktor-aktor keamanan tersebut telah mempunyai legitimasi secara hukum dalam tugasnya. Namun dalam kaitan menanggulangi terorisme dan pelintas batas kendati keduanya sama-sama mempunyai tugas dan tanggung jawab, tidak diatur dalam suatu sistem dan metode yang sama, pelibatan yang terpadu, dukungan sarana dan prasarana serta dana yang terpadu. Bahkan dalam rekrutmen penyiapan sumber daya manusia terlatih dan terdidikpun mempunyai pola yang berbeda. Hal-hal itu tentu akan mengakibatkan kendala-kendala yang sifatnya signifikan, tidak efektif dan sulit untuk menghasilkan outcome yang optimal. Bisa jadi menimbulkan kompetisi yang tidak sehat.

Oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah yang konstruktif dalam suatu konsep strategis sebagai berikut :

a. Idealnya sebuah pembangunan kekuatan secara gradual adalah didahului oleh penyiapan satuan unit organisasi. Bila unit organisasi itu sudah satu persepsi (TNI-Polri) utamanya. Sebagai contoh besaran

109

Page 156: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

organisasi berupa divisi atau brigade maka disusunlah sistem yang berisi tugas, peran dan fungsi yang kemudian diisi personil, dari TNI-Polri dan unsur lain yang diperlukan serta menggunakan standar kompetensi tertentu, selanjutnya diisi sarana dan pendukung dan ditetapkan secara hukum serta diberi program untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

b. Agar organisasi tersebut berjalan dan hidup maka tugas dan fungsi itu juga diberikan fungsi organik pembinaan yang isinya adalah :

1) Mempertahankan siklus kehidupan organisasi dengan penyiapan kader melalui rekrutmen dan pemisahan pada suatu saat sudah tidak dibutuhkan.

2) Diberikan latihan secara bertahap, bertingkat dan berlanjut untuk mengisi dan menempati jabatan sesuai kualifikasi yang dimilikinya, selanjutnya diberikan pendidikan khusus secara berjenjang baik dalam maupun di luar negeri.

Pada dasarnya dalam menumbuhkan konstruksi bangunan harmonisasi hubungan TNI-Polri, masalah yang paling mendasar esensial dan akan membentuk suatu soliditas aktor-aktor keamanan nasional yang prima, adalah terintegrasinya pelaksanaan tugas dan kegiatan secara terpadu di semua aspek dalam unsur-unsur keamanan nasional. Sebab ancaman di masa depan dalam era telematika semua obyek ancaman akan menggunakan telematika tersebut sehingga akan menjadi lebih rumit dan kompleks tanpa mengenal waktu dan batas-batas wilayah baik secara global, regional maupun nasional. Dalam penanganan dan penindakan terhadap ancaman ke depan tidak mungkin lagi secara spasial kelembagaan tetapi menuntut kemampuan kelembagaan terpadu secara nasional, bahkan untuk menghadapi ancaman global dimungkinkan suatu negara secara mandiri tidak mampu menangani, artinya harus bekerja sama secara bilateral ataupun multilateral. Dengan demikian maka konsep hubungan TNI-Polri yang konstruktif seyogyanya menggunakan konsep komprehensif integral dalam melaksanakan tugas-tugas keamanan nasional.

c. Mengingat pelbagai karakteristik yang bersifat transnasional dari terorisme dan kejahatan lintas batas, maka di samping langkah-langkah penanggulangan yang bersifat preemtif, repressif, preventif dan rehabilitatif, maka harus mencakup pula:

110

Page 157: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

- Penguatan terhadap kemampuan nasional (strengthen national capacity);

- Peningkatan pelibatan “civil society”;- Pendekatan yang bersifat jangka panjang;- Peningkatan kerjasama internasional dan regional.

Catatan :

Apapun bahayanya yang bersifat transnasional, Indonesia harus menghormati prinsip bebas bebas aktif dan menghormati prinsip hukum internasional. Sebagai contoh yang dikembangkan Indonesia adalah konsep “cooperative security” dalam arti langlah-langkah atau usaha-usaha multilateral untuk mencapai keamanan antar partisipan melalui “non military means”, tanpa mengkaitkannya dengan istilah atau status teman atau musuh bagi yang terlibat (security with others). Hal ini berbeda dengan “collective defence and collective security” yang bernuansa “military alliances” yang diarahkan kepada musuh tertentu (security against enemy) (Katsumata, 2007).

Selanjutnya sikap Indonesia untuk absen dari apa yang dinamakan “Proliferation Security Initiative Activities” yang dipelopori AS untuk yang merupakan “a voluntary group of partner nations working together to halt the trafficking of weapons of mass destruction, their delivery systems, and related materials to and from states and non state actors of proliferation concern”, sangat tepat, karena ada kecenderungan dapat melanggar hukum internasional. (Porth, 2007).

111

Page 158: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Daftar Pustaka

Anggoro, Kusnanto, Konsep Keamanan Universal Dalam Mengatasi Isu Terorisme, 2007.

IDSS, Non-Traditional Security Threat in South East Asia, 2001.

Katsumata, Hiro, Asean Security Community, Singapore, 2007.

Len le Roux, Defining defence requirements : Force dedign considerations for the Soth African National; Defence Force, African Security Review Vol. 8 No. 5 , 1999.

Muladi, International Terrorism, IDSS Singapore 2006.

Mc Clean, Transnational Organized Crimes, Oxford University Press, 2007,

Prihadi, Pemberdayaan Asean Security Community (ASC) Melalui Peningkatan Patroli Bersama Perbatasan Negara-negara Asean Guna Terciptanya Kewaspadaan Nasional Dalam Rangka Stabilitas Nasional, 2007.

Suprapto, Bekto,. Upaya Koordinasi antar Lembaga Keamanan dan Pemberdayaan Civil Society, 2005.

Suripto, Kebijakan Strategi Pencegahan dan Penanganan Terorisme, Tahun 2007.

112

Page 159: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

MASALAH-MASALAH HUBUNGAN TNI DAN POLRI UNTUK PENANGANAN TERORISME DAN KEJAHATAN

LINTAS BATAS *

Prof. Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D**

“...every time we stand up for human rights and fundamental freedoms, we stand up against terrorism. Every time we act to resolve political

disputes, we act against terrorism. Every time we make the rule of law stronger, we make terrorists weaker.”(Koffi Annan)1

Pendahuluan

Kutipan di atas menunjukan kepada kita bahwa permasalahan terorisme sangat terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Terlebih lagi, hakekat transnasional dari konsep terorisme juga menempatkan kesuksesan atas berbagai usaha untuk memerangi terorisme terletak pada pertimbangan analisis dan formula multi-level maupun multi-sektor akar terorisme2. Hal ini terutama

* Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

** Wakil Rektor bidang Hubungan dan Kerjasama, Universitas Katolik Parahyangan dan Dosen Senior pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada universitas yang sama.

1 Dikutip dari http://www.un.org/apps/news/infocusRel1.asp?infocusID=8&Body=terror&Body1=, diakses pada tanggal 10 Maret 2005.

2 Hal ini, misalnya, tergambar dalam hasil penelitian yg dilakukan Departemen Luar Negeri Denmark dan Nordic Institute of Asian Studies/NIAS. 2003. Development Cooperation as an Instrument in the Prevention of Terrorism, dimana penulis juga menjadi salah satu anggota tim peneliti.

113

Page 160: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

karena serangan-serangan teroris tersebut adalah serangan atas kemerdekaan dan peradaban —sebagai bagian dari makin meluas dan mendalamnya konsep keamanan – di berbagai pelosok dunia. Globalisasi teror serta ketakutan yang mengikutinya memaksa banyak negara untuk meninjau kembali dan memperkuat keamanan (nasional) mereka dari keamanan tradisional menuju keamanan non-tradisional.3

Sejalan dengan perkembangan dari berbagai literatur mengenai studi keamanan nasional dan perdamaian demokratis4, upaya berbagai negara demokratis untuk menyediakan keamanan bagi rakyatnya dipengaruhi oleh keyakinan bahwa kualitas keamanan yang dapat disediakan negara akan tergantung kepada kemampuan negara termasuk peran seluruh elemen masyarakatnya dalam mengorganisir aparat keamanannya dalam koridor demokrasi.5

Makalah ini berusaha untuk mengkaitkan permasalahan terorisme dan kejahatan lintas batas sebagai salah satu ancaman terbesar keamanan manusia dewasa ini serta arti penting hubungan antara TNI dan Polri dalam mengatasi permasalahan terorisme. Makalah ini juga menyoroti keterkaitan antara negara lemah/gagal dengan terorisme. Bagian terakhir makalah ini menggarisbawahi keterpaduan strategi dan implementasi pengembangan konsep keamanan komprehensif dalam mengatasi persoalan terorisme dan kejahatan lintas batas.

Ancaman Transnasional dan Keamanan Nasional

Akar permasalahan terorisme sebagai sebuah ancaman transnasional6 mempunyai banyak dimensi serta kompleksitas tinggi, dan sebuah respon tunggal, yakni respon militer-koersif, hanyalah akan menimbulkan berbagai permasalahan baru yang lebih besar dan rumit. Terorisme menyerang nilai-nilai yang menghormati hak asasi manusia, supremasi hukum, toleransi antar

3 Lihat Sean Kay (2004). Globalization, Power and Security, dalam Security Dialogue. Vol.35. No.1. hal. 9-26.

4 Lihat misalnya Tarak Barkawi, Mark Laffey (1999). The Imperial Peace: Democracy, Force and Globalization, dalam European Journal of International Relations. Vol.5. No.4. hal. 403-434.

5 Lihat misalnya, Anak Agung Banyu Perwita (2005). Terrorism, Democracy, and Security Sector Reform in Indonesia. Dalam The Indonesian Quarterly. Vol.33. No.2. CSIS: Jakarta, hal.169-182.

6 Ancaman Transnasional dapat didefinisikan sebagai “..ancaman yang tidak mengindahkan batas-batas nasional dan seringkali ditimbulkan oleh aktor-aktor non-negara, seperti teroris dan organisasi-organisasi kriminal..” Lihat A National Security Strategy for A New Century, Washington: The White House, Desember 1999. hal. 2.

114

Page 161: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

masyarakat serta resolusi konflik secara damai. Sebagai akibatnya, terorisme dapat membahayakan kebebasan dan keadilan sehingga akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Dengan demikian, sebuah respon kebijakan yang komprehensif dan dinamis akan menjadi lebih penting dibandingkan dengan tindakan militer-koersif.7 Kebijakan komprehensif ini haruslah mencakup berbagai aktifitas yang menyerang gejala-gejala maupun penyebab terorisme8. Sebagaimana dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Koffi Annan, bahwa:

“We should all be clear that there is no trade-off between effective action against terrorism and the protection of human rights. On the contrary, I believe that in the long term we shall find that human rights, along with democracy and social justice, are one of the best prophylactics against terrorism”.9

Kendatipun demikian, kurangnya good governance dan demokrasi turut berperan serta dalam menghasilkan kondisi yang kondusif bagi munculnya berbagai gerakan terorisme. Karin Von Hippel, seorang peneliti senior pada Centre for Defence Studies di King’s College London, berargumen bahwa lahan pembiakan (breeding grounds) terorisme yang sebenarnya adalah negara-negara otoriter kuat yang kekurangan demokrasi dan accountability.10 Sedangkan mantan Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell mencatat bahwa “kurangnya kesempatan ekonomi adalah tiket menuju keputusasaan. Bila hal ini dikombinasikan dengan sistem politik yang kaku, maka ini akan menjadi ramuan yang sangat berbahaya”.11

7 Lihat Anak Agung Banyu Perwita (2005). Koter dan Perang Melawan Terorisme, Kolom Analisis, Harian Sinar Harapan, 20 Juli.

8 Sekjen PBB, Kofi Anan berargumentasi bahwa terdapat 5 D (five D’s) yang dapat digunakan sebagai kebijakan komprhensif dalam memerangi terorisme, yakni “dissuading the disaffected from choosing the tactic, denying terrorists the means to carry out attacks, deterring state support, developing state preventive capacity and defending human rights in the struggle against the scourge”. Lihat Five Points UN Strategy to Combat Terrorism, UN News, 10 Maret 2005.

9 Quoted from http://www.un.org/Docs/sc/committees/1373/human_rights.html diakses 10 Maret 2005.03).

10 Karil Von Hippel (2003). The Roots of Religious Extremist Terrorism. Dalam http://www.kcl.ac.uk/depsta/wsg/sept11/papers/root5.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2003.

11 Colin Powell, pidato di Heritage Foundation, Washington DC, 12 Desember 2002.

115

Page 162: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Globalisasi, Batas negara dan Keamanan Nasional.

“borders are like agents of national security and sovereignty, and a physical record of a state’s past and present relations with its neighbours”12

Kutipan di atas secara cukup tegas menunjukkan bahwa batas (negara) memainkan peranan penting dalam menentukan kedaulatan dan keamanan nasional suatu negara dan bahkan batas negara memiliki posisi penting dalam politik luar negeri sebuah negara sebagai upaya membentuk tata interaksi antar negara yang konstruktif dalam suatu cakupan kawasan geografis. Hubungan internasional kontemporer dan agenda politik luar negeri tetap akan masih didominasi oleh persoalan tradisional batas-batas negara. Hal ini tentunya sangat terkait dengan persoalan keamanan nasional, kedaulatan teritorial dan efektifitas politik luar negeri dan bahkan diplomasi yang diperankan oleh sebuah negara.

Di sisi lain, fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan meluluhkan batas-batas tradisional antar negara dan menghapus jarak fisik antar negara. Perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan persenjataan telah menunjukkan pula betapa tapal batas negara menjadi sesuatu yang semakin kurang relevan dalam hubungan internasional pada era globalisasi dewasa ini. Globalisasi, menurut Anthony Mc Grew, bukan saja telah menjadikan teritorialitas di banyak negara menjadi semakin kurang relevan, melainkan juga mempertanyakan eksistensi kedaulatan teritorial yang dimiliki sebuah negara-bangsa. 13Ironisnya, perkembangan yang terjadi di banyak negara berkembang pada era globalisasi ini menunjukkan kondisi yang sangat berbeda.

Identitas dan Negara Lemah/Gagal (Weak/Failed State)

Dalam banyak kasus di banyak negara berkembang, persoalan batas negara yang belum dapat dikelola dengan baik bahkan juga menjadi salah satu indikator bahwa negara tersebut sangat lemah atau bahkan telah gagal (weak/failed state).14 Hal ini, misalnya ditandai dengan ketidakmampuan negara dalam mengelola secara fisik pengelolaan wilayah perbatasannya. Selain itu,

12 Lihat Kari Laitinen (2004). Reflecting the Security Border in the Post-Cold War Context, dalam http://www.gmu.edu/academic/ijps/vol6_2/Laitinen.html , diakses 25 Januari 2006.

13 Lihat misalnya, Anthony McGrew (2000). Power Shift: From National Government to Global Governance. Dalam David held ed. A Globalizing World ?: Culture, Economics and Politics. London: Routledge, hlm.127-168.

14 Lihat Stewart Patrick (2006). Weak States and Global Threats: Fact or Fiction. Dalam The Washington Quarterly, Vol.29, No.2, hlm.27-53.

116

Page 163: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

ketiadaan administrasi yang efektif dalam mengatur batas wilayahnya juga menjadi persoalan tersendiri yang menambah rumit persoalan batas wilayah negara.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, fenomena pembentukan kabupaten dan provinsi baru bisa dilihat pula dari mengemukanya sentimen lokalitas dengan membentuk dan bahkan menuntut pembentukan wilayah perbatasan baru. Alhasil, beberapa pemerintahan kabupaten dan atau provinsi baru kini berupaya untuk mempertegas batas wilayahnya masing-masing. Salah satu ilustrasi mengenai hal ini adalah permintaan DPRD dan Pemerintah Provinsi Banten kepada DPRD dan Pemerintah DKI Jakarta untuk mempertegas batas wilayah Kepulauan Seribu.15 Apabila persoalan seperti di atas tidak dapat diatasi secara komprehensif, tentunya akan berdampak buruk pada integrasi nasional Indonesia. Konsekwensi terburuk dari kegagalan negara dalam memelihara wilayah perbatasan dan integritas teritorialnya adalah tercabik-cabiknya negara tersebut dalam perang sipil yang akan bermuara pada fragmentasi dan disintegrasi. 16

Terbatasnya dan rendahnya kemampuan negara dalam mengelola dan mengawasi semua wilayah perbatasan dan teritorialnya baik udara, laut dan darat juga akan memiliki dampak yang sangat dalam baik secara internal dan eksternal. Kompleksitas persoalan wilayah perbatasan ini secara tradisional bukan saja akan mendorong terjadinya intrastate conflict/war bahkan juga akan memicu terjadinya konflik antar negara dan interstate war. Hal ini dikarenakan bukan saja dipicu oleh prinsip kesatuan teritorialitas tetapi juga dipertegas oleh prinsip kedaulatan yang selama ini memang telah menjadi kepentingan pertama dan utama dari setiap negara-bangsa. Secara tradisional, setiap negara-bangsa akan siap melakukan apa saja untuk mempertahankan kedaulatannya.

Lebih jauh, Kari Laitinen juga mengungkapkan persoalan perbatasan (negara) bukan saja melulu mencakup persoalan teritorial semata, melainkan juga akan meliputi berbagai aspek kehidupan lainnya seperti sumberdaya, ancaman kejahatan transnasional dan kebanggaan identitas yang dalam konteks tertentu akan menjadi faktor penting terhadap kebanggaan lokal dan nasional dalam politik luar negerinya.17 Pada titik ini, persoalan perbatasan akan menjadi isu yang sangat penting dalam agenda keamanan nasional. Dengan demikian, sistem manajemen pengawasan wilayah perbatasan akan

15 Lihat “Banten Minta batas Wilayah Kepulauan Seribu”, harian KOMPAS, 28 Maret 2006.16 Lihat misalnya, Julian Saurin (1995) The End of International Relations ? The State and

International Theory In The Age of Globalization. Dalam John MacMillan, Andrew Linklater. Boundaries In Question: New Directions In International Relations. London: Pinter Publishers, hlm. 244-261.

17 Lihat Kari Laitinen (2004). ibid.

117

Page 164: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

memainkan peranan penting dalam agenda pembangunan nasional secara menyeluruh.

Sementara itu dalam konteks hubungan internasional, ada banyak kasus pula yang dapat kita sebut untuk sekadar memberikan ilustrasi konflik antar negara yang berawal dari belum terselesaikannya berbagai persoalan tapal batas negara. Dengan kata lain, berbagai perkembangan hubungan internasional kontemporer dewasa ini telah membawa warna kontradiktif dalam hubungan antar aktor (baik negara maupun non negara). Di satu sisi, mengemukanya sentimen (etno) nasionalisme dan berbagai bentuk keterikatan identitas (lokal dan nasional) lainnya serta keinginan untuk mempertahankan sumberdaya (alam) semakin memperkuat pentingnya makna tapal batas. Munculnya kasus Ambalat antara Indonesia dan Malaysia adalah salah satu kasus yang dapat kita gunakan untuk memahami hal diatas.

Secara tradisional, hubungan internasional memusatkan perhatiannya pada studi mengenai pola-pola politik luar negeri yang membentuk hubungan antar aktor negara yang diikat oleh batas-batas teritorial/kewilayahan. Ruang teritorial yang dimiliki oleh negara ini kemudian akan menentukan kedaulatan, power dan bahkan keamanan yang dimiliki oleh negara.18 Oleh karenanya, batas dan luas teritorial memainkan peran yang sangat signifikan dalam menentukan eksistensi suatu negara. Gagasan utama dari penentuan batas teritorial ini adalah untuk membedakan negara secara fisik. Selain itu, batas negara juga menjadi alat untuk mengontrol aliran barang, gagasan, dan bahkan ideologi.

Agar dapat mengontrol hal di atas dalam sebuah ruang geografi, sebuah unit negara akan membutuhkan kekuatan militer yang sekaligus pula akan berfungsi untuk melindunginya dari kemungkinan gangguan kedaulatan berupa ancaman militer yang berasal dari lingkungan eksternalnya. Gagasan untuk melindungi keamanan batas wilayahnya (security border) bersandar pada pemikiran realisme klasik yang sangat menekankan self-help system. Dengan kata lain, konsep security border akan membawa konsekwensi pada kemampuan penangkalan (deterrence), kekuatan angkatan bersenjata (military forces) dan dilema keamanan (security dilemma) dalam interaksinya dengan aktor negara lainnya.

Bahkan bagi realist klasik seperti Hans. J Morgenthau, kepentingan keamanan nasional yang sangat fundamental adalah “to protect [its] physical,

18 Mengenai hal ini lihat misalnya Mike Bowker, Robin Brown (1993). From Cold War to Collapse: Theory and World Politics In The 1980s. Cambridge: Cambridge University Press, hlm.2.

118

Page 165: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

political, and cultural identity against encroachments by other nations”.19 Lebih jauh, setiap negara-bangsa harus mencapai kepentingan nasionalnya ‘defined in terms of power’ untuk melindungi keamanannya (security) wilayahnya dan kelangsungan hidupnya (survival). Dalam argumen realisme, kepentingan nasional memainkan peranan yang sangat krusial dimana melalui konsep ini, kebutuhan keamanan suatu aktor negara-bangsa memiliki kaitan yang sangat erat antara kedaulatan negara dan karakteristik sistem internasional, seperti anarki dan distribusi power, dengan semua kebijakan luar negeri dan tindakan yang diambil aktor negara.

Namun, persoalan batas negara dan keamanan nasional akan memunculkan wajah berbeda di kebanyakan negara-negara berkembang. Studi yang dilakukan Robert I. Rotberg secara eksplisit mengindikasikan salah satu karakteristik penting dari negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuannya dalam menyelesaikan persoalan batas negara yang kemudian mendorong terjadinya intra dan interstate war secara hampir bersamaan.20 Penataan dan pengelolaan batas-batas negara secara lebih baik, dengan demikian, akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah negara kuat (strong state).

Di sisi lain, sebagaimana diutarakan George Sorensen, persoalan terbesar untuk menciptakan sebuah keamanan nasional dan negara kuat justru kerapkali terhambat oleh keterbatasan kemampuan, kalau tidak dikatakan ketidakmampuan, negara. Hal ini terutama ditunjukkan oleh agenda negara yang sangat disibukkan dengan berbagai persoalan domestik termasuk mempertahankan rejim pemerintahan semata, dan kemampuan yang terbatas dalam mengelola kondisi ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan negara (termasuk di dalamnya untuk menjaga semua perbatasan negara dan wilayah teritorialnya).21 Sehingga tidaklah mengherankan apabila kita memperoleh informasi bahwa sebagian besar penyelundupan dan pencurian sumber daya alam kita begitu tinggi karena lemahnya pengawasan wilayah perbatasan darat dan laut kita.

19 Dikutip dalam Jutta Welds (1996). Constructing National Interests. Dalam European Journal of International Relations. Vol.2. No.3, hlm.275-318.

20 Robert I. Rotberg (2004). The Failure and Collapse of Nation-States: Breakdown, Prevention, and Repair. Dalam Robert I. Rotberg ed. When States Fail: Causes and Consequences. New Jersey: Princeton University Press, hlm.1-50.

21 Merujuk pada penjelasan Sorensen, negara kuat ditunjukkan dengan institusi dan mekanisme politik yang sudah matang, kinerja ekonomi yang baik, pengelolaan wilayah teritorial yang baik, tata kelola pemerintah yang juga baik, dan identitas nasional yang kuat. Lihat Georg Sorensen (1996) Individual Security and National Security: The State Remains the Principal Problem. Dalam jurnal Security Dialogue. Vol27. No.4. hlm.375-390.

119

Page 166: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Keamanan Militer dan Non Militer dalam Ancaman Keamanan Nasional

Bagi banyak negara berkembang, seperti Indonesia misalnya, isu perbatasan negara dan keamanan nasional kerap menjadi persoalan yang sangat dilematis. Aspek pertahanan yang merujuk pada kemampuan untuk mengatasi berbagai ancaman militer yang berasal dari lingkungan internasional akan berbaur dengan aspek ancaman non militer. Tidak seperti negara-negara maju lainnya, negara-negara berkembang harus menghadapi sekaligus berbagai isu pembangunan ekonomi, sosial budaya dan politik yang begitu rumit dan terkait erat dengan stabilitas internal serta kemampuan aspek pertahanan negara untuk melindunginya dari berbagai kemungkinan ancaman militer yang berasal dari lingkungan eksternal.

Dalam banyak kasus di negara-negara berkembang, berbagai isu pembangunan ekonomi, sosial budaya dan politik domestik di atas akhirnya menjadi bagian tidak terlepaskan dari isu pertahanan dan keamanan negara. Bahkan, isu-isu diatas termasuk pembangunan wilayah perbatasan merupakan bagian dari domestic vulnerabilities yang kerap mendominasi agenda pembangunan keamanan nasional sehingga kemudian diterjemahkan pula sebagai obyek utama pertahanan negara.

Dipandang dari sisi penjelajahan literatur akademik, berbagai persoalan yang terkait satu sama lain seperti di atas telah menunjukkan signifikansi isu-isu non militer terhadap kemampuan melindungi keamanan nasional.22 Selain itu, negara gagal (failed State) yang tidak dapat melindungi wilayah perbatasannya akan menghadapi berbagai persoalan ketidakamanan wilayah perbatasannya yang muncul dari aktor non negara seperti kelompok penjahat transnasional (transnational organized crime) --yang menjalankan aksi kejahatan seperti perdagangan narkotika, perdagangan manusia, penyelundupan barang dan manusia serta pencucian uang (money laundering)-- dan kelompok teroris yang kerap memanfaatkan lemahnya kontrol wilayah perbatasan untuk merencanakan, mempersiapkan dan menggalang semua aksi terorismenya.23

Salah satu ilustrasi terkini mengenai keterkaitan antara kejahatan transnasional dan aktivitas terorisme yang memanfaatkan wilayah perbatasan

22 Merujuk pada penjelasan Sorensen, negara kuat ditunjukkan dengan institusi dan mekanisme politik yang sudah matang, kinerja ekonomi yang baik, pengelolaan wilayah teritorial yang baik, tata kelola pemerintah yang juga baik, dan identitas nasional yang kuat. Lihat Georg Sorensen (1996) Individual Security and National Security: The State Remains the Principal Problem. Dalam jurnal Security Dialogue. Vol27. No.4. hlm.375-390.

23 Lihat Elke Krahmann (2005). From State to Non-State Actors: The Emergence of Security Governance. Dalam Elke Krahmann. New Threats and New Actors in International Security. New York: Palgrave MacMillan, hlm. 3-20.

120

Page 167: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

yang tidak terkontrol dengan baik adalah digunakannya wilayah perbatasan Thailand, Malaysia dan Singapura oleh kelompok teroris dalam merancang, mempersiapkan dan melaksanakan aktivitas terorisme di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini.24 Wilayah perbatasan di Thailand Selatan melalui Provinsi Satun ke Sumatera (kepulauan Riau) melalui perairan Malaysia di sekitar Langkawi-Penang merupakan jalur darat dan laut favorit yang digunakan untuk mengalirkan dana, peredaran senjata, dan bahan peledak para pelaku terorisme untuk merancang aktivitas terorisme. Selain itu wilayah perbatasan Filipina Selatan dari Zamboanga dan Davao (Mindanao), menuju Kepaulauan Sulu menuju ke Sarawak dan Nunukan di Kalimantan serta Kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah ditengarai pula menjadi jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan terorisme di wilayah timur Indonesia. Melihat contoh kasus di atas, tidaklah berlebihan bila Harian The New York Times menyatakan bahwa, “Failed states that cannot provide jobs and food for their people, that have lost chunks of territory to warlords, and that can no longer track or control their borders, send an invitation to terrorists”.25 Dalam konteks ini, lemahnya kontrol terhadap wilayah perbatasan akan menjadi faktor pengganggu dalam diplomasi perbatasan yang harus Indonesia lakukan dengan beberapa negara tetangga. Dengan kata lain, hal ini akan menjadi titik lemah dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Pengalaman banyak negara berkembang yang cenderung lemah (weak) atau gagal (failed) tentang kompleksitas aktor dan isu militer dan non militer seperti tingkat pembangunan yang belum merata terutama di wilayah perbatasan, overpopulation, kejahatan lintas batas negara, degradasi lingkungan, dan persoalan sosial budaya, merupakan sumber ketidakamanan nasional dan sekaligus menjadi sumber masalah dalam politik luar negeri. Sebagaimana dikatakan Caroline Thomas:

“(national) security in the context of the third Worlds does not simply refer to the military dimension, as it often assumed in the Western discussion of the concept, but to the whole range dimensions of a state’s existence which have been taken care of in the more developed states, especially those in the West”.26

24 “Terorisme: Segitiga Maut Indonesia-Malaysia-Thailand”, harian KOMPAS, 1 April 2006.25 Sebagaimana ditulis harian New York Times, July 2005. Dikutip dalam Stewart Patrick

(2006), hlm.34. Penegasan kata-kata tercetak tebal dilakukan oleh penulis untuk kepentingan makalah ini.

26 Dikutip dari Caroline Thomas (1991). New Directions in Thinking about Security in the Third World. Dalam Ken Booth ed. New Thinking about Strategy and International Security. London: Harper Collins Academic.hlm.269.

121

Page 168: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Sebuah ilustrasi sederhana tentang hal ini, misalnya, dapat ditemukan dalam dua buah berita berbeda yang dimuat di sebuah harian nasional. Harian Kompas (10 Maret 2006) mengetengahkan sebuah berita yang bertajuk “Keamanan RI Jadi Isu Utama”. Berita ini mengupas keengganan para investor Jepang untuk menanamkan modalnya dikarenakan ketidakstabilan keamanan dan kondisi sosial di Indonesia. Sementara dalam sebuah berita lain pada harian yang sama dan tanggal yang sama pula, terdapat sebuah berita bertajuk “Pos TNI di Pulau Terluar Papua” yang memberitakan upaya Kodam Trikora untuk membangun pos militer untuk mengamankan pulau-pulau terluar dari kemungkinan klaim dan atau ancaman militer pihak luar. Selain itu, ditengarai pula wilayah perbatasan ini merupakan jalur lalu lintas utama dari penyelundupan, pencurian kayu dalam jumlah besar (illegal logging) dan sumber daya kelautan lainnya (illegal fishing). 27

Tentu saja makna kata keamanan dalam berita pertama dan kedua memiliki perbedaan yang sangat tajam. Bila berita pertama dimaksudkan untuk melihat kondisi riil keamanan sosial domestik kita sehingga upaya yang patut dilakukan untuk mengundang investor asing membutuhkan beragam kebijakan non militer seperti ekonomi, hukum dan sosial budaya, maka pada berita kedua secara tegas mengacu pada aspek pertahanan wilayah teritorial kita dari kemungkinan klaim dan ancaman (militer) yang datang dari lingkungan eksternal kita. Oleh karenanya, membutuhkan respon yang bersifat militer pula untuk melindungi wilayah kedaulatan Indonesia. Namun tentunya patut pula kita akui bahwa respon militer semata tidaklah memadai. Diperlukan pula respon-respon lainnya termasuk aspek ekonomi, hukum, sosial budaya dan diplomasi untuk mendukung upaya melindungi kedaulatan teritorial kita.

Tingkat kerawanan di banyak negara berkembang semakin menjadi lebih tinggi tatkala berbagai persoalan diatas diperumit dengan berbagai persoalan lainnya seperti terbatasnya kapasitas sumber daya keuangan, sumber daya manusia dan institusional (termasuk kekuatan militernya). Oleh karenanya, isu perbatasan negara dan keamanan nasional tidak dapat dipisahkan dari ancaman-ancaman militer dan non militer. Alhasil, pengelolaan dan pengawasan keamanan seluruh wilayah perbatasan akan mencakup berbagai dimensi baik militer, ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan politik.

27 Lihat Harian Kompas, 10 Maret 2006, hlm. 21 dan 25.

122

Page 169: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Problematika Hubungan TNI dan Polri28

Sebagaimana telah disinggung di atas, penyelenggaraan pertahanan dan keamanan di banyak Negara berkembang, termasuk Indonesia memunculkan satu persoalan besar pada tataran peran dan kewenangan antar institusi dan aktor keamanan, terutama TNI dan Polri. Persoalan ini mengemuka dikarenakan kedua institusi ini memiliki kewenangan yang sama atas suatu pengaturan, namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai kesamaan kewenangan tersebut. Problematika ini kerap disebut sebagai fenomena “wilayah abu-abu” (grey areas) yang pada gilirannya menjadi penyebab utama ketidakselarasan kinerja TNI dan Polri dalam menangani berbagai ancaman atau masalah keamanan.

Problematika ini sebenarnya bermula dari TAP MPR RI No.VI/2000 dan TAP MPR RI No.VII tahun 2000 yang sebenarnya hanya bertujuan untuk memisahkan organisasi Polri dan dari struktur dan garis komando ABRI sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pertahanan dan keamanan, sehingga diharapkan Polri dapat menjadi sebuah institusi sipil (civilian police).

Pemberian tugas pertahanan kepada TNI untuk menghadapi ancaman dari luar negeri dan tugas keamanan kepada Polri untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri dapat dipahami bahwa konseptualisasi masalah keamanan dan pertahanan hanya didasarkan pada teritorialitas. Tampaknya pemerintah memahami konsep keamanan sejajar dengan konsep pertahanan. Padahal seharusnya dimensi pertahanan dengan militer sebagai aktor utamanya berada bersama dengan aktor di bidang ekonomi, sosial, politik dan bahkan lingkungan hidup. Tantangan terhadap keamanan nasional tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan “hitam-putih” antara perang dan damai ataupun antara “pertahanan”dan “keamanan dan ketertiban masyarakat”.

Selain itu, pasal 30 ayat 2 dalam amandemen UUD 1945 juga telah menambah keruhnya pemahaman di atas dengan memperkokoh keberadaan doktrin “sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta” (sishankamrata). Dengan TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Pencantuman doktrin ini membawa konsekuensi bahawa fungsi pertahanan dan fungsi keamanan tidak dapat dipisahkan karena keduanya

28 Bagian ini dimabil dari T.Hari Prihartono dkk.eds (2007). Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif versus Pembiaran Politik dan Kebijakan. Jakarta: Propatria. Hlm.75-84.

123

Page 170: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

merupakan kesatuan integral dalam membentuk sistem pertahanan dan keamanan negara.

Ketidakjelasan kewenangan ini juga terlihat pada fungsi penegakan hukum di wilayah laut dan udara. Dalam UU No.34 tahun 2004 tentang TNI ditentukan bahwa TNI - AL dan TNI - AU bertugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yuridiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sementara itu, tugas ini pun juga diemban oleh Polri yang memiliki kesatuan polisi udara dan laut. Namun demikian UU ini tidak memaparkan adanya pembagian kewenangan atau hak dalam pelaksanaan tugas tersebut.

Adapun titik persinggungan lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah penanganan isu terorisme. Saat ini Polri memiliki Detasemen 88 sebagai satuan khusus polisi anti-teror, sementara TNI juga memiliki beberapa satuan khusus yang memiliki kemampuan penanggulangan ancaman terorisme, yaitu Detasemen Penanggulangan Teror (Den Gultor) di TNI - AD, Detasemen Jalamengkara (Den Jaka) di TNI - AL, dan Detasemen Bravo (Den Bravo) di TNI - AU. Benturan kewenangan lain antar kedua institusi keamanan nasional ini juga terjadi dalam hal penanganan-penanganan perompakan laut (maritime piracy) di wilayah laut, pencurian ikan (illegal fishing), berbagai aktivitas penyelundupan (smuggling). Dalam banyak kasus, berbagai kejahatan ini juga merupakan kejahatan transnasional.

Kesimpulan

Seperti yang telah dibahas di atas, respons negara/pemerintah terhadap terorisme dan kejahatan lintas batas dapat terletak antara kekalahan atau koersi hingga kepada akomodasi, yang diarahkan kepada individual atau sekelompok (militan) masyarakat. Kendati kini Indonesia tengah mengalami reformasi internal, pembahasan di atas menunjukan bahwa perang melawan terorisme masih merupakan produk sebuah sistem politik di mana negara (militer) lebih kuat dari masyarakat. Penggunaan kekerasan tanpa pandang bulu misalnya, bukan saja akan menjadi counter-productive dalam perang melawan terorisme, namun juga akan membahayakan proses demokratisasi.29

Dengan meminjam kata-kata Rizal Sukma, sebuah strategi keamanan nasional yang komprehensif untuk memerangi terorisme harus berdasar atas

29 Lihat Anak Agung Banyu Perwita (2005). Aksi Terorisme dan Nilai-Nilai Demokrasi, Kolom Analisis, Harian Sinar Harapan, 13 Juli.

124

Page 171: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

empat pilar (empat D): diplomacy, democracy, development, dan defence.30 Oleh karena itu, keempat pilar ini haruslah dirancang sebagai kerangka terintegrasi dalam mencapai kepentingan keamanan nasional kita. Dalam konteks ini, demokrasi lebih dari sekedar keprihatinan normatif, demokrasi telah menjadi sebuah kewajiban dalam perubahan lingkungan keamanan dewasa ini, dan khususnya dalam mengatasi persoalan terorisme. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penganggulangan terorisme dan kejahatan lintas batas hanya dapat dilakukan secara komprehensif dan integratif (comprehensive and integrative approach).

30 Lihat Rizal Sukma (2005). War Will Never Solve Our Problems. Dalam Jakarta Post, 21 Maret 2005.

125

Page 172: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI-AD

TERORISME DAN KEJAHATAN LINTAS BATAS:

DILEMA PENANGANAN KEAMANAN1

Mayjen TNI M. Sochib, SE, MBA2

Pendahuluan

Di balik manfaat positif yang dibawa globalisasi, banyak pula dampak negatif yang ditimbulkannya. Misalnya, kemudahan interaksi global akibat kemajuan di bidang informasi, telekomunikasi ataupun transportasi ikut mempermudah berkembangnya berbagai bentuk kejahatan ke lingkup global. Para pelaku kejahatan makin mudah pula membangun atau memperluas jaringan praktek kejahatannya. Kondisi ini menyuguhkan tantangan baru bagi setiap negara di dunia karena nature ancaman terhadap sistem keamanan nasional menjadi semakin kompleks, terutama dengan berkembangnya ancaman keamanan non-tradisional dari kejahatan-kejahatan lintas batas.

Terorisme misalnya, kini sudah menjadi ancaman keamanan global yang sangat kompleks, berbeda dengan dulu di saat terorisme masih biasa dilihat sebagai metode kejahatan pada tingkat lokal. Selain terorisme masih banyak bentuk kejahatan lintas batas lainnya dengan permasalahan yang tidak kalah kompleks serta kerugian yang tak kalah besarnya. Untuk itu, sistem keamanan nasional dituntut mampu merespon kompleksitas ancaman ini secara efektif. Tentu saja semua ancaman itu tidak dapat diatasi sendiri oleh satu negara

126

Page 173: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

apalagi oleh satu institusi. Kunci keberhasilan penanganannya akan sangat tergantung pada kerjasama internasional dan kerjasama lintas sektoral yang terkait di dalam negeri.

Akan tetapi pada konteks Indonesia seringkali kerjasama lintas sektoral ini tidak dapat diselenggarakan dengan efektif. Meskipun sebenarnya semua negara mengalami hal yang sama, bahwa globalisasi menyebabkan makin kompleksnya ancaman keamanan, namun nampaknya permasalahan di Indonesia lebih rumit. Masalahnya, di Indonesia terjadi perubahan sistem keamanan nasional ke arah yang justru terbalik. Artinya, kompleksitas ancaman keamanan yang logikanya menuntut semakin diperkuatnya sinergitas antara aktor keamanan dan semakin diberdayakannya aktor-aktor keamanan, yang kini terjadi justru pengkotak-kotakan yang kaku dan kurang diberdayakannya instrumen-instrumen keamanan.

Penyebabnya adalah arus globalisasi yang melahirkan demokratisasi dan reformasi nasional di Indonesia secara bersamaan juga membawa perubahan persepsi pada kalangan pembuat kebijakan, khususnya persepsi mengenai keamanan nasional. Lebih spesifik lagi, terjadi over simplifikasi pembagian penyelenggaraan keamanan nasional menjadi kemanan eksternal (pertahanan) dan keamanan internal. Namun demikian, kekeliruan mendasar sebetulnya berawal dari disempitkannya pengertian “keamanan dalam negeri” (keamanan internal) menjadi keamanan dan ketertiban masyarakat.3 Konsekuensinya adalah, terjadi kekeliruan pemahaman, seolah-olah keamanan dalam negeri semata-mata merupakan domain polisi, sedangkan aktor-aktor keamanan dari instansi-instansi lain menjadi kurang diberdayakan. Kini kekeliruan tersebut semakin tampak saat menghadapi maraknya kejahatan lintas batas yang memang sulit untuk disederhanakan menjadi ancaman terhadap keamanan internal atau eksternal.

Implikasi dari kekeliruan tadi terjadi pada berbagai level. Pada tataran juridis terjadi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Pada tataran kebijakan, tidak dilengkapinya peraturan perundangan dengan strategi kebijakan yang jelas untuk mengatur bagaimana peraturan perundang-undangan itu dapat dioperasionalkan. Akibatnya, pada tataran operasional (taktis) terjadi penafsiran sendiri-sendiri terhadap UU, terkesan mengabaikan koordinasi dan sinergitas antar berbagai instansi atau instrumen keamanan. Sebelum membahas permasalahan tersebut lebih jauh, berikut ini akan disampaikan terlebih dulu secara singkat bentuk dan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan lintas batas.

3 Lihat UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab I, Pasal 1, poin 6.

127

Page 174: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Bentuk Kejahatan Dan Kerugian Yang Timbul

Berbagai bentuk kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas/ lintas negara (transnational crime) dengan melihat lokasi kejadiannya atau pelakunya. Ada yang terjadi di perbatasan antara dua negara dan melibatkan penduduk yang tinggal di sekitarnya (transborder crime), namun ada pula yang tersebar di berbagai kota/ daerah yang bukan daerah perbatasan dan dilakukan kelompok/ jaringan internasional yang terorganisir (transnational organized crime/ TOC). Secara keseluruhan dikenal paling tidak sebelas jenis kejahatan lintas negara, diantaranya, terorisme, bajak laut, pemindahan patok, illegal loging, illegal fishing, perdagangan manusia (human trafficking/ smuggling), perdagangan obat-obatan terlarang (drug trafficking), penyelundupan senjata, kejahatan dunia maya (cyber crime), pencucian uang, dan korupsi.4

Di Indonesia kejahatan lintas batas meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kejahatan terorisme misalnya, sejak meletusnya Bom Bali I tahun 2002, disusul Bom Bali II, Bom J.W. Mariot, Bom BEJ Jakarta, dan bom susulan lainnya, selain menimbulkan kerugian materi dan korban manusia, telah pula menimbulkan kerugian besar bagi sektor pariwisata sebagai sumber devisa negara maupun bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Tak kalah pentingnya, terorisme menjadi salah satu faktor penyebab utama enggannya investor masuk ke Indonesia karena kondisi keamanan yang tidak kondusif untuk usaha, artinya, ikut menjadi faktor penting lambatnya pemulihan perekonomian nasional.

Begitu pula dengan kejahatan lainnya. Illegal fishing (penangkapan ikan secara liar oleh nelayan asing) dan illegal loging (pembalakan hutan) telah merugikan negara puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, jumlah uang yang mestinya cukup besar untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia. Kemudian, dalam kejahatan trafficking, Indonesia dijadikan sebagai negara transit dalam penyelundupan para migran gelap dari Timur Tengah ke Australia, dan menyuguhkan permasalahan tersendiri dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Di samping itu, Indonesia menjadi sumber pasokan PSK/ Pekerja Seks Komersial untuk industri prostitusi di Singapura atau Hongkong yang disisipkan lewat kegiatan pengiriman TKI, serta menjadi lahan/ pasar utama bagi PSK asal China, Taiwan, Rusia, dan Negara asing

3 Lihat UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab I, Pasal 1, poin 6.

4 Korupsi disepakati sebagai kejahatan lintas batas/ negara yang serius pada Pertemuan ke-6 Tingkat Pejabat Senior ASEAN tahun 2006 tentang Kejahatan Lintas. Lihat ASEAN: Korupsi Kejahatan Lintas Batas, pada http://dwelle.de/indonesia/Politik_Wirtschaft/1.185255.1.html diakses pada 23-08-2007.

128

Page 175: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

lainnya. Dua bentuk kejahatan ini menimbulkan social cost yang besar bagi Indonesia.5

Demikian juga kejahatan pencucian uang (money laundering) terhadap hasil bermacam bisnis haram seperti prostitusi, perjudian, narkoba, dan bahkan hasil korupsi yang sulit diatasi. Pada bulan Maret 2003, Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, United States dalam International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam deretan negara major laundering countries di wilayah Asia Pasifik. Predikat ini diperuntukkan bagi negara yang “lembaga dan sistem keuangannya terkontamisasi bisnis narkotika internasional dalam jumlah yang sangat besar”. Laporan tersebut didukung oleh laporan BNN pada tahun 2003, bahwa jumlah peredaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai Rp. 300 triliun pertahun, hampir sama dengan APBN kita yang hanya Rp. 315 triliun pada tahun itu.6 Selain itu, miliaran bahkan triliunan rupiah uang hasil korupsi disimpan di bank atau diinvestasikan di luar negeri dan penegak hukum tidak berdaya untuk menarik dana tersebut kembali ke Indonesia.

Kejahatan lintas batas bukan hanya permasalahan Indonesia, tapi semua negara, sehingga dalam penanganannya Indonesia juga tidak bisa sendirian. Kerjasama internasional yang erat dan intensif atau setidaknya aksi-aksi bersama pemerintah (intergovernmental joint actions) yang melibatkan berbagai sektor menjadi sebuah keharusan. Misalnya untuk mengatasi masalah perbatasan, mekanisme seperti Komite Perbatasan, GBC (General Border Committee) dan JIMBC (Joint Indonesia Malaysia Boundery Committee) dengan Malaysia; atau JBC (Joint Border Committee) dengan Filipina, PNG, dan Thailand, maupun Australia perlu terus digiatkan. Pertemuan ASEAN tentang Kejahatan Lintas Batas yang sudah digelar sejak beberapa tahun terakhir dan telah menghasilkan beberapa konvensi tentunya perlu pula didukung dan dimajukan. Namun, di samping kerjasama internasional harus digalakkan, kerjasama lintas sektoral di dalam negeri Indonesia untuk melindungi bangsa dan negara Indonesia dari kejahatan lintas batas tentu perlu mendapat perhatian yang lebih serius.

Over-simplifikasi Konsep Keamanan Nasional

Langkah reformasi sistem keamanan nasional masih menghadapi banyak kendala. Seperti telah disampaikan, pertama, proses reformasi pada tataran

5 Lihat Solidarity Center, Forms of Traficking in Indonesia, http://www.solidaritycenter.org/files/IndoTraffickingForms.pdf

6 Dikutip dari Dr. Yunus Husein, S.H, LLM., “Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang”, http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=ArtikelGakkum&op=dl_artikel_gakkum&namafile=yunus-husein-hubungan_antara_kejahatan_peredaran_gelap.pdf

129

Page 176: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

politis tidak tuntas akibat adanya oversimplifikasi pemahaman keamanan nasional; dan kedua, proses tersebut tidak diikuti dengan penyesuaian pada tataran strategis kebijakan sehingga operasionalnya justru malah menjadi tidak efektif.

Untuk memahami masalah yang pertama kita perlu melihat bahwa salah satu langkah politik penting dari proses reformasi dan demokratisasi sistem keamanan nasional di Indonesia adalah makin diperjelasnya division of labour (pembagian peran) atau batas kewenangan antara institusi TNI dan Polri. Proses tersebut didahului oleh pemisahan institusi setelah lebih tiga puluh tahun terintegrasi dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sebagai follow up dari pemisahan institusi, batas kewenanganpun kemudian dipertegas. Bidang pertahanan dan keamanan yang sebelumnya menyatu dalam satu komando Mabes ABRI, setelah pemisahan kewenangan TNI lebih dikonsentrasikan pada bidang pertahanan (external defence), sedangkan bidang keamanan (internal security) menjadi domain Polri. Namun, satu hal yang perlu disadari adalah, dalam realitanya tidak ada clear cut (batasan yang tegas) antara kedua domain itu, berbeda dengan apa yang sering disederhanakan dalam teori.7 Permasalahan akan muncul ketika perangkat peraturan perundang-undangan tidak tuntas mengantisipasi blur/ overlapping atau daerah abu-abu yang berada di antara kedua bagian tersebut.

Transnational crime adalah contoh yang paling jelas. Sebagai extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang asymmetrical (bentuk dan arah sasaran maupun skala ancaman sulit diprediksi), transnational crime tidak dapat diklasifikasikan sebagai ancaman eksternal atau internal. Dengan demikian, menjadi tidak logis pula apabila strategi menghadapinya semata-mata terpaku kepada penggunaan kekuatan yang didasari oleh pembagian seperti itu. Tentu juga keliru kalau strategi mengatasinya hanya mengandalkan kekuatan tentara dan polisi, apalagi kalau hanya polisi saja. Misalnya, kejahatan pencucian uang justru merupakan kompetensi perbankan, atau trafficking justru sangat tergantung kemampuan pihak imigrasi, sehingga peran institusi ini harus diperkuat. Namun, di samping kompetensi spesialisasi sektoral perlu ditingkatkan, sinergitas pelibatan aktor-aktor dari berbagai sektor/ instansi yang terkait harus pula diperkuat.

Ketidaksinkronan pada Tataran Yuridis: Terorisme

Dalam UU No 34/ 2004 tentang TNI peran militer tidak dibatasi hanya dalam peran pertahanan untuk menghadapi invasi asing. Tugas pokok TNI tidak hanya dilaksanakan dengan Operasi Militer untuk Perang (OMP), tapi

7 Lihat Samuel P Huntington, The Soldier and the State: the Theory and Politics of Civil Military Relations, (Massachussetts: Harvard University Press, 1957), hal. 5.

130

Page 177: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

mencakup pula peran lain, baik yang berkaitan langsung ataupun yang tidak terkait sama sekali dengan penyiapan OMP, dinamakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Di dalamnya termasuk diantaranya penanganan ancaman terorisme yang secara eksplisit dinyatakan sebagai ancaman militer. Artinya, menangani ancaman terorisme adalah bagian dari pelaksanaan tugas pokok TNI yang harus direncanakan, dipersiapkan dan dilaksanakan, baik diminta atau tidak diminta bantuannya oleh Polri.8

Pada sisi lain, terkait penanganan terorisme Indonesia sudah pula memiliki UU No. 15 dan 16/ 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Permasalahannya adalah, dalam UU tentang tindak pidana terorisme tidak ada satu pun klausul yang menyatakan keterlibatan TNI di dalamnya. Law enforcement (penegakan hukum) terkait tindak pidana terorisme dibatasi dalam lingkup internal security, bahkan lebih sempit lagi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dimana yang masuk aparat penegak hukumnya adalah polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut dan hakim sebagai pemutus perkara.

Sebagai penjabaran dari UU TNI tersebut sudah disiapkan dan diperkuat Satuan Penanggulangan Teroris (Satgultor) sebagai bagian dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan dibentuk pula Desk Anti Teror (DAT) pada tiap Komado Daerah Militer (Kodam). Namun, sampai saat ini satuan tersebut belum begitu bisa dikerahkan, kecuali sebatas bantuan pegumpul informasi intelijen bagi Polri.9 Pengerahan satuan-satuan tersebut terhambat oleh tidak adanya aturan tentang kapan atau pada tingkatan eskalasi apa satuan-satuan tersebut bisa mulai dilibatkan maupun kapan harus lepas libat dan menyerahkannya kepada polisi sebagai satu-satunya penyidik yang ditentukan dalam UU Tindak Pidana Terorisme. Dalam hal seperti ini mestinya kebijakan dan strategi pemerintah dapat mengatasinya, seperti lebih jauh dibahas berikut ini.

Merumuskan Strategi

Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan fungsi penanganan keamanan harus bisa diatasi. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah bagaimana kita dapat merumuskan strategi yang tepat yang dapat

8 Dalam UU TNI Nomor 34/2004 tidak ada penjelasan yang mengaitkannya dengan atau menyatakan bahwa operasi bantuan TNI terhadap Polri mencakup pula dalam hal penanganan terorisme.

9 Klausul tentang terorisme dalam UU TNI menjadi salah satu dasar hukum bagi TNI untuk menyiapkan dan mengerahkan kemampuan intelijennya, baik secara mandiri maupun dalam kegiatan atau operasi intelijen bersama aparat lainnya di bawah koordinasi Badan Intelijen Nasional (BIN).

131

Page 178: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

menjembatani ketimpangan-ketimpangan pada sistem perundang-undangan agar penyelenggaraan keamanan nasional pada tataran operasionalnya dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Seorang analis Amerika Serikat, Richard K. Betts, mengatakan bahwa “strategi adalah suatu rencana/ rancangan yang berada antara kebijakan (policy) dan operasional, sebuah gagasan yang menghubungkan keduanya”. Dia mengatakan bahwa kelemahan yang umum terjadi adalah, bahwa, banyak praktisi maupun politisi sering mencampur adukkan antara strategi dan tujuan politik (political objectives). Politisi fokus semata-mata terhadap apa outcome akhir secara politis yang ingin dicapai, seolah-olah pasukan akan bergerak secara otomatis sesuai arah tujuan itu; sementara aparat sering mencampur adukkan antara strategi dengan taktik operasi seolah-olah taktik operasi yang baik sudah cukup untuk mewujudkan tujuan politik itu. Oleh karena itu, kata analis ini, baik politisi maupun aparat harus benar-benar paham merumuskan strategi, dan kewajiban untuk berkomunikasi pada setiap tingkatan strategi mutlak dilakukan, karena di sinilah kuncinya dan seni dari startegi. 10

Ada beberapa contoh sederhana yang dapat kita ambil tentang bagaimana pemerintah dapat mengambil strategi/ langkah kebijakan yang perlu. Lihat saja misalnya penanganan Kapal Tampa yang tertangkap membawa manusia perahu (imigran gelap) memasuki perairan Australia tahun 2001, yang dikirim oleh Pemerintah Australia untuk mengatasi adalah Special Force (Pasukan Khusus), bukan Polisi Air, karena diperkirakan polisi tidak akan mampu mengatasinya. Contoh lain adalah CIA (Badan Intelijen Strategis Amerika), yang sejak pemerintahan Presiden Reagen terlibat aktif dalam kegiatan investigasi kasus-kasus TOC walaupun National Security Act 1947 melarang keterlibatan CIA terlibat dalam penegakan hukum domestik. Hal yang sama (pelibatan luas dan aktif dalam penanganan TOC) juga dilakukan oleh M15 (Dinas Intelijen Inggris) sejak 1995, yang sebelumnya hanya dibatasi pada ancaman spionase dan teroris asing.11

Pelajaran yang dapat kita ambil dari contoh tersebut adalah bahwa pemerintah punya ruang yang cukup luas untuk mengambil langkah strategis yang perlu untuk memaksimalkan perwujudan amanat Undang Undang, serta pemberdayaan berbagai instrumen keamanan dibutuhkan demi efektifitas penyelenggaraan keamanan nasional. Kalau hal itu dilakukan, kemungkinan

10 Dikutip dari Michael Evans, “From the Long Peace to the Long War: Armed conflict and Military Education and Training in the 21st Century”, Australian Defence College Occasional Series, Vol.1, Canberra, 2007, hal. 12-13.

11 Lihat Stephen Schneider, Ph.D, Margaret Beare, Ph.D, dan Jeremy Hill, Ph.D, Alternative Approaches to Combating Transnational Crime, Final Report, (Canada: CCRA and CCJS, 2007). hal. 55-56.

132

Page 179: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

munculnya kebijakan-kebijakan yang bersifat inefisiensi dapat dihindari. Perumusan strategi sangat dibutuhkan mengingat bahwa seringkali terdapat keterkaitan antara permasalahan terorisme dengan permasalahan keamanan lainnya, termasuk konflik komunal dan separatisme. Dihadapkan pada berbagai keterbatasan yang ada pada Polri untuk menangani masalah-masalah keamanan yang kompleks seperti itu, keterlibatan dan bahkan peran aktif TNI dan aktor-aktor keamanan lainnya menjadi kebutuhan nyata. Namun, seperti apa strateginya masih harus dirumuskan agar bisa dioperasionalkan dengan efektif.

Mengatasi Kendala Politis

Tentu kita memahami bahwa belum tuntasnya permasalahan ini tidaklah semata-mata diakibatkan oleh suatu kealpaan secara teknis. Melainkan, ada saling keterkaitannya dengan perubahan pada konteks yang lebih besar, yakni perubahan sosio-politik di Indonesia sejak era reformasi. Permasalahan itu masih terhambat oleh tarik-menarik antara kelompok-kelompok politik/kepentingan yang didasarkan atas persepsi atau kalkulasi untung rugi yang berbeda dari proses tersebut.

Sejalan dengan perubahan sosial politik Indonesia perlu pula dipahami bahwa kedua Undang Undang tadi lahir dengan konteks, motivasi dan proses yang berbeda. Seperti tadi disampaikan, pemisahan TNI dan Polri adalah bagian dari proses perubahan besar, yaitu reformasi nasional, lebih spesifik lagi “Reformasi TNI. Reformasi TNI dilakukan sebagai respon terhadap tuntutan agar TNI meninggalkan peran sosial politiknya karena hal itu sangat krusial terhadap keberhasilan demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Di samping menghapuskan keterlibatan langsung TNI di lembaga-lembaga sosial politik, seperti di legislatif dan di birokrasi pemerintahan, keterlibatannya juga dipangkas dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, yang walaupun tidak secara langsung berhubungan politik tapi bersentuhan langsung dengan kepentingan sehari-hari masyarakat dan vital terhadap upaya penegakan HAM.

Sedangkan Undang Undang Tindak Pidana Terorisme lahir pada konteks lain, dengan motivasi dan proses berbeda. Ia lahir dari rangkaian aksi global dalam konteks war against terror sejak Tragedi 9 September 2001, dan pada konteks Indonesia sejak Bom Bali I 2002, bukan timbul dari semangat reformasi, bahkan dalam beberapa hal, khususnya demokrasi dan penegakan HAM, bertentangan. Jadi, apabila UU TNI dan Polri merupakan respon terhadap tuntutan reformasi, Undang Undang Terorisme nampaknya justru memiliki banyak keterbatasan–keterbatasan yang diwarnai oleh tuntutan reformasi.

133

Page 180: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Akan tetapi, permasalahan politis tentu saja tidak boleh mengorbankan efektifitas penyelenggaraan keamanan nasional. Proses division of labour antara TNI dan Polri adalah hal yang positif, tidak boleh mengorbankan efektifitas dari penyelenggaraan sistem keamanan nasional. Justru kalau ini terjadi mungkin saja dapat membahayakan proses reformasi dan demokratisasi itu sendiri. Berbagai konflik komunal di tanah air diawal dimulainya proses pemisahan tersebut, yang sering dikritik sebagai bukti penanganan yang tidak profesional, harus bisa dijadikan pelajaran untuk lebih keras lagi berupaya mencari jalan keluar dari dilema itu. Apa yang dicontohkan pada kasus penanganan terorisme diatas, tentu berlaku pula bagi bentuk kejahatan lintas batas lainnya, dimana sinergitas antara seluruh kelompok aktor pada sektor keamanan nasional perlu segera dibangun dan dikembangkan. Untuk keperluan itulah perlu dirumuskan strategi/ kebijakan oleh pemerintah.

Kesimpulan

Kompleksnya permasalahan kejahatan lintas batas dan besarnya kerugian yang ditimbulkan khususnya terhadap keamanan nasional menuntut perhatian serius dari seluruh komponen bangsa. Disamping berbagai formula kerja sama internasional perlu digalakkan, pemerintah perlu segera merumuskan strategi yang komprehensif yang dapat menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang ada antara berbagai peraturan perundang-undangan, serta antara tataran peraturan perundang-undangan dan tataran operasional.

Untuk dapat merumuskan strategi yang baik dan efektif paling tidak harus ada tiga faktor penting. Pertama, harus ada pemahaman yang tepat tentang konsep keamanan nasional, bahwa simplifikasi klasifikasi keamanan nasional menjadi external defense dan internal security tidak boleh diterjemahkan secara kaku. Banyak bagian/ daerah abu-abu yang berada diantara keduanya. Pada bagian-bagian seperti inilah rumusan strategi akan sangat penting, meskipun fungsi strategi bukan hanya untuk tujuan itu. Kedua, tentunya dibutuhkan political will yang kuat dari pembuat kebijakan, yang diwujudkan dengan langkah-langkah konkrit, diantaranya dengan segera merumuskan kebijakan dan strategi keamanan yang sangat dibutuhkan. Dan ketiga, dibutuhkan jiwa besar dari setiap instrumen keamanan yang ada untuk membuang jauh-jauh sentimen ataupun arogansi sektoral yang berlebihan agar kebijakan dan strategi keamanan nasional dapat efektif dioperasionalkan. Dengan bekal ketiga faktor ini, mari kita tata ulang sistem kemanan nasional agar bisa benar-benar memberikan perlindungan yang maksimal bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.

134

Page 181: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Daftar Pustaka

Stephen Schneider, Ph.D, Margaret Beare, Ph.D, dan Jeremy Hill, Ph.D, Alternative Approaches to Combating Transnational Crime, Final Report, (Canada: CCRA and CCJS, 2007).

ASEAN: Korupsi Kejahatan Lintas Batas, pada http://dwelle.dc/indonesia/Politik Wirschall/ I.185255.1.htm

Samuel P Huntington, The Soldier and the State: the Theory and Politics of Civil Military Relations, (Massachussetts: Harvard University Press, 1957).

Dr. Yunus Husein, S.H, LLM., Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang, http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=ArtikelGakkum&op=dl_artikel_gakkum&namafile=yunus-husein-hubungan_antara_kejahatan_peredaran_gelap.pdf

http://www.solidaritycenter.org/files/IndoTraffickingForms.pdf. Michael Evans, “From the Long Peace to the Long War: Armed conflict and

Military Education and Training in the 21st Century”, Australian Defence College Occasional Series, Vol.1, Canberra, 2007.

UU RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. UU RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.UU RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.UU RI Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang.Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/2/1/2007 tanggal 12 Januari 2007

tentang Doktrin Tentara Nasional Indonesia, Tri Dharma Eka Karma (TRIDEK).

135

Page 182: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

RELASI TNI - POLRI DALAM MENANGANI TERORISME DAN KEJAHATAN LINTAS BATAS1

Kombes Pol (Purn) Dr. Bambang Widodo Umar2

Latar Belakang

Keputusan politik pemisahan Polri dari TNI yang diatur dalam TAP MPR No.VI/MPR-RI/ 2000, dan perumusan peran Polri dan TNI yang diatur dalam TAP MPR No. VII/ MPR-RI/2000 seakan merupakan ”pengaplingan” wilayah tugas kedua lembaga keamanan tersebut tanpa dimaknai oleh fungsionalisasinya masing-masing. Polri mendapat kapling mengelola masalah ”keamanan dalam negeri”, TNI mendapat kapling mengelola masalah ”pertahanan negara”.

Dikotomi ini menjadi perdebatan berkepanjangan dalam rangka mendudukan konsep keamanan nasional (national security) yang secara komprehensif dapat memberi arah dan pengaturan secara sistemik untuk menjamin terpeliharanya baik keamanan di dalam negeri mapun pertahanan negara. Konsep tersebut sangat diperlukan mengingat regulasi-regulasi yang mengatur kewenangan departemen-departemen yang terkait dengan masalah keamanan juga masih tersusun secara parsial.

Berkaitan dengan hal itu untuk membangun kehidupan bangsa dan negara yang harmoni tidak dapat dilepaskan pengaruh dari arus utama politik global, perdagangan bebas, dan hi-technology. Selain itu di dalam negeri juga sedang bergolak tuntutan untuk demokratisasi, dan penuntasan pelanggaran HAM.

1 Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Memperkuat Hubungan TNI-Polri Dalam Kerangka Keamanan Nasional”, Bandung 10-11 September 2007.

2 Staf Pengajar Kajian Ilmu Kepolisian - UI

136

Page 183: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Kondisi tersebut menimbulkan berbagai dimensi ancaman seperti ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun kultural. Wujud dari ancaman itu antara lain adalah terorisme dan kejahatan lintas batas sebagai bentuk gangguan yang memiliki latar belakang cukup kompleks.

Polri sebagai alat negara yang diberi wewenang untuk menangani terorisme, sejak peristiwa Bom Bali hingga kini bisa dikatakan cukup sukses dalam mengungkap kasus, namun masih lemah dalam pencegahan. Berbeda dalam menghadapi masalah teorisme, keberhasilan Polri dalam mengungkap kejahatan lintas batas belum banyak terdengar. Dari kedua bidang menyiratkan bahwa bagi Polri masih terdapat hal-hal yang perlu dibenahi dalam upaya mengatasi terorisme maupun kejahatan lintas batas. Sayang, keadaan ini belum mendorong ke arah satu pemahaman untuk merumuskan sistem keamanan yang komprehensif antara Polri, TNI, dan departemen lintas sektoral secara bersama-sama untuk mengelola keamanan.

Masalahnya dimungkinkan karena trauma sistem keamanan masa lalu, sehingga membuat keraguan bagi para pemegang kebijakan untuk mendudukkan ulang sistem keamanan nasional yang komprehensif. Selain itu pemilahan soal ancaman, siapa yang bertanggungjawab terhadap ancaman di dalam negeri dan siapa yang bertangungjawab terhadap ancaman dari luar negeri dimungkinkan juga menjadi penghambat penyatuan persepsi.

Peran Polri Dalam Mengatasi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Mengacu UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, tugas pokok Polri diatur pada pasal 13 yang memerinci : (1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan fungsi kepolisian adalah memelihara ketertiban umum (maintaining law and order) dan melindungi warga masyarakat (protecting people) dari bahaya. Dari tugas pokok dan fungsi kepolisian, Polri menyatakan jati dirinya sebagai : (1) abdi masyarakat yang setia kepada negara dan pimpinannya, mengenyahkan musuh-musuh negara dan mengangung-agungkan Negara; (2) warga negara tauladan dan wajib menjaga ketertiban pribadi; (3) fight crime, help delinquent, dan love humanity.

Berpedoman pada tugas pokok dan fungsi polisi, peran Polri dalam mengatasi terorisme menggunakan strategi penangkalan, penindakan, dan penanggulangan. Hal ini dilaksanakan melalui Detasemen 88 Anti Teror yang berada di 20 Polda. Selain itu di Markas Besar Polri secara struktural juga terdapat satuan tersebut yang didampingi Satuan Tugas Anti Teror (berkedudukan di bawah Kapolri). Satgas Anti Teror adalah cikal bakal dari Densus 88 Anti Teror, di mana pada waktu terjadi peristiwa Bom di Bali

137

Page 184: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

tanggal 12 Oktober 2002 Satgas ini dinilai sukses dalam mengungkap para pelaku.

Satuan-satuan pendukung di lingkungan Polri ialah Badan Intelijen Kepolisian, Laboratoriun forensik, Satuan Gegana Brimob, dan Pusat Informasi Kriminal Polri. Pengembangan Densus 88 Anti Teror tersebut dilandasi pemikiran bahwa ancaman teror tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu untuk meningkatkan kecepatan penanggulangan jika terjadi teror di suatu wilayah dalam rangka pengerahan personel dan peralatan maka disusunlah Densus 88 Anti Teror di Polda- Polda.

Dalam rangka deteksi, Densus 88 Anti Teror mendapat masukan informasi dari Badan Intelijen Kepolisian, juga dari Interpol dan melakukan koordinasi dengan Badan Intelijen Nasional (BIN). Mekanisme kerja Densus 88 Anti Teror telah diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol. : 11/III/2005 tanggal 21 Maret 2005 melalui kelembagaan (hubungan kerja) : (1) Subden Intel, melaksanakan tugas deteksi, kotra intel dan analisis; (2) Subden Penindakan, melaksanakan tugas negosiasi, penetrasi dan jihandak; (3) Subden Investigasi, melaksanakan tugas olah TKP, teknis pemeriksaan; dan (4) Subden Bantuan, melaksanakan tugas bantuan operasi, dan administrasi.

Infrastruktur yang disiapkan Polri bagi tugas Densus 88 Anti Teror dan Satgas Anti Teror a.l dalam penentuan personel dilakukan melalui seleksi khusus. Pendidikan dilaksanakan di Sekolah Anti Teror di Akpol Semarang. Peralatan tugas baik secara kualitatif maupun kuantitatif tercukupi (80 %), sedangkan dalam hal biaya operasi untuk Densus 88 Anti Teror tercukupi dari dana APBN, dan untuk Satgas Anti Teror dari dana taktis kapolri.

Selama ini kinerja dan permasalahan yang dialami Polri dalam penanganan aksi terorisme terutama dalam hal dana operasi masih terbatas. Indeks untuk operasi belum dirumuskan secara rasional (terukur), demikian pula dengan dana kontijensi. Di sisi lain koordinasi antara Densus 88 Anti Teror maupun Satgas Anti Teror dengan staf pembinaan (keuangan, personel, logistik) di lingkungan Polri belum bisa berlangsung cepat. Pada hal masalah yang dihadapi adalah extra ordinary crime yang memerlukan kecepatan bertindak.

Dalam rangka hubungan dan koordinasi kerja dengan TNI, Densus 88 Anti Teror maupun Satgas Anti Teror merasa tidak ada masalah yang prinsip. Kebutuhan bantuan dari TNI untuk Densus 88 Anti Teror dan Satgas Anti Teror terutama adalah informasi intelijen. Dalam hal ini koordinasi kerja di tingkat atas sudah cukup baik, tetapi implementasinya bagi petugas di lapangan belum ada aturan dan mekanisme perbantuan yang dapat dijadikan pegangan. Demikian pula mengenai payung hukum atau keputusan bersama antar pimpinan satuan belum ada. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan jika terjadi sesuatu siapa yang bertangung jawab.

138

Page 185: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Dalam hal penanganan kejahatan lintas batas, hingga kini peran Polri masih sebatas menerima laporan dan menyelesaikan kasus yang dinilai meresahkan seperti illegal logging, illegal tradings smuggling, illegal fishing, illegal mining, trafficking, pencurian kapal, terorisme, narkoba dan pelanggaran lintas batas melalui kesatuan-kesatuan yang berada di perbatasan (Polda, Polres, Polsek). Adapun cara yang dilakukan adalah monitoring di pos lintas batas, patroli, penggalangan, dan penyuluhan kepada warga masyarakat perbatasan baik dilakukan oleh polisi umum maupun oleh Brimob. Di samping itu, Polri juga melaksanakan pengamanan bersama daerah perbatasan dengan Polisi Diraja Malaysia melalui Forum GBC Malindo. Di lapangan operasionalnya dilaksanakan oleh Polda NAD bersama Kontijensi dari Perlis, Kedah, dan Pulau Pinang. Polda Sumut bersama Kontijensi Pulau Pinang, Perak dan Selangor. Polda Riau bersama Kontijensi Melaka dan Negeri Sembilan. Polda Kepri bersama Kontijensi Johor dan Negeri Sembilan. Polda Kaltim bersama Kontijensi Sabah. Polda Kalbar bersama Kontijensi Serawak.

Secara umum wilayah perbatasan yang berkaitan dengan adanya kesatuan Polri sangat luas dan panjang (termasuk pulau-pulau kecil terluar), lautan yang berbatasan langsung dengan beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Papua Nugini, dan Timor Leste. Untuk mengoptimalisasikan pengawasan daerah perbatasan tersebut, kesatuan-kesatuan Polri (Polda, Polres, Polsek) mengadakan kerja sama dengan imigrasi, bea - cukai, pemda, dinas perikanan dan kelautan, dinas perindustrian dan perdagangan maupun TNI.

Menghadapi kondisi wilayah tugas di perbatasan, dalam rangka menyelesaikan berbagai tindak pidana, Polri terbentur pada kesulitan a.l : kasus melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki kewarganegaraan berbeda, persoalan menyangkut yuridiksi dua negara dengan sistem hukum berbeda, selain itu juga terbentur pada keterbatasan sarana prasarana. Pengawasan secara optimal hanya dilakukan di daerah yang memiliki infrastruktur baik dan garis perbatasan tidak sulit dijangkau, seperti perbatasan Timor Leste dengan NTT. Daerah-daerah lain bisa dikatakan sangat sulit terjangkau, karena wilayahnya sangat luas dan medannya tidak bisa dengan mudah didatangi.

Hubungan dan koordinasi antara Polri dengan TNI dalam rangka penanganan kejahatan lintas batas belum terlaksana secara terpadu, bahkan terjadi tarik-menarik kepentingan antar berbagai pihak, yaitu antara imigrasi, bea - cukai, polisi, TNI, dinas perikanan dan kelautan, dinas perdagangan dan perindustrian. Di samping itu karena letak kantor kesatuan masing-masing tidak mengelompok, untuk saling berhubungan juga belum memiliki alat komunikasi bersama. Bantuan lain yang sangat diharapkan Polri dari TNI terutama di daerah perbatasan adalah bantuan personel dan kendaraan untuk melakukan patroli bersama.

139

Page 186: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Uraian di atas menggambarkan bahwa dalam menjalankan tugas pokok, Polri nampak menanggung beban sendiri. Meskipun dalam UU No. 2 Tahun 2002 pasal 41 ayat (1) telah dinyatakan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Polri dapat meminta bantuan TNI namun tata-cara permintaan bantuan belum ada.

Hubungan Antara TNI – Polri

Mendudukan hubungan antara TNI-Polri dalam mengatasi terorisme dan kejahatan lintas batas perlu ditinjau secara makro, dalam artian mengkaji bagaimana landasan yuridis hubungan kedua lembaga keamanan tersebut. Di sisi lain juga perlu dikaji hakekat ancaman yang menjadi acuan hubungan tersebut.

Secara normatif, sebenarnya hubungan antara TNI - Polri telah disinggung dalam UUD 1945 pada pasal 30 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ”.......hubungan kewenangan antara TNI dan Polri dalam menjalankan tugas diatur dengan undang-undang”. Persinggungan wewenang ini terutama nampak pada bidang kamtibmas yang menjadi kompetensi Polri dengan tugas non-perang yang menjadi kompetensi TNI, seperti yang dicantumkan pada pasal 7 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yaitu : (1) mengatasi aksi terorisme; (2) mengamankan proyek vital nasional yang bersifat strategis; (3) membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; dan (4) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Sementara itu dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara, pasal 41 ayat (1) menentukan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Polri dapat meminta bantuan TNI menurut tata-cara yang diatur dalam ”Peraturan Pemerintah”. Sedangkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (2) angka 10 menentukan bahwa TNI membantu tugas Polri dalam bidang kamtibmas yang diatur melalui ”UU”. Dari kedua UU tersebut memunculkan kejanggalan dalam rangka penjabarannya, yang satu memerintahkan melalui Peraturan Pemerintah, yang lain melalui UU, padahal untuk keperluan yang sama, yaitu bantuan TNI kepada Polri dalam rangka pelaksanaan tugas keamanan. Kejanggalan lain adalah, dalam UU TNI bantuan TNI kepada Polri hanya dapat dilakukan setelah ada ”keputusan politik” pemerintah, sedangkan dalam UU Polri – polisi bisa minta bantuan kepada TNI tanpa suatu syarat, dengan kata lain bisa minta bantuan secara langsung.

Kejanggalan secara normatif tersebut memunculkan dugaan : (1) kemungkinan perumusan isi atau materi perbantuan TNI kepada Polri memang

140

Page 187: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

dibuat demikian agar tidak terjadi penggabungan antara TNI dan Polri; atau (2) keteledoran perumus UU dalam memerinci isi atau materi pada bidang perbantuan TNI kepada Polri. Menghadapi keadaan demikian tidak ada jalan yang baik kecuali merombak keduanya daripada melakukan perubahan secara tambal sulam. Apalagi jika dilihat dari masa reformasi yang telah berlangsung lebih dari sembilan tahun, sudah saatnya untuk melihat kembali relevansi dan implikasinya bagi penataan sistem keamanan nasional di Indonesia.

Setelah dikaji landasan normatif hubungan TNI – Polri dalam menghadapi terorisme dan kejahatan lintas batas, perlu dikaji hakekat ancamannya. Suatu dilema melekat dalam tindakan menghadapi terorisme khususnya kontra-terorisme, yaitu ciri arcanum aksi terorisme. Teroris itu bekerja di ruang privat untuk mendapatkan efek di ruang publik. Yang diacu adalah aksi terorisme politis yang mereproduksi kekuasaan untuk menghilangkan rasa aman dalam kehidupan sosial. Terorisme pada dasarnya adalah arkanpolitik (politik rahasia).

Masalahnya adalah, dalam menghadapi hal ini bagaimana mendeteksi gerakan teror tanpa intervensi ke dalam ruang rahasia. Sebab, intervensi ke dalam ruang rahasia dapat dikatakan campur tangan ke dalam wilayah privat masyarakat ? Pasal 26 ayat 1 dalam UU No. 15 Tahun 2003 menunjukkan tentang kesulitan ini. Rahasia hanya bisa ditembus lewat suatu ”agen” yang mengumpulkan data di luar kontrol publik. Itulah agen rahasia. Karena itu sering terdengar keluhan dari warga masyarakat bahwa, ada nuansa teror di dalam tindakan pemberantasan terorisme. Pasal 31 ayat 1 lebih jauh lagi menunjukkan bagaimana tindakan pemberantasan terorisme bisa melampaui batas politik normal. Penyadapan dan penyitaan surat adalah intervensi ke dalam ruang intim masyarakat. Namun mana mungkin data dapat dikumpulkan tanpa tindakan-tindakan semacam itu?

Persoalan itu sesungguhnya terkait dengan ”paradigma keamanan” bertolak dari anggapan bahwa negara berada dalam kondisi krisis, depresi ekonomi, atau apa yang di dalam ilmu hukum disebut sebagai keadaan khusus. Dalam keadaan seperti ini memang pemerintah diperbolehkan mengintervensi wilayah privat masyarakat demi keamanan. Namun paradigma ini berhadapan dengan ”paradigma hak asasi manusia”. Sebab paradigma kemanan berciri partikularistik dan beranggapan bahwa hak kolektif seperti national self determination mendapat prioritas atas hak-hak individu, sedangkan paradigma hak asasi manusia berciri universalistis dengan mengacu pada hak-hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia.

Antagonis antara paradigama keamanan dengan paradigma hak asasi manusia itu sudah melekat pada setiap konstitusi. Dalam UUD 1945 tercantum baik hak-hak sipil maupun asas kedaulatan rakyat dan pertahanan

141

Page 188: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

negara. Bahwasanya tegangan ini melekat di sana tidak berarti bahwa di dalam praktek tegangan itu tidak terpecahkan. Dalam praktek akan cenderung memilih salah satu kutub sesuai dengan kepentingan yang mendasari. Paradigma keamanan tampaknya membela totalitas dan imparsialitas, tetapi tidak menutup kemungkinan merupakan cermin kepentingan partikularitas dan parsial, yakni kelompok yang menguasai suatu kehidupan dialah yang menentukan.

Demikian pula dalam hal kasus-kasus lintas batas di Indonesia tidak seluruhnya bernuansa kriminal murni. Terdapat sisi-sisi kemanusiaan yang sulit diselesaikan hanya dengan penegakan hukum saja, baik hal itu menyangkut illegal loging, illegal trading/smuggling, illegal fishing, illegal mining maupun trafficking. Tindakan para pelaku tidak semua untuk menumpuk materi tetapi justru banyak yang sekedar untuk menyambung hidup karena kesulitan yang melilit dalam kesehariannya.

Jika dikatakan Polri berhasil dalam menanggulangi terorisme maka sepantasnya tidak memerlukan bantuan lagi. Namun, terorisme tidaklah akan lenyap hanya dengan membasmi jaringan atau kejahatannya saja, selama sumber-sumber utama tindakan itu tidak diatasi. Sumber-sumber tersebut terutama adalah ketidakadilan atau setidaknya, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, maupun keagamaan. Demikian pula dalam menghadapi kejahatan lintas batas. Di sini tuntutan keseimbangan dalam penanganan keamanan antara pemegang kekuasaan dengan masyarakat perlu dirumuskan.

Karena itu untuk membangun hubungan antara TNI- Polri yang efisien dan efektif perlu ditempuh secara mendasar melalui perumusan sistem keamanan nasional secara komprehensif. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa perlu dijamin keseimbangan hubungan antara human security dengan state capacity guna menghindari tindakan abusive. Hal itu diperlukan karena : (1) pembatasan dan akuntabilitas penggunaan perangkat dan alat-alat kekerasan negara; (2) perangkat hukum yang dibuat untuk mengahadapi terorisme tidak boleh melanggar non-derogable right, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk terbebas dari rasa takut; (3) hak warga negara dijamin dengan mekanisme legal complaint; dan (4) upaya penanganan terorisme dilakukan dalam rangka due procces of law. Dalam hal ini laporan intelijen tidak bisa dipakai sebagai bukti permulaan untuk melakukan tindakan pro-justicia.

Dengan prinsip demikian keputusan elit politik dalam membangun hubungan TNI-Polri sangat menentukan. Keputusan itu adalah keputusan pemerintah bukan legislatif. Logikanya, jika keputusan politik itu telah dikeluarkan maka proses legislasi dilanjutkan. Hal itu bermakna bukan TNI atau Polri yang menentukan derajat keseriusan hubungan tetapi elite politik.

142

Page 189: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Upaya tersebut akan mengurangi (kalau tidak menghilangkan) ego angkatan, baik pada Polri maupun TNI. Secara teoretis, dalam kondisi seperti sekarang ini kedua lembaga keamanan tersebut menyatakan mampu mengatasi segala macam ancaman keamanan di dalam negeri. Subyektifitas ini wajar. Namun dengan melihat kompleksitasnya masalah hal itu jika diselesaikan sebagaimana sistem keamanan masa lalu akibatnya ialah kondisi masyarakat akan menjadi semakin parah. Tidak terlalu sulit untuk melihat hal itu jika kita mau menengok ke belakang dan memberikan penilaian secara jujur.

Di sinilah proses komunikasi antar berbagai pihak terkait dengan elite politik sampai ke aparat keamanan perlu suatu kepekaan (sensitifity) – di samping akal budi juga nurani – untuk mengambil keputusan secara tepat dalam rangka perbaikan sistem keamanan secara komprehensif. Suatu tragedi yang sangat menyedihkan jika elit politik lebih mementingkan kekuasaan daripada berbuat untuk kemanusiaan. Lebih dari itu langkah-langkah untuk mengatasi situasi sosial yang semrawut ini perlu segara didukung oleh kerjasama antar lembaga, termasuk di dalamnya masyarakat sendiri. Contingency plan yang jelas sangat diperlukan bagi pengambilan keputusan yang cepat.

Regulasi yang terkait dengan hubungan kedua lembaga keamanan itu adalah UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. Karena undang-undang itu disusun dalam suasana transisi yang sarat dengan keterbatasan, maka wajar jika masih terdapat kekurangan-kekurangan.

P e n u t u p

Makalah ini disampaikan sebagai bahan masukan dalam rangka memecahkan Problematik Hubungan TNI – Polri Dalam Menangani Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas. Pendekatan keamanan manusia (human security) diperlukan untuk menata kompleksitas aspek-aspek yang terkait dengan fokus masalah. Hal ini tidak dimaksud untuk membuat pertentangan, justru diharapkan dapat menambah wawasan dalam rangka mempertajam atau memperjelas apa yang sebenarnya hendak dipecahkan.

Semoga makalah ini dapat menjadi acuan dalam melembagakan tugas Polri maupun TNI dalam tatanan keamanan nasional.

143

Page 190: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Daftar Pustaka

Bachtiar W. Harsya. 1994. Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu yang baru. Gramedia. Jakarta.

Bayley, H. Davis. 1988. Comparative Organisation of the Police in English-speaking Countries in Tonry M and Morris (eds) Modern Policing University of Chicago.

Buzan, Barry (et.al.). Security: A New Framework for Analysis (London: Lynne Rienner, 1998).

Djamin, Awaloedin. 2005. ”Masalah dan Issue Manajemen Kepolisian Negara R.I Dalam Era Reformasi”. PTIK Press. Jakarta.

Edwards, Charles. 1999. Changing Policing Theories. The Federation Press. Sydney.

Effendi, Sofyan. 1995. Dalam makalah Mengembangkan Jati Diri Polri. PTIK. Jakarta.

Hampson, Fen Osler, et.al.. Madness in the Multitude: Human Security and World Disorder (Oxford: Oxford University Press, 2002).

Huntington, Samuel P.. Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 1968).

Oudang, M. 1952. Perkembangan Kepolisian Di Indonesia. Mahabarata. Jakarta.

Pratikno, 1999. Dalam makalah Kultur POLRI Berorientasi Publik,. PTIK. Jakarta.

Swanson, R. Charles, Territo Leonard, Taylor, W. Robert. 2005. Police Administration. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey 07458.

144

Page 191: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

PROBLEM KESEIMBANGAN ANTARA KEAMANAN DAN KEBEBASAN DALAM PENANGGULANGAN

TERORISME1

Oleh : Rachland Nashidik2 dan Al Araf3

Terorisme dan Aksi terorisme di Indonesia

Teror dan terorisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah kekerasan dunia. Secara historis, terorisme mempunyai sejarah panjang sampai ke masa Yunani kuno ketika Xenophon menulis tentang efektifitas perang psikologi terhadap populasi musuh. Di masa awal perkembangannya, teror dan terorisme menjadikan negara dan kekuasaan sebagai objek yang ingin dituju. Pergulatan politik kekuasan di masa Kaisar Roma, Tiberius dan Caligula, telah menempatkan cara-cara teror seperti pembuangan, pengusiran, penganiayaan dan pembunuhan sebagai metode untuk memperlemah penantangnya.4

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Direktur Eksekutif Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor), Jakarta.3 Koordinator Riset SSR pada Imparsial. Kini sedang menyelesaikan pendidikan Magister Studi

Pertahanan-ITB4 Lihat Terorism, A Historical Heritage, Terorist Games Nations Play, Maj. Gn (retd) S.

Mohindra, Pvt Ltd, New Delhi, 1993; Lihat juga Adjie S. MSC, Terorisme, Sinar Harapan, Jakarta, 2005 dan Makalah Nosami Rikardi Salius, Terorisme dalam Perspektif Hukum Internasional, 2003.

145

Page 192: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Sebagai sebuah fenomena politik kekerasan, terorisme tidak dapat dirumuskan dan didefinisikan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok ataupun negara. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.

Di dalam rezim pemerintahan yang totaliter, teror seringkali dijadikan alat untuk mengintimidasi masyarakat demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Hannah Arrendt menggambarkan bahwa teror dalam rezim totaliter telah mengganti batas dan jalur komunikasi antar individu dengan pembalut besi yang mempersatukan mereka begitu erat sehingga seolah-olah kemajemukan mereka telah hilang dalam status manusia dengan dimensi raksasa.5 Pemerintahan totaliter telah menjadikan cara teror untuk menghancurkan salah satu prasyarat paling dasar dari semua kebebasan, yaitu kemampuan untuk bergerak yang tidak mungkin ada tanpa ruang kebebasan itu sendiri. Misalnya terjadi dalam rezim pemerintahan stalin yang sering di sebut juga dengan ”pemerintahan teror”6, rezim-rezim pemerintahan di Amerika latin,7 dan rezim-rezim pemerintahan dimasa era perang dingin. Teror didalam rezim-rezim inilah yang sering disebut dengan terorisme negara.

Dalam konteks individu dan kelompok, teror juga pernah menjadi metode dari perjuangan revolusi dan perjuangan pembebasan. Di Indonesia, teror sebagai bagian gerakan revolusi rakyat terjadi pada masa pra-kemerdekaan, misalnya aksi-aksi sabotase, pemogokan dan penutupan pabrik yang dilakukan oleh kelompok Misbach8 maupun gerakan-gerakan bawah tanah pada masa menjelang kemerdekaan yang menentang sistem penjajahan yang ada. Dan sebaliknya, terorisme negara juga berulangkali terjadi pada masa pasca kemerdekaaan dan memuncak pada masa pemerintahan orde baru.

Sekilas perkembangan sejarah terorisme tersebut menunjukan bahwa motivasi teror tidak melulu didasarkan pada interprestasi orang-kelompok atas kepercayaan dan keyakinan agama. Motivasi teror juga dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, kriminal ,etnonasionalisme, maupun politik. Wilkinson membedakan terorisme menjadi tiga tipe : terorisme revolusioner, terorisme sub-revolusioner dan terorisme represif. Terorisme revolusioner

5 Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarisme, Yayasan Obor, Jakarta, 2005, hal 266.6 F.Budi Hardiman, Terorisme : Paradigma dan Defenisi, Makalah Seminar Terorisme, Jakarta,

2002.7 Lihat Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi (pengalaman Brasil dan negara-negara lain),

Grafiti, Jakarta.8 Untuk lebih lanjutnya, lihat Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Grafiti, Jakarta, 1997

146

Page 193: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

dilakukan pelaku sipil dengan tujuan memutarbalikan tatanan secara total, sedangkan terorisme sub-revolusioner yang notabene juga dilakukan para pelaku sipil bertujuan hanya sekedar mengubah kebijakan, balas dendam, atau menghukum pejabat publik yang tak sejalan. Dan terorisme represif dilakukan oleh negara dengan penggunaan kekerasan secara sistematis demi menekan, melenyapkan atau membatasi ruang gerak kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan pihak yang berkuasa.9

Global Teror

Modernisasi dan globalisasi sedikit banyak telah mempengaruhi nature of terorism menjadi lebih kompleks dan rumit. Proses globalisasi telah menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Perkembangan teknologi dan dinamika arus infomasi-komunikasi yang begitu cepat telah memberikan ketersediaan sumber daya dan metode baru bagi para pelaku teror. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan diseminasi informasi coverage media yang luas membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuannya.

Kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam sebuah situasi isolasi. Ruang dan peluang yang dimiliki oleh kelompok teroris untuk menjalankan aksinya semakin luas. Hal ini menjadikan fenomena terorisme menjadi relatif sulit diprediksikan untuk menentukan kapan dan di mana kelompok teroris akan melakukan aksinya. Aksi terorisme ini tidak mengenal prinsip diskriminatif target, yang artinya tindak terorisme berlaku indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa saat ini terorisme sulit dipisahkan dari berkembangnya organisasi kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organised cirme) dalam berbagai ragam dan bentuknya.10 Mulai dari tindak kejahatan pencucian uang (money laundring), perdagangan ilegal obat bius dan juga perdagangan senjata api ilegal.

Dalam dekade kekinian, dimana demokrasi telah memberikan ruang dan gerak bagi warganegara untuk mengaktualisasikan pendapat secara bebas dan menyalurkannya melalui saluran demokrasi yang ada, aksi-aksi teror harusnya tidak lagi mendapatkan tempat didalam lingkup kehidupan politik kita. Sebab, tatanan demokrasi mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negosiasi dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan dan penggunaan

9 Donny Gahral Adian, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara : Indonesia Paca Bom Bali, Dalam Jurnal CSIS, Jakarta, 2003, hal 82.

10 Philips J Vermonte, Menyoal globalisasi dan terorisme,Makalah, Jakarta, 2003.

147

Page 194: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

kekerasan. Konsolidasi demokrasi hanya dapat tercapai ketika semua pelaku politik ataupun warga negara menempuh cara-cara demokratik sebagai satu-satunya aturan main dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Namun demikian, peristiwa 11 September 2001 di New York boleh dikatakan menjadi babak baru bagi pekembangan terorisme dan perang untuk melawannya. Reaksi yang muncul atas kejadian ini adalah sebuah langkah politik mengejar semua pelaku terorisme, bahkan juga memunculkan agenda menumbangkan rezim-rezim kekuasaan yang dianggap melindungi ataupun bekerjasama dengan pelaku terorisme.

Peristiwa ini mempengaruhi dan melahirkan peta baru pertarungan politik global, serta telah menjadi gejala restrukturisasi sistem politik di banyak negara. Lihat saja berapa perang yang telah lahir yang menimbulkan dilema keamanan (security dillemma) atas nama perang melawan terorisme. Dan berapa pula rezim otoritarian terbentuk atas kebutuhan perang melawan terorisme seperti apa yang terjadi di Pakistan.

Teror-teror yang terjadi bisa dimulai dari kelompok yang lemah (terutama oleh aktor non-negara) untuk melawan pihak yang kuat (asymmetric conflict) dan diakhiri oleh respon pihak yang kuat untuk melawan pihak yang lemah, begitupula sebaliknya. Lingkaran teror ini nyata terlihat dalam aksi teror yang dilakukan kelompok non-negara ( Al Qaeda) dan dikahiri juga dengan respon teror oleh negara (pemerintah AS). Memang ujung dari pertarungan baru itu tidak selalu bisa diprediksikan. Apakah akan lahir kembali masa-masa gelap perang dingin yang telah melahirkan rezim anti-demokrasi, atau sebaliknya.11

Bagaimana di Indonesia?

Indonesia memiliki masalah yang serius dengan terrorisme. Tapi masalah ini bukan ancaman terbesar yang harus dihadapi oleh Indonesia, jumlah korban yang terbunuh oleh bom-bom teroris sejak 2000 jauh dibawah angka korban yang tewas akibat bencana alam, pertempuran sektarian, ataupun kekerasan separatis. Tapi terdapat suatu network yang ingin menyerang masyarakat sipil sebagai respons ataupun membalas dendam terhadap apa yang mereka lihat sebagai penyerangan terhadap Muslim, di dalam dan di luar Indonesia. Network ini telah terluka tapi tidak hancur sejak penahanan yang terjadi sejak Bom Bali pertama pada Oktober 2002, tapi ideologi yang mendorongnya masih menarik pengikut-pengikut yang entusias.12 Jemaah Islamiyah (JI) adalah organisasi yang paling terkenal, tapi sejak 2003, pemboman yang

11 Munir, Menanti Kebijakan Anti-terorisme, Kata Pengantar dalam buku Terorisme : Defenisi, aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003

12 Lihat laporan International Crisis Group (ICG)

148

Page 195: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

paling besar dilakukan oleh grup yang dipimpin oleh Noordin Mohammed Top, yang masih dicari. Di luar Jamaah Islamiyah masih terdapat grup-grup radikal lainnya.

Gerakan radikal dan aksi peledakan bom yang terjadi di Indonesia memiliki motivasi yang berbeda-beda, yakni motivasi anti barat (AS) yang ditunjukkan kelompok JI, motivasi membentuk negara berdasarkan aliran agama tertentu, motivasi solidaritas berdasarkan agama sebagaimana terlihat dalam konflik Ambon, motivasi atas dasar separatisme, maupun motivasi yang didasarkan karena adanya kepentingan “ekonomi-politik” elit local-nasional.13

Dengan motivasi yang berbeda, maka masing-masing kelompok memiliki target yang berbeda-beda. Untuk kelompok JI target sasarannya lebih difokuskan pada orang dan tempat berkumpulnya dan tinggalnya warga asing, seperti hotel yang dihuni warga asing, khususnya warga AS (Mariot), kedutaan besar (Australia), cafe (Bom Bali). Sedangkan untuk kelompok yang motivasinya karena atas dasar solidaritas dan demi mengakomodasi kepentingan ”ekonomi-politik” elit lokal-nasioal target sasarannya biasanya adalah orang dan prasarana ibadah serta prasarana sipil lainnya. Namun harus diakui, kendati berbeda kelompok dan berbeda motivasi, tidak jarang diantara kelompok radikal tersebut memiliki hubungan dan kerjasama dalam hal-hal tertentu.

Aksi-aksi teror yang terjadi, di satu sisi sangat dipengaruhi oleh sisa warisan politik masa lalu dan kegagalan konsolidasi demokrasi.14 Politik yang terbuka berjalan seiring hukum yang bobrok, rendahnya penghormatan HAM, korupsi yang merajalela, serta problem sosial-ekonomi yang berakar dalam tubuh negara ini juga menjadi penyebab suburnya gerakan terorisme di Indonesia. Robin Luckham mengungkapkan bahwa kekerasan politik yang paling besar, biasanya berasal dari krisis legitimasi dan krisis kapasitas negara.15

Lebih lanjut, aksi terorisme yang menggunakan metode peledakan bom memiliki daerah lokasi sasaran seperti Bali, Jakarta, Medan, Sulawesi, Maluku,

13 Untuk motivasi yang terakhir ini, Arianto Sangaji, mengungkapkan bahwa menelusuri praktik korupsi dengan tindakan terorisme adalah hal yang penting. Di daerah konflik, dana pemerintah yang hilang melalui korupsi pejabat dan pengusaha yang menyandarkan diri kesumber pembiayaan pemerintah mengalir melalui berbagai jalan untuk membiayai kekerasan. Disini, tindak kekerasan terorisme harus dijelaskan sebagai buah kombinasi antara pejabat yang korup, pengusaha yang mencari untung dan pelaku teror dengan beragam motif. Arianto Sangaji, Penanganan Terorisme, Kompas, 31 Agustus 2007.

14 Ibid15 Robin Luckham, Democratic Strategies for Security in Transition and conflict, (Governing

Insecurity, edited by Gavin Cawathra and Robin Luckham), Zed Books, London & New York, 2003, page 21

149

Page 196: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Jawa Timur, Aceh. Pada dekade belakangan ini aksi terorisme melalui peledakan bom bisa dikatakan menurun. Untuk lebih jelasnya liat tabel aksi peledakan bom di indonesia di bawah ini.16

Respon Terorisme : Problem Keseimbangan

Masalah terorisme dan respon untuk melawannya, telah memperumit jalannya proses demokratisasi dan penegakan HAM di banyak negara. Terorisme dan penanggulangannya telah menimbulkan persoalan keseimbangan di antara security dan liberty. Perang terhadap terorisme telah menempatkan kebebasan bukan lagi hal yang utama untuk dilindungi negara. Untuk dan demi atas nama keamanan, kebebasan untuk sementara waktu sah hukumnya dibatasi bahkan di intervensi oleh negara.

Respon atas persoalan terorisme di banyak tempat dilakukan dengan menerapkan kebijakan yang ”semi totaliter”. Membangun dan mendirikan kekuatan intelijen dengan kewenangan yang sangat luas, cek rutin dokumen-dokumen personal, kontrol atas kebebasan berpergian, kontrol atas media masa dan komunikasi masa, menyusun hukum yang memungkinkan untuk mengintervensi kehidupan privat warga negara bahkan untuk menjaring musuh-musuh politis.

Dengan atas nama perang terhadap terorisme, alam pikiran ”negara Leviathan” yang ditafsirkan sepihak oleh penguasa telah menampilkan negara hanya sebagai negara kekuasaan semata, dan tidak lagi mengindahkan nilai dan norma hukum murni yang berlaku. Konsekuensinya, banyak negara dengan legitimasi kekerasan yang dimiliki, melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri ataupun terhadap warga negara lainnya.

Di titik ini, wajar kemudian timbul pertanyaan apakah ”zaman hak” (the age of rights) sudah berakhir sejak 11 September 2001? Sebab, fakta-fakta yang berlangsung di bawah bendera perang melawan terorisme kini amat memprihatinkan bagi penghormatan dan penegakan HAM. Kini, banyak negara di dunia, dari Australia hingga Zimbabwe, mengorbankan hak-hak asasi manusia ke atas altar anti-terorisme-termasuk hak-hak yang digolongkan ke dalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemerintahannya dalam keadaan apapun.17

16 Lihat laporan yang dibuat oleh Mouvty Al Makaarim (Kontras) kepada International Commision of Jurist (ICJ) yang diselenggarakan oleh Imparsial, Jakarta, 2007.

17 Todung Mulya Lubis, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara (kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme), Kompas, 3 Februari 2003.

150

Page 197: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

Undang-Undang Anti-terorisme yang kini diberlakukan banyak negara digunakan untuk mensahkan penangkapan sewenang-wenang (arbitary detention), pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial, tindakan-tindakan berlebihan kepada warga negara asing dengan alasan keadaan genting dan tekanan terhadap fundamental freedoms, khususnya hak untuk bebas berkumpul dan menyatakan pendapat. Bahkan laporan Amnesty Internasional menyatakan, di banyak negara, praktik penggunaan siksaan dalam proses interogerasi terhadap orang yang disangka ”teroris” juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat.18

Senada dengan Amnesty, laporan International Civil Liberties Monitoring Group menyebutkan bahwa hak-hak dasar dan kebebasan sipil telah terkikis oleh apa yang disebut sebagai “perang melawan terorisme” yang target utamanya adalah anggota masyarakat Arab dan Muslim dan meningkatakan ancaman terhadap imigran-imigran serta mereka yang mencari perlindungan dari diskriminasi politik.19

Legitimasi terhadap anti-terrorisme di dunia, dan pengadopsian legislasi dan peraturan imigrasi, telah berkontribusi terhadap peningkatan wajah rasis dan rasisme yang terinstitutsi. Penyalahan berdasarkan asosiasi telah memberi dampak yang buruk terhadap kebebasan dasar yakni kebebasan berekspresi, kebebasan untuk berasosiasi dan kebebasan untuk bergerak, dan juga kebebasan dasar demokrasi untuk melakukan protes dan menyatakan hak-hak sendiri.

Di Kanada, Undang - Undang Anti Terrorisme (UU C-36), juga Patriot Act di Amerika Serikat dan Anti-Terrorism serta Security Act (ASTA) di Inggris, diterapkan segera setelah penyerangan 11 September 2001. UU C-36 telah memberikan kekuasaan yang luar biasa terhadap para polisi untuk melakukan penangkapan preventif yang digunakan untuk mengancam anggota masyarakat minoritas untuk “bekerja sama” dengan mereka. Undang - Undang baru ini menginstitutionalisasi penggunaan “bukti-bukti rahasia” yang digunakan dalam “persidangan rahasia” yang bisa dilakukan menggunakan Undang - Undang Perlindungan Imigrasi dan Pengungsi. Undang - Undang ini memberikan kekuasaan kepada menteri kabinet untuk mengeluarkan “sertifikat keamanan” yang bisa digunakan pada non-citizen secara luas dan mendeportisasi mereka. Bahkan pemerintah Kanada juga memajukan undang-undang keamanan publik yang memberi izin angkatan bersenjata untuk mendeklarasikan controlled acces zone terhadap wilayah-wilayah di mana terdapat peralatan militer.

18 Ibid19 Lihat report International Civil Liberties Monitoring Group, Anti -Terrorism and the Security

Agenda: Impacts on Rights Freedoms and Democracy, Ottawa, February 17, 2004.

151

Page 198: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Di Inggris, terdapat perhatian terhadap legislasi anti teroris yang menyurutkan usaha untuk memperbaiki hubungan antara polisi dan masyarakat etnik minoritas yang rapuh, dimana terdapat dua juta Muslim yang masuk dalam daftar “masyarakat yang tertuduh” dalam ATSA. Dalam penelitian Inggris menemukan bahwa orang hitam dan Asia delapan kali lebih sering untuk diperiksa, di bawah kekuasaan baru polisi dibawah ATSA. Di beberapa daerah bisa sampai 27 kali lebih banyak. Di bawah UU Police and Criminal Evidence, terdapat 900 000 pemberhentian dan pemeriksaan pada tahun 2003, dimana 13% terjadi penangkapan. Lalu di bawah UU ASTA terdapat tambahan 150 000 pemberhentian dan pemeriksaan dimana terdapat 2% penangkapan.20 Di Inggris, legislasi anti teroris juga telah digunakan untuk menjaga demonstrasi-demonstrasi dalam menghadapi protes terhadap pameran senjata di Pelabuhan London dan terhadap protes perang di Irak.

Di Amerika, UU Imigrasi dan Kebangsaan 1996 telah memudahkan untuk mendeportasi penghuni legal dan warganegara naturalisasi dan telah didukung oleh National Security Entry Exit Registry System (NSEERS) dan UU Aviasi dan Keamanan Transportasi. Perlakuan-perlakuan ini telah mendatangkan dampak yang besar terhadapap komunitas imigran dan pengungsi, menyebabkan disalokasi terhadap keluarga, negleksi anak dan hilangnya suatu kelompok masyarakat. Selanjutnya, terdapat peningkatan penyerangan terhadap komunitas Muslim, baik bisnis maupun keluarga-keluarga. Lebih dari itu , pada 15 November 2002, Presiden George W Bush mengeluarkan executive order yang memerintahkan non-warga negara AS tersangka teroris dihadapkan ke pengadilan militer.

Jelas bahwa lingkungan ketakutan, ditambah dengan ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dan prosesnya, memiliki dampak yang serius terhadap institusi-institusi demokrasi di dunia. Langkah-langkah berbahaya dan cara yang digunakan memiliki dampak negatif terhadap secara keseluruhan.

Langkah yang paling kontroversial adalah penangkapan yang tidak terhingga terhadap 700 orang di Guantanamo Bay, Kuba; penentuan legal terpidana sebagai kombatan; penggunaan penyiksaan dalam proses interogasi; dan pelaksanaan siksaan sebagai “extraordinary rendition”.

Lebih lanjut, agenda anti terorisme di Asia Tenggara telah terbukti merusak bagi demokrasi dan hak asasi manusia di daerah ini. Hal ini telah berlanjut kepada penangkapan sewenang-wenang orang yang tertuduh sebagai teroris; justifikasi UU represif lama; peningkatan pelanggaran hak asasi manusia; dan kriminalisasi terhadap kelompok oposisi. Walaupun penangkapan tanpa

20 ibid

152

Page 199: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

proses hukum bukan merupakan isu baru atau pengalaman baru untuk negara-negara Asia Tenggara, pengadopsian cara-cara ini oleh demokrasi liberal yang menghormati hak-hak asasi manusia, seperti Kanada, telah memundurkan gerakan hak-asasi manusia di daerah ini.

Di Nepal, pemerintah mendeklarasikan negara dalam keadaan bahaya dan memberlakukan peraturan anti-terorisme. Puluhan orang termasuk didalamnya wartawan, mahasiswa, dosen dan pengacara ditangkap. Di bawah peraturan itu mereka bisa dimasukkan ke preventive detention selama 90 hari, selanjutnya 180 hari dengan izin menteri dalam negeri.

Di Denmark, di bawah undang-undang yang mengamandemen undang-undang pidana setempat, pengacara dan penasihat hukum dari tersangka teroris dapat dituduh membantu terorisme. Di India, undang-undang pencegahan terorisme dapat menahan tersangka selama tiga bulan tanpa adanya tuduhan. Undang - Undang ini juga mengancamkan hukuman kepada wartawan yang melakukan pertemuan dengan ”teroris”, kendati itu sekedar untuk wawancara.

Di Indonesia keadaannya tidak jauh berbeda. Respon pemerintah terhadap terorisme dan aksi-aksi teror justru memperbesar kewenangan negara tanpa secara bersamaan mengimbanginya dengan jaminan yang lebih kuat terhadap hak-hak warga negara. Undang-undang anti-terorisme yang ada mengancam kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat (Pasal 20); mengancam hak-hak privat warga negara melalui tindakan penyadapan telepon, pengawasan buku bank dst, yang semata-mata berdasarkan laporan intelejen (Pasal 26 ayat 2, jo Pasal 30); Mengancam independensi judicial system dengan keterlibatan aparat intelejen non-judicial seperti Badan Intelijen Negara dan intelijen TNI; memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara khususnya pemberian kesempatan yang luas kepada intelijen, baik intelejen BIN maupun TNI untuk tujuan-tujuan lain yang dimaksudkan mencegah dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan terorisme (Pasal 26).21

War againts terror yang telah dijalankan di berbagai negara dilakukan dengan dua kecenderungan utama yang seragam; dengan mengenyampingkan dan melanggar hak-hak serta kebebasan dasar yang dikualifikasikan ke dalam non-derogable rights di satu sisi; dan menngesahkan kewenangan militer di sisi lain ke dalam masalah penegakan hukum (tidak termasuk penegakan hukum di laut) . Lebih lanjut, berbagai kasus tersebut membenarkan pendapat Hina Jilani22 yang menyatakan bahwa baik negara demokrat maupun otoriter,

21 Untuk selanjutnya lihat naskah akademik Imparsial tentang problem kebijakan anti-terorisme di Indonesia.

22 Hina Jilani adalah Special Reporteur for Human Rights Defenders di PBB.

153

Page 200: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dewasa ini sama-sama mengondisikan warganya untuk memilih diantara liberty dan security.

Mencegah Sesat Pikir

Dalam relasi kuasa negara dan warga negara, legitimasi kekerasan oleh negara yang notabene merupakan salah satu mandat yang telah diberikan warga negara kepada negara, harusnya ditujukan untuk melindungi warga negara dari kekerasan itu sendiri, bukan sebaliknya.

Melindungi kebebasan dan keamanan warga adalah kewajiban negara (state duty). Itu ditegaskan oleh hukum internasional hak-hak asasi manusia dan diperintahkan oleh konstitusi setiap negara demokratik. Kebijakan negara untuk menanggulangi terorisme memang bukan hanya perlu, tapi juga harus. Tetapi harus diingat: liberty and security of person adalah hak-hak asasi manusia dari setiap warga negara yang selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable), juga bersifat tidak dapat diceraikan (indivisible). Adalah sangat berbahaya bila negara bertindak dalam pikiran keliru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan.

Bahkan, perlindungan terhadap hak asasi sesungguhnya merupakan esensi dari konsep keamanan itu sendiri. Perkembangan tafsir dan persepsi terhadap ancaman yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berubah telah memperlihatkan bahwa persoalan kelaparan, kemiskinan, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyakit menular dan pencemaran lingkungan menjadi ancaman bagi kemanusiaan kita. Kompleksitas ancaman tersebut telah mempengaruhi konsep keamanan yang ada. Keamanan tidak lagi hanya ditujukkan kepada upaya menjaga keutuhan teritorial negara tetapi juga keamanan manusianya (human security).

Human security menilai bahwa keamanan juga meliputi keamanan manusia yang di dalamnya mencakup masalah kesejahteraan sosial, perlindungan hak-hak kelompok masyarakat, kelompok minoritas, anak-anak, wanita dari kekerasan fisik dan masalah-masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik. Ciri khas perspektif ini melihat bahwa ancaman utama bagi human security adalah penolakan hak-hak asasi manusia dan tidak adanya supremasi hukum. Dalam pendekatan non-traditional tersebut, konsepsi keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors).

Dengan demikian, upaya untuk menjaga keamanan tidak boleh menegasikan esensi dari keamanan itu sendiri yakni perlindungan terhadap hak-

154

Page 201: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

hak asasi manusia.23 Dalam menyusun kebijakan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap ”security of person”. Sayang, pada prakteknya seperti sebagaimana dijelaskan di atas, prinsip keseimbangan imperatif itu justru gagal dipenuhi oleh kebijakan antiterorisme di berbagai negara.

Problem TNI-Polri

Kompleksitas nature of terorism akibat perkembangan globalisasi sebagaimana dijelaskan di atas telah menempatkan upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin dilakukan hanya secara nasional. Usaha menghadapi terorisme harus dilakukan bersama-sama oleh semua negara, baik pada level bilateral, regional dan multilateral.

Tidak hanya itu, pemberantasan terorisme juga tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga. Pemberantasan terorisme harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan banyak lembaga, yang salah satunya adalah pelibatan TNI-Polri di dalamnya. Ancaman terhadap terorisme merupakan ancaman yang di dalamnya memiliki irisan peran dan hubungan antara TNI dan Polri. Karenanya kedua institusi tersebut tidak boleh merasa bahwa institusinyalah yang lebih berwenang dibanding institusi yang lain.

Secara normatif, peran TNI dalam penanggulangan terorisme merupakan bagian dari peran untuk melaksanakan tugas operasi militer selain perang (military operation other than war) sebagaimana ditegaskan dalam UU TNI. Sedangkan bagi polisi, upaya pemberantasan terorisme merupakan bagian dari kerangka tugas polri untuk melaksanakan penegakan hukum sebagaimana ditegaskan UU Polri.

Kelemahannya kemudian adalah kedua undang-undang tersebut tidak menjelaskan tentang pembagian kewenangan atau hak yang lebih rinci bagi masing-masing aktor dalam pelaksanaan tugas untuk mengatasi ancaman terorisme. Kekosongan ini mungkin memang tidak perlu dijawab oleh undang-undang tersebut, tetapi perlu dijawab oleh otoritas politik melalui pembentukan kebijakan Presiden yang menjelaskan lebih rinci tentang ruang lingkup tugas masing-masing pihak, khusunya tugas untuk TNI. Presiden harus menjelaskan prinsip-prinsip dan batasan apa saja yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi bagi masing-masing pihak, khususnya TNI.

23 Penekanan akan pentingnya hak asasi manusia sebagai komponen dasar human security sebenarnya sudah berasal sejak perjanjian Peace of Westphalia, yang tertuang dalam Traktat Osnabruck dan Munster 1648, lihat Andi Widjayanto, Human Security, Makalah, 2006.

155

Page 202: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Hingga kini, ketiadaan kebijakan tersebut telah menimbulkan permasalahan di antara keduanya, baik itu dalam level koordinasi maupun dalam level taktis di lapangan. Dalam level koordinasi, lemahnya koordinasi yang dibarengi dengan tumpang tindih fungsi dan kerja antar aktor keamanan dalam penanggulangan aksi terorisme diakui oleh salah seorang anggota Detasemen 88 (antiteror) Polda Jawa Tengah. Menurutnya seseorang yang dicurigai terkait dengan bom di Jimbaran dan Kuta gagal ditangkap karena terlalu banyaknya satuan intel yang turun dan tak berkomunikasi. Target sudah kabur karena ternyata di tempat itu sudah ada intel Kopassus, intel kodam dan sebagainya. Menurutnya seperti ada rivalitas dan tidak ada komunikasi sehingga banyak hal menjadi mubazir.24 Sedangkan dalam konteks taktis di lapangan, bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali anggota TNI menjalankan fungsi yang tidak seharusnya yakni menjalankan fungsi-fungsi judicial, seperti penangkapan terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku terorisme.25

Lebih parah lagi, pidato Presiden pada hari ulang tahun TNI 5 Oktorber 2005 yang menjelaskan pentingnya peran TNI dalam penanggulangan terorisme telah ditafsirkan sepihak oleh TNI dengan cara meningkatkan kerja struktur komando teritorial, khususnya meningkatkan peran Babinsa (bintara pembina desa) dilevel paling bawah.

Kebijakan Panglima tersebut jelas kontradiktif dengan semangat di dalam UU TNI yang menyiratkan pentingnya melakukan agenda restrukturisasi komando teritorial (Pasal 11 UU 34/2004). Gelar kekuatan TNI haruslah memerhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik, dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan. UU TNI menegaskan, pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah.

Cara pandang negara yang reaktif, pragmatis dan eksesif dalam menerapkan strategi kontraterorisme tidak hanya menjadi ancaman bagi masyarakat sipil tetapi juga akan/telah menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antar aktor-aktor keamanan. Pengaktifan Koter untuk penanggulangan aksi terorisme merupakan langkah mundur dan memberi peluang bagi TNI

24 Koran Tempo, 3 Oktober 200525 Penangkapan itu dilakukan bukan karena atas dasar tertangkap tangan dan bukan pula terjadi

di wilayah laut dimana TNI AL memang memiliki peran untuk melakukan penegakan hukum. Untuk melihat beberapa kasus ini baca laporan HAM Imparsial tahun 2005.

156

Page 203: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Peran dan Hubungan TNI - Polri dalam Menghadapi Terorisme dan Kejahatan Lintas Batas

memasuki wilayah di luar pertahanan dan membuka kesempatan TNI masuk ke politik.26

Strategi Kontraterorisme harusnya diletakkan dalam koridor demokrasi dan diletakkan dalam rambu-rambu yang jelas dengan pembagian tugas serta fungsi yang tegas antar aktor-aktor keamanan. Demokrasi tidak memungkinakan pemberian kewenangan yang berlebihan dan bukan menjadi mandatnya untuk diberikan tugas dan fungsi baru.

Kesimpulan

1. Terorisme dan respon terhadapnya telah menimbulkan dilema keseimbangan antara security dan liberty. Dalam konteks itu, kebijakan penanggulangan terorisme harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap ”security of person”.

2. Kebijakan penanggulangan terorisme tersebut harus mencakup dua aspek :

a. Anti-terorisme, yakni merupakan segenap kebijakan yang dimaksud untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi tumbuhnya terorisme (keadilan, demokrasi, korupsi, kemiskinan dll).

b. Kontra-terorisme, yakni merupakan segenap instrumen yang menitikberatkan pada aspek penindakan terhadap terorisme dan aksi-aksi teror. Sebagai kebijakan yang bersifat koersif, kontra-terorisme menuntut profesionalitas dan proporsionalitas instrumen penindak.

3. Lebih lanjut, peran dan hubungan TNI-Polri dalam penanggulangan terorisme merupakan hal yang penting. Karenanya, koordinasi di antara keduannya menjadi kekuatan di dalam penanggulangan aksi terorisme. Tidak hanya itu, posisi dan peran keduannya hendaknya dijelaskan lebih rinci oleh otoritas politik melalui kebijakan yang menjelaskan tentang hak dan kewenangan masing-masing institusi dalam penanggulangan terorisme, dengan tetap memperhatikan tata nilai demokrasi dan prinsip negara hukum yang ada.

157

26 Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR Agung Laksono, Wakil Ketua MPR AM Fatwa dan Mantan Kaster (Kepala Staf Teritorial) TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo. Kompas, 8 Oktober 2005.

Page 204: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Bahan Bacaan

Buku

Adjie S. MSC, Terorisme, Sinar Harapan, Jakarta, 2005 Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi (pengalaman Brasil dan negara-

negara lain), Grafiti, JakartaBarry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security (A New Framework For

Analysis), Lynne Rienner Publishers, London, 1998David Chuter, Defence Transformation, Iss Monograph, London, 2000David J Whittaker, Terrorist and Terrorism in the Contempory World, Routledege,

London and New York, 2004Gavin Cawathra and Robin Luckham (ed), Democratic Strategies for Security

in Transition and conflict, Zed Books, London & New York, 2003, page 21

Ted Honderich, Terrorism for Humanity (Inquiries in Political Philosophy), Pluto Press, London, 2003

Gn (retd) S. Mohindra, A Historical Heritage, Terorist Games Nations Play, Maj. Gn (retd) S. Mohindra, Pvt Ltd, New Delhi, 1993

Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarisme, Yayasan Obor, Jakarta, 2005, hal 266

Rusdi Marpaung dan Al araf (ed), Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003

Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Grafiti, Jakarta, 1997

Bahan Lainnya (Report, Jurnal, UU, Koran)Laporan International Civil Liberties Monitoring Group, Anti -Terrorism and

the Security Agenda: Impacts on Rights Freedoms and Democracy, Ottawa, February 17, 2004 (report).

Laporan HAM Imparsial tahun 2005Jurnal CSIS, Terorisme dan Keamanan Manusia, Tahun XXXII/2003 No 1,

Jakarta, 2003UU TNI no 34/2004UU Polri No 2/2002Kompas, 8 Oktober 2005Kompas, 3 Februari 2003.Kompas, 31 Agustus 2007. Koran Tempo, 3 Oktober 2005

158

Page 205: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Bab IV.Problem Pembiayaan Anggaran

Untuk Sektor “Pertahanan- Keamanan”

Page 206: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 207: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI DAN ANGGARAN PERTAHANAN INDONESIA1

Gatot Arya Putra2

Latar Belakang Teoritis

Pengeluaran Pertahanan sebagai bagian dari pos anggaran pemerintah tidak dapat dipisahkan dari sistem anggaran pendapatan dan belanja pemerintah secara keseluruhan. Kolapsnya sistem fiskal dalam pengertian munculnya solvency dalam anggaran pendapatan dan belanja pemerintah tentu akan mempengaruhi pengeluaran bagi pos pertahanan. Namun demikian, melakukan kajian pengaruh keterkaitan pengeluaran pertahanan dengan variabel makroekonomi tetap dapat dilakukan tanpa harus melibatkan pendekatan sistem fiskal secara keseluruhan. Abu Bader dan Abu Qarn dari Departemen Ekonomi, Ben-Gurion University mengkaji hubungan kausalitas antara Pengeluaran Pemerintah, Pengeluaran Militer dan Pertumbuhan Ekonomi di Israel, Mesir dan Syria tanpa mengkaitkan dengan sistem kesinambungan fiskal. Mereka menggunakan teknik multivariate coointegration dan variance decomposition

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Warga negara Indonesia

159

Page 208: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

untuk melihat hubungan kasualitas antara ketiga variabel tersebut pada ketiga negara tersebut. Hasilnya memperlihatkan bahwa pengeluaran militer di ketiga negara tersebut bukan disebabkan oleh pertimbangan ekonomi, namun lebih disebabkan oleh kondisi geopolitik yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Pengeluaran militer juga secara konsisten mempengaruhi secara negatif pertumbuhan ekonomi di ketiga negara tersebut.

Salah satu ancaman ketidakstabilan makroekonomi berasal dari defisit anggaran negara yang dibiayai dengan mencetak uang, hutang dalam negeri dan/atau luar negeri. Defisit tercipta karena pengeluaran lebih besar ketimbang penerimaan. Defisit pada anggaran negara merupakan salah satu indikator penting dalam merefleksikan kondisi makroekonomi suatu negara. Menurut teori Keynes, defisit anggaran melalui ekspansi pembelanjaan dan kenaikan pinjaman memiliki efek pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, teorema Ricardian Equivalence (dari aliran neoklasik) menekankan efek sebaliknya karena konsumen dengan asumsi perfect foresight akan mengurangi konsumsinya sekarang karena ekspektasi akan meningkatnya pajak di masa datang sehubungan dengan peningkatan pembelanjaan dan pendapatan saat ini. Meskipun demikian, kedua teori di atas sama-sama beranggapan bahwa defisit anggaran akan mendorong pinjaman pemerintah yang lebih besar lagi. Mayoritas negara maju melakukan pinjaman domestik sementara kebanyakan negara berkembang meminjam dari sumber-sumber eksternal maupun domestik. Semakin tingginya defisit anggaran akan berakibat terakumulasinya hutang dari tahun ke tahun dan hal ini terlihat semakin signifikan di negara-negara berkembang.

Meskipun merupakan bahan diskusi dan perdebatan yang penting, kebijakan anggaran yang berkesinambungan tidak pernah bisa didefinisikan secara akurat. Kebijakan anggaran yang dikatakan berkesinambungan adalah kebijakan fiskal yang dapat terus dijalankan tanpa mengakibatkan pemerintah suatu negara mengalami masalah solvency. Blanchart et. al. (1990) menyebutkan bahwa pada dasarnya konsep kesinambungan merupakan analisa mempertanyakan (pada kondisi sekarang) apakah pemerintah suatu negara akan terjebak dalam akumulasi hutang yang sifatnya eksesif. Suatu negara harus bisa mempertahankan tingkat defisit dan hutang yang dapat ditanggungnya tanpa kenaikan yang sifatnya membahayakan aspek likuiditas maupun solvabilitas anggaran negara yang bersangkutan. Wilcox (1989) mencatat bahwa kebijakan fiskal yang berkesinambungan merupakan rangkaian kebijakan yang mampu menghasilkan tingkat hutang dan defisit di mana kondisi “present value” dapat dipertahankan. Cuttington (1997) mengemukakan bahwa jika

160

Page 209: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

perekonomian mampu menghasilkan rasio hutang/GDP yang konstan berada pada tingkat pertumbuhan PDB tertentu dan tingkat bunga yang sesuai maka defisit fiskal dianggap berkesinambungan. Dengan kata lain, kesinambungan fiskal berkaitan dengan kelancaran pembayaran hutang pemerintah. Perlu ditekankan di sini adalah untuk mencapai anggaran yang berkesinambungan bukan berarti hutang pemerintah tidak boleh meningkat.3 Kesinambungan anggaran merupakan kondisi minimum bagi penilaian kinerja anggaran pemerintah. Kondisi kesinambungan anggaran bisa saja tercapai tapi dari segi efisiensi, kinerja anggaran dianggap tidak baik misalnya saja jika sumber penerimaan pemerintah berasal dari sistem perpajakan yang kurang efisien.

Ada tiga pendekatan dalam literatur mengenai konsep kesinambungan anggaran: pendekatan Intertemporal Budget Constraint atau Present Value Constraint, pendekatan akuntansi serta indikator-indikator kesinambungan. Studi yang dilakukan Buiter dan Patel (1992) di India serta studi yang dilakukan Gerson dan Nellor (1997) di Filipina menerapkan pendekatan kendala anggaran intertemporal dalam kasus negara berkembang. Dengan pendekatan akuntansi, digunakan beberapa indikator ekonomi (yang dinyatakan sebagai persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)) untuk mendemonstrasikan konsep kesinambungan anggaran. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada target-target makroekonomi yang sebelumnya sudah ditentukan (inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi). Umumnya rasio hutang terhadap PDB digunakan dalam pendekatan ini. Jika rasio surplus primer/PDB sama dengan nol, rasio hutang terhadap PDB akan meningkat (atau menurun) sebesar selisih antara tingkat bunga (r) dan tingkat pertumbuhan ekonomi (g)—(r-g). Di lain pihak, pertumbuhan rasio hutang/PDB pada tingkat yang lebih tinggi dari (r-g) akan menyebabkan terjadinya defisit primer.Dengan begitu defisit (surplus) primer yang berkesinambungan akan menghasilkan rasio hutang/PDB yang konstan pada suatu tingkat target pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga riil yang konstan (lihat Cuttington 1997). Salah satu studi yang pernah dilakukan dengan pendekatan semacam ini dibuat oleh Bascand dan Razin (1997) dalam studi kasus Indonesia. Pendekatan ketiga yang menggunakan serangkaian indikator fiskal diajukan oleh Blanchard (1990) untuk negara-negara OECD. Tiga indikator utama yang digunakan adalah primary gap, medium term tax gap dan long-term tax gap.

3 Nigel Chalk and Richard Hemming, “Assessing Fiscal Sustainability in Theory and Practice”, IMF Working Paper/00/81, April 2000

161

Page 210: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Pada dasarnya wacana teori ekonomi yang berkembang adalah wacana aliran Keynesian dan Neo Klasik dalam melihat perlu atau tidaknya pengeluaran pemerintah dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Adalah aliran Keynesian yang beranggapan bahwa pengeluaran pemerintah sangat efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya aliran Neo Klasik beranggapan bahwa peran pemerintah justru tidak diperlukan lagi. Aliran Neo Klasik berpendapat bahwa resesi ekonomi dapat diselesaikan dengan jalannya mekanisme pasar di mana pasar tenaga kerja mampu melakukan penyesuaian sehingga menciptakan fleksibilitas dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya Keynesian beranggapan bahwa pasar tenaga kerja bersifat rigid (kaku) sehingga dengan hanya mengandalkan kepada pasar semata tidak akan efektif untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.

Kaum Klasik juga beranggapan bahwa peran pemerintah justru menyebabkan efek crowding out, dimana bidang usaha yang seharusnya dapat dijalankan oleh pihak swsata justru tersaingi oleh usaha yang diciptakan pemerintah. Dalam konteks sumber pendanaan, crowding out effect juga menyebabkan mahalnya tingkat suku bunga yang harus dibayarkan oleh pihak swasta akibat pemerintah menyedot pendanaan yang sudah langka tersebut. Alasan terakhir adalah lambannya birokrasi pemerintah sehingga menimbulkan ketidaktepatan dalam timing ketika intervensi pemerintah dilakukan memerlukan lag waktu dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian Teori Pertumbuhan Baru yang dimotori oleh ekonom beraliran Klasik seperti Romer (1986) dan Lucas (1988) memperlihatkan peran penting pemerintah dalam adanya efek sementara dan jangka panjang antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.

Peran negara dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat pada dasarnya difokuskan kepada penyenggaraan public goods seperti pertahanan nasional. Mengingat tidak akan ada satupun pihak swasta yang mampu menghasilkan barang publik ini secara berkelanjutan. Regulasi pemerintah lainnya yang masih boleh diterapkan (bahkan wajib hukumnya) berkaitan dengan kemungkinan terjadinya market power. Problem lainnya dimana pemerintah masih dituntut untuk ada adalah dalam hal terjadinya kondisi asymetric information dan munculnya eksternalitas negatif dalam perekonomian. Kondisi informasi yang tidak simetris akan menyebabkan perekonomian berjalan tidak optimal sehingga intervensi terhadap pasar diperlukan. Pemerintah juga harus melakukan regulasi di pasar yang tidak sempurna karena terjadinya eksternalitas negatif seperti pengerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan usaha dimana pengerusakan lingkungan hidup ini biayanya

162

Page 211: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

belum dimasukkan dalam harga yang terjadi di pasar. Akibatnya harga yang terjadi di pasar belum mencerminkan harga yang sesungguhnya.

Dua permasalahan yang saling berhubungan adalah: (a) Adanya persepsi yang mengatakan bahwa pengeluaran militer yang berlebihan akan menyebabkan ketidakseimbangan fiskal di banyak negara berkembang, dan (b) kebutuhan untuk menerapkan prinsip good governance dalam system fiskal termasuk sektor pertahanan untuk menciptakan pendekatan baru dalam pengelolaan pengeluaran militer di negara sedang berkembang. Bagaimanapun, permasalahan tersebut menjadi dialog kerjasama pembangunan yang dominant sehingga perubahan kebijakan menjadi tak terhindarkan lagi. Dua organisasi Bretton Woods (International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, menawarkan bantuan dalam pengelolaan fiskal dan pembangunan kepada negara yang sedang mengalami permasalahan fiskal dan neraca pembayaran.

Managing Director IMF, Michel Camdessus, dan Presiden Bank Dunia, Barber Conable, pada forum yang berbeda membuat pernyataan public untuk membatasi pengeluaran untuk militer khususnya bagi negara-negara berkembang yang pengeluaran sosialnya relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran militernya. Sebagai bagian dari proses tersebut, mereka juga mulai mendiskusikan permasalahan pengeluaran militer dengan pemerintah negara tersebut. Dalam waktu dua tahun setelah pidato Cobable pada September 1989, Bank Dunia telah melakukan dialog tentang pengeluaran militer dengan sekurang-kurangnya 30 negara. Berarti kondisi ini sesuai dengan pendapat Cobable dimana pengeluaran fiscal merupakan bagian kritis dari permasalahan fiscal di banyak negara sedang berkembang. Pada intinya Conable terus melakukan advokasi dalam rangka membuat pengeluaran militer yang sejalan dengan kebutuhan program pembangunan.

Kedua lembaga Bretton Wood tersebut mengatasi problem pengeluaran militer dengan memberikan batasan masimalnya, walaupun keduanya memberikan angka batasan yang berbeda-beda. Misalnya, Camdessus mengatakan batas maksimalnya adalah 4,5 persen dari Produk Nasional Bruto (GNP), yang merupakan angka rata-rata di tahun 1988. Bagaimanapun, penetapan batas maksimum tersebut mengabaikan beberapa faktor penting. Pertama, negara berkembang memiliki karakteristik yang beragam (beragam dalam sumber daya dan ancaman keamanan). Penetapan batas maksimum yang seragam menyebabkan terlalu tinggi dan terlalu rendahnya bagi banyak negara tertentu, yang tentunya sangat tergantung kepada ketersediaan sumber daya dan ancaman keamanan yang ada. Kedua, data yang digunakan untuk

163

Page 212: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

menentukan tingkatan pengeluaran tersebut adalah sangat langka dan kalaupun tersedia maka bukan merupakan dasar yang dapat diandalkan untuk membuat keputusan tersebut.

Ketiga, pembatasan tersebut justru berpotensi memperkeruh suasana sehingga mendorong negara-negara yang melakukan pengeluaran militer secara berlebihan untuk menerapkan pengeluaran off-budget yang justru membuat pengukuran yang reliable semakin sulit diterapkan. Keempat, permasalahan utama adalah tentang kapasitas negara dalam konsteks fiskal seiring dengan pengeluaran alokasi pertahanan cenderung dibaikan. Tanpa peningkatan kapasitas dan kemampuan monitoring yang efektif maka probabilitas untuk mengurangi pengeluaran militer akan semakin mengecil. Sebagai tambahan, langkah untuk mengurangi pengeluaran pertahanan juga tidak mempertimbangkan faktor korupsi yang terjadi. Akibatnya tujuan pembatasan pengeluaran untuk pertahanan semakin kehilangan arah.

Untuk mengatasi permasalahan ini beberapa pertemuan negara-negara donor khusus membahas permasalahan ini terjadi dalam periode 1992 dan 2000 dengan focus kajian mengaitkan pengeluaran militer dengan pembangunan di negara sedang berkembang. Namun kesimpulan penting baru tercetus setelah pertemuan Ottawa tahun 1997 yaitu:

1. Data pengeluaran militer, khususnya tentang pengeluaran pertahanan yang berlebihan sangatlah lemah dan memerlukan perbaikan.

2. Pengeluaran militer tidak serta merta merupakan pengeluaran yang tidak produktif sekalipun pengeluaran tersebut dikatakan berlebihan dan tidak tepat jika menyebabkan penurunan tingkat kehidupan masyarakat.

3. Fokus perhatian seyogyanya harus berdasarkan proses pengambilan keputusan dalam pengeluaran pertahanan dan bukan pada tingkat pengeluaran tersebut.

4. Sektor pertahanan seharusnya diperlakukan tidak berbeda dengan sektor publik lainnya dalam konteks formulasi kebijakan, anggaran, implementasi dan monitoringnya. Dengan kata lain, prinsip pengelolaan harus transparan, dan akuntabel.

Penelitian empiris yang bertujuan mengkaji keterkaitan antara pengeluaran militer dan pertumbuhan ekonomi memperlihatkan hasil yang campur aduk. Benoit (1973, 1978) dengan analisis regresi dan korelasi

164

Page 213: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Spearman memperlihatkan bahwa pengeluaran militer mempengaruhi secara positif pertumbuhan ekonomi di 44 negara berkembang selama 1950-1965. Selanjutnya ada juga penelitian yang memperlihatkan dampak negatif dari pengeluaran militer terhadap pertumbuhan ekonomi (Fiani et al. (1984), Lim (1985)), investasi dan ekspor (Deger and Sen (1983)). Ada juga penelitian yang menghasilkan kajian bahwa tidak ada hubungan antara pengeluaran militer dan pertumbuhan ekonomi (Biswas dan Ram (1986)). Dakurah et al. (2001) menggunakan studi time series dengan teknik cointegration dan error corection model untuk melihat hubungan kausal antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di 62 negara dengan hasil yang memperlihatkan tidak adanya hubungan kausal antara kedua variabel tersebut.

Estimasi Model

Model dengan proses AR(1) berikut ini digunakan untuk menguji apakah GDP riil, Indeks Inflasi Riil dan Pengeluaran Militer riil bersifat stationer:

Diasumsikan u bersifat iid (independent and identically distributed). Persamaan diatas merupakan model konvesional yang dikembangkan oleh Dickey-Fuller untuk pengujian unit root. α adalah parameter yang menjadi perhatian dalam persamaan ini. d

t akan stationer jika α < 1 (secara absolut).

Jika α sama dengan satu, maka varians dt akan menjadi infinity jika t juga

bergerak menuju infinity. Situasi menunjukkan adanya unit root. Sebagai tambahan, meskipun α <1, d

t bersifat nonstationer jika (1) atau (2) .

Hipotesa awal yang diuji adalah H0: α = 1, β = 0. Dengan prosedur seperti

di atas, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Jika hipotesa nol tidak ditolak atau diterima, d

t nonstationer. Hal ini berarti d

t tidak sustainable jika dilakukan

terus menerus. Jika hipotesa nol ditolak, tetapi (atau β > 0) maka akan terdapat trend deterministik. Dengan demikian, dt masih dapat bersifat unsustainable. Jika hipotesa nol ditolak, β = 0 dan α < 1 tetapi drift term (µ) positif maka

165

dt = Variabel Endogen pada waktu t t = trend waktu _ = drift term _ = koefisien trend _ = parameter autoregresif u = faktor kesalahan random (random error)

Page 214: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

ekspektasi dt+N

tidak akan sama dengan nol sehingga tidak stationer.

Model persamaan (6) di atas akan diuji estimasi dengan uji unit-root Augmented Dickey-Fuller (DF) dan Phillips-Perron (PP). Tujuan dilakukannya kedua uji ini adalah untuk memperkuat argumen dari hasil yang akan diperoleh, mengingat metode tersebut memiliki dasar teori yang berbeda.

Proses estimasi Uji Augmented Dickey-Fuller dan Phillips-Perron dalam kajian ini dilakukan dengan mengurangi model (1) di atas pada kedua sisinya dengan sehingga diperoleh persamaan:

(2)

dimana dan hipotesa nol serta alternatifnya adalah

H0: λ = 0 β = 0 , H

1: λ < 0 β ≠ 0 .

Walaupun sepertinya uji tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan uji t terhadap λ yang akan diestimasi, namun statistik t dengan hipotesis nol dari sebuah unit root tidak memiliki distribusi t yang konvensional. Dickey dan Fuller (1979) memperlihatkan bahwa distribusi dari hipotesa nol adalah tidak standar, dan simulasi dari critical values bagi berbagai besaran sampel yang terpilih. MacKinnon (1991) telah mengimplementasikan simulasi yang jauh lebih besar dari yang telah ditabulasikan oleh Dickey dan Fuller. Berdasarkan kondisi tersebut maka laporan kita kali ini menggunakan critical value dari MacKinnon untuk uji unit root.

Selain model dalam persamaan dua (selanjutnya sebut saja full model) di atas juga akan diuji model lain. Dalam hal ini adalah model persamaan tujuh tanpa tren serta model persamaan tujuh tanpa tren dan intersep. Tujuan dilakukannnya uji model tambahan ini adalah untuk menangkap kemungkinan akan beragamnya sifat dari time series. Sehingga output yang dihasilkan akan sangat argumentative seandainya misalnya ke semua model uji ini ternyata misalnya menghasilkan kesimpulan yang sama.

Mengingat teori ekonomi kadangkala tidak cukup kaya dalam menjelaskan spesifikasi dari hubungan dinamis antara variabel maka pendekatan struktural tidak akan mencukupi untuk menghasilkan estimasi empiris, karena itu perlu pendekatan non struktural. Dalam penelitian kali ini mengkaitkan pengeluaran untuk pertahanan secara riil dengan kedua variabel maroekonomi seperti pendapatan domestik bruto riil dan indeks harga konsumen akan lebih

166

Page 215: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

tepat jika digunakan pendekatan non structural dengan analisis model vector autoregression (VAR). Ketiga variable tersebut merupakan variabel endogen dalam model. Ketiga variable tersebut ditransformasikan dalam nilai log sebelum dimasukan dalam model VAR.

Secara matematis bentuk formulasi VAR adalah:

dimana c adalah n x 1 vector dari konstant (intersep), Ai adalah n x n matriks

(bagi setiap i = 1, ..., p) dan et adalah vektor n x 1 dari error term yang memiliki

sifat

1. — setiap error term memiliki rata-rata bernilai nol;

2. — matriks covarian dari error term adalah Ω ( n x n merupakan positif definit matrix);

3. bagi setiap non nol k — tidak terjadi korelasi sepanjang waktu; khususnya, tidak ada serial korelasi dalam in individu error term.

Data yang dipergunakan

Dalam pengujian ini, data yang dipergunakan diperoleh dari beberapa sumber: berbagai edisi Global Development Finance, International Financial Statistics, Government Finance Statistics dan berbagai terbitan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia serta data SIPRI. Periode observasi yang dipilih adalah tahun 1988 sampai tahun 2006.

Hasil Studi Empiris

Hasil uji statistik dengan ADF Test untuk ketiga variabel endogen tersebut selama periode 1988-2006 adalah stationary dengan dua unit root. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3. Uji kointegrasi dari persamaan antara semua variabel juga memperlihatkan adanya satu persamaan kointegrasi pada Tabel 4. Dengan demikian estimasi dengan pendekatan struktural dan non struktural akan mengasilkan estimasi yang valid. Untuk memperkuat uji estimasi lanjutan maka model VAR akan diterapkan karena merupakan pendekatan non struktural selain juga bermanfaat untuk melihat perubahan shock antara variabel yang dievaluasi tersebut. Dengan demikian dapat dikaji dampak jangka panjang shock sebesar satu standard deviasi terhadap variabel tersebut. Mengingat salah satu ketakutan bahwa pengeluaran pertahanan di

167

Page 216: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Indonesia akan mengancam inflasi dan/atau Pendapatan Domestik Bruto maka dengan pendekatan ini dapat diproyeksikan sejauhmana ketakutan tersebut beralasan. Secara teori, pengeluaran pertahanan yang menyebabkan defisit neraca pembayaran akan berpotensi menyebabkan inflasi, sehingga menraik mencermati shock dari pengeluaran pertahanan terhadap inflasi selama 10 tahun ke depan. Mengingat industri pertahanan di Indonesia secara relatif belum mencapai perkembangan yang optimal maka tentunya ada kekhawatiran bahwa pengeluaran pertahanan akan menyebabkan impor yang meningkat sehingga defisit neraca pembayaran membengkak yang pada gilirannya diikuti oleh depresiasi rupiah yang kemudian berimplikasi kepada inflasi di dalam negeri. Selain itu, rendahnya kapasitas industri pertahanan akan menyebabkan pengeluaran pertahanan tidak akan menyebabkan penciptaan nilai tambah domestik yang semakin besar.

168

Page 217: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabel 1 Pengeluaran Pertahanan Riil

ADF Test Statistic -4.205458 1% Critical Value* -4.7315

5% Critical Value -3.7611

10% Critical Value -3.3228

*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(LMEC,3)

Method: Least Squares

Date: 09/01/02 Time: 14:36

Sample(adjusted): 1992 2006

Included observations: 15 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(LMEC(-1),2) -1.735523 0.412684 -4.205458 0.0015

D(LMEC(-1),3) 0.494175 0.277098 1.783390 0.1021

C 0.000393 0.057565 0.006819 0.9947

@TREND(1988) 0.000154 0.004875 0.031641 0.9753

R-squared 0.670352 Mean dependent var 0.007615

Adjusted R-squared 0.580448 S.D. dependent var 0.125787

S.E. of regression 0.081476 Akaike info criterion -1.953846

Sum squared resid 0.073021 Schwarz criterion -1.765032

Log likelihood 18.65384 F-statistic 7.456314

Durbin-Watson stat 1.986064 Prob(F-statistic) 0.005354

169

Page 218: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tabel 2. Pendapatan Domestik Bruto Riil

ADF Test Statistic -3.807498 1% Critical Value* -4.7315

5% Critical Value -3.7611

10% Critical Value -3.3228

*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(LNGDP_R,3)

Method: Least Squares

Date: 09/01/02 Time: 14:42

Sample(adjusted): 1992 2006

Included observations: 15 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(LNGDP_R(-1),2) -1.721574 0.452154 -3.807498 0.0029

D(LNGDP_R(-1),3) 0.346400 0.282758 1.225077 0.2461

C -0.009334 0.020546 -0.454275 0.6585

@TREND(1988) 0.000777 0.001738 0.447058 0.6635

R-squared 0.682555 Mean dependent var 2.40E-05

Adjusted R-squared 0.595979 S.D. dependent var 0.045437

S.E. of regression 0.028881 Akaike info criterion -4.028087

Sum squared resid 0.009175 Schwarz criterion -3.839273

Log likelihood 34.21065 F-statistic 7.883895

Durbin-Watson stat 2.148226 Prob(F-statistic) 0.004382

170

Page 219: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabel 3. Indeks Harga Konsumen

ADF Test Statistic -4.562498 1% Critical Value* -4.7315

5% Critical Value -3.7611

10% Critical Value -3.3228

*MacKinnon critical values for rejection of hypothesis of a unit root.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(LPCPI,3)

Method: Least Squares

Date: 09/01/02 Time: 15:10

Sample(adjusted): 1992 2006

Included observations: 15 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(LPCPI(-1),2) -1.953978 0.428269 -4.562498 0.0008

D(LPCPI(-1),3) 0.496345 0.265187 1.871675 0.0881

C 0.012150 0.039673 0.306248 0.7651

@TREND(1988) -0.000992 0.003359 -0.295220 0.7733

R-squared 0.735571 Mean dependent var 0.000278

Adjusted R-squared 0.663454 S.D. dependent var 0.096264

S.E. of regression 0.055845 Akaike info criterion -2.709285

Sum squared resid 0.034306 Schwarz criterion -2.520472

Log likelihood 24.31964 F-statistic 10.19968

Durbin-Watson stat 2.200198 Prob(F-statistic) 0.001653

171

Page 220: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tab

el 4

. Uji

Koi

nteg

rasi

Pers

amaa

n

Dat

e: 0

9/01

/02

Tim

e: 1

5:21

Sam

ple:

198

8 20

06

Incl

uded

obs

erva

tions

: 17

Test

assu

mpt

ion:

Lin

ear d

eter

min

istic

tren

d in

the

data

Serie

s: LM

EC L

PCPI

LN

GD

P_R

Lags

inte

rval

: 1 to

1

Li

kelih

ood

5 Pe

rcen

t 1

Perc

ent

Hyp

othe

sized

Eige

nval

ue

Rat

io

Crit

ical

Va

lue

Crit

ical

Va

lue

No.

of C

E(s)

0.9

1871

2 2

.199

27

29.

68

35.

65

N

one

**

0.4

2669

4 9.

5333

41

15.

41

20.

04

At

mos

t 1

0.0

0443

9 0.

0756

33

3.7

6 6

.65

At

mos

t 2

*(*

*) d

enot

es re

ject

ion

of th

e hy

poth

esis

at 5

%(1

%)

signi

fican

ce le

vel

L.R

. tes

t ind

icat

es 1

coi

nteg

ratin

g eq

uatio

n(s)

at 5

%

signi

fican

ce le

vel

Unn

orm

alize

d C

oint

egra

ting

Coe

ffici

ents:

LMEC

LP

CPI

LN

GD

P_R

0.9

5819

1 -1

.880

977

3.9

0354

0

4.2

9632

5 .5

0476

1 -7

.285

332

172

Page 221: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

1.8

3742

0 0.

5986

12

0.5

0740

0

N

orm

alize

d C

oint

egra

ting

Coe

ffici

ents:

1 C

oint

egra

ting

Equa

tion(

s)

LMEC

LP

CPI

LN

GD

P_R

C

1.0

0000

0 -1

.963

051

4.0

7386

6 -2

3.59

266

(0

.125

3)

(1.9

3887

)

Log

like

lihoo

d 15

2.47

19

N

orm

alize

d C

oint

egra

ting

Coe

ffici

ents:

2 C

oint

egra

ting

Equa

tion(

s)

LMEC

LP

CPI

LN

GD

P_R

C

1.0

0000

0 0.

0000

00

-0.8

2217

1 2

.805

386

(0.1

9903

)

0.0

0000

0 1.

0000

00

-2.4

9409

6 1

3.44

746

(0.1

5140

)

Log

like

lihoo

d 15

7.20

08

173

Page 222: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tabel 5. Hasil Estimasi VAR

Date: 09/01/02 Time: 15:34 Sample(adjusted): 1990 2006 Included observations: 17 after adjusting endpoints Standard errors & t-statistics in parentheses

LMEC LPCPI LNGDP_R LMEC(-1) 0.998543 -0.449230 0.241224

(0.15903) (0.14360) (0.07362) (6.27904) (-3.12827) (3.27660)

LMEC(-2) -0.324184 0.409856 -0.163425 (0.15018) (0.13561) (0.06952) (-2.15871) (3.02234) (-2.35069)

LPCPI(-1) 4.131934 -1.865246 1.511964 (0.58628) (0.52942) (0.27141) (7.04767) (-3.52320) (5.57070)

LPCPI(-2) -3.802521 2.676651 -1.405435 (0.57826) (0.52217) (0.26770) (-6.57585) (5.12603) (-5.25009)

LNGDP_R(-1) 7.723399 -4.340191 3.230094 (1.09813) (0.99161) (0.50837) (7.03325) (-4.37689) (6.35388)

LNGDP_R(-2) -8.283363 4.829985 -2.556703 (1.07161) (0.96767) (0.49609) (-7.72982) (4.99135) (-5.15370) C 3.224490 -2.297433 1.534651 (0.94714) (0.85527) (0.43847) (3.40445) (-2.68620) (3.50003)

R-squared 0.956843 0.996228 0.989045 Adj. R-squared 0.930948 0.993964 0.982473 Sum sq. resids 0.005464 0.004456 0.001171 S.E. equation 0.023376 0.021108 0.010822 Log likelihood 44.24141 45.97586 57.33412 Akaike AIC 45.06494 46.79939 58.15765 Schwarz SC 45.40803 47.14248 58.50074 Mean dependent 2.233042 1.849992 6.133166 S.D. dependent 0.088956 0.271697 0.081739 Determinant Residual Covariance 1.86E-12 Log Likelihood 157.2386 Akaike Information Criteria 159.7092 Schwarz Criteria 160.7385

174

Page 223: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Dengan melihat Grafik Response to One Standard Deviation Innovation di bawah, terbukti bahwa ketakutan pengeluaran pertahanan (LMC) akan menyebabkan inflasi LPCPI) yang tinggi dan Produk Domestik Bruto (LNGDP_R) yang rendah sangatlah tidak beralasan. Penambahan shock kepada pengeluaran pertahanan berdampak negatif pada tahun pertama, namun kemudian berubah menjadi positif selama tahun kedua hingga kesepuluh. Secara netto selama 10 tahun ke depan, pengeluaran militer justru berdampak positif bagi peningkatan Produk Domestik Bruto Indonesia. Sedangkan dampaknya terhadap inflasi juga relatif sangat baik dimana inflasi hanya meningkat di tahun pertama, kesembilan dan kesepuluh. Artinya selama 7 tahun justru pengeluaran militer bersifat anti inflasi (deflasi). Secara netto selama 10 tahun justru terjadi penurunan tingkat harga konsumen akibat pengeluaran militer tersebut. Dengan demikian pengeluaran pertahanan riil akan memberikan dampak yang sangat positif untuk perekonomian Indonesia.

175

Page 224: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

176

Page 225: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

177

Page 226: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

178

Page 227: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

179

Page 228: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tahun pertama dari forecast error variance dari pengeluaran militer diterangkan 100 persen oleh variabel tersebut, namun tahun kedua hingga kesepuluh sekitar 60 persennya diterangkan oleh PDB. Tahun ketiga hingga tahun kesepuluh sekitar 25 persennya berasal dari inflasi, sisanya pengeluaran militer itu sendiri. Dengan demikian PDB merupakan variabel penting dalam menerangkan perkembangan pengeluaran militer di Indonesia setelah tahun pertama, kemudian diikuti oleh inflasi dan pengeluaran militer itu sendiri.

Jika terjadi shock terhadap inflasi, maka pengeluaran pertahanan juga akan meningkat hingga tahun ketujuh. Sedangkan shock terhadap PDB memberikan dampak positif bagi pengeluaran pertahanan selama empat tahun pertama, setelah itu pengaruhnya negatif. Shock terhadap pengeluaran pertahanan ternyata memberikan dampak yang positif selama tujuh tahun pertama bagi anggaran pertahan itu sendiri.

Penutup

Ketakutan bahwa peningkatan pengeluaran pertahanan akan merusak variable makroekonomi Indonesia sangatlah tidak beralasan. Pengeluaran pertahanan riil secara analisis kuantitatif dengan data tren jangka panjang (dari 1988 sampai 2006) terbukti berdampak positif bagi variabel makroekonomi Indonesia. Sebagai konsekuensinya pengeluaran pertahanan riil seharusnya terus ditingkatkan lagi di masa mendatang. Peningkatan pengeluaran pertahanan riil Indonesia, secara netto, akan meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia dan mengurangi tingkat inflasi di Indonesia selama 10 tahun ke depan. Artinya kesejahteraan Rakyat Indonesia juga akan meningkat dengan meningkatnya anggaran pertahanan riil! Pemerintah seharusnya juga tidak perlu ragu dalam meningkatkan kesejahteraan personel pertahanan. Dalam perekonomian Indonesia terbukti tidak terjadi sifat trade off antara peningkatan anggaran pertahanan dengan pembangunan ekonomi sebagaimana yang ditakutkan oleh IMF dan Bank Dunia. Mengurangi anggaran pertahanan Indonesia untuk dialokasikan kepada program Menko Kesra merupakan kebijakan makroekonomi yang keliru jika tujuannya untuk mendorong pertumbuhan perekonomian dan stabilisasi inflasi. Agar pengeluaran pertahanan dapat semakin berdampak positif bagi perekonomian Indonesia, maka seyogyanya Indonesia juga membangun industri pertahanan yang sebisa mungkin memiliki keterkaitan (backward dan forward linkage) dengan sektor perekonomian domestik lainnya dalam hubungan keterkaitan yang bersifat jangka panjang.

180

Page 229: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Daftar Pustaka

Abu-Bader S. and Aamer Abu-Qarn. Government Expenditures, Military Spending and Economic Growth: Causality Evidence from Egypt, Israel and Syria, Journal of Policy Modeling, 25(6-7), September 2003, 567-583.

Bascand, Geoffrey and Assaf Razin. “Indonesia’s Fiscal Position: Sustainability Issues”, dalam Hicklin, John, et.al. (eds.), Macroeconomic Issues Facing ASEAN Countries, IMF, Washington DC., 1997

Chalk, Nigel and Richard Hemming. “Assesing Fiscal Sustainability in Theory and Practice”, IMF Working Paper/00/81, April 2000

Fiscal Sustainability Working Group Position Paper for the meeting of Consultative Group on Indonesia, Session II: Ensuring Economic Stability and Recovery, 7-8 November 2001

Cuddington, John T. “Analysing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries”, Economic Department Georgetown University, July 30, 1996

Gerson, Philip and David Nellor. “Philippine Fiscal Policy: Sustainability, Growth and Savings”, dalam Hicklin, John, et.al. (eds.), Macroeconomic Issues Facing ASEAN Countries, IMF, Washington DC., 1997

Global Development Finance, berbagai edisi

International Financial Statistics, IMF, berbagai edisi

Statistik Keuangan dan Ekonomi Indonesia, Bank Indonesia, berbagai edisi

World Bank Report no. 20436-IND, “Managing Government Debt and Its Risks”.

181

Page 230: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Lam

pira

n Ta

bel

Des

krip

tif S

tatis

tik L

og P

enge

luar

an M

ilite

r Riil

182

Page 231: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabe

l Des

krip

tif S

tatis

tik L

og P

DB

Riil

183

Page 232: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tabe

l Des

krip

tif S

tatis

tik L

og In

deks

Har

ga K

onsu

men

184

Page 233: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabel Respon Terhadap Shock 1 SD

Response of LMEC: Period LMEC LPCPI LNGDP_R

1 0.017928 0.000000 0.000000 (0.00307) (0.00000) (0.00000) 2 0.013254 0.016703 0.037146 (0.01052) (0.00999) (0.00755) 3 0.011291 0.027319 0.030986 (0.01220) (0.01177) (0.01174) 4 0.012299 0.018995 -0.003058 (0.00810) (0.00828) (0.01405) 5 0.012383 0.008810 -0.020955 (0.00866) (0.00937) (0.01383) 6 0.007732 0.004219 -0.017842 (0.00789) (0.00948) (0.01421) 7 0.002146 0.002088 -0.013064 (0.00644) (0.00872) (0.01328) 8 -0.001595 -0.001742 -0.013649 (0.00622) (0.00775) (0.01073) 9 -0.003493 -0.005543 -0.012922 (0.00621) (0.00704) (0.01090)

10 -0.004647 -0.006814 -0.007193 (0.00577) (0.00661) (0.01074)

Response of LPCPI: Period LMEC LPCPI LNGDP_R

1 0.003519 0.015802 0.000000 (0.00388) (0.00271) (0.00000) 2 -0.003834 -0.002169 -0.020874 (0.00573) (0.00586) (0.00512) 3 -0.001066 -0.007045 -0.021947 (0.00678) (0.00703) (0.00684) 4 -0.004903 -0.007578 -0.004928 (0.00394) (0.00434) (0.00777) 5 -0.005632 -0.002790 0.007067 (0.00377) (0.00434) (0.00733) 6 -0.004717 -0.001195 0.008814

185

Page 234: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

(0.00366) (0.00451) (0.00700) 7 -0.001917 0.000215 0.008728 (0.00321) (0.00439) (0.00688) 8 0.000253 0.002547 0.010964 (0.00355) (0.00425) (0.00571) 9 0.001934 0.005484 0.012355 (0.00418) (0.00437) (0.00603)

10 0.003282 0.007267 0.010562 (0.00441) (0.00465) (0.00678)

Response of LNGDP_R:

Period LMEC LPCPI LNGDP_R

1 -0.002485 -0.006291 0.004809 (0.00197) (0.00159) (0.00082) 2 0.001620 0.003571 0.015535 (0.00409) (0.00410) (0.00326) 3 0.001109 0.006159 0.015283 (0.00472) (0.00483) (0.00483) 4 0.003775 0.007023 0.007205 (0.00349) (0.00361) (0.00556) 5 0.004564 0.005498 0.001791 (0.00306) (0.00328) (0.00527) 6 0.004444 0.005257 0.000420 (0.00290) (0.00330) (0.00489) 7 0.003310 0.004617 -0.000706 (0.00278) (0.00343) (0.00462) 8 0.002314 0.003290 -0.002783 (0.00265) (0.00317) (0.00406) 9 0.001355 0.001610 -0.004030 (0.00256) (0.00284) (0.00394)

10 0.000446 0.000448 -0.003517 (0.00231) (0.00260) (0.00393)

Ordering: LMEC LPCPI LNGDP_R

186

Page 235: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabel Variance Decomposition

Variance Decomposition of LMEC:

Period S.E. LMEC LPCPI LNGDP_R 1 0.017928 100.0000 0.000000 0.000000 2 0.046431 23.05727 12.94138 64.00135 3 0.063165 15.65412 25.69827 58.64760 4 0.067166 17.19769 30.72632 52.07600 5 0.071981 17.93296 28.25061 53.81643 6 0.074681 17.73177 26.56426 55.70397 7 0.075874 17.25847 25.81105 56.93048 8 0.077128 16.74458 25.02950 58.22592 9 0.078477 16.37202 24.67541 58.95257 10 0.079237 16.40370 24.94418 58.65212

Variance Decomposition of

LPCPI:

Period S.E. LMEC LPCPI LNGDP_R 1 0.016189 .725556 95.27444 0.000000 2 0.026781 3.776822 35.47198 60.75119 3 0.035351 2.258655 24.33019 73.41116 4 0.036816 3.856319 26.66842 69.47526 5 0.038012 5.813206 25.55623 68.63056 6 0.039322 6.871178 23.97311 69.15571 7 0.040326 6.759604 22.79806 70.44234 8 0.041868 6.274470 21.51954 72.20599 9 0.044038 5.864045 21.00120 73.13475 10 0.045984 5.887870 21.75941 72.35272

187

Page 236: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Variance Decomposition of

LNGDP_R:

Period S.E. LMEC LPCPI LNGDP_R 1 0.008300 8.961920 57.45887 33.57921 2 0.018044 2.702209 16.07232 81.22547 3 0.024461 1.676134 15.08642 83.23745 4 0.026717 3.401450 19.55499 77.04356 5 0.027714 5.873374 22.10935 72.01728 6 0.028560 7.951969 24.20877 67.83927 7 0.029128 8.936008 25.78588 65.27812 8 0.029535 9.304961 26.31944 64.37560 9 0.029883 9.295325 26.00059 64.70409 10 0.030096 9.186254 25.65613 65.15762

Ordering: LMEC LPCPI LNGDP_R

188

Page 237: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

PENGATURAN SISTEM PENGANGGARAN TNI1

Jaleswari Pramodhawardani2

Ketika kita bicara tentang anggaran pertahanan sesungguhnya kita hanya terpaku pada besaran pagu anggaran yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat dalam pos APBN. Di sana kita akan mendapatkan rincian kebutuhan yang diajukan oleh TNI dalam tahun berjalan. dimana angka-angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan TNI di lapangan. Dalam anggaran pertahanan tahun 2006 misalnya Departemen Pertahanan (Dephan) mengajukan sekitar Rp 56 triliun, untuk pemeliharaan, operasional dan kesejahteraan prajurit, untuk ketiga Angkatan, Darat, Laut dan Udara. Namun saat itu Dephan hanya mendapat anggaran Rp 28, 2 triliun, dan ini berarti kurang dari separuh dari kebutuhan minimum yang mereka anggarkan.

Minimnya anggaran pertahanan merupakan persoalan klasik yang sering muncul ketika kita berbicara tentang keinginan meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran pertahanan Indonesia terus menerus turun sejak tahun 1960-an. Jika kita melihat pada dekade 1960-an, 29% GDP Indonesia dialokasikan untuk anggaran pertahanan namun saat ini kita tidak pernah bergerak dari angka 0.7-0.9% GDP yang dialokasikan untuk anggaran pertahanan. Sebagai gambaran

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Peneliti PMB-LIPI, Anggota Dewan Penasehat The Indonesian Institute

189

Page 238: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

perbandingan, anggaran pertahanan negara Jepang ditetapkan maksimum sebesar 1 % daru PDB sesuai dengan Pasal 9 konstitusi Jepang. Sedangkan negara Amerika Serikat (AS) telah menetapkan jumlah anggaran belanja untuk pertahanan dan keamanan maksimum sebesar 5 % dari PDB. Kebijakan ini sudah merupakan kesepakatan internasional bersama dari beberapa negara maju yang tergabung dalam kelompok G-8 yang diambil pada tahun 1987. Minimnya anggaran pertahanan Indonesia saat ini menyebabkan pemerintah tidak dapat memenuhi bahkan kebutuhan pertahanan minimal yang diajukan oleh Departemen Pertahanan dapat memenuhi 25-30% kebutuhan pertahanan Indonesia.

Ada beberapa alasan yang sering diungkapkan untuk menjelaskan mengapa TNI terjebak di kondisi ini, mulai dari pertimbangan gun versus butter dalam sistem ekonomi makro, kelemahan sistem penerimaan negara (terutama pajak), rendahnya komitmen rezim politik untuk pertahanan negara, ketiadaaan rencana strategis bidang pertahanan, lemahnya sistem pengelolaan keuangan di sektor pertahanan, hingga korupsi dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan.3

Dalam Buku Putih Dephan dicantumkan bahwa ancaman pertahanan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terdiri dari dua kelompok ancaman, yaitu ancaman tradisional dan non tradisional, menjadi salah satu faktor dalam menentukan strategi pertahanan.

Oleh karena itu strategi pertahanan ideal yang dibangun oleh Dephan, adalah pertama, dari sisi kemampuan postur pertahanan, harus memiliki kemampuan penangkal atau deterrent. Yang kedua, memiliki kemampuan penyangkalan atau denial, mempunyai kemampuan penghancuran, pemulihan, dan secara efektif harus mampu melaksanakan operasi militer selain perang. Hal itu tentu harus didukung oleh kekuatan, baik dari sisi personel maupun Alutsista yang memadai, dan gelar kekuatan yang tepat, dan tentu saja kemampuan dukungan anggaran yang memadai.

Namun pada kenyataannya postur pertahanan Indonesia belum memiliki kemampuan/ kekuatan gelar seperti tadi. hal itu disebabkan pertama, ada kesenjangan antara ancaman yang sudah dipersepsikan dengan realita postur yang dimiliki saat ini. Kedua, ada kesenjangan antara yang harus dimiliki oleh negara dengan tingkat kekuatan yang ada.

Untuk memiliki postur pertahanan yang siap menghadapi ancaman

190

3 Andi Widjajanto, Evaluasi Anggaran Pertahanan Indonesia, Sinar Harapan. 2005.

Page 239: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

sekaligus memiliki kemampuan deterrent atau penangkalan, Dephan berupaya melihatnya dari dua sisi pendekatan, yaitu sisi menghadapi ancaman pertahanan dan membangun kemampuan penangkalan. Sehingga proyeksi pertahanan lima tahun ke depan, pertama, kita tidak memperbesar kekuatan, hanya mengisi kesenjangan antara kemampuan postur dan ancaman, serta kesenjangan antara kemampuan yang harus dimiliki dengan struktur yang kita miliki.

Kedua, kekuatan yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan, bukanlah suatu kekuatan yang ideal, tetapi kekuatan pada tingkat minimum required essential forces. Sehingga tidak mengherankan keinginan untuk menuju kemampuan tersebut, pembangunan pertahanan kemudian diarahkan untuk mencapai anggaran sekitar 2 sampai 3 % dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan ini sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009. Keinginan untuk mencapai GDP lebih dari 1% inilah kadangkala membuat anggaran pertahanan hanya sekedar merespon keinginan untuk “menambah”dibandingkan dengan kalkulasi yang cermat tentang kebutuhan untuk meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia. Padahal persoalan tentang anggaran pertahanan tidak melulu dari sudut besaran saja, namun juga dari alokasi dan sistem penganggarannya. Pertanyaan-pertanyaan tentang apakah sistem penganggaran pertahanan yang ada selama ini telah mampu merespons kebutuhan penganggaran TNI saat ini, masih sering diperdebatkan dalam berbagai forum. Bahkan menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bila dilihat dari luas wilayah Indonesia, jumlah penduduk, persebaran pulau dan sumber daya alam, anggaran pertahanan yang diserap oleh TNI sekarang baru 43% dari kebutuhan minimum. Sehingga Dephan harus berjalan dengan anggaran yang sangat terbatas. Untuk itulah Menhan (2006) mengatakan bahwa kebocoran dan pemborosan harus sedapat mungkin dikurangi

Pernyataan Menhan ini menarik untuk dikaji di tengah riuhnya banyak pihak yang berkeinginan untuk menaikkan anggaran pertahanan sementara disisi lain kita dihadapkan oleh persoalan peliknya situasi social, ekonomi dan politik negara yang sedang terpuruk ini.

Pada tahun 2005, menurut taksiran Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertahanan Soefjan Tsauri, idealnya Indonesia memiliki anggaran Rp 70 triliun/tahun untuk membangun kekuatan pertahanan yang handal. Anggaran itu mungkin bisa tercapai pada tahun 2020.

191

Page 240: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Dari segi ekonomi, hampir tidak mungkin mengharapkan kemampuan nasional dapat mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membangun kemampuan pertahanan Indonesia. Rancangan untuk memenuhi tuntutan anggaran pertahanan sebesar 3.8 persen dalam 5 tahun ke depan, seperti tertuang dalam Buku Putih Pertahanan yang diterbitkan Dephan mungkin bahkan tidak cukup untuk memenuhi desakan perubahan itu.

Oleh sebab itu, bagi Indonesia, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi jauh lebih penting dibanding pertimbangan kemampuan ekonomi negara. Banyak contoh dapat disebut. Perubahan politik global, desakan untuk mengikuti revolusi dalam bidang teknologi persenjataan, dan upaya untuk mengurangi hilangnya sumberdaya cukup memberi argumen untuk membangun komitmen politik untuk meningkatkan anggaran pertahanan negara. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan persoalan yang lebih mendesak dalam kaitannya dengan upaya untuk membangun sistem pertahanan negara dan profesionalisme militer bukanlah besarnya anggaran tetapi alokasi anggaran dan sistem penganggarannya.

Karenanya pada tahun 2002 kajian tentang sistem penganggaran TNI telah dilakukan untuk menggambarkan apakah sistem penganggaran yang ada selama ini mampu merespons terbatasnya anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah tersebut melalui penggunaannya yang efektif, efisien dan transparan atau tidak? Kajian ini pertama kali dilakukan oleh TIM LOGOS (Local Government Studies) pada tahun 2002 yang melibatkan para akademisi (UI, UGM, LIPI), BPK, Departemen Keuangan, NGO, Dephan dan Mabes TNI.

Sistem Penganggaran Saat Ini

Kajian ini dilkukan dengan menganalisis Struktur Program dan Anggaran Pertahanan Negara (SPA HANNEG) pada tahun 2002 (berdasarkan SKEP Menhan Nomor 1698/M/2002) merupakan SPA Hanneg yang ke 7 (tujuh) sejak Pemilu 1971 dengan Nama Petunjuk Pembinaan Keuangan Hankam (Jukbinku Hankam) pertama kali.

Alasan perubahan tersebut diantaranya didasarkan pada pemikiran reorganisasi departemen, anggaran yang terbatas sehingga dana yang ada harus dioptimalkan seefektif dan seefisien mungkin, tugas Dephan/TNI dalam penyelenggaraan fungsi Pertahanan Negara memiliki kekhususan tersendiri yaitu kerahasiaan, mobilitas tinggi, kesatuan komando dan rantai komando sehingga diperlukan Badan Keuangan (Baku) tersendiri. Dalam pelaksanaannya menganut prinsip-prinsip:

192

Page 241: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

a. Pembinaan Tunggal Keuangan (Single Financial Management) untuk menjamin ketertiban, keseragaman, efisiensi dan efektifitas serta kesinambungan dilingkungan Dephan/Mabes TNI.

b. Saluran tunggal berjenjang melalui badan-badan keuangan Dephan dan Mabes TNI

c. Pemisahan wewenang/kekuasaan dan tanggung jawab antara Otorisator, Ordonatur dan Bendaharawan dalam Pengurusan Keuangan Negara.

Namun dalam prosesnya ternyata SPA Hanneg 2002 (yang menjadi acuan tahun-tahun berikutnya dengan beberapa perubahan yang tidak berarti) misalnya masih memiliki kelemahan, kendatipun Menhan tidak memiliki otoritas yang besar dalam mekanisme aliran uang karena telah dilimpahkan pada Kapusku Dephan namun rantai komando dengan jenjang birokrasi yang masih panjang masih merupakan kendala bagi mekanisme penganggaran. Diantaranya adalah perencanaan anggaran yang disusun belum berdasarkan potensi dan kemampuan satuan yang menggambarkan anggaran pertahanan negara.

Praktek anggaran (budgetary process) yang ada saat ini, menunjukkan adanya dualisme kewenangan antara Departemen Pertahanan (Menteri Pertahanan) dan Markas Besar TNI (Panglima). Padahal, menurut ketentuan perundangan yang berlaku, misalnya UU No. 3/2002, seharusnya Panglima [hanya] berwenang untuk menggunakan kekuatan militer (pasal 18 ayat 2). Sebaliknya, Menteri Pertahanan merupakan representasi pemegang otoritas politik. Menteri Pertahanan mempunyai kewenangan untuk “menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI…” (pasal 16 ayat 6).

Selain itu, beberapa kelemahan yang menghambat pelaksanaan tugas TNI diantaranya: Sistem otorisasi dan anggaran yang mengacu kepada sistem Komando, merupakan sistem pengelolaan keuangan yang panjang (terdapat lima tingkat) dari tingkat satker (melalui pekas) sampai dengan tingkat Departemen (Dirjen Rensishan). Sistem otorisasi dan anggaran tersebut tidak menunjang penyediaan dana bagi program dan kegiatan dan dari sudut efisiensi waktu maupun ringkasnya arus birokrasi. Akibatnya menjadi kendala tersendiri dalam penyediaan dana untuk pelaksanaan program kerja di lingkungan TNI. Hal ini justru bertentangan dengan tujuan dibentuknya Badan-Badan Keuangan tersendiri di lingkungan TNI yang tujuannya dapat memberikan pelayanan keuangan yang cepat, tepat dan dapat menjamin kerahasiaan pelaksanaan tugas tersebut.

193

Page 242: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Masalah Dalam Penerbitan Otorisasi dan Pendanaan

Penerbitan otorisasi dari SKOM-SKOIN-SKOP-P3 dan pemindahbukuan berjenjang dari NPBM-NPBIN-NPBP-NPB membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga kegiatan program dilaksanakan mendahului otorisasi, dan kegiatan program dilaksanakan dengan cara hutang dari pihak ketiga dan atau dana komando.

Pencairan dana/pembayaran menumpuk bulan Desember, sehingga Pekas dalam melakukan pengujian terhadap bukti-bukti pertanggungjawaban keuangan (wabku) tidak optimal. Pergeseran dan ketidakdisiplinan anggaran ditingkat pelaksana karena otorisasi anggaran yang tidak detail dan terlalu panjang alurnya.

Akibatnya:

Pertanggungjawaban keuangan dibuat secara administrasi mengejar (adminjar) dan atau proforma (pencairan dana) dan setelah dana cair selanjutnya digunakan untuk membayar utang tersebut. Harga dalam kontrak pengadaan barang/jasa disesuaikan dengan pagu dalam otorisasi sehingga berpotensi terjadinya mark up harga Pencapaian tujuan program belum tercapai secara optimal dan tepat guna.

Masalah Dalam Penghitungan Anggaran

Adanya ketidaksesuaian kata anggaran antara unit organisasi dengan data anggaran tingkat departemen Pertahanan. Hal ini terjadi karena tidak semua SKO Departemen Keuangan di SKOM kan, tidak semua SKOM di SKOIN kan, dst. Padahal SKO Departemen Keuangan sudah merupakan pengeluaran yang defenitif.

Akibatnya :

Perhitungan anggaran yang dibuat oleh Dephan tidak dapat digunakan sebagai bahan Perhitungan Anggaran Negara (PAN) oleh Departemen Keuangan

Salah Dalam Independensi Pekas (Bendaharawan)

Pada umum Pekas dilingkungan Dephan dan TNI menganut system Komando, sehingga Pekas tidak dapat melaksanakan fungsi ordonansi dan menolak tagihan pembayaran yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

194

Page 243: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Contoh, antara lain :

Dalam wabku Berita Acara Serah Terima Barang/Jasa dibuat dan ditandatangani oleh penyedia dan Panitia Penerimaan Barang/Jasa, padahal hasil pemeriksanaan menunjukkan bahwa barang/jasa tersebut belum seluruhnya diserahkan/dikerjakan.

Penyerahan barang terlambat dari batas waktu yang ditetapkan, namun Pekas melakukan pembayaran.

Merujuk UU Keuangan RI ps 3/2003 dan pasal 56 Keppres 42/2002, yang menekankan bahwa seluruh anggaran baik rutin maupun pembangunan diwajibkan melakukan pembayaran melalui KPKN, yang artinya Dephan maupun Mabes TNI juga diwajibkan untuk mengikuti ketentuan tersebut. Implikasi dari Keppres tersebut memungkinkan untuk pemotongan jalur otorisator dan ordonatur yang panjang melalui Badan Keuangan (Baku) di Dephan dan Mabes TNI. Namun di sisi lain akan mempunyai dampak yaitu:

1) Penghapusan Institusi Badan-Badan Keuangan Keuangan (Baku) I, Baku II, dan Baku III,

2) Perampingan/PHK pegawai negeri baik organik maupun non organik pada Badan-Badan Keuangan (Baku I) s.d Baku III.

3) Perampingan/Penghapusan Corps CKU dan menggantikan Corps Administrasi Umum

4) Penghapusan penggunaan perangkat lunak yang berkaitan dengan pendanaan/sistem keuangan yang berlaku di Dephan/TNI dan menggantikannya dengan perangkat lunak sistem keuangan yang berlaku pada sipil. Dalam hal ini perlu disosialisasikan di jajaran Dephan dan TNI.

5) Kultur, Budaya dan Sistem Komando dalam Program dan Anggaran pada Dephan/TNI harus dihilangkan.

Dalam diskusi ini, dicoba perhitungan secara kasar seandainya mengadopsi versi sipil. Diperkirakan sekitar 300-an personil (AD, AL, AU) akan terkena perampingan (lihat dalam contoh perampingan di TNI - AU) Seandainya terjadi pensiun dini berapa kompensasi negara terhadap mereka yang harus dibayarkan? Selain itu dengan penghapusan salah satu korps AD, yaitu keuangan, membawa implikasi terhadap perubahan terhadap kurikulum di Akabri.

195

Page 244: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Berikut ini ilustrasi akibat diberlakukannya perampingan di tubuh TNI-AU seandainya mengadopsi versi sipil. Ada 20 orang perwira menengah dan 1 orang Perwira tinggi yang terkena dampaknya.

STRUKTUR KEPANGKATAN JABATAN TERAS DISKUAU

Kadiskuau Marsekal Pertama TNISesdis KolonelKabagprogar Letnan KolonelKabagum Letnan KolonelKabagbinsisku Letnan KolonelKasubdisgarbia KolonelKasubdisbukku KolonelKasubdisdalku KolonelKakupusau KolonelKasimingar Letnan KolonelKasibia Letnan KolonelKasiblanpers Letnan KolonelKasibukku Letnan KolonelKasievlapku Letnan KolonelKasihitgar Letnan KolonelKasicoklit Letnan KolonelKasipandokku Letnan KolonelKasiwastangtutgi Letnan KolonelKasigarbia Letnan KolonelKasibukku Letnan KolonelKasidalku Letnan Kolonel

Dari kalkulasi dan pertimbangan di atas, Tim mengajukan alternatif kedua, yaitu, Melakukan perubahan dengan memperhatikan manajemen transisi dengan tanpa menghilangkan Badan Keuangan yang ada (Baku I s.d IV). Tawaran yang kedua ini lebih sebagai tawaran kompromistis terhadap perubahan yang ditawarkan. Selain memperkecil cost karena tetap memberlakukan Baku yang ada dan menghindari perampingan pegawai, tawaran kedua ini sebagai solusi yang paling dimungkinkan sebagai manajemen transisi dengan tetap

196

Page 245: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

menerapkan prinsip-prinsip anggaran dan perangkat hukum yang mengaturnya (UU Keuangan Negara pasal 3 dan Keppres No. 42 pasal 56. Badan Keuangan tetap ada, namun fungsinya berubah, yaitu tidak lagi menerima, menyimpan dan menyalurkan dana, namun sebagai kelengkapan administrasi.

Alternatif Transisi Tanpa menghilangkan Badan Keuangan (Baku)

Dasar :

UU Keuangan Negara Pasal 3

Kepres 42/2002 pasal 56

Pelaksanaan :

Pasal 56 Ayat (1) dan (2) yang menyatakan :

Penyaluran pengeluaran rutin dan pembangunan di lingkungan Departemen Pertahanan dan Kepolisian RI melalui rekening Kas Negara pada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Tata Cara Penerimaan dan Pengeluaran baik Rutin maupun Pembangunan Depertemen Pertahanan dan Kepolisian RI diatur bersama oleh Menteri Keuangan dengan Menteri Pertahanan atau Kepala Kepolisian RI.

197

Page 246: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k198

������

��

������

������ �����

�������

�����������

�������

�������

������

������

����

��������

����

������������

��

������

������ �����

�������

�����������

�������

�������

������

������

����

��������

����

�������������

�������

����������

������

������������� ������������

����� ������������

���������������

��������

���������

�������

��������

����������

����������������������������� ���������������������������������

Page 247: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Prinsip-Prinsip/Dasar alternatif transisi Mekanisme Penganggaran Dephan/Mabes TNI

Prinsip pemisahan fungsi otorisasi, ordonansi dan komtabel (bendaharawan) yang tidak boleh dirangkap pada satu orang. Wewenang otorisasi adalah wewenang untuk memutuskan pembebanan pada anggaran negara (penerbitan SKO). Wewenang ordonansi adalah kewenangan untuk menguji tagihan dan memerintahkan pengeluaran uang (penerbitan SPMU).

Wewenang bendaharawan adalah menerima, membayar, dan menyimpan uang. Memenuhi Keppres No. 42 Tahun 2002 dan UU Keuangan Negara. Memperpendek jalur penyaluran keuangan yang menghambat kelancaran pendanaan, tanpa menghilangkan keberadaan Badan Badan Keuangan pada setiap tingkatan dengan menghilangkan fungsi sebagai penerima, penyimpan dan penyalur dana.

199

Page 248: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Men

dudu

kkan

per

anan

Ben

daha

raw

an se

suai

den

gan

UU

Keu

anga

n .

Ura

ian

Kon

sep

Lam

aK

onse

p B

aru

Ket

eran

gan

Peny

alur

an D

ana

Berje

jang

mel

alui

Bad

an K

euan

gan

(BAK

U) I

s/d

IVD

ilim

pahk

an m

elal

ui D

epke

u dh

i K

PKN

ke

pada

Pe

kas

(Ben

daha

raw

an)

Fung

si BA

KU

se

baga

i pe

nerim

a,

peny

impa

n da

n pe

nyal

ur a

ngga

ran

men

jadi

hila

ng.

Pene

rbita

n O

toris

asi

DIK

dan

DIP

bel

um d

ijadi

kan

dasa

r se

baga

i SK

O,

mas

ih

dija

bark

an d

alam

oto

risas

i se

cara

be

rjenj

ang

(SK

OM

, SK

OP

dan

P3)

DIK

dan

DIP

ber

laku

seba

gai

SKO

Jenj

ang

otor

isasi

mas

ih

dim

ungk

inka

n da

lam

rang

ka fu

ngsi

peng

enda

lian

pela

ksan

aan

kegi

atan

.

Baku

I (P

usku

D

epha

n)

Men

erim

a da

n m

enyi

mpa

n da

na

dari

Men

keu

An.

Men

han

sert

a m

enya

lurk

an

dana

ke

Ba

ku

II

(Pus

ku T

NI,

Ditk

u/D

isku)

Tida

k men

erim

a, m

enyi

mpa

n da

n m

enya

lurk

an d

ana

Fung

si se

baga

i m

embu

at

Perh

itung

an

Angg

aran

, N

erac

a,

Real

isasi

Angg

aran

da

n La

pora

n K

onso

lidas

i Ti

ngka

t D

epha

n se

rta

fung

si se

baga

i was

lakg

ar

Baku

IIM

ener

ima

dan

men

yim

pan

dana

da

ri Ba

ku I

ser

ta m

enya

lurk

an

dana

ke

Baku

III

Tida

k men

erim

a, m

enyi

mpa

n da

n m

enya

lurk

an d

ana

Fung

si se

baga

i mem

buat

Sum

bang

an

Perh

itung

an

Angg

aran

, N

erac

a,

Real

isasi

Angg

aran

da

n La

pora

n K

onso

lidas

i Tin

gkat

Uni

t Org

anisa

si se

rta

fung

si se

baga

i was

lakg

ar

Baku

III

Men

erim

a da

n m

enyi

mpa

n da

na

dari

Baku

II

sert

a m

enya

lurk

an

dana

ke

Baku

IV (P

ekas

)Ti

dak m

ener

ima,

men

yim

pan

dan

men

yalu

rkan

dan

aFu

ngsi

seba

gai

mem

buat

Lap

oran

K

euan

gan,

dan

Lap

oran

Kon

solid

asi

Ting

kat K

otam

a se

baga

i was

lakg

ar

200

Page 249: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Ura

ian

Kon

sep

Lam

aK

onse

p B

aru

Ket

eran

gan

Baku

IV (P

ekas

)Be

ndah

araw

anM

ener

ima

dan

men

yim

pan

dana

da

ri Ba

ku I

II s

erta

mem

baya

rkan

ke

pada

Sat

ker/

Piha

k K

etig

a

Men

erim

a, m

enyi

mpa

n da

ri K

PKN

da

n m

emba

yark

an

kepa

da S

atke

r/Pi

hak

Ket

iga.

Fung

si se

baga

i H

ULP

O

RD

ON

ATO

R

(Ord

onat

ur

Pem

bant

u)

dan

CO

MTA

BEL

dila

ksan

akan

seca

ra In

depe

nden

t

Tagi

han

beru

pa

wab

ku

tidak

di

dasa

rkan

ke

pada

ke

bena

ran

peng

guna

an k

euan

gan

Neg

ara t

api

dida

sark

an k

epad

a Pa

gu A

ngga

ran

Wab

ku/P

JK

mer

upak

an

bukt

i ta

giha

n pe

nggu

naan

ke

uang

an

yang

di

dasa

rkan

ke

pada

Su

rat

Perm

inta

an

Pem

baya

ran

(SPP

) ke

pada

K

PKN

se

baga

i da

sar

pene

rbita

n Su

rat

Perin

tah

Mem

baya

r (S

PM)

yang

di

terb

itkan

ole

h K

PKN

.

SPM

-GU

un

tuk

pem

baya

ran

bela

nja

rutin

dan

SPM

-LS

untu

k pe

mba

yara

n ta

giha

n ke

pada

Pih

ak

Ket

iga

201

Page 250: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Namun konsep tersebut di atas sulit untuk diimplementasikan karena pihak TNI menganggap bahwa konsep alternative tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan TNI saat itu. Satu-satunya komponen yang akhirnya berubah adalah dilimpahkannya pembayaran gaji dan belanja barang melalui Depkeu di KPKN kepada Pekas (Bendaharawan).

Sistem Penganggaran Versus Hirarki komando

Kultur hirarki merupakan kharakter struktural dari institusi birokrasi. Kultur ini semakin pekat dalam birokrasi militer karena adanya kebutuhan penegakan dan kepatuhan pada garis komando sebagai syarat pokok bagi bekerjanya fungsi pertahanan secara memadai.

Yang menjadi problema serius adalah ketika sistem hirarki komando yang ada dalam militer ini dikonversi secara otomatis sebagai hukum pokok dalam pengelolaan keuangan militer. Panjangnya mata-rantai birokrasi yang harus dilewati telah berakibat sangat serius pada kelambanan dan kekakuan yang justru bertentangan dengan kebutuhan obyektif kegiatan pertahanan, yakni kecepatan dan fleksibilitas. Dengan ini, dilihat dari karakter tugas fungsi pertahanan sendiri, pencampur-adukan sistem komando – hirarki – sebagai syarat pokok bagi bekerjanya birokrasi modern dengan pengelolaan keuangan negara yang menuntut bekerjanya syarat-syarat yang berbeda telah menghasilkan resiko yang serius.

Resiko dimana setiap mata-rantai komando menjadi bagian dari proses penyelewengan anggaran yang bersifat sistematis juga menjadi tak terhindari, justru karena mata-rantai yang panjang bukan saja merupakan penyakit dalam dirinya sendiri, tapi sekaligus fungsional dalam melahirkan terjadi penyelewengan. Akibatnya lebih lanjut sangat jelas, transparansi dan akuntabilitas sebagai dua prinsip fundamental yang diterima secara universal dalam pengelolaan keuangan negara menjadi terbengkalai.

Birokrasi juga bekerja dan menemukan kekuasaan tanpa batasnya pada adanya kerahasiaan. Syarat dan sekaligus karakter ini semakin kental dalam tubuh birokrasi militer. Di satu sisi, hal ini diperlukan guna menjamin keselamatan negara, tapi pada saat ia memasuki wilayah pengelolaan keuangan, ia secara prinsipil bertabrakan dengan prinsip transparansi yang disyaratkan dalam pengelolaan keuangan negara.

Karakter lain dari birokrasi adalah krusialitasnya dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi Birokrasi menjadi institusi sentral dalam penentuan agenda setting, dalam menfasilitasi pengambil kebijakan dengan input-input dan dalam mendireksi pengambilan keputusan lewat perumusan-prumusan opsi-opsi politik yang harus diambil oleh pengambil kebijakan. Fungsi

202

Page 251: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

strategis di atas merupakan akibat logis dari kelebihan keahlian yang dimiliki baik sebagai fungsi pendidikan dan pelatihan maupun sebagai fungsi waktu, penguasaannya atas informasi yang berkesinambungan, serta statusnya sebagai sebuah institusi. Akibatnya, terjadi apa yang dalam birokrasi disebutkan sebagai minesterial turn-over, sebuah fenomena dimana birokrasi mengambil-alih fungsi pengambilan keputusan yang harusnya diambil oleh pejabat politik.

Akibat dari keseluruhan proses di atas, ke luar, telah melahirkan problema serius dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Efisiensi dan efektivitas yang diandaikan sebagai hasil-hasil positif dari bekerjanya birokrasi modern, juga berada dalam persoalan serius. Birokratisasi sebagai salah satu wujud sebuah patologi birokrasi dimana inefisiensi dan inefektivitas menjadi hal-hal lumrah menjadi fenomena yang sangat luas. Hal ini berlaku juga dalam birokrasi militer.

Ke dalam bisa dengan mudah memicu terjadi disintegrasi internal dalam birokrasi, apalagi dalam birokrasi militer. Kecemburuan dan sekaligus konflik antar “bagian-bagian” dalam birokrasi menjadi fenomena bawah permukaan yang menjadi penghambat yang sangat serius. Kohesifitas birokrasi, sebagaimana diandaikan dalam teori birokrasi, sebagai syarat utama bagi bekerjanya ia sebagai sebuah sistem yang ideal berada dalam persoalan serius. Ke semua ini menghasilkan apa yang disebut sebagai disintegrasi monolitik.

Persaingan dan konflik antar bagian-bagian birokrasi semakin melebar seiring dengan melebarnya birokrasi penanganan masalah-masalah pertahanan. Persaingan serius antar Dephan dan Mabes dalam pengelolaan keuangan militer adalah salah satu contohnya. Karenanya terjadi double disintegrasi monolitik, yakni dalam birokrasi militer sendiri dan kedua antar birokrasi yang memainkan peran dalam mengurusi keuangan bidang pertahanan.

Anggaran Berbasis Kinerja

Sebelum tahun 2005 dalam skema anggaran militer di Indonesia, anggaran terbagi menjadi dua yaitu anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Latihan dan operasi militer termasuk dalam anggaran rutin – bersama dengan sektor pengeluaran untuk gaji, administrasi kantor, dan operasi bhakti. Sementara itu, salah satu bagian dari anggaran pembangunan digunakan untuk pembelian perlengkapan, termasuk akuisisi senjata. Sebagian besar anggaran, kecuali operasi-operasi militer yang mendadak, berasal dari anggaran induk. Selain dari APBN, pengeluaran rutin dan pembangunan dapat memperoleh dana langsung dari Presiden, Sekterariat Negara, dan bisnis militer. Dalam tahun anggaran berjalan selalu terbuka kemungkinan untuk memanfaatkan sisa anggaran rutin dan/atau pembangunan dari tahun anggaran sebelumnya.

203

Page 252: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Tabel di bawah ini menunjukkan betapa struktur alokasi anggaran pertahanan Indonesia sangat problematik. Bagian terbesar alokasi anggaran pertahanan dibelanjakan untuk anggaran rutin, yang meliputi beberapa sub-sektor pembiayaan, seperti gaji prajurit, latihan, dan operasi (militer maupun bhakti). Dapat diduga komponen gaji prajurit menyerap sebagian besar dari alokasi anggaran rutin. Akibatnya, fluktuasi ekonomi, misalnya merosotnya pertumbuhan ekonomi maupun nilai tukar, mempunyai implikasi negtif pada subsektor peningkatan kemampuan operasional (baca: latihan) dan/atau pelaksanaan kegiatan, misalnya operasi militer dan operasi bakti.

204

Terdapat berbagai problem dengan struktur alokasi anggaran seperti itu. Misalnya, pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama, kebutuhan untuk memenuhi anggaran pengembangan personel yang memuat komponen gaji, belanja barang dll dengan sendirinya mempersempit peluang alokasi anggaran pemeliharaan dan pembangunan. Karena hampir tidak mungkin untuk mengurangi porsi anggaran pengembangan personel ini, peluang untuk tetap dapat mempertahankan anggaran pemeliharaan dan/atau pembangunan adalah dengan penghematan dan/atau mencegah kebocoran.

Hampir tidak mungkin menemukan alternatif. Merancang postur pertahanan handal dan sekaligus kurang membebani anggaran terutama komponen gaji, memerlukan transformasi gelar kekuatan maupun modernisasi kemampuan pertahanan untuk mengimbangi kecilnya jumlah tentara. Padahal, dilema rasionalisasi versus modernisasi dapat membawa komplikasi yang luar biasa. Rasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Hatta (1949) membangkitkan pembangkangan militer. Begitu pula ketika rasionalisasi anggaran di penghujung dasawarsa 1950an, yang kemudian membidani peristiwa 17 Oktober 1952.

Biaya politik itu diperkuat dengan implikasi lain, khususnya yang berkaitan dengan kemungkinan stagnasi dalam pembangunan kekuatan. Keandalan sistem pertahanan negara akan sangat ditentukan oleh bagaimana membangun postur pertahanan (kekuatan, kemampuan, dan gelar pertahanan) untuk menjawab tantangan/ancaman. Keandalan itu juga ditentukan oleh profesionalisme militer yang meliputi berbagai komponen kualitatif seperti kesungguhan (determinasi), kesiagaan (readiness) dan kelincahan (mobility) maupun kuantitatif, misalnya alustista yang lebih memadai.

Struktur anggaran akan membawa konsekuensi serius pada pengembangan postur pertahanan, khususnya untuk komponen kemampuan dan kekuatan (forces structure). Untuk memenuhi tuntutan perundangan, misalnya dalam rangka membangun pertahanan negara yang mencerminkan kenyataan geografis, di kelak kemudian hari angkatan laut dan udara harus dikembangkan. Padahal keharusan itu akan membentur berbagai persoalan, mulai dari

Page 253: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Tabe

lA

ngga

ran

Pert

ahan

an In

done

sia

tahu

n 20

00-2

004

Dal

am m

ilyar

rup

iah

NO

TA

DU

K/

DU

PD

IK/D

IP%

%

AWA

LA

BT

JML

(4:3

)(6

:3)

12

34

56

78

1.

2000

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

-USD

1=

Rp

7.00

0,-

15.

232,

72 1

1.72

8,00

3

.504

,72

1

.404

,72

2

.100

,00

9.

471,

63

7.86

0,88

1.

610,

75

59

0,50

1.0

20,2

5

1.

126,

22

93

1,66

194,

56

19

4,56

-

10.

597,

85

8.79

2,54

1.

805,

31

78

5,06

1.

020,

25

62,1

8

67

,03

45,9

6

42

,04

48,5

8

69,5

7

74

,97

51,5

1

55

,89

48,5

8

2.

2001

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

- USD

1=R

p 7.

800,

-

15.

574,

10 1

2.04

2,32

3.

531,

78

1.1

91,7

8

2.3

40,0

0

9.

430,

04

7.97

3,04

1.

457,

00

82

5,20

6

31,8

0

2.24

1,78

1.

177,

93

1.06

3,85

1.

063.

85-

11.

671,

82

9.1

50,9

7

2.5

20,8

5

1.8

89.0

5

6

31,8

0

60,5

5

66

,21

41,2

5

69

,24

27,0

0

74,9

4

75

,99

71,3

8

158

,51

27,0

0

3.

2002

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

- USD

1=R

p 9.

000,

-

17.

793,

03 1

3.62

0,00

4

.173

,03

1

.923

,03

2

.250

,00

12.7

54,9

5

9.87

4,83

2.

880,

12

1.43

8,00

1.44

2,12

1.81

7,07

1.7

64,0

7

5

3,00

53,

00

-

14

.572

,02

11

.638

,90

2

.933

,12

1

.491

,00

1

.442

,12

71,6

9

72

,50

69,0

2

74

,78

64,0

9

81

,90

85,4

5

70

,29

77,5

3

64

,09

205

Page 254: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

12

34

56

78

4.

2003

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

- USD

1=R

p 9.

000,

-

24

.738

,99

18.

048,

00

6.6

90,9

9

3.4

29,8

5

3.2

61,1

4

18.3

10,2

3 1

2.02

1,94

6.

288,

29

2.

933,

00

3.35

5,29

2.75

3,26

2.

085,

76

66

7,50

667,

50

-

21

.063

,49

14

.107

,70

6

.995

,79

3

.600

,50

3

.355

,29

74,

01

6

6,61

93,

98

8

5,51

102,

89

85

,14

78,1

7

103

,96

1

04,9

810

2,89

5.

2004

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

- USD

1=R

p 8.

600,

-

36

.336

,46

25.

747,

14 1

0.58

9,32

7

.223

,32

3

.366

,00

21.4

22,2

1 1

3.74

1,92

7.

680,

29

4.11

0,00

3.

570,

29

1.

959,

91

1.95

9,91

-

- -

23

.382

,12

15

.701

,85

7

.680

,29

4

.110

,00

3

.570

,29

58,

96

5

3,37

72,

53

5

6,90

1

06,0

7

64

,35

60,9

8

72

,53

56,9

0

106

,07

Jum

lah

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1)

Rupi

ah M

urni

(2)

PLN

/KE

Rat

a-R

ata

a. R

utin

b. P

emba

ngun

an

(1) R

upia

h M

urni

(2

) PLN

/KE

109.

675,

30 8

1.18

5,46

28.

489,

84 1

5.17

2,70

13.

317,

1421

.935

.06

16.2

37,0

9

5.6

97,9

7

3.0

34,5

4

2.6

63,4

3

71.3

89,0

651

.472

,61

19.9

16,4

5 9

.896

,70

10.0

19,7

5

14.2

77,8

1 1

0.29

4,52

3.

983,

29

1.97

9,34

2.

003,

95

7.9

38,3

3

7.91

9,33

1.

978,

91

1.97

8,91

-

1.

587,

67

1.58

3,87

395,

78

39

5,78

-

79

.327

,39

59

.391

,94

21.8

95,3

6

11.8

75,6

1

10.0

19,7

5

15.8

65,4

8

11.8

78,3

9

4.3

79,0

7

2.3

75,1

2

2.0

03,9

5

65,

09

6

3,40

69,

91

6

5,23

75,

24

6

5,09

63,

40

6

9,91

6

5,23

7

5,24

74,1

2

73

,16

76,8

5

78

,27

75,2

4

74,1

2

73

,16

76,8

5

78

,27

75,2

4

Sum

ber;

Ditj

en R

ensis

han

Dep

han,

200

4

206

Page 255: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

pandangan strategis yang masih tetap memusatkan perhatian pada ancaman internal seperti tertuang dalam Buku Putih Pertahanan yang baru-baru ini diterbitkan oleh Departemen Pertahanan.

Pada tahun 2005 sistem penganggaran nasional berubah menjadi sistem penganggaran berbasis kinerja yaitu:

* Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut

* Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, standar pelayanan minimal, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.

Selama ini kita menghadapi persoalan-persoalan seperti Line item budgeting system, Centralized budget preparation, Ego sectoral, kurang terintegrasi, barang yang dibeli tidak mencerminkan kebutuhan, lebih kepada mau beli apa?, bukan mau kinerja apa?

Kendatipun menuai berbagai kritikan karena kakunya dan ketatnya sistem pertanggungjawaban keuangan namun sistem ini dipercayai sebagai salah satu solusi terbaik dari persoalan-persoalan pertanggungjawaban penganggaran selama ini. Pada tahun 2005-2008 TNI mendapatkan pagu anggaran sebesar:

Tahun 2005 : Rp. 21.9 Triliun

Tahun 2006 : Rp. 28,2 Triliun

Tahun 2007 : Rp. 32,6 Triliun

Tahun 2008 : Rp. 33,7 Triliun

Kendatipun jika dilihat dari jumlah anggaran pertahanan kita cenderung meningkat namun jika kita melihat perkembangan sepuluh tahun terakhir, misalnya, jumlah personil angkatan laut Indonesia hanya meningkat 10 persen, jauh lebih kecil dibanding angkatan Thailand yang dalam kurunwaktu yang sama meningkat hampir 50 persen. Kekuatan personil angkatan udara Indonesia hanya kurang lebih separuh dari kekuatan angkatan udara Thailand. Dengan ukuran apapun, termasuk ukuran obyektif dan komparabel seperti perbandingan jumlah pasukan dengan luas wilayah dan/atau jumlah penduduk, kekuatan personil tentara Indonesia di antara sesama negara ASEAN hanya berada di atas Laos dan Filipina.

Banyak yang mengemukakan bahwa gelagat seperti itu merupakan salah satu konsekuensi dari keterbatasan anggaran. Kekuatan laut maupun udara memerlukan teknologi tinggi yang membutuhkan investasi sangat besar.

207

Page 256: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Namun argumentasi kelangkaan anggaran ini tampaknya tidak terlalu kuat. Bisa jadi anggaran mempunyai korelasi kuat dengan realisasi rencana, tetapi tidak struktur perencanaan itu sendiri. Kalau anggaran menjadi kendala, sekurang-kurangnya sudah harus terlihat perubahan struktur pertahanan Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini.

Dalam kenyataannya, gejala inipun tidak terlihat dalam sejarah pembangunan kekuatan di Indonesia. Indeks perubahan kekuatan laut Indonesia bahkan lebih rendah dibanding Filipina, negara maritim lain di kawasan Asia Tenggara. Berbeda dengan Thailand dan Myanmar, angkatan udara Indonesia tidak dilengkapi dengan satuan-satuan counter-insurgency yang memadai. Ini menunjukkan bahwa kepentingan birokrasi militer memainkan peran yang lebih penting dalam stagnasi pengembangan kekuatan pertahanan dan profesionalisme militer.

208

Page 257: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Daftar Bacaan

Anderson D. Charles, The Aspects of The Madiun Affair, Indoensian magazine, Cornel Modren University, Ithaca, 1974.

Britton Peter, Militery profesionalism in Indonesia : Javanese and Western Tradisions in The Army Ideology to the 1970’s, LP3ES.

Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru, Rosda, Bandung, 1998.

Lucas E. Anton, Peristiwa Tiga Daerah, Grafiti pers, Jakarta, 1989

Departemen Pertahanan RI, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Dephan, 2003

Nasution AH., Kekarjaan ABRI, Seruling Masa,Jakarta, 1971.

Sundhahaussen Ulf, Politik Militer Indonesia 1945 –1967, LP3ES, Jakarta, 1982,

209

Page 258: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

PERENCANAAN PROGRAM DAN ANGGARAN PERTAHANAN NEGARA1

Laksda TNI Tedjo Edhy Purdijatno2

Pendahuluan

Perencanaan pembangunan pertahanan negara secara konsisten mengikuti mekanisme perencanaan pembangunan nasional, bertumpu pada kebijakan umum pertahanan negara dan kebijakan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah dan rencana pembangunan jangka pendek serta pedoman penyelenggaraan perencanaan pembangunan pertahanan negara yang tertuang dalam UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Kemampuan negara untuk mengalokasikan anggaran pertahanan rata-rata per tahun selama kurun waktu (5) tahun terakhir di bawah 1% dari PDB. Pembangunan TNI tidak ditujukan untuk memperbesar kekuatan dari struktur yang sudah ada, kecuali bila ada yang benar-benar penting dan sangat mendesak. Pengisian personel dan materil selain mengganti penyusutan, juga diarahkan untuk menutup kesenjangan (filling the gap) antara kondisi nyata TNI saat ini dengan kebutuhan minimal personel dan peralatan TNI seperti

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Dirjen Perencanaan Pertahanan, Dephan, presentasi diwakilkan oleh Kolonel David Marganda Hutapea, Kasubdit Sismetren pada Ditjen Perencanaan Pertahanan

210

Page 259: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

yang tercantum dalam TOP/DSPP (tabel organisasi dan perlengkapan/daftar susunan personel dan peralatan).

Selain itu juga diarahkan untuk penyiapan komponen cadangan dan komponen pendukung seperti diamanatkan dalam UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, secara bertahap guna menjamin tersedianya kekuatan pengganda komponen utama (TNI).

Mekanisme Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran

Sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), perencanaan pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Sejak tahun anggaran 2005 proses perencanaan anggaran negara untuk jangka waktu 5 (lima) tahun berpedoman kepada rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMNas) tahun 2004-2009 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005. RPJMNas merupakan penjabaran visi dan misi (platform) presiden terpilih dalam pemilu presiden pada tahun 2004.

Untuk tingkat nasional, rpjmnas dengan kurun waktu 5 tahun tersebut, dijabarkan menjadi rencana kerja pemerintah (RKP) tahunan yang memuat rancangan kerangka ekonomi makro yang didalamnya memuat arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat.

Ditingkat kementerian/lembaga negara dalam kurun 5 (lima) tahun menyusun renstra-kl yang memuat visi, misi, tujuan, strategis, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga yang berpedoman pada rpjmnas, sedangkan dalam rencana pembangunan tahunan pimpinan kementerian/lembaga menyiapkan rancangan renja-kl dengan mengacu kepada rancangan awal RKP dan pagu indikatif selanjutnya dipedomani untuk menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA-kl) serta penyiapan konsep daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). (lampiran diagram 1 sistem perencanaan dan penganggaran)

Perencanaan pembangunan hanneg merupakan bagian dari manajemen pengelolaan pertahanan negara, disamping itu sekaligus juga merupakan sub sistem dari perencanaan pembangunan nasional. Sebagai bagian dari manajemen pengelolaan pertahanan negara, maka perencanaan pertahanan

211

Page 260: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

tidak terlepas dari kebijakan umum pertahanan negara yang antara lain sangat memperhatikan analisis perkembangan lingkungan strategis dan perkiraan ancaman. Sebagai sub sistem dari sistem perencanaan pembangunan nasional, sistem perencanaan pembangunan hanneg terikat kepada kebijakan pemerintah di bidang pembangunan, baik yang ditetapkan berdasarkan Undang Undang maupun Keputusan Presiden.

Perencanaan pembangunan pertahanan negara meliputi rencana jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek yang dirumuskan dalam rencana secara berkesinambungan guna menjamin arah pembinaan, pengembangan dan pembangunan kekuatan secara konsisten serta berkelanjutan dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan bidang pertahanan negara. Perencanaan yang sudah ditetapkan harus dilaksanakan secara konsisten, sedangkan dalam hal yang sangat urgent dapat dilakukan revisi yang pelaksanaannya disesuaikan dengan prosedur yang berlaku, guna menjamin tata pemerintahan yang baik dalam rangka kepentingan akuntabilitas publik.

Melalui peraturan Menteri Pertahanan Nomor: Per/09/M/IX/2006 tanggal 28 September 2006 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara (SPP Hanneg). Pada dasarnya perencanaan pembangunan pertahanan negara disusun untuk jangka panjang dengan kurun waktu 20 tahun, jangka menengah dengan kurun waktu 5 tahun dan jangka pendek dengan kurun waktu 1 tahun

A. Rencana pembangunan pertahanan negara jangka panjang disusun berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang nasional yang merancang skenario masa depan dan merumuskan arah kebijakan dan strategi yang mencakup segenap komponen hanneg dihadapkan kepada kecenderungan perkembangan lingkungan strategis dengan kurun waktu 20 tahun mendatang dan dilakukan revisi setiap lima tahun. Dokumen ini menjadi pedoman dalam menyusun berbagai dokumen rencana pembangunan pertahanan negara jangka menengah dan jangka pendek.

B. Rencana pembangunan pertahanan negara jangka sedang merupakan kebijakan dan strategi dalam pencapaian sasaran pengembangan kemampuan dan pembinaan kekuatan serta pembangunan kekuatan hanneg dengan kurun waktu lima tahun ke depan dan pada tahun ketiga dilakukan revisi. Dokumen ini disusun dengan mempedomani program pembangunan jangka menengah nasional serta sumber daya dan anggaran yang tersedia yang dapat mendukung pencapaian sasaran pembangunan hanneg. Selanjutnya dokumen tersebut menjadi pedoman dalam menyusun berbagai dokumen jangka pendek.

212

Page 261: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

C. Rencana pembangunan pertahanan negara jangka pendek merupakan proses penyusunan program dan anggaran, sebagai jabaran dari program pembangunan jangka menengah. Tiap program berisikan gambaran mengenai sasaran dan prioritas yang ingin dicapai, kebutuhan personel, materiel, sumber daya dan anggaran dengan kurun waktu 1 tahun. Dalam rencana jangka pendek terdapat beberapa dokumen yang penyusunannya berpedoman kepada dokumen rencana jangka menengah, guna menjamin kesinambungan antara rencana jangka menengah dan rencana jangka pendek. Dokumen rencana jangka pendek meliputi : rancangan renja hanneg, renja hanneg, rka Dephan/TNI, DIPA Dephan/TNI, amanat anggaran menteri pertahanan, petunjuk pelaksanaan program dan anggaran (PPPA) Panglima TNI dan kepala unit organisasi (UO) serta program kerja (Progja) kotama/satker.

Mekanisme Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Dephan dan TNI.

RKA Dephan dan TNI disusun melalui mekanisme bottom up yang pelaksanaanya satker di bawah secara berjenjang memberikan bahan masukan kepada satker diatasnya. Mekanisme penyusunan RKA Dephan dan TNI sebagai berikut :

A. Kementerian negara/lembaga dalam menyusun renja untuk tahun anggaran yang sedang disusun, mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan dalam sebaran Menteri PPN dan Menteri Keuangan.

B. Renja tersebut meliputi kebijakan, program, dan kegiatan yang dilengkapi dengan target kinerja yang penetapannya menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang disusun dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya.

C. Berdasarkan renja yang telah disusun oleh seluruh kementerian dan lembaga dilakukan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan rencana kerja pemerintah (RKP) oleh DPR.

D. Dari hasil pembahasan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan umum dan prioritas anggaran yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya se pagu sementara oleh Kementerian Keuangan.

E. Menteri dan pimpinan lembaga setelah menerima se pagu sementara (pada pertengahan bulan Juni), untuk masing-masing program, selanjutnya melaksanakan penyesuaian renja menjadi RKA yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan.

213

Page 262: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

F. Kementerian negara/lembaga membahas RKA tersebut bersama-sama dengan komisi terkait di DPR.

G. Hasil pembahasan RKA tersebut disampaikan kepada kementerian keuangan dan kementerian PPN selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Juli.

H. Kementerian PPN menelaah kesesuaian antara RKA hasil pembahasan bersama DPR dengan RKP.

I. Kementerian keuangan menelaah kesesuaian antara RKA hasil pembahasan bersama DPR dengan se pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan.

J. Menteri Keuangan menghimpun RKA yang telah ditelaah yang untuk selanjutnya bersama-sama dengan Nota Keuangan dan Rancangan APBN dibahas dalam sidang kabinet.

K. Nota Keuangan dan Rancangan APBN beserta himpunan RKA yang telah dibahas disampaikan pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan ditetapkan menjadi UU APBN selambat-lambatnya pada akhir Oktober.

L. RKA yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Keppres tentang rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November.

M. Keppres tentang rincian APBN menjadi dasar bagi kementerian negara/lembaga untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA).

N. Konsep dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku bendahara umum selambat-lambatnya minggu kedua bulan Desember.

O. Dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember.

Pengendalian Program dan Anggaran

Untuk menjamin penggunaan anggaran/dana yang dialokasikan ke Dephan/TNI dapat dipertanggungjawabkan serta dapat terlaksana dengan hemat, terarah dan terkendali secara efektif dan efisien dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka diadakan pengendalian secara serasi dan seimbang antara anggaran/dana dan sasaran yang telah diprogramkan.

Pengendalian program dan anggaran dilaksanakan secara terus menerus mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengakhiran

214

Page 263: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

program dan anggaran dan pelaporannya di semua eselon sesuai dengan strata organisasi pengelolaan program dan anggaran mulai dari tingkat kementerian/lembaga sampai dengan tingkat satuan kerja atau unit pelaksanaan teknis dengan metode sebagai berikut :

A. Pemantauan. Pemantauan meliputi kegiatan mempelajari, menelaah dan menganalisis serta mengambil kesimpulan dari semua aspek dan permasalahan dalam pelaksanaan.

B. Kunjungan staf. Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan dari semua proses perencanaan serta informasi lain yang tidak dapat dilaporkan tertulis perlu dlakukan peninjauan lapangan yang dilaksanakan oleh staf perencana.

C. Menerapkan audit manajemen dan audit operasional berdasarkan asas profesionalitas dan asas akuntabilitas melalui indikator dan mekanisme kegiatan pengukuran, penilaian dan pelaporan kinerja secara menyeluruh dan terpadu.

Indikator dan Ukuran dalam Penyusunan Anggaran

Merujuk pada tugas Departemen Pertahanan selaku penyelenggara tugas dan fungsi pemerintah di bidang pertahanan, analisis ancaman/isu dan kondisi internal TNI saat ini dihadapkan dengan prediksi kemampuan keuangan negara, maka kebijakan Departemen Pertahanan dalam penyusunan anggaran diarahkan untuk mempertahankan dan memelihara kekuatan/kemampuan komponen utama TNI, komponen cadangan dan pendukung yang indikatornya dapat terwujudnya tri tunggal sasaran yaitu kesiapan operasional satuan, peningkatan profesionalisme prajurit dan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI dan PNS. Untuk mewujudkan hal tersebut, arah pembangunan kekuatan komponen utama adalah untuk mewujudkan kekuatan dan kemampuan yang dapat mengatasi ancaman dan gangguan yang bersifat nyata dan mendesak. Sedangkan sasarannya adalah mengisi kesenjangan kapasitas sumber daya manusia dan alutsista serta melengkapi piranti lunak.

Prioritas Sasaran Pembangunan Pertahanan.

Menghadapi kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan intensitas penugasan sebagai komponen pertahanan terutama komponen utama yang sangat tinggi, sementara dukungan anggaran yang tersedia sangat terbatas, maka prioritas sasaran bidang pertahanan mengacu pada tri tunggal sasaran. Diharapkan dengan mengacu kepada tri tunggal sasaran tersebut, TNI sebagai komponen utama di bidang pertahanan negara dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mempertahankan dan menegakan kedaulatan dan keutuhan

215

Page 264: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

wilayah NKRI. Adapun upaya tri tunggal sasaran tersebut adalah sebagai berikut :

A. Kesiapan operasional satuan. Kesiapan operasional TNI dalam mengemban tugasnya dalam bidang pertahanan sangat ditentukan oleh kesiapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Dimana alutsista dalam organisasi militer merupakan faktor penting untuk mengukur soliditas kekuatan satuan-satuan operasionalnya. Bahkan pola operasi dan strategi yang diterapkan untuk sebuah operasi militer sangat dipengaruhi oleh alutsista yang dimiliki. Apalagi dihadapkan dengan wilayah teritorial indonesia yang sangat luas, yang memungkinkan ancaman datang dari segala penjuru, maka keterbatasan alutsista yang dimiliki TNI saat ini belum sepadan dengan tanggung jawabnya yang sangat besar. Pada saat ini kekuatan pertahanan indonesia berada dalam kondisi under capacity, bahkan apabila disejajarkan dengan sesama anggota negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi terbawah. Rendahnya kemampuan untuk menerapkan teknologi baru dibidang pertahanan menyebabkan alutsista TNI yang dimiliki sebagian besar sudah usang dan ketinggalan zaman rata - rata dengan usianya lebih dari 20 tahun.Keadaan seperti ini masih diperburuk dengan kecilnya anggaran pemeliharaan alutsista dari tahun ke tahun yang dialokasikan oleh negara. Untuk pemeliharaan alutsista TNI dalam 5 (lima) tahun terakhir rata-rata hanya 4,28% dari norma atau 31,03% dari yang diusulkan, dengan catatan bahwa usulan yang diajukan tersebut belum merupakan kebutuhan riil.

B. Peningkatan profesionalisme prajurit. Upaya peningkatan profesionalisme prajurit TNI dilakukan melalui pendidikan dan latihan dapat terlaksana dengan baik apabila dapat terpenuhi kebutuhan yang mencakup biaya operasional, fasilitas, sarana prasarana dan peralatan pendidikan/latihan secara memadai. Dari pengamatan dilapangan hal yang menonjol adalah kurang memadainya fasilitas sarana prasarana dan peralatan yang digunakan untuk pendidikan dan latihan.

C. Peningkatan kesejahteraan prajurit. Upaya peningkatan kesejahteraan prajurit yang diharapkan dapat terpenuhi adalah :1) Uang lauk pauk (ULP). Kebutuhan kalori standar seorang prajurit

adalah 3.600 kalori, untuk memenuhinya diperlukan ULP sebesar Rp 50.000/orang/hari. Dephan telah berupaya mengusulkan kenaikan indek ULP secara bertahap pada 5 tahun terakir yang secara bertahap telah terjadi kenaikan.

216

Page 265: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

2) Fasilitas perumahan prajurit. Saat ini masih banyak prajurit TNI yang menempati rumah yang ”tidak layak huni” baik yang di asrama, di luar asrama (mengontrak) maupun yang memanfaatkan fasilitas seadanya (pemanfatan gudang, dapur, garasi dan lain-lain). Hal ini sebagai akibat dari terbatasnya anggaran pemeliharaan dan pembangunan fasilitas asrama/rumah dinas. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir rata-rata hanya terdukung sebesar Rp 41,06 milyar atau 36,54% dari usulan (sebesar Rp 154,23 milyar). Untuk ini Dephan senantiasa memberikan prioritas terhadap pemeliharaan dan pembangunan fasilitas perumahan dinas.

3) Bekal kesehatan. Selama 5 tahun terakhir dukungan bekal kesehatan untuk prajurit dan keluarganya masih kurang memadai yaitu rata-rata baru terdukung 13 % dari usulan. Oleh karena itu, Dephan mengusulkan adanya kenaikan anggaran untuk bekal kesehatan secara bertahap.

4) Kaporlap. Kebutuhan kaporlap untuk setiap prajurit sesuai norma adalah Rp 11.595.500/orang/tahun. Dalam kenyataannya baru terdukung 17,16 % atau Rp 1.990.000/orang/tahun sehingga jatah kaporlap tidak dapat dipenuhi sesuai kebutuhan. Untuk ini Dephan secara terus menerus berupaya agar kebutuhan kaporlap dipenuhi sesuai norma yang berlaku.

Problematika Yang Dihadapi Dalam Pengalokasian Anggaran

Kemampuan negara untuk mengalokasikan anggaran pertahanan rata-rata per tahun selama kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir di bawah 1 % dari PDB. Sebagai ilustrasi pembanding, negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada umumnya memiliki anggaran pertahanan diatas 2 % dari PDB.

Bagi negara yang tingkat ancamannya memiliki resiko lebih tinggi, anggaran pertahananya berkisar 4-5% dari PDB. Dengan alokasi anggaran dibawah 1% dari PDB tentu sangat sulit untuk membangun kekuatan pertahanan yang memadai. Bahkan untuk membangun kekuatan minimal sekalipun, sulit untuk diwujudkan.

Pembangunan TNI tidak ditujukan untuk memperbesar kekuatan dari struktur yang sudah ada, kecuali bila ada yang benar - benar penting dan sangat mendesak. Pengisian personel dan material selain mengganti penyusutan, juga diarahkan untuk menutup kesenjangan (filling the gap) antara kondisi nyata dengan TOP/DSPP (tabel organisasi dan perlengkapan/daftar susunan personel dan peralatan). Selain itu juga diarahkan untuk penyiapan kom-ponen cadangan dan komponen pendukung, seperti diamanatkan dalam UU

217

Page 266: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, secara bertahap guna menjamin tersedianya kekuatan pengganda komponen utama (TNI).

Secara umum kekuatan pertahanan indonesia masih berada pada kondisi ”under capacity”. Hal ini ditandai oleh kesiapan sebagian alutsista dan peralatan pertahanan yang hanya berada pada kisaran 50%, bahkan untuk kekuatan matra laut dan matra udara kesiapannya berada di bawah kisaran 40%. Kebijakan, strategi dan perencanaan pembangunan pertahanan Indonesia dalam jangka menengah diarahkan pada pembentukan minimum essential force. Upaya peningkatan kemampuan alutsista TNI telah dilakukan meskipun belum sampai memenuhi kebutuhan minimal yaitu melalui repowering dan retrofit serta melalui pembelian alutsista baru dalam upaya memodernisasi alutsista TNI. Dengan perkembangan kompleksitas permasalahan pertahanan yang cukup tinggi seperti potensi konflik dengan negara tetangga di sekitar perbatasan negara, beberapa konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa di beberapa daerah.

Tantangan utama yang dihadapi dalam peningkatan kemampuan pertahanan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan alutsista luar negeri. Kemudian tantangan lainnya adalah mendayagunakan kekuatan minimum essential force untuk meredam berbagai ancaman pertahanan baik yang berasal dari dalam negeri maupun ancaman luar negeri di samping juga untuk operasi militer selain perang seperti operasi bakti TNI, evakuasi atau rehabilitasi bencana alam. Selain itu, adalah mendayagunakan potensi pertahanan negara dengan meningkatkan peran aktif masyarakat, masih menghadapi beberapa kendala khususnya kendala dari aspek legalitas dan aspek finansial.

Perkembangan Anggaran Pertahanan

Kebutuhan anggaran pertahanan TA 2005 - TA 2009. Berdasarkan rencana strategis pembangunan pertahanan negara tahun 2005 – 2009, Dephan-TNI membutuhkan anggaran sebesar sebagai berikut :

A. TA 2005 : Rp 45.028,34 M

B. TA 2006 : Rp 56.954,77 M

C. TA 2007 : Rp 74.479,60 M

D. TA 2008 : Rp 100.533,68 M

E. TA 2009 : Rp 141.155,26 M

218

Page 267: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Adapun perkembangan anggaran belanja pertahanan selama 5 tahun terakhir dapat digambarkan dengan tabel sebagai berikut :

NO TA KEBUTUHAN ALOKASI %

1 2 3 4 5

2

3

4

5

6.

2003

2004

2005

2006

2007

24.738,99

36.336,46

45.028,36

56.954,76

74.479,60

18.310,23

21.711,68

23.108,10

28.229,18

32.640,06

74,01

59,75

51,32

49,56

43,82

JUMLAH

RATA -RATA

237.538,13

47.507,63

123.999,22

24.799,85

278,47

55,69

Dari data di atas terlihat bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir realisasi anggaran pertahanan rata-rata 55,69 % dari kebutuhan yang diajukan berdasarkan proyeksi anggaran yang masih jauh dari kebutuhan riil TNI.

Berikut perbandingan besaran anggaran belanja pertahanan sesuai dipa terhadap produk domestik bruto (PDB) dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Secara garis besar perkembangan perbandingan anggaran belanja pertahanan terhadap PDB dan APBN sebagai berikut:

219

Page 268: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

(Dal

am M

ilyar

Rup

iah)

TA

T

A

TA

T

A

TA

R

ATA

-

NO

.U

RA

IAN

2003

2004

2005

2006

2007

RAT

A

1

23

45

67

8

1.BE

L. P

EGAW

AI

8

.173

,55

9.3

93,2

4

9

.529

,04

12.1

40,6

0 14

.641

,17

10.

775,

52

2.

BEL.

BAR

ANG

3.8

48,3

9

4

.348

,68

4.4

83,5

9

6

.490

,66

8.06

0,18

5.4

46,3

0

3.BE

L. M

OD

AL

6

.288

,29

7.9

69,7

7

9

.095

,48

9.5

97,9

2 9.

938,

71

8

.578

,03

- R

UPI

AH

MU

RN

I

2

.933

,00

4.1

10,0

0

4

.310

,96

5.1

47,4

0 5.

718,

20

4

.443

,91

- P

LN/K

E

3

.355

,29

3.8

59,7

7

4

.784

,52

4.4

50,5

2 4.

220,

51

4

.134

,12

4.

JUM

LAH

18.3

10,2

3

21

.711

,69

23.1

08,1

1

28

.229

,18

32.6

40,0

6

24

.799

,85

5.PD

B 1

.940

.001

,00

2.0

04.3

47,8

3 2

.190

.796

,70

3.0

35.7

81,0

0 3.

531.

087,

50 2

.540

.402

,81

6.AP

BN

37

0.59

1,80

374

.351

,26

3

97.7

69,3

0

647

.667

,82

763.

570,

80

510

.790

,20

7.%

TH

D P

DB

0,9

4

1

,08

1,0

5

0

,93

0,92

0,9

8

% T

HD

APB

N

4

,94

5,8

0

5

,81

4,3

6 4,

27

5

,04

220

Page 269: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Dari data di atas terlihat bahwa anggaran pertahanan masih sangat kecil dibandingkan dengan PDB maupun APBN. Dalam 5 tahun terakhir rata-rata anggaran belanja pertahanan adalah Rp 24.799,85 miliar per tahun. Dihadapkan dengan PDB rata- rata per tahun (Rp. 2.540.402,81 miliar) maka seluruh anggaran belanja pertahanan rata-rata hanya 0,98% terhadap PDB. Sedangkan jika dihadapkan dengan APBN rata-rata per tahun (Rp 510.790,20 miliar) maka hanya 5,04 % terhadap APBN.

Untuk mengetahui seperti apa anggaran belanja pertahanan apabila dibandingkan dengan negara lain, berikut ini tersedia data yang menggambarkan persentase anggaran beberapa negara terhadap PDB masing-masing negara pada TA 2005.

No NEGARA JUMLAHPENDUDUK

PDBUS$ MILIAR

ANGGARANPERTAHANANUS$ MILYAR

%PDB

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

MYANMAR

VIETNAM

KAMBOJA

THAILAND

MALAYSIA

SINGAPURA

BRUNEI

FILIPINA

INDONESIA

48.673.000

80.048,000

14.007.000

64.123,000

22.533.000

4.292.000

341.000

78.415.000

218.509.000

60,00

34,00

3,70

121,000

94,000

8,00

5,10

77,00

235,00

1,50

2,2

0,076

1,80

2,00

4,60

0,267

1,20

2,30

2,5

6,5

2,1

1,5

2,1

5,2

5,2

1,6

1,0

221

Dari data tersebut kelihatan bahwa alokasi anggaran belanja pertahanan indonesia adalah yang paling kecil yaitu USD 2,30 miliar atau terhadap PDB sebesar 1,0%. Dalam periode lima tahun kedepan untuk membangun postur pertahanan pada TNI tingkat minimum essential force anggaran pembangunan pertahanan seharusnya mencapai 3-4 persen dari PDB. Rendahnya anggaran pertahanan ini menyebabkan upaya-upaya peningkatan kemampuan kekuatan pertahanan sangat sulit dilakukan. Padahal diplomasi luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional secara signifikan memerlukan dukungan kekuatan pertahanan yang memadai.

Agar kegiatan pengendalian dapat berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan maksimal, maka perlu disusun perangkat pengendali intern dalam rangka tertib administrasi sebagai berikut :

Page 270: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

A. Dokumen perencanaan yang telah ditetapkan dalam SPP hanneg, terutama dokumen tahunan antara lain Renja bang hanneg, RKA hanneg, DIPA Hanneg, PPP, dan program kerja serta renlakgiat dari masing- masing fungsi pelaksana.

B. SKO dan dokumen penyaluran dana berupa nota pemindahan bukuan (NPB).

C. Laporan dan evaluasi. Laporan meliputi laporan kemajuan fisik (progress report) serta laporan-laporan yang terkait dengan anggaran dan keuangan selanjutnya pada akhir kegiatan diadakan evaluasi; dan

D. Ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dimulainya sistem perencanaan berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, penyusunan perencanaan anggaran sudah tidak lagi melalui daftar usulan kegiatan/daftar usulan pembangunan, namun berdasarkan rancangan rencana kerja kementerian/lembaga. Adapun jadwal dan proses penyusunan rencana kerja dan anggaran Dephan dan TNI dan daftar isian pelaksanaan anggaran. Proses penyusunan berikut ini didasarkan atas periode/jangka waktu penyusunan serta masukan, keluaran, dan pelaksana dari proses tersebut (diagram 3 mekanisme penyusunan anggaran)

a. Pagu Indikatif.

- Atas dasar rancangan awal RKP dan pagu indikatif yang dikeluar-kan dengan surat edaran bersama Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menkeu pada medio Maret, selanjutnya Menteri Pertahanan menyusun kebijakan serta secara berjenjang diikuti oleh Panglima TNI, ka unit organisasi dan pangkotama/ka satker/ptf Dephan.

- Rumusan kebijakan tersebut digunakan untuk menyusun rancangan rencana kerja masing-masing satuan secara bottom up yaitu rancangan rencana kerja satuan bawah digunakan sebagai bahan masukan oleh satuan atas.

- Pembahasan rancangan rencana kerja pemerintah menjadi RKP dilaksanakan di Bappenas selanjutnya berdasarkan RKP Menteri Pertahanan menyusun rencana kerja pertahanan negara yang ditindaklanjuti oleh eselon di bawahnya.

b. Pagu Sementara

- Berdasarkan pagu sementara yang dikeluarkan oleh Menkeu pada media Juni, masing-masing satuan menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA) secara bottom up, untuk dikompilasi oleh satuan atas.

222

Page 271: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

- Selanjutnya RKA yang sudah disesuaikan dengan pagu sementara dibahas di DPR bersama komisi terkait (Komisi I DPR RI) selanjutnya hasil pembahasan disampaikan kepada Bappenas untuk ditelaah kesesuaiannya dengan RKP dan kepada Menkeu untuk ditelaah kesesuaiannya dengan pagu sementara, prakiraan maju dan standar yang telah ditetapkan.

- Penelaahan RKA disesuaikan pada akhir bulan Juli, selanjutnya himpunan RKA, nota keuangan dan RUU APBN dibahas pada sidang kabinet. RUU APBN diajukan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas pada medio Agustus, dalam pembahasan RAPBN antara pemerintah dengan DPR dilakukan perubahan dan penyesuaian pada RKA.

- Dari hasil pembahasan RAPBN diharapkan RUU APBN ditetapkan menjadi APBN paling lambat akhir Oktober, selanjutnya RKA yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN paling lambat pada akhir November.

c. Pagu Definitif

- Rincian APBN dijadikan dasar departemen pertahanan untuk menyusun daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Dephan.

- Berdasarkan DIPA secara hirarkis, Menteri Pertahanan menyusun amanat anggaran Menteri Pertahanan, Panglima TNI menyusun PPPA TNI, kas angkatan menyusun PPPA angkatan dan pang kotama/ka satker menyusun program kerja.

223

Page 272: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

POLITIK ANGGARAN PERTAHANAN RI1

Djoko Susilo2

Beberapa waktu lalu terjadi polemik terbuka antara Menhan Juwono Sudarsono melawan sejumlah anggota Komisi I terkait dengan rencana pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia. Menhan berpendapat, pembelian pesawat tempur canggih tersebut tidak memerlukan persetujuan DPR RI karena sudah disetujui dalam anggaran KE 2004 sampai 2009. Sebaliknya, anggota Komisi I berpendapat bahwa pembelian yang akan menggunakan dana Kredit Ekspor senilai hampir Rp 4 triliun itu harus dibicarakan dengan parlemen.

Perdebatan yang cukup memanas tersebut menunjukkan betapa masalah anggaran pertahanan masih merupakan kebijaksanaan yang belum secara komprehensif dimengerti oleh pejabat pemerintahan, termasuk Menteri Pertahanan. Berdasar amandemen Konstitusi UUD 1945, DPR memegang kekuasaan atas legislasi, pengawasan dan anggaran. Itulah sebabnya, dalam pelaksanaannya, sejak diberlakukannya UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pemerintah harus meminta persetujuan DPR sebelum melaksanakan program anggaran yang secara teknis disebut satuan 3.

1 Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasional ”Memperkuat Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Keamanan Nasional, Ruang Nusantara, Hotel Grand Aquila, Bandung, 10-11 September 2007.

2 Anggota DPR RI Komisi I /FPAN

224

Page 273: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Problem Pembiayaan Anggaran Untuk Sektor “Pertahanan - Keamanan”

Memang DPR tidak akan terlibat dalam tender dan penunjukan rekanan yang akan melaksanakan program. Tetapi, fungsi pengawasan DPR memungkinkannya melakukan pengawasan secara ketat atas pelaksanaan anggaran yang dilakukan pemerintah. Jebolnya anggaran dan terjadinya anggaran mark up selama ini tidak lain dari tidak berlangsungnya pengawasan anggaran yang efektif. Dalam konteks inilah, apa yang dilakukan Menhan Juwono Sudarsono termasuk bagian dalam menghambat terwujudnya transparansi pelaksanaan anggaran dan good corporate governance.

Menhan Juwono sesungguhnya sudah menjadi bagian persoalan dari pada solusi atas terwujudnya pelaksanaan anggaran yang transparan. Kasus Sukhoi ini hanya salah satu contoh. Tiga tahun lalu pembelian membuat heboh dan Komisi I DPR terpaksa harus membentuk panja untuk menuntaskan persoalan ini. Salah satu keberatan DPR waktu itu ialah pembelian Sukhoi dari pabrik di Kanppoo ini menggunakan anggaran yang tidak jelas. Selain itu, pesawat yang dibeli tidak dirancang dengan benar. Masa ada beli pesawat canggih 4 buah dalam tempo 4 bulan sudah dikirimkan?

Sangat mengherankan, bahwa yang dibeli Indonesia adalah versi Sukhoi yang secara teknologi lebih inferior dari Sukhoi buatan Pabrik Irkutz yang dipakai hampir di seluruh dunia yang membeli Sukhoi. Tercatat di kawasan Asia, India, Malaysia, Vietnam dan Cina membeli Sukhoi versi Irkutz. Sukhoi bikinan Knappoo yang digunakan TNI AU setiap 1.000 jam terbang mesinnya harus di overhaul, sebaliknya yang bikinan Irkutz bisa sampai 2500 jam terbang. Kecanggihan dalam bermanuver pun lebih hebat Sukhoi bikinan Irkutz dari pada Knappoo sehingga jika diadu, maka Sukhoi milik TNI AU akan kesulitan jika berhadapan melawan Sukhoi milik Malaysia.

Memang yang jadi ganjalan ialah lobi Knappoo sangat kuat di Indonesia. Perusahaan ini dibekingi penuh oleh pemerintah Russia karena pabrik itu memang merupakan BUMNnya. Konon, Pabrik Knappoo yang karyawannya mencapai 25.000 orang masih bisa bertahan hidup karena mengharap order dari Indonesia. Dengan kata lain, tanpa adanya order tersebut, dipastikan akan bangkrut dan itu merupakan pukulan politik yang telak bagi Presiden Vladimir Putin. Itulah sebabnya, pemerintah Rusia menyediakan kredit negara sebesar USD 1 miliar untuk pembelian Sukhoi dan perlengkapan alutsista lainnnya.

Dengan demikian, jika Departemen Pertahanan memilih Sukhoi dari Knappoo maka itu lebih menguntungkan Rusia. Sangat heran bahwa ada seorang Menteri Pertahanan RI yang bisa didikte kemauan asing bagi kepentingan pembelian alutsista yang strategis. Bandingkan dengan Malaysia yang tetap ngotot beli Sukhoi dari Irkutz, Konon kabarnya ketika PM Mahathir Mohammad berkunjung ke Moskow tiga tahun lalu dan dirayu agar beli pesawat Sukhoi bikinan Knappoo, dia dengan tegas menolaknya.

225

Page 274: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Dia ngotot beli dari Irkutz atau batal sama sekali. Karena ngototnya Mahathir inilah akhirnya Rusia mengalah.

Jika Menhan Juwono ngotot membeli Sukhoi versi Knappoo bangsa ini harus bersiap – siap untuk menanggung beban anggaran yang berat. Bayangkan, untuk satu kali jam terbang dibutuhkan biaya Rp 500 juta. Padahal seorang pilot setiap bulan harus terbang minimum 15 jam untuk menjaga kesiapan minimalnya. Selain itu, biaya pemeliharaan (maintenance cost) akan menggelembung. Berat sekali rasanya anggaran pertahanan yang akan ditanggung bangsa ini.

Masalah lain yang muncul dari perencanaan anggaran pertahanan ialah belum dibuatnya postur pertahanan RI. Dengan demikian, tampak sekali kebijaksanaan yang bersifat tambal sulam. Memang, kita sedang mengalami kesulitan keuangan, tetapi jika pemerintah bersama pemerintah membuat perencanaan anggaran yang lebih baik, maka uang yang sedikit itu pun akan bisa digunakan dengan hasil yang lebih baik.

Sayangnya di DPR pun tidak banyak yang memahami kompleksitas persoalan ini dan cenderung menyerah kepada kemauan pemerintah. Tidak semua anggota panitia anggaran DPR pun mengetahui dan mempunyai kemauan yang keras untuk mencegah terjadinya pemborosan uang negara. Masalahnya, keanggotaan di panitia anggaran tidak sepenuhnya berdasar kompetensi tetapi lebih karena giliran seperti arisan saja. Ini pula yang melemahkan posisi DPR.

Sulit diharapkan anggota pajnitia anggaran yang menduduki jabatannya secara arisan ini akan bisa berhadapan dengan pemerintah yang punya dana, kemauan dan tekad kuat untuk mengegolkan programnya. Jadi jangan heran akan muncul berbagai macam skandal pembelian alutsista selain Sukhoi, Mi 17, Mi-2 dan lain-lain yang tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan tuntas.

226

Page 275: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

Bab V.TNI-Polri di Tengah Perkembangan

Konsep Keamanan dan di Masa Perubahan Politik

(Sebuah Catatan, Kesimpulan dan Rekomendasi)

Page 276: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Page 277: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

A. Tentang Konsep Keamanan : “Security is become a public goods”

Dalam konsepsi klasik, “keamanan” lebih diartikan sebagai usaha untuk menjaga keutuhan teritorial negara dari ancaman yang muncul dari luar. Konflik antar negara khususnya dalam upaya memperluas imperium daerah jajahan membawa definisi security hanya ditujukkan kepada bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman militer.

Dalam pendekatan tradisional, negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan. Pandangan kelompok ini menilai bahwa semua fenomena politik dan hubungan internasional adalah fenomena tentang negara. Dalam alam pemikiran tradisional ini negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara.

Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi maupun ancaman ekologis. Perkembangan tafsir dan persepsi terhadap ancaman tersebut tentunya didasarkan pada situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berubah

227

Sebuah Catatan, Kesimpulan dan Rekomendasi

Page 278: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

yang memperlihatkan bahwa persoalan kelaparan, kemiskinan, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyakit menular dan pencemaran lingkungan menjadi ancaman serius bagi keamanan kita.

Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non-traditional. Dalam pendekatan non-tradisional, konsepsi keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini menilai bahwa keamanan tidak bisa hanya diletakkan dalam perspektif kedaulatan nasional dan kekuatan militer. Konsepsi keamanan juga ditujukkan kepada upaya menjamin keamanan warga negara/keamanan manusianya. Human security menilai bahwa keamanan juga meliputi keamanan manusia yang didalamnya mencakup masalah kesejahteraan sosial, perlindungan hak-hak kelompok masyarakat, kelompok minoritas, anak-anak, wanita dari kekerasan fisik dan masalah-masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik.

Evolusi konsepsi keamanan khususnya pasca perang dingin kemudian dapat dilihat dari beberapa konsepsi yaitu keamanan bersama (common security), keamanan kooperatif (cooperative security) dan keamanan komprehensif (comprehensive security). Common security percaya bahwa hubungan antar aktor yang saling bermusuhan bisa dirubah dengan menciptakan kebijakan keamanan yang saling transparan dan tidak agresif. Tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan rasa saling curiga akan maksud pihak lain untuk mencegah konflik bersenjata (security dilemma).

Barry Buzan mendefinisikan empat unsur pengertian common security yakni (1) bebas dari ancaman militer (2) keamanan dalam arti societal, masyarakat, kelompok-skelompok, (3) keamanan ekonomi, (4) keamanan lingkungan. Cooperative security menekankan upaya untuk menciptakan keamanan melalui dialog, konsultasi, pembentukan rasa saling percaya tanpa harus melalui pendekatan - pendekatan formal - institusional. Sedangkan comprehensive security menempatkan keamanan sebagai konsep multidimensional sehingga mengharuskan negara menyiapkan beragam aktor keamanan untuk mengelolanya.

Perubahan-perubahan terhadap konsepsi keamanan dan perubahan terhadap dinamika ancaman yang terus berkembang, semakin menyadarkan kita, bahwa masalah keamanan bukan hanya masalah militer saja, tetapi juga masalah segenap komponen bangsa (public goods).

228

Page 279: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

B. Tentang Reformasi TNI-Polri: “TNI-Polri dalam Bingkai Reformasi Sektor Keamanan”

Reformasi sektor keamanan adalah reformasi yang memiliki cakupan yang luas dan kompleks. Reformasi itu mensyaratkan perlunya penataan ulang kembali fungsi, struktur dan kultur institusi penanggung jawab keamanan yang sesuai dengan tata nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Secara esensi, tujuan utama reformasi sektor keamanan adalah menciptakan good governance di sektor keamanan serta menciptakan lingkungan yang aman dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat (prosperity).

Sebagai sebuah konsep, SSR merupakan sebuah topik yang kini mendapat perhatian yang signifikan dari komunitas pembangunan dan telah mengkristal menjadi sebuah debat yang telah diambil alih secara utuh oleh pemerintah pusat, sama seperti yang dilakukan banyak aktor di tingkat multilateral dan NGO.1

Prof Robin Luckham, menggambarkan SSR sebagai sebuah salah satu pembahasan pemerintahan, baik dalam kerangka adanya potensi yang besar akan terjadinya kesalahan pengalokasian sumber daya maupun karena sektor keamanan yang lepas kendali sehingga menimbulkan pengaruh negative kepada pemerintah.2

Lebih lanjut, SSR juga merupakan sebuah praktek program perubahan institusional dan operasional yang meliputi sektor keamanan nasional (didorong oleh usaha regional) untuk menyiapkan sebuah lingkungan yang membuat warga negara selalu merasa aman dan nyaman.3

Dalam bingkai kerangka reformasi sektor keamanan tersebut, proses reformasi yang sudah berjalan hampir kurang lebih sembilan tahun sedikit banyak telah menghasilkan beberapa tetapan-tetapan positif bagi TNI maupun Polri. Beberapa capaian itu diantaranya adanya Pemisahan Struktur dan Peran TNI- Polri (TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000); Pembentukan UU Pertahanan Negara No 3/2002, pembentukan UU No 2/2002 sebagai

1 Dr Ann M Fitz-Gerald, Security Sector-Streamlining National Military Forces to Respond to the Wider Security Needs, Journal of Security Sector Management, published by Global Facilitation Network for SSR, University of Cranfield, Shrivenham, UK, volume 1 2003.

2 Ibid, hal 43 Bahan kuliah Security Sector Governance, Ann M Fitz-Gerald di Program Magister Manejemen

Pertahanan dan Keamanan ITB, Bandung, 2007.

229

Page 280: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

dasar pijakan bagi Polri dalam menjalankan tugasnya, pembentukan UU No 34/2004 sebagai dasar pijakan bagi TNI dalam menjalankan tugasnya dll.

Kendati demikian, jalannya proses reformasi TNI - Polri tersebut masih bersifat reaktif, parsial dan masih menyisakan banyak agenda permasalahan. Karenanya, upaya mewujudkan reformasi TNI dan Polri harus diletakkan dalam cara pandang baru yang lebih luas dan menyeluruh.

Sebagai sebuah tahapan, “reformasi”, tentunya membutuhkan suatu design yang tertata dalam mewujudkan tujuannya, begitupula yang seharusnya dilakukan dalam mendorong reformasi TNI dan reformasi Polri. Tidak hanya itu, Reformasi TNI dan Polri sebagai bingkai SSR, juga membutuhkan sebuah pertimbangan dan perenungan yang mendalam dalam memilih dan menentukan skala prioritas mana yang harusnya di dahulukan dalam mendorong jalannya reformasi. Dalam konteks itu, pembangunan national security framework adalah tahapan utama dan tahapan yang harus segera dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Dengan dasar itu, jalannya reformasi TNI akan dapat lebih terukur dan terarah.4

Sebagai bingkai kerangka reformasi sektor keamanan, cara pandang baru dalam mendorong reformasi TNI dan Polri meliputi :

a. Pertama, Reformasi TNI dan Polri harus dilihat sebagai bagian agenda untuk mewujudkan dan menuntaskan agenda reformasi sektor keamanan. Oleh karenanya, pendekatan untuk mensukseskan agenda reformasi militer dan reformasi polisi memerlukan sebuah pendekatan yang multidimensional, inter-disipliner dan inter-relasi. Di sini kita membutuhkan national security framework sebagai sebuah kerangka yang dapat menjadi pijakan dalam mensukseskan agenda reformasi TNI dan reformasi Polri.

b. Kedua, Reformasi TNI dan Polri harus sejalan dan berbarengan dengan jalannya proses reformasi politik. Konsekuensinya, reformasi TNI dan reformasi Polri harus menjadikan tata kehidupan politik yang demokratis sebagai pijakan dasarnya. Di situ, tata nilai demokrasi (transparansi, akuntabilitas) dan hak asasi manusia harus masuk menjadi bagian tata nilai dalam seluruh proses perubahan dan penataan ulang institusi TNI dan Polri.

4 Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki National Security Framework.

230

Page 281: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

c. Ketiga, Reformasi TNI dan Polri merupakan tanggungjawab semua komponen bangsa (public goods), karenanya proses reformasi tersebut harus menempatkan semua warga negara dan elemen bangsa sebagai subyek politik yang memiliki peranan untuk mensukseskannya. Dalam konteks itu, eksklusivitas dalam mendorong reformasi TNI dan Polri harus dihindari dan lebih lagi kritik dan otokritik terhadap TNI dan Polri tidak boleh dipandang sebagai ancaman, tetapi harus dipandang sebagai bentuk partisipasi aktif warga negara dalam upaya mewujudkan TNI dan Polri yang profesional.

d. Keempat, Dengan demikian, kemacetan terhadap jalannya reformasi TNI dan Polri tidak bisa disalahkan dan dibebankan hanya kepada TNI dan Polri. Sebagai negara yang menerapkan sistem demokrasi, sudah sepantasnya tanggungjawab itu dibebankan kepada otoritas politik yang terpilih secara legitimate.

e. Kelima, Reformasi TNI dan Polri harus dapat memastikan bahwa TNI-Polri bukan lagi sebagai alat kekuasaan politik sebagaimana terjadi di masa rezim orde baru, tetapi menjadi alat pertahanan dan keamanan negara yang tunduk terhadap otoritas politik yang legitimate dan ketentuan hukum yang berlaku. Karenanya TNI-Polri patut untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya dapat menghambat proses reformasi tersebut serta tunduk kepada tetapan-tetapan serta agenda reformasi TNI-Polri yang telah direncanakan dan dihasilkan oleh otoritas politik.

C. Tentang Hubungan TNI-Polri dalam Kerangka Pertahanan-Keamanan Negara (Keamanan Nasional)

Sebagai bagian dari kerangka reformasi sektor keamanan, salah satu hasil dari proses reformasi TNI-Polri itu adalah adanya Pemisahan Struktur dan Peran antara TNI- Polri (TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000). Namun demikian, kendati secara struktur dan peran terpisah, hubungan TNI-Polri sesungguhnya masih memiliki keterkaitan yang erat dalam kerangka pertahanan-keamanan negara (keamanan nasional). Hubungan TNI-Polri itu sebagian terlihat dalam kerangka tugas perbantuan guna menghadapi ancaman terhadap pertahanan-keamanan negara (keamanan nasional).

Kompleksnya bentuk dan dinamika ancaman yang berkembang di Indonesia, khususnya terhadap ancaman yang tergolong dalam non-traditional threats seperti terorisme, pembalakan liar, pencurian ikan, konflik SARA,

231

Page 282: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

separatisme dll, tentunya tidak bisa dihadapi secara terpisah oleh masing-masing aktor keamanan, tetapi dibutuhkan hubungan yang terintegrasi dan tertata dalam menghadapinya. Dalam konteks itu, dan dalam tingkat gradasi dan eksalasi ancaman tertentu, polisi bisa meminta bantuan kepada TNI dan TNI juga memiliki peran dan kewajiban untuk membantu polisi dalam menghadapi ancaman yang ada, begitupun sebaliknya.

Secara normatif, hubungan TNI-Polri tersebut sebenarnya telah diatur sebagian didalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian RI dan UU No 34/2004 tentang TNI. Secara tegas pasal 41 ayat 1 UU 2/2002 menyebutkan bahwa ”dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, kepolisian negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 41 ayat 2 UU 2/2002).

Lebih lanjut, tugas perbantuan TNI kepada aparat kepolisian sebagian juga diatur dalam UU TNI No 34 /2004 dimana dalam rangka tugas operasi militer selain perang (military operation other then war), TNI bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang (Pasal 7 ayat 2 poin 10 UU TNI). Selain itu, dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang (OMSP), TNI juga bertugas mengatasi pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan objek vital, membantu tugas pemerintah di daerah dll (Pasal 7 ayat 2 UU TNI).

Namun, dalam faktanya, penerapan konsep OMSP seringkali menimbulkan problem antara dua institusi yaitu militer dan polisi. Konsep ini seringkali menimbulkan tumpang tindih peran TNI dengan kewenangan Polri, terutama dalam menangani dan menyelesaikan konflik komunal, mengatasi ancamaan terorisme dan kejahatan lintas batas lainnya. TNI adalah kekuatan bersenjata untuk mengatasi ancaman, sedangkan tugas Polri adalah menegakkan keamanan dan ketertiban umum (public order) serta melakukan penegakan hukum.

Karenanya, kendati hubungan TNI-Polri sebagian telah diatur oleh UU TNI dan UU Polri, namun kedua regulasi tersebut belumlah cukup apalagi memadai sebagai pijakan bagi kedua aktor keamanan dalam berhubungan dan berkoordinasi guna menghadapi ancaman yang terjadi. Masih banyak kendala

232

Page 283: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

dan problematika yang dihadapi diantara keduanya.

Dalam konteks penanggulangan aksi terorisme, secara normatif, peran TNI dalam penanggulangan terorisme merupakan bagian dari peran untuk melaksanakan tugas operasi militer selain perang (military operation other than war) sebagaimana ditegaskan dalam UU TNI. Sedangkan bagi Polri, upaya pemberantasan terorisme merupakan bagian dari kerangka tugas Polri untuk melaksanakan penegakan hukum sebagaimana ditegaskan UU Polri.

Kelemahannya kemudian adalah kedua undang-undang tersebut tidak menjelaskan tentang pembagian kewenangan atau hak yang lebih rinci bagi masing-masing aktor dalam pelaksanaan tugas untuk mengatasi ancaman terorisme. Kekosongan ini mungkin memang tidak perlu dijawab oleh undang undang tersebut, tetapi perlu dijawab oleh otoritas politik melalui pembentukan kebijakan Presiden yang menjelaskan lebih rinci tentang ruang lingkup tugas masing-masing pihak, khusunya tugas untuk TNI. Presiden harus menjelaskan prinsip-prinsip dan batasan apa saja yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi bagi masing-masing pihak, khususnya TNI.

Hingga kini, ketiadaan kebijakan tersebut telah menimbulkan permasalahan diantara keduanya, baik itu dalam level koordinasi maupun dalam level taktis di lapangan. Dalam level koordinasi, lemahnya koordinasi yang dibarengi dengan tumpang tindih fungsi dan kerja antar aktor keamanan dalam penanggulangan aksi terorisme diakui oleh salah seorang anggota Detasemen 88 (antiteror) Polda Jawa Tengah. Menurutnya seseorang yang dicurigai terkait dengan bom di Jimbaran dan Kuta gagal ditangkap karena terlalu banyaknya satuan intel yang turun dan tak berkomunikasi. Target sudah kabur karena ternyata di tempat itu sudah ada intel Kopassus, intel kodam dan sebagainya. Menurutnya seperti ada rivalitas dan tidak ada komunikasi sehingga banyak hal menjadi mubazir.5

Lebih lanjut, adapun titik persinggungan lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam penanganan isu terorisme adalah saat ini Polri memiliki Detasemen 88 sebagai satuan khusus polisi anti-teror, sementara TNI juga memiliki beberapa satuan khusus yang memiliki kemampuan penanggulangan ancaman terorisme, yaitu Detasemen Penanggulangan Teror (Den Gultor) di TNI AD, Detasemen Jalamangkara (Den Jaka) di TNI AL, dan Detasemen Bravo (Den Bravo) di TNI - AU.

5 Koran Tempo, 3 Oktober 2005

233

Page 284: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

Dalam konteks menjaga keamanan wilayah laut dan udara, ketidakjelasan kewenangan antara TNI dan Polri ini juga terlihat pada fungsi penegakan hukum di wilayah laut dan udara. Dalam UU No.34 tahun 2004 tentang TNI ditegaskan bahwa TNI AL dan TNI AU bertugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut dan udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sementara itu, tugas ini pun juga diemban oleh Polri yang memiliki kesatuan polisi udara dan laut. Namun demikian UU ini tidak memaparkan adanya pembagian kewenangan atau hak dalam pelaksanaan tugas tersebut.

Benturan kewenangan lain antar kedua institusi keamanan nasional ini (TNI-Polri) juga terjadi dalam hal penanganan penanganan perompakan laut (maritime piracy) di wilayah laut, pencurian ikan (illegal fishing), berbagai aktivitas penyelundupan (smuggling). Dalam banyak kasus, berbagai kejahatan ini juga merupakan kejahatan transnasional.

Masalah-masalah hubungan TNI-Polri tersebut disatu sisi disebabkan karena belum adanya aturan lebih lanjut yang mempertegas dan memperjelas secara rinci tentang hak, kewenangan , hubungan dan koordinasi antara TNI-Polri dalam menghadapi ancaman yang sama dan dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana dimandatkan oleh Undang Undang TNI maupun Undang Undang Polri itu sendiri. Untuk itu perlu dipikirkan kesederajatan Polri dengan TNI yang dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya engagement antara TNI dan Polri dalam hal adanya eskalasi keadaan tantangan dan ancaman nasional.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Berkembangnya konsepsi keamanan telah menjadikan persoalan keamanan nasional tidak melulu persoalan untuk menghadapi ancaman militer guna menjaga batas-batas teritorial negara, tetapi juga dapat berupa ancaman non-militer yang meliputi ancaman ekologis, ancaman ekonomi dan lainnya. Dalam konteks itu, persoalan untuk menghadapi ancaman-ancaman terhadap keamanan nasional tidak hanya menjadi persoalan yang hanya dimonopoli oleh negara ataupun militer, tetapi juga menjadi persoalan bersama yang perlu melibatkan seluruh komponen bangsa (public goods).

2. Keamanan nasional merupakan kondisi tiadanya segenap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap normalcy (kehidupan

234

Page 285: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

S e b u a h C a t a t a n , K e s i m p u l a n d a n R e k o m e n d a s i

bernegara dan bermasyarakat) baik yang timbul dari dalam maupun luar oleh seseorang, sekelompok orang, ataupun bahkan kekuatan terorganisasi dari luar wilayah sehingga obyek itu dapat mengembangkan diri untuk memenuhi tujuan dan keinginannya. Keamanan nasional meliputi berbagai dimensi, mulai dari keamanan bagi negara dan masyarakat (maupun individu). Namun demikian perlu diingat bahwa instrumen untuk menanggapai harapan tersebut terdiri dari beragam cara, mulai dari penyelenggaraan fungsi pemerinthan secara sektoral sampai dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang menggunakan kewenangannya untuk menggunakan alat koersif (hukum dan senjata).

3. TNI dan Polri adalah sebagian dari instansi yang menunaikan tugas itu, dalam fungsi-fungsi yang lazimnya menggunakan pendekatan keamanan (security approach) dalam tugas-tugas ”pertahanan” dan ”keamanan”. Tentu, penggunaan alat koersif itu harus memperhatikan ”force continuum”, seiring dengan eskalasi ancaman, maupun dalam beragam bingkai ketentuan hukum, konvensi maupun etik (nasional dan internasional). Sangat mungkin oleh sebab itu merancang sistem keamanan nasional dengan memperhatikan diferensiasi tanggapan dalam spektrum mulai dari politik (non-koersif ) hingga pendekatan koersif; dalam rentang sektoral (keamanan nasional dan yang berada di luarnya) dan dalam vertikal (peringatan dini, pencegahan, dan penindakan)

4. Lebih rinci lagi, dalam kaitannya dengan hubungan TNI ke Polri, khususnya dalam konteks tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan TNI maka implementasi tugas OMSP TNI membutuhkan keputusan politik negara (payung hukum) sebagaimana ditegaskan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 Ayat (3) bahwa ketentuan pelaksanaan OMSP didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara.

5. Berhubung tugas OMSP TNI cukup luas dan bersinggungan dengan tugas Polri, maka untuk menghindari konflik otoritas diperlukan sebuah aturan main (rules of engagement) bagi pelibatan TNI dalam melaksanakan tugas-tugas OMSP. Dengan demikian, perlu dirumuskan sebuah aturan tentang perbantuan TNI dalam mendukung tugas institusi lainnya, dalam hal ini membantu tugas pemerintahan salah satunya polisi. Aturan tentang tugas perbantuan tersebut sudah seharusnya diatur dalam level undang undang.

6. Lebih lanjut, perbantuan TNI dalam melaksanakan peran kepolisian harus dilandaskan pada keputusan presiden, baik karena permintaan dari pemerintah daerah, Polri, maupun berdasarkan pertimbangan pemerintah

235

Page 286: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

pusat. Keputusan presiden untuk memperbantukan TNI dilandasi oleh penilaian pemerintah daerah maupun pihak kepolisian. Penilaian itu menyimpulkan bahwa telah terjadi gangguan yang tidak mampu diselesaikan oleh kepolisian.

7. Meski demikian, tugas perbantuan dapat dilakukan sejauh tidak mengurangi kekuatan TNI untuk melaksanakan tugas utamanya. Tugas-tugas perbantuan tersebut juga tidak boleh mengurangi atau mematikan kapasitas institusi-institusi sipil dan/atau kepolisian negara dalam melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas perbantuan tersebut tidak bersifat permanen dan hanya dapat dilakukan setelah ada keputusan politik pemerintah.

8. Dengan demikian, terkait dengan peran dan hubungan Polri-TNI, penting bagi kedua belah pihak untuk secara aktif menjalankan peran dan hubungannya berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dan akan ditetapkan. Kedua belah pihak perlu membangun koordinasi dan hubungan yang baik (good relationship)- bukan bad relationship- dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya. Oleh karenanya penting bagi Polri dan TNI untuk memahami dan menjalankan prinsip-prinsip yang terkait dengan tata kelola keamanan dan prinsip-prinsip dalam kehidupan kenegaran yang demokratis.

9. Lebih jauh lagi, dalam level nasional, pemerintah dan DPR perlu untuk segera memperbaiki dan melengkapi peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan keamanan nasional, yakni segera membentuk Undang Undang tentang Keamanan Nasional dan Undang Undang tentang tugas perbantuan dan undang-undang lainnya. Langkah tersebut menjadi penting dalam upaya memperbaiki peran dan hubungan TNI-Polri dalam menjaga “pertahanan dan keamanan negara” (keamanan nasional), sehingga dapat meminimalisasi terjadinya bentrokan maupun tumpang tindih fungsi dan tugas antara TNI dan Polri, khususnya ketika menghadapi ancaman yang sama. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa rencana perbaikan maupun pembentukan semua undang-undang yang terkait dengan bidang keamanan nasional (pertahanan dan keamanan negara) tersebut hendaknya meminta masukkan dan melibatkan semua pihak baik itu dari pemerintah, DPR, aktor-aktor keamanan maupun masyarakat itu sendiri.

236

Page 287: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

P R O G R A M S T U D I P E R T A H A N A N - I T B P R O G R A M S T U D I P E R T A H A N A N - I T B

Program Magister Studi Pertahanan-ITB

Latar Belakang Pemikiran

Ilmu kemiliteran telah mengalami perubahan paradigma yang besar. Selama masa industrialisasi, perang antar negara telah berkembang menjadi semakin besar, mahal dan merusak. Konfl ik-konfl ik di masa depan, lebih cenderung merupakan konfl ik di dalam negara (intra-state), dibanding antar intra-state), dibanding antar intra-statenegara (inter-state). Meskipun demikian, negara-negara maju akan cenderung inter-state). Meskipun demikian, negara-negara maju akan cenderung inter-statecampur tangan dalam perang di negara lain, baik karena alasan kemanusiaan maupun alasan kepentingan nasional mereka sendiri.

Perubahan paradigma dalam masalah keamanan ini, telah juga memaksa angkatan bersenjata untuk lebih banyak berhubungan dengan organisasi angkatan bersenjata untuk lebih banyak berhubungan dengan organisasi angkatan bersenjatainternasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), media maupun yang secara tradisional merupakan rekan kerja, seperti polisi, bea cukai, badan intelijen dan diplomat. Secara alami, ‘budaya’ dan sistem kerja lembaga-lembaga tersebut sangat berbeda dengan lembaga angkatan bersenjata, karena itu hubungan lembaga-lembaga tersebut dengan lembaga angkatan bersenjata sering konfrontasional.

Semua perubahan tersebut akan mempengaruhi lingkungan manajemen pertahanan dan pengembangan teknologi pertahanan dan keamanan. Perubahan-perubahan tersebut juga sangat bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dari masalah demografi , perubahan cuaca hingga teknologi informasi. Karena itu sangat penting bagi para perencana militer maupun pemimpin-pemimpin sipil untuk tidak hanya mengetahui mengenai konsep-konsep keamanan nasional, regional maupun global, tetapi mempunyai kemampuan dan keahlian dalam manajemen pertahanan dan keamanan serta dapat memanfaatkan sumberdaya lingkungan dan teknologi yang menyertainya.

Perubahan-perubahan tersebut juga semakin menyadarkan kita, bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya masalah militer saja, tetapi juga masalah segenap komponen bangsa. Hal ini tidak hanya dalam pengertian fi sik, tetapi juga menyangkut pemikiran, peraturan perundang-undangan serta anggaran pertahanan. Untuk itu, peran akademisi di universitas-universitas dipandang semakin penting di masa depan.

Berdasarkan alasan-alasan di ataslah, Program Magister Studi Pertahanan di Institut Teknologi Bandung ini dibuka. Program ini membekali mahasiswa agar secara profesional mampu melakukan analisis kemananan nasional, regional dan internasional, serta faktor-faktor yang dikatagorikan sebagai ancaman; menguasai perangkat manajemen untuk memanfaatkan sumberdaya lingkungan dan teknologi yang ada serta paham dengan perkembangan

241

Page 288: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k

mutakhir ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan. Pilar utama (body of knowledge) program ini terdiri dari tiga bagian, yaitu stategi, manajemen dan knowledge) program ini terdiri dari tiga bagian, yaitu stategi, manajemen dan knowledgeteknologi pertahanan.

Program ini, yang terbuka baik bagi mahasiswa militer maupun sipil, juga akan menjadi jembatan saling pengertian antara kalangan sipil dan militer. Sebagai tambahan, program ini juga diharapkan meningkatkan kepedulian publik terhadap militer, sehingga sifat konfrontasional antara lembaga militer dan non-militer dapat dikurangi. Diharapkan publik memperoleh dasar pengertian yang sama tentang masalah keamanan global, yang akan tercermin dalam perubahan budaya lembaga-lembaga tersebut.

SUMBER MASUKAN PROGRAM Program ini terbuka bagi lulusan S-1 atau sederajat dari semua jurusan,

baik sipil maupun militer, dan dapat berasal dari instansi: 1. Departemen Pertahanan 2. Markas Besar TNI 3. Markas Besar Polri 4. Lembaga legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah, yang bertugas

di sektor pertahanan 5. Pemerintah pusat maupun daerah, termasuk kementerian yang terkait

dengan masalah perencanaan dan keuangan pertahanan, 6. LSM dan pers, serta lembaga masyarakat lainnya.

STRUKTUR KURIKULUM

• Program Magister Studi Pertahanan ini mendapat bantuan dari Royal Military College of Sciences (RMCS), Cranfi eld University, Shrivenham, United Kingdom. Bantuan akan berupa pengajaran oleh guru-guru besar di RMCS dan bantuan bahan-bahan pustaka.

• Sistem yang digunakan adalah sistem kredit akademik. Untuk menyelesaikan Program Magister, mahasiswa wajib menyelesaikan minimal 36 kredit. Satu kredit akademik ekivalen dengan 1 jam tatap muka dan 3 jam kerja mandiri per minggu. Program diselenggarakan dalam sistem semester yang masing-masing berlangsung selama 16 minggu, kecuali Program Matrikulasi yang berlangsung selama 8 minggu. Dengan demikian, total pembelajaran yang dibutuhkan adalah minimal 2.300 jam. Program diselenggarakan dalam tiga (3) semester.

242

Page 289: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

P R O G R A M S T U D I P E R T A H A N A N - I T B P R O G R A M S T U D I P E R T A H A N A N - I T B

Semester I Semester II Semester III

• Ilmu, Seni dan Teknologi Perang

• Ekonomi dan Keuangan Pertahanan dan Keamanan

• Keamanan di Asia Pasifi k

• Ilmu Manajemen • Dinamika Politik Internasional

• Manajemen Bencana dan Resiko

• Lingkungan Strategis & Operasi Militer Kontemporer

• Pemerintahan Yang Bersih dan Sektor Keamanan

• Akuisisi Pertahanan

• Prinsip-prinsip Manajemen Pertahanan dan Keamanan

• Manajemen Sumber Daya Manusia

• Tugas Akhir

CONTACT PERSON Info lebih lanjut hubungi:Dr. Ir. Bambang Kismono Hadi Departemen Teknik Penerbangan ITB Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 Tel: (022)-2504529 Fax : (022)-2534164 E-mail: [email protected]@ae.itb.ac.id

243

Page 290: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

T N I - P o l r i d i M a s a P e r u b a h a n P o l i t i k244

Page 291: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Imparsial didirikan oleh 18 orang pekerja hak-hak asasi manusia Indonesia. Lembaga ini berbadan hukum Perkumpulan dengan akte pendirian Nomor 10/25 Juni 2002 oleh notaris Rina Diani Moliza, SH.

Para pendiri Imparsial adalah, antara lain, T. Mulya Lubis, Karlina Leksono, M. Billah, Wardah Hafidz, Hendardi, Nursyahbani Katjasungkana, Ade Rostina Sitompul, Robertus Robet, Binny Buchory, Kamala Chandrakirana, H.S. Dillon, [Alm] Munir, Rachland Nashidik, Rusdi Marpaung, Otto Syamsuddin Ishak, Nezar Patria, Amiruddin, dan Poengky Indarti.

Para pendiri berbagi concern yang sama: kekuasaan negara dengan kecenderungan praktek-praktek represifnya menunjukkan kecenderungan menguat di Indonesia saat ini. Tepat di seberangnya, lembaga-lembaga masyarakat yang bekerja dalam bidang promosi dan perlindungan hak-hak asasi manusia justru menunjukkan kecenderungan melemah.

Visi dan MisiImparsial diambil dan kata impartiality: pandangan yang memuliakan

kesetaraan hak setiap individu -dalam keberagaman latarnya- terhadap keadilan, dengan perhatian khusus terhadap mereka yang kurang beruntung (the less fortunate). Kami menerjemahkan impartiality sebagai mandat untuk membela setiap korban pelanggaran hak-hak asasi manusia tanpa membedakan asal-usul sosialnya, jenis kelamin, etnisitas atau ras, maupun keyakinan politik dan agamanya.

Visi Imparsial adalah menjadi wadah bagi masyarakat sipil Indonesia dalam mempromosikan civil liberties, memperjuangkan fundamental freedom, melawan diskriminasi, mengupayakan keadilan bagi para korban dan menegakkan pertanggung-jawaban.

245

Page 292: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Misi Imparsial adalah: pertama, memonitor dan menyelidiki pelanggaran hak-hak asasi manusia, mengumumkannya kepada publik, memaksa pelakunya bertanggung jawab, dan menuntut pemegang kekuasaan negara memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak warga serta mengakhiri praktek kekuasaan yang jahat.

Kedua, menggalang solidaritas di antara sesama warga dan menghimpun sokongan internasional demi mendorong pemegang kekuasaan negara tunduk pada hukum internasional hak-hak asasi manusia.

Ketiga, meneliti keadaan-keadaan sosial yang dibutuhkan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia dan merekomendasikan perubahan-perubahan dalam kebijakan negara serta mengawasi implementasinya.

Imparsial bersifat independen dari pemegang kekuasaan negara yang diawasinya, non-partisan, dan mendapatkan dana bagi aktivitasnya dari sumber-sumber yang tidak mengikat, serta sumbangan dari warga masyarakat dan iuran anggota.

TujuanMenjadi wadah bagi masyarakat sipil di Indonesia untuk mendorong

terselenggaranya praktek dan kebijakan publik yang bersesuaian dengan norma hak-hak asasi manusia internasional.

KekhasanKekhasan Imparsial terletak pada program lembaga ini yang

mengintegrasikan alternative human rights policy, penyusunan standar pelaporan yang dapat memenuhi keperluan legal remedy dan pembentukan sistem perlindungan bagi para pekerja hak-hak asasi manusia.

Ciri KerjaDalam kerja-kerjanya, Imparsial memperhatikan keterkaitan antara

partisipasi dari para pekerja hak-hak asasi manusia pada tingkat lokal, nasional dan internasional dengan upaya mendorong perubahan public policy dalam bidang hak-hak asasi manusia pada tingkat nasional dengan didukung oleh riset dan dokumentasi yang berdisiplin.

Program ImparsialDalam beberapa tahun ke depan, Imparsial telah menetapkan tiga sub

program besar yang akan dijalankan.

246

Page 293: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

A. Riset dan Monitoring HAMOutput monitoring akan tampil, terutama dalam produk Urgent action call,

yakni suatu seruan kepada publik untuk memberikan perhatian yang segera terhadap kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang sedang berlangsung. Selanjutnya tim riset dan monitoring akan menghasilkan Annual Human Rights Report, sistem dokumentasi mengenai kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia dengan basis Huridocs, dan kampanye Hak Asasi Manusia.

Sasaran program ini adalah masyakat internasional serta publik domestik yang luas. Strategi yang digunakan adalah kampanye dan inseminasi.

B. Perlindungan Pekerja Hak Asasi Manusia dan Peningkatan KapasitasPerlindungan terhadap para pekerja hak-hak asasi manusia adalah program

yang menjadi ciri khas Imparsial. Fokus program ini adalah membangun sistem perlindungan bagi para pekerja hak asasi manusia (human rights defender) di Indonesia dan usaha sistematik untuk meningkatkan kapasitas mereka agar dapat melakukan pekerjaannya dengan lebih baik.

Adapun peningkatan kapasitas para pekerja hak-hak asasi manusia menunjuk secara spesifik pada training-training yang diselenggarakan untuk memberi atau meningkatkan pengetahuan serta kemampuan teknis para pekerja hak asasi manusia dalam hal investigasi, dokumentasi, archiving hingga penyusunan laporan kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang memenuhi syarat bagi kepentingan legal remedy.

C. Kritik terhadap Kebijakan Negara dengan Perspektif HAMKonsep kritik dengan perspektif HAM dikemas dalam sebuah

briefing paper yang berisi analisis, kiritik, dan rekomendasi terhadap produk kebijakan negara. Fokus program ini adalah menyediakan analisis HAM yang komprehensif terhadap kebijakan negara dalarn masa transisi politik Indonesia.

Output dari program ini adalah: briefing paper yang disebarkan pada pemerintah, DPR, dan NGO HAM, serta penerbitan buku dan artikel dengan menggunakan analisis berperspektif HAM, lobi ke pemerintah dan parlemen, pengorganisiran seminar, FGD (focus group discussion), dan lokakarya menyangkut kebijakan alternatif negara dengan perspektif HAM.

247

Page 294: TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik

Badan PendiriT. Mulya Lubis, Karlina Leksono, MM Billah, Wardah Hafidz, Hendardi, Nursyahbani Katjasungkana, Ade Rostina Sitompul, Robertus Robet, Binny Buchory, Kamala Chandrakirana, HS Dillon, [Alm] Munir, Rachland Nashidik, Rusdi Marpaung, Otto Syamsuddin Ishak, Nezar Patria, Amiruddin, dan Poengky Indarti.

Badan PengurusDirektur Eksekutif Rachland NashidikDirektur Program Robertus RobertDirektur Operasional Rusdi MarpaungDirektur Hubungan Eksternal Poengky IndartiRiset Al Araf, Bhatara Ibnu Reza, Cahyadi Satrya, Donny Ardiyanto, Erwin Maulana, Ghufron Mabruri, Junaidi, Otto Pratama, Swandaru, Dokumentasi dan Perpustakaan Dyah Listianti Yuwono, Yulianto, HayaniSekretariat Siti Diniyah Islami Staf Komunikasi Ully SarimayaKeuangan Ray Nataliwan Butarbutar, Irma Nurjanah, Lusia YuliarthaIT dan Penerbitan Sutanandika, Ujang Firmansyah Bagian Umum Ulumuddin Tuasikal dan Teguh Prasetyo

IMPARSIAL, The Indonesian Human Rights MonitorJl. Diponegoro 9 Menteng Jakarta 10310

Phone : (62-21) 3913819, Fax: (62-21) 31900627e-mail : [email protected], [email protected] : www.imparsial.org

248