Indepth Report
Lumpur Lapindo dan
Persaingan Politik 2014
Dwi Aris Subakti
Capacity Building
Yayasan SatuDunia
2011
1
Komunikasi pada dasarnya adalah aktifitas atau proses dalam
menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan dengan
menggunakan saluran tertentu untuk tujuan tertentu yang bisa
memunculkan efek dan juga feed back. Komunikasi sebagai sebuah ilmu
mencoba memahami komunikasi melalui teori-teori yang diuji untuk
menjelaskan fenomena yang terkait dengan produksi, pengolahan dan
efek1.
Komunikasi juga melakukan kajian terhadap proses komunikasi
baik di dalam percakapan informal, interaksi kelompok, atau komunikasi
massa2. Komunikasi massa pada awalnya masih berbentuk lisan berupa
kemampuan retorika seperti dikemukakan Aristoteles3 dan kemudian
semakin berkembang ketika muncul jurnalisme4. Jurnalisme inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal konsep media massa sebagai cara
menyampaikan pesan kepada khalayak.
Kajian tentang komunikasi massa berkembang menjadi kajian tentang
media massa. Menurut Mc Luhan, media massa apapun bentuk dan isinya
mampu mempengaruhi individu maupun masyarakat. Hal senada juga
disampaikan oleh Harold Adams Innis yang menyatakan bahwa peradaban
dan sejarah ditentukan oleh media yang menonjol pada masanya5.
Dalam perkembangannya media massa tumbuh menjadi industri.
Terdapat pasar yang cukup besar dalam industri media. Terlebih saat ini
yang dinyatakan sebagai the information age, kebutuhan masyarakat akan
informasi cukup tinggi.
Industrialisme media memunculkan sistem kapitalisme. Kapitalisme media setidaknya sudah dibaca oleh Karl Marx dengan munculnya industri kebudayaan di Amerika6. Bacaan Marx diteruskan oleh para pemikir Frankfurt School yaitu Adorno dan Hokhaimer. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis7.
1 Charless R. Bergerr dan Steven H. Chaffee “The Study of Communication as a
Science” dalam Charless R. Bergerr dan Steven H. Chaffee, “Handbook of
Communication Science”, Sage Publications, London, Edisi II 1989. Hal 17.
2 Rudolph F. Verdeberber dan Kathleen S. Verdeberber, Communicate, international
Studen Edition, Thomson Wadsworth, USA. Hal 2.
3 Brent D Ruben dan Lea P. Stewart, Communication and Human Behavior,
Allan&Bacon A Viacom Company. USA. Edisi IV. 1998, hal, 20-22.
4 Ibid, hal 23.
5 Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komuniksi, Penerbit Salemba.
Jakarta. 2009. Edisi 9. hal 410.
6 Mike Wayne, Marxisme and Media Studies; Key Concepts and Contemporary
Trends, Pluto Press, USA. Chapter III “ Powers of Caiptal: Hollywood Media-
Industrial Complex” halaman 61-86.
7 Griffin, EM, “A First Look At Communication Theory” 5th Edition, Mc Grow
2
Masa ini ditandai dengan: a). dijadikannya informasi sebagai komoditas, b). munculnya media baru dan terjadi penggabungan media, c). berpengaruhnya ekonomi dan pasar.
Menurut Denis McQuail, sistem kapitalis ini muncul karena institusi media tidak bisa dilepaskan dengan industri pasar karena adanya ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Selain itu, media meskipun tidak mempunyai kekuasaan namun institusi media selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum8.
Sebagai institusi kapitalis, media lebih berorientasi pada keuntungan dan upaya untuk mengakumulasikan modal. Akibatnya, media massa berkompetisi meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Ketika modal mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”.
Kondisi ini terjadi karena tekanan ekonomi kepada media9. Akibatnya, terjadi pertarungan idiologi di dalam institusi media itu sendiri. Media berada di persimpangan antara memihak kepada kepentingan ekonomi atau memenuhi kewajiban moral. Kondisi ini diperparah dengan adanya konglomerasi pemilikan media oleh segelintir orang.
Dalam kasus pemberitaan Lapindo, kondisi tersebut di atas sangat kental terasa. Aburizal Bakrie dengan cara yang sistematis mencoba mengubah persepsi publik tentang kasus lumpur Lapindo. Melalui Group Viva yang membawahi AN Tv, TV One dan Portal Berita Viva News, pemberitaan tentang Kasus Lapindo diarahkan ke hal-hal yang menguntungkan Aburizal Bakrie. Ada upaya mengalihkan isu bahwa Lumpur Lapindo bukanlah kesalahan pengeboran, tetapi akibat dari gempa bumi Jogja. Dalam upaya “cuci tangan” media milik Bakrie tidak mau menggunakan istilah Lumpur Lapindo tetapi Lumpur Sidoharjo.
Di sisi lain, serangan terhadap Aburizal Bakrie juga dilakukan oleh media massa. Media yang paling getol memberitakan kasus Lapindo adalah Media Group yang membawahi Media Indonesia dan Metro Tv.
Hill Companies, USA, 2003. Hal 368.
8 McQuil, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Erlangga;
Jakarta, 1987, hal.40.
9 Dalam masyarakat ekonomi, tekanan ekonomi yang terjadi di media
dipengaruhi oleh; (1). financial supporter seperti pemilik modal, pengiklan, konsumen,
(2). iklim kompetisi (3). masyarakat umum. Louis Alvin Day, “Ethics in Media
Communication; Cases and Controversies,” Thomson Wadsworth Group, Kanada.
2003, hal 245-247.
3
Media ini adalah milik Surya Paloh yang merupakan seteru Aburizal Bakrie ketika memperebutkan kursi Ketua Umum Golkar tahun 2009.
Pertarungan kepentingan dalam kasus Lapindo dengan memanfaatkan media ini menarik untuk dikaji. Terlebih, Aburizal Bakrie adalah tokoh politik yang mempunyai kans besar untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden pada pemilu 2014. Banyak pihak yang tidak suka terhadap Abu Rizal Bakrie menyerang dengan Kasus Lumpur Lapindo. Abu Rizal Bakrie yang memiliki media berusaha mengcounter dan memoles citranya agar terlihat baik dalam kasus Lapindo.
Keterbukaan Informasi Publik
Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim da/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara, dan penyelenggaraan
badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-undang ini serta
informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik10
.
Keterbukaan informasi publik perlu dilakukan karena hak
memperoleh informasi adalah hak asasi manusia. Keterbukaan informasi
publik merupakan menjadi ciri penting negara demokratis yang
menjunjung tinggi kedaulatan rayta untuk penyelanggaraan negara yang
baik. Keterbukaan informasi publik juga sarana untuk untuk
mengoptimalkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara dan badan
publik lainnya11
.
Joseph Stiglitz, Pemenang Nobel Ekonomi 2001 menyatakan, warga
negara memiliki hak dasar untuk tahu. Jika orang-orang dari negara
manapun ingin pemerintah dan sektor ekonomi bekerja lebih transparan
dan efisien, maka mereka harus berjuang untuk kebebasan menyebarkan
informasi. Mereka harus berjuang mendapatkan hak untuk mengetahui dan
hak untuk mengatakan seperti itu12
.
Berdasarkan definsi tersebut di atas, jika pemerintah ingin transparan
dan efisien dalam mengelola negara, keterbukaan informasi bagi publik
adalah prasyarat yang mutlak harus dilakukan. Pejabat negara sebagai
pemegang jabatan publik dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan
kebijakan dan tindakan politisnya kepada masyarakat. Tanggungjawab ini
termasuk di dalamnya tanggungjawab kolektif di dalam sebuah institusi
atau badan publik13
.
10
Definisi berdasarkan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, bab Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 2.
11 Ibid, bagian Menimbang.
12 Marianus Kleden, Transparansi & Silence; Sebuah Survey Undang-undang
Akses Informasi di 14 Negara, Tempo& Yayasan Tifa, Jakarta, 2008, hal v. terjemahan
dari Transparency & Silence; A Survey of Access to Information Law and Practices in
Fourteen Countries.
13 Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, Yayasan Obor Indonesia,
4
Menurut data Open Society, terdapat 65 negara yang memiliki undang-
undang yang menetapkan bagi publik dalam meminta dan menerima
informasi (UU Akses Informasi atau UU Kebebasan Informasi). Sebanyak
53 undang-undang sudah diadopsi sejak 15 tahun terakhir dan 28
diantaranya diadopsi sejak 200014
. Sedangkan teks internasional yang
paling otoritatif tentang hak atas akses informasi adalah rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Dewan Eropa yang menetapkan standar minimum
transparansi pemerintah15
.
Dalam mendorong terlaksananya keterbukaan informasi publik, negara
harus mengakui hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan
membuat peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang akses
informasi. Hal ini karena, berdasarkan penelitian dari Open Society Justice
Inisiative di 14 negara di seluruh dunia, disebutkan bahwa negara yang
mempunyai Undang-Undang akses informasi lebih terbuka dari pada
negara yang tidak memiliki UU.
Menurut penelitian tersebut, dari 1.926 permintaan informasi yang
dilakukan oleh Mitra Justice Inisiative di 14 negara, 33% permintaan di
respon oleh negara yang memiliki UU. Sedangkan di negara yang tidak
memiliki UU, respon yang diberikan atas permintaan informasi hanya
mencapai angka 12%16
.
Kesulitan dalam memperoleh beberapa informasi terkait penyebab
maupun proses pemulihan yang terjadi di wilayah terdampak semburan
Lumpur Lapindo dapat dilihat sebagai suatu usaha terencana untuk
mengalihkan isu kesalahan prosedur pengeboran menjadi isu bencana
alam. Kedua penyebab tersebut mempunyai implikasi yang berbeda dari
sisi politis jika dilihat berbagai hal yang melingkupi peristiwa munculnya
semburan.
Ekonomi Politik Media
Media ekonomi adalah kajian yang khusus menganalisis hubungan
media dan ekonomi. Di dalamnya mencakup bagaimana prinsip ekonomi
digunakan dalam bisnis media17
.
Media ekonomi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada
operasi bisnis dan aktivitas keuangan perusahaan memproduksi dan
Jakarta, 2000, hal 55-58.
14 Marianus Kleden, op.cit,hal ix.
15 Rekomendasi Rec (2002)2 Komite Menteri kepada negara anggota mengenai
akses dokumen resmi (yang diadopsi Komite Negeri pada 21 Februari 2002 pada sidang
ke 784 wakil menteri.
16 Transparency & Silence; A Survey of Access to Information Law and Practices in
Fourteen Countries, op.cit hal ix.
17 James Owers, Rod Carveth & Alison Alexander, “An Introduction to Media
Economic Theory and Practices,” dalam Alisson Alexander, et all (ed), “Media
Economic; Theori and Practices, Lawrence Erlabaum Associates, New Jersey, 2004,
hal. 70.
5
menjual output ke industri berbagai media. Ekonomi media membicarakan
tentang apa yang akan diproduksi, bagaimana teknologi dan struktur
organisasi bisa memproduksi dan untuk siapa produksi itu akan
dipasarkan.
Dalam kajian Ekonomi Media, pertumbuhan media sangat
dipengaruhi oleh makro ekonomi dan mikro ekonomi. Dalam
makroekonomi yang menjadi konsentrasi adalah tingkat konsumsi, Iklim
invenstasi, kebijakan ekonomi dan peraturan, dan yang terakhir adalah
kondisi ekonomi internasional. Dalam mikroekonomi diantaranya;
konsumen, kebijakan perusahaan, pasar, elastisitas permintaan dan
penawaran.
Kajian tentang Ekonomi media kemudian memunculkan istilah media
komersial atau media bisnis dan di negara industri disebut dengan media
industri. Kondisi ini sesuai dengan yang ciri kelima dari institusi media
yang disampaikan oleh Baschwitz, yaitu media beorientasi kepada
kepentingan konsumen dan iklan. Setidaknya, ada empat ciri dari institusi
media bisnis yaitu; mengutamakan kepetingan komersial, dikuasai oleh
kalangan profesional (bisnis dan jurnalis), cenderung lebih netral, sirkulasi
besar18
.
Teori lain yang bisa digunakan untuk melihat kapitalisme media
adalah teori Political Economic Media. Teori ini menekankan
ketergantungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan
integrasi media terhadap sumber sosial dan otoritas. Dengan demikian isi
media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan
ekonomi.
Menurut Moscow, Political Economy Media merupakan kajian
mengenai hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan-hubungan
kekuasaan yang saling membentuk atau mempengaruhi produksi,
distribusi, dan konsumsi sumberdaya19.
Dalam tinjauan Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian
dari sistem ekonomi yang bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas
pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk
masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi
dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh
kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan.
Kepentingan-kepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya
jumlah sumber media yang independen, munculnya sikap masa bodoh
terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada
pasar besar20
. Pada dasarnya, industri dan kapitalisme media mempunyai
18 Anwar Arifin, “Komunikasi Politik dan Pers Pancasila”, Yayasan Media
Sejahtera, Jakarta, Hal. 22-23.
19 Vincent Mosco, Political economy of communications, Sage, London, 1996. hal
25.
20 Garnham, N., Contribution to a Political Economy of Mass Communication,
Media, Culture and Society 1(2): 123.
6
hubungan yang cukup erat dengan masyarakat. Media massa mampu
memunculkan yang namanya Kontruksi Sosial21
.
Rumusan utama dari pendekatan political economic media adalah
memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang
menghasilkan komiditi. yang bermodal. Patokan untuk mengidentifikasi
karakteristik ekonomi politik di dalam kapitalisme media adalah customer
requirements, competitive environment, dan social expectation.
Agenda Setting sebagai pengalihan isu lalu Spiral Keheningan
Pembingkaian (Framing) yang dilakukan media membuat suatu berita
dapat terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul sebagai
agenda publik. Kekuatan media massa untuk mengatur kapan pemegang
kepentingan politik “naik panggung” dan “turun panggung” secara
eksplisit menunjukkan bagaimana kuatnya media sebagai pembentuk opini
publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Entman, Pembingkaian adalah
proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari
peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain.22
Masyarakat akan
menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan
perbincangan sehari-hari. Sementara topik yang tidak menjadi bahasan
utama cenderung disimpan.
Pembingkaian adalah basis dari Teori Agenda Setting yang acap kali
dilakukan media guna membentuk realitas publik. Pengaruh Agenda
setting dalam kehidupan sosial dan budaya sangat besar. Agenda setting
menggambarkan bahwa media demikian berkuasanya sehingga dikatakan
Entman dapat memproyeksi suatu kekuatan, utamanya politik. Dengan
melakukan pengagendaan maka suatu kekuatan politik dapat dimunculkan
atau disembunyikan.
Dalam kasus Lumpur Lapindo suatu keputusan pengadilan dapat
dilihat sebagai rencana awal suatu perekayasaan yang kemudian dapat
digelembungkan (blow up) secara legal untuk kemudian menjadi bahan
pembentukan opini publik. Opini publik melibas opini-opini parsial yang
tidak memiliki pegangan kekuatan. Sehingga pada akhirnya memaksa
kaum minoritas yang tidak sejalan berada dalam keadaan yang
sesungguhnya tidak disukai atau tidak dipilihnya.
Daniel G. McDonald dalam sebuah jurnal penelitian komunikasi yang
terbit pada April 2001 menguji data proses pemilihan presiden di AS pada
tahun 1948 dengan menggunakan dasar teori Spiral Keheningan Noelle-
Neumann. Pemilihan tersebut memenangkan Harry S. Truman melawan
Thomas E. Dewey yang juga menjabat Gubernur New York. Dewey
sebelumnya berada di atas angin dan diperkirakan menang dengan mudah
karena unggul dalam perhitungan di atas kertas.
21 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta. 2008. hal 38.
22 Robert M. Entman.Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and
U.S. Foreign Policy. Chicago: University of Chicago Press hal. 5
7
Dalam kajiannya McDonald memaparkan bahwa penelitiannya
mengenai hasil pemilihan yang salah prediksi konsisten dengan formulasi
yang ada dalam Teori Spiral Keheningan tersebut. Teori tersebut
mengindikasikan bahwa peran grup referensi dan norma sosial sangat
berpengaruh membentuk opini publik serta pilihan politik individu.
Semakin seorang individu mendapat dukungan terhadap opininya (melalui
grup referens dan media massa) maka semakin yakin akan ekspresi
politiknya termasuk ketika terjadi pemungutan suara.23
Dengan kata lain, opini publik sangat berpengaruh pada pilihan politik
mayoritas dimana opini tersebut dikendalikan oleh bagaimana media
massa mengemas agenda-agenda politik yang ingin diraih suatu kelompok.
23
McDonald, et al. The Spiral of Silence in 1948. Communication Research. Vol
28 No. 2, April 2001. P139-142.
8
Kerangka Alur Berpikir Teoritis
Jika penyebab yang ditetapkan adalah kesalahan prosedur maka opini
publik akan dengan mudah terbentuk dan mengarah pada rendahnya
kredibilitas perusahaan-perusahaan dibawah grup Bakrie. Dan ini akan
berpengaruh secara signifikans terhadap kredibilitas Abu Rizal serta partai
Golkar secara keseluruhan.
Sebaliknya jika penyebab yang ditetapkan ialah bencana alam. Maka
publik dengan lebih mudah digiring pada satu penyebab yang bersifat
ketidakpastian. Termasuk skema penyelesaian ganti rugi.
Gambaran Umum Lumpur Lapindo
Kasus Lumpur Lapindo terjadi berawal dari pengeboran minyak di
Sumur Banjar Panji 1. Sumur ini terletak di Blok Brantas yang merupakan
9
salah satu dari lima blok di cekungan Jawa Timur. Cekungan ini
diperkirakan mempunyai cadangan minyak sebesar 900 juta barel dan gas
700 miliar kubik dan Blok Brantas mempunyai potensi yang cukup besar
diantara empat cekungan lainnya.
Sumur Banjar Panji 1 dikelola oleh PT Energi Mega Persada Tbk, PT
Medco Energi dan Santos LTD-Australia, melalui anak perusahaan
bernama PT Lapindo Inc24
. Sumur Banjar Panji sendiri baru beroperasi
pada Januari 2006. Namun, baru tiga bulan beroperasi, terjadi kecelakaan
pengeboran yang diakibatkan oleh kelalaian perusahaan. Kecelakaan
tersebut menyebabkan keluarnya semburan lumpur yang tidak bisa ditutup
sehingga menenggelamkan puluhan ribu rumah25
.
Pihak Lapindo sebagai operator pemboran mencoba “cuci tangan” atas
kasus yang terjadi. Mereka menyatakan bahwa bocoran lumpur panas
terjadi karena adanya faktor alam yaitu Gempa Bumi Yogyakarta pada 27
Mei 200626
. Informasi yang berhubungan dengan kasus ini juga susah
didapatkan oleh warga.
Kesulitan dalam memperoleh beberapa informasi terkait penyebab
maupun proses pemulihan yang terjadi di wilayah terdampak semburan
Lumpur Lapindo dapat dilihat sebagai suatu usaha terencana untuk
mengalihkan isu kesalahan prosedur pengeboran menjadi isu bencana
alam.
Keterbukaan informasi publik pada dasarnya adalah alat untuk
mendorong terjadinya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan tata
kelola sebuah negara. Semakin terbuka informasi di sebuah negara maka
pelaksanaan tata kelola pemerintah tersebut dianggap sebagai tata kelola
pemerintahan yang baik (Good Governance)27
. Demikian pula sebaliknya.
Asian Development Bank (ADB) dalam artikelnya berjudul
Governance: Sound Development Management, menjelaskan good
governance sebagai mekanisme atau cara yang diterapkan dalam
pengelolaan sumberdaya ekonomi dan sosial suatu negara untuk
pembangunan. Dalam implementasinya, ADB menetapkan empat elemen
utama dalam mendorong good governance yaitu accountability,
participation, predictability, dan transparency.
Alasdair Roberts menyatakan bahwa transparansi adalah “semua
kegiatan dapat dilihat”. Roberts terinspirasi dari sebuah foto kubah kaca di
atas gedung parlemen Jerman karya arsitektur Norman Foster. Dalam
keterangan foto disebutkan bahwa dengan kubah kaca, Foster mengharap,
24
Dani Setiawan (ed), Lapindo; Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi, Wahana
Lingkungan Hidup, Jakarta, 1998, hal. 43.
25 Audit BPK tahun 2007 menyebut kerugian langsung akibat lumpur lapindo sampai
dengan tahun 2015 mencapai hampir Rp20 triliun.
26 Dani Setiawan, hal. 7-18.
27 Agus Wibowo et all, Implementasi Mekanisme Komplain Terhadap Layanan
Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat, Pattiro-IDSS-ACCESS-AUS Aid, Jakarta, 2007,
hal. 24.
10
agar semua orang dapat melihat kegiatan yang dilakukan para wakilnya di
parlemen28
.
Dengan transparansi, apapun yang dilakukan didalam melaksanakan
kebijakan publik pada lembaga-lembaga publik akan memberikan
kepercayaan kepada semua orang. Berapapun dana yang dialokasikan
untuk penyelenggaraan kebijakan umum dan bagaimanapun hasilnya
semua orang bisa memberikan penilaian yang positip termasuk
rekomendasi yang membangun29
.
Akses informasi juga akan mendorong akuntabilitas. Definisi
akuntabiltas mengacu kepada pertanggungjawaban pejabat publik dalam
melaksanakan mandatnya. Akuntabilitas mengarahkan pada perilaku dan
sikap responsif aparatur pemerintah terhadap aspirasi dan kebutuhan
masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kewenangan padanya.
Untuk memastikan akuntabilitas, maka diperlukan penetapan kriteria
untuk mengukur kinerja pejabat publik, serta mekanisme pengawasan agar
dapat memastikan kinerja pejabat publik sesuai dengan standar atau
peraturan yang ada. Pengukuran akuntabilitas dapat dilakukan dengan cara
evaluasi kinerja dan penggunaan keuangan negara. Evaluasi dilakukan
guna mengetahui sejauh mana efektivitas proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan dan sejauh mana efisiensi dalam penggunaan
sumberdaya30
.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP) menjadi angin segar yang diharapkan dapat menyulap birokrasi yang
awalnya tertutup, menjadi terbuka. UU KIP dapat menjadi instrumen bagi
publik dalam mengawal kinerja birokrasi pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawab dalam pembangunan. Keterbukaan informasi
juga akan mendorong pemberdayaan masyarakat. Masyarakat yang
memiliki informasi terkait informasi yang mereka butuhkan akan menjadi
lebih berdaya31
.
Namun demikian dalam kenyataannya sangatlah mustahil untuk
membuka keseluruhan informasi dan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan politik kepada publik. Mengingat di dalam
penyelenggaraan negara terdapat tarik ulur serta tawar menawar
kepentingan politik.
Di dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F disebutkan
bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
28 Roberts, Alasdair. Blacked Out: Government Secrecy in the Information Age,
Cambridge University Press, New York, 2006.
29 Viviek Ramkumar, Uang kami Tanggungjawab Kami; Upaya masyarakat Sipil
untuk Memantau dan Mempengaruhi Kualitas Pembelanjaan Pemerintah, PATTIRO-
Ford Foundation, Jakarta, 2009.
30 I Gusti Agung Rai, Audit Kinerja pada Sektor Publik, Penerbit Selemba Empat,
Jakarta, 2008
31 Ahmad Nasir (et all), Media Rakyat; Mengorganisasi Diri dengan Informasi”,
Combine Resources Institute, Yogyakarta, 2007.
11
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Jelas
bahwa UUD 1945 menempatkan informasi dan berkomunikasi sebagai
hak warga negara.
Namun, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi masih “jauh
panggang dari api”. Hingga awal tahun 2008, Indonesia belum mempunyai
UU yang mengatur dengan rinci hak masyarakat untuk mengakses
informasi. Setelah berahun-tahun dibahas, baru pada 3 April 2008
pemerintah mengesahkan Undang-undang no 14 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
Terdapat beberapa alasan yang menjadikan negara kemudian
mengadopsi undang-undang ini. Faktor kampanye masyarakat, tekanan
dari organisasi antar pemerintah dan donor multilateral yang mendorong
nilai transparansi menjadikan negara mengadopsi undang-undang akses
informasi32
.
Dalam kasus Lumpur Lapindo, UU keterbukaan informasi publik
sebenarnya bisa digunakan sebagai rujukan untuk meminta informasi.
Namun, ada banyak kondisi yang mengakibatkan UU ini tidak
dilaksanakan dan masyarakat tidak mendapatkan informasi.
Kondisi ini diperparah dengan praktek jurnalisme di Indonesia yang
masih belum baik dan berkuasanya pemilik media dalam mengendalikan
pemberitaan. Dalam kasus Lumpur Lapindo, pemberitaan media
terpolarisasi. Media milik Bakrie mencoba membangun opini publik
bahwa kasus Lumpur Lapindo bukan disebabkan oleh kelalaian
perusahaan dalam melakukan pengeboran. Media lain menyebut Lumpur
Lapindo adalah kesalahan pengeboran dan sebagai alat untuk menyerang
Aburizal Bakrie sebagai pemilik.
Dalam kondisi semacam ini, publik tidak bisa mendapatkan informasi
yang benar. Publik akhirnya hanya menjadi silent majority. Mereka
dikepung oleh kekuatan besar dan justru tidak bisa menyuarakan aspirasi
mereka.
Keterbukaan Informasi Publik dalam Kasus Lapindo
Meskipun UU KIP sudah disahkan pada April 2008, namun banyak
lembaga pemerintah yang belum siap untuk mengimplementasikannya.
Keterbukaan informasi publik masih menjadi jargon dan belum
diimplementasikan. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari Uji Akses di 10
daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Koalisi Kebebasan Memperoleh
Informasi Publik. Dari 347 permintaan informasi, 152 ditolak, 93
diabaikan dan hanya 102 yang diterima/diberikan33
.
Ketertutupan lembaga juga terjadi dalam kasus Lumpur Lapindo.
Menurut Selamet Daroyni, Koordinator kampanye keterbukaan informasi
kasus Lumpur Lapindo, berbagai pihak yang terkait kasus itu bungkam
32 Notulensi diskusi UU KIP di Yayasan SatuDunia, 27/05/2010.
33 http://kebebasaninformasi.org/v3/2011/01/26/633/
12
ketika diminta informasi. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS) hanya merilis angka korban dari segi berkas tanah yang
bertransaksi dengan PT Minarak Lapindo guna mendapatkan uang ganti
rugi. November 2008, BPLS menyatakan jumlah berkas tanah dan
bangunan korban 13.585—korban dalam batasan kategori Perpres
14/2007. Tapi berapa jiwa yang sesungguhnya tercakup di situ, publik
hanya bisa berasumsi.
Publik tidak diberitahu berapa persisnya jumlah korban kini, berapa
keluarga, berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya. BPLS tidak pernah
mempublikasikan data tersebut. Wajar jika media pun menyebarkan
informasi simpang siur: korban kadang disebut berjumlah 30 ribu jiwa, 50
ribu jiwa, atau 70 ribu jiwa.
Koalisi untuk Lapindo kemudian meminta akses informasi publik di
dua ranah, yaitu (1) pemulihan (remedy) dan (2) mitigasi risiko.
Permintaan dilakukan dengan; 1. Berkirim surat untuk Permohonan
informasi, data dan fakta ke semua instansi badan publik, 2. Mendatangi
instansi untuk meminta waktu wawancara ke badan publik, 3. Berkirim
surat untuk meminta waktu guna melakukan wawancara ke badan publik.
Surat dikirim ke BPLS, Presiden RI (sekretariat negara), Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Kementrian Lingkungan Hidup,
Departemen ESDM, Departemen kesehatan, Deparemen kelautan dan
Perikanan , Kepolisian, Kejaksaan, KOMNAS HAM, BAPPENAS,
MEENKO KESRA, BNPB, Pemprov Jawa Timur, PemKab Sidoarjo, DPR
RI (TP2LS), DPRD Jatim (Pansus Lumpur), DPRD Sidoarjp (Pansus
Lumpur), PT Lapindo Brantas , PT Minarak Lapindo Jaya , Kementrian
Pemberdayaan pereampuan dan perlindungan anak, Departemena
Pendidikan Nasional
Landasan hukum yang digunakan adalah; UU No. 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Dari surat yang dikirim ke badan publik, hanya Departemen Sosial,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen ESDM, BPNP, KLH,
KOMNAS HAM yang memberikan respon.
Depsos membalas melalui surat dan menyatakan seluruhnya
sudah di serahkan ke BPLS.
Departemen Kelautan dan Perikanan melalui telp menjanjikan
untuk bertemu tapi tidak ada realisasi.
Dep ESDM mengarahkan untuk berkirim surat ke 4 Dirjend dan
tidak satupun yang direspon.
BNPB membalas surat dan mengatakan tidak terlibat dalam
penanganan Korban Lumpur Lapindo dan tidak menghimpun
dokumen apapun.
KLH menjawab surat dan memberikan sejumlah dokument
terkait dengan yang meraka kerjakan.
13
KOMNAS HAM Merespon secara Lisan dan sedang
menyelesaikan laporan penyelidikan.
Dari upaya mendatangi langsung, hasilnya:
Umumnya mereka mengetahui adanya UU KIP tersebut namun
implementasinya tetap saja mereka sebagian besar berdalih
bahwa mereka mempunyai peraturan yang harus di taati.
Proses administrasi di bagian humas, mulai dari yang sama sekali
cukup melihat id card sampai pengisian form dan menyerahkan
poto copy id card lengkap dengan kartu nama. Namun
kenyataannya walau semua itu dipenuhi, tetap saja data yang
diinginkan tidak didapat.
Sebagian besar instasi yang didatangi seperti cuci tangan, cukup
dengan mengatakan,” hubungi saja BPLS karena mereka yang
mengatur semuanya!,”. Bencana lumpur Lapindo sudah di
politisasi sehingga hanya BPLS yang berhak memberikan
informasi.
Kasus Lapindo dalam Perspektif Media
Dalam kasus pemberitaan Lapindo, kondisi pengaruh politik-ekonomi media sangat terasa. Aburizal Bakrie dengan cara yang sistematis mencoba mengubah persepsi publik tentang kasus lumpur Lapindo. Melalui Group Viva yang membawahi AN Tv, TV One dan Portal Berita Viva News, pemberitaan tentang Kasus Lapindo diarahkan ke hal-hal yang menguntungkan Aburizal Bakrie.
Ada upaya mengalihkan isu bahwa Lumpur Lapindo bukanlah kesalahan pengeboran, tetapi akibat dari gempa bumi Jogja. Dalam upaya “cuci tangan” media milik Bakrie tidak mau menggunakan istilah Lumpur Lapindo tetapi Lumpur Sidoharjo.
Sebagai contoh adalah pemberitaan Viva News dengan judul: “Ada Gunung Lumpur Purba di Sidoharjo”.
“Belum lama ini sekelompok ilmuwan geologi Rusia menuntaskan riset enam bulan mereka tentang lumpur Sidoarjo (LUSI) yang mengungkap temuan cukup mengejutkan. Mereka menyimpulkan Lusi disebabkan oleh aktifnya gunung lumpur purba di daerah itu, akibat dua gempa yang terjadi sebelumnya. Mereka juga menemukan bahwa terdapat dua kanal lumpur panas yang berpotensi meletus sewaktu-waktu34”
Berita lain di Viva News adalah: “Lumpur, Bakrie Keluarkan 6,2
Triliun”. Di dalam berita tersebut ditulis bahwa hingga Agustus, keluarga Bakrie telah mengeluarkan dana 6,2 triliun untuk bantuan korban luapam Lumpur Sidoharjo.
34
Berita Viva News pada Senin, 4 November 2010
14
“Vice President Relations Lapindo Brantas Yuniwati Teryana mengatakan, total dana itu dipakai untuk bantuan sosial, seperti bantuan pengungsian, pendidikan, dan lain-lain sebesar Rp 370 miliar. Penutupan lumpur Rp 873 miiar. Pengalihan lumpur ke Kali Porong Rp 1,4 triliun, dan sisanya untuk jual beli tanah dan bangunan35”
Melalui VivaNews.com, juga dilakukan upaya membangun opini publik bahwa karena Lumpur, kehidupan masyarakat meningkat.
"Kehidupan kami lebih meningkat. Tadinya rumah di kampung, sekarang sejak ada penggantian tanah, warga menjadi meningkat," kata Joko, ketua panitia acara buka bersama sekitar 6.000 korban lumpur di Kahuripan Nirwana Village, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu, 9 September 200936.
Di sisi lain, serangan terhadap Aburizal Bakrie juga dilakukan oleh
media massa. Media yang paling getol memberitakan kasus Lapindo adalah Media Group yang membawahi Media Indonesia dan Metro Tv. Media ini adalah milik Surya Paloh yang merupakan seteru Aburizal Bakrie ketika memperebutkan kursi Ketua Umum Golkar tahun 2009.
Salah satu berita yang ada di situs mediaindonesia.com adalah berita tentang: “Korban Lumpur Lapindo Tuntut Percepatan Ganti Rugi”
Sebanyak 15 orang perwakilan korban lumpur Lapindo dari dalam dan luar area peta terdampak melakukan aksi unjuk rasa memprotes keterlambatan pembayaran ganti rugi yang dilakukan PT Minarak Lapindo Jaya, Senin (27/12)37. Jika membandingkan pemberitaan di kedua media tersebut,
sangat berbeda sekali . Terlihat bagaimana media melakukan framing untuk membuat agenda setting dalam pemberitaan Lapindo. Agenda setting ini sangat terkait dengan kepentingan pemilik media
Kasus Lapindo untuk Kepentingan Politik
Kasus Lumpur Lapindo juga sarat dengan perseteruan politik untuk merebut kekuasaan. Hal ini setidaknya terepresentasikan dalam pemberitaan media di Viva News dan Media Indonesia.
Dalam pemberitaan Media Indonesia dengan Judul: “Demokrat usul
Koin untuk Presiden Diubah untuk Lapindo”
35
Berita VivaNews.com pada Minggu 6 September 2009.
36 Berita VivaNews.com pada Minggu 9 September 2009
37 Berita Media Indonesia.com, 27 Desember 2010.
15
Gerakan Koin untuk Presiden yang muncul di Komisi III DPR RI ternyata mendapatkan reaksi dari Ketua DPP Partai Demokrat Benny Kabur Harman. Menurutnya, daripada mengumpulkan Koin Presiden lebih baik Koin Lapindo.
"Lebih baik koin Lapindo," seru Benny ketika ditanya mengenai kotak koin yang muncul di area komisi III yang dipimpinnya itu. Pengumpulan koin semacam itu, lanjutnya, lebih baik dilakukan untuk korban lumpur Lapindo di Sidoarjo38.
Viva News yang merupakan milik Aburizal Bakrie juga menggunakan
media untuk kepentingan politik. Hal ini setidaknya terlihat dalam
pemberitaan berjudul: “Ical: Kasus Lumpur dan Pajak Dipolitisasi.
Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan
masalah lumpur Sidoarjo dan pajak selama ini sengaja dipolitisasi
untuk memojokkan dirinya.
Ical mengatakan, masalah Lumpur Sidoarjo sudah selesai di
pengadilan dan memiliki status hukum tetap, bahwa Lapindo tidak
bersalah. Meski demikian, keluarga Bakrie tetap membeli tanah milik
warga.
Ical menyadari jika dirinya bukan politisi mungkin tidak akan
diserang segencar itu. "Karena saya dipersepsikan kaya, Golkar, dan
saya katanya mau jadi capres jadinya begini," tandasnya.
Dari contoh pemberitaan tersebut sangat kental nuansa kepentingan
politik. Media digunakan sebagai alat propaganda untuk tujuan politik
menuju pemilihan presiden 2014.
38
Media Indonesia, 27 Januari 2011.
16
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, diperoleh kesimpulan:
A. Dalam kasus Lapindo Right to Know sangat tertutup rapat. Contoh
informasi korban & kerugian karena berimplikasi terhadap
pemulihan hak. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
hanya merilis angka korban dari segi berkas tanah yang
bertransaksi dengan PT Minarak Lapindo guna mendapatkan uang
ganti rugi. November 2008, BPLS hanya mendata korban
berdasarkan Perpres 14/2007. Hasilnya hanya mengeluarkan data
hanya 13.585 berkas tanah dan bangunan yang menjadi korban.
Koalisi untuk Lapindo meminta akses informasi publik terkait (1)
pemulihan (remedy) dan (2) mitigasi risiko. BPLS, Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Kementrian Lingkungan
Hidup, Departemen ESDM, Departemen kesehatan, Deparemen
kelautan dan Perikanan , Kepolisian, Kejaksaan, KOMNAS HAM,
BAPPENAS, MEENKO KESRA, BNPB, dll tidak memberikan
informasi yang diminta.
B. Media yang berada di bawah Group Viva (milik Bakrie) selalu
memberitakan hal-hal yang baik dari Kasus Lapindo. Di sisi lain,
Media Group (milik Surya Paloh mantan rival ARB di Munas
Golkar) memberikan kebalikannya.
Contoh pemberitaan terkait Lumpur Lapindo di Media Indonesia:
Korban Lumpur Lapindo Tuntut Percepatan Ganti Rugi
(Media, 27/12-2010)
Pengusaha Korban lumpur merasa ditipu Lapindo. (24
Maret 2011).
Contoh pemberitaan Viva News:
Korban Lumpur & Keluarga Bakrie Halal Bihalal (3
Oktober 2009)
Kehidupan Korban Lumpur Sidoharjo meningkat (9
September 2009)
Lumpur; Bakrie mengeluarkan 6,2 Triliun (6 September
2009)
BPLS Matangkan konseo wisata lumpur (2 April 2010)
C. Lapindo digunakan sebagai mesin politik untuk mendapatkan
simpati dari masyarakat secara umum maupun dukungan dari
korban. Memanfaatkan Lapindo sebagai isu politik. Lapindo
menjadi isu panas karena melibatkan kandidat kuat capres dan juga
menyangkut korban yang jumlahnya cukup besar Daya tarik kasus
lapindo cukup, banyak orang yang bukan korban namun simpati
kepada korban.
Contoh pemberitaan media:
Ical: Kasus lumpur dan penggelapan pajak dipolitisasi (25
Januari 2011)
17
Demokrat usul koin untuk presiden diganti koin untuk
lapindo (27 Januari 2011)
Implikasi Teori
Opini publik merupakan ranah kajian komunikasi yang memiliki
kedekatan dengan kehidupan politik. Media massa mengelolanya menjadi
aset yang dikelola dari waktu ke waktu sebagai daya jual. Hasil penelitian
McDonald di muka kajian menyebutkan bahwa opini publik mayoritas
dapat mempengaruhi keputusan seseorang ketika pemungutan suara. Hal
ini menggambarkan bagaimana kuatnya peran sebuah opini publik.
Pembentukan opini publik tidak semata-mata terjadi secara spontan.
Bahkan dalam beberapa hal pembentukannya melalui proses yang kaya
akan perencanaan. Di media massa kehadiran Teori Agenda Setting adalah
nyawa utamanya. Namun dalam pengelolaan komunikasi di tingkat yang
lebih tinggi teori ini pun menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dunia
politik selalu bergandengan tangan dengan isu. Mereka yang lihai
mengelola isu relatif dapat mempertahankan kekuasaannya.
Untuk menguatkan satu opini publik terhadap opini publik lainnya
terdapat aspek grup referensi dan norma sosial yang terdapat dalam
formulasi Teori Spiral Keheningan Noelle-Neumann. Oleh karenanya
untuk memperkuat opini perlu rencana terperinci menggerakkan kedua
aspek tersebut. Bukan hanya membiarkannya berjalan seperti bola salju
yang makin lama makin membesar dan tak terkendali.
18
Daftar Pustaka
Alisson Alexander, et all (ed), “Media Economic; Theori and Practices,
Lawrence Erlabaum Associates, New Jersey, 2004.
Anwar Arifin, “Komunikasi Politik dan Pers Pancasila”, Yayasan Media
Sejahtera, Jakarta.
Brent D Ruben dan Lea P. Stewart, Communication and Human Behavior,
Allan&Bacon A Viacom Company. USA. Edisi IV. 1998.
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta. 2008.
Charless R. Bergerr dan Steven H. Chaffee, “Handbook of Communication
Science”, Sage Publications, London, Edisi II 1989.
Dani Setiawan (ed), Lapindo; Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi, Wahana
Lingkungan Hidup, Jakarta, 1998, hal. 43.
Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2000.
Garnham, N., Contribution to a Political Economy of Mass
Communication, Media, Culture and Society 1(2): 123.
Griffin, EM, “A First Look At Communication Theory” 5th
Edition, Mc
Grow Hill Companies, USA, 2003.
Louis Alvin Day, “Ethics in Media Communication; Cases and
Controversies,” Thomson Wadsworth Group, Kanada. 2003.
Marianus Kleden, Transparansi & Silence; Sebuah Survey Undang-
undang Akses Informasi di 14 Negara, Tempo& Yayasan Tifa, Jakarta,
2008, hal v. terjemahan dari Transparency & Silence; A Survey of
Access to Information Law and Practices in Fourteen Countries.
McDonald, et al. The Spiral of Silence in 1948. Communication Research.
Vol 28 No. 2, April 2001.
McQuil, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Erlangga;
Jakarta, 1987.
Mike Wayne, Marxisme and Media Studies; Key Concepts and
Contemporary Trends, Pluto Press, USA. Chapter III “ Powers of
Caiptal: Hollywood Media-Industrial Complex”.
Robert M. Entman.Projections of Power: Framing News, Public Opinion,
and U.S. Foreign Policy. Chicago: University of Chicago Press.
Rudolph F. Verdeberber dan Kathleen S. Verdeberber, Communicate,
international Studen Edition, Thomson Wadsworth, USA.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komuniksi, Penerbit
Salemba. Jakarta. 2009. Edisi 9.
Vincent Mosco, Political economy of communications, Sage, London,
1996
Sumber Media
Berita Media Indonesia.com, 27 Desember 2010.
Berita Viva News pada Senin, 4 November 2010
19
Berita VivaNews.com pada Minggu 6 September 2009.
Berita VivaNews.com pada Minggu 9 September 2009
http://kebebasaninformasi.org/v3/2011/01/26/633/