1 Kanal | Edisi 7 | 2009 A Lelakon: Perempuan-Perempuan Tangguh Yok Opo Rek: Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie hal 3 - 4 hal 5 Kabar Anyar: Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa hal 6 - 7 Ketika Korban Masuk Bursa Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpangan- persimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol Porong- Gempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah “Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”, atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa apes luapan lumpur. Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan. Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura. Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”? “Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo. Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan. Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung. Cale Cale Cale Cale Cale g g g g g Cale Cale Cale Cale Cale g g g g g
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1Kanal | Edisi 7 | 2009
A
Lelakon:Perempuan-Perempuan Tangguh
Yok Opo Rek:Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie
hal 3 - 4
hal 5
Kabar Anyar:Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa
hal 6 - 7
Ketika KorbanMasuk Bursa
Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda
bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun
sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran
kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon
legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho
yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpangan-
persimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol Porong-
Gempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah
“Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”,
atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa
apes luapan lumpur.
Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu,
khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah
korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2,
yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan
Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus
merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum
Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H.
Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga
asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal
sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun
Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya.
Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak
resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi
Ilmiawan, warga Desa Permisan.
Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda.Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ PartaiKebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di PartaiBarisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura.
Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun
partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam
peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana
sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan
korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan
pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi
mereka menggandeng “saudara senasib”?
“Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan
penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas
ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus
persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk
usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk
perjuangan korban Lapindo.
Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalampergerakan warga korban lumpur guna menuntuttanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia seringterlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini diaingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui,perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewanlegislatif nanti akan bertentangan dengan partainya,Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab,“Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagaianggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.
Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekatirakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk timkampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain jugamenggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum,Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dansekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIPJabon. Iwan biasanya membentuk forum-forumpertemuan untuk menyampaikan visi-misi danmenangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisamenjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong,Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.
Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (LapisBudaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, JamboreC, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi RahmanSeblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net
Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa
Tapi, Iwan mengaku kesulitanmenyentuh warga korbanLapindo dari dalam peta
terdampak. Selain karena merekasendiri terpencar dan datanya susah
untuk didapat, juga karena, menurutIwan, warga korban di dalam peta lebih
pragmatis dalam merespon sosialisasicaleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebihenak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebihsusah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk
ke sana,” tutur Iwan.
Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo
dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota
dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap
nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai
Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota
dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda
kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta
maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu
ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua
korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak
memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan
saya aspirasikan,” ujarnya lagi.
Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasibkorban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam prosespencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawankorban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, danmereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangatanti politik uang (money politics), menurut Muli. Dankarena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muliberkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap harisaya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini sayaserius,” tuturnya.
Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nantiduduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara denganpolitik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalahmanusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muliberjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Sayaakan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidakikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisikorban,” tandasnya.
Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur inisepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi,caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akanmenjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadimengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi RakyatKorban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uangkontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Iasendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari PartaiBarisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesamakorban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakatdengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.
Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpurmenyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka,warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan halitu. Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya.Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim suksescaleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnyadiceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberisembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifapesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankanpermasalahan korban lumpur.
“Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRDSidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampumenyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa.Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akanmenciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akanmemperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.
Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punyapengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub)Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satutim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modalusaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi,setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan.“Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satucalon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapikenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak calegyang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur.Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.
Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakanparpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasuslumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinyadi Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satutim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanyaperubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkancaleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korbanlumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyakwarga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.
Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itutampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur.Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masihberharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untukmemperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan.Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan KompleksAngkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yangmaju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korbanyang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani danberkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,”ujarnya.
Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo,mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraupsuara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmenmemberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,”tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, wargayang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisamengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja,Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jikaakhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu,caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)
3Kanal | Edisi 7 | 2009
B
Perempuan-Perempuan
Bagaimana nasib satu keluarga
patrilinial di desa, jika suami,
sebagai tulang punggung keluarga,
tak berfungsi dengan baik atau
lumpuh sama sekali? Bagaimana
keluarga ini melanjutkan hidup
sehari-hari? Bagaimana sekolah
anak-anak mereka? Bagaimana
kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang
lainnya masih bisa diuraikan dengan jawaban terbata-
bata. Pertanyaan lebih ekstremnya: bagaimana jika
kelumpuhan ini terjadi massal? Anda akan
membayangkan hal-hal buruk.
Tapi ini bukan bayangan, bukan imajinasi. Ini fakta
yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat
kita, sangat dekat. Ini kisah ribuan suami yang
pekerjaannya direnggut bencana lumpur Lapindo,
sementara istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan
segala keterbatasannya, dipaksa menanggung beban
keluarga semuanya. Ya, semuanya.
Perempuan itu, Asfeiyah namanya (45 tahun), masih
tegak sebagai ibu rumah tangga di Pasar Baru Porong.
Suaminya Pak Sanep (45 tahun), sebelum bencana
Lapindo, adalah seorang pengrajin emas, tapi sudah lebih
dari tiga tahun tidak bekerja lagi.
“Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa
nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan
kenapa suaminya jadi pengangguran.
Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas
beberapa tahun sebelum bencana lumpur. Saat itu,
keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo.
Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja
serabutan.
“Kalau ada yang mengajak bekerja, (ya bekerja),
kalau tidak ya tidak. Nggak bisa cari sendiri,” jelas
Asfeiyah.
Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo,
Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang
minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order,
itu menurut itungan paling jarang bagi Asfeiyah.
“Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong),” jelas
Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit
tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi
orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling
cuma tambal baju alias vermak.
Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk
bertempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung
tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana
lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi
pilihan lain pada Asfeiyah
sekeluarga selain pindah ke
pengungsian di Pasar Baru
Porong. Dan ini bagai mimpi
buruk buatnya. Semua
anggota keluarganya tak
satupun yang bekerja dan dia satu-
satunya yang banting-tulang untuk
semua anggota keluarga.
Tiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu
rupiah untuk makan semua keluarga, dan beberapa bulan
terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu.
Hanya pada bulan 2-8 Asfeiyah bisa bekerja normal
sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan
dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa
menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000
rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti
enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4
pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.
Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena
sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih, Asfeiyah
dan keluarga-keluarga lain di Pasar Baru Porong yang
tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban
Tangguh
Kehidupannya di Renokenongo
memang sulit tapi di
pengungsian lebih sulit lagi.
Sekarang tak ada lagi orang
yang minta dibikinin baju,
kalau ada paling-paling cuma
tambal baju alias vermak.
4 Kanal | Edisi 7 | 2009
Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan
20 persen uang aset mereka. Meski tak
sesuai keinginan, warga tak bisa menolak
cara pembayaran yang dilakukan Minarak
Lapindo, yakni dengan cara mencicil.
Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang
keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia
menggunakan uang tersebut untuk modal dagang
pakaian. Meski tak ramai, Asfeiyah tiap harinya bisa
dapat pemasukan sekitar 30.000 rupiah sementara uang
untuk makan semua keluarganya adalah 50.000.
Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan
uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa
mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia
hapus.
“Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,”
kata Asfeiyah.
Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini
dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.