1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dari praktikum kinetika fermentasi dalam produksi minuman vinegar
ditinjau dari rata-rata jumlah mikroba/cc, Optical Density (OD), pH, dan total asam
dapat dilihat pada Tabel 1.
Kel Perlakuan
Waktu∑ mikroba tiap petak
Rata-rata
Rata-rata/∑ tiap cc
OD pHTotal asam1 2 3 4
B1
Sari apel + S.cereviceae
N0N24N48N72N96
1921407043
1420506044
1821424040
1235456325
15,7524,254458,2538
6,3.104
9,7.104
17,6.107
23,3.107
15,2.107
0,1776-0,1453-0,2194-0,5796-0,3009
2,963,113,133,203,29
18,04820,1620,54417,08816,32
B2
Sari apel + S.cereviceae
N0N24N48N72N96
4262586873
4460616578
4564737075
4368607568
43,563,56369,573,5
1,74 x 108
2,54 x 108
2,52 x 108
2,78 x 108
2,94 x 108
0,1124-0,1453-0,2194-0,5796-0,1304
3,013,093,123,133,32
19,9720,1620,5420,7422,08
B3
Sari apel + S.cereviceae
N0N24N48N72N96
23216081132
26335492138
244466109133
27546795133
253861,7594,25133,25
108
15,2 x 107
24,7 x 107
3,77 x 108
5,33 x 108
0,21710,0476-0,2155-0,57930,2191
2,943,153,193,243,57
18,0518,2418,6216,3215,36
B4
Sari apel + S.cereviceae
N0N24N48N72N96
62678990100
4960649288
44556395114
4762626784
50,56169,58696,5
2,02 x 108
2,44 x 108
2,78 x 108
3,44 x 108
3,86 x 108
0,14500,6964-0,2179-0,36290,0359
2,283,123,123,163,53
15,3616,3218,2415,3616,32
B5
Sari apel + S.cereviceae
N0 0 0 0 0 0 0 0,3116 2,52 19,39N24 38 40 38 32 37 1,48 x 108 -0,1453 3,12 19,58N48 32 35 28 38 33,25 1,33 x 108 -0,0260 3,12 20,16N72 68 58 71 92 72,25 2,89 x 108 0,2155 3,18 20,16N96 50 60 71 70 62,75 2,51 x 108 0,0359 3,68 21,50
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kinetika Fermentasi dalam Produksi Minuman Vinegar
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat rata-rata mikroba/cc, Optical Density (OD),
pH, dan total asam dari N0 hingga N96. Pada N0, bisa dilihat bahwa rata-rata jumlah
mikroba/cc yang paling besar diperoleh kelompok B4 yakni sebesar 2,02 x 108,
sedangkan rata-rata jumlah mikroba/cc paling kecil diperoleh kelompok B5 yakni
sebesar 0. Pada N24, rata-rata mikroba/cc paling besar diperoleh kelompok B2 yaitu
2,54 x 108, sedangkan jumlah mikroba/cc paling kecil diperoleh kelompok B1 yaitu 9,7
x 104. Pada N48, rata-rata mikroba/cc paling besar diperoleh kelompok B4 yaitu 2,78x
108, sedangkan jumlah mikroba/cc paling kecil diperoleh kelompok B1 yaitu 17,6 x
107. Pada N72, rata-rata mikroba/cc paling besar diperoleh kelompok B3 yaitu 3,77 x
108, sedangkan jumlah mikroba/cc paling kecil diperoleh kelompok B1 yaitu 23,3 x
107. Kemudian pada N96, rata-rata mikroba/cc paling besar diperoleh kelompok B3 yaitu
5,33 x 108, sedangkan jumlah mikroba/cc paling kecil diperoleh kelompok B1 yaitu 15,2
x 107.
Untuk nilai OD (Optical Density) dapat dilihat bahwa pada N0, nilai OD tertinggi
dihasilkan oleh kelompok B5 yaitu 0,3116, sedangkan nilai OD terendah dihasilkan
oleh kelompok B2 yaitu 0,1124. Pada N24, nilai OD tertinggi dihasilkan oleh kelompok
B4 dimana nilai yang dihasilkan yaitu 0,6964, sedangkan nilai OD terendah dihasilkan
oleh kelompok B1, B2, dan B5 dimana didapatkan hasil yang sama yaitu -0,1453. Pada
N48, nilai OD tertinggi dihasilkan oleh kelompok B5 dimana nilai yang dihasilkan sama
yaitu -0,0260, sedangkan nilai OD terendah dihasilkan oleh kelompok B1 dan B2
dimana didapatkan hasil yang sama yaitu -0,2194. Pada N72, nilai OD tertinggi
dihasilkan oleh kelompok B5 dimana nilai yang dihasilkan sama yaitu -0,2155,
sedangkan nilai OD terendah dihasilkan oleh kelompok B1 dan B2 dimana didapatkan
hasil yang sama yaitu -0,5796. Pada N96, nilai OD tertinggi dihasilkan oleh kelompok
B3 yaitu 0,2979, sedangkan nilai OD terendah dihasilkan oleh kelompok B1 dimana
didapatkan hasil yang sama yaitu -0,3009.
Pada nilai pH, dapat dilihat bahwa pada N0, nilai pH tertinggi dihasilkan oleh kelompok
B2 yaitu 3,01; sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok B4 yaitu 2,28.
Pada N24, nilai pH tertinggi dihasilkan oleh kelompok B3 yaitu 3,15; sedangkan nilai pH
terendah dihasilkan oleh kelompok B2 yaitu 3,09. Pada N48, nilai pH tertinggi dihasilkan
oleh kelompok B3 yaitu 3,19; sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok
B1 yaitu 3,09. Pada N72, nilai pH tertinggi dihasilkan oleh kelompok B3 yaitu 3,24;
sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok B2 yaitu 3,13. Pada N96, nilai pH
tertinggi dihasilkan oleh kelompok B5 yaitu 3,68; sedangkan nilai pH terendah
dihasilkan oleh kelompok B1 yaitu 3,29.
Untuk nilai total asam dapat dilihat bahwa pada N0, nilai total asam tertinggi dihasilkan
oleh kelompok B2 yaitu 19,97 mg/ml; sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh
kelompok B4 yaitu 15,36 mg/ml. Pada N24, nilai total asam tertinggi dihasilkan oleh
kelompok B1 dan B2 didapatkan hasil yang sama yaitu 20,16 mg/ml; sedangkan nilai
pH terendah dihasilkan oleh kelompok B4 yaitu 16,32 mg/ml. Pada N48, nilai total asam
tertinggi dihasilkan oleh kelompok B1 dan B2 dimana didapatkan hasil yang sama yaitu
20,54 mg/ml; sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok B4 yaitu 18,24
mg/ml. Pada N72, nilai total asam tertinggi dihasilkan oleh kelompok B2 yaitu 20,74
mg/ml; sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok B4 yaitu 15,36 mg/ml.
Pada N96, nilai total asam tertinggi dihasilkan oleh kelompok B2 yaitu 22,08 mg/ml;
sedangkan nilai pH terendah dihasilkan oleh kelompok B3 yaitu 15,36 mg/ml. Untuk
melihat hubungan antara beberapa parameter yang ada diatas, maka dibuatlah grafik
hubungan antara parameter-parameter tersebut. Berikut merupakan beberapa grafik
antara parameter-parameter yang ada.
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Jumlah Sel dan Total Asam
15 16 17 18 19 20 21 22 230
100000000200000000300000000400000000500000000600000000
Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam
B1B2B3B4B5
Total Asam
Jum
lah
Sel
Berdasarkan Gambar 1 diatas, dapat dilihat hubungan antara jumlah sel/cc dengan total
asam. Tetapi, dari grafik yang dihasilkan tidak ditemukan pola yang sama tiap
kelompok atau dengan kata lain pada grafik diatas tidak ditemukan korelasi yang tepat.
Hal ini dikarenakan hasil yang didapatkan pada praktikum kinetika kloter B ini
fluktuatif.
Gambar 2. Grafik Hubungan antara Jumlah Sel dan Waktu
Berdasarkan Gambar 2 diatas, dapat dilihat hubungan antara jumlah sel/cc dengan
waktu. Hubungan antara jumlah sel/cc dengan waktu terlihat cenderung berbanding
lurus. Semakin lama waktunya, semakin meningkat pula sel mikroba. Hal tersebut dapat
dilihat pada kelompok B2, B3, dan B4. Sedangkan pada kelompok B1 dan B5 grafik
yang dihasilkan mengalami peningkatan pada waktu tertentu yang kemudian mengalami
penurunan.
Gambar 3. Grafik Hubungan antara OD dan Waktu
N0 N24 N48 N72 N960
100000000200000000300000000400000000500000000600000000
Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu
B1B2B3B4B5
Waktu
Jum
lah
Sel
N0 N24 N48 N72 N96
-0.8000-0.6000-0.4000-0.20000.00000.20000.40000.60000.8000
Grafik Hubungan OD dengan Waktu
B1B2B3B4B5
Waktu
OD
Berdasarkan Gambar 3 diatas, dapat dilihat hubungan antara OD (optical Density)
dengan waktu. Ternyata pada grafik tersebut terlihat bahwa hubungan antara keduanya
tidak membentuk pola yang sama dimana mengalami peningkatan dan penurunan yang
tidak beraturan. Pada beberapa kelompok juga dihasilkan nilai OD yang minus pada
waktu tertentu. Hal ini dikarenakan hasil yang didapat ketika praktikum terlalu
fluktuatif.
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Jumlah Sel dan OD
Berdasarkan Gambar 4 diatas, dapat dilihat hubungan antara jumlah sel/cc dengan OD.
Pada grafik tersebut, ternyata juga tidak ditemukan pola yang jelas karena hasil yang
tidak beraturan, Hasil yang didapatkan mengalami peningkatan dan penurunan bahkan
ada hasil yang minus pada beberapa rentang waktu. Hal ini dapat terjadi karena hasil
yang didapatkan saat praktikum terlalu fluktuatif.
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.80
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
Grafik Hubungan Jumlah Sel dengan OD
B1B2B3B4B5
OD
Jum
lah
Sel
Gambar 5. Grafik Hubungan antara Jumlah Sel dengan pH
2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4 3.6 3.80
100000000200000000300000000400000000500000000600000000
Hubungan Jumlah Sel dengan pH
B1B2B3B4B5
pH
Jum
lah
Sel
2. Berdasarkan Gambar 5 diatas, dapat dilihat hubungan antara jumlah sel/cc dengan
pH. Pada grafik tersebut, dapat diketahui bahwa hubungan antara keduanya relatif
berbanding lurus. Semakin tinggi jumlah selnya semakin meningkat pula pH.
Namun, pada kelompok B1 dan B5 ditemukan adanya penurunan dimana saat pH
meningkat, jumlah sel/cc justru menurun. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukanlah pengamatan pada kinetika fermentasi dalam produksi
minuman vinegar. Bahan baku yang digunakan dalam praktikum ini adalah sari apel.
Sari apel ini kemudian difermentasi menjadi minuman beralkohol yang disebut dengan
cider apel. Sebelum membahas lebih jauh tentang cider apel, pengetrahuan tentang
fermentasi juga perlu diketahui terlebih dahulu.
Fermentasi secara umum adalah suatu perubahan struktur kimia dari bahan organik
dengan memanfaatkan agen-agen biologis terutama enzim sebagai biokatalis serta
melibatkan mikroorganisme yang menghasilkan enzim tersebut (Bailey & Ollis, 1987).
Selain itu, proses fermentasi juga merupakan suatu proses yang sering dilakukan pada
bahan pangan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang memiliki citarasa yang
lebih menarik. Winarno et al (1980) mengatakan bahwa fermentasi merupakan suatu
proses yang menghasilkan CO2 dan alkohol sebagai hasil pemecahan gula oleh aktivitas
mikroorganisme. Semua mikroorganisme yang membantu dalam proses fermentasi pada
dasarnya akan menggunakan karbon sebagai substrat atau sumber makanan. Setelah
sumber karbon yang digunakan telah habis, mikroorganisme akan menggunakan
nitrogen untuk proses metabolisme selanjutnya. Karena itulah bahan pangan yang dapat
digunakan untuk media fermentasi adalah jenis bahan pangan yang kaya akan
kandungan karbon dan nitrogen. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil
fermentasi antara lain adalah jenis substrat, jenis mikroorganisme, dan proses
metabolisme mikroorganisme tersebut (Winarno et al, 1980).
Pada praktikum ini, bahan baku yang digunakan adalah sari buah apel. Penggunaan
buah apel dalam praktikum ini sesuai dengan teori Winarno et al (1980) yang
mengatakan bahwa salah satu buah yang memiliki kandungan gula cukup tinggi adalah
apel sehingga buah ini cocok digunakan sebagai substrat dalam fermentasi. Hal ini
disebabkan karena gula merupakan salah satu faktor yang penting dalam berlansungnya
proses fermentasi. Gula yang berasal dari buah apel ini selanjutnya akan diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi alkohol dan CO2. Dalam praktikum kali ini, buah apel diolah
juicer. Sebelum apel dimasukkan ke dalam juicer, apel tersebut harus dicuci terlebih
dahulu dengan tujuan agar bersih dan bebas dari kontaminasi secara fisik. Apel yang
sudah bersih selanjutnya dimasukkan ke dalam juicer. Proses penghancuran yang
dilakukan pada praktikum ini sudah sesuai dengan teori Ikhsan (1997) yang mengatakan
bahwa proses penghancuran dilakukan untuk mengeluarkan gula yang terkandung
dalam buah apel.
2.1. Cara kerja
Pada awalnya sari apel sebanyak 250 ml ditempatkan dalam labu erlenmeyer dan
disterilisasi dengan menggunakan suhu 80°C selama 30 menit. Sterilisasi sari apel ini
memiliki tujuan untuk membunuh mikroorganisme kontaminan sehingga nantinya
inokulum S. Cerevisiae dapat tumbuh dengan baik tanpa gangguan dari mikroorganisme
lain, dan dihasilkan cider apel dengan kualitas yang diharapkan (Realita & Debby,
2010). Gambar sterilisasi cider apel yang dilakukan pada prkatikum dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 6. Sterilisasi Cider Apel Malang Kloter A
Sari apel malang yang sudah di sterilisasi selama 30 menit selanjutnya didinginkan
terlebih dahulu hingga suhunya turun. Sari apel harus dibiarkan dingin terlebih dahulu
beberapa saat dengan tujuan agar mencegah kemungkinan terjadinya kegagalan
fermentasi akibat khamir S. cerevisiae mati. Khamir S. cerevisiae tidak tahan panas
sehingga sangat beresiko mati apabila langsung dimasukkan ke dalam cider apel yang
sudah disterilisasi (Muljohardjo, 1988). Proses pendinginan dapat dilihat pada gambar 2
dibawah. Setelah itu, biakan yeast sebanyak 30 ml diambil dengan menggunakan pipet
volume yang telah disterilisasi dan kemudian diinokulasikan pada sari apel. Proses
inokulasi dilakukan secara aseptis dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi oleh
mikroorganisme-mikroorganisme pathogen atau yang tidak diinginkan selama proses
fermentasi (Dwidjoseputro, 1994). Biakkan yeast tadi dimasukkan kedalam beaker
glass secara aseptik juga yang kemudian akan dianalisa. Analisa yang yang dilakukan
antara lain adalah pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer,
pengukuran Optical Density dengan spektrofotometer, pengukuran pH menggunakan
pH meter, dan pengukuran total asam dengan cara titrasi. Sari apel yang masih tersisa
selanjutnya diinkubasi di-shaker pada suhu ruang (25-30˚C) selama 5 hari. Setiap 24
jam, sampel akan diambil 30 ml untuk diuji dan dianalisa kembali. Hal tersebut
dilakukan pada hari ke-0 (N0), hari ke-1 (N24), hari ke-2 (N48), hari ke-3 (N72), dan hari
ke-4 (N96).
Gambar 7. Proses pendinginan
Jenis khamir yang digunakan sebagai inokulum dalam praktikum ini adalah jenis
Saccharomyces cerevisiae. Yeast merupakan suatu jenis mikroorganisme eukariotik
yang pertumbuhannya diawali dengan proses ekspansi (peningkatan volume) dimana
hal tersebut sesuai dengan teori dari Cooney et al.,(1981). Saccharomyces cereviceae
dipilih sebagai inokulum karena dapat menfermentasikan glukosa dalam buah apel
untuk menghasilkan alkohol dan CO2 (Rahman,1992). Walaupun demikian penggunaan
jenis khamir ini juga memiliki kelemahan. Menurut Wang et al (2004) dimana
walaupun khamir S. cerevisiae berkeja optimal untuk memecah glukosa, jenis gula yang
terkandung di dalam buah apel tidak hanya glukosa melainkan juga fruktosa dan
sukrosa. Kandungan fruktosa didalam buah apel terbilang cukup tinggi yaitu mencapai
70 %. Khamir yang memiliki sifat lebih menyukai glukosa, secara otomatis akan
mencerna kandungan fruktosa secara lebih lama. Sehingga resiko timbulnya
konsentrasi residu gula dari fruktosa menjadi tinggi. Residu gula ini yang nantinya
dapat menyebabkan off flavor di produk akhir. Tetapi terlepas dari itu semua, Bennion
& Hughes, (1970) menjelaskan bahwa pengunaan yeast memiliki kelebihan lain,
sehingga sering digunakan dalam proses fermentasi. Kelebihan tersebut antara lain
memberi rasa dan aroma/ flavor yang khas pada produk fermentasi, serta dapat menahan
pelepasan gas menjadi lebih lama.
Sari apel yang sudah diinokulasi dengan S. cerevisiae yang masih berada didalam
Erlenmeyer diinkubasi dengan perlakuan shaker dengan penggoyangan pada suhu ruang
yaitu 25 - 30°C. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Fardiaz (1992) yang
mengatakan bahwa suhu yang optimum agar khamir dapat tumbuh dengan baik adalah
pada suhu 25 - 30°C. Sementara itu suhu maksimum untuk pertumbuhannya adalah 37 -
47°C. Pada jurnal “Genetic and phenotypic diversity of autochthonous cider yeasts in a
cellar from Asturias” (R. Pando et al., 2009), dikatakan bahwa selain S. cerevisiae,
cider apel dapat dibuat pula dengan Saccharomyces pastorianus, Saccharomyces
bayanus, Saccharomyces mikatae, serta Saccharomyces kudriavzevii. Proses inkubasi
menggunakan shaker ini memiliki beberapa tujuan antara lain:
1. Membantu pertumbuhan yeast yang merupakan agen fermentasi
2. Menjamin homogenitas suspensi sel-sel mikroorganisme di dalam media fermentasi
3. Mengecilkan ukuran gelembung-gelembung udara agar zona antar permukaan lebih
besar untuk transfer oksigen dan untuk mengurangi difusi
4. Mempertahankan kondisi media yang stabil
(Said, 1987) dan (Stanburry & Whitaker, 1984)
Selama proses inkubasi berlangsung, erlenmeyer yang digunakan ditutup dengan
aluminium foil. Dimana hal tersebut sesuai dengan teori Rahman (1992) yang
mengatakan bahwa wadah yang diletakkan di-shaker harus diberi penutup dengan
tujuan untuk menjaga kesterilan. Namun demikian, meskipun ditutup, udara dari luar
harus dapat tetap masuk ke dalam wadah. Selain aluminium foil, kapas dan busa juga
dapat digunakan sebagai penutup. Selain memperhatikan penutup, kecepatan shaker
juga harus tetap dijaga media tidak bergolak yang mana dapat mengakibatkan terjadinya
proses aerasi.
2.1.1. Pengukuran biomassa dengan Haemocytometer
Pengukuran biomassa khamir di dalam media cider apel pada fermentasi ini dilakukan
dengan menggunakan alat haemocytometer. Jumlah sel Saccharomyces cereviceae
dalam cider apel dapat diketahui dengan menggunakan enumerasi mikroskopik metode
Petroff-Hauser. Dimana perhitungan mikroskopik dilakukan dengan pertolongan kotak-
kotak skala haemocytometer (Fardiaz, 1992). adalah suatu ruang hitung yang terdiri atas
petak–petak berukuran kecil yang berfungsi untuk menghitung jumlah sel di bawah
mikroskop. Metode ini biasanya digunakan untuk sel yang ukurannya sebesar ukuran sel
darah merah. Alat ini bisa menghitung jumlah atau kepadatan sel dalam suatu media
dengan kondisi konsentrasi rendah (Hadioetomo, 1993).
Gambar 8. Pengisian kedalam Haemocytometer
Haemocytometer memiliki sembilan kotak yang terpisahkan oleh 3 garis. Di dalam
masing – masing sembilan kotak itu ada 16 kotak kecil. Jumlah sel yang dihitung yakni
sel – sel khamir di dalam 4 kotak besar yang berdekatan (Atlas, 1984). Pertama – tama
sampel yang hendak diteliti diambil dengan pipet tetes kemudian dituangkan ke atas
haemocytometer. Penuangan sampel ini dengan catatan tidak boleh terdapat gelembung
karena nantinya akan menyulitkan penghitungan jumlah biomassa. Setelah sampel
dituangkan, sampel ditutup dengan deck glass setebal 0,1 mm. Haemocytometer
kemudian diletakkan di bawah mikroskop untuk dilakukan penghitungan kepadatan
mikroorganisme yang digunakan. Menurut Chen & Chiang (2011), sel yang dihitung
sebagai data kepadatan biomassa, adalah sel – sel yang berada pada kotak 4 x 4 dengan
3 garis lurus sebagai pembatas di masing – masing tepinya. Chen & Chiang (2011) juga
menambahkan keunggulan dari haemocytometer adalah murah dan dapat digunakan
untuk skala kecil. Selain itu alat tersebut cukup teliti yaitu dengan ketelitian mencapai
84,6 % (Atlas, 1984).
Penghitungan nilai rata-rata per jumlah mikroorganisme tiap petak dilakukan dengan
cara merata-rata jumlah mikroorganisme di empat buah kotak 4x4 yang telah ditentukan
ketika pencarian. Sedangkan nilai rata-rata per jumlah mikroorganisme setiap cc nya
didapatkan dengan cara membagi rata-rata per jumlah mikroorganisme tiap petak
dengan volume petak. Diketahui volume petak adalah sebesar 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1
mm. Didapatkan nilai rata-rata per jumlah mikroorganisme tiap petak sebanding dengan
nilai rata-rata per jumlah mikroorganisme tiap cc nya. Pengukuran laju kinetika
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
proses fermentasi dapat menghasilkan etanol dari hasil reduksi gula dari substrat sari
apel malang.
2.1.2. Penentuan OD (Optical Density)
Selain dilakukan pengukuran jumlah mikroba, dalam praktikum ini juga dilakukan
pengukuran Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer. Prinsip dari
penggunaan spektrofotometer adalah dengan membandingkan absorbsi energi radiasi
panjang gelombang dari larutan sampel terhadap larutan standar. Panjang gelombang
yang digunakan perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan kemampuan zat yang diuji
untuk mengabsorbsi energi radiasi pada panjang gelombang yang digunakan (Ewing,
1976). Pengukuran absorbansi pada praktikum ini menggunakan panjang gelombang
660 nm. Dengan demikian panjang gelombang yang digunakan pada praktikum ini
sudah sesuai dengan teori Sevda & Rodrigues (2011) dalam jurnal yang berjudul
“Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L)
Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production” yang mengatakan
bahwa bahwa pengukuran OD terhadap yeast dengan jenis Saccharomyces cereviceae
adalah dengan menggunakan panjang gelombang 660 nm.
2.1.3. Pengukuran pH Minuman Vinegar/ Cider Apel
Analisa berikutnya adalah pengukuran pH minuman vinegar atau cider apel. Analisa ini
dilakukan dengan mengambil larutan sampel sebanyak 10 ml yang kemudian
dimasukkan ke dalam beaker glass. Selanjutnya pH sampel cider apel malang diukur
dengan menggunakan pH meter dan hasil dari setiap kelompok dicatat dan
dibandingkan.
Gambar 9. Penggunaan pH meter
Didalam jurnal “Status of Winer Production from Guava (Psidium Guajava L) : A
traditional Food in India” (Gurvinder & Pooja, 2011), dikatakan bahwa tingkat pH
pada media pertumbuhan S. cerevisiae sangatlah penting. Hal tersebut dikarenakan
berpengaruh pada kesuksesan proses fermentasi sebab secara langsung mempengaruhi
pertumbuhan khamir S. cerevisiae. Sehingga dapat mempengaruhi jumlah etanol yang
terbentuk dan karakteristik sensori dari produk akhir yang diinginkan.
2.1.4. Penentuan Total Asam di dalam Sampel Cider Apel selama Fermentasi
Selain analisa OD dan pH, juga dilakukan uji total asam selama fermentasi dilakukan
dengan menggunakan metode titrasi. Pertama - tama 10 ml sampel cider apel diambil
dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Titrasi dilakukan dengan indikator PP hingga larutan
sampel berubah warna menjadi kecoklatan. Volume NaOH yang digunakan untuk titrasi
akan digunakan untuk mengethaui total asam selama fermentasi dengan memasukkan
data tersebut ke dalam rumus berikut ini :
Total asam (mg/ml) : ml NaOH x Normalitas NaOH X 192
10 ml sampel
Pengukuran asam ini dilakukan bersamaan dengan penghitungan biomassa
menggunakan alat haemocytometer. Penggunaan NaOH 0,1 N juga telah sesuai dengan
pernyataan Petrucci & Suminar (1987) bahwa titrasi dilakukan dengan larutan standar
berupa basa atau asam kuat yang telah diketahui konsentrasinya. Menurut Solomon
(1983) indikator PP akan mengalami perubahan warna dari colorless / tidak berwarna
pada kondisi asam atau netral, menjadi kecoklatan di kondisi basa di saat titik akhir
titrasi. Indikator ini berkeja baik pada kisaran pH 8-9. Hasil titrasi sampel cider apel
dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Hasil titrasi
2.2. Pembahasan hasil2.2.1. Hubungan Antara Jumlah Mikroorganisme dan Waktu
Jumlah mikroba yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok berbeda meskipun
menggunakan bahan dan kultur yang sama dimana hal tersebut dapat dilihat pada tabel
hasil pengamatan. Ternyata hal tersebut juga terjadi setiap harinya. Pada Gambar 2,
dapat diketahui bahwa jumlah mikroba akan mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan waktu kecuali pada kelompok B1 dan B5. Hal tersebut menunjukkan
bahwa selama proses inkubasi terjadi pertumbuhan yeast. Menurut Campelo & Isabel
(2004), pertumbuhan yeast ini disebabkan karena adanya nutrisi pada media yang
memanfaatkannya untuk tumbuh serta adanya kondisi aerob yang mendukung
pertumbuhan yeast. Inkubasi yang dilakukan dengan kondisi aerob dan tekanan tinggi
juga akan mendukung pertumbuhan yeast Saccharomyces cereviceae.
Menurut jurnal yang berjudul “Effects of temperature, pH and sugar Concentration on
the growth parameters of Saccharomyces cerevisiae, S. kudriavzevii and their
interspecific hybrid” dikatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dari yeast, yaitu pH, suhu, dan nutrient yang terkandung dalam media
yang dalam hal ini adalah gula (Noe et al, 2009). Kandungan senyawa volatil seperti
contohnya kandungan etanol selama proses fermentasi dipengaruhi oleh suhu fermentasi
dan selama terjadinya proses fermentasi, dihasilkan pula asam laktat dan asam asetat.
Oleh sebab itu, produksi asam volatil seperti diatas harus dicegah selama fermentasi
(Herrero et al, 2006).
Dalam jurnal yang berjudul “Effect of Spesific Growth Rate on Fermentative Capacity
of Baker’s Yeast”, pada proses fermentasi yang menghasilkan alkohol, jumlah mikroba
akan mengalami penurunan dalam waktu tertentu setelah pada awalnya mengalami
peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena alkohol merupakan metabolit sekunder
yang bersifat toksik bagi mikroorganisme itu sendiri. Oleh sebab itu, proses fermentasi
yang menghasilkan alkohol biasanya tidak diinginkan. Selain alasan tersebut, penurunan
jumlah mikroba juga dapat disebabkan karena substrat yang digunakan untuk
pertumbuhan mikroba sudah habis. Hasil yang diperoleh ketika praktikum, untuk
kelompok B1 dan B5 sudah sesuai dengan teori, sedangkan pada kelompok lainnya
belum sesuai karena tidak mengalami penurunan jumlah mikroba. Ketidaksesuaian ini
dapat disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam menghitung jumlah mikroba
(Noe et al, 2009).
Angka yang menunjukkan pertumbuhan spesifik dari suatu mikroorganisme spesifik per
satuan waktu disebut dengan kecepatan pertumbuhan spesifik atau spesific growth rate.
Kecepatan pertumbuhan spesifik ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ln Xt = µt + ln X0
dimana, X0 = jumlah mikroba awal sebelum inkubasi
Xt = jumlah mikroba akhir setelah inkubasi
t = waktu dilakukannya inkubasi
µ = kecepatan pertumbuhan spesifik
(Stanburry & Whitaker, 1984)
Pada saat praktikum, garis pada haemocytometer ketika dilihat dengan mikroskop tidak
terlalu jelas. Hal inilah yang menyulitkan proses pengukuran karena sulit mendapatkan
garisnya. Sehingga bisa juga menjadi salah satu penyebab kesalahan pembacaan.
Fardiaz (1992), menjelaskan bahwa salah satu penyebab ketidakjelasan garis ini antara
lain karena sampel yang terlalu pekat sehingga diperlukan proses pengenceran terlebih
dahulu. Dimana proses pengenceran dapat dilakukan dengan mengambil sebanyak 1 ml
cider apel kemudian dilarutkan dalam 9 ml aquades dan di-vortex hingga larutan
tersebut homogen. Jumlah sel yang terhitung dari hasil pengenceran tersebut yang
terlihat melalui haemocytometer kemudian dikalikan dengan 10. Proses pengenceran ini
bertujuan untuk memudahkan proses penghitungan biomassa menggunakan
haemocytometer. Walaupun demikian, pada praktikum ini tidak dilakukan pengenceran
tersebut. Berikut adalah foto dari penampakan haemocytometer ketika dilihat dengan
menggunakan mikroskop milik kelompok B5 dimulai dari N0 hingga N96.
N0 N24 N36 N72 N96
2.2.2. Hubungan Antara Jumlah Mikroorganisme dan OD
Sebelumnya telah diketahui melalui teori bahwa nilai OD menunjukkan kekeruhan
suatu larutan. Laily et al (2004) mengatakan bahwa timbulnya kekeruhan pada cider
apel menunjukkan adanya pertumbuhan yeast yang ada di dalamnya. Hubungan antara
keduanya adalah berbanding lurus dimana jika semakin tinggi jumlah mikroba maka
kekeruhan juga akan semakin meningkat yang ditujukan dengan nilai OD yang semakin
tinggi. Selain itu, ketika pertumbuhan mikroba berada dalam fase lag maka nilai OD
akan stabil. Ketika pertumbuhan mikroba berada dalam fase eksponensial atau fase log
maka nilai OD akan meningkat karena terjadi penambahan jumlah mikroba dalam
larutan tersebut. Ketika pertumbuhan mikroba memasuki fase stasioner maka nilai OD
akan mengalami penurunan yang diikuti dengan penurunan bobot biomassa kering
(Laily et al, 2004). Hoseney (1994) juga menambahkan bahwa selama proses
fermentasi, larutan menjadi semakin keruh dan kental sebagai akibat dari penurunan pH
dan perubahan fase cair menjadi jenuh. Berdasarkan teori di atas, seharusnya nilai OD
yang didapatkan ketika praktikum pada N0 mengalami peningkatan hingga N72 dan
kemudian mengalami penurunan pada N96. Peningkatan OD menunjukkan adanya
pertumbuhan yeast dan penurunan OD menunjukkan yeast sudah berada dalam fase
kematian. Fase kematian ini disebabkan karena sudah munculnya produk metabolit
yang dalam hal ini adalah alkohol (Mahreni & Sri, 2011). Pada Gambar 4 dapat dilihat
mengenai hubungan antara jumlah sel dan OD dapat dilihat bahwa hasilnya tidak
beraturan. Sehingga hasil yang didapatkan pada praktikum ini belum sesuai dengan teori
tersebut. Hal tersebut disebabkan karena data yang didapat fluktuatif. Namun,
Anagnostopoulos et al. (2010) pada jurnalnya yaitu “Effect of Growth Conditions on
Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells” mengatakan bahwa seharusnya
ketika semakin tinggi jumlah mikroba, maka nilai OD juga semakin meningkat.
Menurut Pomeranz & Meloan (1994), hasil OD yang tidak beraturan hingga didapatkan
pula data yang minus dapat disebabkan karena ketidaktepatan spektrofotometer, seperti
cuvet yang digunakan tergores atau kotor, ukuran cuvet tidak sama, penempatan cuvet
tidak tepat, terdapat gelembung gas dalam larutan, panjang gelombang yang digunakan
tidak sesuai dengan yang tertera dalam instrumen, dan penyiapan sampel yang tidak
sempurna. Khopkar (2002) juga mengatakan bahwa hasil yang fluktuatif ini dapat
terjadi pula karena kesalahan dalam pengukuran OD akibat adanya debu yang
mengganggu kerja sistem optik, adanya sinar yang tersesat (stray light) yang dapat
menumbuk sel. Kemungkinan lainnya adalah karena sari apel yang digunakan tidak
disaring terlebih dahulu sehingga ampas apel sebagian terikut dan mempengaruhi
pembacaan spektrofotometri. Hal - hal tersebut dapat menimbulkan hasil pengukuran
yang berbeda sehingga grafik yang dihasilkan tidak sesuai dengan teori.
2.2.3. Hubungan Antara Jumlah Mikroorganisme dan pH
Susanto dan Bagus (2011) dalam jurnal “Pengaruh Varietas Apel (Malus Sylvestris) dan
Lama Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cereviceae Sebagai Perlakuan Pra-
Pengolahan Terhadap Karakteristik Sirup” mengatakan bahwa semakin tinggi jumlah
mikroba maka keadaan akan semakin asam yang ditandai dengan pH yang semakin
turun. Hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi selain dihasilkan alkohol
juga akan dihasilkan asam-asam organik. Pada analisa hubungan antara jumlah mikroba
dan pH dapat dilihat pada gambar 5. Pada gambar tersebut tampak bahwa pada
kelompok B1 nilai pH tertinggi dihasilkan pada N96 yaitu sebesar 3,29 ketika jumlah
mikroba sebesar 15,2 x 107. Pada kelompok B2 nilai pH tertinggi dihasilkan pada N96
yaitu sebesar 3,32 ketika jumlah mikroba sebesar 2,94 x 108. Pada kelompok B3 nilai
pH tertinggi dihasilkan pada N96 yaitu sebesar 3,57 ketika jumlah mikroba sebesar 5,33
x 108. Pada kelompok B4 nilai pH tertinggi dihasilkan pada N96 yaitu sebesar 3,53
ketika jumlah mikroba sebesar 3,86 x 108. Pada kelompok B5 nilai pH tertinggi
dihasilkan pada N96 yaitu sebesar 3,18 ketika jumlah mikroba sebesar 2,89 x 108.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan hubungan antara
jumlah mikroba dan pH berbanding lurus dimana pH tertinggi dihasilkan ketika jumlah
mikroba tertinggi pula.
Jika dilihat, ternyata hasil yang diperoleh saat praktikum kurang sesuai dengan teori
yang ada di dalam jurnal “Pengaruh Varietas Apel (Malus Sylvestris) dan Lama
Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cereviceae Sebagai Perlakuan Pra-Pengolahan
Terhadap Karakteristik Sirup” dimana pH yang dihasilkan tiap kelompok secara garis
besar mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah mikroba.
Ketidaksesuaian hasil praktikum dengan teori ini disebabkan karena proses fermentasi
pada praktikum ini tidak ditambahkan Acetobacter aceti, dimana mikroba tersebut
berperan dalam memproduksi asam selama proses fermentasi (Kwartiningsih dan
Nuning, 2005).
2.2.4. Hubungan Antara Jumlah Mikroorganisme dan Total Asam
Pada gambar 1 dapat dilihat grafik hasil analisa hubungan antara jumlah
mikroorganisme dan total asam. Pada kelompok B1 nilai total asam tertinggi diperoleh
pada N48 yaitu sebesar 20,54 mg/ml ketika jumlah mikroba sebesar 17,6 x 107. Pada
kelompok B2 nilai total asam tertinggi diperoleh pada N96 yaitu sebesar 22,08 mg/ml
ketika jumlah mikroba sebesar 2,94 x 108. Pada kelompok B3 nilai total asam tertinggi
diperoleh pada N48 yaitu sebesar 18,62 mg/ml ketika jumlah mikroba sebesar 24,7 x 107.
Pada kelompok B4 nilai total asam tertinggi diperoleh pada N48 yaitu sebesar 18,24
mg/ml ketika jumlah mikroba sebesar 2,78 x 108. Kemudian pada kelompok B5 nilai
total asam tertinggi diperoleh pada N96 yaitu sebesar 21,50 mg/ml ketika jumlah
mikroba sebesar 2,51 x 108. Melihat data seperti yang didapat tersebut, tidak dapat
diketahui korelasi yang jelas antara jumlah mikroba dan total asam karena data yang
diperoleh terlalu fluktuatif.
Jika melihat teori dari Susanto dan Bagus (2011), dikatakan bahwa semakin tinggi
jumlah mikroba maka keadaan akan semakin asam. Dengan demikian, berdasarkan teori
tersebut dapat dikatakan bahwa semakin tinggi jumlah mikroorganisme, maka nilai total
asam juga semakin tinggi. Pernyataan ini juga didukung oleh teori dari Sreeramulu et al
(2000), dimana dikatakan bahwa selama proses fermentasi asam-asam organik akan
melepas proton (H+) sehingga menyebabkan penurunan pH yang menunjukkan
peningkatan total asam. Walalupun data yang didapat terlalu fluktuatif, terdapat
beberapa data yang sesuai dengan teori karena total asam tertinggi diperoleh pada hari
terakhir dimana jumlah mikroba juga tertinggi. Namun demikian, tetap masih ada
beberapa kelompok yang hasilnya belum sesuai dengan teori tersebut. Ketidaksesuaian
hasil praktikum tersebut dapat disebabkan karena kesalahan praktikan selama
melakukan percobaan.
2.2.5. Hubungan Antara OD dan Waktu
Pada Gambar 3 dapat dilihat hasil analisa hubungan antara OD dan waktu yang
digambarkan melalui grafik. Pada kelompok B1 OD tertinggi dihasilkan saat N0 yaitu
sebesar 0,1776. Pada kelompok B2 OD tertinggi dihasilkan saat N0 yaitu sebesar
0,1124. Pada kelompok B3 OD tertinggi dihasilkan saat N96 yaitu sebesar 0,2191. Pada
kelompok B4 OD tertinggi dihasilkan saat N24 yaitu sebesar 0,6964. Pada kelompok B5
OD tertinggi dihasilkan saat N0 yaitu sebesar 0,3116. Dengan data hasil tersebut dapat
diketahui bahwa hubungan antara OD dan waktu tidak memiliki korelasi yang jelas. Hal
ini dapat disebabkan karena data yang didapat saat praktikum sangat fluktuatif.
Menurut Clark (2007), dikatakan bahwa apabila waktu fermentasi semakin lama, maka
jumlah sel semakin banyak, penampakan cairan semakin keruh, OD juga akan
meningkat. Sementara hasil yang fluktuatif bisa terjadi karena kesalahan dalam
pengukuran OD akibat adanya debu yang mengganggu kerja sistem optik, adanya stray
light yang dapat menumbuk sel (Khopkar, 2002). Kemungkinan lainnya adalah karena
sari apel yang digunakan tidak disaring dulu sehingga ada sebagian ampas apel yang
tercampur dan mempengaruhi pembacaan spektrofotometri.
3. KESIMPULAN
Fermentasi merupakan proses pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2 dalam
suatu media.
Yeast Saccharomyces cereviceae merupakan jenis mikroorganisme yang umum
digunakan dalam fermentasi yang menghasilkan alkohol dan tumbuh optimal pada
suhu 25o-30oC, pH 4-5, dan suasana lingkungan yang aerob .
Haemocytometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur jumlah mikroba
dalam suatu cairan dimana konsentrasi sel pada cairan tersebut rendah.
Faktor - faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yeast adalah nutrisi, suhu, dan pH
didalam media.
Nilai Optical Density (OD) yang terukur akan meningkat dari hari ke-0 hingga hari
tertentu sebelum akhirnya terjadi penurunan dimana sel memasuki fase kematian.
Semakin tinggi jumlah mikroorganisme maka kekeruhannya akan semakin tinggi
pula yang ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai OD
Jumlah mikroorganisme akan mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari
tertentu sebelum kemudian mengalami penurunan.
Semakin tinggi jumlah mikroorganisme maka pH akan semakin menurun dan
kandungan total asam akan semakin meningkat.
Semarang, 1 Juni 2014Praktikan Asisten Dosen:
- Stella Mariss H- Meilisa Lelyana D- Chrysentia A.L.M- Katharina Nerissa- Andriani Cintya S
Raymundus Pito W11.70.0095
4. DAFTAR PUSTAKA
Anagnostopoulos, V. A., B. D. Symeopoulos, and M.J. Soupioni.(2010). Effect of
Growth Conditions on Biosorption of Cadmium and Copper by Yeast Cells. Global
NEST Journal, Vol 12, No 3, pp 288-295.
Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental and Applications. Mac Millard
Publishing Company. New York.
Bailey, J.E., & Ollis, D.F. (1987). Biochemical Enginering Fundamentals. Mc Graw-
Hill Kogakusha Ltd, Tokyo.
Bennion, M & O, Hughes. 1970. Introductory Foods 6th Edition. Collier Macmillan
Publisher. London.
Campelo, A.F and Isabel, B.(2004). Fermentative Capacity of Baker’s Yeast Exposed to
Hyperbaric Stress.
Chen, Yu-Wei and Pei-Ju Chiang.(2011). Automatic Cell Counting for
Hemocytometers through Image Processing.World Academy of Science, Engineering
and Technology 58.
Clark, Jim. (2007). Hukum Beer-Lambert.
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/spektrum_serapan_ultravi
olet-tampak__uv-vis_/hukum_beer_lambert/
Cooney, C.L.; Rehm, H.J. and Reed, G. 1981. Biotechnology volume 1. VCH.
Weinheim
Ewing, G.W. 1976. Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Growhill Book
Company. USA.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hadioetomo, R. S. 1993. Mikobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar
Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kartohardjono, S.; Anggara;
Herrero, M., Garcia, L. A., and Diaz, M. (2006). Volatile Compounds in Cider:
Inoculation Time and Fermentation Temperature Effects.
Hoseney, R. C. (1994). Pasta and Noodles Principles of Cereal Science & Technology
Second Edition. American Association of Cereal Chemists. Minnesota.
Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan Gula Terhadap
Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming. Semarang.
Khopkar, S. M. (2002). Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Pers.
Jakarta.
Kwartiningsih, E. & Ln. Nuning S.M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi
Vinegar. Ekuilibriu, 4(1): 8-12.
Laily, N., Atariansah, D. Nuraini, S. Istini, I. Susanti, dan L. Hartono. (2004). Kinetika
Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasterianum pada Kultur
Kocok.
Mahreni dan Sri S. (2011).Kinetika Pertumbuhan Sel Sacharomyces cerevisiae dalam
Media Tepung Kulit Pisang. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN:1411-4216.
Noe, F. A. L, Sandi O., Amparo Q., and Eladio B. (2009).Effects of Temperature, pH,
and Sugar Concentration on the Growth Parameters of Saccharomyces cerevisiae, S.
kudriavzevii and Their Interspecific Hybrid. International Journal of Food Microbiologu
131, 120-127.
Petrucci, R.H., & Suminar. (1987). Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta:Erlangga.
Pomeranz, Y. & C.E. Meloan. (1994). Food Analysis: Theory and Practise. Von
Nostrand Reinhold Company. New York.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.
Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama
Sarana Perkasa. Jakarta.
Sevda, S. and Rodrigues L. (2011).Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains
During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava
Wine Production. Journal Food Process Technol, 2:4.
Sreeramulu, G., Zhu, Y., & Knol, W. (2000). Kombucha Fermentation and It’s
Antimicrobial Activity. Journal Agriculture Food Chemistry. 886: 65-73
Stanburry, P.F. and Whitaker. (1984). Principles of Fermentation Technology.
Pergamon Press. New York.
Susanto, W.H & Bagus R.S. (2011). Pengaruh Varietas Apel (Malus Sylvestris) dan
Lama Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cereviceae Sebagai Perlakuan Pra-
Pengolahan Terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian 2(3): 135-142.
Winarno, F.G.; S. Fardiaz dan D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
*Rumus Rata-rata / Ʃ tiap cc
Jumlah sel/cc= 1Volume petak
× rata−rata jumlah MO tiap petak
Volume petak = 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm
= 0,00025 mm3
= 0,00000025 cc
= 2,5 x 10-7 cc
Kelompok B5
N0 :
Jumlah sel/cc = 1
2,5 x 10−7 x 0 = 0 sel/cc
N24:
Jumlah sel/cc = 1
2,5 x 10−7 x 37 = 1,48 x 108 sel/cc
N48:
Jumlah sel/cc = 1
2,5 x 10−7 x 33,25 = 1,33 x 108 sel/cc
N72:
Jumlah sel/cc = 1
2,5 x 10−7 x 72,25= 2,89 x 108 sel/cc
N96:
Jumlah sel/cc = 1
2,5 x 10−7 x 62,75 = 2,51 x 108 sel/cc
*Total Asam
Total Asam =ml NaOH × Normalitas NaOH ×192
10 ml sampel
Kelompok B5
N0
Total Asam = 10,1 x 0,1 x 192
10 = 19,39 mg/ml
N24
Total Asam = 10,2 x 0,1 x 192
10 = 19,58 mg/ml
N48
Total Asam = 10,5 x 0,1 x192
10 = 20,16 mg/ml
N72
Total Asam = 10,5 x 0,1 x192
10 =20,16 mg/ml
N96
Total Asam = 11,2 x0,1 x192
10 = 21,50 mg/ml
5.2. Abstrak Jurnal
5.3. Laporan Sementara