EFEKTIFITAS PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENURUNKAN
TINGKAT STRES PADA LANJUT USIA
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Psikologi
Profesi (S-2) Jurusan Psikologi Klinis Fakultas Psikologi
Oleh :
SRI MULIANI, S.PSI
T100135012
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
iii
PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kemagisteran di
suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan Saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis
diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan Saya diatas,
maka akan Saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.
Surakarta, 23 November 2016
Penulis
SRI MULIANI
T100135012
1
PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES
PADA LANSIA DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI SURAKARTA
Abstrak
Pelatihan ini bertujuan untuk mengetahui Efektivitas Regulasi Emosi untuk menurunkan tingkat
stres pada lansia. Partisipan penelitian adalah lansia yang menghuni Panti Wredha Darhma
Bhakti Surakarta, sebanyak 18 Partisipan. Metode penelitian dalam penelitian ini mengunakan
metode eksperimen. Metode pengumpulan data menggunakan Perceived Stress Scale,
wawancara dan observasi. Hasil hipotesis dengan menggunakan analisis uji friedmant tes
diketahui Asymp. Sig 0.000 (p<0,05), untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pres, post,
follow up pada kelompok eksperimen. Hasil tersebut menujukkan adanya perbedaan signifikan
sebelum dan setelah diberikan perlakuan. Dengan demikian hasil pelatihan regulasi emosi efektif
menurunkan stres pada lansia. Selain itu hasil uji menggunakan Mean whitney u Test untuk
menguji post test Kelompok eksperimen dan post test pada kelompok kontrol dengan Z sebesar -
2 .135 dengan Asymp.Sig 0,033 (P< 0.05), dengan demikian menunjukkan hasil adanya
perbedaan signifikan antara post test kelompok eksperimen dan post test kelompok kontrol.
Sedangkan hasil hipotesis, menggunakan Mean whitney u Test, untuk menguji follow up
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan Z sebesar -1, 993 dengan Asymp. Sig. 0.046
(p<0.05), dengan demikian hasil menujukkan adanya perbedaan signifikan antara fullow up
kelompok eksperimen dan follow up kelompok kontrol. Berdasarkan dari hasil analisi data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pelatihan regulasi emosi efektif dapat menurunkan tingkat
stres pada lansia dengan katagori berat berubah menjadi katogeri sedang dan kategori sedang
menurun skor menjadi stres ringan.
Kata Kunci: Stres Pada Lansia, Pelatihan Regulasi Emosi.
Abstract
This training aims to determine the effectiveness of Emotion Regulation to reduce stress levels in
elderly. Reseach participants are elderly people who inhabit Panti Wredha Dharma Bakhti
Surakarta, a total of 18 participants. The method used in this study is an experimental method.
Methods of data collection using the Perceived Stress Scale, interviews and observations. The
results of hypothesis by using test analysis friedman test found is known Asymp. Sig 0.000
(p<0,05), to determine whether there is a difference of pre, post, follow-up of the experimental
group. These results indicate a significant difference before and after being given treatment.
Accordingly the results of the training of emotion regulation effectively reduce stress in the
elderly In addition the test results using the Mann Whitney U test, to post test experimental group
and the control group with Z at -2 .135 with Asymp.Sig 0.033 (P <0.05) with Z at -2 .135 and
Asymp.Sig 0.033 (P <0.05), thus the results indicated that there were significant differences
between post test experimental group and post test control group. Whereas results of the
hypothesis, using the Mann Whitney U Test, to test follow-up of the experimental group and the
control group with Z at -1, 993 and Asymp. Sig. 0.046 (P <0.05), These results indicate a
significant difference between follow-up experimental group and follow-up control group. Based
on the results of data analysis, we can conclude that the training of emotion regulation can
2
effectively reduce stress levels in elderly that high category fall into the moderate category and
the category of being dropped to a low stress.
Keywords: Stress In Elderly, Emotion Regulation Training.
1. PENDAHULUAN
Proses penuaan (aging) adalah suatu hal yang alamiah yang terjadi seiring dengan
penurunan fungsi fisik, kondisi mental, sosial, dan kognitif Kusumoputro (2006). Pertumbuhan
populasi lanjut usia (lansia) di Indonesia dari tahun ketahun jumlahnya cenderung
meningkat. Menjadi tua adalah suatu proses alamiah, nyata dan pasti akan dialami oleh
semua individu di dunia apabila berumur panjang. Menurut UU RI. No. 13 tahun 1998 usia
lanjut adalah mereka yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Pada fase usia lanjut sudah
tentunya banyak perubahan yang akan terjadi (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Perubahan dalam kehidupan yang dihadapi oleh individu lanjut usia berbeda-beda antara
satu dengan yang lain, sehingga hal tersebut memiliki potensi sebagai salah satu sumber
masalah seperti: kemampuan adaptasi lansia berkurang, kondisi kesehatan menurun, dan
perubahan fungsi fisik. Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri karena kondisi fisik akan
berpengaruh juga pada emosi seseorang. Oleh sebab itu, lansia perlu mengatur emosi secara
cerdas dalam menghadapi perubahan situasi lingkungan yang akan menimbulkan stres
(Suardiman, 2011).
Berdasarkan data dari Kementrian Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) tahun 2007,
penduduk lansia Indonesia merupakan nomor empat terbesar di dunia setelah China, India,
dan Amerika. Berikut persentase lanjut usia Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Lansia Di Indonesia
No Tahun Jumlah % Usia harapan hidup
1. 2006 19 Juta/Jiwa 8, 90 % 66,2 Th
2. 2010 23, 9 Juta/Jiwa 9,77 % 67,4 Tn
3. 2020 28, 8 Juta/Jiwa 11,34 % 71, 1Th
Indonesia terdapat 5 Provinsi yang memiliki jumlah lansia tertinggi antara lain: Daerah
Istimewa Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi.
3
Memasuki masa lanjut usia emosi sangat berperan dalam menentukan sikap. Oleh
sebab itu, diperlukan kesiapan mental dalam mengelola emosi, karena usia lanjut akan memiliki
tuntutan dalam menghadapi perubahan situasi lingkungan. Keterbatasan dan perubahan yang
muncul pada lansia seperti bergantung pada orang lain misalnya, proses pencarian nafkah
terhenti, dan sulitnya untuk berinteraksi secara luas menjadikan sumber masalah dan
keputusaan pada individu lansia hal ini yang disebabkan lansia kurang memiliki kesiapan mental
dalam menghadapi perubahan tersebut. Dengan demikian, menyebabkan lansia mudah
mengalami stres (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Stres merupakan suatu respon yang adaptif terhadap situasi yang dirasakan
menentang dan dipersepsikan mengancam kesehatan seseorang (Nursalim, 2013). Insidensi
stres di Indonesia pada tahun 2008, tercatat 10 % dari total penduduk Indonesia. Tingkat stres
umumnya diakibatkan oleh tekanan ekonomi atau kemiskinan. Stres pada lansia dapat
diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu masalah yang disebabkan oleh perubahan hidup dan
kemunduran fisik, mengalami kesepian, pensiun (berhenti dari aktivitas biasanya), kematian
pasangan, dan putusnya hubungan dengan orang-orang yang dicintai atau orang terdekat serta
kurangnya dukungan sosial keluarga (Suardiman, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 3 September dan
4 Oktober (2015) kepada beberapa karyawan tetap, perawat magang, bagian kepagawaian tata
boga di Panti Jempo Werdha Darma Bakhti Surakarta menerangkan bahwa: sebagian besar
lansia yang menghuni Panti mayoritasnya adalah lansia yang terlantar. Pada umumnya lansia
dibawa masuk ke Panti berdasarkan rujukan dari tokoh masyarakat (Kepala desa), saudara
terdekat, tetangga, dan pihak Dinas Sosial, serta bagi lansia non Muslim mendapatkan rujukan
dari perwakilan gereja (Pendeta).
Kriteria lansia yang di Panti Werdha bervariasi antara lain: terdapat lansia dengan
status belum pernah menikah, sudah menikah namun keluarganya meninggal suami atau istri,
ada yang beragama muslim dan non muslim serta ada yang memiliki keluarga dekat namun
tidak merawat sehingga dengan alasan tersebut lansia dititipkan di Panti Jompo. Jumlah
lansia yang menghuni Panti sebanyak 83 orang, namun, yang terlibat aktif dalam aktivitas
seperti senam lansia, ceramah islami sekitar 40 orang.
Kondisi lansia secara umum rata-rata mengalami perubahan penurunan fungsi fisik,
antara lain: terganggunya masalah kesehatan seperti takanan darah tinggi (hipertensi), sering
4
sakit kepala, susah tidur, diabetes dan sebagian besar mengalami bedstres. Selain mengalami
gangguan secara fisik, lansia juga mengalami gangguan secara psikologis yaitu lansia lebih
sensitif, lansia moodnya mudah berubah-ubah seperti marah atau sedih bila ada masalah. Lansia
memiliki konflik internal seperti merasa jenuh, merasa diabaikan oleh orang terdekat, serta
kematian pasangan, stres karena terhentinya aktivitas dan ketergantungan pada orang lain.
Sedangkan konflik eksternal antara lain: berkonflik dengan sesama teman di panti sehingga hal
tersebut dapat menganggu hubungan interaksi sosial, yang dapat memicu munculnya reaksi
emosional yang tak terkendali.
Hasil pengambilan data awal mulai tanggal (23 s/d 26-11-15) dengan menggunakan
skala DASS, menunjukkan berbagai permasalahan psikologis pada lansia. Hasil data awal dapat
dilihat pada gambar 1. Menunjukkan bahwa benar adanya permasalahan psikologis yaitu salah
satunya stres yang terjadi pada lansia di Panti Jompo Werdha Darma Bakhti Surakarta.
Gambar 1. Persentase Lansia mengalami stres.
Kondisi psikologis yang dialami oleh lansia akibat perubahan yang terjadi dalam hidup
perlu diatasi, sehingga lansia dapat menerima keadaan dirinya, dan mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial. Melihat permasalahan yang begitu komplek pada lansia akibat
perubahan penurunan fungsi baik psikis dan fisik, maka dari itu dibutuhkan intervensi yang
efektif untuk menurunkan stres yang dialami lansia.
Salah satu intervensi yang diberikan dalam penelitian ini adalah pelatihan regulasi
emosi. Regulasi emosi adalah kemampuan individu dalam mengatur, memonitor, mengevaluasi
dan memodifikasi reaksi emosional untuk mencapai tujauan hidup. Kemampuan ini sangat
dibutuhkan oleh setiap individu dalam mengelola emosinya dalam menghadapi berbagai stressor
dalam hidup (Gross, 2006).
33%
17%
50%
stres sangatberat
Stres berat
stres sedang
5
Regulasi emosi yang tepat dapat membantu individu mengembangkan atau membina
kompetensi sosial, sehingga mampu mengatasi munculnya tekanan, sedangkan regulasi emosi
yang kurang tepat dapat menimbulkan isolasi sosial atau adanya penolakan diri dari lingkungan,
yang kemudian dapat menyebabkan stres psikososial (Wang & Saudino, 2011). Individu yang
mememiliki regulasi emosi yang tepat dapat mengetahui apa yang dipikirkan, dirasakan dan
dapat menjadi suatu landasan dalam melakukan tindakan. Dengan demikian, mampu
mengevaluasi emosi-emosi dirasakan sehingga dapat bertindak secara rasional bukan secara
emosional,ser ta memiliki kemampuan untuk memodifikasi emosi yang dialami.
Salah satu keunggulan intervensi regulasi emosi pada usia lanjut adalah: (1) Tubuh akan
bergerak atau timbul gerakan selama berlangsung emosi. Demikianlah dalam suatu kejadian
tertentu tubuh kita akan bergerak ketika ketawa, gembira, bersedih, seperti dalam satu
permainan, pemakaman, atau satu gerakan sebagai respon yang menyenangkan. (2) Individu
akan termotivasi atau bertindak, yang didorong oleh emosi seperti: takut, marah, atau gembira.
Tujuannya adalah individu lanjut usia memiliki perasaan yang nyaman dan seimbang, karena
emosi merupakan suatu kondisi yang dapat mengerakkan aktivitas fisik, perubahan dalam
ekspresi wajah, gerak sikap, sikap badan dan perasaan subjektif (Coon & Mitterer, 2007).
Pelatihan ini dapat mengunakan metode yang sederhana sehingga dapat diaplikasikan
lansung pada lansia, antara lain metodenya: seperti berkomunikasi dua arah, role play, dan
diskusi kelompok, serta metode ceramah, sharing, dan teknik pernafasan sehat (Mangkunegara,
2003). Dalam pelatihan ini menggunakan alat-alat bantu dengan demikian akan mudah dipahami
oleh lansia.
Uraian di atas menjelaskan bahwa regulasi emosi berperan penting untuk lansia, karena
pada fase lanjut usia banyak memiliki perubahan dalam hidup seperti berkurangnya kemandirian
dan penurunan fungsi. Sehingga kondisi tersebut menyebabkan lansia mengalami stres dan
mempengaruhi kondisi fisik dan kondisi emosional. Oleh sebab itu pelatihan efektifitas regulasi
emosi di perlukan untuk meningkatkan emosi positif untuk lansia. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk meneliti apakah efektifitas pelatihan regulasi emosi dapat menurunkan tingkat
stres pada lansia.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, muncul hipotesis : sebagai berikut: Pelatihan
regulasi emosi efektif menurunkan tingkat stres pada lansia di Panti Jempo Werdha Dharma
Bakhti Sukarta.
6
1.1 Stres pada lansia
Atkinson (2000) menyebutkan stres merupakan suatu peristiwa yang dirasakan
membahayakan individu, pada saat dihadapkan pada situasi yang menimbulkan tekanan.
Maka individu akan menunjukkan reaksi baik secara fisiologis maupun psikologis. Lebih
lanjut Lazarus (Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa stres adalah kejadian-kejadian fisik
maupun psikologis yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap gangguan fisik,
maupun distres emosional. Stres juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu
harus berubah dan menyesuaiakan diri terhadap suatu peristiswa yang terrjadi (Holmes,
2004).
Menurut Taylor (2003) dan juga disebutkan oleh Davis & Nelson dapat disimpulkan
bahwa tanda-tanda atau gejala stres pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut di
bawah ini ( Agoes, dkk., 2003): a) Aspek Emosional (Perasaan). Meliputi: merasa cemas,
merasa ketakutan, merasa mudah marah, merasa suka murung, dan merasa tidak mampu
menanggulangi. b) Aspek Kognitif (Pikiran). Meliputi: Penghargaan atas diri rendah, takut
gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah bertindak memalukan, khawatir akan masa
depannya, Mudah lupa, dan emosi tidak stabil. c) Aspek perilaku sosial. Meliputi: Jika
berbicara gagap atau gugup dan kesukaran bicara lain, enggan bekerja sama, tidak mampu
rileks, menangis tanpa alasan yang jelas, bertindak impulsif atau bertindak sesuka hati, mudah
kaget atau terkejut, frekuensi merokok meningkat, penggunaan obat-obatan dan alkohol
meningkat, mudah celaka, dan kehilangan nafsu makan atau selera makan berlebihan. d)
Aspek fisiologis. Meliputi: berkeringat, detak jantung meningkat, menggigil atau gemetaran,
gelisah atau gugup, mulut dan kerongkongan kering, mudah letih, sering buang air kencing,
mempunyai masalah dengan tidur, diare/ ketidaksanggupan mencerna, perut melilit atau
sembelit, sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan sakit pada leher dan atau punggung bawah.
Lansia adalah individu yang berada dalam tahapan usia old age atau yang
dimaksud dengan tahapan usia akhir, dengan kisaran usia dimulai dari 60 tahun keatas
(Santrock, 2006). Pada setiap individu akan mengalami suatu proses penuaan (aging), yang
terbagi menjadi dua yaitu bagian: primer dan sekunder (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
1.2 Pelatihan Regulasi emosi
Pelatihan keterampilan regulasi emosi, dalam penelitian ini pelatihan merupakan
suatu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dengan memberikan pengertian, pengetahuan,
7
dan juga sebuah ketetrampilan dalam mengontrol, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi-
reaksi emosional sehingga individu (peserta lansia) dapat mengendalikan emosinya. Dengan
demikian dapat menghambat munculnya emosi-emosi negatif baik dari dalam maupun luar
diri, pada saat berinteraksi dengan lingkungan. Adapun bentuk keterampilan yang akan
dilatih dalam pelatihan ini Gross (2006) adalah sebagai berikut: 1) Kemampuan memonitor
emosi (emotion monitoring). Keterampilan memonitor emosi adalah berupa keterampilan
yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan seseorang agar memahami dan
meningkatnya kedasaran yang keseluruhan proses yang terjadi pada dirinya seperti:
pemikiran, perasaan dan segala bentuk tindakan;. 2) Keterampilan mengevaluasi emosi
(emotion evaluating). Keterampilan mengevaluasi emosi diberikan dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan individu dalam mengatur dan menata serta menyeimbangkan
reaksi emosional yang ada dalam diri; 3) Keterampilan memodifikasi emosi (emotion
modifications). Keterampilan modifikasi emosi ini diberikan untuk meningkatkan kemampuan
individu dalam mengubah emosi sedemikian rupa agar mampu memotivasi diri untuk
menghadapi tekanan atau menghadapi perasaan-perasaan seperti rasa sedih, marah, dan
cemas.
1.3 Pendekatan pelatihan regulasi emosi
Pelatihan regulasi emosi dapat dilakukan dengan mengunakan pendekatan yaitu,
pendekatan belajar melalui pengalaman (experiental learning). Teori experiental belajar
merupakan suatu proses belajar dimana pengetahuan di rancang melalui transformasi
pengalaman (experience). Dan pengetahuan merupakan hasil gabungan, dalam experiental
learning pengalaman memiliki peranan utama dalam proses belajar dan penekan ini yang
membedakan experiental learning teori belajar lainnya (wahyuni, 2005).
Adapun metode yang sudah pernah digunakan dalam pelatihan keterampilan regulasi
emosi sesuai dengan pendapat sikula, Aesijah & Setyowati (2014) sebagai berikut: 1)
Komunikasi efektif ini merupakan suatu proses komunikasi timbal-balik antara perserta
dengan interview, dengan metode mendengarkan aktif dan mengulang kembali perkataan
dalam bentuk ucapan, serta proses ini berlangsung dengan komunukasi dua arah. 2) Metode
konferensi adalah Suatu bentuk pertemuan formal yang digunakan sebagai wadah untuk
melakukan diskusi dan konsultasi tentang suatu hal/ peristiwa penting. Metode konferensi
menekankan adanya diskusi kelompok kecil materi pelajaran yang tersruktur dan melibatkan
8
peserta aktif. 3) Metode studi kasus. Pada metode ini perserta diminta agar mampu untuk
melakukan indentifikasi masalah-masalah dan dapat merenkomendasi/saran dalam pemecahan
masalahnya. Metode studi kasus ini adalah suatu bentuk uraian tertulis maupun lisan tantang
masalah yang nyata maupun yang sudah terbukti dari hipotesis. 4) Metode Role play adalah:
bentuk yang sebelumnya diberitaukan kepada peserta kesan dan pesan yang akan diperagakan
dalam pelatihan. Dalam memainkan peran melibatkan dua atau lebih perserta untuk memain
perannya. Peran yang di peragakan oleh masing-masing peserta menjelaskan situasi masing-
masing peran yang sesuai dengan konteks hipotesis tersebut. 5) Stimulations and games
adalah; Suatu metode yang dapat membantu peserta dalam meningkatkan pembelajarannya.
Dan perserta mampu mengamati perilaku, perasaan dan pikiran sesama peserta lainnya
dalam menghadapi situasi tersebut. Metode pelatihan lainnya: Seperti sharing, mengunakan
alat bantu video, dan berlati relaksasi dan bernafas sehat.
Berdasarkan paparan metode diatas dalam penelitian ini tidak semua digunakan karena
sesuai dengan kondisi lansia: Stimulations and games dan Metode studi kasus.
2. METODE
Metode penelitian ini adalah quasi experintal design dengan bentuk desain
menggunakan model randomized group design yaitu terdapat pretest-postest design, yang
terdiri dari kelompok eksperimen dan kelompok control yang dipilih secara random (Latipun,
2002). Masing-masing kelompok akan dikenai pretes-postest-follow up. Pada kelompok
eksperimen akan diberikan perlakuan yaitu “pelatihan regulasi emosi. Sedangkan untuk
kelompok control sebagai pembanding akan diberikan placebo (Waiting list) ditempat yang sama
(Panti). Bentuk rancangan eksperimen pretes-posttest control group design dapat pada tabel 2.
Adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Rancangan Eksperimen
Pretest Perlakuan Post tes Follow up
R= KE O1 X O2 O3
KK O1 -X O2 O3
Keterangan:
KE :Kelompok Eksperimen adalah kelompok yang mendapat perlakuan
KK :Kelompok Kontrol adalah kelompok tanpa perlakuan
O1 :Pemberian Skala 1 Stres pada Lansia (pretest)
9
O2 :Pemberian Skala II Stres pada Lansia (posttest)
O3 : Pemberian Skala III Stres Pada Lansia (Follow up)
X : Perlakuan
-X : Tanpa perlakuan (Waiting list).
R : Randomized
2.1 Metode Pengumpulan Data
2.1.1 Perceived Stress Scale (PSS)
Salah satu alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Perceived
Stress Scale (PSS) yang bertujuan untuk melihat kecenderungan individu merasa
adanya persepsi stres sebagai akibat dari situasi negatif selama satu bulan terakhir
(Cohen, Kamarck, Mermelstein, 1988). Persepsi stress pada alat ukur ini ditandai dengan
rendahnya control individu terhadap diri, masalah, atau lingkungannya. Instrumen ini
merupakan perceived stress scale (PSS) yaitu a global measure of perceived stress yang
terdapat dalam journal of healt and sosial behavior yang dibuat oleh Cohen, Kamarck,
Mermelstein. Skala ini mengukur persepsi secara global dari stres yang memberi fungsi
penting (PSS; Cohen, Kamarck, & Mermelstein, 1988).
PSS merupakan alat ukur baku yang paling sering digunakan untuk mengukur
persepsi terhadap stress, dengan validity (cronbach’s alpha 0,90). Faktor negatif (6 aitem
memiliki reliabilitas sebesar 0,860), sedangkan untuk faktor positif (4 aitem memiliki
reliabilitas sebesar 0,90). Terdapat 10 aitem dalam alat ukur ini, dimana pilihan jawaban
mengunakan skala likert yang berkisar antara 0 (tidak pernah) hingga 4 (Sangat sering).
Semakin tinggi skor PSS menandakan tingkat stres yang semakin tinggi.
2.1.2 Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi
struktur yang dilakukan kepada karyawan di Panti wredha untuk mengetahui lebih
mendalam kondisi sehari-hari lansia yang terkait baik emosi dan perilaku dengan tujuan
membantu data peneliti tentang sebelum pelatihan diberikan.
2.1.3 Observasi.
Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis obervasi dalam
bentuk ceks list, dengan tujuan untuk mengamati terhadap perilaku yang muncul secara
pada saat pengambilan data penelitian. Dengan tujuan dapat memahami kondisi
10
partisipan secara mendalam agar mengetahui perubahan apa saja yang tampak sebelum
dan sesudah intervensi diberikan yang dianggap perlu dalam penelitian ini.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil analisa uji hipotesis ditemukan beberapa data statistik yang dapat
memperkuat hipotesis yang diajukan. Pertama seperti adanya perbedaan antara pretest, dan
post test, pada kelompok eksperimen. Hasil menunjukkan Friedman Test dengan Chi Square
sebesar 18.00 dan Asymp. Sig sebesar 0,000 (p<0,05). Mean pretest 3,00; post test 1,50;.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan skor yang signifikan
pada tingkat stres pretest, post test, setelah pemberian pelatihan regulasi emosi pada lansia.
Serta pada saat melakukan fullow up hasilnya masih relative stabil. Selanjutnya Uji
perbedaan pretest, postest pada kelompok kontrol. Hasil menunjukkan Friedman Test
dengan Chi Square sebesar 0,333 dan Asymp. Sig sebesar 0,846 (p<0,05). Mean pretest 2,13;
post test 2,00; follow up 1,88. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan skor yang signifikan pada tingkat stres pretest, post test, dan follow up tanpa
pemberian pelatihan regulasi emosi pada lansia serta relatif tidak stabil.
Kedua menggunakan Mean Whitney-U Test untuk menguji perbedaan antar
kelompok, yaitu: Uji perbedaan post test kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol
KK). Hasil menunjukkan bahwa Z sebesar -2.135 dengan Asymp. Sig (2-tailed) Sebesar
0,036 (p<0,05) dengan Mean Rank KE Sebesar 6,56 dan Mean Rank KK sebesar 11,75.
Dengan demikian hasil menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara tingkat stres
lansia yang diberikan pelatihan regulasi emosi dan lansia yang tidak diberikan pelatihan
regulasi emosi, dengan demikian terjadi penurunan skor tingkat stres post test antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dimana tingkat stres kelompok eksperimen
lebih rendah setelah diberikan pelatihan dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberikan
pelatihan.
Hasil uji hipotesis penelitian terbukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
penurunan skor stres lansia kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan pelatihan
regulasi emosi yang ditunjukkan dengan nilai Asymp. Sig.0000 dengan mengunakan uji
friedman test. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Aesijah (2014) yang menyatakan
11
bahwa kemampuan mengenali emosi dengan cara mengklasifikasikan emosi, menganalisa
kejadian yang menyebabkan terjadinya emosi dan pengendalian emosi sehingga dapat
memunculkan emosi positif. Pada kelompok kontrol penelitian terbukti tidak ada perbedaan yang
signifikan penurunan skor nilai dengan nilai Asymp. Sig. 0, 846 tanpa pemberian pelatihan
reulasi emosi. Data komparasi penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan
penurunan skor stres dengan nilai Asymp. 0,033 (p<0,05), dengan menggunakan uji Mean
Whitney-U Test untuk mengukur perbedaan antar posttest kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Selanjutnya itu juga menunjukkan hasil perbedaan antara follow up kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol dengan nilai Asymp. 0,046 (p<0,05), yang artinya uji beda
follow up kelompok eksperimen masih miliki efek hingga dilakukan follow up.
Hasil dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan skor stres antara prestes, posttes serta
pada saat follow up hasil masih relative stabil untuk kelompok eksperiemn. Sedangkan untuk
kelompok kontrol penurunan tingkat skor stres pre tes, post tes dan follow up relative tidak stabil
yang artinya skor stres cenderung berubah bahkan ada yang mengalami peningkatan skor tanpa
adanya perlakuan apapun.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan pemberian pelatihan regulasi emosi dapat
menurunkan skor stres pada lansia serta dengan adanya pemberian pelatihan regulasi emosi
tingkat kestabilan skor relative menetap pada saat dilakukan follow up, dan sangat terjadi
perbedaan dengan kelompok yang tidak diberikan pelatihan (kontrol). Berikut dapat dilihat hasil
penurunan tingkat stres pada lansia sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Penurunan Tingkat Stres Lansia
Subjek pretes kode Postes kode Fu Kode
SH 25 B 23 SS 23 SS
YO 18 S 16 SR 16 SR
RB (Gugur) 25 B - - - -
SR 25 B 17 SS 17 SS
HS 24 S 14 SR 14 SR
SK 17 S 16 SR 16 SR
SP 18 S 10 SR 10 SR
KR 17 S 10 SR 10 SR
GT 32 B 23 SS 23 SS
LG 17 S 16 SR 16 SR
12
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat disimpulkan bahwa Pelatihan Regulasi
Emosi untuk menurunkan tingkat stres pada lansia dapat diterapkan dengan materi-materi yang
sederhana sesuai dengan pemahaman lansia. Pada pelatihan regulasi emosi Aspek emosi lebih
banyak berperan dalam mengelola stres, namun aspek-aspek yang lain juga memberi kontribusi
seperti aspek fisik, fisiologis, kognitif dalam menurunkan tingkat stres pada lansia. Hasil
penelitian menemukan adanya dampak positif dalam mengelola emosi pada lansia seperti
berkurangnya rasa khawatir, tidur yang nyenyak dan meningkatkan rasa nyaman dan relaks.
Keberhasilan intervensi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang signifikan yaitu,
mengunakan metode sederhana, aplikatif, fasilitator yang memiliki pemahaman yang baik
terhadap lansia, jumlah observer yang memadai sehingga membantu lansia dalam memahami
materi yang diberikan.
Saran yang diberikan kepada pihak Panti Wredha Dharma Bhakti yaitu agar bisa
memberikan kembali aktifitas-aktifitas sederhana dan bersifat ringan dari point-point pelatihan
regulasi emosi, yang dianggap dapat memberikan pengaruh positif bagi lansia, seperti halnya
gerakan senam menenggam bola terapi, pernafasan sehat, relaksasi dan 3 kata syukur dalam
hidup, semuanya dapat dilihat pada modul yang akan diberikan kepada pihak Panti. Kepada
peneliti selanjutnya yaitu subjek penelitian lansia setidaknya tingkat pendidikan minimal Sekolah
Menengah Tingkat Pertama (SMP), memberikan lebih banyak variasi ice breaking atau materi
pelatihan yang disesuaikan untuk para lansia dan mencari trainer atau fasilitator yang memiliki
pengalaman dalam menghadapi lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S (2001), Metode Penelitian Edisi ke-3. Yogjakarta Penerbit ; Pustaka pelajar.
American Psychological Association (2003). Stres. www.aarp.org/heart/staying
hearthy/stress/a2003-03-11takingtime.html.
Atkinson, M. (2002). Stres management dan Resilience Training. New York. GuilFord Press.
Astri, K (2012). Management stress dan kesepian lansia dengan multicomponen cognitive
behavior grouop therapy. Journal Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta penerbit Erlangga.
13
Bishop, A. J. (2008). Stres And Depression Among Older Resident In Religious Monasteries:
Do Friends And God Mater? Internasional Journal of Aging and Human Development,
67, 1-23.
Baum, Andrew & Contrada, Rrehard. (2010). The Handbook of stress science: Biologi,
Psychology, and Health. New York: Spinger Publiching Company
Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub, J.K (1989). Assessing coping strategies: A
theoretically based approach. Journal of personality and sosial Psychology.
Cohen, S., Kamarck., T., & Mermelstein, R. (1988). A global measure of perceived stress,
Journal of Healt and Social Behavior.
Departemen Sosial RI. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah
kesejateraannya.http://www.depsos.go.id.
Ekman, P. (2008). Membaca Emosi Orang, Penerbit Think Jogjakarta.
Gross, James, J. (2002). Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and social consequences.
Department of Psychology, Stanford University, Stanford, California, USA
Gross, james J. (2006) Hand book of emosion Regulation. New York: Guilford Press.
Gross, James J. & Ross A. Thompson. (1998). Antecendet and Response Focused Emotion
Regulation: Divergen Consequences for Experience and Physiology. Journal of
Personality and Social Psychology. 74. 224-237
Gross, James J. & Ross A. Thompson. (2007). Emotion Regulation: Conseptual Foundations
(Chapter 1). Handbook of Regulation Emotion (pp. 3-24). New York: Guilford Press.
Hoyer, w.J. & Roodin, P.A. (2003). Adult development and aging (5th
ed), New York:McGraw-
Hills.
Hidayati, Nazlah. (2008). Penanangan stres ibu-ibu korban lumpur lapindo dengan pelatihan
Regulasi emosi. Thesis tidak di terbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Kalat, James W. & Michelle N. Shiota. (2007). Emotion. USA: University of California,
Berkeley.
Khoirina, I. (2013). Regulasi mood negatif pada mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin. Journal
Online Psikologi, Universitas Muhammdiyah Malang. Vol. 01 No.02.
Koole., & Sander, L. (2009). The Regulation of Emotion. Vu University Amsterdam. Handbook
of Self-Regulation. Vol.2. New York: Guilford Press.
14
Kerlinger, F.N (1990). Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadah Mada University
Press.
Lazarus, R.S., & Folkam, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Latipun. (2002). Psikologi Eksperimen Malang: UMM Press.
Makmuroch. (2014). Keefektifan Pelatihan Keterampilan Regulasi emosi terhadap Penurunan
Tingkat Ekspresi Emosi Pada Caregiver Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta. Wacana jurnal Psikologi vol.6 No. 11 Januari 2014.
Maslim, Rusdi. (2002). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Nuli Jaya: Jakarta.
Maroufizadeh, S., Zareiyan, A., Sigari, N. (2014). Reliability dan validity of the version of the
perceived stress scale (PSS-10) in adults with asthma. Arch Iran Med. 7 (5): 361-365.
Muttaqin, E (Tanpa tahun), The effect of emotion Regulation Training to Reduce Stress among
unemployed individual at salafusolikhin Pakolongan Central Java. Journal psikologis
Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta.
Michele, M., Tugade., & Barbara, L., Fredrickson. (2006). Regulation of Positive Emotion:
Emotion Regulation Strategies That Promote Resilience. Journal of Happiness Studies,
8:11-333 DOI 10. 1007/s10902-006-9015-4.
.Nevid, J.S.,dkk, (2003), Psikologi abnormal/Edisi kelima/jilid 2, Penerbit Erlangga.
Nursalim, M. (2013), Strategi dan Intervensi Koseling, Jakarta Akademia Pertama.
Nazir, M. (2003). Metode penelitian (cet.ke lima), Penerbit Ghalia Indonesia.
Nisfiannoor, M., & Kartika, Y. (2014). Hubungan Regulasi emosi dan penerimaan kelompok
teman sebaya pada remaja. Journal Psikologi Unerversitas tarumanagara, Jakrta. Vol. 2.
No. 2, Desember 2014.
Papalia, Olds, & Feldman, R.D. (2009). Human Development (Edisi 10), Jakarta, penerbit
Salemba Humanika.
Putnam, Katherine M. & Kenneth R. Silk. (2005). Emotion Dysregulation and The Development
of Borderline Personality Disorder. Jurnal of Development and Psychopatology. 17. 899-
925.
Pratisti, W. D. (2012). Peran kehidupan emosional Ibu, Budaya dan Karakteristik Remaja Pada
Regulasi Emosi Remaja. Journal Universitas Muhammadiyah Surakarta.
15
Pratiwi, M. M. S. (2013). Stres Pada Lansia. Journal PSYCHO IDEA, tahun 11 No 1. Febuari
2013 ISSN 1693-1076.
Santrock, J.W (2006). Life span development (10th
ed). New York : Mc Graw Hill
Suardiman. S.P. (2011). Psikologi Lanjut Usia Cet.Pertama, penerbit Gadjah Mada University
Press.
Stuart, G.W, & Sundeen, S.J. (2007). Buku saku keperawatan jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC.
Setyowati, Rini (2014). Pengaruh Pelatihan keterampilan regulasi emosi terhadap penurunan
depresi pada di fabel akibat kecelakaan. tesis Program Magister Profesi Psikologi
Muhammadiyah Surakarta
Strongman, K.T. (2003). The Psychology of Emotion: from Everyday Life to The Theory. New
Zealand: Department of Psychology University of Canterbury Christchurch.
Stuart, G.W & Sundeen, S. J. (2007). Buku saku keperawatan jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGG.
Tomaka, J., Thompson, s., & Palacios, R. (2006). The relation of social isolation, loneliness, and
social support to disease outcomes among the elderly. Journal of aging and Health, 18
(3),359-384.
Van Dillen, L. F. (2009), Handbook The self_ Regulation Emotion. New York: Guilford Press.
Widuri, E. L. (2012). Regulasi emosi dan Resilensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama. Journal
Psikologi, Unversitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Humanitas, Vol. IX No. 2 Agustus
2012.