9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Keefektifan Pembelajaran
Secara konseptual, keefektifan pembelajaran merupakan suatu perlakuan
dalam proses pembelajaran yang memiliki salah satu ciri yaitu keberhasilan suatu
usaha atau tindakan yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa (Haryoko,
2009: 3). Sehingga dapat pula dikatakan bahwa keefektifan pembelajaran adalah
hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar (Trianto,
2009: 20). Usaha yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam meningkatkan
keberhasilan hasil belajar siswa yaitu salah satunya melalui suatu metode
pembelajaran yang dikembangkan.
Menurut Guskey dalam Buchory et al. (2013: 6) pembelajaran dikatakan
efektif apabila pembelajaran mencapai ketuntasan, terdapat perbedaan prestasi
belajar antara kelas yang mendapat perlakuan dengan yang tidak, dan terdapat
pengaruh positif antara variabel bebas dengan variabel terikat. Hanya saja dalam
penelitian ini yang diukur adalah kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa bukan prestasi belajar siswa. Sehingga keefektifan metode pembelajaran
yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat ditentukan melalui 3 kriteria
berikut :
10
1. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
perlakuan mencapai ketuntasan belajar minimal 80% dengan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) adalah 77;
2. Adanya pengaruh variabel bebas yang diukur terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa.
3. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pemebelajarannya
menggunakan metode guided discovery learning bernuansa multiple
intelligences lebih baik daripada pembelajaran konvensional;
2.1.2 Ketuntasan belajar
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) merupakan kriteria paling rendah
untuk menyatakan ketuntasan belajar siswa. Ketuntasan belajar ideal setiap
indikator berkisar antara 0 – 100% dengan batas kriteria ideal minimum adalah
75% (Muslich, 2008: 19). Setiap satuan pendidikan dapat menetapkan sendiri
kriteria ketuntasan minimal berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran
dengan memperhatikan tingkat kompleksitas, sumber daya pendukung, dan
tingkat kemampuan rata-rata siswa (intake). KKM yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 77.
2.1.3 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan oleh guru kepada siswa
agar dapat belajar dengan baik. Menurut Suprihatiningrum (2013: 75)
pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan
11
informasi dan lingkungannya untuk memudahkan dalam belajar. Situasi
pembelajaran sengaja dirancang guna membantu dan mempermudah proses
belajar dengan harapan dapat membangun kreatifitas siswa (Nazarudin, 2007:
163). Salah satu tanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya
perubahan tingkah laku pada dirinya. Jadi dapat dikatakan bahwa pembelajaran
adalah suatu usaha guru dalam merancang kegiatan belajar aktif untuk membantu
siswa mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Matematika adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang angka. Nurkholik
(2011 :18) mengartikan matematika sebagai ilmu yang berkaitan dengan angka,
struktur dan berbagai macam hubungan terorganisasi berdasarkan urutan yang
logis dan matematis. Keberadaan ilmu matematika sangat berguna dalam
mempelajari ilmu-ilmu lainnya (Uno, 2009: 108). Artinya, matematika merupakan
ilmu yang harus dipelajari untuk dapat menguasai ilmu lainnya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu perencanaan kegiatan
belajar aktif yang berhubungan dengan perhitungan angka untuk mencapai suatu
tujuan pembelajaran tertentu.
Ada banyak teori yang mendukung pembelajaran matematika, salah satunya
teori multiple intelligences yang dicetuskan oleh Howard Gardner. Pembelajaran
bernuansa multiple intelligence merupakan pembelajaran yang memanusiakan
manusia. Pembelajaran ini mengakui adanya keberagaman kecerdasan pada
siswa. Melalui pembelajaran bernuansa multiple intellegences, seorang siswa
dapat menggunakan kecerdasan terkuatnya dalam memecahkan permasalahan
matematis yang dihadapinya. Relevansi teori multiple intelligences dengan
12
pembelajaran matematika adalah konsep-konsep matematika akan lebih mengena
apabila dikaitkan dengan karakteristik siswa sehingga dapat tercipta pembelajaran
matematika yang efektif (Nurkholik, 2011: 20).
2.1.4 Pembelajaran Bernuansa Multiple Intelligences
Kemajemukan intelegensi (multiple intelligences) merupakan suatu teori
yang dicetuskan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 melalui bukunya yang
berjudul Frame of Mind. Gardner (dalam Chatib, 2013: 132) mendefinisikan
intelegensi sebagai berikut :
“Intellegences is the ability to find and solve problems and create the
products of value in one’s own culture”.
Menurutnya, kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk menemukan
dan memecahkan permasalahan yang dihadapi serta dapat menghasilkan suatu
produk yang bernilai bagi budaya tertentu. Teori kecerdasan majemuk telah
mendobrak keyakinan lama mengenai makna kecerdasan yang dipandang hanya
melalui nilai IQ. Pada dasarnya siswa memiliki keberagaman kecerdasan,
kecerdasan logis-matematis dan bahasa merupakan sebagian kecil kecerdasan
yang dimiliki oleh siswa.
Kecerdasan bukanlah hal yang statis. Tetapi kecerdasan seseorang dapat
dikembangkan salah satunya melalui pendidikan (Handayani, 2010: 13).
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Artinya, intelegensi seseorang juga
dapat berkembang sepanjang hidup asal terus dibina dan ditingkatkan (Hernowo,
2006: 61). Kecerdasan majemuk siswa dapat dikembangkan melalui proses
13
pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu proses pembelajaran
yang dapat memandang positif tentang adanya keberagaman intelegensi pada
siswa seperti pembelajaran beruansa multiple intelligence.
Pembelajaran bernuansa multiple intelligence merupakan pembelajaran
yang memberikan kesempatan siswa dalam menggunakan beragam kecerdasan
yang dimilikinya untuk memecahkan permasalahan matematis yang dihadapi.
Pembelajaran dalam satu topik tidak perlu harus menggunakan semua kecerdasan
yang ada (Muijs dan Reynolds, 2008: 33). Seorang guru dapat menyesuaikannya
dengan konteks pembelajaran itu sendiri (Susanto, 2005: 6). Secara tidak langsung
seorang guru dituntut untuk merubah mind set bahwa setiap individu tidak sama.
Sudah saatnya seorang guru mencoba keluar dari zona aman dan berinisitif
melakukan pembelajaran yang lebih menekankan pada kecerdasan majemuk
siswa.
Pembelajaran bernuansa multiple intelligences diharapkan dapat membantu
siswa dalam mengenali kecerdasan terkuatnya. Sehingga nantinya pendidikan di
Indonesia dapat mencetak generasi yang berkualitas dibidangnya serta dapat
memecahkan permasalahan-permasalahan yang semakin berkembang. Abduhzen
(dalam Suara merdeka, 2013: 11) mengatakan bahwa masa depan membutuhkan
siswa yang benar-benar mampu mengolah informasi. Bukan hanya sekedar dapat
menyimpan fakta ilmu pengetahuan dan mengingat, tetapi dibutuhkan generasi
yang tahu bagaimana mengolah informasi itu menjadi penalaran yang aktual serta
dapat memecahkan masalah kehidupan.
14
2.1.4.1 Karakteristik Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
Thomas Armstrong (dalam Chatib, 2012: 98) kecerdasan majemuk (multiple
intelligences) memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1) Semua kecerdasan itu berbeda-beda, tetapi memiliki derajat yang sama;
2) Dinamis;
3) Setiap anak memiliki lebih dari satu kecerdasan;
4) Masing-masing kecerdasan memiliki banyak indikator;
5) Kecerdasan bekerja secara berkesinambungan dalam melakukan suatu
aktivitas.
2.1.4.2 Macam Kecerdasan Majemuk Siswa
Berdasarkan teori kecerdasan majemuk Howard Gardner, ada sembilan
kecerdasan manusia. Berikut sembilan macam kecerdasan majemuk :
1) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligences)
Muijs dan Reynolds (2008: 31) menjelaskan bahwa kecerdasan
linguistik merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah kata-kata dan
bahasa.
2) Kecerdasan Logis-Matematis (Logical-Mathematical Intelligences)
Uno (2009: 100) menjelaskan bahwa kecerdasan logis-matematis
merupakan kemampuan seseorang yang berkaitan dengan berhitung atau
mengolah angka.
15
3) Kecerdasan Spasial (Spatial Intelligences)
Kecerdasan spasial atau biasa disebut kecerdasan visual merupakan
kecerdasan seseorang yang bersifat visual (Muijs dan Reynolds, 2008: 31).
4) Kecerdasan Musikal (Musical Intelligences)
Kecerdasan musikal merupakan kecerdasan seseorang untuk
menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk dan
mengekspresikan sesuatu dalam bentuk musik (Muhajarah, 2008: 41)
5) Kecerdasan Gerak-Badani (Bodily- Kinesthetic Intelligences)
Kecerdasan gerak atau biasa disebut sebagai kecerdasan kinestetik
merupakan kecerdasan seseorang dalam bertindak dan berpikir melalui
kegiatan yang melibatkan fisik (Kyriacou, 2012: 136).
6) Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligences)
Kecerdasan interpersonal merupakan kecerdasan seseorang dalam
memahami orang lain (Muijs dan Reynolds, 2008: 31).
7) Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligences)
Kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan seseorang dalam
memahami perasaaan dan emosi yang ada pada dirinya sendiri (Kyriacou,
2012: 136).
8) Kecerdasan Naturalis atau Lingkungan (Naturalist Intellgences)
Kecerdasan naturalis merupakan kecerdasan seseorang untuk mengerti
tentang benda-benda dan proses alam (Kyriacou, 2012: 136).
16
9) Kecerdasan Eksistensial (Existensial Intelligences)
Kecerdasan eksistensial merupakan kecerdasan seseorang yang
menaruh perhatian besar terhadap masalah hidup (Muhajarah, 2008: 44).
Penelitian ini hanya terfokus pada beberapa kecerdasan seperti kecerdasan
linguistik, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan spasial, dan kecerdasan logis-matematis.
2.1.4.3 Lesson Plan Bernuansa Multiple Intelligences
Berikut langkah-langkah penyusunan lesson plan bernuansa multiple
intelligences berdasarkan hasil penelitian Nurkholik (2011: 52) yang akan
digunakan dalam penelitian adalah :
1) Identitas (nama guru, sekolah, mata pelajaran kelas, semester, dan tanggal);
2) Prosedur aktivitas
a) Alpha zone : kegiatan yang bertujuan untuk menyegarkan fikiran siswa.
b) Scene setting : kegiatan membangun konsep awal siswa dengan cara
mengaktualisasikan materi yang akan dipelajari dengan masalah nyata.
c) Aktivitas pembelajaran
d) Teaching aids : perangkat yang akan dipergunakan dalam pembelajaran.
e) Aktivitas yang dinilai (kognitif, afektif, psikomotorik)
f) Sumber belajar
17
2.1.5 Teori Belajar Jerome Bruner
Jerome Bruner merupakan seorang ahli psikologi yang menganut teori
belajar kognitif. Teori belajarnya disebut dengan teori belajar penemuan atau
biasa disebut dengan discovery learning. Berbeda dengan teori belajar lainnya,
teori belajar Bruner lebih menekankan pada proses atau upaya dalam
mengoptimalkan aspek rasional seseorang (Muchith, 2008: 59). Menurut Bruner
belajar penemuan merupakan kegiatan belajar yang memungkinkan siswa secara
aktif untuk menemukan pengetahuannya sendiri dan dapat memberikan hasil yang
paling baik (Trianto, 2009: 38).
Hal yang berbeda antara discovery learning dengan inquiry learning.
Discovery learning, siswa diberi bimbingan untuk dapat menemukan pemecahan
masalah yang dihadapi. Sedangkan inquiry learning pengetahuan yang diperoleh
siswa merupakan hasil siswa sendiri tanpa adanya bimbingan. Akhir proses dari
kegiatan discovery learning adalah penemuan sedangkan inquiry learning berupa
kepuasan dari kegiatan meneliti (Buto, 2010: 60).
Teori belajar Bruner memungkinkan siswa aktif dalam memahami konsep,
teori, serta prinsip melalui pengalaman maupun kegiatan penemuan yang
dilakukan secara mandiri. Hal ini dikarenakan belajar melalui pemahaman akan
lebih bermakna dibandingkan belajar dengan menghafal (Muchith, 2008: 69).
Sehingga pembelajaran dengan teknik penemuan lebih efektif dan efisien karena
pengetahuan baru yang diperoleh siswa merupakan hasil dari pemahaman yang
mereka bangun sendiri.
18
Tiga tahapan perkembangan kognitif seseorang menurut Bruner yaitu :
1) Enactive, dimana seseorang belajar memahami dunia sekitar melalui aksi-aksi
terhadap objek;
2) Iconic, dimana seseorang memahami objek melalui penggunaan model-model
dan gambar-gambar;
3) Symbolic, dimana seseorang memahami dunia sekitar melalui simbol-simbol
bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Hal ini menggambarkan
kapasitas berpikir seseorang dalam istilah-istilah abstrak.
2.1.6 Metode Guided Discovery Learning
Metode penemuan (discovery learning) merupakan salah satu metode
pembelajaran Jerome Bruner yang memungkinkan para siswa untuk memecahkan
masalah dan membangun pengetahuannya sendiri secara aktif melalui
pembelajaran bermakna (Trianto, 2009: 38). Metode discovery learning
dibedakan menjadi dua macam yaitu pure discovery dan guided discovery
(Prasad, 2011: 31). Guided discovery learning lebih dikenal dengan metode
penemuan terbimbing, karena dalam kegiatan penemuan siswa dipandu oleh guru
(Suprihatingrum, 2013: 245).
Pada metode guided discovery learning, situasi belajar berpindah dari
situasi teacher dominated learning menjadi situasi student dominated learning.
Guru berperan sebagai fasilitator dan membimbing siswa untuk dapat menemukan
suatu konsep pembelajaran berdasarkan pengetahuannya sendiri. Guru bertindak
sebagai petunjuk jalan yang membantu siswa dalam mempergunakan konsep, ide-
19
ide dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya untuk menemukan
pengetahuan yang baru.
Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu rangsangan yang dapat
menantang siswa untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas
pembelajaran. Seperti halnya metode guided discovery learning yang merupakan
bentuk pembelajaran aktif yang menggunakan teknik penemuan. Melalui kegiatan
penemuan siswa akan lebih merasa tertantang untuk menemukan pemecahan
masalah yang dihadapi. Siswa berusaha menemukan pengetahuannya sendiri
melalui kegiatan penemuan yang dilakukan. Membiasakan siswa belajar dengan
teknik penemuan secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam mempresentasikan informasi, data maupun pengetahuan untuk
menghasilkan suatu penemuan (Effendi, 2012: 3).
2.1.6.1 Kelebihan dan Kelemahan Discovery Learning
Tidak ada metode pembelajaran yang sempurna, setiap metode
pembelajaran pasti memiliki kelebihan serta kelemahan. Berikut kelebihan dan
kelemahan discovery learning :
1) Kelebihan penerapan discovery learning menurut Carin dan Sund (dalam
Suprihatiningrum, 2013: 244) :
a) Mengembangkan potensi intelektual;
b) Menumbuhkan motivasi intrinsik siswa;
c) Siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar;
d) Mempertahankan memori.
20
2) Kelemahan penerapan metode discovery learning (Husain, 2012: 5) :
a) Sulit diterapkan pada kelas kelas yang terbiasa dengan pembelajaran
tradisional;
b) Tidak semua ilmu dapat menerapkan kegiatan penemuan;
c) Kurang efisien apabila digunakan dalam kelas dengan jumlah siswa yang
banyak karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu siswa
dalam memecahkan masalah;
d) Terlalu mementingkan perolehan pengertian dibanding sikap dan
keterampilan.
2.1.7 Sintak Metode Guided Discovery Learning Bernuansa Multiple
Intelligences
Sintak pembelajaran dengan metode guided discovery learning bernuansa
multiple intelligences disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Sintak Metode Guided Discovery Learning Bernuasa Multiple
Intelligences
No
Tahapan guided
discovery learning
(Suprihatiningrum,
2011: 248)
Aktifitas
Kecerdasan
yang
digunakan
1 Menjelaskan
tujuan/
mempersiapkan
siswa
a. Siswa mendengarkan tujuan
pembelajaran yang disampaikan
oleh guru.
Kecerdasan
linguistik
b. Guru memotivasi siswa agar
terlibat dalam kegiatan
pembelajaran.
Kecerdasan
intrapersonal
c. Guru menyuruh siswa untuk
membentuk kelompok.
Kecerdasan
kinestetik
21
2 Orientasi pada
masalah
a. Guru menyuruh siswa untuk
membaca bacaan yang ada pada
Lembar Kerja Kelompok (LKK)
guna merangsang siswa terhadap
sesuatu.
Kecerdasan
linguistik
b. Timbul keinginan siswa untuk
melakukan kegiatan penyelidikan.
Kecerdasan
intrapersonal
3 Merumuskan
hipotesis
a. Guru memberi kesempatan siswa
untuk mengidentifikasi masalah
dengan cara membuat sketsa,
diagram, maupun grafik.
Kecerdasan
spasial
b. Guru membimbing siswa untuk
dapat menyusun hipotesis sesuai
dengan permasalahan yang
dihadapi.
Kecerdasan
logis-
matematis
4 Melakukan
kegiatan penemuan
a. Guru memberi kesempatan siswa
untuk mencari informasi-
informasi relevan terkait dengan
masalah yang dihadapi dari
berbagai macam sumber seperti
buku paket, buku siswa maupun
sumber lainnya.
Kecerdasan
kinestetik
b. Siswa mengolah informasi yang
diperolehnya.
Kecerdasan
logis-
matematis
c. Siswa saling bertukar pendapat
dan informasi yang diperoleh
dengan anggota kelompoknya.
Kecerdasan
interpersonal
d. Siswa secara berkelompok
membuktikan benar tidaknya
hipotesis yang dirumuskan
berdasarkan hasil pengolahan
data.
Kecerdasan
logis-
matematis
e. Siswa menarik kesimpulan dari
kegitan penemuan yang
dilakukannya untuk dapat
Kecerdasan
logis
matematis
22
dijadikan prinsip umum dan
berlaku pada permasalahan yang
sama.
f. Siswa secara berkelompok
melengkapi LKK berdasarkan
hasil kegiatan penemuan yang
telah dilakukannya.
Kecerdasan
linguistik
5 Mempresentasikan
hasil kegiatan
penemuan
a. Siswa menyajikan hasil kegiatan
penemuan di depan kelas.
Kecerdasan
linguistik
b. Siswa dapat menggunakan
bantuan alat peraga untuk
menvisualisasikan hasil.
Kecerdasan
kinestetis dan
kecerdasan
spasial
c. Siswa lain memberikan pendapat
dan kelompok penyaji
menanggapinya.
kecerdasan
linguistik
6 Mengevaluasi
kegiatan penemuan
a. Guru mengevaluasi kegiatan
penemuan yang telah dilakukan
oleh siswa.
Kecerdasan
linguistik
b. Siswa mengerjakan soal evaluasi
secara mandiri.
Kecerdasan
logis
matematis
2.1.8 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Permasalahan merupakan salah satu bagian dari kehidupan. Kita selalu
dihadapkan kepada masalah-masalah yang harus dipecahkan untuk dapat terus
melangsungkan kehidupan. Meskipun begitu tidak semua persoalan yang kita
hadapi dapat dikatakan sebagai masalah. Mukhidin (2011: 18), masalah
merupakan suatu pernyataan yang menantang dan merangsang seseorang untuk
memecahkannya tetapi tidak secara langsung. Apabila seorang siswa dihadapkan
pada suatu masalah matematika dan siswa tersebut tahu secara langsung cara
23
menyelesaikan masalah matematika tersebut dengan benar maka masalah
matematika tersebut tidak dapat digolongkan sebagai masalah bagi siswa tersebut.
Suatu masalah pasti membutuhkan suatu pemecahan masalah untuk dapat
menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Menurut Badan Standar Nasional
Pendidikan (2006: 140) memecahkan masalah merupakan proses pemecahan
masalah yang meliputi kemampuan untuk memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsir solusi yang diperoleh. Jadi
kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan siswa untuk dapat
menemukan solusi dari suatu masalah yang dihadapinya melalui kegiatan
pemecahan masalah.
Suatu soal matematika merupakan soal pemecahan masalah apabila soal
tersebut menantang untuk dipecahkan tetapi tidak secara langsung seperti soal
tidak rutin. Soal tidak rutin adalah soal yang membutuhkan pemikiran lebih lanjut
untuk dapat menyelesaikannya. Beberapa karakteristik soal tidak rutin menurut
Suandito et al. (2009: 3) seperti: kelancaran berfikir, keluesan, penguraian dan
keaslian.
2.1.8.1 Pentingnya Kemampuan Pemecahan Masalah Bagi Siswa
NCTM telah menetapkan pemecahan masalah sebagai fokus pembelajaran
matematika di semua jenjang (Effendi, 2012: 2). Maka sudah seharusnya
kemampuan pemecahan masalah matematis harus ditanamkan pada setiap siswa.
Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam mempersiapkan siswa
untuk dapat menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan nyata. Menurut
24
Widjajanti (2009: 3) pemecahan masalah penting bagi siswa dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya, memungkinkan siswa mengambil keputusan
berdasarkan informasi yang relevan, serta tahu pentingnya mengkaji ulang apa
yang telah diperolehnya.
Pembelajaran matematika di sekolah harus lebih memperhatikan tingkat
kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini dikarenakan kemampuan
pemecahan masalah matematis merupakan salah satu tujuan pembelajaran
matematika yang telah dirumuskan oleh Badan Standar Nasional dalam standar
isi. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dapat distimulus melalui
latihan pemecahan soal tidak rutin matematika. Semakin sering siswa berlatih
dalam memecahkan permasalahan matematis, semakin meningkat kemampuan
pemecahan masalahnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap diri siswa tersebut.
Semakin tinggi kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan matematis
maka semakin siap siswa tersebut dalam menghadapi masalah matematis yang
baru dan lebih menantang.
Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa ini juga harus diimbangi
dengan pengetahuan siswa yang relevan. Sehingga hasil dari pemecahan masalah
tersebut dapat dipertanggung jawabkan serta sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal ini menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis berperan
penting dalam menyiapkan generasi penerus bangsa yang benar-benar siap mental
menghadapi permasalahan yang terjadi dengan memanfaatkan berbagai informasi
yang relevan.
25
2.1.8.2 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah
Indikator pemecahan masalah matematika yang telah dirumuskan oleh
NCTM (2003: 1) dalam Standar Program NCTM 2003 ada 4, yaitu :
1) Menentukan dan menerapkan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah;
2) Memecahkan permasalahan yang muncul dalam matematika dan dapat
mengaitkannya dalam konteks lain;
3) Membangun pengetahuan matematika melalui kegiatan pemecahan masalah;
4) Memantau dan merefleksikan proses pemecahan masalah matematis.
Penelitian ini hanya mengukur dua indikator kemampuan pemecahan
masalah matematis di atas yaitu :
1) Menentukan dan menerapkan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah;
2) Memecahkan permasalahan yang muncul dalam matematika dan dapat
mengaitkannya dalam konteks lain.
2.1.9 Motivasi Belajar Siswa
Motivasi belajar siswa merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh
terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahan matematika. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Muzaki (2010) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa adalah motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan
yang ada pada diri siswa dalam melakukan suatu kegiatan. Seperti yang dijelaskan
oleh Sutikno (2013: 69), motivasi merupakan daya penggerak dalam melakukan
aktivitas untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan oleh Novianti (2011: 161)
26
mengartikan motivasi sebagai daya penggerak psikis yang meliputi harapan, nilai
dan afektif yang ada pada diri siswa sehingga timbul kegiatan belajar,
mengarahkan siswa, dan membuat siswa menikmati kegiatan belajarnya.
Menurut Sutikno (2013: 70), motivasi dibedakan menjadi dua yaitu motivasi
intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang
tumbuh dari dalam diri siswa itu sendiri untuk melakukan suatu kegiatan tanpa
adanya paksaan dari orang lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan
dorongan yang diperoleh siswa dari luar dirinya. Indikator yang digunakan pada
penelitian ini guna mengukur motivasi berdasarkan dua macam motivasi di atas
yaitu :
1) Motivasi intrinsik
a) Minat siswa terhadap matematika
b) Kecerdasan siswa
c) Kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah
2) Motivasi ekstrinsik : Dorongan
2.1.10 Keaktifan Belajar Siswa
Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar yang dilakukan juga turut
mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Keaktifan
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik untuk mengolah informasi dan
menyelesaikan suatu permasahan yang dihadapi. Menurut Supriyanti (2011: 6)
keaktifan adalah potensi seseorang yang mungkin dapat hidup dan berkembang
secara aktif dalam menemukan, memproses, dan mengkonstruksi pengetahuan dan
27
keterampilan baru. Keaktifan siswa menunjukkan peran siswa terhadap
pembelajaran yang dilakukan. Beberapa indikator keaktifan siswa yang digunakan
dalam penelitian ini berdasarkan langkah-langkah kegiatan pemecahan masalah
adalah sebagai berikut :
1) Kesiapan siswa mengikuti kegiatan belajar;
2) Keaktifan siswa memperhatikan dan mendengarkan penjelasan guru;
3) Keaktifan dalam membentuk kelompok;
4) Keaktifan dalam memahami permasalahan;
5) Keaktifan dalam melakukan kegiatan penemuan;
6) Keaktifan dalam mempersentasikan hasil;
7) Keaktifan dalam mengerjakan soal evaluasi;
8) Keaktifan siswa terhadap tugas rumah.
2.1.11 Bangun Ruang Sisi Datar Prisma dan Limas
Penelitian dilakukan pada materi geometri bangun ruang sesuai dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagai berikut :
SK : 5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas dan bagian-bagiannya,
serta menentukan ukurannya.
KD : 5.2 Membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas.
5.3 Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan
limas.
28
Penelitian ini hanya fokus pada materi geometri bangun ruang khususnya
prisma dan limas. Berikut uraian materi prisma dan limas :
1. Jaring-jaring prisma (Rahaju et al., 2008: 207) dan limas (Rahaju et al., 2008:
215) :
2. Luas permukaan prisma dan limas
Luas permukaan bangun ruang merupakan jumlah seluruh luas yang
menyelimuti bangun ruang tersebut (Nuharini dan Wahyuni, 2008: 232). Mencari
luas permukaan prisma ditentukan dengan rumus (Agus, 2007: 204) :
Sedangkan luas permukaan limas dapat ditentukan dengan rumus (Agus,
2007: 214) :
Gambar 2.1 Jaring-jaring prisma Gambar 2.2 Jaring-jaring limas
29
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan yang dapat mendukung penelitian yang
dilakukan yaitu:
1) Purnomo (2011: 17) dalam penelitiannya yang berjudul “Keefektifan Model
Penemuan Terbimbing dan Cooperative Learning pada Pembelajaran
Matematika”, menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran
penemuan terbimbing (guided discovery learning) pada pembelajaran
matematika lebih efektif dibandingkan dengan cooperative learning dan
pembelajaran konvensional. Penelitian dilakukan Purnomo di SMP Negeri 3
Satu Atap Jatipurno ini menjelaskan bahwa model penemuan terbimbing
efektif diterapkan pada pembelajaran matematika di SMP.
2) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Leo Adhar Effendi (2012)
terhadap 71 siswa kelas VIII menyimpulkan bahwa ada peningkatan
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis terhadap siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing
(guided discovery learning) lebih baik dari pada pembelajaran konvensional.
Hal ini menjelaskan bahwa metode guided discovery learning efektif dalam
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Menurutnya
metode penemuan terbimbing baik diberikan kepada siswa dengan
kemampuan sedang dan tinggi. Tidak ada salahnya guru melakukan
identifikasi terhadap kemampuan siswa sebelum melakukan pembelajaran
untuk mengetahui tingkat kemampuan setiap siswa.
30
3) Teori multiple intelligences dapat diterapkan pada pembelajaran bangun
ruang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Madawati
(2009) yang menyimpulkan bahwa multiple intelligences dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang.
4) Motivasi belajar juga memiliki pengaruh terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Muzaki (2010) yang mengatakan bahwa kreativitas dan
motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah.
2.3 Kerangka Berpikir
Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan salah satu
permasalahan yang masih menjadi bahan perbincangan di SMPN 1 Bangsri
khususnya kelas VIII. Dua faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan
masalah matematis yaitu motivasi dan keaktifan siswa dalam belajar.
Pembelajaran yang diberikan juga masih sering menggunakan pembelajaran
konvensional. Selain itu tidak semua anak menonjol pada kecerdasan logis-
matematis karena pada dasarnya kecerdasan setiap siswa beranekaragam.
Berdasarkan masalah di atas, peneliti ingin menerapkan suatu pembelajaran
aktif melalui kegiatan penemuan dengan memberdayakan kecerdasan majemuk
yang dimiliki siswa. Salah satu metode pembelajaran yang dapat dijadikan
alternatif yaitu pembelajaran menggunakan metode guided discovery learning
bernuansa multiple intelligences. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran aktif
31
yang berpusat pada siswa. Siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri melalui kegiatan penemuan (discovery) dalam memecahkan suatu
permasalahan matematis. Selain itu siswa juga mempunyai kesempatan dalam
menggunakan beragam kecerdasan (multiple intelligences) yang dimilikinya
untuk memecahkan suatu permasalahan yang mereka hadapi.
Dampak positif dari situasi belajar di atas adalah meningkatnya kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa. Sehingga ketuntasan belajar siswa mampu
mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan yaitu 80%. Instrumen yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yaitu tes kemampuan pemecahan masalah matematis.
Instrumen non tes terdiri dari angket untuk mengetahui motivasi belajar
siswa dan lembar observasi untuk mengetahui keaktifan belajar siswa. Apabila
dari analisis data non tes tersebut diketahui bahwa motivasi dan keaktifan belajar
siswa berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
maka kemampuan pemecahan masalah matematis siswa akan meningkat bila
motivasi dan keaktifan juga meningkat. Dampak positifnya adalah semakin tinggi
motivasi dan keaktifan belajar siswa maka semakin tinggi pula kualitas
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat
pembelajaran menggunakan metode guided discovery learning bernuansa multiple
intelligences akan lebih baik bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang diberi
32
pembelajaran menggunakan metode guided discovery learning bernuansa multiple
intelligences dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
menggunakan metode guided discovery learning bernuansa multiple intelligences
lebih efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa daripada
pembelajaran konvensional. Selain itu terdapat peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
metode guided discovery learning bernuansa multiple intelligences. Skema
kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut :
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Terdapat peningkatan
kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa
meningkat
Masalah
Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas VIII SMPN 1 Bangsri
rendah, pembelajaran masih konvensional dan setiap siswa memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda
Pembelajaran aktif melalui kegiatan penemuan dengan
memberdayakan kecerdasan majemuk siswa
Kondisi
Siswa sebagai subjek pendidikan, belajar dengan teknik
penemuan, dan kebebasan menggunakan beragam
kecerdasan dalam memecahkan permasalahan matematis
Metode Guided Discovery Learning bernuansa Multiple Intelligences
Metode guided discovery learning bernuansa
multiple intelligences efektif terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
33
2.4 Hipotesis
Hipotesis menurut Nazir (2013: 151) adalah jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang kebenarannya perlu diuji secara empiris. Berdasarkan
landasan teori dan kerangka berfikir, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut :
1. Metode guided discovery learning bernuansa multiple inteligences lebih
efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas VIII
daripada pembelajaran konvensional.
2. Terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode guided discovery learning bernuansa
multiple inteligences.