11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KONSEP DASAR KANKER PARU
2.1.1. Definisi
Menurut pedoman nasional pelayanan kedokteran kanker paru
(Kementrian Kesehatan , 2015) kanker paru adalah semua penyakit
keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri
(primer). Dalam pengertian klinik yang dimaksud dengan kanker paru
primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus (karsinoma
bronkus = bronchogenic carcinoma). Penyakit kanker merupakan suatu
penyakit yang disebebkan pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh tidak normal
(tumbuh sangat cepat dan tidak terkendali), menginfiltrasi/ merembes dan
menekan jaringan tubuh sehingga mempengaruhi organ tubuh (Akmal,
2010)
2.1.2. Jenis Kanker Paru
Menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional (2016) jenis kanker
paru dibagi menjadi: Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil
(KPKBSK) : Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil terdiri dari
berbagai jenis yaitu Karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma,
karsinoma sel besar (KSB) dan jenis lain yang jarang ditemukan dan
Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil (KPKSK) : Secara umum, jenis
kanker paru ini dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: Stadium terbatas
12
(Limited Stage Disease = LD) dan Stadium lanjut (Extensive Stage Disease
= ED).
2.1.3 Faktor resiko
Adapun faktor resiko yang secara jelas menjadi penyebab kanker paru
yang paling signifikan menurut Priscilla LeMone (2009) dalam buku ajar
keperawatan medical bedah yaitu lebih dari 80% kasus kanker paru terkait
dengan merokok (perokok aktif maupun pasif) dengan resiko 23 kali lebih
umum pada pria perokok daripada pria yang tidak merokok. Berdasarkan
pedoman penatalaksanaan dan diagnosis kanker paru (PDPI, 2003) faktor
resiko lain selain merokok adalah polusi udara, pemajanan okupasi
terhadap bahan kimia karsinogenik, randon, riwayat pernah mendapatkan
kanker pada pasien atau keluarga pasien, paparan industri, tuberculosis
paru, pajanan radiasi, riwayat penyakit paru seperti ppok atau fibrosis paru.
2.1.4 Manifestasi klinis
Berdasarkan panduan penatalaksanaan kanker paru (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2015) yaitu: Gambaran klinik penyakit
kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari
keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat
keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering
sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :
batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen), batuk
13
darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit / sakit menelan, benjolan
di pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab
lengan dengan rasa nyeri yang hebat. Tidak jarang yang pertama terlihat
adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan
yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah
tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti : Berat badan
berkurang, Nafsu makan hilang, Demam hilang timbul, Sindrom
paraneoplastik, seperti Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy,
trombosis vena perifer dan neuropatia.
2.2.5 Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil
yang didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan.
Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan
gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih
bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif.
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage
penyakit, seperti pembesaran kelenjar getah bening atau tumor diluar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial
dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
14
2.2.6 Klasifikasi
Klasifikasi menurut WHO (2015) yang berasal dari bahan dari Patologi
Anatomi yaitu berdasarkan penentuan Stadium diantaranya : Karsinoma paru
(ICD-10 C33-34), penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM dari
American Joint Committee on Cancer (AJCC) versi 7 tahun 2010, sebagai
berikut:
Tumor Primer (T)
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan dengan hasil radiologi dan
bronkoskopi tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif
(ditemukan sel ganas)
T0 Tidak tampak lesi atau tumor primer Tis Carcinoma in situ
T1 Ukuran terbesar tumor primer ≤ 3 cm tanpa lesi invasi intra
bronkus yang sampai ke proksimal bronkus lobaris yaitu T1a
dengan ukuran tumor primer ≤ 2 cm dan T1b Ukuran tumor
primer > 2 cm tetapi ≤ 3cm
T2 ukuran terbesar tumor primer > 3 cm tetapi ≤ 7 cm, invasi
intrabronkus dengan jarak lesi ≥ 2 cm dari distal karina,
berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif pada
daerah hilus atau invasi ke pleura visera dengan ukuran T2a
Ukuran tumor primer > 3cm tetapi ≤ 5 cm dan T2b Ukuran tumor
primer > 5cm tetapi ≤ 7 cm
15
T3 Ukuran tumor primer > 7 cm atau tumor menginvasi dinding dada
termasuk sulkus superior, diafragma, nervus phrenikus,
menempel pleura mediastinum, pericardium. Lesi intrabronkus ≤
2 cm distal karina tanpa keterlibatan karina. Berhubungan dengan
atelektasis atau pneumonitis obstruktif di paru. Lebih dari satu
nodul dalam satu lobus yang sama dengan tumor primer.
T4 Ukuran tumor primer sembarang tetapi telah melibatkan atau
invasi ke mediastinum, trakea, jantung, pembuluh darah besar,
karina, nervus laring, esophagus, vertebral body. Lebih dari satu
nodul berbeda lobus pada sisi yang sama dengan tumor
(ipsilateral).
Metastasis (M)
Mx Metastasis sulit dinilai dari gambaran radiotherapi
M0 Tidak ditemukan metastasis
Kelenjar Getah Bening(KGB)regional (N)
Nx Metastasis ke KGB mediastinum sulit dinilai dari gambaran
radiologi
N0 Tidak ditemukan metastasis ke KGB
N1 Metastasis ke KGB peribronkus (10), hilus (10), intrapulmonary
(10) ipsilateral
N2 Metastasis ke KGB mediastinum (2) ipsilateral dan atau
subcarina (7)
N3 Metastasis ke KGB peribronkial, hilus, intrapulmoner,
mediastinum kontralateral dan atau KGB supraklavikula
16
M1 Terdapat metastasis jauh
M1a Metastasis ke paru pleura kontralateral, nodul di efusi pleura
ganas, efusi pericardium
M1b Metastasis jauh ke hepar, organ lain (otak, tulang, atau KGB
leher, axila, supra renal, dan lain-lain).
2.2.7 Pengelompokan stadium
Tabel 2.1.5.1
Pengelompokan Stadium Kanker
Stadium Tumor primer
(T)
Kelenjar getah
bening (N)
Metastasis
(M)
Occult
Carcinoma
Stadium 0
Stadium IA
Stadium IB
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium IIIA
Tx
Tis
T1a
T1b
T2a
T1a
T1b
T2a
T2b
T3 (>7 cm)
T1a
T1a
N0
N0
N0
N0
N1
N1
N1
N1
N0
N2
N2
N2
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
17
Stadium IIIB
Stadium IVA
Stadium IVB
T2b
T3
T4
T4
T4
Sembarang
T
Sembarang
T
Sembarang
T
N2
N1
N0
N1
N2
N3
Sembarang
N
Sembarang
N
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1a (pleura,
paru
Kontralateral
M1b
(metastasis
jauh)
2.2.8 Rekomendasi Pemeriksaan menurut WHO
1. Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien
dengan kecurigaan terkena kanker paru
2. CT scan toraks dilakukan sebagai evaluasi lanjut pada pasien dengan
kecurigaan kanker paru, dan diperluas hingga kelenjar adrenal untuk menilai
kemungkinan metastasis hingga regio tersebut
3. Bronkoskopi adalah prosedur utama yang dapat menetapkan diagnosis kanker
paru
18
4. Spesimen untuk menghasilkan pemeriksaan sitologi dan histologi didapat
terutama melalui biopsi bronkus
5. Biposi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy) adalah metode utama
mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi
6. Pemeriksaan transthoracal biopsiy (TTB) dapat dilakukan untuk
mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi maupun histopatologi
7. Bila tersedia, tuntunan endobrachial ultrasound (EBUS) juga dapat dilakukan
sebagai pemeriksaan tambahan, terutama untuk evaluasi kelenjar mediastinal,
dan mendapatkan spesimen histopatologi. Tindakan biopsi pleura,
pleuroscopy dapat dilakukan untuk mendapatkan spesimen pada pleura.
8. Jika hasil sitologi negatif, tetapi masih ada kecurigaan keganasan, maka
penilaian ulang atau Ct Scan Toraks dianjurkan
9. Pemeriksaan molekul marker (gen EGFR, gen KRAS, fusigen).
2.2.9 Penatalaksanaan Medik
Berdasarkan panduan penatalaksanaan kanker paru, Komite Penaggulangan
Kanker Nasional Kemenkes RI Tahun 2015 adalah:
2.2.9.1 Bedah
Modalitas ini adalah terapi utama untuk sebagian besar KPBSK, terutama
stadium I-II dan stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah
kemoterapi neoadjuvan. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah
lobektomi, segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah
lobektomi yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi.
19
Namun, pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas
paru yang lebih rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi
sublobaris paru dilakukan. Kini, reseksi sublobaris sering dilakukan
bersamaan dengan Video-Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS).
2.2.9.2 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
kanker paru. Radioterapi dalam tatalaksana kanker paru Bukan Sel Kecil
(KPKBSK) dapat berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi
kuratif definitif, kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif.
2.2.9.3 Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada stadium
dini, atau sebagai adjuvant pasca pembedahan. Terapi adjuvant dapat
diberikan pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK
stadium lanjut, kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan jika
tampilan umum pasien baik (Karnofsky >60; WHO 0-2). Namun, guna
kemoterapi terbesar adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan
stadium lanjut.
2.2.9.4 Terapi target
Terapi target diberikan pada penderita dengan stadium IV KPKBSK
dengan EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) mutasi positif yang
20
sensitif terhadap EGFR-TKI. Terapi EGFR- TKI yang tersedia yaitu
Gefitinib, Erlotinib atau Afatinib.
2.2.9.5 Terapi kombinasi
Terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan pada kasus-kasus tertentu,
terutama yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan. Selain
itu, terapi kombinasi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan pada
pasien dengan tampilan umum baik dan penurunan berat badan minimal,
dan pasien usia lanjut yang mempunyai komorbiditas berat atau
kontraindikasi operasi. Regimen kemoterapi dan terapi radiasi dapat
diberikan secara bersamaan (concurrent therapy), selang-seling
(alternating therapy), atau secara sekuensial. Hasil paling baik didapat dari
regimen concurrent therapy.
2.2.10 Pilihan terapi berdasakan stadium
Berdasarkan panduan penatalaksanaan kanker paru, Komite Penanggulangan
Kanker Nasional Kemenkes RI Tahun 2015 adalah:
Stadium 0 Modalitas terapi pilihan adalah pembedahan atau Photo
Dynamic Therapy (PDT).
Stadium I Modalitas terapi pilihan adalah pembedahan, yang dapat
dilakukan bersamaan dengan VATS (video-assisted
thoracoscopic surgery). Bila pasien tidak dapat menjalani
pembedahan, maka dapat diberikan terapi radiasi atau
21
kemoterapi dengan tujuan pengobatan. Selain itu, juga dapat
diberikan kombinasi terapi radiasi dengan kemoterapi. Pada
stadium I B, dapat diberikan kemoterapi adjuvant setelah reseksi
bedah.
Stadium II Terapi pilihan utama adalah reseksi bedah, jika tidak ada
kontraindikasi. Terapi radiasi atau kemoterapi adjuvant dapat
dilakukan bila ada sisa tumor atau keterlibatan kelenjar getah
bening (KGB) intratoraks, terutama N2 atau N3. Bila pasien
tidak dapat menjalani pembedahan, maka dapat diberikan terapi
radiasi dengan tujuan pengobatan. Kombinasi terapi radiasi
dengan kemoterapi dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Stadium IIIA Pada stadium ini, dapat dilakukan pembedahan (bila tumor
masih dapat dioperasi dan tidak terdapat bulky limfadenopati),
terapi radiasi, kemoterapi, atau kombinasi dari ketiga modalitas
tersebut. Reseksi bedah dapat dilakukan setelah kemoterapi
neoadjuvant dan/atau dengan kemoterapi adjuvant, terutama
pada pasien dengan lesi T3-4, N1. Pada pasien yang tidak dapat
menjalani pembedahan, dapat dilakukan terapi radiasi sendiri
dengan tujuan pengobatan. Kombinasi terapi radiasi dengan
kemoterapi dapat memberikan hasil yang lebih baik. Jika ada
keterlibatan kelenjar getah bening atau respons buruk terhadap
operasi, maka pemberian kemoterapi sendiri dapat
dipertimbangkan. Regimen ini terdiri dari 4-6 siklus pemberian
22
obat kemoterapi. Pada pasien dengan adenokarsinoma dan hasil
uji mutasi gen EGFR (epidermal growth factor receptor) positif,
dapat diberikan obat golongan EGFR-TKI.
Stadium IIIB Modalitas pengobatan yang menjadi pilihan utama bergantung
pada kondisi klinis dan tampilan umum pasien. Terapi radiasi
sendiri pada lesi primer dan lesi metastasis ipsilateral dan KGB
supraklavikula. Kemoterapi sendiri dapat diberikan dengan
regimen 4-6 siklus. Kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi
dapat memberikan hasil yang lebih baik. Obat golongan EGFR-
TKI diberikan pada adenokarsinoma dengan hasil uji mutasi gen
EGFR positif.
Stadium IV Pilihan modalitas pengobatan pada stadium ini adalah terapi
radiasi dan kemoterapi. Pendekatan tata laksana KPKBSK
stadium IV bersifat multimodalitas dengan pilihan terapi
sistemik (kemoterapi, terapi target), dan modalitas lain
(radioterapi , dan lain-lain)
Catatan: Regimen kemoterapi lini pertama adalah kemoterapi berbasis platinum
(sisplatin atau karboplatin) dengan salah satu obat generasi baru.
Sisplatin/Karboplatin + etoposid
Sisplatin/Karboplatin + gemsitabin
Sisplatin/Karboplatin + paklitaksel
Sisplatin/Karboplatin + doksetaksel
Sisplatin/Karboplatin + vinoralbin
23
Regimen kemoterapi lini kedua adalah monoterapi doksitaksel, monoterapi
pemetreksat, atau kombinasi dari dua obat baru (regimen non-platinum). Pada
kondisi tertentu, untuk lini pertama dapat diberikan kemoterapi berbasis
platinum (doublet platinum lini pertama seperti di atas) ditambahkan anti-VEGF
(bevacizumab). Pada rekurensi, pilihan terapi sesuai metastasis. Modalitas yang
dapat digunakan termasuk radiasi paliatif, kemoterapi paliatif, atau bedah paliatif
2.2. KONSEP PALLIATIF CARE
2.2.1. Definisi
Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim
paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan
dukungan bagi keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan kondisi pasien dengan mencegah dan mengurangi penderitaan
melalui identifikasi dini, penilaian yang seksama serta pengobatan nyeri dan
masalah masalah lain, baik masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO,
2002), dan pelayanan masa duka cita bagi keluarga (WHO, 2005) dalam
Pedoman Tekhnis Pelayanan Paliatif Kemenkes RI Tahun 2013. Definisi
WHO tentang perawatan paliatif care adalah pendekatan yang meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga mereka dalam menghadapi masalah
terkait dengan penyakit yang mengancam nyawa, melalui pencegahan dan
pengurangan penderitaan dengan cara identifikasi dini, pemeriksaan yang
baik, dan terapi rasa sakit dan masalah lainnya, fisik, psikososial dan
spiritual.
24
Perawatan paliatif berasal dari kata palliate (bahasa Inggris) yang berarti
meringankan, dan “paliare” (bahas latin yang berarti “menyelubungi”),
merupakan jenis pelayanan kesehatan yang berfokus untuk meringankan
gejala klien, bukan memberikan kesembuhan ( National Hospice and
Palliative Care Organization (NHPCO) dalam buku Keperawatan Medical
Bedah, Joyce M. Black, 2009)
2.2.2. Prinsip Pelayanan Paliatif Pasien Kanker
Menurut WHO (2005) dalam Pedoman Tekhnis Pelayanan Paliatif Kemenkes
RI Tahun 2013, adalah mengurangi atau menghilangkan nyeri dan keluhan
lain yang mengganggu, membuat pasien mengerti bahwa proses hidup dan
mati adalah sesuatu yang wajar, tidak bermaksud untuk mempercepat ataupun
menunda kematian, mengintegrasikan aspek psikologi dan spiritual dari
perawatan pasien, menawarkan sistem pendukung untuk membantu pasien
hidup seaktif mungkin sampai saat kematian, menawarkan sistem pendukung
untuk membantu keluarga agar dapat menerima kenyataan dan menyikapi
penyakit pasien dengan baik, menggunakan pendekatan kelompok untuk
mengetahui kebutuhan pasien dengan baik, menggunakan pendekatan
kelompok untuk mengetahui kebutuhan pasien dan keluarganya termasuk
konseling, meningkatkan kualitas hidup dan dapat juga mempengaruhi
perjalanan penyakit secara positif, dapat diterapkan dini saat perjalanan
penyakit, digabung dengan terapi lainnya yang berusaha untuk
memperpanjang hidup seperti, kemoterapi dan radioterapi, termasuk usaha
untuk mengetahui dan mengatasi komplikasi klinis yang mengganggu.
25
Pada pelayanan paliatif, pasien memiliki peran yang penting dalam membuat
keputusan yang akan diambil. Tujuan pelayanan paliatif bagi setiap pasien
berbeda dan dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin dicapai oleh pasien
bila memungkinkan. Secara umum pelayanan paliatif bertujuan untuk
menghilangkan nyeri dan gejala lain, meningkatkan kualitas hidup,
memberikan dukungan psikososial dan spiritual serta memberikan dukungan
kepada keluarga selama pasien sakit dan selama masa dukacita.
2.2.3. Indikasi pelayanan paliatif
Menurut WHO (2005) dalam Pedoman Tekhnis Pelayanan Paliatif Kemenkes
RI Tahun 2013, pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan
bila didapatkan satu atau lebih kondisi yaitu :nyeri atau keluhan fisik lainnya
yang tidak dapat diatasi; stres berat sehubungan dengan diagnosis atau terapi
kanker; penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang diakibatkannya;
permasalahan dalam pengambilan keputusann tentang terapi yang akan atau
sedang dilakukan; pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan
paliatif; angka harapan hidup lebih dari 12 bulan yaitu skor ECOG ( Eastern
Cooperative Oncology Group) lebih dari 3 atau skor Karnofsky (Karnofsky
Performance Score) kurang dari 50%, metastasis otak, dan leptomeningeal,
metastasis di cairan interstisial, vena cava superior sindrom, kaheksia, serta
kondisi berikut bila tidak dilakukan tindakan atau tidak respon terhadap
tindakan yaitu: kompresi tulang belakang, bilirubin lebih atau sama dengan
2,5 mg/dl dan kreatinin lebih atau sama dengan 3 mg/dl. Tidak berlaku pada
26
pasien kanker anak; pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon
dengan terapi yang diberikan . Skor ECOG dan Karnofsky adalah cara standar
untuk mengukur kemampuan paisen kanker dalam melakukan tugas sehari-
hari.
2.2.4. Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif
Menurut WHO (2005) dalam Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kemenkes
RI Tahun 2013 adalah: menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien,
membantu pasien dalam membuat advanced care planning (wasiat atau
keinginan terakhir), pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang
muncul, tata laksana gejala, informasi dan edukasi perawatan pasien,
dukungan psikologis, kultural dan sosial, respon pada fase terminal yaitu
memberikan tindakan sesuai wasiat atau keputusan keluarga bila wasiat
belum dibuat, misalnya: penghentian atau tidak memberikan pengobatan yang
memperpanjang proses menuju kematian (resusitasi, ventilator, cairan, dll)
dan pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal.
2.2.5. Tim dan tempat pelayanan paliatif
Dalam mencapai tujuan pelayanan paliatif pasien kanker, yaitu mengurangi
penderitaan pasien , beban keluarga, serta mencapai kualitas hidup yang lebih
baik, diperlukan sebuah tim yang bekerja secara terpadu. Pelayanan paliatif
pasien kanker juga membutuhkan keterlibatan keluarga dan tenaga relawan.
Dengan prinsip interdisipliner (koordinasi antar bidang ilmu dalam
27
menentukan tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang akan dilakukan guna
mencapai tujuan ), tim paliatif secara berkala melakukan diskusi untuk
melakukan penilaian dan diagnosis, untuk bersama pasien dan keluarga
membuat tujuan dan rencana pelayanan paliatif pasien kanker, serta
melakukan monitoring dan follow up. Kepemimpinan yang kuat dan
manajemen program secara keseluruhan harus memastikan bahwa manajer
lokal dan penyedia layanan kesehatan bekerja sebagai tim multidisiplin dalam
sistem kesehatan, dan mengkoordinasikan erat dengan tokoh masyarakat dan
organisasi yang terlibat dalam program ini, untuk mencapai tujuan bersama
(Pedoman Tekhnis Pelayanan Paliatif Kemenkes RI, 2013).
2.2.6. Komposisi tim perawatan paliatif
Menurut WHO (2005) dalam Pedoman Tekhnis Pelayanan Paliatif Kemenkes
RI Tahun 2013 terdiri dari:
2.2.6.1. Dokter
Dokter memainkan peran penting dalam pelayanan paliatif interdisipliner,
harus kompeten di kedokteran umum, kompeten dalam pengendalian rasa
sakit dan gejala lain, dan juga harus akrab dengan prinsip-prinsip
pengelolaan penyakit pasien. Dokter yang bekerja di pelayanan paliatif
mungkin bertanggung jawab untuk penilaian, pengawasan dan pengelolaan
dari banyak dilema pengobatan sulit.
28
2.2.6.2. Perawat
Merupakan anggota tim yang biasanya akan memiliki kontak terlama
dengan pasien sehingga memberikan kesempatan unik untuk mengetahui
pasien dan pengasuh, menilai secara mendalam apa yang terjadi dan apa
yang penting bagi pasien, dan untuk membantu pasien mengatasi dampak
kemajuan penyakit. Perawat dapat bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya dalam membuat rujukan sesuai dengan disiplin ilmu lain dan
pelayanan kesehatan
2.2.6.3. Pekerja Sosial dan Psikolog
Perannya membantu pasien dan keluarganya dalam mengatasi masalah
pribadi dan sosial, penyakit dan kecacatan, serta memberikan dukungan
emosional/konseling selama perkembangan penyakit dan proses berkabung.
Masalah pribadi biasanya akibat disfungsi keuangan, terutama karena
keluarga mulai merencanakan masa depan.
2.2.6.4. Konselor Spiritual
Konselor spiritual harus menjadi pendengar yang terampil dan tidak
menghakimi, mampu menangani pertanyaan yang berkaitan dengan makna
kehidupan. Sering juga berfungsi sebagai orang yang dipercaya sekaligus
sebagai sumber dukungan terkait tradisi keagamaan, pengorganisasian ritual
keagamaan dan sakramen yang berarti bagi pasien kanker. Sehingga
konselor spiritual perlu dilatih dalam perawatan akhir kehidupan.
29
2.2.6.5. Relawan
Peran relawan dalam tim perawatan paliatif akan bervariasi sesuai dengan
pengaturan. Di negara sumber daya rendah atau menengah, relawan dapat
menyediakan sebagian besar pelayanan untuk pasien. Relawan yang
termasuk dalam rumah sakit dan tim pelayanan paliatif membantu
profesional kesehatan untuk memberikan kualitas hidup yang optimal bagi
pasien dan keluarga. Relawan datang dari semua sektor masyarakat, dan
sering menyediakan link antara institusi layanan kesehatan dan pasien.
Memasukkan relawan dalam tim pelayanan paliatif membawa dimensi
dukungan masyarakat dan keahlian masyarakat. Dengan pelatihan dan
dukungan tepat, relawan dapat memberikan pelayanan langsung kepada
pasien dan keluarga, membantu tugas-tugas administratif, atau bahkan
bekerja sebagai konselor. Selain itu, dapat berperan membantu
meningkatkan kesadaran, memberikan pendidikan kesehatan, menghasilkan
dana, membantu rehabilitasi, atau bahkan memberikan beberapa jenis
perawatan medis.
2.2.6.6. Apoteker Terapi
obat merupakan komponen utama dari manajemen gejala dalam pelayan
paliatif, sehingga apoteker memainkan peranan penting. Apoteker
memastikan bahwa pasien dan keluarga memiliki akses penting ke obat-
obatan untuk pelayanan paliatif. Keahlian apoteker juga dibutuhkan untuk
mendukung tim kesehatan dengan memberikan informasi mengenai dosis
30
obat, interaksi obat, formulasi yang tepat, rute administrasi, dan alternatif
pendekatan. Morfin dan obat-obatan lain yang sesuai diperlukan untuk
pelayanan paliatif. Banyak negaranegara berpenghasilan rendah dan
menengah, akses terhadap obat-obatan tidak hanya dibatasi oleh kurangnya
apoteker untuk mengeluarkan obat-obatan, tetapi juga oleh biaya obat-
obatan yang relatif tinggi sehingga sulit dijangkau bagi banyak pasien
kanker. Untuk itu, apoteker, bahkan mereka dengan keterampilan dasar
yang cukup dan pelatihan yang terbatas sangat penting untuk pelayanan
paliatif.
2.2.6.7. Dukun
Peran obat tradisional dan dukun juga diakui. Di seluruh dunia, sekitar dua
pertiga dari pasien kanker meminta pertolongan berobat pada terapi
komplementer atau alternatif. Dalam banyak hal, dukun biasanya tidak
menjadi anggota tim perawatan paliatif. Namun demikian, harus ada ruang
untuk sebuah wacana terbuka antara penyedia layanan kesehatan dan
dukun dengan maksud untuk mengkoordinasikan upaya-upaya mereka
dalam mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka, yang sensitif dan
menghormati, dengan mempertimbangkan beragam budaya masyarakat
dan individu.
31
2.2.7. Atribut perawatan paliatif
Atribut perawatan paliatif telah diartikulasikan dalam sebuah dokumen
konsensus dari kanada. Atribut ini mendukung definisi menurut WHO dan
membimbing semua aspek perawatan di akhir kehidupan, yaitu:
2.2.7.1. Berfokus kepada pasien dan keluarga nya (Patient family focused)
Karena pasien biasanya bagian dari keluarga, saat perawatan diberikan,
pasien dan keluarga diperlakukan sebagai unit atau satu kesatuan. Semua
aspek perawatan disediakan dengan cara yang sensitif terhadap keyakinan
dan praktik pribadi, budaya, dan kepercayaan keluarga, perkembangan
negara mereka, dan kesiapan mereka untuk menghadapi proses kematian.
2.2.7.2. Berkualitas tinggi (High quality)
Semua aktivitas perawatan paliatif di rumah sakit dipandu oleh hal-hal
berikut, prinsip-prinsip: autonomy, beneficence, non maleficence, justice,
truth telling, dan confidentiality. Praktik dasar yang didasarkan pada prinsip
dan norma nasional yang telah diakui dan standar perilaku profesional,
kebijakan dan prosedur yang didasarkan pada pedoman praktik terbaik yang
ada atau berdasarkan pendapat yang lebih disukai, dan pengumpulan data
dan dokumentasi yang berdasarkan pada alat pengukuran yang divalidasi.
32
2.2.7.3. Safe and effective
Semua kegiatan perawatan paliatif hosip dilakukan dengan cara yang
kolaboratif, memastikan kerahasiaan dan privasi tanpa paksaan,
diskriminasi, pelecehan atau prasangka, menjamin keselamatan dan
keamanan bagi semua peserta. memastikan kontinuitas dan kesabaran,
bertujuan untuk meminimalkan dulpikasi dan pengulangan yang tidak perlu
dan mematuhi undang-undang, peraturan dan kebijakan yang berlaku di
dalam yurisdiksi, tuan rumah, dan organisasi.
2.2.7.4. Accesible
Semua pasien dan keluarga memiliki akses yang sama ke layanan perawatan
paliatif hospice dimana pun mereka tinggal di rumah, atau berada dalam
jarak terjangkau dari rumah mereka dan pada waktu yang tepat.
2.2.7.5. Adequately resource
Sumber daya keuangan, manusia, informasi, fisik dan masyarakat cukup
untuk menopang aktivitas organisasi dan rencana strategis dan rencana
bisnis. Sumber yang memadai terletak pada masing-masing kegiatan
organisasi yaitu:
2.2.7.6. Collaborative
Setiap komunitas membutuhkan perawatan paliatif hospice yang
diperhatikan dan ditambahkan melalui upaya kolaborasi dari organisasi dan
layanan yang ada dalam kemitraan.
33
2.2.7.7. Knowledge based
Untuk memberikan pendidikan kepada semua pasien, keluarga, perawat,
staf, dan pemangku kepentingan yang merupakan bagian integral dari
penyediaan dan kemajuan perawatan paliatif hospice berkualitas tinggi.
2.2.7.8. Advocacy based
Interaksi reguler dengan legislator, regulator, pembuat kebijakan,
penyandang dana perawatan kesehatan, perawatan paliatif lainnya
menyediakan, masyarakat profesional, dan asosiasi dan masyarakat secara
esensial untuk meningkatkan kesadaran dan mengembangkan, aktivitas
perawatan intensif dan sumber daya yang mendukungnya. semua advokasi
didasarkan pada praktik norma yang berlaku secara nasional
2.2.7.9. Researceh based
Pengembangan, diseminasi, dan integrasi pengetahuan baru sangat penting
untuk kemajuan perawatan paliatif hospit berkualitas tinggi. Bila mungkin,
semua aktivitas didasarkan pada bukti terbaik yang ada. adalah protokol
penelitian yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di dalam yurisdiksi yang mengatur penelitian dan keterlibatan subjek
manusia.
34
2.2.8. Dasar- dasar perawatan paliatif
2.2.8.1. Komunikasi dan pembuatan keputusan ( dengan penderita dan keluarga)
Berdasarkan buku Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kanker (2013),
komunikasi antara dokter dan petugas kesehatan lain dengan pasien dan
keluarga serta antara pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dalam
perawatan paliatif. Pasien adalah pribadi yang harus dihargai haknya untuk
mengetahui atau tidak mengatahui kondisi penyakitnya. Pasien juga
merupakan individu yang berhak menentukan tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya jika pasien masih memilki kompetensi untuk membuat
keputusan. Pada fase akhir kehidupan banyak pasien yang tidak lagi mampu
membuat keputusan, sehingga pembicaraan tentang apa yang akan atau tidak
dilakukan sebaiknya diputuskan pada saat pasien masih memiliki kesadaran
penuh. Walaupun demikian keluarga tetap dapat dilibatkan dalam
pengambilan keputusan. Dalam menyampaikan berita buruk, hal hal berikut
ini harus diperhatikan: Apa, sejauh mana, kapan, dengan siapa dan bagaimana
cara menyampaikan berita tersebut. Dalam hal ini, dokter dan petugas
kesehatan lain harus memperhatikan kultur yang dianut pasien dan keluarga.
2.2.8.2. Hambatan yang dapat menghambat komunikasi efektif yaitu: hambatan
pasien dalam berkomunikasi, hambatan masyarakat dalam berkomunikasi dan
hambatan tenaga kesehatan dalam berkomunikasi
35
2.2.8.3. Tantangan dalam berkomunikasi yaitu mengabarkan berita buruk,
menghadapi tanggapan emosional, menghentikan atau menahan perawatan
aktif, menghindari keheningan dan mempromosikan keterbukaan diantara
pasien kerabat, dan profesional, membahas keinginan pasien yang
mengatakan “jangan melakukan resusitasi, tanggapan yang sesuai untuk
melakukan euthanasia, membahas tentang kematian dan prosesnya, berbicara
kepada anak anak mereka, berkomunikasi dengan kolega.
2.2.8.4. Penghalang untuk komunikasi yang baik yaitu: kurangnya waktu, kurangnya
privacy, ketidakpastian, malu, kolusi ,mempertahankan harapan, kemarahan,
penyangkalan, tidak didepan anak-anak
2.2.9. Perawatan Kehilangan
Kehilangan adalah pengalaman manusia yang universal. Pengalaman ini
dialami dan diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, mencerminkan
faktor-faktor seperti relasi yang hilang, kepribadian, dan cara-cara untuk
mengatasinya. Duka cita adalah hal yang multidimensi, pikiran, perasaan dan
perilaku seseorang sebagai pengalaman setelah kehilangan. Intervensi paliatif
pada masa berduka adalah:Berkabung adalah proses yang dialami seseorang
untuk beradaptasi dengan kehilangan. Hal hal yang perlu dilakukan pada masa
berkabung adalah: Menerima kenyataan kehilangan, Mengalami rasa sakit
akibat kehilangan, Menyesuaikan diri dengan kehilangan, Menyesuiakan diri
dengan lingkungan dimana almarhum hilang, Mencari ruang dalam kehidupan
seseorang untuk almarhum sehingga ia dapat mengenang almarhum dan secara
36
tepat mengabadikannya, atau merelokasi orang itu sehingga ia dapat bergerak
maju dalam kehidupan
2.2.10. Peranan Palliative Pada Penyakit Kanker
Menurut DR. Dr. Imam Rasjidi, SPOG (K) Onk (2010), dalam buku perawatan
paliatif supportif dan bebas nyeri pada kanker, terdapat banyak alasan
mengapa pasien dengan penyakit kanker stadium lanjut tidak mendapatkan
perawatan yang memadai, namun semua alasan itu pada akhirnya berakar pada
konsep terapi yang ekslusif pada menyembuhkn penyakit dan memperpanjang
nyawa daripada meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi penderitaan.
Itulah mengapa, seringkali keputusan untuk mengambil tindakan paliatif baru
dilakukan setelah segala uaha penyembuhan penyakit ternyata tidak efektif dan
kematian tidak terelekan. Padahal seharusnya erawatan paliatif dilakukan
secara integral dengan perawatan kuratif dan rehabilitatif baik pada fase dini
maupun pada fase lanjut.
2.2.11. Tata laksana gejala
Prinsip tata laksana gejala yang muncul pada pasien dengan penyakit
stadium lanjut bervariasi, menurut WHO (2005) dalam Pedoman Tekhnis
Pelayanan Paliatif Kemenkes RI Tahun 2013 Prinsip tata laksananya adalah
sebagai berikut:
37
2.2.11.1. Evaluasi
Evaluasi terhadap gejala yang ada: Apa penyebab gejala tersebut (kanker,
anti kanker dan pengobatan lain, tirah baring, kelainan yang menyertai):
mekanisme apa yang mendasari gejala yang muncul? (misalnya: muntah
karena tekanan intrakranial yang meningkat berlainan dengan muntah karena
obstruksi gastrointestinal), adakah hal yang memperberat gejala yang ada
(cemas, depresi, insomnia, kelelahan), apakah dampak yang muncul akibat
gejala tersebut? (misalnya: tidak bisa tidur, tidak nafsu makan, tidak dapat
beraktifitas), pengobatan atau tindakan apa yang telah diberikan?, mana
yang tidak bermanfaat?, tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk
mengatasi penyebabnya? Evaluasi terhadap pasien: seberapa jauh
progresifitas penyakit? apakah gejala yang ada merupakan gejala terminal
atau sesuatu yang bersifat reversible?, apa pendapat pasien terhadap gejala
tersebut? , bagaimana respon pasien?, bagaimana fungsi tubuh? (gunakan
karnofsky rating scale).
2.2.11.2. Penjelasan
Penjelasan terhadap penyebab keluhan yang muncul sangat bermanfaat
untuk mengurangi kecemasan pasien. Jika dokter tidak menjelaskan,
mungkin pasien bertambah cemas karena menganggap dokter tidak tahu apa
yang telah terjadi dalam dirinya.
38
2.2.11.3. Diskusi
Diskusikan pasien pilihan pengobatan yang ada, hasil yang dapat dicapai
dengan pilihan yang tersedia, pemeriksaan yang diperlukan, dan apa yang
akan terjadi jika tidak dilakukan pengobatan.
2.2.11.4. Pengelolaan secara individu
Pengobatan bersifat individual, tergantung pada pilihan yang tersedia,
manfaat dan kerugian pada masing masing pasien dan keinginan pasien dan
keluarga. Pengobatan yang diberikan terdiri dari: Atasi masalah berdasarkan
penyebab dasar yaitu atasi penyebabnya bila memungkinkan (Pasien dengan
nyeri tulang karena metastase, lakukan radiasi bila memungkinkan. Pasien
dengan sesak nafas karena spasme bronkus, berikan bronkodilator. Prinsip
pengobatan : Setiap obat opioid dimulai dengan dosis terendah, kemudian
lakukan titrasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dan dapat mencegah
penderitaan dan penurunan kualitas hidup akibat efek samping obat tersebut.
Terapi fisik : Selain dengan obat, modalitas lain diperlukan untuk mengatasi
gejala misalnya relaksasi, pengaturan posisi, penyesuaian lingkungan dll.
2.2.11.5. Perhatian Khusus
Walaupun gejala yang ada tidak dapat diatasi penyebabnya, mengatasi
keluhan secara simtomatis dengan memperhatikan hal hal kecil sangat
bermanfaat (misalnya jika operasi, kemoterapi atau radiasi pada kanker
esofagus tidak dapat lagi diberikan, pengobatan untuk jamur di mulut akan
39
bermafaat bagi pasien). Gunakan kata tanya “Mengapa” untuk dapat
mengatasi mencari penyebab gejala. (misalnya: seorang pasien kanker paru
muntah. Pasien tidak hiparkalsemia atau dengan opioid. Mengapa pasien
muntah?)
2.2.11.6. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien, gejala yang ada dan dampak pengobatan yang
diberikan sangat diperlukan karena pada stadium lanjut,karena keadaan
tersebut dapat berubah dengan cepat.
2.3. KONSEP KUALITAS HIDUP
2.3.1. Definisi
Kualitas hidup didefinisikan sebagai pernyataan personal mengenai aspek
positif dan negatif yang merupakan karakteristik kehidupan Olson (2001)
dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Joyce M, Black (2009).
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka
dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup
dan dalam kaitanya dengan tujuan, harapan standar, dan perhatian mereka
(WHO (2014) dalam buku perawatan paliatif dan supportif bebas nyeri pada
kanker, Dr. Dr. Imam Rasjidi, SpOG (K) Onk, 2010).
Kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisi kemampuan indivisu
untuk mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi sevara
40
individual mengenai tujuan harapan, standar dan perhatian secara spesifik
terhadap kehidupan yang dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya
pada lingkungan individu tersebut berada ( Adam (2006) Dalam Buku
Metodologi Ilmu Keperawatan, Nursalam (2017)).
Kualitas hidup terkait kesehatan yang terdahulu, memiliki konsep untuk
mengetahui situasi individu secara aktual yang dihubungkan dengan harapan
individu tersebut mengenai kesehatannya. Pemakaian konsep terdahulu,
memeliki variasi jawaban yang tinggi, dan bersifat reaktiff terhadap pengaruh
eksternal terhadap lama menderita penyakit dan dukungan sekitar ( Beaudoin &
Edgar (2003) Dalam Buku Metodologi Ilmu Keperawatan, Nursalam, 2017).
2.3.2. Dimensi kualitas hidup
Jennifer J. Clinch dan Harvey Schiper dalam buku perawatan paliatif dan
supportif bebas nyeri pada kanker, Dr. Dr. Imam Rasjidi, SpOG (K) Onk,
2010), memberikan 10 dimensi kualitas hidup yang mendekati parameter untuk
poengukuran objektif sebagai pedoman yaitu: kondisi fisik, gejala dan nyeri,
kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, kesejahteraan
emosi, spiritual, fungsi sosial, kepuasan pada layanan terapi ( termasuk
pendanaan), orientasi masa depan ( rencana dan harapan), seksualitas (termasuk
body image).
41
2.3.3. Indikator Kualitas hidup
Meningkatnya kualitas hidup pasien kanker merupakan indikator keberhasilan
pelayanan paliatif. Kualitas hidup pasien kanker diukur dengan Modifikasi dari
Skala Mc Gill dalam pedoman tekhnis pelayanan paliatif kanker, Kementrian
Kesehatan tahun 2013. Terdapat 10 indikator yang harus dinilai oleh pasien
sendiri, yaitu :
Tabel 2.3.3
Indikator Penilaian Kualitias Hidiup Diri Pasien Sendiri
Indikator Nilai 1-10
Secara fisik saya merasa ........ Sangat buruk....
sangat baik...
Saya tertekan atau cemas Selalu....
tidak pernah...
Saya sedih Selalu...
tidak pernah.....
Dalam melihat masa depan... Selalu takut...
Tidak takut...
Keberadaan saya ... Tidak berarti tanpa tujuan...
sangat berarti dan bertujuan...
Dalam mencapai tuuahidup Tidak mencapai tujuan...
Mencapai tujuan...
Saya.... Tidak dapat...
42
sangat dapat mengontrol hidup saya
Sebagai pribadi.... Tidak baik...
Sangat baik...
Hari saya.... Sebagai beban...
Sebagai anugrah...
Saya merasa.... Tidak mendapat dukungan...
Mendapat dukungan...
2.3.4. Domain QOL menurut WHOQOL-BREF
Dalam Buku Metodologi Ilmu Keperawatan menurut Nursalam (2017), ada 4
domain yang dijadikan parameter untuk mengatahui kualitas hidup. Setiap
domain dijabarkan dalam bebrapa aspek, yaitu:
2.3.4.1. Domain kesehatan fisik, yang dijabarkan dalam aspek sebagi berikut, kegiatan
kehidupan sehari hari, ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis,
energi dan kelelahan, mobilitas fisik, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur
dan istirahat dan kapasitas kerja
2.3.4.2. Domain psikologis yang dijabarkan dalam beberapa aspek yaitu: bentuk
tampilan tubuh, perasaan negatif, perasaan positif, penghargaan diri,
spiritualitas agama dan keyakinan diri, berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi.
43
2.3.4.3. Domain hubungan sosialyang dijabarkan dalam beberapa aspek sebagai
berikut: hubungan pribadi, dukungan sosial, dan aktivitas sosial.
2.3.4.4. Domain lingkungan yang dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai berikut:;
sumber daya keuangan, kebebasan, kenyamanan, dan kemanan fisik,
kesehatan dan kepedulian sosial, alssbilitas dan kualitas, lingkungan rumah,
peluang untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru, partisipasi dan
kesempatan untuk rekreasi, dan keterampilan baru, lingkungan fisik (polusi
atau kebisingan atau lalu lintas atau iklim dan transportasi
2.4. KONSEP DUKUNGAN KELUARGA
2.4.1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup
dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya
masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Friedman,
2010).
2.4.2. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menunjukan suatu adaptasi atau modifikasi dari beberapa
deskripsi fungsi keluarga yang diajukan oleh para ahli teori, termasuk Murdock
(1949), Ogburn (1933), Parson & Bales (1955), dan Hill (1965) yang
terangkum dalam buku ajar keperawatan keluarga, Fiedman (2014) yaitu:
44
2.4.2.1. Fungsi afektif
Yaitu fungsi untuk mempertahankan kepribadian, memfasilitasi stabilisasi
kepribadian orang dewasa, memenuhi kebutuhan psikologis orang dewasa.
Fungsi afektif merupakan dasar utama baik untuk pembentukan maupun
keberlanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi afektif merupakan salah
satu fungsi keluarga yang paling penting.
2.4.2.2. Fungsi sosialisasi dan status sosial
Memfasilitasi sosialisasi primer anak yang bertujuan menjadikan anak sebagai
anggota masyarakat yang produktif serta memberikan status pada anggota
keluarga. Sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang universal danlintas
budaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat (Leslie &
Korman, 1989). Sosialisasi merujuk pada banyaknya pengalaman belajar yang
diberikan dalam keluarga yang ditunjukan untuk mendididk anak anak tentang
cara menjalankan fungsi dan memikul peran sosial orang dewasa seperti peran
yang dipikul suami-ayah dan istri-ibu.
2.4.2.3. Fungsi reproduksi
Untuk mempertahankan kontinuitas keluarga selama beberpa generasi dan
untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Salah satu fungsi dasar keluarga
untuk menjaga kontinuitas antar generasi , keluarga dan masyarakatyaitu
menyediakan anggota baru untuk masyarakat
45
2.4.2.4. Fungsi ekonomi
Menyediakan sumber ekonomi yang cukup dan alokasinya efektif. Fungsi
ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya yang cukup,
finansial, ruang, dan materi serta alokasinya yang sesuai dnegan proses
pengambilan keputusan.
2.4.2.5. Fungsi perawatan kesehatan
Menyediakan kebutuhan fisik, makanana, pakaian, tempat tinggal, dan
peawatan kesehatan. Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994
tertulis fungsi keluarga dalam delapan bentuk yaitu :
1. Fungsi Keagamaan
Meliputi membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan
hidup seluruh anggota keluarga, menerjemahkan agama kedalam tingkah
laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga, memberikan
contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengamalan dari ajaran
agama, melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang
keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat, membina
rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai pondasi
menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
2. Fungsi Budaya
Meliputi membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan
norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan,
46
membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma
dan budaya asing yang tidak sesuai, membina tugas-tugas keluarga sebagai
lembaga yang anggotanya, mencari pemecahan masalah dari berbagai
pengaruh negatif globalisasi dunia, membina tugas-tugas keluarga sebagai
lembaga yang anggotanya dapat berpartisipasi berperilaku yang baik sesuai
dengan norma bangsa indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi,
membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang dengan
budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma
keluarga kecil bahagia sejahtera.
3. Fungsi Cinta Kasih
Meliputi menumbuh kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar
anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus-
menerus, membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga
secara kuantitatif dan kualitatif, membina praktek kecintaan terhadap
kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan
seimbang, membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu
memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju
keluarga kecil bahagia sejahtera.
4. Fungsi Perlindungan
Meliputi memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa
tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga, membina
47
keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman
dan tantangan yang datang dari luar, membina dan menjadikan stabilitas
dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia
sejahtera.
5. Fungsi Reproduksi
Meliputi membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan
reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga
sekitarnya, memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah
pembentukankeluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental,
mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitandengan
waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah idealanak yang
diinginkan dalam keluarga, mengembangkan kehidupan reproduksi sehat
sebagai modal yangkondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
6. Fungsi Sosialisasi
Meliputi menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga
sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama,
menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga sebagai
pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagaikonflik dan
permasalahan yang dijumpainya baik di lingkungan sekolah maupun
masyarakat. Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-
halyang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik
48
dan mental), yang kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun
masyarakat, membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam
keluarga sehingga tidak saja bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi
orang tua, dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama
menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
7. Fungsi Ekonomi
Meliputi melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam
lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan
perkembangan kehidupan keluarga, mengelola ekonomi keluarga sehingga
terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran keluarga, mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua di luar
rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara
serasi,selaras dan seimbang, membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga
sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
8. Fungsi Pelestarian Lingkungan
Meliputi Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
internal keluarga, Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian
lingkunganeksternal keluarga, Membina kesadaran, sikap dan praktik
pelestarian lingkungan yangserasi, selaras dan seimbang dan antara
lingkungan keluargadengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya
Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan hidup
49
sebagai pola hidup keluarga menuju keluarga kecil bahagia sejahtera
(Setiadi, 2008).
2.4.3. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Friedman (1998) dikutip dari Setiadi ( 2008) membagi 5 tugas keluarga dalam
bidang kesehatan yang harus dilakukan yaitu:
2.4.3.1. Mengenal Masalah Kesehatan Setiap Anggotanya.
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena
tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah
kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua
perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan- perubahan yang dialami
anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota kleuarga
secara tidak langsung akan menjadi perhatian dari orangtua atau pengambil
keputusan dalam keluarga
2.4.3.2. Memutuskan Tindakan Yang Tepat Bagi Keluarga
Peran ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa
diantara keluarga yang mrmpunyai keputusan untuk memutuskan tindakan
yang tepat (Suprajitno, 2004). Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh
keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau
bahkan teratasi. Menurut Friedman (1998) menyatakan kontak keluarga
dengan sistem akan melibatkan lembaga kesehatan profesional ataupun
50
praktisi lokal (dukun) dan sangat bergantung pada: apakah masalah dirasakan
oleh keluarga? apakah kepala keluarga merasa meyerah dengan masalah yang
dihadapi salah satu anggota keluarga? apakah anggotakeluarga takut akibat
dari terapi yang dilakukan terhadap salah satu anggota keluarganya? apakah
kepala keluarga percaya terhadap petugas kesehatan? apakah keluarga
mempunyai kemampuan untuk menjangkau fasilitas kesehatan?
2.4.3.3. Memberikan Perawatan Terhadap Keluarga Yang Sakit
Beberapa keluarga akan membebaskan orang yang sakit dari peran atau
tanggumng jawab secara penuh, pemberian perawatan secara fisik merupakan
beban paling beratyang dirasakan keluarga (Friedman, 1998). Sedangkan
menurut Suprajitno (2004) menyatakan bahwa keluarga memiliki keterbatasan
dalam mengatasi masalah perawatan keluarga. Dirumah keluarga memiliki
kemampuan dalam melakukan pertolongan pertama. Untuk mengetahui dapat
dikaji: apakah keluarga ikut aktif dalam merawat pasien? bagaimana keluarga
mencari pertolongan dan mengerti tentang perawatan yang diperlukan pasien?
bagaimana sikap keluarga terhadap pasien? apakah keluarga ikut aktif
mencari informasi tentang perawatan pasien?
2.4.3.4. Memodifikasi Lingkungan Keluarga Untuk Menjamin Kesehatan
Keluarga
Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. keluarga memainkan peran
51
yang bersifat mendukung anggota keluarga yang sakit. dengan kata lain perlu
adanya sesuatu kecocokan yang baik antara kebutuhan keluarga dan asupan
sumber lingkungan bagi pemeliharaan kesehatan anggota keluarga.
pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki disekitar lingkungan
rumah, pengetahuan tentang pentingnya sanitasi lingkungan dan manfaatnya,
kebersamaan dalam meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang
menunjang kesehatan, kebersamaan dalam meningkatkan dan memelihara
lingkungan rumah yang menunjang kesehatan
2.4.3.5. Menggunakan Pelayanan Kesehatan
Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada). Hubungan yang
sifatnya positif akan memberi pengaruh yang baik pada keluarga mengenai
fasilitas kesehatan. Diharapkan dengan hubungan yang positif terhadap
pelayanan kesehatan akan merubah setiap perilaku anggota keluarga
mengenai sehat sakit. Menurut Efendy (1998), pada keluarga tertentubila ada
anggota keluarga yang skaitjarang dibawa ke puskesmas tapi ke mantri atau
dukun. Untuk mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana
kesehatan perlu dikaji tentang: Pengetahuan keluarga tentang fasilitas
kesehartan yang dapat dijangkau anggota keluarga, Keuntungan dari adanya
fasilitas kesehatan, Kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan yang
ada, Apakah fasilitas kesehatan dpaat dijangkau oleh keluarga
52
2.4.4. Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional,
dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi
dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi
sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota
keluarga merasa ada yang memperhatikan.
Bentuk Dukungan Keluarga Keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan
(Friedman, 2010) yaitu:
2.4.4.1. Dukungan Penilaian
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk memahami kejadian
depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang dapat
digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap
individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang
masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu
kepada individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau
perasaan seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain,
misalnya orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu
meningkatkan strategi koping individu dengan strategi-strategi alternatif
berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek yang positif.
53
2.4.4.2. Dukungan Instrumental
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support
material support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu
memecahkan masalah praktis, termasuk di dalamnya bantuan langsung,
seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu pekerjaan
sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan
merawat saat sakit ataupun mengalami depresi yang dapat membantu
memecahkan masalah. Dukungan nyata paling efektif bila dihargai oleh
individu dan mengurangi depresi individu. Pada dukungan nyata keluarga
sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis dan tujuan nyata.
2.4.4.3. Dukungan Informasional
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab
bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan
nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh
seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan
tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi
individu untuk melawan stresor. Individu yang mengalami depresi dapat
keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari
keluarga dengan menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini
keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.
54
2.4.4.4. Dukungan Emosional
Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara emosional,
sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi perasaan
seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai. Dukungan emosional
memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat mengalami
depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian
sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan
emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan
semangat.
2.4.5. Jurnal/Karya Tulis/ Penelitian
Tabel 2.4.5
Jurnal/Karya Tulis/ Penelitian
No. Judul Jurnal Peneliti Tahun
1. Hubungan Dukungan Keluarga
Terhadap Kualitas Hidup Penderita
Diabetes Melitus Di RS PKU
Muhammadyah Yogyakarta
Hasil:
Dukungan keluarga berhubungan
sangat signifikan terhadap kualitas
hidup penderita diabetes melitu
Vita Chusmeywati
2016
55
No Judul jurnal Peneliti Tahun
2. Dukungan Keluarga Terhadap Kualitas
Hidup Klien Dengan Kanker Stadium
III Dan IV Di RSKD Jawa Barat
Hasil:
Secara umum kualitas hidup yang
dimiliki klien dengan kanker di RS
Kanker Dharmais periode Mei-Juni
2013 kurang baik. Koping yang dimilki
masing-masing individu dalam
menghadapi penyakit nya berbeda-
beda. Dukungan sosial dan lingkungan
sosial bagi klien kanker dapat langsung
mempengaruhi strategi koping yang
meliputi proses emosional, kognitif dan
perilaku, dengan adanya strategi koping
yang adekuat maka akan semakin
positif persepsi klien tentang penyakit
yang dideritanya sehingga mampu
meningkatkan kualitas hidupnya.
Layya Novita
Dewi
2013
No. Judul Jurnal Peneliti Tahun
3. Pengembangan Manajeman Pelayanan
Paliatif, Fakultas Kedokteran
Christantie Efendy
2014
56
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Hasil:
Perawatan paliatif yang efektif
membutuhkan pengkajian yang akurat
terkait kebutuhan fisik dan emosional,
dan perencanaan yang tepatuntuk
mengatasi kebutuhan personal pasien.
Mengingat bahwa pelayanan paliatif
hendaknya berpusat pada pasien dan
diberikan oleh tim multi profesional
yang bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya, maka pendekatan
“Patient-Centered Care (PCC)” atau
“perawatan berpusat pada pasien”
sangat cocok untuk diterapkan dalam
pelayanan paliatif
No Judul Jurnal Peneliti Tahun
4. Paliatif Care Pada Penderita Penyakit
Terminal, AKPER PKU
Muhammadyah Surakarta
Hasil:
Perawatan paliatif merupakan
pendekatan yang bertujuan
Cemy Nur Fitria
2010
57
memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah
yang berhubungan dengan penyakit
yang dapat mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang
tertib serta penanganan nyeri dan
masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual. Penyakit terminal
merupakan penyakit progresif yaitu
penyakit yang menuju ke arah kematian
yang membutuhkan pendekatan dengan
perawatan Palliative sehingga
menambah kualitas hidup seseorang
No Judul Jurnal Peneliti Tahun
5. Kualitas Hidup Penderita Kanker Paru-
Paru
Hasil:
Semakin lama pasien kanker paru
dirawat dan menjalani pengobatan
kanker misalnya kemoterapi dan
radiasi, maka semakin rendah angka
kualitas hidupnya. Hal ini terjadi
Jacek Polansky 2016
58
karena pasien yang di bawah usia 65
tahun menunjukkan lebih banyak
keterbatasan dalam hal fungsi
psikologis, sementara usia di atas 65
tahun menunjukkan lebih banyak
keterbatasan dalam hal fungsi fisik,
sosial, dan pekerjaan.
6. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Kualitas Hidup Pasien Dengan
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik
Pentakit Dalam Rsup Fatmawati
Hasil :
Ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan kualitas hidup pasien,
dan responden merasa puas dengan
kualitas hidupnya
Aini Yusra 2011
59
2.4.6. Bagan Kerangka Teori
Skema 2.4.6 Kerangka Teori
Pasien kanker paru
Dukungan keluarga
- Dukungan emosionil
- Dukungan
instrumental
- Dukungan
informasional
- Dukungan penilaian
Menurut Friedman
(2010) dalam Vitta
Chusmeywati (2016)
Kualitas hidup
Menurut WHOQOL-
BREF (2014) dan
Jacek Polanski (2016)
Perawatan paliatif