BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Hasil Belajar Matematika
1. Hakekat Hasil Belajar Sudjana (2005 : 22) dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom (dalam, Abdurrahman, 2003 : 38) yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu: ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek. Kedua aspek yang pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi (Sudjana, 2005 : 22). Enam aspek itu, yaitu: pertama adalah pengetahuan, mencakup ingatan akan hal‐hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan berupa fakta, kaidah, dan prinsip serta metode yang diketahui; kedua pemahaman, mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari; ketiga penerapan atau aplikasi, mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru; keempat analisis, mencakup kemampuan untuk menerima suatu kesautan ke dalam bagian‐bagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik; kelima sintetis, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan pola baru, bagian‐ bagian dihubungkan satu sama lain sehingga tercipta suatu bentuk baru; keenam evaluasi, mecakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai suatu atau beberapa hal bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Hal‐hal yang berkenaan dalam ranah afektif ada dua hal yang perlu dinilai, yaitu: kompetensi afektif dan sikap serta minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran (Sudjana, 2005 : 22). Terdapat lima tingkatan dalam ranah afektif ini, pertama penerimaan, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain‐lain; kedua respon atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar; ketiga penilaian, berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus; keempat organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu sistem organisasi; kelima internalisasi termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Sedangkan yang ketiga adalah ranah psikomotorik yang tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu.
Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar Abdurrahman (2003 : 37). Kegiatan pembelajaran yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil belajar
5
6
adalah anak yang berhasil mencapai tujuan‐tujuan pembelajaran atau tujuan‐tujuan instruksional.
Hasil belajar menurut Anni (2004 : 4) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Pendapat lain mengatakan hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah mengalami pengalaman belajar (Sudjana, 2009 : 3).
Soedijarto (dalam Abidin 2012 : 49) mengungkapkan hasil belajar sebagai hasil yang dicapai oleh siswa yang telah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan perubahan pada individu, yakni perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Hasil belajar merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai siswa dalam bidang studi tertentu setelah mengikuti poses belajar mengajar.
Hasil belajar sebagai suatu hasil yang pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku tertentu sebagai akibat dari proses belajarnya (Rifa’i, 2003 : 143).
Sebenarnya hasil belajar merupakan relisasi pemekaran dari kecakapan atau kapasitas yang dimilki seseorang. Penguasaan hasil belajar dari seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaaan pengetahuan, keterampilan berpikir, maupun keterampilan motorik (Sukmadinata, 2003 : 101).
Bagi seorang guru, menilai belajar siswa sebenarnya juga menilai hasil usahanya sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu guru dalam menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status anak dalam kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar mengajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar baik berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang intinya adalah sebuah perubahan. Siswa dikatakan mempunyai hasil belajar matematika tinggi jika dapat mengerjakan soal dan mendapat hasil yang baik, menguasai kompetensi‐kompetensi yang ada, mampu menyelesaikan tugas atau masalah dalam belajar dengan baik, haus akan ilmu pengetahuan, menyukai dan sering mengikuti berbagai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, cepat dalam menerima, mengolah, memahami dan menguasai pembelajaran, cepat mengerjakan tugas dengan hasil baik, cepat dan tepat dalam bertindak.
2. Hasil Belajar Matematika Purwoto (2003 : 12) mengemukakan bahwa matematika adalah
pengetahuan tentang pola keteraturan pengetahuan tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur‐unsur yang tidak terdefinisi ke unsur‐unsur yang terdefinisi ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil.
7
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari‐hari melalui materi geometri, aljabar, dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa melalui metode matematika yang berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2004). Menurut Purwanto (2004 : 102) hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai dalam suatu usaha. Hal ini usaha dalam perwujudan hasil belajar siswa yang didapat pada nilai setip tes
Pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar matematika adalah suatu proses perubahan kemampuan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman baru yang diperoleh melalui proses interaktif dalam proses pembelajaran matematika antara peserta didik dengan lingkungannya dan dapat diukur melalui tes serta hasilnya dihitung dengan menggunakan analisis statistik. Sehingga yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah skor berupa angka yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes.
3. Faktor ‐ Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Slameto (2003 : 54) berpendapat bahwa faktor‐faktor yang mempengaruhi
hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2 faktor yaitu: pertama adalah faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (intern) meliputi faktor biologis (terdiri dari kesehatan, pendengaran dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil belajar), faktor psikologis (terdiri dari intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berpikir), faktor kelelahan (terdiri dari kelelahan jasmani dan rohani). Kelelahan jasmani tampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu akan hilang). Kedua, faktor yang ada pada luar individu (ekstern) meliputi faktor keluarga (keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan terutama dan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar), faktor sekolah (terdiri dari metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah), faktor masyarakat (terdiri dari bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar).
Faktor‐faktor yang mempengaruhi prestasi atau hasil belajar matematika menurut Purwanto (2006 : 112) yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern, yaitu faktor yaitu faktor yang ada pada diri individu sendiri. Faktor dari dalam ini antara lain adalah perhatian, kesehatan, intelegensi, minat, motivasi, aktivitas belajar dan cara belajar. Faktor ekstern yaitu meliputi faktor keluarga keadaan awal, guru dan cara mengajarnya, kurikulum, dan lingkungan sekolah.
8
Sehingga dalam penelitian ini, akan dilihat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu metode pembelajaran (cara guru mengajar).
4. Jenis − Jenis Penilaian Hasil Belajar Matema ka Penilaian hasi belajar siswa dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu penilaian
tes dan penilaian non tes. a. Tes
Tes hasil belajar menurut Purwanto (2009 : 3) merupakan tes penguasaan, karena tes ini mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru atau dipelajari oleh siswa. Tes diujikan setelah siswa memperoleh sejumlah materi sebelumnya dan pengujian dilakukan untuk mengetahui penguasaan siswa atas materi tersebut. Macam‐macam tes meliputi : pertama, tes formatif. Tes formatif yang dimaksud sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui penguasaan siswa atas semua jumlah materi yang disampaikan dalam waktu tertentu. Kedua, tes sumatif adalah tes yang digunakan untuk mengetahui penguasaan siswa atas semua jumlah materi yang disampaikan dalam satuan waktu tertentu seperti semester. Ketiga, tes diagnostik. Tes ini digunakan untuk mengidentifikasi siswa‐siswa yang mengalami masalah dan menelusuri jenis masalah yang dihadapi. Keempat, tes penempatan yaitu pengumpulan data tes hasil belajar yang diperlukan untuk menempatkan siswa dalam kelompok siswa sesuai dengan minat dan bakatnya.
b. Non Tes Penilaian non tes merupakan prosedur yang dilalui untuk
memperoleh gambaran mengenai karakteristik minat, sifat, dan kepribadian melalui : pertama, pengamatan yakni alat penilaian yang pengisiannya dilakukan oleh guru atas dasar pengamatan terhadap perilaku siswa, baik perorangan maupun kelompok, di kelas maupun di luar kelas. Kedua, skala sikap yaitu penilaian yang digunakan untuk mengungkapkan sikap siswa melalui pengerjaan tugas dengan soal‐soal yang lebih mengukur daya nalar atau pendapat siswa. Ketiga, angket yaitu alat penilaian yang menyajikan tugas‐tugas atau mengerjakan dengan cara tertulis. Keempat, catatan harian yaitu catatan mengenai perilaku siswa yang dipandang mempunyai kaitan dengan perkembangan pribadinya. Kelima, daftar cek yaitu suatu daftar yang dipergunakan untuk mengecek terhadap perilaku siswa telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum (Purwanto, 2009 : 3).
Penelitian ini menggunakan jenis penilaian hasil belajar tes dengan menggunakan pretest untuk mengukur kemampuan awal siswa dan post‐test untuk mengukur kemampuan akhir siswa setelah diberi perlakuan.
9
B. Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS) Think Pair Share adalah suatu bagian dari cooperative learning. Sebelum
membahas tentang Think Pair Share, terlebih dahulu akan dijabarkan sekilas mengenai Cooperative Learning.
Cooperative learning didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur (Lie, 2007 : 18). Struktur yang termasuk dalam definisi tersebut yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interkasi personal, keahlian bekerjasama, dan proses kelompok. Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif merupakan pondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi siswa.
Isjoni (2009 : 8) menjabarkan bahwa kooperatif berarti bekerja bersama dalam mencapai tujuan. Kegiatan kooperatif meliputi pertama, aktivitas individu. Aktivitas individu adalah mencari hasil yang menguntungkan untuk semua anggota kelompok yang lain. Pembelajaran kooperatif adalah metode digunakan oleh kelompok kecil yang terdiri dari siswa untuk bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka sendiri dan teman‐teman dalam kelompok. Pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Kedua, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok. Salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah cooperative learning.
Menurut Lie (2007 : 18) pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Pengelompokkan dengan orang sepadan dan serupa bisa menghilangkan kesempatan anggota kelompok untuk memperluas wawasan dan untuk memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.
Pada pembelajaran cooperatif learning siswa dikelompokkan berdasarkan heterogenitas (keanekaragaman). Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan interaksi dengan orang lain, serta memudahkan pengelolaan kelas. Jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai 2 sampai 5 orang. Anggota yang memiliki sedikit personil dapat lebih meningkatkan partisipasi tiap anggota tetapi sedikit pula ide yang muncul dan kesulitan memonitor, unutk anggota yang memilki 4 atau 5 personil dapat memperbanyak tugas yang dilakukan tetapi memakan banyak waktu.
Suparno (2007 : 134 ‐ 135) cooperative learning adalah pembelajaran di mana siswa dibiarkan belajar dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan bekerjasama untuk semakin menguasai bahan.
Terdapat beberapa karakteristik cooperative learning menurut Hilda K. dan Margaretha S. Y. (2002 : 71) antara lain: individual accountability (setiap individu
10
dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kelompok), social skill (meliputi seluruh hidup sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengarahan diri demi kepentingan kelompok), positive interdependence (sifat yang menunjukkan saling ketergantungan satu terhadap yang lain dalam kelompok secara positif), group processing (proses perolehan jawaban permasalahan dikerjakan oleh kelompok secara bersama‐sama).
Salah satu dari sekian banyak metode pembelajaran kooperatif yang menjadikan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan dapat meningkatkan penguasaan akademis siswa terhadap materi yang diajarkan adalah Think Pair Share (TPS). Metode pembelajaran TPS dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekan‐rekannya dari Universitas Maryland. Pendekatan struktural TPS memberikan siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta satu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.
Metode pembelajaran TPS mempunyai metode struktural yaitu, pertama siswa berpikir dan mencatat secara individu, kemudian mereka bekerja berdua‐dua untuk menciptakan beberapa pertimbangan untuk mendukung kedua pemikiran mereka atas suatu masalah. Selanjutnya, dua pasangan bekerjasama untuk mendapatkan suatu kesepakatan yang mendukung dan memurnikan beberapa pertimbangan mereka atas permasalahan tersebut. Akhirnya, masing‐masing kelompok berbagi kesimpulan dan argumentasi pendukungnya dengan keseluruhan kelas (Kennedy, 2007).
TPS memilki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain (Estiti, 2007 : 10). Melalui cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok‐kelompok kecil secara kooperatif.
TPS merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas (Trianto, 2009 : 811). Berdasarkan asumsi bahwa semua diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi siswa banyak berpikir, untuk merespon dan saling membantu. TPS ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.
Metode TPS merupakan metode pembelajaran yang dapat digunakan secara efektif untuk mengarahkan peserta didik dalam mempelajari sebuah materi pelajaran (Suprijono, 2009 : 54). TPS dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu thinking (berpikir secara individu), pairing (berdiskusi dengan berpasangan), dan sharing (berbagi dengan teman).
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran TPS merupakan metode sederhana yang memiliki keuntungan dapat mengoptimalkan partisipasi siswa dalam mengeluarkan pendapat, dan meningkatkan pengetahuan. Siswa meningkatkan daya pikir terlebih dahulu (thinking), kemudian siswa masuk ke dalam kelompok kecil atau dalam hal ini siswa mencari satu orang teman untuk bekerja berpasangan (pairing), dan berbagi
11
dengan teman yang lain (sharing). Setiap siswa berbagi pendapat, pemikiran, atau informasi yang sudah diketahui tentang masalah yang diberikan oleh guru, kemudian bersama‐sama mencari solusi. C. Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Nurhadi (2003 : 66) menggunakan langkah‐langkah thinking (berpikir), pairing (berpasangan), sharing (berbagi) dalam menerapkan metode pembelajaran Think Pair Share (TPS). Langkah Pertama, guru memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Kedua, guru meminta siswa untuk berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada langkah pertama. Interaksi pada tahap kedua diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagai ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4‐5 menit untuk berpasangan. Ketiga, guru meminta pasangan‐pasangan siswa untuk berbagi atau bekerjasama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka diskusikan dengan cara bergantian pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai beberapa siswa telah mendapat kesempatan untuk melaporkan, paling tidak sekitar seperampat pasangan, tetapi sesuaikan dengan waktu yang tersedia. Pada langkah ini akan efektif apabila guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain.
Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lie (2008 : 54) yaitu terdapat empat langkah metode pembelajaran kooperatif TPS antara lain: pertama, guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok. Kedua, setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri. Ketiga, siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya. Keempat, pasangan bertemu kembali dalam kelompok. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok lain.
Jurnal internasional center for Learning and Teaching Excellence, Susan Ledlow dalam artikelnya yang berjudul “Using Think Pair Share in the College Classroom”, menyatakan bahwa Think Pair Share adalah sebuah strategi dengan resiko yang kecil untuk membuat siswa menjadi aktif di dalam berbagai kelas. Langkah‐langkahnya sederhana: setelah menanyakan sebuah pertanyaan, mintalah siswa untuk berpikir tentang jawabannya. Sebagai variasi, guru mungkin bisa meminta siswa menuliskan jawaban individu (dalam penelitiannya berdasarkan tingkat kesulitan soal dan berapa waktu yang guru pikir cukup untuk aktivitas tersebut. Susan Ledlow memberikan 10 detik hingga 5 menit pada mahasiswa untuk bekerja secara individu). Setelah itu, mahasiswa diminta untuk berpasangan membandingkan atau mendiskusikan jawaban atau respon mahasiswa. Akhirnya, panggil secara acak beberapa mahasiswa untuk merangkum hasil diskusi dan memberikan jawaban. Pemanggilan secara acak sangat penting untuk memastikan bahwa setiap individu sudah berpartisipasi.
12
Beberapa langkah‐langkah TPS yang telah dikemukakan para ahli di atas, langkah pembelajaran TPS yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, siswa mendengarkan dengan seksama tujuan pembelajaran yang akan dicapai disampaikan oleh guru. Kedua, guru menyampaikan pentingnya belajar matematika. Ketiga, siswa diarahkan untuk mempersiapkan buku paket dan sumber belajar lainnya. Keempat, siswa mendapat soal untuk dikerjakan secara individual pada tahap Think. Kelima, siswa mengerjakan soal secara berpasangan (Pair) dan menuliskan jawaban tahap pair pada format LKS. Keenam, guru meminta beberapa kelompok secara acak mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dan ditanggapi oleh teman satu kelas yang lainnya. Ketujuh, guru dan siswa melakukan diskusi untuk penarikan kesimpulan. Kedelapan, pasangan siswa yang aktif mendapat hadiah. Kesembilan, semua hasil diskusi dicatat oleh siswa.
Pengembangan tahap‐tahap atau prosedur TPS dapat dimodifikasi sesuai dengan kreatifitas guru yang akan menggunakan metode TPS. Bisa juga menggunakan variasi media pembelajaran untuk memudahkan siswa dalam menangkap materi.
D. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Suatu metode pembelajaran tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu pula dengan metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.
Lie (2008 : 46) menyatakan kelebihan dan kekurangan dari kelompok berpasangan (kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa). Kelebihan TPS yang pertama yaitu meningkatkan pertisipasi siswa dalam pembelajaran. Kedua, cocok digunakan untuk tugas yang sederhana. Ketiga, memberikan lebih banyak kesempatan untuk konstribusi masing‐masing anggota kelompok. Keeempat, interaksi antar pasangan lebih mudah. Kelima, lebih mudah dan cepat dalam membentuk kelompok. Menurut Lie keuntungan lain dari metode pembelajaran TPS adalah dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. Kekurangan metode pembelajaran TPS adalah lebih banyak kelompok yang akan melapor dan perlu dimonitor, lebih sedikit ide yang muncul, dan jika ada masalah tidak ada penengah.
Kelebihan metode pembelajaraan kooperatif TPS juga dikemukakan oleh Hartina (2008 : 12) pertama, memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan‐pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang diajarkan. Kedua, siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesempatan dalam memecahkan masalah. Ketiga, siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, di mana tiap kelompok hanya terdiri dari 2 orang. Keempat, siswa memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar. Kelima, memungkinkan guru untuk lebih banyak
13
memantau siswa dalam proses pembelajaran. Kelemahannya yaitu waktu yang terbatas sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak.
E. Metode Pembelajaran Ekspositori
Salah satu metode pembelajaran yang sering digunakan guru adalah metode ekspositori. Metode ekspositori adalah metode pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh‐contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung.
Menurut Sanjaya (2008 : 181) metode ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach). Dikatakan demikian sebab guru memegang peran yang sangat dominan. Berbeda dengan pernyataan Mudjiono (1999 : 172) bahwa metode ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai‐nilai kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah menyusun program pembelajaran, memberi informasi yang benar, pemberi fasilitas yang baik, pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar, dan penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah pencari informasi yang benar, pemakai media dan sumber yang benar, dan menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.
Metode ekspositori dapat meliputi gabungan metode ceramah, metode drill, metode tanya jawab, metode penemuan dan metode peragaan (Hudoyo, 1998 : 133). Pembelajaran menggunakan metode ekspositori, pusat kegiatan masih terletak pada guru (Gunawibowo, 1998 : 6). Dominasi guru pada metode ekspositori sudah banyak berkurang bila dibandingkan dengan metode ceramah. Selain itu, dalam metode ekspositori siswa tidak hanya mendengar dan membuat catatan saja, tetapi juga membuat soal dan bisa bertanya kalau tidak mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individual atau menjelaskan kembali kepada siswa secara individual atau klasikal. Pada metode ekspositori siswa belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Siswa mengerjakan latihan soal sendiri atau juga dapat berdiskusi dengan temannya.
Berdasarkan definisi metode ekspositori di atas bahwa metode ekspositori mengandung ceramah tetapi siswa dituntut untuk lebih kreatif. Metode ekspositori kegiatannya meliputi ceramah, tanya jawab, demonstrasi, penugasan. Siswa dituntut untuk mengerjakan latihan soal sendiri yang diberikan oleh guru serta dapat berdiskusi dengan temannya.
14
F. Prosedur Pelaksanaan Metode Pembelajaran Ekspositori Metode ekspositori memiliki prosedur‐prosedur dalam pelaksanaannya.
Prosedur‐prosedur pelaksanaan metode ekspositori menurut Hudoyo (1998 : 107) meliputi pertama, mengetahui dengan jelas dan merumuskan secara khusus tujuan penyampaian atau hal‐hal yang hendak dipelajari oleh siswa. Kedua, menyusun materi yang akan disampaikan sebaik‐baiknya sehingga dapat dimengerti dengan jelas, menarik perhatian siswa. Ketiga, menyampaikan informasi atau materi kepada siswa. Keempat, tanya jawab tentang hal‐hal yang belum dimengerti oleh siswa. Kelima, memberikan contoh‐contoh soal dalam menjelaskan kepada siswa. Keenam, siswa mencatat hal‐hal yang dianggap perlu. Ketujuh, guru memberikan soal‐soal latihan dan dikerjakan oleh siswa sesuai dengan contoh‐contoh soal.
Wina Sanjaya (2008 : 181) menyatakan prosedur‐prosedur dalam pelaksanaan metode ekspositori yaitu pertama, persiapan (preparation) yang berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Dalam metode ekspositori, keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sangat bergantung pada langkah persiapan. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan yaitu: mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif, membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar, merangsang dan mengubah rasa ingin tahu siswa, dan menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
Kedua, penyajian (presentation) adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Hal yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Oleh sebab itu, ada beberapa hal harus diperhatikan dalam pelaksanaan langkah ini diantaranya: penggunaan bahasa, intonasi suara, menjaga kontak mata dengan siswa, serta menggunakan kemampuan guru untuk menjaga agar suasana kelas tetap hidup dan menyenangkan.
Ketiga, korelasi (correlation) merupakan langkah yang dilakukan untuk memberikan makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa.
Keempat, menyimpulkan (generalization) yaitu tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disajikan. Sebab melalui langkah menyimpulkan, siswa dapat mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti pula memberikan keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. Sehingga siswa tidak merasa ragu lagi akan penjelasan guru. Menyimpulkan bisa dilakukan dengan cara mengulang kembali inti‐inti materi yang diajarkan, dan membuat maping atau pemetaan keterkaitan antar pokok‐pokok materi.
Kelima, mengaplikasikan (application) adalah langkah untuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pembelajaran ekspositori. Sebab melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan. Teknik yang biasa
15
dilakukan pada langkah ini antaranya, dengan membuat tugas yang relevan, serta dengan memberikan tes materi yang telah diajarkan untuk dikerjakan oleh siswa. G. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Ekspositori
Hudoyo (1998: 133) menyatakan metode ekspositori memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pertama yaitu dapat menampung kelas besar. Kedua, mendorong siswa untuk mengembangkan tentang sesuatu. Ketiga, guru dapat mengajarkan materi pelajaran lebih banyak. Keempat, waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Kekurangan pertama yaitu pada metode ekspositori tidak menemukan penonjolan aktivitas fisik seperti aktivitas mental siswa. Kedua, guru bertindak sebagai pusat pembelajaran (teacher center) sehingga siswa terkesan pasif dalam pembelajaran ini. Ketiga, pengetahuan yang didapat dari metode ekspositori cepat hilang.
Menurut Gunawibowo (1998 : 6‐7) metode ekspositori memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pertama yaitu dengan metode ekspositori guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. Kedua, metode ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas. Ketiga, melalui metode ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan tentang suatu materi pelajaran juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi). Keempat, keuntungan lain adalah metode ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Kekurangan metode ekspositori yaitu pertama, metode ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik, untuk siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu perlu digunakan strategi yang lain. Kedua, metode ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, dan bakat, serta perbedaan gaya belajar. Ketiga, karena metode ekspositori lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis. Keempat, keberhasilan metode ekspositori sangat tergantung kepada apa yang dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi dan berbagai kemampuan seperti kemampuan bertutur (berkomunikasi) dan kemampuan mengelola kelas, tanpa itu sudah pasti proses pembelajaran tidak mungkin berhasil. Kelima, gaya komunikasi metode eksporitori lebih banyak terjadi satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa sangat terbatas.
16
H. Penelitian yang Relevan Atik Widarti (2007) berjudul “Efektivitas Penggunaan Metode
Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share Terhadap Hasil Belajar Pokok Bahasan Segi Empat Pada Siswa Kelas VII SMP N 1 Semarang Tahun Ajaran 2006/2007”. Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas data hasil tes dari kedua kelompok, diperoleh bahwa data kedua kelompok sampel normal dan homogen, sehingga untuk pengujian hipotesis pertama digunakan uji t dua pihak dan untuk pengujian hipotesis kedua digunakan uji t satu pihak (pihak kanan). Hasil perhitungan dengan uji t dua pihak pada ketiga aspek hasil belajar diperoleh bahwa thitung > ttabel sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti, terdapat perbedaan rata‐rata hasil belajar yang signifikan. Pada pengujian hipotesis kedua diperoleh thitung > ttabel maka H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi rata‐rata hasil belajar kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh bahwa ada perbedaan rata‐rata hasil belajar yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan rata‐rata hasil belajar kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Sehingga Pembelajaran kooperatif TPS lebih efektif daripada pembelajaran dengan metode ekspositori. Disarankan guru dapat mengembangkan pembelajaran kooperatif TPS dan menerapkan pada pokok bahasan lain.
Arum Puspasari (2012) dengan judul penelitian “Eksperimentasi Metode Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share dan Metode Pembelajaran Ekspositori Pada Materi Bangun Ruang Kelas V SD Se‐gugus Pangeran Diponegoro Tahun Ajaran 2011/2012 Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo”. Hasil penelitian yang diperoleh rerata untuk kelas eksperimen adalah 75,583 dengan standar deviasi 10,023, sedangkan rerata untuk kelas kontrol adalah 66,90 dengan standar deviasi 16,913. Berdasarkan hasil pengolahan data juga diketahui bahwa data berdistribusi normal dan juga homogen. Perhitungan hipotesis dengan uji t, diperoleh nilai = 2,475 dan =1,681 pada taraf signifikan 0,05, karena > atau 2,475 > 1,681 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif TPS menghasilkan hasil belajar matematika yang lebih baik dari metode ekspositori pada materi bangun ruang siswa kelas V SD Se‐gugus Pangeran Diponegoro tahun ajaran 2011/2012.
Robert E. Slavin (1996) yang berjudul “Research on Cooperative Learning and Achievement: What We Know, What We Need to Know”, penelitian dilaksanakan dengan bantuan Departemen Pendidikan Amerika Serikat (U.S Department of Education) yang melibatkan penelitian 79% guru SD dan 62% guru SMP dan SMA seluruh Amerika Serikat mendapatkan hasil bahwa antara metode pembelajaran kooperatif TPS dan metode pembelajaran ekspositori memiliki potensi yang sama untuk memperoleh hasil belajar yang baik.
I. Kerangka Berpikir
Pengunaan metode pembelajaran ekspositori dalam mengajar seringkali menyebabkan siswa pasif dan kurang berpikir kreatif. Padahal banyak metode
17
pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar dan proses belajar mengajar dapat berlangsung lebih berkualitas. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan struktural “Think Pair Share”. Penelitian ini menggunakan metode pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural “Think Pair Share” (untuk kelas eksperimen 1) dan metode pembelajaran ekspositori (untuk kelas eksperimen 2). Metode pembelajaran ekspositori lebih cenderung membuat siswa pasif dan merasa kesulitan ketika dihadapkan pada soal‐soal yang agak sulit atau berbeda dari contohnya. Tahap pembelajaran metode ekspositori siswa diberikan soal, berpikir secara individu, dan mengerjakan soal tanpa guru mengawasi proses pengerjaannya.
Metode pembelajaran TPS, siswa dapat menyelesaikan masalah dalam matematika dengan bekerjasama dengan pasangannya yang diawali dengan pemikiran secara individu sehingga siswa dapat menggali potensi yang dimilikinya dan dapat didiskusikan pada kelompok. Proses pembelajaran dibutuhkan keterlibatan siswa dan keaktifan siswa. Tingkat keterlibatan dan keaktifan ini dapat mempengaruhi hasil belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika.
Pada tahap thinking, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan pemecahan dari suatu soal secara mandiri. Kegiatan itu akan sangat membuat mereka bertanya‐tanya sehingga akhirnya akan timbul interaksi yang kuat antara siswa dengan materi.
Pada tahap pairing dan sharing, siswa perlu melakukan diskusi dengan teman dalam satu kelompok dan teman sekelas mengenai pemecahan soal yang telah diberikan sebelumnya secara mandiri oleh masing‐masing siswa. Selanjutnya, antara metode pembelajaran kooperatif Think Pair Share dan Metode pembelajaran ekspositori diberikan posttest untuk membandingkan hasil belajar antara kedua metode yang digunakan. Pemikiran‐pemikiran di atas dapat digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut.
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
PBM Pre‐test
Hasil Homogen
Hasil Homogen
Kelas Eksperimen 1 Think Pair Share
- Berpikir individu (Thinking)
- Berdiskusi dengan teman (Pairing)
- Berbagi dengan teman di luar kelompok (Sharing)
Post‐test
Kelas Eksperimen 2 Ekspositori Post‐test
Hasil Belajar Think Pair Share
Hasil Belajar Ekspositori
18
J. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: H0: tidak ada perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif Think Pair Share dan metode pembelajaran ekspositori pada siswa Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga . H1: ada perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif Think Pair Share dan metode pembelajaran ekspositori segitiga pada siswa Kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga .