Page 1
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1. Tingkat Pendidikan Auditor
Pendidikan merupakan suatu alat untuk dapat meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Dengan demikian, makin tinggi jenjang pendidikan yang
dimiliki oleh seorang pegawai, berarti makin luas wawasan dan pengetahuan yang
dimiliki. Pegawai yang mempunyai jenjang pendidikan yang tinggi akan berbeda
dengan pegawai yang mempunyai jenjang pendidikan rendah dalam
melaksanakan aktivitas kerjanya.
Menurut Djoyonegoro (2000: 36) pengertian pendidikan adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jenjang pendidikan yang
dimiliki, yang berasal dari disiplin ilmu yang diketahui, yang membentuk suatu
wawasan pengetahuan yang komprehensif dalam membentuk sikap dan karakter
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan didefinisikan oleh Oxford
Kamus Inggris1 sebagai (a) keahlian, dan keterampilan yang diperoleh oleh
seseorang melalui pengalaman atau pengetahuan, pemahaman teoritis atau praktis
dari suatu subjek, (b) apa yang dikenal dalam bidang tertentu atau secara total
fakta dan informasi, atau (c) kesadaran atau keakraban diperoleh pengalaman
fakta atau situasi. perdebatan filosofis pada mulai umum dengan formulasi Plato
pengetahuan sebagai "keyakinan yang benar dibenarkan." Namun ada definisi
1 Http:google.com/pengertianpengetahuan/pendidikan/menurutparaahli
10
Page 2
11
yang disepakati tunggal pengetahuan saat ini, maupun prospek satu, dan masih
ada banyak teori yang bersaing. Pengetahuan akuisisi melibatkan proses kognitif
yang kompleks: persepsi, pembelajaran, komunikasi, asosiasi dan penalaran.
Pengetahuan istilah ini juga digunakan untuk berarti pemahaman subjek percaya
diri dengan kemampuan untuk menggunakannya untuk tujuan tertentu jika sesuai,
lihat manajemen pengetahuan untuk rincian tambahan tentang disiplin itu.
Menurut Hasan (2003: 12) pentingnya pendidikan dalam peningkatan
sumber daya manusia, sangat diperlukan. Mengingat pendidikan memberikan
andil didalam melakukan pemberdayaan organisasi atau pemberdayaan
masyarakat. Pendidikan tidak terlepas dari empat variabel yaitu jenjang
pendidikan yang diamati, wawasan yang bertambah akibat menuntut ilmu melalui
pendidikan, pembentukan karakter sebagai filosofi yang dimiliki oleh orang-orang
yang berpendidikan. Pandangan ini menjelaskan bahwa untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, dituntut pendidikan yang tinggi dalam menangani
dan memberikan solusi tentang dinamika kerja yang saat ini semakin kompetitif.
Pandangan tersebut sangat jelas, menekankan bahwa untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, kualitas sumber daya manusia menjadi syarat mutlak harus
ditetapkan agar mutu kualitas kerja memuaskan. Ini dapat dilihat dari jenjang
pendidikan yang telah diamati, pembentukan wawasan yang luas, kepercayaan diri
yang timbul akibat pemahaman yang diketahui dan pembentukan karakter pribadi
dari individu yang terdidik.
Menurut Nugroho (2002: 136) pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan tentu dilakukan oleh sumber daya yang dimiliki pendidikan yang
Page 3
12
berkualitas. Pembentukan pendidikan tidak terlepas dari jenjang pendidikan yang
dimiliki oleh individu sumber daya, pengembangan wawasan yang luas sesuai
dengan kemajuan informasi dan teknologi, tertanamnya rasa percaya diri akibat
memiliki ilmu pendidikan dan pembentukan karakter sebagai akibat dari
pendidikan yang ditekuninya. Jelas, pendapat tersebut memberikan interpretasi
bahwa pendidikan yang berkualitas menuntut kualitas sumber daya manusia yang
berkualitas pula, dengan ditunjang jenjang pendidikan yang tinggi, wawasan yang
luas, sikap percaya diri terhadap pentingnya pendidikan dan output pembentukan
karakter dari pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang karyawan, maka dia akan
memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas dan didukung dengan pengalaman
kerja yang dimilikinya, maka seseorang karyawan sudah memiliki nilai plus
dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Hal tersebut juga berlaku bagi auditor,
dimana jika seorang auditor memiliki pengetahuan yang luas maka kualitas
penugasan audit yang dilaksanakannya tentunya akan lebih baik jika dibandingkan
dengan auditor yang pengetahuannya masih belum terlalu luas mengenai audit
(Jayanti, 2011: 6).
Hasanuddin (2001: 211) juga mengemukakan bahwa untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, pendidikan menjadi syarat mutlak untuk
diperhatikan. Esensi dari pendidikan yang berkualitas menjadi tolok ukur dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Unsur yang terbentuk dari
pendidikan individu sumberdaya manusia terdiri dari:
Page 4
13
1. Unsur jenjang pendidikan yang pernah ditamati (SD, SMP, SLTA, S1, S2 dan
S3). Jenjang ini memberikan perbedaan dari kualitas masing-masing individu
yang memiliki jenjang pendidikan.
2. Unsur wawasan yang luas berupa pengadopsian dan penginovasian berbagai
informasi IPTEK yang mendukung kualitas sumberdaya manusia.
Unsur percaya diri yaitu unsur yang membentuk pribadi seseorang merasa
mampu, mandiri dan memiliki kapabilitas, akibat pemahaman pendidikan yang
ditekuninya. Sehubungan dengan pendapat para ahli tersebut di atas, maka
pendidikan/pengetahuan yang dimiliki oleh Aparat Pengawas Inspektorat Provinsi
Gorontalo, merupakan syarat mutlak dalam melakukan aktivitas kerjanya.
2.1.2 Pengalaman
Pengalaman merupakan unsur profesional yang penting untuk membangun
pengetahuan dan keahlian seorang auditor. Sebagaimana yang disebutkan dalam
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) bahwa persyaratan yang dituntut dari
auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman
berpraktek sebagai auditor independen (Suryanto, 2008). Pengalaman bagi
seorang auditor merupakan elemen penting dalam menjalan kan profesinya selain
dari pendidikan (Widyasari, 2010).
Purnamasari (2005) memberikan kesimpulan bahwa seorang karyawan
yang memiliki pengalaman kerja yang tinggi akan memiliki keunggulan dalam
beberapa hal diantaranya; 1). Mendeteksi kesalahan, 2). Memahami kesalahan
dan 3) Mencari penyebab munculnya kesalahan. Keunggulan tersebut bermanfaat
Page 5
14
bagi pengembangan keahlian. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki
individu akan mempengaruhi pelaksanakan suatu tugas. Seseorang yang
berpengalaman memiliki cara berpikir yang lebih terperinci, lengkap dan
sophisticated dibandingkan seseorang yang belum berpengalaman (Taylor dan
Tood, 1995) dalam Asih (2006: 12). Pengalaman kerja dapat memperdalam dan
memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang melakukan pekerjaan
yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia menyelesaikan pekerjaan
tersebut. Semakin banyak macam pekerjaan yang dilakukan seseorang,
pengalaman kerjanya semakin kaya dan luas, dan memungkinkan peningkatan
kinerja (Asih, 2006: 13).
Mulyadi (2002: 25) jika seorang memasuki karier sebagai akuntan publik,
ia harus lebih dulu mencari pengalaman profesi dibawah pengawasan akuntan
senior yang lebih berpengalaman. Bahkan agar akuntan yang baru selesai
menempuh pendidikan formalnya dapat segera menjalani pelatihan teknis dalam
profesinya, pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga
tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di bidang audit bagi akuntan yang
ingin memperoleh izin praktik dalam profesi akuntan publik (SK Menteri
Keuangan No.43/KMK.017/1997 tanggal 27 Januari 1997).
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan yang baik di
lingkungan pemerintah daerah oleh aparat pengawas intern pemerintah harus
memiliki kualitas sumber daya manusia yang didukung pengalaman dan
pengetahuan yang memadai dalam praktik pemeriksaan serta pelatihan teknis
yang cukup tentang tehnik dan etika sebagai aparat pengawas internal pemerintah.
Page 6
15
Keahlian aparat pengawas terbentuk karena pengalaman dan pengetahuan aparat
pengawas. Disamping itu pengalaman juga akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan aparat aparat pengawas. Semakin banyak pengalaman yang aparat
pengawas dapati maka akan semakin tinggi pengetahuan mereka tentang bidang
tersebut. Pengaruh pengalaman terhadap pengetahuan sangatlah penting
diperlukan dalam rangka kewajiban aparat pengawas terhadap tugasnya untuk
memenuhi standar umum audit (Batubara, 2010).
Dalam Jurnal Maksi Vol 1 (2002: 5) yang di kutip oleh Nataline (2007)
disebutkan bahwa pengalaman auditor (lebih dari 2 tahun) dapat menentukan
profesionalisme, kinerja komitmen terhadap organisasi, serta kualitas auditor
melalui pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman melakukan audit. Dari
dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang auditor paling tidak
harus memiliki pengalaman minimal 2 tahun, sebagai akuntan dengan reputasi
yang baik di bidang audit untuk dapat menentukan profesionalisme, kinerja
komitmen terhadap organisasi, serta kualitas auditor.
Untuk membuat audit judgement, pengalaman merupakan komponen
keahlian audit yang penting dan merupakan faktor yang sangat vital dan
mempengaruhi suatu judgement yang kompleks (Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol
9 2002: 6) dalam Nataline (2007). Auditor yang tidak berpengalaman akan
melakukan atribusi kesalahan lebih besar dibandingkan dengan auditor yang
berpengalaman. Menurut Libby dan Trotman dalam Nataline (2007: 37), seorang
auditor profesional harus mempunyai pengalaman yang cukup tentang tugas dan
tanggung jawabnya. Pengalaman auditor akan menjadi bahan pertimbangan yang
Page 7
16
baik dalam mengambil keputusan dalam tugasnya. Pengalaman merupakan salah
satu elemen penting dalam tugas audit di samping pengetahuan, sehingga tidak
mengherankan apabila cara memandang dan menanggapi informasi yang
diperoleh selama melakukan pemeriksaan antara auditor berpengalaman dengan
yang kurang berpengalaman akan berbeda, demikian halnya dalam mengambil
keputusan dalam tugasnya.
Menurut Tubbs (1992) menunjukkan bahwa ketika akuntan pemeriksa
menjadi lebih berpengalaman maka auditor menjadi sadar terhadap lebih banyak
kekeliruan yang terjadi dan memiliki salah pengertian yang lebih sedikit mengenai
kekeliruan yang terjadi. Auditor menjadi lebih sadar mengenai kekeliruan yang
tidak lazim serta lebih menonjol dalam menganalisa hal-hal yang berkaitan
dengan penyebab kekeliruan. Pengalaman ternyata secara signifikan
mempengaruhi mempengaruhi pembuatan keputusan audit pada waktu
kompleksitas penugasan dihadapi oleh auditor.
Albar (2009) yang menyatakan bahwa auditor yang tidak berpengalaman
mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan dibandingkan dengan auditor
yang berpengalaman. Beliau juga mengungkapkan bahwa staf yang
berpengalaman akan memberikan pendapat yang berbeda dengan auditor junior
untuk tugas-tugas yang sifatnya tidak terstruktur dan tidak memiliki acuan
sehingga diperlukan prediksi yang banyak membutuhkan intuisi dalam membuat
keputusannya. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Bangun (2009) yang
mengatakan pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit
laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan
Page 8
17
yang pernah ditangani, semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat
menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Akuntan
pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih baik
dalam tugas-tugas profesional daripada akuntan pemeriksa yang belum
berpengalaman, dan mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai
kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Pengetahuan auditor tentang audit
akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman bekerja.
Seorang auditor yang lebih berpengalaman akan menghasilkan pekerjaan
yang lebih akurat dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bonner (1990) dalam Albar (2009)
menunjukkan bahwa auditor yang berpengalaman lebih banyak menemukan item-
item yang tidak umum dalam pemeriksaan yang dilakukannya dibanding dengan
auditor yang tidak berpengalaman.
2.1.3 Profesionalisme Auditor
Profesionalisme (profésionalisme) ialah sifat-sifat (kemampuan,
kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya
terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal
daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994)2. Jadi,
2 http: //ms.wikipedia.org
Page 9
18
profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang yang
profesional (Longman, 1987)3.
Menurut Oerip dan Uetomo, (2000) dalam Ariani (2009) profesional
artinya ahli dalam bidangnya. Jika seorang manajer mengaku sebagai seorang
yang profesional maka ia harus mampu menunjukan bahwa dia ahli dalam
bidangnya. Harus mampu menunjukan kualitas yang tinggi dalam pekerjannya.
Berbicara mengenai profesionalisme mencerminkan sikap seseorang terhadap
profesinya. Secara sederhana, profesionalisme yang diartikan perilaku, cara, dan
kualitas yang menjadi ciri suatu profesi. Seseorang dikatakan professional apabila
pekerjannya memiliki ciri standar teknis atau etika suatu profesi.
Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong
dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. 4Kualitas
profesionalisme didukung oleh ciri-ciri sebagai berikut:
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal.
Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha
mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan
mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian
tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku
yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara imej profesion. Profesionalisme yang tinggi
ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan
3 http: //ms.wikipedia.org
4 www.wikepedia.org
Page 10
19
memelihara imej profesion melalui perwujudan perilaku profesional.
Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan,
cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian,
hubungan dengan individu lainnya.
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional
yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan
keterampilannya.
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesion. Profesionalisme ditandai
dengan kualitas derajat rasa bangga akan profesion yang dipegangnya. Dalam
hal ini diharapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri
akan profesionalismenya.
Ariani (2009) menjelaskan bahwa ukuran profesionalisme diukur melalui
keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang
dibebankan organisasi kepada seseorang. Alasan pentingnya kecocokan atau
kesesuaian antara disiplin ilmu atau keahlian yang dimiliki seseorang adalah
karena jika keahlian yang dimiliki tidak sesuai dengan tugas yang dibebankan
kepadanya, maka itu berdampak pada ketidakefektifan organisasi.
Profesionalisme pegawai sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan
pegawai yang tercermin melalui perilakunya sehari – hari dalam organisasi.
Tingkat kemampuan pegawai yang tinggi akan lebih cepat mengarah kepada
pencapaian tujuan organisasi yang telah direncanakan sebelumnya, sebaliknya
apabila tingkat kemampuan pegawai rendah kecenderungan tujuan organisasi
yang akan dicapai akan lambat bahkan menyimpang dari rencana semula. Istilah
Page 11
20
kemampuan menunjukkan potensi untuk melaksanakan tugas yang mungkin dan
tidak mungkin dilakukan. Kalau disebut potensi, maka kemampuan disini baru
merupakan kekuatan yang ada di dalam diri seseorang. Dan istilah kemampuan
dapat juga dipergunakan untuk menunjukkan apa yang akan dapat dikerjakan
oleh seseorang, bukan apa yang telah dikerjakan oleh seseorang. (Pakpahan,
2009).
Menurut Pakpahan, (2009) dalam penelitianya bahwa suatu
profesionalisme adalah merupakan suatu bentuk atau bidang kegiatan yang dapat
memberikan pelayanan dengan spesialisasi dan intelektualitas yang tinggi. Bentuk
atau bidang kegiatan ini dalam mengamalkan prestasinya menjalankan tiga asas
pokok, yaitu:
1. Terdapatnya suatu pengetahuan dasar yang dapat dipelajari secara seksama
dan terdapatnya sikap pada seseorang yang menguasai pula sesuatu teknik
yang dapat dipaka dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Keberhasilan yang dicapai oleh suatu profesi, ukuran standarnya adalah
bagaimana kita menyelesaikan pelayanan cepat kepada masyarakat dan bukan
apa yang dapat dicapai seseorang bagi kepentingan pribadinya.
3. Dikembangkannya suatu sistem pengawasan atas usaha dan kegiatan praktis
para profesional dalam mengamalkan pengetahuan dan hasil pendidikannya
dengan melalui didirikannya himpunan-himpunan atau asosiasi dan
diciptakannya berbagai kode etik.
Lekatompessy (2003) menyatakan profesionalisme berkaitan dengan dua
aspek penting yaitu aspek struktural dan sikap. Aspek struktural yang
Page 12
21
karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan sekolah pelatihan,
pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek
sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.
Bidang akuntansi telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mendapatkan label “profesi”. Diantaranya terbentuknya IAI (Ikatan Akuntan
Indonesia). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang terbentuk pada tahun 1957
mempunyai wewenang dalam menentapkan standar dan aturan yang harus
dipatuhi dan ditaati oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik
yang beroperasi sebagai auditor independen. Persyaratan-persyaratan ini
dirumuskan oleh komite-komite yang dibentuk oleh IAI. Menurut Hidayat (2011)
terdapat tiga bidang utama dimana IAI berwewenang menetapkan standar dan
aturan yang bisa meningkatkan perilaku profesional seorang auditor, yaitu:
a. Standar auditing. Komite Standart Profesional Akuntan Publik (Komite
SPAP) IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing. Standar
auditing merupakan panduan audit atas laporan keuangan historis. Standar
auditing terdiri dari 10 standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan Standar
Audit (PSA). Dengan demikian PSA merupakan penjabaran lebih lanjut
masing-masing standar yang tercantum dalam standar auditing. PSA berisi
ketentuan-ketentuan dan panduan utama yang harus diikuti oleh akuntan
publik dalam melaksanakan perikatan audit. Kepatuhan terhadap Pernyataan
Standar Auditing yang dikeluarkan oleh Dewan bersifat wajib bagi anggota
Ikatan Akuntan Indonesia yang berpraktik sebagai akuntan publik. Tafsiran
resmi ini bersifat mengikat bagi anggota Ikatan Akuntan Indonesia yang
Page 13
22
berpraktik sebagai akuntan publik, sehingga pelaksanaannya bersifat wajib
(mandatory).
b. Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan. Komite SPAP IAI dan
Compilation and Review Standards Committee bertanggung jawab untuk
mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggungjawaban akuntan publik
sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang tidak diaudit.
c. Standar atestasi lainnya., IAI mengeluarkan beberapa pernyataan standar
atestasi. Pernyataan tersebut mempunyai fungsi ganda. Pertama, sebagai
kerangka yang harus diikuti oleh badan penetapan standar yang ada dalam IAI
untuk mengembangkan standar yang terinci mengenai jenis jasa atestasi yang
spesifik. Kedua, sebagai kerangka pedoman bagi para praktisi bila tidak
terdapat atau belum ada standar spesifik seperti itu. Komite Kode Etik IAI di
Indonesia dan Committee on Professional Ethics di Amerika Serikat
menetapkan ketentuan perilaku yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan
publik yang meliputi standar teknis. Standar auditing, standar atestasi, serta
standar jasa akuntansi dan review dijadikan satu menjadi Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP).
Kirana (2010) merigkas indikator profesionalisme auditor tersebut menjadi
tiga indikator yaitu:
1. Keahlian melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya.
2. Melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku
dibidang profesi yang bersangkutan
3. Menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi.
Page 14
23
Berdasarkan standar pemeriksa keuangan negara tahun 2007 menjelaskan
sebagai seorang pemeriksa secara profesional bertanggung jawab merencanakan
dan melaksanakan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan pemeriksaan. Dalam
melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami
prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjunjung tinggi integritas,
obyektivitas, dan independensi. Pemeriksa harus memiliki sikap untuk melayani
kepentingan publik, menghargai dan memelihara kepercayaan publik, dan
mempertahankan profesionalisme. Tanggung jawab ini sangat penting dalam
pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
Untuk itulah Standar Pemeriksaan ini memuat konsep akuntabilitas yang
merupakan landasan dalam pelayanan kepentingan publik.
Pemeriksa harus mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan
publik dalam melakukan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggung jawab
profesionalnya, pemeriksa mungkin menghadapi tekanan dan atau konflik dari
manajemen entitas yang diperiksa, berbagai tingkat jabatan pemerintah, dan pihak
lainnya yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan independensi pemeriksa.
Dalam menghadapi tekanan dan atau konflik tersebut, pemeriksa harus menjaga
integritas dan menjunjung tinggi tanggung jawab kepada publik. Untuk
mempertahankan dan memperluas kepercayaan publik, pemeriksa harus
melaksanakan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan derajat integritas
yang tertinggi. Pemeriksa harus profesional, obyektif, berdasarkan fakta, dan tidak
berpihak. Pemeriksa harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang
diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam melaksanakan
Page 15
24
pemeriksaannya dengan tetap memperhatikan batasan kerahasiaan yang dimuat
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemeriksa harus obyektif dan
bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam menjalankan
tanggung jawab profesionalnya.
2.1.4 Pengaruh Tingkat Pendidikan Dan Pengalaman Terhadap
Profesionalime Auditor.
Pofesionalisme auditor secara umum dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
dan pengalaman kerja. Kedua aspek tersebut memiliki peran yang penting dalam
mempengaruhi profesionalisme auditor. Beberapa faktor lain yang diduga
merupakan profesionalisme adalah pengalaman yang diukur dengan lamanya
dalam bekerja dalam organisasi, lamanya bekerja sebagai auditor, posisi dalam
organisasi Cahyani (2007). Kalbers dan Fogarty (1995) dalam Cahyani (2007)
yang menguji hubungan profesionalisme internal auditor dengan variabel
konsekuensinya dengan menggunakan ukuran tersebut untuk variabel pengalaman
menemukan bahwa dari elemen profesionalisme, hanya satu variabel yang
memiliki hubungan signifikan dengan pengalaman yaitu hubungan dengan sesama
profesi.
Namun, ukuran dengan menggunakan umur dan profesi dalam organisasi
serta lama bekerja dan keyakinan terhadap profesionalisme merupakan faktor
penting dalam menentukan profesionalisme. Latar belakang pendidikan
merupakan salah satu faktor yang dianggap cukup penting dalam menentukan
kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu, Kalbers dan
Page 16
25
Fogarty (1985) dalam Jayanti (2009) juga menggunakan variabel hubungan
dengan sesama profesi sebagai variabel anteseden profesionalisme yang
merupakan bagian dari variabel pengalaman.
Variabel pengalaman dalam penelitian mereka diukur dari jawaban
responden yaitu: pengalaman bekerja dalam organisasi sekarang, pengalaman
bekerja sebagai auditor, posisi dalam perusahaan, latar belakang dalam pendidikan
(akuntansi, manejemen dan lain sebagainya) dan sertifikat yang diperoleh (CIA,
CPA, dan lain sebagainya). Hasil pengujian terhadap variabel ditemukan bahwa
variabel pengalaman berhubungan dengan indikator profesional hubungan dengan
sesama profesi dan berhubungan dengan sesama profesi dan berhubungan dengan
komitmen organisasi bekelanjutan. Walaupun dalam penelitian variabel latar
belakang pendidikan tidak secara spesifik diuji pengaruhnya terhadap
profesonalisme namun secara implisit dapat ditarik kesimpulan bahwa latar
belakang pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan profesionalisme
(Cahyani, 2007).
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian mengenai profesionalisme auditor, pengetahuan dan
pengalaman telah banyak dilakukan diantaranya penelitian dari Yuhertiana dan
Widiyanto (2005) tentang pengaruh pendidikan, pengalaman dan pelatihan
terhadap profesionalisme auditor pemerintah yang bekerja pada badan pengawas
kota Surabaya. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa variabel pendidikan
berpengaruh positif terhadap profesionalisme auditor Bawasko dan variabel
Page 17
26
pendidikan merupakan variabel yang paling dominan pengaruhnya. Sedangkan
variabel pengalaman berpengaruh negatif atau berlawanan arah terhadap
profesionalisme auditor Bawasko dan untuk variabel pelatihan berpengaruh positif
terhadap profesionalisme auditor Bawasko.
Penelitian dari Jayanti (2011) tentang pengaruh tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja pada profesionalisme auditor BPK RI perwakilan provinsi Bali.
Menurut hasil penelitiannya, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
berpengaruh secara signifikan terhadap profesionalisme auditor. Tingkat
pendidikan yang dienyam oleh auditor memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap profesionalisme auditor. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
berdampak pada kualitas kerja seorang auditor. Semakin tinggi tingkat pendidikan
yang dimiliki akan berdampak pada semakin tinggi pula profesionalisme yang
dimiliki oleh auditor tersebut.
Pengalaman kerja auditor berpengaruh secara signifikan terhadap
profesionalisme auditor. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman audit LKPD
seorang auditor berpengaruh terhadap sikap profesionalismenya. Berdasarkan
uraian di atas maka tinjauan atas penelitian terdahulu dalam penelitian ini dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Page 18
27
Tabel 1: Tinjauan Atas Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Variabel
Penelitian Hasil Penelitian
1. Yuhertiana
dan
Widiyanto
(2005)
Pengaruh pendidikan,
pengalaman dan pelatihan
terhadap profesionalisme
auditor pemerintah yang
bekerja pada badan pengawas
kota Surabaya
Tingkat Pendidikan,
Pengalaman Kerja,
pelatihan Dan
Profesionalisme
Auditor
Hasil penelitianya menunjukkan
bahwa variabel pendidikan
berpengaruh positif terhadap
profesionalisme auditor Bawasko
dan variabel pendidikan
merupakan variabel yang paling
dominan pengaruhnya.
Sedangkan variabel pengalaman
berpengaruh negatif atau
berlawanan arah terhadap
profesionalisme auditor Bawasko
dan untuk variabel pelatihan
berpengaruh positif terhadap
profesionalisme auditor Bawasko
2. Jayanti (2011) pengaruh tingkat pendidikan
dan pengalaman kerja pada
profesionalisme auditor bpk ri
perwakilan provinsi bali
Tingkat Pendidikan,
Pengalaman Kerja
Dan Profesionalisme
Auditor
Tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap
profesionalisme auditor
3. Sumardi
(2001)
pengartm pengalaman
terhadap profesionalisme
serta
Pengardh profesionalisme
terhadap kinerja dan
kopiiasan kerja (studi emptrts
•
Auditor bpkp).
Experience,
professionalism
(consist of five
dimensions), job
performance and job
satisfaction.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
auditor BPKP yang
berpengalaman ternyata
mempunyai tingkat
profesionalisme yang tinggi
(kecuali dimensi kewajiban
sosial). Sedangkan pengujian
hubungan antara
profesionalisme terhadap kinerja
menunjukkan bahwa kecuali
dimensi keyakinan terhadap
peraturan sendiri
temyata antara kerbutnya
memmjukkan hubungan yang
signifikan. Hasil pengujian
hubungan antara
profesionalisme dengan kepuasan
kerja ternyata juga menunjukkan
basil yang signifikan demikian
halnya
hubungan tamping antara
pengalaman dengan kinerja serta
kepuasan kerja
Sumber: Data olahan, 2012
2.3 Kerangka Berfikir
Fungsi auditor internal pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat
Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) dilaksanakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal
Page 19
28
Departemen, dan Badan Pengawasan Daerah, sedangkan untuk fungsi auditor
eksternal pemerintah dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dasar
hukum yang melandasi terbentuknya BPK adalah Undang-Undang Dasar tahun
1945 (Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIIIA Pasal 23 E, F, G ),
dimana pada pasal 23 E ayat 1 memuat tentang tugas BPK yaitu untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Berlandaskan pada pasal tersebut,
BPK yang kedudukannya tidak tunduk pada pemerintah diharapkan dapat
melaksanakan tugasnya dengan independen dan profesional (Jayanti, 2011).
Profesionalisme seorang auditor menurut Hall (1968) dalam Wahyudi dan Aida
(2006) tercermin dalam lima hal yaitu: pengabdian pada profesi, kewajiban
sosial, kemandirian, kepercayaan terhadap peraturan profesi, hubungan dengan
rekan seprofesi. Profesionalisme seorang auditor dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tingkat pendidikan dan pengalaman auditor merupakan faktor teknis yang
cukup berpengaruh. Untuk melaksanakan audit secara profesional, auditor harus
senantiasa bertindak sebagai orang yang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang
auditing. Untuk dapat memiliki keahlian tersebut, dimulai dengan pendidikan
formal serta pelatihan maupun diklat yang telah diikuti, yang kemudian diperluas
melalui pengalaman-pengalaman dalam praktik audit. Pendidikan yang telah
ditempuh tersebut akan tercermin dalam bagaimana kualitas kerja dan juga
bagaimana proses pengerjaan pemeriksaan oleh auditor tersebut. Pendidikan yang
kurang memadai akan menyebabkan auditor tersebut kurang percaya diri dalam
melaksanakan tugas yang diembannya. Penelitian Deis dan Giroux (1992)
Page 20
29
menunjukkan pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
profesionalisme dan kinerja auditor. Auditor yang memiliki pendidikan yang
memadai mengenai audit dan akuntansi akan dapat menjalankan tugasnya dengan
lebih efektif dan efisien. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap profesionalisme
auditor tersebut dalam menjalankan tugas auditnya.
Berbekal pendidikan yang memadai, seorang auditor kemudian mulai
melaksanakan praktik audit. Semakin lama masa kerjanya, semakin banyak pula
praktik audit yang telah dilaksanakan. Semakin banyaknya pengalaman kerja yang
yang dimiliki, tentunya akan turut mempengaruhi profesionalisme auditor.
Pendapat ini didukung oleh Asikin (2006) yang dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa profesionalisme akan meningkat dengan sendirinya seiring dengan
perkembangan sikap mental auditor itu sendiri dalam melakukan pekerjaannya.
Jadi, semakin lama seorang auditor bekerja, maka ia akan menjadi
semakin profesional. Giu (2011) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara pengalaman auditor terhadap pertimbangan auditor. Selain itu,
semakin lama seseorang menjalani profesinya sebagai auditor tentunya akan
semakin meningkatkan rasa kemandirian dan independensinya dalam menjalankan
tugas. Seorang auditor dalam melaksanakan praktik auditnya tentunya juga akan
semakin menyadari pentingnya menjaga hubungan dengan rekan seprofesi.
Auditor yang dapat menjaga hubungan yang baik dengan rekan seprofesinya akan
memberikan pengaruh pada saat auditor tersebut melakukan audit, citra yang
tampak di mata publik akan menjadi baik tidak hanya bagi auditor itu sendiri tapi
juga bagi lembaga pemerintah Jayanti (2011).
Page 21
30
Dalam penelitiannya Jayanti (2011) ada bebrapa penelitian yang
membuktikan bahwa tingkat pendidikan dan pengalalam memiliki pengaruh
terhadap profesionalisme auditor diantaranya:
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Laksmi (2010) tentang pengaruh
supervisi, profesionalisme, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pada
kinerja auditor BPK RI Perwakilan Provinsi Bali, dalam analisisnya
menemukan bahwa variabel-variabel supervisi, profesionalisme, tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja
auditor.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Paramitha (2008) yang meneliti mengenai
pengaruh profesionalisme, etika profesi, tingkat pendidikan, dan pengalaman
kerja pada kinerja auditor (studi kasus pada perwakilan BPK RI Denpasar)
menemukan bahwa profesionalisme, tingkat pendidikan, dan pengalaman
kerja berpengaruh terhadap kinerja auditor, namun variabel etika profesi tidak
berpengaruh terhadap kinerja auditor.
3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Candra dewi (2007) yang dalam hasil
analisisnya dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan, hirarki jabatan, dan
pengalaman kerja berpengaruh secara simultan pada profesionalisme.
Dari pernyataan pengaruh tingkat pendidikan dan pengalaman terhadap
profesionalisme auditor diatas, maka hubungan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Page 22
31
Sumber: Data olahan
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Keterangan:
Dengan mengamati kerangka pemikiran di atas maka dapat di ambil
gambaran bahwa terdapat dua variabel independen (X1, X2) dan satu variabel
dependen (Y) dimana variabel independen adalah X1, menunjukkan tingkat
Grand Teori:
Pofesionalisme auditor secara umum dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja. Kedua
aspek tersebut memiliki peran yang penting dalam
mempengaruhi profesionalisme auditor. Beberapa
faktor lain yang diduga merupakan profesionalisme
adalah pengalaman yang diukur dengan lamanya
dalam bekerja dalam organisasi, lamanya bekerja
sebagai auditor, posisi dalam organisasi Cahyani
(2007). Kalbers dan Fogarty (1995) dalam Cahyani
(2007) yang menguji hubungan profesionalisme
internal auditor dengan variabel konsekuensinya
dengan menggunakan ukuran tersebut untuk variabel
pengalaman menemukan bahwa dari elemen
profesionalisme, hanya satu variabel yang memiliki
hubungan signifikan dengan pengalaman yaitu
hubungan dengan sesama profesi.
Penelitian Terdahulu:
1. Yuhertiana dan Widiyanto (2005) tentang
Pengaruh pendidikan, pengalaman dan pelatihan terhadap profesionalisme
auditor pemerintah yang bekerja pada
badan pengawas kota Surabaya.
2. Jayanti (2011) tentang pengaruh tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pada
profesionalisme auditor bpk ri perwakilan
provinsi bali
3. Sumardi (2001) pengartm pengalaman terhadap profesionalisme serta Pengardh
profesionalisme terhadap kinerja dan
kopiiasan kerja (studi emptrts Auditor
bpkp)
Tingkat Pendidikan
(X1)
Pengalaman
(X2)
Profesionalisme
Auditor
(Y)
Pengaruh Tingkat
Pendidikan dan Pengalaman
Terhadap Profesionalisme
Auditor inspektorat Se
Provinsi Gorontalo
Page 23
32
pendidikan, variabel X2 menunjukkan pengalaman, sedangkan Y menunjukkan
profesionalisme Auditor. Ketiga variabel tersebut mempunyai hubungan sebab
akibat atau kausal. Variabel independen secara bersama-sama atau serempak
mempengaruhi variabel dependen.
2.4 Hipotesis
Sugiyono (2005) “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah”. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah
dikemukakan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
diduga tingkat pendidikan dan pengalaman berpengaruh terhadap profesionalisme
auditor Inspektorat Provinsi Gorontalo.