BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1 Kajian Teoritis 1.1.1 Sistem Pemungutan Pajak Ada beberapa sistem pemungutan pajak menurut Purwono (2010: 12). Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. 1. Self Assessment Sistem merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Official Assessment Sistem , melalui sistem ini, besarnya pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi dapat dikatakan Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang tertuang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan SKP tersebut. 3. Withholding Sistem Wewenang pemungutan pajak pada sistem ini diberikan pada pihak ketiga yaitu orang atau badan yang bukan merupakan badan publik yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk memungut pajak. Pihak ketiga tersebut harus melaporkan hasil pemungutan pajak tersebut ke kas negara dalam jangka waktu tertentu sesuai Undang- undang. Untuk sementara ini, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai. 10
26
Embed
BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1.1 Sistem Pemungutan Pajakeprints.ung.ac.id/1103/3/2013-2-62201-921410093-bab2... · Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN TEORITIS
1.1 Kajian Teoritis
1.1.1 Sistem Pemungutan Pajak
Ada beberapa sistem pemungutan pajak menurut Purwono (2010: 12). Lebih
lanjut dijelaskan sebagai berikut.
1. Self Assessment Sistem merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Official Assessment Sistem , melalui sistem ini, besarnya pajak ditentukan oleh
fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi dapat
dikatakan Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan
memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang tertuang dalam
SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak
terutang berdasarkan SKP tersebut.
3. Withholding Sistem
Wewenang pemungutan pajak pada sistem ini diberikan pada pihak ketiga yaitu
orang atau badan yang bukan merupakan badan publik yang sebenarnya tidak
mempunyai wewenang untuk memungut pajak. Pihak ketiga tersebut harus
melaporkan hasil pemungutan pajak tersebut ke kas negara dalam jangka waktu
tertentu sesuai Undang- undang. Untuk sementara ini, sistem ini tercermin pada
pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai.
10
1.1.2 Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua
(Wahono, 2012:13) yaitu :
1. Perlawanan enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan antara lain:
1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya antara lain :
1) Tax avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang.
2) Tax evasion yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak)
1.1.3 Penagihan Secara Umum
Penagihan pajak menurut pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 19 Tahun
1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 sebagai berikut.
“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melakukan penyitaan, melaksanaan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Tujuan dari penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka
teguran atau sejenisnya, penyampaian Surat Paksa, penyampaian surat perintah
melakukan penyitaan dan tindakan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan,
sampai tindakan tersebut tidaklah harus tuntas dilakukan semuanya, namun urut-urutan
tindakan hanya dilakukan jika Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Misalnya jika suatu utang pajak telah dilakukan tindakan penagihan sampai dengan
surat paksa dan Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihannya,
maka kegiatan penagihan selesai sampai pada tindakan penyampaian Surat Paksa.
Pejabat Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya disebut pejabat adalah pejabat
yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita Pajak, serta menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatakan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat
lain yang diperlukan untuk penagihan pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak
tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
1.1.4 Dasar Hukum Penagihan Pajak
Sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perubahan
ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, bahwa Surat Ketepatan maupun Surat Keputusan yang menjadi
dasar penagihan pajak seperti berikut ini.
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Pajak yang tidak atau
kurang bayar dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
paling lama 24 bulan, dihitung sejak terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih
harus dibayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
4. Surat Keputusan Pembetulan
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
2) Pimpinan Bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan
pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di
bank secara seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dari Kepala
KPP tersebut.
3) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat Berita Acara
Pemblokiran, dan menyampaikan tindasnya kepada:
a. Penanggung Pajak
b. Kepala KPP yang meminta pemblokiran.
4) Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang
diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan pemohonan kepada Kepala
KPP menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya
penagihan dan utang pajak.
Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita
Pajak dan dapat dipercaya. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus:
1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak
2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
1.1.10 Pelelangan/ Penjualan Aset Sitaan
Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang
terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang (Pasal 25 ayat (1) UU PPSP).
Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat
dilaksanakan.
Namun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang, setiap penjualan
secara lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang (Penjelasan Pasal 26 ayat
(1) UU PPSP). Dalam Pasal 1 angka 17 UU PPSP disebutkan bahwa Lelang adalah
setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan/atau melalui usaha pengumpul peminat atau calon pembeli. Sedangkan kantor
yang berwenang melakukan penjualan secara lelang disebut Kantor Lelang (Pasal 1
angka 18 UU PPSP). Penjualan secara lelang terhadap barang sita dilaksanakan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa (Pasal
26 ayat (1) UU PPSP), sedangkan pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14
(empat belas) hari setelah penyitaan.
1.1.11 Daluwarsa Penagihan Pajak
Daluwarsa Penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh
undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan
penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluwarsa penagihan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang
pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan mengenai daluwarsa penagihan tersebut diatur
dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan Yang Berbunyi sebagai berikut.
“Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.”
UU tersebut, digunakan untuk tahun pajak 2007 ke atas. Sedangkan untuk tahun pajak
sebelum itu menggunakan UU No. 16 Tahun 2000 yang merupakan perubahan kedua
dari UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dalam
UU KUP pasal 22 ayat (1) tersebut, disebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan
pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak daluwarsa setelah
lampau waktu 10 tahun, terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak yang bersangkutan.
Daluwarsa penagihan pajak akan tertangguh apabila terjadi hal-hal berikut ini.
1. Diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung.
3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
1.1.12 Penghapusan Utang Pajak
Penghapusan utang pajak dilakukan karena kondisi dari Wajib Pajak yang
bersangkutan, misalnya Wajib Pajak dinyatakan bangkrut oleh pihak-pihak yang
berwenang. Penyebab penghapusan piutang pajak orang pribadi menurut Peraturan
Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan adalah sebagai berikut.
1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat diketemukan.
2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dibuktikan berdasarkan
surat keterangan dari Pemerintah Daerah setempat.
3. Wajib Pajak tidak dapat diketemukan lagi atau dokumen tidak dapat ditemukan lagi
disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran, bencana
alam, dan sebagainya.
4. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang perpajakan; atau
5. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena
kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau
berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Penyebab penghapusan utang Wajib Pajak badan adalah sebagai berikut.
1. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan.
2. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa.
3. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang perpajakan; atau
4. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena
kondisi tertentu sehubungan dengan adanya Perubahan kebijakan dan/atau
berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1.1.13 Efektivitas
Mahmudi (2010: 86) mengatakan bahwa efektivitas terkait dengan hubungan
antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Masih dalam
bukunya, disebutkan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Ndraha (2005:163)
“Efektivitas (effectiveness) yang didefinisikan secara abstrak sebagai tingkat pencapaian tujuan, diukur dengan rumus hasil dibagi dengan (per) tujuan. Tujuan yang bermula pada visi yang bersifat abstrak itu dapat dideduksi sampai menjadi kongkrit, yaitu sasaran (strategi). Sasaran adalah tujuan yang terukur, Konsep hasil relatif, bergantung pada pertanyaan, pada mata rantai mana dalam proses dan siklus pemerintahan, hasil didefinisikan.” Jadi, bisa disimpulkan bahwa
Mardiasmo (2009:134) dalam Erwis (2012) mengatakan
bahwa efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai
tujuannya. Dimana apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi
tersebut dikatakan telah berjalan efektif. Pengertian efektivitas secara umum
menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu
ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa
besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya
melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
1.2 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan
dalam penelitian ini.
Tabel 3: Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Metode
Hasil Penelitian
Derlina Sutria Tunas (2013)
Efektivitas Penagihan Tunggakan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado
Deskriptif Kuantitatif
penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado dalam hal pembayaran tunggakan pajak dengan Surat Paksa bisa dikategorikan efektif karena penerimaan tunggakan pajak tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami peningkatan.
Velayati, Mala Rizkika dkk. (2013)
Analisis Efektivitas Dan Kontribusi Tindakan Penagihan Aktif Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Sebagai Upaya Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu Tahun 2010-2012).
Deskriptif Kuantitatif
Efektivitas Surat Teguran tergolong tidak efektif. Efektivitas Surat Paksa pada tahun 2010 dan 2012 tergolong tidak efektif tetapi di tahun 2011 dikategorikan sangat efektif. Penilaian tingkat kontribusi dengan menggunakan Rasio Penerimaan Tunggakan Pajak (RPTP) kategori sangat kurang.
Juniarty, Sy. (2013)
Efektivitas Penagihan Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak Dengan Surat Teguran Dan Surat Paksa Pada Kantor
Efektivitas Penagihan Tunggakan Terhadap Pencairan Piutang Pajak masih belum efektif.
1.3 Kerangka Pemikiran
Sistem Self Assestment yang tidak didukung penuh dengan kesadaran dan
kepatuhan Wajib Pajak akan menimbulkan kelalaian terhadap kewajiban perpajakan.
Salah satu bentuk kelalaian Wajib Pajak yang sangat marak di Indonesia adalah
penunggakan pajak. Hal ini, ditunjukan dengan adanya jumlah tunggakan pajak yang
besar terhadap negara setiap tahunnya.
Tunggakan Pajak yang tidak kunjung dilunasi 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh
tempo pelunasan akan ditegur atau diperingati. Hal tersebut sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa atau
biasa disebut dengan UU PPSP. Dalam pasal 8 ayat (2) UU PPSP disebutkan apabila
Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar sampai dengan
tanggal jatuh tempo pelunasan, maka pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih
dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat lain
yang sejenis. Setelah itu, jika Surat Teguran atau Surat lain yang sejenis tidak
diindahkan oleh Penunggak Pajak maka dalam kurun waktu 21 hari dapat diterbitkan
Surat Paksa. Sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PPSP dikatakan bahwa
agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari oleh Surat Paksa,
ketentuan ini memberi kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Pelayanan Pajak Pratama Pontianak
Nana Adriana Erwis (2012)
Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan
Deskriptif Kuantitatif
Penagihan pajak di KPP Pratama Makassar Selatan tergolong tidak efektif. Kontribusi penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak tergolong sangat kurang.
kepada Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan
tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding. Selain itu,
Penagihan dengan surat paksa juga bisa dilakukan sampai pada proses penyitaan,
dimana paling cepat dalam waktu 2 × 24 jam sudah dapat diterbitkan Surat Perintah
Melakukan Penyitaan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertuang dalam UU PPSP
Pasal 1 angka 14.
Serangkaian kegiatan penagihan aktif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak ini diharapkan dapat mengupayakan pencairan tunggakan pajak dengan cara
menimbulkan efek jera (detterent effect) terhadap Penunggak Pajak yang lalai terhadap
kewajibannya. Oleh karena itu dalam Strategi Penerimaan Pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak dari tahun ke tahun Kegiatan Penagihan dianggap sebagai kegiatan
extra effort yang diyakini mampu memberikan sumbangan pemasukan bagi Kas Negara
(Siaran Pers DJP).
Sebagai kegiatan extra effort yang terus menerus digalangkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, maka keefektivan kegiatan penagihan aktif merupakan tolak ukur,
berhasil tidaknya tindakan penagihan tersebut dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Berikut merupakan gambar yang menjabarkan kerangka pemikiran peneliti untuk