45
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Landasan teori (grand theory) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
manajemen strategik, yang merupakan serangkaian proses pengambilan keputusan
dan tindakan manajerial yang dapat menentukan kinerja unit bisnis dalam jangka
panjang. Sementara itu, middle range theory yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan Resource Based View (RBV) yang menjelaskan lebih kepada
lingkungan internal perusahaan dan menggunakan Market Based View (MBV)
yang menjelaskan lebih kepada lingkungan eksternal perusahaan. Selanjutnya,
applied theory mencakup teori mengenai turbulensi lingkungan, kepemimpinan
strategis dan budaya organisasi. Gambaran teori ini dapat dilihat pada Gambar
2.1.
Menurut Wheelen dan Hunger (2015), manajemen strategik adalah
seperangkat keputusan manajerial dan tindakan yang menentukan kinerja jangka
panjang dari suatu perusahaan. Ini mencakup analisa lingkungan eksternal dan
analisa lingkungan internal, perumusan atau formulasi strategi terkait dengan
perencanaan perusahaan atau strategi jangka panjang perusahaan, implementasi
strategi, evaluasi dan control, terlihat pada Gambar 2.2:
46
Gambar 2.1Landasan Teori Penelitian
Gambar 2.2 Proses Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2015)
Manajemen Strategis
Market Based View Resource Based View
Turbulensi
LingkunganKepemimpinan
StrategisBudaya Organisasi
GrandTheory
MiddleRangeTheory
AppliedTheoryStrategi Human Capital
Kinerja Unit Bisnis
47
Selanjutnya, Hill et al. (2014) memandang manajemen strategik sebagai
seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing), dan
evaluasi (evaluating) keputusan strategik antar-fungsi yang memungkinkan
organisasi meningkatkan kinerja dan mengungguli pesaingnya dan mencapai
tujuannya di masa yang akan datang.
Dengan merangkum definisi manajemen strategik di atas, maka Manajemen
Strategik dapat diartikan sebagai seni pengambilan keputusan manajerial dalam
upayanya mencapai kinerja jangka panjang dari suatu perusahaan, serta
kemampuan mengenali keunggulan bersaingnya maupun pasar potensialnya untuk
memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman serta meraih keunggulan
bersaing secara berkelanjutan.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, berubahnya permintaan dari
pelanggan, terjadinya perubahan regulasi serta terjadinya kompetisi yang sangat
kompetitif maka terjadi perubahan paradigma dan pembaruan dari implementasi
MBV dan RBV yang pada penelitian ini diadopsi sebagai middle range theory.
MBV mendapat tantangan dari kondisi lingkungan luar yang awalnya relatif stabil
saat ini terjadi perubahan yang sangat signifikan, begitu cepat dan tidak pasti
(turbulen), sedangkan RBV mendapat tantangan karena kesulitan perusahaan
untuk dengan cepat melakukan perubahan mengikuti perubahan luar yang terjadi,
tantangan utamanya berasal dari kesulitan perusahaan untuk mempertahankan
keunikan sumber daya manusia terutama kompetensinya yang sulit untuk dapat
menyesuaikan pada lingkungan luar yang cepat berubah dan tidak pasti.
48
Penelitian ini menggunakan applied theory yaitu teori turbulensi
lingkungan yang dikembangkan oleh Kertajaya (2004), Nasruddin (2014), Tsai
dan Yang (2014), Wilden dan Gudergan (2015) dan Andotra dan Gupta (2016).
Teori kepemimpinan strategis yang dikembangkan Duignan (2004), Hitt et
al.(2012), dan Westerman (2014). Teori budaya perusahaan (William et al., 2007;
Schermerhorn et al., 2014; Armstrong dan Taylor, 2014).
Untuk meningkatkan kinerja unit bisnis yang superior maka unit bisnis
harus mampu menerapkan strategi bisnis untuk dapat menciptakan kinerja unit
bisnis yang superior dengan mengintegrasikan faktor lingkungan eksternal dan
faktor lingkungan internal. Penelitian ini menggunakan applied theory, yaitu
Teori strategi Human Capital yang dikembangkan oleh Rao dan Rothwell (2005),
Mathis dan Jackson (2010, dan Ulrich (2012). Untuk mengukur dampak dari
strategi HC tersebut maka digunakan applied theory yaitu kinerja unit bisnis yang
dikembangkan olehKaplan dan Norton (2015). Gambaran landasan teori yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Berdasarkan pada Grand Theory yang merupakan dasar dari teori-teori
lainnya, disebut makro karena teori tersebut berada pada level makro, serta middle
range theory yang merupakan teori yang berada di level menengah dimana fokus
kajiannya makro dan mikro. Applied theory yang merupakan teori di level mikro
dan siap diaplikasikan dalam konseptualisasi yang merupakan pedoman dalam
penyusunan formulasi variabel penelitian ini. Variabel penelitian ini terdiri dari
Turbulensi Lingkungan, Kepemimpinan Strategis, Budaya Organisasi, Strategi
Human Capital, dan Kinerja Unit Bisnis seperti yang tertera di bawah ini.
49
2.1.1. Turbulensi Lingkungan
2.1.1. Definisi Turbulensi Lingkungan
Turbulensi lingkungan adalah situasi di dalam lingkungan eksternal yang
menunjukkan adanya kekacauan, pasar hyper-competition, lingkungan amat ganas
dan kompleks. Aspek non-market menjadi penting dan perusahaan harus
mempertimbangkan proses lingkungan internal maupun eksternal. Lingkungan
turbulen merupakan lingkungan yang paling dinamik dengan ketidakpastian
terbesar. Pada saat terjadi perubahan maka unsur-unsur dalam lingkungan saling
terkait satu sama lain. Jika perubahan dilakukan secara bersama-sama,maka
unsur-unsur dalam lingkungan menciptakan compounded changes effect terhadap
perusahaan. Pada lingkungan yang turbulen perusahaan mungkin harus selalu
mengembangkan produk-produk dan jasa-jasa baru sebagai dasar untuk survive
dan juga harus selalu mengevaluasi hubungannya dengan kompetitor.
Lingkungan turbulen merupakan lingkungan yang dinamis dengan
ketidakpastian (Choo dan Auster, 1993) serta ketidakteraturan (Calantone et al.,
2003) yang menjadi perhatian agar perubahan lingkungan yang merupakan
ancaman dapat dikendalikan sehingga tidak menurunkan kinerja organisasi.
Turbulensi lingkungan adalah meningkatnya ketidakpastian dan kesulitan
memprediksi masa depan (Glazer dan Weiss, 1993). Menurut Jaworki dan Kohli
(1995) dalam penelitiannya terhadap orientasi pasar (market orientation),
hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja tampaknya menjadi kuat di
konteks turbulensi lingkungan, yang ditandai dengan turbulensi pasar, turbulensi
teknologi dan intensitas persaingan.
50
Turbulensi ditandai dengan terjadinya perubahan teknologi yang cepat
(Mendelson dan Pillai, 1998), di mana kondisi umum dan ketidakpastian yang
tidak dapat diprediksi dan seringkali mengakibatkan tingginya tingkat perefensi
pelanggan, pengembangan teknologi dan kondisi pasar sangat berperan. Ada lima
faktor yang sangat berpengaruh dalam turbulensi lingkungan (Liao et al., 2008),
antara lain turbulensi pasar, turbulensi teknologi, turbulensi kompetisi, turbulensi
pemasok dan turbulensi regulasi.
Beberapa penyebab terjadinya turbulensi lingkungan adalah : (1) cepatnya
perubahan teknologi (fast changing technology) dan perubahan market (Lynn dan
Nunez, 2012); (2) konvergensi layanan dalam industri media dan komunikasi
(Chakravarthy, 1997); (3) terjadinya peningkatan ketersediaan layanan dengan
kemudahan ketersediaan informasi (D’Aveni dan Gunther, 2007). Turbulensi
adalah kesempatan besar untuk maju dan hal ini sering terjadi dengan melalui cara
transformasi (Harrington et al., 2005), kepemimpinan yang dilakukan pada
kondisi ini harus cepat bereaksi, kreatif untuk mengambil kesempatan dari
pesaing.
Sementara itu, turbulensi menurut Kartajaya (2004) ditandai dengan
cepatnya perubahan pasar, perkembangan teknologi, perubahan regulasi, serta
tingginya intensitas kompetisi. Menurut Nashiruddin (2014), definisi turbulensi
lingkungan adalah suatu gejolak ketidakteraturan atau ketidakpastian lingkungan
bisnis, yang ditandai dengan kecepatan perubahan yang sangat tinggi, sulit
diprediksi serta berdampak besar. Menurut Tsai dan Yang (2014), turbulensi
teknologi dan pasar mempengaruhi dampak inovasi perusahaan terhadap
51
performansi bisnis.Turbulensi teknologi memberikan efek positif terhadap inovasi
yang juga berdampak terhadap performansi bisnis, sejalan dengan itu turbulensi
dapat memperkuat keterkaitan inovasi perusahaan. Menurut Wilden dan Gudergan
(2015), utilisasi dari kapabilitas dinamis yang berkelanjutan, melalui proses
evaluasi dan rekonfigurasi berkaitan erat dengan perubahan kapabilitas teknologi
dan pemasaran, termasuk didalamnya bagaimana turbulensi pasar, teknologi dan
kompetisi bisa berpengaruh pada keterhubungan antara proses evaluasi dan
rekonfigurasi tersebut.
Menurut Andotra dan Gupta (2016), hubungan kinerja dan orientasi pasar
dimediasi oleh intensitas persaingan, turbulensi pasar dan turbulensi teknologi.
Dari ketiga komponen tersebut turbulensi teknologi dan intensitas persaingan
memberikan dampak yang signifikan bagi hubungan tersebut, namun turbulensi
pasar memberikan dampak yang tidak begitu besar. Kedua komponen yang
memberikan dampak yang signifikan memiliki dampak yang berlawanan, dimana
intensitas persaingan memberikan hubungan yang berbanding lurus sementara
turbulensi teknologi yang tinggi malah melemahkan hubungan kinerja dan
orientasi pasar.
Berdasarkan definisi di atas, dapat diidentifikasi ciri dari turbulensi antara
lain yaitu: adanya ketidakpastian (uncertainty), cepat berubah (rapid change),
sulit diprediksi (unpredictable), lingkungan yang rumit atau complexity.
Untuk mengatasi turbulensi lingkungan diperlukan cara berpikir yang tepat.
Mark Bonchek (2016) menjelaskan tentang pemikiran incremental thinking versus
exponential thinking yang digambarkan sebagai berikut :
52
Gambar 2.3 Incremental Thinking Vs Exponential Thinking
Sumber : Mark Bonchek (2016)
Incremental thinking memberikan hasil stabil secara langsung, sementara
pemikiran eksponensial (exponential thinking) memberikan hasil yang
berakselerasi dari waktu ke waktu. Harapan yang salah dapat menyebabkan tim
segera keluar dari jalur eksponensial. Kadang-kadang model inkremental dari
hambatan masuk, kampanye linier, dan kontrol hirarkis akan menjadi model yang
tepat, tapi model tersebut kadang-kadang perlu diganti dengan model
eksponensial yang berbasis pada efek jaringan, orbital merek, dan jaringan
terdistribusi.
Bonchek (2016) menjelaskan bahwa perusahaan berusaha untuk menjadi
"organisasi pembelajar" yang terus-menerus mengubah diri mereka sendiri. Di era
digital ini, tujuan tersebut lebih penting dari sebelumnya. Bakan perusahaan-
perusahaan terbaik pun masih harus berjuang mengejar kemajuan nyata di bidang
digital.
53
Mempertimbangkan definisi turbulensi lingkungan dan berbagai pendapat
tersebut di atas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan bisnis
telekomunikasi di Indonesia, maka konsep turbulensi lingkungan pada penelitian
ini didefinisikan sebagai suatu kondisi lingkungan eksternal (pasar, kompetisi,
teknologi, regulasi) yang tidak pasti, cepat berubah, kacau dan sulit diprediksi
serta ditandai dengan kecepatan perubahan yang berdampak disruptive terhadap
bisnis dan jika dimanfaatkan maka akan menjadi peluang.
Konsep turbulensi lingkungan sendiri sudah seringkali menjadi objek
penelitian yang tertuang pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Konsep Turbulensi Lingkungan
No Penulis Konsep
1 Kartajaya
(2004)
Ditandai dengan cepatnya perubahan pasar, perkembangan
teknologi, perubahan regulasi serta tingginya intensitas
kompetisi
2
Wijen dan
Van Tulder
(2011)
Di dalam konsep bisnis internasional termasuk untuk
menghadapi globalisasi, aspek lingkungan yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap
keberlangsungan bisnis adalah kebergantungan pasar dan
ketatnya regulasi yang diimplementasikan oleh pemerintah
setempat.
3 Nashiruddin
(2014)
Turbulensi lingkungan didefinisikan sebagai gejolak
ketidakteraturan atau ketidakpastian lingkungan bisnis,
yang ditandai dengan kecepatan perubahan yang sangat
tinggi, sulit diprediksi dan berdampak besar.
4 Tsai dan
Yang (2014)
Turbulensi teknologi dan pasar mempengaruhi dampak
inovasi perusahaan terhadap performansi bisnis. Turbulensi
teknologi memberikan efek positif terhadap inovasi yang
juga berdampak positif terhadap performansi bisnis.
Sejalan dengan itu, turbulensi pasar dapat memperkuat
keterkaitan inovasi perusahaan
54
Tabel 2.2 Konsep Turbulensi Lingkungan (Lanjutan)
No Penulis Konsep
5
Wilden dan
Gudergan
(2015)
Utilisasi dari kapabilitas dinamis yang berkelanjutan,
melalui proses evaluasi dan rekonfigurasi berkaitan erat
dengan perubahan kapabilitas teknologi dan pemasaran,
termasuk di dalamnya bagaimana turbulensi pasar,
teknologi dan kompetisi bisa berpengaruh pada
keterhubungan antara proses evaluasi dan rekonfigurasi
tersebut
6
Andotra dan
Gupta
(2016)
Hubungan kinerja dan orientasi pasar dimediasi oleh
intensitas persaingan, turbulensi pasar, dan turbulensi
teknologi. Dari ketiga komponen tersebut, turbulensi
teknologi dan intensitas persaingan memberikan dampak
yang signifikan bagi hubungan tersebut, namun turbulensi
pasar memberikan dampak yang tidak begitu besar. Kedua
komponen yang memberikan dampak yang signifikan
memiliki dampak yang berlawanan, dimana intensitas
persaingan memberikan hubungan yang berbanding lurus
sementara turbulensi teknologi yang tinggi malah
melemahkan hubungan kinerja dan orientasi pasar.
7.
Dwi
Heriyanto B
(2018)
Turbulensi lingkungan didefinisikan sebagai suatu kondisi
lingkungan eksternal (pasar, kompetisi, teknologi, regulasi)
yang tidak pasti, cepat berubah, kacau dan sulit diprediksi
serta ditandai dengan kecepatan perubahan yang
berdampak disruptive terhadap bisnis dan jika
dimanfaatkan maka akan menjadi peluang.
2.1.1.2 Dimensi Turbulensi Lingkungan
Beberapa penelitian terdahulu yang mengukur tentang turbulensi
lingkungan menemukan berbagai dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur
variabel turbulensi lingkungan. Ada dua pendekatan dalam pengukuran turbulensi
lingkungan, pendekatan yang pertama adalah pengukuran turbulensi berdasarkan
sifat turbulensi, peneliti pendahulu seperti Emery dan Trist (1965) lalu
dikembangkan oleh Dess dan Beard (1984) antara lain berisi dimensi (1)
55
Dynamism yaitu sifat yang memperlihatkan kecepatan perubahan, ketidakpastian
dan sulit untuk diprediksi, (2) Complexity yaitu tingkat kerumitan yang terjadi,(3)
Munificiency yaitu kelangkaan sumberdaya.
Peneliti lainnya seperti Ansoff dan McDonnell (1990) menambahkan satu
dimensi yaitu (4) kebaruan perubahan novelty of change, dari tiga dimensi yang
sudah ditetapkan peneliti sebelumnya yaitu kecepatan perubahan, kerumitan serta
perubahan prediksi dalam lingkungan bisnis. Pendekatan lainnya disampaikan
oleh Glazer dan Weiss (1993) yaitu: (1) jumlah kejadian yang meningkat secara
dramatik,(2) seringnya terjadi perubahan yang mendasar di knowledge based, (3)
tingginya tingkat perubahan yang terjadi, (4) ada sesuatu yang tiba-tiba hilang
secara cepat dalam kebutuhan dan tingkat pertumbuhan, (5) ketidakpastian dan
ketidaktepatan prediksi masa depan karena turbulensi lingkungan.
Pengukuran turbulensi berdasarkan penyebab turbulensi lingkungan yang
terjadi menurut Jaworski dan Kohli (1993) adalah (1) turbulensi pasar, (2)
turbulensi teknologi dan (3) turbulensi persaingan. Selanjutnya, Kartajaya (2004)
menambahkan turbulensi regulasi yang menjadi penyebab turbulensi lingkungan.
Sedangkan menurut Wijen dan Van Tulder (2011), turbulensi lingkungan
dipengaruhi oleh kebergantungan pasar dan dinamika regulasi. Menurut Tsai dan
Yang (2014), turbulensi lingkungan hanya dipengaruhi oleh dua aspek yaitu
turbulensi teknologi dan turbulensi pasar, lalu ditambahkan aspek turbulensi
kompetitor oleh Wilden dan Gudergan (2015). Penelitian oleh Andotra dan Gupta
(2016) berisi tentang turbulensi lingkungan yang diukur dari intensitas persaingan,
turbulensi teknologi dan turbulensi pasar.
56
Gambaran tentang dimensi turbulensi lingkungan dari para peneliti
sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komparasi/Konstruk Dimensi Turbulensi Lingkungan
Kartajaya
(2004)
Nasruddin
(2014)
Tsai dan
Yang (2014)
Wilden dan
Gudergan
(2015)
Andotra
dan Gupta
(2016)
Konstruk
Dwi
Heriyanto
(2018)
Turbulensi
pasar Turbulensi
pasar Turbulensi
teknologi Turbulensi
kompetitor Intensitas
Persaingan Turbulensi
pasar
Turbulensi
teknologi Turbulensi
teknologi Turbulensi
pasar Turbulensi
Teknologi Turbulensi
Teknologi Turbulensi
teknologi
Turbulensi
kompetisi Turbulensi
kompetisi Turbulensi
Pasar Turbulensi
Pasar Turbulensi
kompetisi
Turbulensi
regulasi Turbulensi
regulasi Turbulensi
regulasi
Turbulensi
disruptive
Mempertimbangkan karakteristik industri yang menjadi fokus penelitian
adalah industri telekomunikasi yang memiliki turbulensi tingkat yang tinggi
(Nashiruddin, 2014) dan ditandai dengan cepatnya perubahan pasar,
perkembangan teknologi, perubahan regulasi serta tingginya intensitas kompetisi
(Kartajaya, 2004), maka penelitian ini menggunakan empat dimensi turbulensi
lingkungan yang telah diuraikan pada penelitian terdahulu yaitu turbulensi
lingkungan pasar, turbulensi lingkungan kompetisi,turbulensi teknologi, dan
turbulensi lingkungan regulasi.
Selain keempat dimensi yang sudah dijabarkan di atas, kondisi lingkungan
digital juga memunculkan adanya kemunculan produk pengganti atau bisnis
57
model baru yang memiliki nature yang sangat berbeda, namun berpotensi
mengganggu stabilitas bisnis incumbent. Munculnya produk pengganti seperti
WhatsApp yang dilengkapi dengan fitur call, Skype dengan Video Call, produk-
produk konten yang menggunakan teknologi internet, merupakan suatu bentuk
disruptive innovation.Inovasi disruptivesendiri menurut Christensen (2006) adalah
“bringing to the market a product that was not as good, but was more affordable,
simpler, and more convenient to use.” Karakterisitik produk yang relatif lebih
murah dan nyaman bagi pengguna, menjadi tantangan tersendiri bagi
penyelenggara layanan telekomunikasi dalam berkompetisi dengan produk OTT
tersebut. Konsep disruptive innovation ini kemudian memberi landasan
terbentuknya konstruk dimensi lingkungan disruptive sebagai dimensi kelima
dalam penelitian ini.
Istilah disruptive pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen dan
Joseph Bower pada artikel “Disruptive Technologies, Cathing the Wave” di jurnal
Harvard Business Review pada tahun 1995. Menurut Clyton Christensen Institute
for Disruptive Innovation, fenomena ini terjadi ketika suatu inovasi mengubah
pasar atau sektor yang sudah ada dengan memperkenalkan kesederhanaan
(simplicity), kenyamanan (satisficity), aksesibilitas (accessibility) dan
keterjangkauan (coverage).
Disruptive innovation adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar
baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya
menggantikan teknologi atau produk terdahulu. Inovasi disruptive
mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tiba-tiba dan tidak
58
diduga oleh pasar, umumnya menciptakan jenis konsumen yang berbeda pada
pasar baru dan menurunkan harga pasar yang lama, yang pada akhirnya konsumen
lama akan beralih ke produk atau layanan yang baru.
Ada dua jenis inovasi, yang pertama adalah yang menyempurnakan
inovasi sebelumnya (sustaining innovation), dan yang kedua adalah inovasi yang
mengganggu atau bahkan menggantikan inovasi sebelumnya (disruptive
innovation). Definisi disruptive innovation menurut Wikipedia adalah “marketing
speak for a technological innovation that improve a product or service in ways
that the market does not expect, typically by being lower priced or designed for
different set consumers“. Ciri dari disruptive innovation adalah produk atau
service yang dihasilkan lebih murah dan lebih mudah dalam penggunaan bagi
consumer baru (low-end consumers). Disruptive innovation ini dapat digunakan
untuk memecahkan kondisi eksisting, merubah tatanan yang ada dan
menggantikannya dengan jauh lebih baik, menggantikan tatanan produk, layanan
yang eksisting dengan solusi yang dapat diterima pasar.
Beberapa persyaratan untuk menjadi disruptive innovation antara lain
adalah (1) inovasi baru tersebut bersifat eksponensial dari teknologi sebelumnya,
(2) inovasi tersebut memanfaatkan peluang pasar yang ada dan menciptakan pasar
baru, melalui disruptive ennovation menggantikan solusi yang lebih sederhana
(simple) dan dengan biaya yang murah, serta mudah digunakan, (3) inovasi yang
dihasilkan bukan inovasi yang canggih, namun berupa inovasi yang sederhana,
yang lebih inferior dalam fungsionalitas dibandingkan dengan produk lama yang
sejenis. Produk ini akan terus menerus diperbaiki sesuai dengan permintaan pasar
59
dan pada akhirnya akan mendekati fungsionalitas produk lama dengan harga yang
lebih murah.
Dimensi turbulensi lingkungan disruptive ini diukur dengan 4 indikator
yaitu (1) intensitas munculnya produk pengganti, intensitas ini ditandai dengan
banyaknya produk pengganti yang menggantikan produk lama. Voice dan SMS
telepon tergantikan dengan adanya Line, Whatsapp, Skype, BlackBerry, Google
Talk, dan lain lain. Awalnya produk tersebut adalah produk pelengkap
(Complement), namun berkembang menjadi produk pengganti yang digemari,
karena tidak berbayar. Hal inilah yang menyebabkan menurunnya revenue voice
dan SMS operator bisnis telekomunikasi. (2) Intensitas para pemain Over The
Top (OTT), sebagaimana disebutkan di atas bahwa produk pengganti yang
diciptakan oleh pemain OTT mengakibatkan terjadinya penurunan revenue para
operator telekomunikasi, serta mengharuskan para operator telekomunikasi juga
melakukan perubahan portofolio bisnis dan model bisnis untuk mengantisipasi
adanya perubahan lingkungan disruptive yang disebabkan oleh para pemain OTT,
(3) intensitas disruptive innovation di aplikasi. Intensitas disisi perubahan unit
bisnis telekomunikasi di Indonesia juga terjadi melalui banyaknya aplikasi yang
dibuat dan dijalankan via device smart phone.
Banyaknya supply smart phone, semakin murah dan terjangkaunya harga
smartphone ini mendongkrak bisnis device. Banyaknya aplikasi yang dibuat oleh
para OTT, dan aplikasi tersebut dapat diterima di market. Kolaborasi para pelaku
OTT dengan para penggunanya juga semakin mempercepat proses penggunaan
aplikasi di market. Sebagai contoh aplikasi GoJek yang secara cepat dapat
60
diterima di market, baik oleh pelaku GoJek (tukang Ojek) yang secara sistem
menggunakan aplikasi GoJek melalui smartphone dapat berinteraksi dengan
pelanggan ojek yang juga menggunakannya. Aplikasi Traveloka memudahkan
pelanggan dapat mengatur jadwal keberangkatan dan kedatangan untuk bepergian
dengan menggunakan pesawat terbang. Awalnya pelanggan dalam membeli tiket
menghubungi agen tiket, namun dengan aplikasi ini pelanggan bisa langsung
pesan tiket pesawat sendiri, hal ini memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
para pengguna travel di Indonesia.
Kolaborasi Device dan Aplikasi tidak akan dapat terhubung jika tidak ada
network atau jaringan penghubungnya yang secara bisnis dilakukan oleh para
operator telekomunikasi. Turbulensi lingkungan disruptive ditandai dengan
terjadinya kolaborasi antara pemain OTT sebagai penyedia aplikasi, dengan para
penyedia device yang menciptakan produk pengganti dan mempengaruhi produk
eksisting yang ada. Indikator lainnya dalam turbulensi lingkungan disruptif adalah
terjadinya disruptive innovation di bisnis model.
Bisnis model yang terjadi bukan hanya dari bisnis penjualan jumlah
pelanggan saja tetapi sudah beralih juga ke bisnis kolaborasi antara pemilik
network jaringan seperti bisnis telekomunikasi di Indonesia dengan para pemilik
aplikasi seperti GoJek, Traveloka dan aplikasi lainnya menjadikan intensitas
terjadinya model bisnis inovatif banyak dikembangkan antara operator
telekomunikasi dengan pelaku OTT.
Dengan demikian, pada penelitian ini digunakan lima dimensi terkait
turbulensi lingkungan yaitu: (1) turbulensi lingkungan pasar, adalah turbulensi
61
lingkungan yang menjadikan pasar terbentuk, apakah dengan melalui permintaan
pelanggan melalui produk baru, berkembangnya kebutuhan pelanggan yang
menyebabkan terbentuknya pasar baru baik dari pelanggan eksisting ataupun
pelanggan baru, (2) turbulensi lingkungan kompetisi, adalah lingkungan dimana
para pelaku unit bisnis melakukan strategi bisnisnya baik dengan cara perang
harga, memunculkan produk baru, melakukan kompetisi secara langsung dengan
menandingi produk kompetitor,(3) turbulensi lingkungan teknologi, adalah
turbulensi lingkungan yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi yang
memberikan kemudahan dan kecepatan layanan kepada pelanggan, (4) turbulensi
lingkungan regulasi, adalah turbulensi lingkungan yang disebabkan adanya
perubahan kebijakan dari aturan regulasi bisnis telekomunikasi di Indonesia, dan
(5) turbulensi lingkungan disruptive, adalah turbulensi lingkungan yang
menyebabkan tatanan eksisting bisnis berubah total. Penjelasan detail indikator
seperti terlihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel Turbulensi
Lingkungan
Dimensi Indikator
Turbulensi
Lingkungan Pasar
Kecepatan perubahan permintaan pelanggan terhadap produk Frekuensi pencarian produk baru Frekuensi permintaan produk eksisting Tingkat perbedaan kebutuhan pelanggan existing dan
pelanggan baru
Kecepatan perubahan cara pemasaran dari waktu ke waktu
Turbulensi
Lingkungan
Teknologi
Kecepatan perubahan teknologi Kesulitan memprediksi perubahan teknologi Intensitas peluang dari terobosan teknologi Intensitas munculnya inovasi produk baru hasil terobosan
teknologi baru
62
Tabel 2.3 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel Turbulensi
Lingkungan (Lanjutan)
Dimensi Indikator
Turbulensi
Lingkungan
Kompetisi
Intensitas persaingan antar operator Intensitas perang harga Kekuatan kompetitor untuk menandingi produk yang
ditawarkan Intensitas munculnya pergerakan produk baru dari kompetitor Tingkat kekuatan kompetitor Intensitas munculnya produk baru dari kompetitor
Turbulensi
Lingkungan Regulasi
Kesulitan memprediksi perubahan regulasi Kecepatan perubahan regulasi Intensitas keketatan regulasi Ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan regulasi
Turbulensi
Lingkungan
Disruptive
Munculnya produk pengganti Intensitas OTT players Disruptive Innovation di aplikasi Disruptive innovation di bisnis model
2.1.2. Kepemimpinan Strategis
2.1.2.1 Definisi Kepemimpinan Strategis
Proses manajemen stratejik menurut Wheelen dan Hunger (2015) meliputi
beberapa tahap yaitu perumusan strategi (strategy formulation), implementasi
strategi (strategy implementation), dan evaluasi strategi (strategy evaluation).
Tahap pertama dalam proses manajemen stratejik adalah analisa situasi
(environmental scanning) baik lingkungan eksternal maupun lingkungan internal.
Tahap selanjutnya adalah strategy formulation yaitu formulasi strategi yang
diawali dari perancangan visi, misi, tujuan bisnis serta kebijakan yang ditujukan
untuk mencapai tujuan perusahaan. Tingkatan strategi terdiri dari strategi
korporasi, strategi bisnis, dan strategi fungsional. Strategi tingkat korporasi
menjelaskan arah keseluruhan perusahaan dalam mencapai pertumbuhan dari
berbagai lini produk dan bisnisnya yang biasanya mencakup tiga kategori yaitu
63
stabilitas, pertumbuhan, dan penghematan. Strategi bisnis fokus pada upaya
meningkatkan posisi persaingan suatu produk atau layanan dari suatu unit bisnis
atau perusahaan dalam industri tertentu atau segmen pasar tertentu dimana mereka
bersaing. Strategi bisnis berupa strategi kompetitif (bersaing melawan seluruh
pesaing dalam keunggulan) dan atau strategi kooperasi (kerjasama dengan satu
atau lebih perusahaan untuk mencapai keunggulan dibanding pesaingnya).
Sementara strategi fungsional berupa suatu pendekatan padaarea fungsional yang
dilakukan untuk mencapai strategi dan tujuan unit bisnis dan perusahaan dengan
cara memaksimalkan produktivitas sumber daya.
Berkaitan dengan strategi fungsional unit bisnis, Wheelen dan Hunger
(2015) berpendapat bahwa agar strategi fungsional memiliki kesempatan besar
untuk berhasil, maka strategi tersebut harus dibangun dalam suatu kompetensi
unik sesuai dengan area fungsionalnya masing-masing. Di sisi lain, Pearce dan
Robinson (2015) berpendapat bahwa dengan strategi, manajer mengarahkan
rencana yang berorientasi masa depan dan berskala besar untuk berinteraksi
dengan lingkungan persaingan agar mampu mencapai tujuan perusahaan.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan perlunya konsistensi dalam
melaksanakan resources allocation yang selaras dengan keputusan perumusan
strategi di dalam proses manajemen strategik agar mampu menghasilkan
kompetensi unik, dan hal itu dapat dijaga dengan adanyaperan strategis dari
pemimpin di perusahaan maupun unit bisnis.
Boal dan Hooijberg (2001) menyatakan bahwa kepemimpinan strategis
berfokus pada penciptaan makna dan tujuan organisasi. Oleh karena itu
64
kepemimpinan strategis berkaitan dengan pengembangan organisasi secara
keseluruhan yang mencakup tujuan dalam perubahan (Selznick, 1984). Sementara
itu, Duignan (2004) menyatakan terdapat lima kemampuan untuk membentuk
kesatuan makna dari suatu kepemimpinan yang efektif. Kelima kemampuan yang
efektif tersebut meliputi (1) kemampuan pendidikan (educational capabilities),
(2) kemampuan personal (personal capabilities),(3) kemampuan relasional
(relational capabilities),(4) kemampuan intelektual (intellectual capabilities),dan
(5) kemampuan keorganisasian (organizational capabilities).
Kepemimpinan strategis menurut Hitt et al. (2012) adalah kemampuan
pemimpin dalam mengantisipasi (anticipate), memiliki mimpi (envision),
fleksibel dan dapat mendayagunakan sumberdaya yang ada dan dapat melakukan
perubahan jika diperlukan. Kepemimpinan strategis bekerjanya sangat (1)
demanding,disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan yang ada, (2) challenging,
artinya dilakukan pada saat yang sangat menantang yaitu pada saat terjadi
perubahan lingkungan dan (3) balancing, artinya dibutuhkan keseimbangan hasil
antara hasil kinerja jangka pendek dengan hasil kinerja jangka panjang.
Beberapa kunci kepemimpinan strategis yang dilakukan Hitt et al. (2012)
adalah (1) menentukan tujuan strategic, (2) effective dalam mengelola resource
portfolio perusahaan, (3) mempertahankan keefektifan budaya organisasi, (4)
menekankan praktek praktek yang etis, (5) menetapkan pengendalian organisasi
yang seimbang. Menurut Robbin (1996), terdapat tiga pendekatan teori
kepemimpinan yaitu (1) pendekatan teori sifat, (2) pendekatan teori pelaku, (3)
pendekatan teori kontingensi.
65
Kegiatan yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan strategis adalah; (1)
membuat keputusan strategis, (2) menciptakan dan mengkomunikasikan visi masa
depan, (3) mengembangkan kompetensi kunci dan kapabilitas, (4)
mengembangkan struktur organisasi, proses dan control, (5) mengelola beberapa
konstituen, (6) melakukan seleksi dan mengembangkan tim untuk generasi
berikutnya, (7) mempertahankan budaya organisasi yang efektif dan menanamkan
sistem etika ke dalam budaya organisasi (Hickman, 1998; House, 1997; Hunt,
1991; Ireland dan Hitt, 1999; Zaccaro, 1996). Hambrick (1989) menambahkan
bahwa kepemimpinan strategis dibutuhkan dilingkungan dengan tingkat
kekacauan yang tinggi (ambiguity), kerumitan yang tinggi (complexity), dan
informasi yang berlebihan. Ketika turbulensi lingkungan semakin hyper
turbulence, Eisenhardt (1989) menyarankan agar esensi dari kepemimpinan
strategis adalah penciptaan dan pemeliharaan daya serap, yaitu kemampuan untuk
belajar dari situasi dan kondisi yang terjadi (Cohen dan Levinthal, 1990).
Sedangkan menurut Westerman et al. (2014), digital master terdiri dari 2
dimensi pertama terkait dengan dimensi teknologi yang disebut kemampuan
teknologi (technology capabilities) misalnya menciptakan kemampuan digital
untuk memanfaatkan social media, membuat desain produk berbasis digital,
customized produk. Kedua adalah bagaimana pemimpin dapat dengan cepat
melakukan perubahan (leadership capabilities) misalnya kemampuan leaders
untuk menciptakan digital marketing, digital product innovation, digital
commerce, digital technology dan customer analytics. Kemampuan
kepemimpinan ini mencakup 4 kapabilitas yang dibutuhkan seorang pimpinan
66
dalam menjalankan misi kepemimpinan strategis, yaitu : menetapkan visi
(envisioning), karakteristik dalam menetapkan visi digital yang biasanya terlihat
dari tiga perspektif; (1) melakukan perubahan visi yang disesuaikan dengan
pengalaman pelanggan (reenvisoning the customer experience), (2) melakukan
perubahan visi dibidang proses operasional (reenvisioning operational processes),
(3) kombinasi pendekatan kedua reenvisioning untuk melakukan reenvisioning
modelbisnis.
Kapabilitas kedua adalah menarik keterlibatan karyawan (engaging) dengan
kemampuan merealisasikan visi menjadi kenyataan. Dimensi untuk pengukuran
engagement ini terdiri dari tiga indikator antara lain; (1) kemampuan untuk
menghubungkan ke organisasi (connect the organization),(2) dapat memperluas
diskusi (create wider conversation),(3) menumbuhkan suasana kerja yang baru
(foster new ways of working), kontrol pelaksanaan aturan (governing) antara lain
pelaksanaan aturan terkait dengan inovasi teknologi (governing technology
innovation), aturan terkait dengan pembangunan budaya digital (building a digital
governance culture). Governance ini dibutuhkan karena perusahaan yang
memiliki aturan (governance) akan memiliki kedisiplinan dalam menerapkan
setiap proses dalam perusahaan. Misalnya perusahaan tersebut memiliki IT
governance artinya perusahaan tersebut dalam mengimplementasikan IT-nya
memiliki governance yang jelas sehingga efektif dalam implementasinya. Aturan
utama dalam digital (Digital Master Govern) dalam survey yang dilakukan
Westerman (2012) bahwa perusahaan yang memiliki aturan digital utama (Digital
Master Govern) 51% lebih baik dari non master.
67
Digital governance adalah salah satu pengungkit yang utama dalam
kepemimpinan strategis yang dapat mengimplementasikan gerakan transformasi
digital (driving digital transformation). Untuk mewujudkan digital governance,
kepemimpinan strategis memiliki kemampuan berkoordinasi (Collaboration)
yang terdiri dari penentuan prioritas (prioritizing), synchronizing, dan aligning
initiative antarperusahaan.
Kepemimpinan strategis juga memiliki kemampuan untuk berbagi (sharing)
dengan kemampuan umum dan sumber daya termasuk people, technology dan
data antarperusahaan. Kepemimpinan yang memanfaatkan keunggulan teknologi
(technology leadership) bukan hanya berbicara tentang IT saja, bukan hanya
kemampuan teknis saja, lebih dari itu adalah bagaimana menciptakan sumber
daya manusia yang dapat beradaptasi dengan teknologi yang baru dan dapat
bertransformasi dengan cepat dengan cara berkolaborasi. Jika kita memiliki
kekuatan kemampuan karyawan di digital IT, maka karyawan tersebut dapat
menciptakan bisnis baru dari teknologi digital IT yang dikuasainya.
Technology leadership ini juga melibatkan hubungan (relationship) yang
baik, membangun kemampuan digital dan mentransformasikan platform teknologi
dengan membuat simplifikasi proses, melibatkan pelanggan dalam proses
pembuatan produknya serta dapat menentukan bisnis model sesuai dengan
keinginan pelanggan melalui inovasi teknologi yang diciptakannya.
68
Gambar 2.4 Empat Kapabilitas Kepemimpinan
(Westerman et al., 2014)
Mempertimbangkan definisi dari kepemimpinan strategis dan berbagai
pendapat di atas yang disesuaikan dengan kondisi kepemimpinan strategis unit
bisnis telekomunikasi di Indonesia, maka konsep kepemimpinan strategis
didefinisikan sebagai kepemimpinan strategis yang terjadi pada kondisi
disruptive, yaitu kondisi terjadinya perubahan tatanan dalam model bisnis yang
sama sekali berbeda dengan model bisnis eksisting, sehingga kepemimpinan
strategis memiliki kemampuan dalam hal menetapkan visi (envisioning), yaitu
dapat menciptakan visi kedepan dari transformasi digital, menarik keterlibatan
karyawan (engaging), yaitu dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan dengan
melibatkan seluruh karyawan, dapat melaksanakan aturan (governing),
yaitudengan koordinasi (collaborations), melakukan dengan skala prioritas
(prioritizing), melalui sinkronisasi dan aligning strategic initiatives, konsep
berbagi (sharing), memanfaatkan keunggulan teknologi digital (digital
leadership) dan melakukan kepemimpinan secara disruptive innovation
yaitu kepemimpinan yang innovative.
Secara lebih komprehensif, konsep kepemimpinan strategis disajikan pada
Tabel kepemimpinan strategis seperti terlihat pada Tabel 2.4.
69
Tabel 2.4 Konsep Kepemimpinan Strategis
No Peneliti Konsep
1 Hitt (1993) Proses menjadi pemimpin identik dengan proses menjadi
manusia seutuhnya. Jalur yang ditempuh sebagai
pemimpin yang berfungsi sepenuhnya menurut paradigma
kepemimpinan, dimana terdapat empat tingkatan potensi
manusia yaitu Eksistensi berdasarkan pengalaman
(Empirical Existence), Kesadaran yang luas
(Consciousness at large), semangat (Spirit), eksistensi
(Existence) 2 Hickman (1998),
House (1997)Hunt,
(1991),Ireland dan
Hitt (1999),
Zaccaro (1996)
Kegiatan yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan
strategis adalah membuat keputusan strategis,
menciptakan dan mengkomunikasikan visi masa depan,
mengembangkan kompetensi kunci dan kapabilitas,
mengembangkan struktur organisasi, proses dan kontrol,
mengelola beberapa konstituen, melakukan seleksi dan
mengembangkan team untuk generasi berikutnya,
mempertahankan budaya organisasi yang efektif dan
menanamkan sistem etika ke dalam budaya organisasi 3 Robbin (1996) Terdapat tiga pendekatan teori kepemimpinan yaitu
pendekatan teori sifat, pendekatan teori pelaku,
pendekatan teori kontinjensi 4 Boal dan Hooijberg
(2001) Kepemimpinan strategis berfokus pada penciptaan makna
dan tujuan organisasi
5 Duignan (2004) Terdapat lima kemampuan untuk membentuk kesatuan
makna dari suatu kepemimpinan yang efektif meliputi
kemampuan pendidikan (educational capabilities),
kemampuan personal (personal capabilities), kemampuan
relasional (relational capabilities), kemampuan
intelektual (intellectual capabilities),dan kemampuan
keorganisasian (organizational capabilities) 6 Hitt et al. (2012) Kepemimpinan strategis adalah kemampuan pemimpin
dalam mengantisipasi (anticipate), memiliki mimpi
(envision), fleksibel dan dapat mendayagunakan
sumberdaya yang ada dapat melakukan perubahan jika
diperlukan 7 Westerman et al.,
(2014) Terdapat 4 kapabilitas yang dibutuhkan seorang pimpinan
dalam menjalankan misi kepemimpinan strategis, yaitu:
menetapkan visi (envisioning), menarik keterlibatan
karyawan (engaging), kontrol pelaksanaan aturan
(governing), kepemimpinan yang memanfaatkan
keunggulan teknologi (technology leadership)
70
Tabel 2.4 Konsep Kepemimpinan Strategis (Lanjutan)
No Peneliti Konsep
8 Dwi Heriyanto B,
(2018) Kepemimpinan strategis didefinisikan sebagai
kepemimpinan strategis yang terjadi pada kondisi
disruptive, yaitu kondisi terjadinya perubahan tatanan
dalam model bisnis yang sama sekali berbeda dengan
model bisnis eksisting, sehingga kepemimpinan strategis
harus dapat memiliki kemampuan dalam hal menetapkan
visi (envisioning), menjalin hubungan (engaging), dapat
membangun digital service unit secara kolaborasi,
prioritas, terintegrasi (governing), memanfaatkan
keunggulan teknologi digital (digital leadership), dan
melakukan kepemimpinan secara disruptive Innovation
2.1.2.2 Dimensi Kepemimpinan Strategis
Berikut ini adalah komparasi/konstruk dimensi kepemimpinan strategis.
Tabel 2.5 Komparasi/Konstruk Dimensi Kepemimpinan Strategis
Ireland &
Hitt (1999)
Boal &
Hooiijberg
(2001)
Duignan
(2004)
Hitt et al
(2012)
Westerman et
al (2014)
Konstruk
Dwi Heriyanto
(2018)
Envisioning
Envisioning Educational
capabilities Anticipate Envisioning Envisioning
Planning &
Developing
Creating
Values Personal
capabilities Envision Engaging Engaging
Creating
Team
Setup Target
& Goal Relational
capabilities Flexible Governing Governing
Organizatio
nal
Capabilities
Engaging Intellectual
capabilities
Technology
leadership
Digital
leadership
Culture
Capbilities
Organizationa
l Capabilities
DisruptiveInno
vation
Beberapa penelitian terdahulu yang mengukur tentang kepemimpinan
strategis (strategic leadership) antara lain Duignan (2004) dan Hitt et al. (2012)
71
yang melakukan penelitian kepemimpinan strategis dengan melihat dari dimensi
anticipate, envision, dan flexible.
Mempertimbangkan karakteristik pemimpin yang menjadi objek penelitian,
dan sesuai dengan kelengkapan dan kemutakhiran penelitian sebelumnya, maka
dimensi yang digunakan untuk mengukur variabel Kepemimpinan Strategis dalam
penelitian ini mengadopsi dimensi kapabilitas kepemimpinan strategis yang
dikembangkan oleh Westerman et al. (2014), dengan menambahkan satu dimensi
disruptive innovation sebagai konstruk dalam penelitian ini.
Envisioning,adalah kemampuan kepemimpinan strategis dalam menciptakan
visi danmelakukantransformasi menuju perusahaan yang digital. Menciptakan
kerangka visi menuju perusahaan digital dan melakukan transformasi bisnis
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Envisioning terdiri dari (1)
identifikasi peluang bisnis perusahaan, (2) menciptakan transformasi
perusahaan yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan, dapat (3)
mendefinisikan hasil transformasi perusahaan.
Engaging, adalah kemampuan dalam menarik keterlibatan karyawan untuk
terlibat aktif dalam merealisasikan visi yang telah ditentukan oleh pimpinan.
Engaging ini membuat visi menjadi kenyataan dengan melalui (1) Connect
the Organization (Wiki, Blogs, Social Network), (2) menciptakan percakapan
atau diskusi yang terbuka (create wider conversation) melalui diskusi model
eksekutif (Executive Modeling), pembentukan team pemenangan digital
(Digital Champions), program mentoring & coaching, (3) membantu
perkembangan dalam penciptaan cara kerja yang baru (foster new ways of
72
working) melalui berbagi ilmu (knowledge sharing), penyelesaian masalah
(solving issues), lomba inovasi (innovation contest).
Governing, adalah kemampuan dalam menetapkan desain kebijakan untuk
meningkatkan koordinasi dan sharing diantara unit bisnis, melalui aligning
strategic initiatives dan prioritas progam kerja.
Digital leadership, adalah kemampuan kepemimpinan strategis dalam
menghubungkan IT dengan komunitas bisnis (link IT & business
communities), membangun digital capabilities dan dapat memiliki
kemampuan melakukan transformasi teknologi digital.
Munculnya Industri 4.0 telah mengubah batas-batas bisnis tradisional dalam
meninjau kembali model bisnis dalam konteks digital dan industri TIK
(Gerlitz, 2015). Menurut Gilchrist (2016:197) Industri 4.0 pada dasarnya
adalah pendekatan yang direvisi terhadap manufaktur yang memanfaatkan
penemuan teknologi terbaru daninovasi, khususnya dalam memadukan
operasional dengan teknologi informasi dan komunikasi. Industri 4.0 adalah
suatu istilah kolektif untuk konsep dan teknologi dari rantai nilaiorganisasi.
Industri 4.0 ini memiliki karakteristik berbasis pada ekosistem jaringan
(interoperability, virtualisation, decentralisation), orientasi layanan, serta
orientasi pelanggan (modularity and Real time) (Ibarra et al., 2018). Ada 7
faktor utama dalam industri 4.0 (Ustundag, 2017) yaitu : Management real
time:proses digitalisasi; Interoperability : partnership, collaboration and co-
creation value; Virtualisasi: aplikasi digital dan intenet based; Desentralisasi :
personalisasi dan lokalisasi; Agility; Orientasi layanan (Service orientation);
73
dan Integrasi proses bisnis. Karakteristik tersebut menuntut peran digital
leadership yang lebih besar.
Disruptive Innovation adalah kemampuan kepemimpinan strategis dalam
menciptakan inovasi produk baru, inovasi penciptaan pasar baru, dan inovasi
penciptaan model bisnis baru.
Dengan demikian konstruk dimensi dan indikator dari variabel
kepemimpinan strategis terdiri dari :
Tabel 2.6 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel Kepemimpinan
Strategis
Dimensi Indikator
Envisioning
Mengidentifikasi peluang bisnis perusahaan
Menciptakan gairah dan ambisi transformatif sesuai perkembangan
Mendefinisikan secara jelas hasil dari perubahan
Engaging
Menjalin hubungan internal yang baik
Aktif dan memiliki sifat keterbukaan
Memberikan solusi Crowdsourcekepada karyawan
Governing Pelopor digital governance
Membangun Digital Service Unit
Digital
Leadership
Tingkat kepentingan dari hubungan IT-Business
Membangun kemampuan digital
Platform digital sebagai tantangan gaya kepemimpinan
Disruptive
Innovation
Inovasi dalam menciptakan produk dan layanan baru
Inovasi dalam menciptakan pasar baru
Inovasi dalam menciptakan model bisnis
2.1.3. Budaya Organisasi
2.1.3.1 Definisi Budaya Organisasi
Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang cepat beradaptasi,
jeli melihat potensi pasar yang terbuka, dan mampu menangkap peluang. Selain
74
hal itu, salah satu faktor yang dapat menolong suatu perusahaan untuk bertahan
adalah budaya yang berkembang dalam suatu perusahaan.
Budaya dipandang sebagai salah satu elemen penting yang dapat menolong
organisasi untuk mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan
dan menjaga performa untuk mendapatkan kesuksesan kinerja ekonomi jangka
panjang (Kotter dan Heskett, 1992).
Konsep budaya organisasi dapat dijelaskan secara operasional dengan
mengutip definisi Bower (1966) dalam buku “The Will to Manage” yang
menyatakan bahwa Corporate culture is ’the way we do things around here’. Dari
definisi itu, kita dapat memperoleh pengertian bahwa budaya organisasi terutama
terlihat sebagai perilaku. Istilah perilaku mengandung pengertian sebagai kegiatan
hasil belajar, muncul karena alasan tertentu dan berlangsung demi pencapaian
tujuan tertentu. Alasan yang melandasi perilaku adalah nilai-nilai yang melahirkan
kebutuhan manusia. Sedangkan tujuan perilaku adalah pencapaian pemenuhan
kebutuhan sebagai manifestasi dari nilai-nilai yang dihayati bersama oleh
sekelompok orang-orang.
Hal ini juga disampaikan oleh Schein (2010) bahwa definisi budaya
organisasi adalah sebuah pola asumsi-asumsi dasar yang dihayati bersama oleh
sekelompok manusia saat mereka belajar memecahkan persoalan-persoalan
adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang bekerja cukup efektif sehingga
dianggap absah, dan oleh karena itu, diajarkan kepada segenap anggota baru
sebagai cara yang benar dalam memandang, berfikir, dan merasakan mengenai
persoalan-persoalan tersebut. Definisi Schein ini menyadarkan kita bahwa kunci
75
pemahaman budaya organisasi adalah pengertian yang benar tentang sosialisasi
sebagaisebuah proses pembelajaran nilai-nilai bersama dan pola perilaku.
Menurut Schein (2010), budaya terdiri dari artifacts, espoused values, dan
basic underlying assumptions. Istilah artifacts menunjuk pada dimensi fisik yang
terlihat seperti struktur organisasi, proses kerja,relasi, dan bangunan, ruang kerja,
maupun benda-benda lainnya yang dianggap penting.’Espoused values’menunjuk
pada nilai-nilai pegangan yang dinyatakan secara eksplisit, seperti strategi, tujuan,
filosofi, dan landasan kebijakan organisasi. Basic underlying assumptions adalah
berbagai kepercayaan, persepsi, pikiran, dan perasaan-perasaan, yang tidak
disadari dan diterima sebagai kebenaran dan akhirnya dijadikan sumber akhir dari
nilai dan tindakan sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Luthans (2005), yang menyatakan
budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai
dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal. Menurut Gibson et al. (2005), budaya organisasi yang mencakup: simbol,
bahasa, ideologi, ritual dan mitos; aturan organisasi yang berasal dari aturan
pribadi dari pendiri organisasi atau pemimpin yang dominan; serta hasil masa lalu
atas dasar simbol, ringkasan dari tingkah laku, dan produk tingkah laku.
Menurut Williams et al. (2007), budaya organisasi merupakan sebuah pola
asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh
anggota organisasi dan merupakan solusi secara konsisten yang dapat berjalan
dengan baik bagi sebuah kelompok dalam menghadapi persoalan-persoalan
76
eksternal dan internalnya, sehingga dapat diajarkan kepada para anggota baru
sebagai suatu persepsi, berpikir dan merasakan dalam hubungannya dengan
persoalan-persoalan tersebut.
Chang dan Lee (2007) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah
kemampuan untuk mengintegrasikan aktivitas sehari-hari karyawan untuk
mencapai tujuan yang telah direncanakan, dapat juga membantu organisasi
beradaptasi dengan lingkungan eksternal untuk tanggapan cepat dan khusus.
Menurut Kropp (2004), budaya organisasi adalah maksud bersama tentang
kepercayaan dan pemahaman yang dimiliki oleh organisasi atau kelompok
tertentu tentang permasalahan, praktek, dan tujuan.
Menurut Hodge (1996), budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua
tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable)
dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya
organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola
perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan
organisasi. Sementara pada level unobservable, budaya organisasi mencakup
shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi
untuk mengelola masalah-masalah dan keadaan-keadaan di sekitarnya. Budaya
Organisasi juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi. Budaya
organisasi yang tidak terlihat berupa nilai-nilai yang ada, dipahami dan secara
berkelanjutan dilaksanakan oleh mayoritas anggota organisasi. Kedua sifat
tersebut berfungsi sebagai identitas organisasi, sehingga orang di luar organisasi
77
akan mudah mengenal organisasi dari identitas tersebut, dan juga penentu arah
setiap perilaku orang-orang dalam organisasi.
Schermerhorn et al. (2011) menyatakan budaya organisasi atau budaya
perusahaan adalah sistem tindakan nilai bersama, dan keyakinan yang
berkembang dalam suatu organisasi dan memandu perilaku anggotanya.
Sementara, Gibson et al. (2005) berpendapat bahwa budaya organisasi adalah apa
yang karyawan persepsikan dan bagaimana persepsi ini menciptakan pola
keyakinan, nilai, dan harapan.
Sementara menurut Armstrong dan Taylor (2014), budaya organisasi adalah
pola nilai, norma, keyakinan, sikap dan asumsi yang tidak diartikulasikan tetapi
membentuk cara orang-orang di dalam organisasi berperilaku. Selanjutnya,
Kreitner dan Kinicki (2014) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah
perangkat asumsi yang dibagi dan diterima secara implisit begitu saja serta
dipegang oleh satu kelompok yang menentukan hal itu dirasakan, dipikirkan, dan
bereaksi terhadap lingkungan yang beragam.
Mempertimbangkan definisi budaya organisasi dari berbagai pendapat di
atas yang disesuaikan dengan kondisi budaya organisasi bisnis telekomunikasi di
Indonesia, maka konsep budaya organisasi didefinisikan sebagai sebuah
keyakinan dasar (basic belief) atau filosofi dasar dari suatu organisasi yang terdiri
dari nilai-nilai inti (core values) yang menjadi pegangan para pemimpin dan
karyawan dalam organisasi dan dijadikan sebagai ciri atau karakteristik organisasi
dan terlihat nyata dari perilaku utama (key behavior) para pemimpin dan
karyawannya. Ciri atau kharakteristik perilaku utama bisa berbeda sama sekali
78
dengan sebelumnya bahkan dapat berubah sama sekali, hal ini dinamakan
disruptive culture.
Aspek budaya organisasi suatu perusahaan meliputi perilaku, pengalaman,
keyakinan dan nilai-nilai suatu organisasi. Budaya organisasi merupakan salah
satu faktor internal yang diindikasikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Kesuksesan hasil dari kinerja perusahaan berkaitan dengan nilai dan sasaran yang
hendak dicapai oleh organisasi, karena itulah untuk menetapkan strategi yang
efektif budaya organisasi tidak boleh diabaikan.
Alat ukur yang digunakan untuk menilai dan memetakan budaya organisasi
adalah OCAI. OCAI yang merupakan kependekan dari Organizational Culture
Assessment Instrument yang merupakan sebuah instrumen pengukuran budaya
organisasi berdasarkan “Competing Values Framework”.
Instrumen ini merupakan pengembangan teori untuk memahami budaya dan
fenomena organisasi. Instrumen ini dikembangkan dan diperkenalkan oleh
peneliti Amerika, Cameron dan Quinn (Nummelin, 2006). OCAI telah banyak
digunakan oleh perusahaan untuk menunjukkan budaya yang dominan dalam
suatu organisasi dan cocok digunakan untuk international survey yang dilakukan
oleh banyak peneliti di dunia (Nummelin, 2006; Liu et al., 2006; Berio, 2003).
Beberapa perusahaan yang pernah menggunakan ”Competing Values
Framework” seperti 3M, American Express, Apple, GE Lighting, Pfizer, dan
Reuters (Cameron et al., 2006).
Ada dua dimensi utama dalam pengukuran budaya, antara lain:
79
1. Dimensi yang membedakan kriteria keefektifan dengan fokus pada
fleksibilitas, keleluasaan, dan dinamis, dengan kriteria keefektifan yang
menekankan pada stabilitas dan kontrol. Organisasi dipandang efektif jika
organisasi tersebut stabil. Di sisi lain, kestabilan dan daya tahan organisasi
juga perlu dikontrol.
2. Sumbu dimensi berupa flexibility dan discretion yang terkadang disebut
people, stability dan control disebut proses. Dimensi ini membedakan
keefektifan dengan berfokus pada orientasi internal, integrasi, dan kesatuan
dengan kriteria keefektifan pada orientasi eksternal diferensiasi dan
persaingan. Organisasi disebut efektif jika mereka fokus berinteraksi dan
berkompetisi dengan pihak luar dari batasan organisasi. Sumbu dimensi yang
berupa eksternal fokus dan diferensiasi kadang disebut strategic, dan internal
dan integration disebut operational seperti terlihat pada Gambar 2.5.
Tabel 2.7 Profil Budaya Organisasi menurut Cameron dan Quinn (2006)
Tipe Budaya
Organisasi Deskripsi
Clan Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada perbaikan internal
(internal maintenance) dengan fleksibilitas, perhatian pada orang,
dan sensitivitas terhadap pelanggan.
Adhocracy Sebuah organisasi yang berkonsentrasi pada penempatan
eksternal dengan derajat fleksibilitas dan individualitas yang
tinggi.
Market Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pelayanan
eksternal dengan kebutuhan akan stabilitas dan kontrol.
Hierarchy Sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada perbaikan
internal dengan kebutuhan akan stabilitas dan kontrol.
80
Gambar 2.5 Pengukuran Budaya Organisasi
Dengan menggunakan OCAI, Cameron dan Quinn (2006) memilih dua
orientasi organisasi yang berbeda sebagai kriteria untuk menetapkan tipe budaya,
yaitu:
1. Apakah sebuah organisasi lebih berorientasi pada fleksibilitas dan
kebijaksanaan/keleluasaan atau sebaliknya, pada ekstrim yang lain, lebih
mementingkan stabilitas organisasi dan menerapkan mekanisme kontrol
lebih ketat.
2. Apakah sebuah organisasi lebih berorientasi internal dan menjaga
integritas organisasi atau pada ekstrim yang lain lebih berorientasi
eksternal dan mengedepankan diferensiasi (Sobirin, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, disusun komparasi konsep budaya organisasi
sebagai berikut:
81
Tabel 2.8 Konsep Budaya Organisasi
No Peneliti Konsep
1 Kropp (2004)
Budaya organisasi adalah maksud bersama tentang
kepercayaan dan pemahaman yang dimiliki oleh organisasi
atau kelompok tertentu tentang permasalahan, praktek, dan
tujuan 2 Gibson et al.
(2005)
Budaya organisasi yang mencakup: (1) Simbol, bahasa,
ideologi, ritual dan mitos; (2) Aturan organisasi yang berasal
dari aturan pribadi dari pendiri organisasi atau pemimpin
yang dominan; dan (3) Hasil masa lalu atas dasar simbol,
ringkasan dari tingkah laku, dan produk tingkah laku 3 Williams et al.
(2007) Budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi
dan keyakinan-keyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh
anggota organisasi dan merupakan solusi secara konsisten
yang dapat berjalan dengan baik bagi sebuah kelompok
dalam menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan
internalnya, sehingga dapat diajarkan kepada para anggota
baru sebagai suatu persepsi, berpikir dan merasakan dalam
hubungannya dengan persoalan-persoalan tersebut. 4 Chang and Lee
(2007) Budaya organisasi adalah kemampuan untuk
mengintegrasikan aktivitas sehari-hari karyawan untuk
mencapai tujuan yang telah direncanakan, dapat juga
membantu organisasi beradaptasi terhadap lingkungan
eksternal untuk tanggapan cepat dan khusus. 5 Schein
(2010) Budaya organisasi adalah sebuah pola asumsi-asumsi dasar
yang dihayati bersama oleh sekelompok manusia saat mereka
belajar memecahkan persoalan-persoalan adaptasi eksternal
dan integrasi internal, yang bekerja cukup efektif sehingga
dianggap absah dan, oleh karena itu, diajarkan kepada
segenap anggota baru sebagai cara yang benar dalam
memandang, berfikir, dan merasakan mengenai persoalan-
persoalan tersebut 6 Schermerhorn
et al. (2011)
Budaya organisasi atau budaya perusahaan adalah sistem
tindakan nilai bersama, dan keyakinan yang berkembang
dalam suatu organisasi dan memandu perilaku anggotanya 7 Armstrong dan
Taylor (2014)
Budaya organisasi adalah pola nilai, norma, keyakinan, sikap
dan asumsi yang tidak diartikulasikan tetapi membentuk cara
orang-orang di dalam organisasi berperilaku 8 Kreitner dan
Kinicki (2014)
Budaya organisasi adalah perangkat asumsi yang dibagi dan
diterima secara implisit begitu saja serta dipegang oleh satu
kelompok yang menentukan hal itu dirasakan, dipikirkan, dan
bereaksi terhadap lingkungan yang beragam
82
Tabel 2.8 Konsep Budaya Organisasi (Lanjutan)
No Peneliti Konsep
9 Dwi Heriyanto
B (2018) Budaya Organisasi didefinisikan sebagai sebuah keyakinan
dasar (basic belief) atau philosophy dasar dari suatu
organisasi yang terdiri dari nilai-nilai inti (core values) yang
menjadi pegangan para pemimpin dan karyawan dalam
organisasi (People Culture) melalui suatu proses monitoring,
penciptaan lingkungan kerja yang mendukung inovasi
(Process Culture), dilakukan secara top down oleh pimpinan
unit dengan dibantu change agent (Strategy Culture) dan ini
terlihat nyata dari perilaku karyawan dalam kegiatan yang
dilakukan sehari-hari (Operation Culture)
2.1.3.2 Dimensi Budaya Organisasi
Berikut ini adalah komparasi dimensi budaya organisasi yang dapat
dirangkum:
Tabel 2.9 Komparasi/Konstruk Dimensi Budaya Organisasi
Gibson et al.
(2005)
Williams et
al. (2007)
Schermerhorn
et al. (2011)
Armstrong & Taylor (2014)
Konstruk Dwi
Heriyanto (2018)
Simbol, bahasa,
ideology, ritual
& mitos
Pola asumsi-
asumsi dan
keyakinan-
keyakinan
dasar
Sistem
tindakan nilai
dan keyakinan
bersama
Pola nilai,
norma,
keyakinan,
sikap dan
asumsi
People
Culture
Aturan
organisasi yang
berasal dari
pendiri
organisasi
Solusi yang
secara
konsisten
dapat berjalan
dengan baik
Memandu
perilaku
anggotanya
Membentuk
cara orang-
orang di dalam
organisasi
berperilaku
Process
Culture
Hasil masa lalu
atas dasar
simbol,
ringkasan
tingkah laku,
produk tingkah
laku
Menghadapi
persoalan-
persoalan
eksternal dan
internal
Strategy
Culture
83
Tabel 2.9 Komparasi/Konstruk Dimensi Budaya Organisasi (lanjutan)
Gibson et al.
(2005)
Williams et
al. (2007)
Schermerhorn
et al. (2011)
Armstrong & Taylor (2014)
Konstruk Dwi
Heriyanto (2018)
Suatu
persepsi,
berpikir dan
merasakan
Operation
Culture
Berdasarkan kajian atas berbagai dimensi budaya organisasi, serta
disesuaikan dengan unit analisis penelitian, maka dimensi budaya organisasi pada
penelitian ini diukur dengan dimensi yang terdiri dari People Culture, Process
Culture, Strategy Culture, dan Operation Culture, dengan indikator sebagaimana
pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel Budaya Organisasi
Dimensi Indikator
People Culture
Membangun komunikasi antara pimpinan unit kepada karyawannya
Mendorong terciptanya inovasi kepada seluruh karyawan
Memberikan perhatian dalam penyelesaian pelaksanaan tugas
Process
Culture
Monitoring team kerja karyawan
Menciptakan lingkungan kerja yang kreatif melalui reward Mendorong karyawan untuk melakukan perbaikan pekerjaan yang
berkelanjutan Strategi
Culture Menciptakan atmosfir kerja melalui kolaborasi Membangun team kerja yang efektif
Operation
Culture
Melakukan pengawalan budaya organisasi hingga pencapaian hasil
kinerja unit bisnis Memastikan karyawan mendapatkan informasi yang jelas dalam
pelaksanaan budaya organisasi Melakukan koordinasi dengan semua pimpinan unit untuk
pelaksanaan budaya organisasi Mendorong pelaksanaan budaya organisasi agar mencapai
performansi yang optimal Memberikan feedback dalam proses pengembangan budaya
organisasi Monitoring budaya organisasi agar hasilnya sesuai dengan tujuan
organisasi
Melakukan pengelolaan secara berjenjang di level manajerial
84
2.1.4. Strategi Human Capital
2.1.4.1 Definisi Strategi Human Capital
Strategi Human Capital sangat berguna dalam praktek manajemen sumber
daya manusia untuk mendapatkan atau mempertahankan competitive advantage.
Talent acquisition, talent deployment, talent development, dan rewarding
talentsangat bermanfaat terhadap pendekatan Human Resources Management
(HRM) strategy yang dapat mempengaruhi kemampuan organisasi untuk
mencapai tujuannya. Fokus strategi inisiatif HC berkembang dari tradisional
menjadi lebih strategis, seperti yang dijelaskan dalam Gambar 2.6.
Karena strategi bisnis mempengaruhi rencana dan kebijakan SDM, maka
pertimbangan masalah sumber daya manusia harus menjadi bagian dari proses
perumusan strategi. Strategi HC dapat berkontribusi untuk membuat HC mencapai
efektivitas organisasi dan competitive advantages dan bagaimana kontribusi SDM
lebih maksimal untuk dilakukan.
85
Gambar 2.6 Fokus Strategi Inisiatif HR
Sumber : Mathis dan Jackson (2010)
Sebuah elemen penting dari HRM strategis adalah untuk mengembangkan
proses dalam organisasi yang membantu menyelaraskan kinerja individu
karyawan dengan tujuan strategis organisasi. Ketika karyawan memahami
prioritas organisasi, mereka lebih baik dapat berkontribusi dengan menerapkan
keterampilan mereka untuk memajukan tujuan strategis organisasi. Karyawan
yang memahami gambaran besardapat membuat keputusan yang akan
berkontribusi pada tujuan perusahaan. Praktek HRM yang memfasilitasi ini
meliputi pengembangan karyawan dan sistem penghargaan karyawan bahwa
86
upaya saluran karyawan terhadap bottomline organisasi (Mathis dan Jackson,
2010).
Dalam pengertian Hall (2008) bahwa Human Capital Strategy adalah
bagaimana suatu organisasi akan menghasilkan competitive advantage yang
berkelanjutan dan cukup untuk meningkatkan kinerja unit bisnis melalui people.
Ulrich (2012) menjelaskan bahwa HR Strategy terdapat dalam salah satu
proses perkembangan evolusi Human Capital. Menurut Ulrich (2012), dalam HR
Evolution terdapat empat gelombang perubahan, tiga gelombang pertama adalah
yang bersifat umum dan gelombang keempat adalah yang bersifat emerging.
Gelombang 1 menekankan pekerjaan administrasi HR, di mana HR
Personnel difokuskan pada syarat dan kondisi kerja, pemberian layanan SDM,
dan kepatuhan terhadap peraturan. HR dijelaskan sebagai utilitas administrasi dan
transaksional selama HR konsisten dalam efisiensi biaya tetapi kebutuhan dasar
karyawan dibayarkan, pensiun diberikan, kehadiran dipantau, rekrut karyawan,
dan HR dipandang telah melakukan tugasnya.
Gelombang 2 menekankan desain praktek HR yang inovatif, menjalankan
penerapan kompensasi atau reward, learning, komunikasi, dan sebagainya.
Sementara, gelombang 3 difokuskan pada praktik HR individu dan terintegrasi
dengan kesuksesan bisnis melalui HR strategis. Dalam kurun waktu 15 sampai 20
tahun terakhir, HRtelah bekerja untuk menghubungkan pekerjaan dengan strategi
atau tujuan bisnis dari sebuah perusahaan. Mengingat strategi bisnis yang ada, HR
Professionals akan menilai dan meningkatkan pengembangan talent, budaya, dan
kepemimpinan untuk mencapai strateginya. Di gelombang ini, HR Professional
87
merubah strategi menjadi prioritas HR untuk memberikan dan menjalankan HR
strategis secara skala prioritas.Terjadi transformasi SDM yang dapat meng-
upgrade Profesional HR dan mendesain ulang Departemen HR.
Gelombang 4 adalah praktik HR untuk memperoleh dan menanggapi
kondisi bisnis eksternal, atau disebut gelombang ini adalah "HR outside in". HR
melampaui strategi dan menyelaraskan kerja dengan konteks bisnis dan pemangku
kepentingan, dalam hal ini tiga gelombang sebelumnya merupakan pekerjaan HR
yang masih harus dilakukan secara administrasi HR. Gelombang 4 merupakan
Praktik HR yang harus inovatif dan terpadu dan HR Outside In, harus mengubah
aspirasi strategis ke dalam tindakan HR.
Mempertimbangkan definisi Strategi Human Capital dari berbagai pendapat
di atas yang disesuaikan dengan kondisi strategi HC bisnis telekomunikasi di
Indonesia, maka konsep strategi HC didefinisikan sebagai strategi yang terkait
dengan Human Capital life cycle (People), yaitu proses HC dari rekrutmen,
seleksi, penempatan, pengembangan, pengukuran kinerja karyawan, hingga
pensiun, serta terkait dengan aktivitas budaya (Culture) dan terkait dengan
organisasi perusahaan (Organization), yang dapat memberikan petunjuk atau
arahan kepada perusahaan dalam mengembangkan HC, melalui praktek-praktek
HC dan pengukurannya serta terkomunikasikan secara efektif agar dapat
mencapai tujuan perusahaan (Dwi Heriyanto B., 2018).
Berikut ini adalah komparasi konsep strategi human capital serta konstruk
definisi yang digunakan dalam penelitian ini.
88
Tabel 2.11 Konsep Strategi Human Capital
No Peneliti Konsep
1 Rao dan Rothwell
(2005)
Strategic HR Management menyelaraskan orang dan
kemampuan kreatif mereka dengan competitive objective
organisasi. Integrasi Human Capital kepada strategi bisnis
membutuhkan pengembangan organisasi (Organization
Development) yang terintegrasi dengan praktek
pengelolaan HC, termasuk pendekatan sistemik dan
humanistik untuk mempengaruhi perubahan dalam
organisasi. 2 Kaplan dan Norton
(2004)
Strategi HC dapat dilihat dari (1) perspektif finansial
(profitabilitas, pertumbuhan, shareholder value), (2)
internal business process (faktor yang mempengaruhi
siklus waktu, kualitas, keterampilan karyawan, dan
produktivitas), (3) perspektif pelanggan (waktu, kualitas,
kinerja, dan layanan), (4) perspektif inovasi dan
pembelajaran (keterampilan karyawan, sistem IT, dan
budaya organisasi).
3 Zula (2007) Terdapat 6 komponen yang telah divalidasi berdasarkan
hasil riset yang dapat dipergunakan sebagai instrumen
perencanaan HC sebagai HRM strategic tools yaitu (1)
Kepemimpinan didorong pendekatan perencanaan, (2)
Status organisasi saat ini, (3) Sistem pengukuran,
akuntabilitas dan feedback, (4) Pembelajaran Organisasi
danBuy-in, (5) Integrasi model kompetensi organisasi, (6)
Kapasitas dan kapabilitas Human Resource. 4 Hall (2008) Human Capital Strategy adalah bagaimana suatu
organisasi akan menghasilkan competitive advantage yang
berkelanjutan dan cukup untuk meningkatkan kinerja unit
bisnis melalui people. Strategi Human Capital bertindak
sebagai sistem untuk meningkatkan kinerja karyawan
yang memegang peran penting, yaitu meraka yang
berdampak paling besar pada kompetensi inti di
perusahaan. 5 Lengnick-Hall et al.
(2009)
Ada tujuh prinsip dalam manajemen strategis Human
Capital yaitu : (1) menjelaskan perspektif kontingensi dan
kecocokan, (2) pergeseran dari fokus dari mengelola
orang kepada menciptakan kontribusi strategis,(3)
mengelaborasi komponen sistem HR dan struktur,(4)
memperluas lingkup SHRM, (5) mencapai pelaksanaan
HR dan eksekusinya, (6) mengukur hasil dari SHRM, dan
(7) mengevaluasi isu metodologi
89
Tabel 2.11 Konsep Strategi Human Capital (Lanjutan)
No Peneliti Konsep
6 Mathis dan Jackson
(2010) HR harus terlibat dalam menerapkan strategi yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang-orang. Sebuah
elemen penting dari HRM strategis adalah untuk
mengembangkan proses dalam organisasi yang membantu
menyelaraskan kinerja individu karyawan dengan tujuan
strategis organisasi. Strategic HC Management and
planning adalah proses mendefinisikan strategi organisasi
atau arah, dan membuat keputusan tentang alokasi sumber
daya orgranisasi (modal dan orang) 7 Ulrich (2012) HR Evolution terdapat 4 gelombang perubahan yaitu HR
Administration, HR Practices, HR Strategy, HR Outside
in. StrategiHC digunakan untuk menciptakan internal
value untuk karyawan dan organisasi serta external value
untuk pelanggan, investor, dan masyarakat. 8 Kim dan Sung-
Choon (2013) Strategi Human Capital didefinisikan sebagai sejauh mana
peran dan tanggung jawab Human Capital Management
diintegrasikan ke manajemen strategis perusahaan.Model
strategi Human Capital ini memungkinkan karyawan
untuk berpartisipasi dalam keputusan manajemen sebagai
moderator dari integrasi fungsi SDM dalam manajemen
strategis dan perusahaan kinerja. 9 Dwi Heriyanto B
(2018) Strategi HC didefinisikan sebagai strategi yang terkait
dengan Human Capital lifecycle (People), yaitu proses
HC dari rekrutmen, seleksi, penempatan, pengembangan,
performance karyawan, hingga Pensiun, serta terkait
dengan aktivitas budaya (Culture) dan terkait dengan
organisasi perusahaan (Organization), yang dapat
memberikan petunjuk atau arahan kepada perusahaan
dalam mengembangkan HC, melalui praktek-praktek HC
dan pengukurannya (HC Practice & Metrics) serta
terkomunikasikan secara efektif agar dapat mencapai
tujuan perusahaan(HC Effective Communication).
2.1.4.2 Dimensi Strategi Human Capital
Pengukuran Strategi Human Capital dapat mengacu pada dimensi-dimensi
yang telah ditemukan pada penelitian terdahulu. Aspek people terkait kompetensi,
kepemimpinan, performansi dan HR praktis lainnya tetap menjadi highlight utama
90
dalam pengukuran aspek ini (Hall, 2008; Kaplan dan Norton, 2004; Lengnick-
Hall et al., 2009; Rao dan Rothwell, 2005; Zula, 2007).
Aspek organisasi dan budaya juga menjadi dimensi pengukuran yang
digunakan untuk mengetahui sejauh mana strategi Human Capital dirancang dan
diimplementasikan (Hall, 2008; Kaplan dan Norton, 2004; Lengnick-Hall et al.,
2009; Mathis dan Jackson, 2010; Rao dan Rothwell, 2005; Zula, 2007).
Komparasi konstruk dimensi pengukuran Strategi Human Capital dapat dilihat
pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12 Komparasi/Konstruk Dimensi Strategi Human Capital
Rao dan
Rothwell
(2005)
Hall (2008)
Mathis dan
Jackson
(2010)
Ulrich
(2012)
Kim dan
Sung-Choon
(2013)
Konstruk Dwi
Heriyanto
(2018) Integrasi
strategi antara
people dan
organisasi
Effective
Executive
Team
Produktivitas
organisasi Produktivitas
karyawan
Partisipasi
serikat tenaga
kerja People Strategy
Human
Capital dan
aset ilmu
pengetahuan
Pemimpin
yang
memberikan
hasil
Layanan
pelanggan
dan kualitas
Kapabilitas
organisasi
(budaya dan
proses)
Pengembangan
karir dan
kompetensi
karyawan
Culture
Strategy
Pengembangan
organisasi Posisi kunci
yang unggul Leadership
as brand Program pay-
forperformance Organization
Strategy
Kinerja
tenaga kerja Kontribusi
finansial
Manajemen
pelembagaan
pekerja
sementara
HR Practice
dan Metrics
HC Effective
Communication
Berdasarkan kajian konsep dan dimensi strategi human capital, serta
disesuaikan dengan unit analisis penelitian, maka pada penelitian ini variabel
strategi human capital diukur dengan dimensi : People Strategy, Culture Strategy,
91
Organization Strategy, HR Practice dan Metrics, dan HC Effective
Communication.
People Strategy dalam strategi HC dimensi People atau karyawan
merupakan dimensi yang paling pertama di-setup dalam strategi HC. Dimensi
people strategy terdiri dari strategi yang terkait dengan seleksi karyawan,
penempatan karyawan, pengembangan karyawan, performansi karyawan, pensiun
karyawan ini biasa disebut dengan melakukan fungsi HC life Cycle.
Culture Strategy, dalam strategi HC adalah strategi budaya yang
dijalankan oleh pimpinan unit, culture agent dan karyawan sesuai dengan nilai
nilai yang telah ditetapkan organisasi .Kegiatan strategi budaya juga memberikan
apresiasi kepada karyawan dan memberikan pelayanan kepada karyawan. Strategi
budaya merupakan top down policy dari pimpinan organisasi, dan cascading
setiap kepala unit menjadi role model budaya.
Organization Strategy, dalam strategi HC adalah strategi bagaimana
organisasi didesain sesuai dengan kondisi eksternal dan internal organisasi
sehingga dapat meningkatkan kinerja unit bisnis. Kegiatan untuk organization
strategy meliputi desain organisasi yang lean and agile, menentukan jumlah
tenaga kerja sesuai dengan desain organisasi.
HC Practice and metrics, adalah praktek-praktek HC dan pengukuran
produktivitas karyawan. Kegiatan untuk HC Practices and Metric terdiri dari
melakukan pengukuran efektivitas jumlah kebutuhan tenaga kerja, melakukan
penilaian kompetensi karyawan, pengukuran produktivitas karyawan, melakukan
pengukuran efektivitas pelatihan karyawan termasuk juga konseling karyawan.
92
HC Effective Communication, dalam Strategi HC adalah kegiatan yang
melakukan komunikasi program kerja kepada karyawan, work life balance,
melakukan sosialisasi kinerja karyawan dan komunikasi terkait dengan kebijakan
dan progam kerja karyawan.
Selanjutnya dimensi dan indikatornya secara lebih detail dijabarkan pada
Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel
Strategi Human Capital
Dimensi Indikator
People Strategy
Melakukan fungsi HC life Cycle
Membuat kesisteman pegawai
Melakukan fungsi rekrutmen yang berkualitas
Melakukan orientasi kepada karyawan baru
Menyiapkan rencana suksesi untuk karyawan
Menetapkan rencana strategis HC
Membuat staffing plan
Culture Strategy Memberikan apresiasi kepada karyawan
Memberikan pelayanan kepada karyawan
Organization
Strategy
Mendesain organisasi yang lean and agile
Menentukan jumlah tenaga kerja pada formasi desain
organisasi
HR Practice and
Metric
Melakukan pengukuran effectiveness jumlah kebutuhan
tenaga kerja secara periodik
Melakukan penilaian kompetensi karyawan
Melakukan pengukuran produktivitas karyawan
Melakukan pengukuran efektivitas pelatihan bagi karyawan
Melakukan konseling bagi karyawannya
HCEffective
Communication
Melakukan komunikasi program kerja kepada karyawan
Melakukan komunikasi terkait keseimbangan kerja kepada
karyawan
Melakukan sosialiasasi kinerja kepada karyawan
Melakukan komunikasi terkait program kerja yang telah
dilakukan
93
2.1.5. Kinerja Unit Bisnis
2.1.5.1 Definisi Kinerja Unit Bisnis
Kinerja unit bisnis berdasarkan Kaplan dan Norton (1996) dibagi menjadi 4
aspek penilaian, antara lain dimulai dari learning and growth, proses bisnis
internal, aspek pelanggan dan aspek financial. Keempat aspek yang disusun
Kaplan dan Norton tersebut dikenal dengan nama Balanced Scorecard. Dalam
balanced scorecard ini dimulai dari perbaikan langkah-langkah yang merupakan
driver kinerja yang dimulai dari unsur Human Capital, untuk mencapai tujuan
perusahaan maka Human Capital harus dipersiapkan dan dikembangkan terlebih
dahulu.
Langkah selanjutnya adalah perbaikan proses bisnis internal, inovasi dan
perbaikan operasionalisasi yang merupakan penggerak proses dalam perusahaan.
Dari proses internal perusahaan yang efektif dan efisien maka didapatkan
pelanggan yang puas dan pada akhirnya akan memberikan pemasukan keuangan
bagi perusahaan.
Balanced scorecard meliputi langkah-langkah keuangan yang menceritakan
hasil dari tindakan yang sudah diambil. Dan itu melengkapi langkah-langkah
keuangan dengan langkah-langkah operasional pada kepuasan pelanggan, proses
internal, dan inovasi dan perbaikan langkah-langkah yang merupakan driver
kinerja keuangan masa depan kegiatan-operasional organisasi. Gambaran umum
strategy map Balanced Scorecard dapat dilihat pada Gambar 2.7.
94
Konsep dimensi kinerja unit bisnis memiliki beberapa pendekatan / model
yang dikembangkan oleh peneliti di bidang manajemen strategi.Model-model
tersebut ditampilkan Tabel 2.14.
Gambar 2.7 Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996)
Tabel 2.14 Konsep Dimensi Kinerja Unit Bisnis
No Penulis Konsep
1 Kaplan dan Norton
(1996)
BSC merupakan sistem manajemen yang
memungkinkan organisasi untuk mengatur, melacak,
dan mencapai tujuan bisnis. Setelah strategi bisnis
dibuat, perusahaan dimonitor menggunakan empat
perspektif Balanced Scorecard yaitu Financial,
Customer, Internal Business Process, dan Knowledge,
Education dan Growth
2 Elkington (1998)
Sistem pengukuran kinerja 3 dimensi menghitung dan
mengevaluasi performansi bisnis melalui 3 dimensi
kunci: Sustainability (mengukur performansi sosial,
lingkungan dan ekonomi), temporal (relasi antara
performansi aktivitas sehari-hari dan strategic outlook)
dan spatial (mengkoordinasikan aktor yang terlibat
dalam rangkaian aktivitas)
95
Tabel 2.14 Konsep Dimensi Kinerja Unit Bisnis (Lanjutan)
No Penulis Konsep
3 Gomathi (2013)
BSC mewadahi gambaran utuh aspek performansi
organisasi melalui 4 perspektif: financial goals,
customer perspective, internal processes,dan learning
and innovation. Untuk dapat mengimplementasikan
BSC secara efektif, diperlukan support dari
manajemen puncak, scorecard yang selalu update,
pelatihan rutin bagi staff, memelihara budaya
organisasi yang positif dengan menyelaraskan Strategi
HR dan Strategi Bisnis
4 Arrfelt et al. (2015)
Kantor perusahaan memiliki pengaruh terhadap kinerja
unit bisnis melalui perannya dalam mengalokasikan
modal pada semua unit bisnis. Keberadaan Capital
Allocation Competencies sebagai bagian dari
kapabilitas kepemimpinan dinamis memberikan
dampak yang positif pada kinerja unit bisnis
5 Gawankar et al. (2015)
Dalam mengadopsi BSC sebagai indikator kinerja
perusahaan, 4 perspektif balanced scorecard juga
harus dipandang dari sudut pandang pihak eksternal.
Aspek customer hendaknya mempertimbangkan
ekspektasi dari pelanggan, aspek finansial fokus pada
financial outcome, proses bisnis internal dirancang
untuk dapat menjawab permintaan eksternal, sementara
aspek pembelajaran fokus pada peningkatan
kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan strategis yang
akan menunjang pemenuhan ekspektasi eksternal
6 Vinichenko (2015)
Performance Prism model merupakan model
pengukuran kinerja perusahaan yang berfokus pada
stakeholder. Selain 5 perspektif dasar dalam
Performance Prism, kontribusi dan kepuasan
stakeholder juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan eskternal dan internal dari organisasi.
Aspek internal dan eksternal ini dapat meliputi
identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
sekaligus melakukan pengukuran terhadap risk
factorsdi internal dan eksternal organisasi
7 Youngbantao dan
Rompho (2015)
Dalam implementasi Performance Prism sebagai alat
ukur kinerja perusahaan, dilakukan identifikasi
perspektif prism ke dalam 2 organisasi yang memiliki
budaya yang berbeda yaitu fleksibel dan stabil. Dalam
hal ini, ternyata tidak terdapat perbedaan hasil yang
siginifikan untuk organisasi dengan budaya yang
berbeda ketika melakukan pengukuran dengan metode
Performance Prism.
96
2.1.5.2 Dimensi Kinerja Unit Bisnis
Pengukuran kinerja unit bisnis menjadi kritikal untuk memastikan
pengawasan terhadap keselarasan antara hasil pekerjaan dan target yang telah
ditetapkan. Pengukuran kinerja menghasilkan nilai tambah yang nyata dilengkapi
dengan umpan balik terhadap proses pengambilan keputusan (Bacon, 2008).
Terkait dengan aspek keberlanjutan perusahaan, pengukuran ini dapat dijadikan
sebagai acuan peningkatan kinerja dan penetapan target di masa yang akan datang
(Brutus, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, terdapat berbagai model
pengukuran performansi yang tertuang dalam berbagai model kerangka kinerja.
Dimensi pengukuran kinerja ini umumnya disajikan dalam bentuk scorecard yang
dapat menyajikan data menyeluruh kepada pengambil keputusan untuk
mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi untuk meningkatkan kinerja jika
diperlukan (Gawankar et al., 2015). Balanced Scorecard (BSC) dalam hal ini
fokus pada aspek kinerja finansial dan non finansial (Kaplan dan Norton, 1996).
Balance Scorecard terdiri dari pengukuran hasil dan proses sebagai driver
hasil yang diharapkan di masa yang akan datang. Model ini mengukur kinerja
terhadap output dan proses yang sudah lewat serta driver untuk kinerja
berikutnya. Salah satu keunggulan dari model ini, selain aspek pengukuran yang
melibatkan finansial dan non finansial, fokus BSC juga memastikan pengukuran
dilaksanakan di semua level di dalam organisasi, tidak hanya pada level korporasi
seperti model performansi lainnya (Brutus, 2010).
97
Sementara itu, para peneliti juga hadir dengan beberapa model pengukuran
kinerja lainnya seperti pengukuran kinerja tiga dimensi yang mengukur aspek
sustainability, temporal dan spatial (Elkington, 1998), Model Capital Allocation
Capabilities yang mengukur aspek kapabilitas kepemimpinan (Arrfelt et al.,
2015), Model Performance Prism yang menitikberatkan pada aspek pemenuhan
ekspektasi dan kepuasan stakeholder, didukung oleh aspek strategi, proses dan
kapabilitas organisasi (Youngbantao dan Rompho, 2015).
Berikut ini adalah komparasi dimensi pengukuran kinerja bisnis.
Tabel 2.15 Komparasi/Konstruk Dimensi Kinerja Unit Bisnis
No
Kaplan
dan
Norton
(1996)
Gomathi
(2013) Vinichenko
(2015)
Youngbantao
dan Rompho
(2015)
Prajogo
(2016)
Konstruk
Dwi
Heriyanto
(2018)
1 Financial
Financial
goals
Kepuasan
stakeholder Kepuasan
stakeholder Lingkungan
Dinamis Financial
2 Customer Customer
perspective Strategi Strategi Lingkungan
Kompetitif Customer
3 Internal
Business
Process
Internal
Process Process Process Inovasi
Produk
Internal
Business
Process
4 Learning
dan
Growth
Learning
& Growth Kapabilitas Kapabilitas Inovasi
Prosess
Learning
and
Growth
5 Kontribusi
Stakeholder Kontribusi
Stakeholder
6 Lingkungan
internal
7 Lingkungan
eksternal
Pada penilitian ini, fokus aspek kinerja unit bisnis akan mengadopsi konsep
Balanced Scorecard sebagai acuan dimensi pengukuran kinerja unit bisnis. Aspek
98
ini dinilai paling komprehensif dibanding model lainnya karena mencakup aspek
finansial dan non finansial yang representatif untuk mengukur kinerja unit bisnis
pada model strategi Human Capital yang dikembangkan melalui penelitian ini.
Sehingga variabel kinerja unit bisnis pada penelitian ini mencakup dimensi
financial, customer, Internal Business Process, dan Learning dan Growth, dengan
konstruk indikator terdapat dalam Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Konstruk Dimensi dan Indikator dari Variabel Kinerja Unit Bisnis
Dimensi Indikator
Financial
Pertumbuhan revenue
Pertumbuhan ebitda
Pertumbuhan net income
Pertumbuhan produktivitas karyawan
Customer
Pertumbuhan jumlah pelanggan
Pertumbuhan pangsa pasar
Pertumbuhan churn
kepuasan pelanggan
Internal Business Process Keberhasilan inovasi produk baru Keberhasilan efisiensi operasional Keberhasilan pelayanan after sales
Learning and Growth
Keberhasilan kompetensi pegawai Kemampuan sistem informasi Keberhasilan meningkatkan lingkungan yang
produktif
2.2 Posisi Penelitian
Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui variabel-variabel yang
dilibatkandalam penelitian berikut dimensi untuk masing-masing variabel
tersebut.Selain itu, dapat diketahui metode yang digunakan dan objek dalam
penelitian. Selanjutnya dapat diketahui persamaan maupun perbedaaan
dibandingkan dengan penelitian ini.Gambaran mengenai penelitian terdahulu
sebagaimana terlihat pada Tabel 2.17.
99
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu
No Tahun Peneliti Judul Penelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
1 2009 George A.
Boyne dan
Kenneth J.
Meier
Environmental
Turbulence,
Organization
Stability, and
Public Service
Performance
Environmental
Turbulence
1. Munificence of the
environment
2. Complexity of the
environment
300 sekolah
dan 1000
siswa
Regression Persamaan : Persamaan :
Meneliti turbulensi
lingkungan dan performansi
suatu organisasi.
Perbedaan: Penelitian ini
dilakukan pada sektor
pendidikan.
Organization
Stability
1. Vertical stability
2. Horizontal stability
Public Service
Performance
1. The percentage of
student who pass the
exam
2. The percentage of
"college ready"
students
100
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
2 2009 Lengnick-
Hall et al.
Strategic human
resource
management:
The evolution of
the field
Strategic
human
resource
management
1. Explaining
contingency
perspectives and fit
2. Shifting from a focus
on managing people
to creating strategic
contributions
3. Elaborating HR
system components
and structure
4. Expanding the scope
of SHRM
5. Achieving HR
implementation and
execution
6. Measuring outcomes
of SHRM
7. Evaluating
methodological
issues
Literature
Literature
Review
Persamaan : Meneliti
Strategi Human Capital
Perbedaan : Hanya
menggunakan metode
kualitatif, menggunakan
teknik analisa data content
analysis, hanya meneliti
strategi human capital
3 2013 Hyodong
Kim dan
Kang Sung-
Choon
Strategic HR
functions and
firm
performance:
Strategic HR
functions
1. Peran HR terhadap
manajemen strategis
perusahaan
2. Tanggungjawab HR
203
perusahaan di
Korea
Exploratory
Factor
Analysis
Persamaan: Meneliti
Strategi Human Capital dan
kinerja unit bisnis
101
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
The moderating
effects of high-
involvement
work practices
terhadap manajemen
strategis perusahaan
Perbedaan : melibatkan
variabel lain yaitu work
practices sebagai variabel
moderator.
melibatkan variabel
kapabilitas dinamik
Firm
performance
1. ROE
2. Sales
3. Labor efficiency
Work practices 1. Partisipasi serikat
pekerja perusahaan
2. Pengembangan karir
dan pelatihan
pegawai
3. Manajemen
karyawan kontrak
4 2015 Said
Abdullah
Al Saifi
Positioning
Organizational
Culture in
Knowledge
Management
Research
Organizational
Culture
1. Artifacts,
2. Expoused Beliefs
and Values
3. Underlying
Assumptions
Literature Comperhensiv
e Review
Persamaan: Sama-sama
meneliti budayao rganisasi
Perbedaan : Meneliti
Knowlegde Management
Research, menggunakan
teknik analisis
comprehensive
review,menggunakan
sampel literatur
102
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
5 2014 Kuen Hung
Tsai dan
Shu Yi
Yang
The contingent
value of firm
innovativeness
for business
performance
under
environmental
turbulence
Turbulensi
lingkungan
1. Turbulensi teknologi
2. Turbulensi pasar
452
Perusahaan
manufaktur di
Taiwan
Regression Persamaan: Meneliti
turbulensi lingkungan dan
kinerja unit bisnis suatu
organisasi.
Perbedaan : Penelitian ini
melibatkan variabel lain
yaitu inovasi pada
perusahaan.
Inovasi
perusahaan
1. Ide perusahaan
2. Inovasi perusahaan
Kinerja unit
bisnis
1. Financial
2. Market
3. Performa perusahaan
secara global
5 2014 Ralf
Wilden dan
Gudergan
The impact of
dynamic
capabilities on
operational
marketing and
technological
capabilities:
investigating the
role of
environmental
turbulence
Kapabilitas
operasional
1. Kapabilitas pasar
2. Kapabilitas teknologi
228
perusahaan
PLS-SEM Persamaan : Meneliti
turbulensi lingkungan dan
kinerja unit bisnis suatu
organisasi.
Perbedaan : Penelitian ini
melibatkan variabel lain
yaitu kapabilitas
operasional.
Turbulensi
lingkungan
1. Frekuensi
perkembangan
teknologi
2. Besarnya peluang
3. Tingkat kesulitan
dalam memprediksi
teknologi
Kinerja unit
bisnis
1. Performansi
perusahaan
2. Profit perusahaan
3.
103
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
6 2015 Pamelyn S.
Witteman
Aspects of
Organizational
Culture That
Impact
Healthcare
Professionals
Trust In The
Organization : A
Quantitative
Study
Organization
Culture
1. Mission,
2. Consistency,
3. Involvement,
4. Adaptability
170 The
sample
consisted of
male and
female
healthcare
professionals
that were part
of the Baby
Boomer, Gen
X , and Gen Y.
The data
analysis
began with
descriptive 62
statistics as a
preliminary
data analysis
using
univariate
analysis to
determine
frequencies,
mean, mode
and standard
deviation.
Persamaan : Sama-sama
meneliti organization
culture
Perbedaan : Variabel lain
dalam penelitian ini adalah
Organization Trust,
Penelitian ini di lakukan di
organisasi kesehatan
Organization
Trust
1. Propensity
2. Ability
3. Benevolence
4. Integrity
7 2015 Zhi Cao, et
al
The Impact of
Organizational
Culture On
Supply Chain
Integration : A
Contingency and
Configuration
Approach
Organizational
Culture
1. Development culture
2. Group culture,
3. Rational culture,
4. Hierarchical culture
317
Manufactures
across ten
countries
SEM Persamaan : Sama-sama
meneliti budaya organisasi,
sama-sama menggunakan
teknik survey untuk
mengumpulkan data
Perbedaan : Meneliti Supply
Chain Integration
104
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
Supply Chain
Integration
1. Internal integration,
2. Customer
integration,
3. Supplier integration
8 2015 Dave Ulrich
dan James
H.
Dulebohn
Are we there
yet? What`s next
for HR
Strategic HC 1. Kontribusi HC
2. Manajemen personil
3. HC maintenance
Literature Literature
Review
Persamaan : Meneliti
turbulensi lingkungan,
strategi kepemimpinan dan
performansi suatu organisas
Perbedaan : Terdapat
variabel transformasi
Turbulensi
lingkungan
1. Faktor eksternal
2. Globalisasi
Strategi
Kepemimpin-
an
1. Individu
2. Organisasi
Transformasi 1. Administrative wave
2. HR practices wave
3. HR strategy wave
9 2015 Gawankar
et al. Performance
Measurement
Using Balance
Score Card and
its Applications:
A Review
Business unit
performance 1. Learning and growth
2. Business process
3. Customer focused
4. Financial
29 Business
unit Literatur
review dan
pengaplikasi-
an balanced
scorecard di
berbagai
sektor
Persamaan : Meneliti
Business unit performance,
Salah satu sampel
penelitiannya di sektor
telekomunikasi
Perbedaan : Hanya meneliti
business unit performance,
Tidak hanya meneliti di
105
Tabel 2.17 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No Tahun Peneliti JudulPenelitian Variabel Dimensi Sample Analisa Data Persamaan/Perbedaan
sektor telekomunikasi saja,
Menggunakan analisis
literature review
10 2015 Mark
Kriger and
Yuriy
Zhovtobryu
kh
Rethinking
strategic
leadership: stars,
clans, teams and
networks.
Strategic
Leadership 1. Stars
2. Clans
3. Teams
4. Networks
Literatur
Literature
Review
Persamaan : Sama-sama
meneliti strategic
leadership
Perbedaan : Sampel dan
metode analisis data
menggunakan literatur saja
11 2016 Neetu
Andotra
& Richa
Gupta
Impact of
Environmental
Turbulence on
Market
Orientation–
Business
Performance
Relationship in
SSI
Impact of
Environmental
Turbulence on
Market
Orientation–
Business
Performance
Relationship in
SSI
Turbulensi lingkungan 150 owners,
sales
managers dan
marketing
managers
Regression Persamaan : Meneliti
turbulensi lingkungan dan
kinerja unit bisnis suatu
organisasi.
Perbedaan : Penelitian ini
melibatkan variabel lain
yaitu intensitas persaingan.
Intensitas persaingan
Kinerja unit bisnis
Sumber :Diolah dari berbagai jurnal
106
Berdasarkan literatur yang telah dijabarkan di atas, maka penelitian ini
memfokuskan kepada unsur people (kepemimpinan strategis) yang membentuk
strategi model Human Capital yang dipengaruhi oleh turbulensi lingkungan dan
budaya organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja unit bisnis, yang belum
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
State of the Art dari penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar
peranan kepemimpinan strategis dan pengaruh turbulensi lingkungan, serta
pengaruh budaya organisasi dalam menetapkan strategi Human Capital, sehingga
dapat meningkatkan kinerja unit bisnis. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil
tema: "Model Strategi Human Capital untuk Meningkatkan Kinerja Unit Bisnis
pada Operator Telekomunikasi di Indonesia, Ditinjau dari Aspek Turbulensi
Lingkungan, Kepemimpinan Strategis dan Budaya Organisasi (Suatu study
pada unit bisnis operator telekomunikasi di Indonesia)”.
Dari berbagai kajian terhadap peneitian terdahulu tersebut, terlihat bahwa
masih ada kesenjangan penelitian (research gap) berupa belum adanya penelitian
yang secara komprehensif menganalisis hubungan antara turbulensi lingkungan,
kepemimpinan strategis, budaya organisasi, strategi human capital dan kinerja
unit bisnis di unit bisnis telekomunikasi di Indonesia.
Setelah mempelajari penelitian terdahulu pada jurnal internasional di atas
maka kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (State
of the Art) adalah sebagai berikut :
107
1) Penelitian ini melibatkan 5 variabel yaitu turbulensi lingkungan,
kepemimpinan strategis, budaya organisasi, strategi human capital dan
kinerja unit bisnis yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2) Penelitian yang terkait dengan model strategi human capital untuk
meningkatkan kinerja unit bisnis yang ditinjau dari aspek turbulensi
lingkungan, kepemimpinan strategis, budaya organisasi masih sangat
terbatas dan belum pernah dilakukan pada unit bisnis operator
telekomunikasi di Indonesia.
3) Penelitian ini secara orisinil menguji apakah teori-teori terkait dengan
turbulensi lingkungan, kepemimpinan strategis, budaya organisasi
mempengaruhi strategi human capital dan kinerja unit bisnis.
4) Penelitian serupa belum pernah dilakukan, baik di unit bisnis
telekomunikasi maupun di unit bisnis industri lainya dan belum pernah
ditemukan baik di berbagai jurnal internasional maupun jurnal nasional.
2.3 Kerangka Pemikiran
Turbulensi lingkungan unit bisnis telekomunikasi yang begitu cepat dan
tidak dapat diduga serta kepemimpinan strategis yang memiliki kapabilitas digital
leadership serta budaya organisasi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan
bisnis merupakan bagian dari masukan formulasi strategi human capital yang
dapat meningkatkan kinerja unit bisnis.
Fenomena menurunnya kinerja unit bisnis telekomunikasi di Indonesia
merupakan refleksi dari adanya pengaruh turbulensi yang tinggi dan belum
memadainya kapabilitas digital kepemimpinan strategis, kesiapan budaya
108
organisasi menuju budaya digital serta diperlukan strategi human capital yang
tepat untuk dapat mengantisipasi perubahan turbulensi lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Boyne dan Meier (2009) turbulensi lingkungan
memiliki hubungan negatif pada kinerja unit bisnis perusahaan, artinya semakin
besar turbulensi lingkungan maka kinerja unit bisnis menurun. Penelitian Morales
et al. (2011) memberikan kontribusi peranan pimpinan dalam peningkatan kinerja
unit bisnis.
Setelah mengkaji masing-masing konstruk penelitian, maka untuk
membangun paradigma penelitian, selanjutnya dikaji hubungan antara masing-
masing konstruk variabel tersebut di atas, berikut ini adalah hubungan antara
masing-masing konstruk variabel yang diperoleh dari hasil penelusuran penelitian
terdahulu dari lima variabel disertasi ini:
2.3.1 Hubungan antara Variabel Turbulensi Lingkungan Dengan
Kepemimpinan Strategis
Turbulensi Lingkungan yang dicirikan dengan adanya kondisi
ketidakpastian (Choo dan Auster, 1993) serta ketidakteraturan merupakan suatu
hal yang tidak dapat terelakan lagi pada pelaku bisnis. Boal dan Hooijberg (2001)
menyatakan bahwa kepemimpinan strategis berfokus kepada penciptaan makna
dan tujuan organisasi. Dalam proses penciptaan makna dan tujuan organisasi
harus mempertimbangkan aspek eksternal seperti terjadinya perubahan
lingkungan bisnis, lingkungan pasar dan teknologi. Kepemimpinan strategis
dapat memformulasikan strategi yang tepat agar dapat mampu untuk
109
mempertahankan dan menciptakan keunggulan bersaing dibandingkan dengan
kompetitornya sehingga dapat meningkatkan kinerja yang unggul.
Menurut Jiao et al. (2013), dalam lingkungan yang mengalami turbulensi,
perusahaan dalam hal ini kepemimpinan strategis atau pimpinan unit bisnis harus
terus menerus melakukan konfigurasi ulang terhadap sumber daya dan kapabilitas
internalnya untuk menjaga keberlanjutan keunggulan bersaing sehingga
didapatkan kinerja yang unggul. Menurut Hitt et al. (2012) kepemimpinan
strategis harus memiliki kemampuan dalam mengantisipasi (anticipate), memiliki
visi (envisioning), fleksibel dan dapat mendaya gunakan sumber daya yang ada
agar dapat melakukan perubahan jika diperlukan. Dalam melakukan konfirgurasi
ini maka peranan kepemimpinan strategis sangatlah penting, karena penetapan
visi dan misi perusahaan dilakukan melalui kepemimpinan strategis.
Disini terlihat adanya keterhubungan antara turbulensi lingkungan dengan
kepemimpinan strategis, dimana kepemimpinan strategis dapat melihat adanya
perubahan lingkungan eksternal yang terjadi kemudian menformulasikannya
kedalam strategi perusahaan yang tepat, sehingga perusahaan dapat tetap sustain
dan tumbuh dalam turbulensi lingkungan yang cepat berubah dan tidak pasti.
Gambaran studi terkait keterhubungan antara Turbulensi Lingkungan dan
Kepemimpinan Strategis dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Keterhubungan antara Turbulensi Lingkungan dan Kepemimpinan
Strategis
TURBULENSILINGKUNGAN
KEPEMIMPINANSTRATEGIS
BoalandHooijberg(2001),Hi etal(2012)
TsaiandYang(2014),Westermanetal.(2014)
110
2.3.2 Hubungan antara Turbulensi Lingkungan dan Budaya Organisasi
Turbulensi lingkungan merupakan kondisi eksternal yang tidak dapat
dielakkan oleh perusahaan. Lingkungan di mana bisnis beroperasi akan terus
dinamis sehingga membutuhkan kesiapan organisasi untuk merespon fluktuasi
yang terjadi. Salah satu upaya kesiapan itu menyangkut budaya internal
perusahaan yang harus cocok dengan kondisi lingkungan eksternal dan strategi
perusahaan.
Kitchell (1995) mengemukakan bahwa organisasi yang menganut budaya
adaptif akan lebih siap dalam menghadapi perubahan lingkungan eksternal.
Budaya organisasi yang diadopsi akan menunjukkan apakah perusahaan
dapat menciptakan inovasi sebagai bentuk reaksi terhadap perubahan kondisi
eksternal atau tidak. Sejalan dengan Kitchell, Studi pada 207 perusahaan di US
menyimpulkan terdapat hubungan yang siginifikan antara budaya perusahaan dan
kondisi lingkungan eksternal. Budaya perusahaan yang kuat saja tidak bisa
menjamin kesuksesan suatu bisnis kecuali terdapat kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan eksternal (Daft, 2010). Sementara, beberapa tahun sebelum
Daft, Penelitian oleh Skinner (2001) pada Queensland Rugby Union juga telah
memberikan paparan nyata bagaimana perubahan lingkungan eksternal men-
trigger perubahan budaya internal organisai.
Secara sederhana, turbulensi lingkungan akan menciptakan tekanan yang
secara langsung dirasakan oleh perusahaan. Perusahaan harus beradaptasi dengan
turbulensi lingkungan yang muncul. Budaya dan norma perusahaan harus bisa
beradaptasi dengan turbulensi lingkungan. Pada akhirnya, adaptasi tersebut akan
111
menghadirkan suatu inovasi budaya dan norma perusahaan. Dengan adanya
inovasi tersebut, akan timbul proses adaptasi budaya organisasi terhadap
turbulensi lingkungan.
Gambaran studi terkait keterhubungan antara Turbulensi Lingkungan dan
Budaya Organisasi dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Keterhubungan antara Turbulensi Lingkungan dan Budaya Organisasi
2.3.3 Pengaruh Turbulensi Lingkungan terhadap Strategi Human Capital
Perubahan pada pasar, teknologi dan regulasi dapat menjadi driver
perubahan strategi organisasi, termasuk di dalamnya strategi Human Capital
(Stone dan Deadrick, 2015). Phillips dan Phillips (2014) juga menyebutkan bahwa
perubahan tren dan global khususnya dalam bidang teknologi harus menjadi salah
satu faktor dalam penentuan strategi Human Capital dan organisasi. Menurut
Phillips dan Phillips (2014), ada 8 fungsi yang sangat mempengaruhi efektivitas
dan efisiensi suatu organisasi, dimana salah satunya yaitu energy (energi) dan
environment (lingkungan). Phillips dan Phillips (2014) menerangkan bahwa jika
keseluruhan 8 fungsi tidak ada dalam suatu strategi Human Capital dan
organisasi, maka di dalam organisasi tersebut akan kurang efektif, efisien, dan
kurang profitable.
Gambaran pengaruh turbulensi lingkungan terhadap Strategi Human Capital
dapat dilihat pada pada Gambar 2.10.
112
Gambar 2.10 Pengaruh Turbulensi Lingkungan terhadap Strategi Human Capital
2.3.4 Pengaruh Turbulensi Lingkungan terhadap Kinerja Unit Bisnis
Turbulensi teknologi dan pasar mempengaruhi dampak inovasi perusahaan
terhadap performansi bisnis. Turbulensi teknologi memberikan efek positif
terhadap inovasi yang juga berdampak positif terhadap performansi bisnis. Sejalan
dengan itu, turbulensi pasar dapat memperkuat keterkaitan inovasi perusahaan
(Tsai dan Yang, 2014).
Hubungan kinerja dan orientasi pasar dimediasi oleh intensitas persaingan,
turbulensi pasar dan turbulensi teknologi. Dari ketiga komponen tersebut,
turbulensi teknologi dan intensitasi persaingan memberikan dampak yang
signifikan bagi hubungan tersebut, namun turbulensi pasar memberikan dampak
yang tidak begitu besar. Kedua komponen yang memberikan dampak yang
siginifikan memiliki dampak yang berlawanan, dimana intensitas persaingan
memberikan hubungan yang berbanding lurus sementara turbulensi teknologi
yang tinggi malah melemahkan hubungan kinerja dan orientasi pasar (Andotra
dan Gupta, 2016).
Turbulensi lingkungan yang bergejolak secara luas memiliki efek yang
merusak kinerja unit bisnis suatu perusahaan. Turbulensi lingkungan memiliki
hubungan negatif pada kinerja perusahaan yang artinya semakin besar turbulensi
lingkungan maka kinerja unit bisnisakan semakin menurun. Perusahaan dituntut
113
untuk mengambil kebijakan apakah tetap menggunakan strategi yang lama atau
menciptakan strategi yang baru agar tidak terkena dampak buruk dari turbulensi
lingkungan (Boyne dan Meier, 2009).
Gambaran pengaruh turbulensi lingkungan terhadap kinerja unit bisnis dapat
dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Pengaruh Turbulensi Lingkungan terhadap Kinerja Unit Bisnis
2.3.5 Hubungan Antara Kepemimpinan Strategis dan Budaya Organisasi
Ke dan Wei (2007) menjelaskan pengaruh startegi kepemimpinan terhadap
implementasi Enterprise Resource Planning (ERP) dengan mengembangkan
struktur organisasi yang diinginkan. Selanjutnya, Ke dan Wei (2007)
menyebutkan bahwa strategi kepemimpinan dibutuhkan dalam keberhasilan
implementasi ERP serta mempunyai pengaruh yang kuat. Kepemimpinan juga
termasuk penentu desain budaya organisasi.
Anne-Marie (2014) menerangkan studi kasus dalam suatu perusahaan
penyedia minuman, menyebutkan bahwa culture yang diangkat dalam perusahaan
tersebut yaitu Winning Behaviour dimana para manajer dan talent pool dilatih
dalam kepemimpinan strategis sebagai posisi kunci (key position) dalam
organisasi secara global. Perusahaan tersebut percaya bahwa kepemimpinan
strategis dapat muncul ketika perusahaan telah mengimplementasikan
kepemimpinan strategis dalam organisasinya. Dalam studi kasus tersebut
114
menggabarkan bahwa culture dianggap mempunyai pengaruh yang signifikan
dalam kepemimpinan strategis.
Gambaran keterhubungan antara kepemimpinan strategis dan budaya
organisasi dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Keterhubungan antara Kepemimpinan Strategis dan Budaya
Organisasi
2.3.6 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Strategi Human Capital
Menurut Sparrow dan Otaye-Ebede (2014), kepemimpinan strategis adalah
suatu implementasi yang sesuai dengan lean management dimana
mengidentifikasi dan mereduksi waste pada human effort sedangkan
memaksimalkan kinerja bisnis. Sparrow dan Otaye-Ebede (2014) menjelaskan
bahwa strategi dalam kepemimpinan di dalam lean management yaitu
memberikan pemikiran yang efisien, pendekatan baru dalam customer
experiencedan employee engagement. Sehingga kepemimpinan strategis menjadi
salah satu strategi Human Capital efektif.
Ingham (2007) menyebutkan bahwa pengembangan model strategi Human
Capital berfokus pada menciptakan kapabilitas organisasi (intangible) yaitu
inovasi, efisiensi, dan kepemimpinan. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa
pengembangan kepemimpinan strategis menjadi suatu investasi yang dijadikan
sebagai model Human Capital.
115
Ulrich et al. (2012) menyebutkan bahwa model Human Capital akan
mendorong kinerja baik dari dalam maupun dari luar organisasi. Tetapi belum
diketahui apakah model Human Capital memiliki keterkaitan antara
kepemimpinan strategis.
Gambaran pengaruh kepemimpinan strategis terhadap strategi Human
Capital dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Unit Bisnis
2.3.7 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Kinerja Unit Bisnis
Menurut Pasmore et al. (2009), kepemimpinan strategis didasarkan pada
analisis yang menggambarkan kondisi saat ini dan masa yang akan datang,
sehingga kepemimpinan strategis akan menjelaskan bagaimana arahan dari
seorang pemimpin dalam perkembangan perusahaan, yang nantinya berpengaruh
pada kinerja unit bisnis. Jika gaya kepemimpinan mempunyai visi dan misi yang
jelas dan terarah. Terlebih jika para pemangku jabatan penting diduduki oleh
talent yang berkompetensi tinggi, maka hal tersebut menjadi key success factor
untuk mencapai kinerja bisnis perusahaan yang diinginkan. Pasmore menyebutkan
bahwa kepemimpinan strategis adalah suatu bentuk investasi sumber daya
manusia yang tidak terlihat (intangible) tetapi manfaatnya akan didapatkan dalam
jangka panjang.
116
García-Morales et al. (2011) menjelaskan keterhubungan antara
kepemimpinan dalam peningkatan kinerja pada perusahaan otomotif dan sektor
kimia. García-Morales (2011) mengemukakan hubungan antara kepemimpinan
transformasional (transformational leadership), pembelajaran organisasi
(organization learning), inovasi organisasi (organizational innovation) dan
kinerja organisasi (organizational performance) dalam mengubah lingkungan
bisnis. Peneliti menggunakan metode Structural Equations Modelling (SEM)
untuk menguji keterhubungan tersebut. Hasil dari penelitian tersebut yaitu adanya
korelasi positif dan signifikan antara kepemimpinan transformasional,
pembelajaran organisasi, inovasi organisasi, dan kinerja organisasi. Penelitian ini
memberikan kontribusi untuk peningkatan kinerja organisasi dengan
menunjukkan peran kepimimpinan strategis, organisasi dan inovasi.
Gambaran pengaruh kepemimpinan strategis terhadap kinerja unit bisnis
dapat dilihat seperti Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Kinerja Unit Bisnis
2.3.8 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Strategi Human Capital
Strategi Human Capital bertindak sebagai mediator antara nilai-nilai
perusahaan dengan karyawan. Sementara itu, budaya perusahaan sendiri sangat
terkait dengan strategi dan outcome dari perusahaan. Dalam hal ini, Wei et al.
(2008) menemukan bahwa budaya perusahaan bertindak sebagai antecedent dari
117
Strategic Human Capital yang mentransfer pengaruh budaya perusahaan ke
performansi bisnis. Secara sederhana, strategi Human Capital memberikan arahan
yang terstruktur dalam implementasi budaya perusahaan untuk mencapai kinerja
yang diharapkan (Bowen dan Ostroff, 2004; Anne S. Tsui et al., 1997).
Di samping peran sebagai driver dalam implementasi budaya perusahaan,
Strategi Human Capital juga dapat menjadi alat untuk menggerakkan kultivasi
budaya. Rowden (2002) menyatakan bahwa SHC dapat mengambil peran dalam
pengembangan budaya perusahaan sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi
perusahaan secara keseluruhan.
Gambaran pengaruh budaya organisasi terhadap strategi Human Capital
dapat dilihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Strategi Human Capital
2.3.9 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Unit Bisnis
Budaya organisasi merepresentasikan pola tingkah laku dari personil yang
ada di organisasi. Budaya ini terdiri dari shared value dan group behavior
normyang berpengaruh pada bagaimana anggota organisasi itu bekerja untuk
mencapai tujuan organisasi (Kotter, 2008). Konstituen manajerial kunci, dalam
hal ini pelanggan, stakeholders, dan karyawan yang dilingkupi oleh kemampuan
manajerial berdasarkan budaya organisasi, memperlihatkan pengaruh signifikan
terhadap kinerja organisasi, baik secara finansial, maupun meningkatkan
118
keberlangsungan suatu perusahaan. Kotter (2008) menemukan bahwa peningkatan
revenue organisasi yang menerapkan budaya perusahaan bahkan tercatat lebih dari
6 kali lipat dibanding organisasi yang tidak mengadopsi budaya tertentu di
organisasinya.
Sejalan dengan paparan diatas, studi oleh Gebauer et al. (2010)
memperlihatkan bahwa budaya organisasi seperti orientasi pada pelayanan yang
diadopsi oleh perusahaan manufaktur, baik di level manajemen ataupun
karyawan, memberikan dampak langsung kepada performansi bisnis secara
keseluruhan. Selanjutnya, Iriana et al. (2013) juga membuktikan bahwa organisasi
yang mengadopsi budaya korporasi yang baik akan memberikan pengaruh
terhadap pelayanan pada pelanggan yang juga akan secara langsung berdampak
pada peningkatan performansi perusahaan. Gambaran pengaruh budaya organisasi
terhadap kinerja unit bisnis ini seperti pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Unit Bisnis
2.3.10 Pengaruh Strategi Human Capital terhadap Kinerja Unit Bisnis
Human Capital merupakan salah satu aspek penting dalam menjamin
keberlangsungan perusahaan karena keberadaan Human Capital dapat menjadi
sumber keunggulan kompetitif suatu perusahaan. Strategi Human Capital yang
selaras dengan strategi bisnis dengan pencapaian performansi Human Capital
BUDAYAORGANISASI
KINERJAUNITBISNIS
Ko er(2008),Gebauer(2010
Irianaetal(2013)
119
yang ideal akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi yang optimal
(Becker et al., 2001).
Strategi Human Capital sendiri mengakomodasi penciptaan keterhubungan
antara strategi korporasi dan implementasi aspek praktikal Human Capital.
Keberadaan strategi Human Capital akan memberikan arahan kepada pengelola
Human Capital untuk merancang program Human Capital yang berpengaruh
langsung pada performansi bisnis. Sejalan dengan ini, Besma (2014)
mengemukan bahwa statistik membuktikan bahwa semakin tinggi adopsi Strategi
Human Capital di suatu organisasi, maka semakin baik pula performansi
organisasi tersebut. Lebih jauh lagi, Huselid dan Becker (2006) bahkan
menemukan bahwa strategi Human Capital memberikan pengaruh langsung
terhadap kinerja unit bisnis. Gambaran pengaruh antara strategi Human Capital
dan kinerja unit bisnis dapat dilihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Pengaruh Strategi Human Capital terhadap Kinerja Unit Bisnis
Berdasarkan dari kajian pustaka terhadap variabel turbulensi lingkungan,
kepemimpinan strategis, budaya organisasi, strategi human capital dan kinerja
unit bisnis, maka dibuat paradigma penelitian yang menghubungkan ke lima
variabel di atas, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.18 berikut ini.
STRATEGI
HUMAN CAPITALKINERJA BISNIS
Becker, B. E., Huselid, M. A. & Ulrich, D. (2001)
Besma (2014), Huselid, M.A., and Becker, B.E. (2000)
KINERJA UNIT
BISNIS
120
Gambar 2.18 Paradigma Penelitian
2.4 Hipotesis
1. Turbulensi lingkungan (X1) rendah, kepemimpinan strategis (X2) baik,
budaya organisasi (X3) baik, strategi Human Capital (Y) tepat, dan kinerja
unit bisnis (Z) tinggi, pada unit bisnis operator telekomunikasi di Indonesia.
2. Turbulensi lingkungan (X1), kepemimpinan strategis (X2), budaya organisasi
(X3) berpengaruh terhadap strategi Human Capital (Y), baik secara simultan
maupun parsial pada unit bisnis operator telekomunikasi di Indonesia.
3. Turbulensi lingkungan (X1), kepemimpinan strategis (X2), budaya organisasi
(X3) berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis (Z), baik secara simultan
maupun parsial pada unit bisnis operator telekomunikasi di Indonesia.
4. Strategi Human Capital (Y) berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis (Z) pada
unit bisnis operator telekomunikasi di Indonesia.
Turbulensi Lingkungan (XI)• Turbulensi Pasar• Turbulensi Teknologi• Turbulensi Kompetisi• Turbulensi Disruptive
Kepemimpinan strategis (X2)• Envisioning• Engaging• Governing• Technology Leadership• Disruptive Innovation
Budaya Organisasi (X3)• People Culture• Process Culture• Strategy Culture• Operation Culture
Startegi Human Capital (Y)• People• Culture• Organization• HR Practice & Metrics• Effective Communication
Kinerja Unit Bisnis (Z)• Financial• Customer• Internal Business Process• Learning & Growth
121
5. Turbulensi lingkungan (X1), kepemimpinan strategis (X2), budaya organisasi
(X3) berpengaruh terhadap kinerja unit bisnis (Z) baik secara simultan
maupun parsial melalui strategi human capital (Y) pada unit bisnis operator
telekomunikasi di Indonesia.