23 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka Konstruksi berpikir dalam kajian pustaka yang peneliti kembangkan dalam penelitian ini terpetakan menjadi tiga bagian, yakni Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory. Secara konseptual Grand Theory merupakan teori umum yang menjadi basis atau dasar dari teori yang akan digunakan. Dengan bahasa lain Grand Theory ini adalah teori yang menjadi kerangka besar dan melandasi teori-teori yang akan digunakan. Adapun Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori manajemen dan teori organisasi. Teori manajemen dan organisasi ini digunakan karena sebagaimana dikemukakan oleh Mary Parker Follet (1997) dalam Ernie Tisnawati Sule (2013), adalah suatu seni dalam menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Mangement is the art of getting things done through people. Apa yang harus diselesaikan, segala sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Tujuan tersebut sangat beragam tergantung dari jenis organisasi. Dalam hal ini organisasi pemerintah daerah, maka di antara tujuan organisasi pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan baik kepada masyarakat (non profit). Hal-hal yang harus dilakukan oleh organisasi dalam rangka meraih non profit adalah sesuatu yang harus diselesaikan. Cara menyelesaikannya sebagaimana dikemukakan oleh Nickles,
131
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …media.unpad.ac.id/thesis/120430/2013/120130130001_2_3389.pdfManajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan ... dilakukan secara menyeluruh
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA,
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Konstruksi berpikir dalam kajian pustaka yang peneliti kembangkan dalam
penelitian ini terpetakan menjadi tiga bagian, yakni Grand Theory, Middle Theory
dan Applied Theory. Secara konseptual Grand Theory merupakan teori umum yang
menjadi basis atau dasar dari teori yang akan digunakan. Dengan bahasa lain Grand
Theory ini adalah teori yang menjadi kerangka besar dan melandasi teori-teori yang
akan digunakan. Adapun Grand Theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori manajemen dan teori organisasi.
Teori manajemen dan organisasi ini digunakan karena sebagaimana
dikemukakan oleh Mary Parker Follet (1997) dalam Ernie Tisnawati Sule (2013),
adalah suatu seni dalam menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Mangement is
the art of getting things done through people. Apa yang harus diselesaikan, segala
sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. Tujuan
tersebut sangat beragam tergantung dari jenis organisasi. Dalam hal ini organisasi
pemerintah daerah, maka di antara tujuan organisasi pemerintah daerah adalah
memberikan pelayanan baik kepada masyarakat (non profit). Hal-hal yang harus
dilakukan oleh organisasi dalam rangka meraih non profit adalah sesuatu yang harus
diselesaikan. Cara menyelesaikannya sebagaimana dikemukakan oleh Nickles,
24
McHugh and McHugh (1997) dalam Ernie Tisnawati Sule (2013), melalui tahapan-
tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.
Selanjutnya teori antara (middle theory) yaitu teori yang menjembatani
antara teori umum (grand theory) dan teori aplikasi (applied theory). Teori antara
(middle theory) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Manajemen Sumber
Daya Manusia (Human Resource Management) dan Perilaku Organisasi
(Organizational Behavior). Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan
Perilaku Organisasi ini digunakan karena salah satu faktor yang paling penting dan
mampu menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi. Keunggulan
bersaing (competitive advantage) suatu organisasi sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya. Oleh karena itu, penanganan sumber daya manusia harus
dilakukan secara menyeluruh dan seksama dalam kerangka sistem pengelolaan
sumber daya manusia yang bersifat strategis, menyatu dan selalu terhubung, sesuai
tujuan dan visi misi organisasi. Pendapat Mathis & Jackson (2010) dan Hasibuan
(2012). Pendapat tersebut semakin menegaskan bagaimana organisasi sebagai
sebuah sistem yang berupaya untuk terus melakukan perbaikan dengan cara
mengintegrasikan fungsi-fungsi dalam organisasi dan mengoptimalkan interaksi
organisasi dengan sistem diluar organisasi untuk mewujudkan kebutuhan sumber
daya termasuk SDM. Hal ini menjadikan aktivitas SDM selaras dengan tujuan
organisasi. Visi, misi dan tujuan menjadi kerangka nilai pada setiap aktivitas
pengelolaan SDM.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dapat diartikan sebagai ilmu
dan seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien
dalam penggunaan kemampuan manusia agar dapat mencapai tujuan di setiap
25
organisasi. Sedangkan Menurut Cushway (2002), Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM) merupakan bagian dari proses organisasi dalam mencapai tujuan.
Selanjutnya Toha (2001) mengatakan bahwa yang dimaksud perilaku organisasi
adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu
organisasi atau suatu kelompok tertentu. Robbin & Judge (2013) bahwa perilaku
organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan,
kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan
pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi.
Untuk memperjelas landasan teori yang akan digunakan peneliti dapat
digambarkan pada gambar 2.1. adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Landasan Teori yang digunakan
Teori aplikasi (applied theory) yaitu teori yang diaplikasikan guna
menjelaskan variabel-variabel penelitian. Sesuai dengan fokus penelitian, maka
teori aplikasi (applied theory) yang digunakan dalam penelitian ini antara lain;
sistem pengendalian internal, kepemimpinan, budaya organisasi dan akuntabilitas.
Grand Theory Manajemen Teori Organisasi
Middle Theory MSDM
Perilaku Organisasi
Applied Theory
Kepemimpinan
Budaya Organisasi
Akuntabilitas Sistem Pengendalian Internal
26
Keempat landasan teori tersebut, secara rinci akan diuraikan pada kajian pustaka di
bawah ini.
2.1.1. Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam sebuah lembaga memiliki kedudukan strategis.
Pemimpin merupakan orang yang mempunyai wewenang untuk mengarahkan orang
lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Erni dan kurniawan (2013) menyatakan
bahwa :
1) Mengimplementasikan proses kepemimpinan, pembimbingan, dan pemberian motivasi kepada tenaga kerja agar dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan, 2) Memberikan tugas dan penjelasan rutin
mengenai pekerjaan, 3) Menjelaskan kebijakan yang ditetapkan.
Pendapat tersebut menunjukan bahwa dalam pengelolaan organisasi
pemimpin adalah “anggota organisasi” yang memiliki legitimasi untuk
melaksanakan sejumlah tindkan strategis sekaligus berperan sebagai manajer
organisasi. Pimpinan tersebut mempunyai hukum yang kuat atau otoritas
pengangkatan dari atasannya untuk memimpin, mengelola suatu lembaga yang ada
di lingkungan organisasi yang bersangkutan. Pengertian pimpinan tersebut adalah
pimpinan formal, sedangkan pengertian pimpinan informal adalah orang yang
mampu mengarahkan orang lain sesuai dengan keinginannya dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Pimpinan yang demikian tidak mempunyai legetimasi atau
pengangkatan yang sah, tetapi yang bersangkutan mempunyai inisiatif dan kehendak
sendiri untuk mempengaruhi orang lain atas kehendaknya. Robbins dan Judge
(2013) menyatakan bahwa fondasi utama dalam kepemimpinan adalah kepercayaan.
Adanya kepemimpinan informal dilandasi oleh kepercayaan para pengikutnya
bahwa pemimpin memiliki pandangan visioner.
27
Hal tersebut diperkuat pula dengan adanya suatu pernyataan mengenai
kepemimpinan menurut Ordway Tead Terry; Hoyt (dalam Kartono,
2003) Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing
orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Pimpinan formal adalah orang yang oleh organisasi atau lembaga tertentu
ditunjuk sebagai pimpinan berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk
memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi, dengan segala hak dan
kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi”.
Ciri-ciri pemimpin formal antara lain : 1) Berstatus sebagai pemimpin formal
selama masa jabatan tertentu atas dasar legalitas formal oleh penunjukan pihak
berwenang (ada legalitas). 2) Pengangkatannya harus mmenuhi beberapa
persyaratan formal terlebih dahulu, 3) Pemimpin diberikan dukungan oleh organisasi
formal untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. 4) terdapat balas jasa materil
dan immaterial tertentu serta emulemen (keuntungan ekstra, penghasilan sampingan)
dan sebagainya.
Sedangkan pemimpin informal menurut Kartono (2003) sebagai berikut :
“Orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, namun
karena ia memiliki sejumlah kualitas unggul maka dia mencapai kedudukan sebagai
orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau
masyarakat”. Ciri-ciri pemimpin informal adalah 1) Tidak memiliki penunjukan
formal atau legetimasi sebagai pemimpin. 2) Kelompok rakyat atau masyarakat
menunjukan dirinya atu mengakuinya sebagai pemimpin. Status kepemimpinannya
berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau mengakui dan
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisivness)
8. Kecerdasan (intelligence)
9. Keterampilan mengajar (teaching skill)
10. Kepercayaan (faith)
Apabila pemimpin mempunyai kesepuluh sifat tersebut akan membawa
dampak yang positif terhadap keberhasilan dalam kepemimpinannya. Namun pada
dasarnya sulit bagi seseorang mempunyai kelengkapan semua sifat tersebut, tetapi
setidaknya mendekati sifat-sifat tersebut akan nampak berhasil dalam memimpin.
Disamping sifat-sifat tersebut, pemimpin dituntut untuk memberikan
tanggung jawab dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan pelaksanaan kerja kualitas, kuantitas, dan keamanan
41
2. Melengkapi para bawahan dengan sumber dana yang diperlukan untuk
menjalankan tugas.
3. Mengkomunikasikan kepada bawahan tentang apa yang diharapkan dari mereka
4. Memberikan susunan hadiah yang sepadan untuk mendorong pretasi
5. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi
apabila memungkinkan.
6. Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan efektif
7. Menilai pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasilnya
8. Menunjukan perhatian kepada bawahan.
Tanggung jawab seperti yang diuraikan di atas menunjukan perlunya
perhatian kepada bawahan juga kepada manajemen, hal menggambarkan bahwa
pemimpin tidak hanya bertanggung jawab secara struktur. Pemimpin memiliki
fungsi sosial untuk mengintegrasikan system nilai dalam organsiasi. Seorang
pemimpin di sektor publik menurut Belle (2014) diindikasikan inspirasional,
motivasional yang melibatkan artikulasi visi masa depan yang memikat dan
menginspirasi, pengaruh ideal yang dikaitkan dengan tindakan karismatik dan
pemodelan perilaku yang menyebabkan pengikutnya mengidentifikasi diri dengan
pemimpin, stimulasi intelektual melibatkan meminta gagasan pengikut dan
menantang mereka untuk mempertanyakan asumsi lama dan menganalisis masalah
dari perspektif baru. Akhirnya, pertimbangan individu yang memperhatikan setiap
kebutuhan pengikut melalui pendampingan, pembinaan dan aktivitas bersama.
Menurut Schutte dan Barkhuizen (2016) bahwa seorang pemimpin diindikasikan
pada dimensi afektif yaitu 1) mampu berkomunikasi secara fleksibel seperti
kemauan untuk mendengar, memberikan perhatian yang dipilih. 2) berpartisipasi
42
aktif seperti menghadiri dan bereaksi terhadap fenomena tertentu. 3) memiliki
kesadaran politik membaca isyarat emosional dan hubungan kekuatan kelompok. 4)
mengorganisir dan mempengaruhi melaksanakan strategi efektif untuk persuasi. 5)
internalisasi, yaitu mengadopsi sistem kepercayaan dan filosofi. Pada dimensi
kompetensi kognitif yaitu mampu mengingat mengingat kembali informasi yang
relevan, memahami jelaskan ide atau konsep, merealisasikan berbagai gagasan dan
praktik, berpikir logis dan logis, kreatif, mampu menganalisis, membedakan antar
bagian, mengevaluasi merevisi kekuatan dan kelemahan lingkungan internal,
membuat buat produk baru atau sudut pandang. Pada dimensi psikomotor seorang
pemimpin memiliki 1) kemampuan persepsi untuk menggunakan isyarat sensorik
untuk memandu aktivitas motoric,. kesiapan untuk bertindak meliputi rangkaian
mental, fisik, dan emosional yang menentukan tujuan, mampu merespon orang
terhadap situasi yang berbeda 2) mempelajari keterampilan yang kompleks
termasuk imitasi dan trial and error, respon kompleks ditunjukkan dengan cepat,
akurat dan sangat terkoordinasi kinerja, membutuhkan minimal energi. 3)
keterampilan adaptasi dan memodifikasi gerakan /pola yang sesuai dengan
persyaratan khusus. 4) menunjukan keaslian dalam menciptakan pola pergerakan
baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah tertent. Magada dan Govender
(2013) menjelaskan sektor publik terus berubah melalui kepemimpinan baru,
pengaruh lingkungan dan perkembangan sosio politik.
Berdasarkan beberapa konsep dan teori, maka yang mendasari terbentuknya
konstruk dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.1. halaman berikutnya.
43
Tabel 2.1.
Konstruk Kepemimpinan Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Kepemimpinan
1
Moejiono (2002)
Memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh
satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela
(compliance induction theorist) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin
2
Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003)
Kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain
dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
3 Veithzal Rivai (2010)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh dari
pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi
4 Robbins dan Judge (2013)
Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju tercapainya sasaran.
5
Rivai dan Mulyadi (2012)
Kepemimpinan adalah sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota
kelompok.
Kontruk :
Suatu kegiatan untuk memberikan pengaruh kepada pegawai agar tunduk dan patuh
atas perintah yang diberikan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
Selanjutnya beberapa konsep dan teori yang mengemukakan berbagai ragam
dimensi kepemimpinan dapat dilihat pada tabel 2.2. halaman berikutnya.
Direction Setter, Spokesperson, Change Agent, Coach.
2
Bass & Avolio (1997)
Karisma, Rangsangan Intelektual, Perhatian Individual, dan Motivasi Inspirasi
3
Keith Davis (1990)
Kecerdasan, Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial, Motivasi dan Dorongan Berprestasi
4
Bass & Avolio (1997)
Imbalan yang diberikan oleh pimpinan dengan bawahan tergantung berapa besar pekerjaan selesai sesuai dengan yang disepakati pimpinan pimpinan, Sistem balas Jasa dapat berbentuk non material, manajemen pengecualian
aktif dan manajemen pengucualian pasif.
5
Reddin, W.J, (1977)
Kelompok gaya dasar terdiri dari : gaya pemisah, pengabdi, penghubung, dan
terpadu ; Kelompok gaya efektif terdiri dari : gaya birokrat, otokrat bijak, pengembang, dan eksekutif ; Kelompok gaya tak efektif terdiri dari : gaya
Dilihat dalam perspektif studi organisasi baik itu organisasi profit maupun
organisasi pelayanan, budaya dipandang sebagai bagian penting dalam memberikan
45
penguatan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Menguatnya perhatian budaya
dalam bidang studi organisasi, diilhami oleh terjadinya perubahan paradigma atau
cara pandang tentang organisasi, yakni ketika organisasi tidak lagi dipandang
semata-mata sebagai alat atau instrumen yang bersifat formal dan rasional yang
sengaja dibentuk sekedar untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.
Urgensi lain yang menguatkan pentingnya aspek budaya dalam organisasi,
dilandasi oleh pemikiran bahwa organisasi dipandang sebagai makhluk hidup (living
system) dan sebagai sebuah masyarakat di mana aspek kehidupan organisasi dan
lingkungannya (environment) lebih mendapat perhatian ketimbang menempatkan
organisasi sekedar sebuah alat. Organisasi yang dipandang sebagai makhluk hidup,
organisasi dianggap mengalami daur hidup yaitu : lahir, menjadi anak-anak, remaja,
dewasa, tua dan selanjutnya jadi mati. Agar organisasi dapat bertahan hidup
(survival), tumbuh dan berkembang, maka ia harus mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Jika gagal beradaptasi, maka kemungkinan yang terjadi adalah
sebaliknya, siklus hidup organisasi bisa lebih pendek. Argumentasi lain yang
mengemuka adalah bahwa organisasi itu dinamis (termasuk organisasi publik),
berada dalam ruang yang terbuka (open space), dan bagian integral dari sistem yang
lebih besar yang secara dinamik selalu mengalami perubahan. Semakin lingkungan
berubah, maka semakin organisasi dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungannya. Manakala organisasi tidak berubah, maka
diyakini organisasi tersebut akan mengalami degradasi dan kemudian mati. Hal ini
sejalan dengan pepatah yang mengingatkan, bahwa “If you don’t change, you will
die”.
46
Organisasi sebagai makhluk hidup, selain dituntut untuk mampu beradaptasi
dengan lingkungan eksternalnya, maka kekuatan oganisasi dapat dianalisis juga dari
perspektif lingkungan internalnya. Hal ini mencerminkan bahwa organisasi bukan
sekedar kumpulan orang-orang yang bekerja untuk organisasi dan semuanya
berpikiran rasional dalam mengejar kebutuhan-kebutuhannya secara individual.
Akan tetapi, mereka juga merupakan sebuah masyarakat dengan segala atributnya
masing-masing.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka konsep budaya organisasi menjadi
penting untuk diperhatikan, baik pada aspek eksternal maupun aspek internal
organisasi demi kelangsungan hidup organisasi. Agar kajian tentang budaya
organisasi tersebut dapat dicermati secara komprehensif, maka dibutuhkan
pemahaman secara rinci dan sistematis, mengenai konsep organisasi, budaya dan
budaya organisasi.
2.1.2.1 Konsep dan Pengertian Budaya Organisasi
Organisasi merupakan alat atau instrumen, organisasi bukan tujuan tetapi
sebagai alat untuk mencapai tujuan, yang secara umum sering didefinisikan sebagai
sekelompok manusia yang bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Atas dasar pengertian organisasi ini bahwa dalam konsep organisasi terdapat dua
dimensi yaitu sekelompok manusia dan tujuan bersama yang hendak dicapai.
Budaya organisasi secara umum menurut Hofstede (1984) memiliki
karakteristik / dimensi sebagai berikut holistic, ditentukan oleh sejarah, berhubungan
dengan konsep antropologi, konstruksi sosial, lembut dan sulit berubah. Meskipun
dimensi yang dikemukakan Hosftede (1984 sangat umum namun telah memberikan
kerangka kerja untuk memahami bagaimana kompleksitas budaya serta kaitannya
47
dengan individu.
Selanjutnya Schein (2010) menyebutkan dimensi budaya yaitu adaptasi
eksternal dan integrasi internal. Menurut Schein (2010) bahwa budaya adalah
fenomena dinamika "di sini dan saat ini" dan sebuah pemaksaan berlatar belakang
struktur yang mempengaruhi kita dalam banyak cara. Budaya terus-menerus
dipancarkan dan diciptakan oleh interaksi dan perilaku. Budaya adalah sistem sosial
yang mengintegrasikan nilai-nilai kelompok sebagai struktur yang mengarahkan
pola perilaku individu dalam organsiasi. Budaya dalam organsiasi adalah nilai-nilai
formal yang dibentuk dalam mengoptilakna pencapaian tujuan lembaga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka organisasi membangun nilai-nilai
yang mengikat kehidupan bersama dalam organisasi, yang biasanya disebut dengan
konsep budaya organisasi. Budaya organisasi memberikan ketegasan yang
mencerminkan secara khas suatu organisasi, sehingga dapat dibedakan budaya satu
organisasi dengan budaya organisasi lainnya. Budaya organisasi melingkupi pola
sikap dan perilaku seluruh anggota organisasi dan menjadi pedoman bagi setiap
individu dalam melakukan interaksi secara internal maupun interaksi secara
eksternal organisasi. Schein (2010) menyampaikan budaya menyiratkan stabilitas
dan kekakuan dalam arti bagaimana seharusnya merasakan, merasakan, dan
bertindak dalam suatu masyarakat, organisasi, atau pekerjaan sesuai dengan apa
yang telah diajarkan, Berbagai pengalaman sosialisasi untuk pertahankan tatanan
sosial. "Aturan" tatanan sosial.
Budaya untuk memprediksi perilaku sosial, bergaul satu sama lain, dan
menemukan makna tindakan. Secara formal Schein (2010) mendefinisikan budaya
sebagai pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok karena
48
memecahkan masalah adaptasi eksternal dan internal integrasi, yang telah bekerja
cukup baik untuk dianggap valid dan oleh karena itu Untuk diajar kepada anggota
baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasakan masalah
tersebut.
Gejala budaya dapat diamati dalam interaksi aktivitas manusia sepanjang
masa. Manusia dengan kemampuan akal budinya telah mengembangkan berbagai
sistem tindakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga manusia menjadi
makhluk yang paling berkuasa diantara makhluk lainnya dimuka bumi ini. Namun
demikian berbagai macam sistem tindakan manusia tadi, harus dibiasakan olehnya
dengan cara belajar sejak lahir sampai dengan mati, karena kehidupan manusia
dihadapkan pada perubahan-perubahan dan keterbatasan sumber-sumber daya yang
mengharuskan manusia terus belajar. Manusia harus terus belajar untuk
meningkatkan kemampuannya, untuk melaksanakan berbagai sistem tindakan sesuai
dengan perubahan lingkungan demi kelangsungan hidupnya.
Salah satu faktor penting yang berfungsi untuk mengoptimalkan bagaimana
perubahan dan budaya adalah pemimpin, Magada dan Govender (2013)
menegaskan bahwa pemimpin pelayanan publik harus gesit untuk memenuhi
tuntutan masyarakat abad ke-21, dan pandangan ini, mungkin memerlukan
perubahan budaya dalam sektor pelayanan publik. Ditegaskan, “This implies that
leadership is critical for driving a change in culture, and therefore lack of change in
the culture can be seen as poor leadership”
Menurut Kennedy , A Allan and Deal , E Terrence (2000) lebih menekankan
bahwa “The core of the Culture : Values” . Konsep tersebut mencerminkan bahwa
inti budaya adalah nilai-nilai. Nilai-nilai itu dipahami dan ditularkan oleh pimpinan
49
ke seluruh anggota organisasi mulai dari unit yang terendah sampai dengan
manajemen puncak, dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.
Nilai-nilai yangada dalamorganisasi akan mendorminasi dan mengarahkan individu
pada perilaku yang sesuai dengan tujuan organsiasi. Nilai secara explisit terintegrasi
dalam struktur dan menjadi landasan setiap pengambilan kebijakan maupun
penetapan tujuan. Nilai menjadi asumsi dasar untuk membangun kerangka kerja
organsiasi termasuk dalam memecahkan masalah dan menetapkan tujuan.
Berdasarkan pandangan pakar di atas, dapat diketahui bahwa kebhinekaan budaya
masyarakat Indoneisa haruslah diikat dalam suatu budaya nasional yaitu Pancasila
yang menjadi basis budaya bangsa sebagai kekuatan penggerak dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan uraian di atas, Robbins, dan Judge (2013), menandaskan
bahwa ”budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain”.
Budaya organisasi itu menyangkut sistem makna/nilai yang dianut bersama,
sehingga menjadi budaya dominan, akan tetapi budaya organisasi berkembang
menjadi subbudaya yaitu budaya kecil atau subbudaya yang cenderung tumbuh
terutama pada organisasi besar yang dilihat dari aspek departemen, geography, dll.
Budaya dominan yang merupakan nilai-nilai inti yang dianut oleh mayoritas anggota
organisasi dan subbudaya organisasi haruslah tunduk pada budaya dominan yang
berfungsi sebagai variabel independen yang ampuh untuk mempengaruhi perilaku
para anggota organisasi untuk meningkatkan kinerjanya masing-masing berdasarkan
visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan.
Budaya dalam organisasi publik dipengaruhi nilai-nilai yang ada dalam
50
masyarakat dan dipengharuhi oleh dinamika perubahan baik internal maupun
eksternal. Nilai-nilai menjadi landasan lembaga dalam mewujudkan kebajikan
utama pada masyarakat. Menurut Pimpa (2012) menjelaskan bahwa generasi muda
di sektor publik Thailand mungkin lebih individualistis, akrab dengan konsep
perubahan organisasi dan menghargai konsep manajemen barat. Hal ini menunjukan
adanya perubahan dalam budaya dalam waktu lama. Resistensi terhadap budaya
yang dinilai tidak rasional kerap terjadi . Hal ini didasarkan pada anggapan
superioritas dalam budaya.
Dilihat dalam perspektif, organisasi publik seperti pemerintah daerah, maka
birokrasi pemerintah daerah sudah seharusnya mempunyai budaya organisasi
tersendiri yang bisa memberikan penguatan terhadap semua komponen atau unit
kerja di dalamnya.
Berkembangnya budaya organisasi, di lingkungan birokrasi pemerintah
(termasuk di daerah), sesungguhnya merupakan tanggung pimpinan atau para
pejabat sesuai dengan kapasitas dan unit kerja masing-masing. Dalam konteks ini,
pimpinan atau pejabat atasan memiliki tanggung jawab untuk menularkan esensi
budaya organisasi kepada semua unit kerja serta para bawahannya, sehingga mereka
diharapkan mempunyai rasa memiliki terhadap organisasi (sense of belonging) dan
rasa bertanggung jawab (sense ofresposibility). Dengan demikian budaya organisasi,
diharapkan dapat menjadi salah pedoman bagi semua elemen atau unsur organisasi
dalam menjalankan aktivitasnya.
Terkait dengan uraian di atas, maka untuk memahami budaya organisasi
secara utuh, elemen-elemen atau unsur-unsur budaya organisasi itu harus dipelajari,
karena masing-masing elemen memiliki karakteristik yang berbeda antara satu
51
elemen dengan elemen lainnya. Elemen budaya organisasi yang bersifat idealistik
adalah elemen yang menjadi ideologi organisasi yang relatif stabil walaupun
organisasi secara natural harus berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Elemen ini juga sering disebut elemen bersifat terselubung, tidak tampak ke
permukaan dan hanya orang-orang tertentu saja (biasanya elit organisasi atau pendiri
organisasi) yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi
tersebut didirikan. Contoh elemen idealistik : falsafah hidup, doktrin, dan nilai-nilai
organisasi yang ditetapkan oleh pemilik atau pendiri organisasi, yang dalam
implementasinya bahwa anggota orgnisasi menjalankannnya sesuai dengan
keinginan pemilik organisasi. Dalam organisasi formal dewasa ini budaya yang
bersifat idealistik ini dinyatakan secara formal dalam bentuk visi dan misi yang
dijadikan pegangan bersama seluruh anggota organisasi.
Elemen budaya yang bersifat behavioral termasuk dalam mazhab adaptionist
adalah elemen kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari
para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi.
Elemen ini relatif lebih mudah diamati. Pandangan orang luar dan orang dalam
organisasi tentang budaya organisasi kadang-kadang tidak sama. Orang luar
organisasi mengidentifikasi dan memahami budaya organisasi dengan cara
mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan memiliki kebiasaan-
kebiasaan lain yang mereka lakukan. Jadi elemen behavioral ini adalah kebiasaan-
kebiasaan dalam bentuk praktik sehari-hari dari organisasi. Elemen idealistik dan
elemen behavioral dari budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan, sebab keterkaitan elemen-elemen inilah yang membentuk budaya
organisasi.
52
Sehubungan dengan uraian di atas bahwa budaya organisasi merupakan
suatu kesepakatan bagian yang penting dari teori organisasi, yang berpengaruh pada
pencapaian akuntabilitas organisasi secara keseluruhan. Sebagaimana telah
disebutkan diatas bahwa organisasi sebagai suatu sistem sosial itu berada dalam
ruang yang terbuka selalu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya
dalam mencapai tujuannya. Budaya organisasi menjadi hal yang penting dalam
organisasi, karena budaya organisasi menjadi falsafah, ideologi, nilai-nilai,
anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara
bersama dan mengikat seluruh anggota organisasi yang dapat berdampak positip dan
berdampak negatip terhadap berjalannya organisasi.
Pendapat para Peneliti tentang budaya organisasi dapat dinyatakan bahwa
budaya sebagai sistem sosial, merupakan sistem terbuka yang dapat berinteraksi dan
saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Budaya global/internasional
merupakan lingkungan eksternal dari budaya nasional dan budaya nasional
merupakan lingkungan eksternal bagi budaya suku, dan budaya suku merupakan
lingkungan ekternal dari budaya organisasi dan selanjutnya budaya organisasi
merupakan lingkungan eksternal bagi subbudaya organisasi, yang diantara keduanya
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan individu
anggotanya. Jika organisasi disamakan dengan manusia. maka budaya organisasi
merupakan personalitas atau kepribadian organisasi. Akan tetapi budaya organisasi
membentuk perilaku organisasi, bahkan tidak jarang membentuk perilaku anggota
organisasi sebagai individu. Itulah sebabnya, perilaku organisasi yang baik akan
menghasilkan kinerja organisasi yang baik pula.
53
2.1.2.2. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam mendukung
tercapainya tujuan organisasi. Sejalan dengan hal tersebut, Ndraha (1997)
mengemukakan fungsi budaya sebagai berikut:
1. Sebagai indentitas dan citra suatu masyarakat;
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat; 3. Sebagai sumber; 4. Sebagai kekuatan penggerak;
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah; 6. Sebagai pola perilaku;
7. Sebagai warisan; 8. Sebagai substitusi (pengganti) formalisasi; 9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan;
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa konguren dengan negara, sehingga terbetuk nation-state.
Pandangan Ndraha di atas mengisyaratkan bahwa budaya organisasi akan
mencerminkan kepribadian organisasi yang kemudian memberikan makna bagi
kehidupan bersama, sehingga terjadi kesatuan dan persatuan di dalam tubuh
organisasi dalam rangka menghadapi ancaman dan gangguan dan luar organisasi.
Pendapat Robbins dan Judge (2013) mengemukakan bahwa budaya
organisasi menjalankan sejumlah fungsi, yaitu : Pertama, menetapkan tapal batas;
Kedua, memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi; Ketiga,
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan
diri pribadi seseorang; Keempat, meningkatkan kemantapan sistem social
(perekat/mempersatukan anggota organisasi) dan Kelima, mekanisme pembuat makna
dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku para
anggota organisasi.
Pandangan yang lebih komprehensif tentang fungsi budaya organisasi
dikemukakan oleh Schein (2010) yang menandaskan bahwa fungsi budaya
54
organisasi dipetakan dalam tiga fase, yaitu:
a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi. Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain; b. Fase pertengahan hidup organisasi. Pada fase ini budaya organisasi
berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru,
sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi;
c. Fase dewasa. Pada fase ini, budaya organisasi dapat berfungsi sebagai penghambat dalam berinovasi, karena berorientasi pada kebesaran dan kemapanan masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.
Mengikuti konstruksi pandangan para pakar di atas, dapat dikemukakan
bahwa fungsi budaya organisasi itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain
bahwa budaya organisasi sebagai perekat, kekuatan penggerak, sebagai yang
diwariskan, sebagai adaptasi terhadap perubahan, sebagai proses belajar, sebagai
simbol, sebagai milik bersama, memberikan rasa identitas, menumbuhkan komitmen
bersama, memantapkan sistem sosial, sebagai pengendali sikap dan perilaku, sebagai
integrator dan bisa juga sebagai penghambat berinovasi atau perubahan organisasi.
Bahkan Linnenluecke dan Griffiths (2010) menyatakan bahwa budaya kerap
dituding sebagai faktor dominan yang membuat organisasi gagal dalam
implementasi programnya seperti dinyatakan : “Organizational culture is often cited
as the primary reason for the failure of implementing organizational change
programs”
2.1.2.3. Dimensi Budaya Organisasi
Secara substantif, budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen atau
dimensi. Masing-masing elemen atau dimensi tersebut memerlukan pengetahuan
tersendiri, sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap esensi budaya
organisasi secara utuh. Sesungguhnya banyak pendapat yang mengemukakan
55
tentang dimensi-dimensi budaya organisasi, antara lain Hofstede (1984), Schein
(2010) dan Robbins & Judge (2013).
Hofstede (1984) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam enam
dimensi. Ke enam dimensi budaya organisasi yang dimaksud dapat dijelaskan
sebagai berikut: 1) Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda
terhadap masalah dasar dari ketidaksetaraan manusia; 2) Uncertainty Avoidance,
terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan sosial menghadapi masa depan
yang tidak diketahui; 3) Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi
dari individu ke dalam kelompok-kelompok utama; 4) Masculinity versus
Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran emosi antara wanita dan laki –laki,
5) Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari fokus untuk
usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu 6) Indulgence versus Restraint,
terkait kepada gratifikasi dibandingkan kendali dari kebutuhan dasar manusia untuk
menikmati hidup.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas tampak bahwa Hofstede at.al.
mengukur budaya organisasi tersebut dan dua sisi yang berseberangan, misalnya
apakah organisasi lebih berorientasi proses atau lebih berorientasi hasil. Organisasi
lebih berorientasi pada kepentingan pegawai atau orientasi pada pekerjaannya.
Organisasi lebih berorientasi paroki atau lebih pada orientasi profesional. Disisi lain
juga dilihat apakah budaya organisasi cenderung pada pendekatan sistem terbuka/
transparansi atau pendekatan sistem tertutup. Organisasi berorientasi pada kontrol
yang longgar atau pada pendekatan kontrol yang ketat atau budaya organisasi lebih
menekankan normatif atau menekankan program dan sebaliknya. Fang (2003)
mengkritik dimensi budaya yang dikemukakan Hofstede (1984), disampaikan bahwa
ada kecacacatan filosofis yang melekat dalam dimensi 'baru' dan secara metodologi
lemah. kegunaan dimensi kelima Hofstede adalah meragukan. Long-term orientation
bukan merupakan cara berpikir barat. Tidak ada landasan filosofi yang menjadi
dasar pemikiran adanya dimensi orientasi jangka panjang bagi masyarakat barat.
Orientasi jangka panjang mengacu pada positif, dinamis, dan berorientasi
masa depan. Empat nilai konfusian 'positif': 'ketekunan (ketekunan)'; 'penghematan';
„memiliki Rasa malu'. Orientasi jangka pendek yaitu mewakili budaya negatif, statis
dan tradisional dan berorientasi masa lalu yang terkait empat nilai 'konfusian'
negatif: kemantapan dan stabilitas pribadi, melindungi diri sendiri, menghormati
tradisi, dan reciprocation of greetings atau hadiah.
Organisasi itu supaya eksis, mempunyai asumsi-asumsi : beradaptasi dengan
lingkungan, integrasi kedalam untuk kesatuan sikap dan tindakan, kebenaran
seharusnya sama dengan kenyataan lapangan tapi nilai-nilai dan norma yang
ditentukan kadang-kaang tidak sama dengan prakteknya, waktu dan ruang yang
terbatas yang sebaiknya dipergunakan secara efektif dan asumsi tentang manusia
dengan semua karakteristiknya, menjalankan aktivitas dengan efektif serta perlunya
hubungan antar manusia maupun antar organisasi.Asumsi-asumsi tersebut dapat
dijadikan dimensi untuk mengukur budaya organisasi. Asumsi dasar dikemukakan
oleh Schein (2010) meliputi “assumption about exsternal adaptation , assumption
about managing internal integration, assumption about reality and truth,
assumption about the nature of time and space and assumptions about human
nature, activity dan relationships”. Hal yang sama dikemukakan oleh Pimpa (2012)
bahwa memahami nilai-nilai budaya yang berada di dalam organisasi sangat penting
bagi pengembangan reformasi. Artinya dalah memahami asumsi termasuk asumsi
57
dasar untuk memecahkan masalah maupun mengarahkan organisasi pada tujuannya.
Mengenai dimensi budaya di lembaga publik, Pimpa (2012) mengemukakan
berdasarkan kajian dari beberapa ahli tentang budaya organisasi serta dikaitkan
dengan konteks organsiasi publik yaitu Uncertainty Avoidance, Power Distance,
Collectivism, Masculinity, Long-term Goal. Dari kelima dimensi tersebut, orientasi
gender (maskulinitas) signifikan di antara kelompok sektor publik yang berbeda.
Menurut Hofstede (1984) , orientasi gender lebih kompetitif, berorientasi pada
tujuan dan Agresif. Konsep maskulinitas ditafsirkan dalam pengertian kesetaraan
jender.
Dalam perspektif yang berbeda, Robbins dan Judge (2013) mengemukakan
tujuh elemen atau dimensi budaya organisasi sebagaimana dijelaskan berikut :
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Hal ini mengandung makna sejauh mana para karyawan atau pegawai didorong agar memiliki sikap inovatif
dan mampu mengambil resiko agar terwujud visi organisasi; 2. Perhatian terhadap detail. Hal ini mengandung makna sejauh mana para
karyawan atau pegawai diharapkan mampu memperlihatkan presisi
(kecermatan), analisis dan perhatian terhadap detail pekerjaan; 3. Orientasi hasil. Hal ini mengandung makna sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu;
4. Orientasi orang. Hal ini mengandung makna sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi;
5. Orientasi Tim. Hal ini mengandung makna sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasarkan individu;
6. Keagresifan. Hal ini mengandung makna sejauh mana orang-orang itu
agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai; 7. Kemantapan. Hal ini mengandung makna sejauh mana kegiatan
organisasi menekankan dipertahankannya status quo, bukannya pertumbuhan.
Pandangan di atas mencerminkan bahwa dimensi budaya organisasi pada
prinsipnya merupakan sistem makna atau nilai bersama yang dianut oleh seluruh
anggota organisasi yang membedakan organisasi yang bersangkutan dengan
58
organisasi lainnya, yang esensinya meliputi dimensi inovasi dan pengambilan
resiko, perhatian terhadap detail, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim,
keagresifan dan kemantapan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk memahami
esensi ketujuh dimensi tersebut, di bawah ini akan dijelaskan secara komprehensif
mengenai dimensi-dimensi yang dimaksud.
1. Inovasi dan Pengambilan Resiko
Dimensi ini, pada intinya memberikan gambaran sejauhmana para pegawai
atau anggota organisasi didorong untuk memiliki sikap yang inovatif dan siap untuk
mengambil resiko. Norma-norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan yang
menyatakan bahwa setiap pegawai akan memberikan perhatian yang serius terhadap
segala masalah yang mungkin dapat membuat resiko kerugian bagi individu,
kelompok dan organisasi secara keseluruhan.
Dengan norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama tersebut,
diharapkan dapat membentuk perilaku pegawai bahkan mendorong pegawai
bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Sebagai contoh
dalam suatu pabrik, bagian produksi mengetahui ada sejumlah barang yang cacat,
maka produk yang cacat tersebut tidak dikirim ke bagian pemasaran. Meskipun
bagian produksi mengetahui ada sejumlah produk yang cacat namun dikirim juga ke
bagian pemasaran, maka hal itu sudah dapat diduga akan menimbulkan kekecewaan
konsumen karena membeli barang yang cacat, sehingga konsumen melakukan
komplain. Buchman (2013) menjelaskan konsep inovasi menurut Schumpeter
(1934) yaitu: “ Schumpeter understands innovation and economic development as
the creation of new combinations of existing resources and defines “development”
as the implementation or enforcement of such new combinations. Inovasi dan
59
kreativitas untuk menciptakan cara-cara baru dalam menghasilkan nilai merupakan
wujud kemampuan optimal dalam bekerja.
Akibat bagian produksi tidak inovatif dan tidak memperhitungkan risiko,
perusahaan akan mengalami kerugian. Misalnya dari aspek ketidaksediaan waktu
untuk menangani komplain konsumen atas produk suatu perusahaan, maka
kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan akan semakin berkurang. Pada
saat yang bersamaan, nama baik perusahaan atau organisasi juga akan mengalami
degradasi. Dampak berikutnya adalah konsumen akan lari dari produk perusahaan
tersebut dan memilih produk perusahaan lain yang dianggap lebih baik. Inovasi
dinyatakan oleh Kim dan Yon (2015) peran pemimpin dalam pembinaan inovasi
sangat signifikan.
2. Perhatian Terhadap Detail
Dimensi ini, pada prinsipnya menjelaskan sejauhmana para pegawai atau
anggota organisasi mampu mempertahankan presisi (kecermatan), analisis dan
perhatian terhadap hal-hal yang lebih rinci tentang masalah pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Memberikan perhatian pada setiap masalah secara detail dalam
melaksanakan tugas, setiap pegawai sejatinya mampu menampilkan cara kerja yang
lebih teliti dan cermat, sehingga hasil kerja yang dicapai benar-benar sesuai dengan
target atau sasaran yang ditetapkan. Sikap dan perilaku para pegawai yang demikian,
sesungguhnya mengambarkan kualitas pekerjaan yang prima. Pada akhirnya
kebiasaan semacam itu, akan menghasilkan produk atau kinerja organisasi yang
tinggi. Kondisi seperti ini juga akan berimplikasi pada tingkat kepercayaan publik
dalam menilai hasil kerja yang dicapai para pegawai. Meningkatnya kepercayaan
publik juga berarti meningkatkan kredibilitas, baik secara personal juga kredibilitas
60
organisasi secara kelembagaan.
3. Orientasi Hasil
Secara substantif dimensi ini, mengungkap sejauhmana pimpinan atau
manajemen memusatkan perhatian pada hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai
para pegawai atau organisasi. Dalam bahasa lain, perhatian yang diberikan bukan
hanya pada proses dan teknik yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut, tetapi
juga perhatian harus difokuskan pada pegawai sebagai mahluk yang memiliki
harapan, perasaan dan ekpektasi. Dengan demikian, diharapkan akan muncul suatu
budaya kerja yang mampu mendorong akselerasi pencapaian tujuan organisasi.
Untuk mewujudkan budaya semacam ini, pimpinan atau para manajer dituntut untuk
melakukan pengawasan atau supervise terhadap bawahannya secara sistemtik,
terpadu, sustainable. Melalui supervisi atau pengawasan yang efektif, para pegawai
diharapkan dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan rencana dan program yang
telah dicanangkan. Hal ini mengandung arti bahwa pengawasan dari pimpinan dapat
menjelaskan tujuan pegawai secara individu, tujuan kelompok dan tujuan organisasi
secara kelembagaan, dimana tujuan-tujuan tersebut dapat menggambarkan hasil
kerja yang harus dicapai. Jika persepsi dan perilaku para pegawai dapat dibentuk
menjadi satu kesatuan dan mempunyai komitmen yang tinggi, maka orientasi para
pegawai pada hasil dapat diwujudkan.
4. Orientasi Orang
Dimensi ini panda intinya menggambarkan sejauhmana keputusan pimpinan
dapat mempertimbangan dan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dari
keputusan yang diambil tersebut. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, karena
stiap keputusan yang diambil oleh pimpinan sudah barang tentu akan memberikan
61
dampak, baik kepada pegawai secara individu maupun organisasi secara
kelembagaan. Setiap keputusan yang diambil, sejatinya mempertimbangkan
kepentingan banyak pihak, khususnya para pegawai. Hal ini harus disadari bahwa
para pegawai merupakan motor penggerak dalam suatu organisasi. Bahkan
kehadiran pegawai merupakan salah satu kunci dalam mendukung tercapainya
tujuan organisasi. Itulah sebabnya kemudian muncul pandangan bahwa sumber daya
manusia (pegawai) dipandang sebagai kunci dalam mendukung pencapaian tujuan
organisasi.
Untuk mencapai hasil yang optimal, maka pimpinan harus mengupayakan
adanya kerja sama tim diantara sesama pegawai. Karena melalui kerjasama tim ini
juga dapat meningkatkan motivasi kerja para pegawai. salah satu bagian penting
dalam membangun motivasi kerja pegawai adalah peningkatan penghasilan, insentif
dan bentuk-bentuk penghargaan atau kompensasi lainnya. Dengan demikian,
diharapkan dapat melahirkan sinergitas antara kepentingan para pegawai dan
kepentingan organisasi dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.
5. Orientasi Tim
Dimensi ini, pada prinsipnya menggambarkan sejauhmana program dan
kegiatan kerja organisasi diorganisir berdasarkan tim kerja, bukan berdasarkan
individu. Pembagian tugas tanggung jawab dan kewenangan dalam tim kerja perlu
ditegaskan. Keberhasilan dan kegagalan tim kerja dalam mencapai tujuannya bukan
keberhasilan atau kegagalan perorangan, akan tetapi merupakan keberhasilan atau
kegagalan tim kerja secara keseluruhan. Kinerja organisasi salah satunya ditentukan
oleh kekompakan tim kerja (team work). Oleh sebab itu, tim kerja yang kompak
dapat dibentuk, manakala manajemen puncak atau pimpinan dapat melakukan
62
supervisi secara kontinu terhadap para bawahannya. Motivasi kerja anggota
organisasi akan meningkat apabila setiap elemen organisasi dapat bekerjasama
secara baik dalam tim kerja organisasi.
Dalam berbagai organisasi yang bebeda tugas pokok dan fungsinya, maka
komunikasi dan koordinasi antar organisasi merupakan keharusan untuk integrasi
dan keterpaduan pelaksanaan tugas dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan
organisasi secara keseluruhan.
6. Keagresifan
Secara substantif dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana orang-orang
dalam organisasi memiliki sikap yang proaktif dan kompetitif, sehingga
mencerminkan agresivitas dalam menjalankan tugasnya. Sudah tidak pada waktunya
seorang pegawai bekerja seenaknya atau leha-leha. Hal ini mengandung makna
bahwa pencapaian produktivitas kerja pegawai merupakan bagian penting dalam
mendukung pencapaian tujuan organisasi. Produktivitas kerja pegawai yang tinggi
dapat dihasilkan, manakala kinerja para pegawai dapat memenuhi standar kerja yang
dibutuhkan seperti pengetahuan, keahlian dan pengalaman terpenuhi. Disamping itu,
peningkatan kinerja pegawai juga membutuhkan tingkat kedisiplinan dan kerajinan
kerja yang tinggi. Pada sisi lain, dibutuhkan pula ketahanan fisik dan keagresifan
para pegawai/karyawan, untuk dapat menghasilkan kinerja yang baik. Keagresifan
para pegawai dalam bekerja itu perlu didorong melalui peningkatan motivasi kerja
pegawai diantaranya melalui pemberian penghargaan kepada pegawai, baik yang
bersifat materi maupun non-materi, seperti peningkatan remunerasi atau
penghargaan lain.
63
7. Kemantapan
Pada prinsipnya dimensi ini menjelaskan sejauhmana kegiatan organisasi
menekankan pentingnya mempertahankan status quo dan bukannya pertumbuhan
atau perubahan. Sumber-sumber daya semakin langka, sehingga budaya kompetisi
baik secara sehat ataupun tidak sehat diantara organisasi terutama organisasi yang
sejenis tidak dapat dielakkan. Karena lingkungan terus berubah, maka untuk
menghadapai perubahan itu organisasi juga harus berubah. Performa yang baik dari
anggota organisasi (baca: para pegawai) harus didukung oleh kesehatan fisik yang
prima. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tanpa kesehatan fisik yang
prima, para pegawai akan sulit untuk menghasilkan kinerja yang optimal, terlebih
lebih untuk mengatasi kompetisi organisasi secara tajam. Oleh karena itu, para
pegawai harus mampu memelihara kesehatannya secara teratur dengan
mengonsumsi makanan yang bergizi untuk stabilitas atau kemantapan.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan hidup
mati sebuah organisasi. Oleh karena itulah instansi atau lembaga bersedia
mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya instansi/lembaga atau
budaya perusahaan agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah
dengan cepat.
Menurut Weber (1947) terdapat 7 (tujuh) ciri yang dijumpai dalam sebuah
organisasi birokrasi, yaitu :
1. Adanya peraturan ataupun keorganisasian fungsi-fungsi yang saling terkait aturan yang menjadikan fungsi-fungsi itu suatu kesatuan yang
utuh. 2. Adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi
3. Adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip hierarki
64
4. Adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan (anggota organisasi) yang didasarkan kemampuan teknis, tanpa mmperhatikan
sam sekali koneksi, hubungan keluarga, maupun favoritisme. 5. Adanya pemisahaan antara pemilik alat produksi maupun administrasi
dari kepemimpinan organisasi 6. Adanya objektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan
suatu jabatan dalam organisasi.
7. Kegiatan administrasi, keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Dwiyanto (2008) mengemukakan beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu : produktivitas, kualitas
layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Selanjutnya Kumorotomo, (1996), menggunakan beberapa kriteria untuk
dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi sebagai organisasi pelayanan
publik, yaitu : efisiensi, efektivitas, keadilan, dan daya tanggap. Birokrasi organisasi
di lingkungan instansi pemerintah saat ini telah semakin dipertegas dengan
ditetapkannya aturan kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dam Kode Etik
PNS. Dalam PP tersebut yang dimaksud jiwa korps PNS adalah rasa kesatuan,
kebersamaan, kerjasama, tanggung jawab, dedikasi, kreativitas dan rasa memiliki
organisasi, sedangkan yang dimaksud dengan kode etik PNS adalah pedoman sikap,
tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugasnya dan dalam
pergaulan sehari-hari.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tersebut, kode etik PNS
dapat diklasifikasikan ke dalam kode etik bernegara, berorganisasi, bermasyarakat,
terhadap diri sendiri, dan kode etik terhadap sesama PNS. Franz Magnis Suseno
(2002) menyatakan ada 4 (empat) unsur utama yang mempengaruhi keberhasilan
perwujudan etika dalam organisasi pemerintah, yaitu : adanya etos kerja yang kuat,
65
moralitas pribadi pegawai yang bersangkutan, kepemimpinan yang bermutu, dan
didukung oleh syarat-syarat sistematik.
Berdasarkan perwujudan etika dalam organisasi pemerintah, ada yang
disebut dengan kepemimpinan yang bermutu, maksudnya adalah kepemimpinan
moral yang harus ditampilkan oleh atasan dalam tingkah laku dan tindakan-tindakan
kepemimpinan yang bermutu meliputi : kompetensi, tertib kerja, konsistensi, dan
menjadi panutan.
Berdasarkan beberapa konsep dan teori yang dikemukakan oleh para pakar,
maka yang mendasari terbentuknya konstruk budaya organisasi dapat dilihat pada
tabel 2.3. adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3.
Konstruk Budaya Organisasi Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Budaya Organisasi
1
Hofstede (1984) Budaya menetukan identitas suatu kelompok organisasi, sama seperti
kepribadian menentukan identitas seorang individu. Budaya organisasi landasan terwujudnya organisasi yang efektif.
2
Robbins, S . Judge. (2013)
Suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain (dalam Sudarmanto, 2009)
3
Armstrong (1994)
Alat perekat sosial dan menghasilkan kedekatan, sehingga dapat
memperkecil diferensiasi dalam sebuah organisasi
4
Gregg Baron (2006)
Kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma
perilaku, dan harapan bersama yang dirasakan oleh anggota organisasi
5
Kreitner & Kinicki (2001)
Bagian nilai-nilai dan kepercayaan yang mendasari atau menjadi identitas
perusahaan atau organisasi
Kontruk :
66
Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang dapat membentuk perilaku yang melembaga, kemudian dapat diwujudkan dalam penampilan, sikap, dan tindakan,
sehingga menjadi identitas dari organisasi tertentu.
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
Adapun konsep dan teori yang mengemukakan beberapa dimensi terkait
dengan budaya organisasi dapat dilihat pada tabel 2.4 adalah sebagai berikut.
Tabel 2.4.
Dimensi Budaya Organisasi
No. Sumber Referensi
Dimensi; Konstruk
1
Hofstede (1984) :
Orientasi proses vs orientasi hasil, pekerjaan vs pegawai, profesional vs parokial, kontrol yang ketat vs kontrol yang longgar, dan pragmatis vs
normatif.
2
Robbins, S . Judge. (2013) :
Inovasi dan pengambilan resiko, Perhatian ke rincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan (dalam
Sudarmanto, 2009)
3 Armstrong (1994)
Keyakinan, sikap, dan nilai yang umumnya dimiliki yang timbul dalam suatu
organisasi
4 Gregg Baron (2006)
Budaya memberikan rasa identitas, budaya membangkitkan komitmen pada misi organisasi, dan budaya memperjelas dan memperkuat standar perilaku
5 Kreitner & Kinicki (2001)
Sikap, nilai diri, etika, asumsi, dan harapan-harapan
Pengukuran Budaya Organisasi dalam Disertasi ini melalui :
Inovasi dan pengambilan resiko, Perhatian ke rincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
2.1.3. Sistem Pengendalian Internal
Pengendalian internal pada hakikatnya merupakan suatu upaya yang
dilakukan untuk menjaga agar aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh semua
komponen organisasi dapat sejalan dengan rencana yang telah ditetapkan.
Pengertian pengendalian internal menurut beberapa ahli diantaranya menurut COSO
(1992) “Internal Control-Integrated Framwork” COSO (The Committee of
67
Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) mengemukakan bahwa
Pengendalian Internal adalah manajemen entitas, auditor ekstern dan intern,
manajemen keuangan, akuntan keuangan, serta pemegang otoritas (pasar modal).
Kontrol atas kegiatan organisasi adalah sistem yang kompleks. Pengendalian
mencakup sejumlah elemen yang saling berhubungan, yang merupakan kesatuan
integral termasuk dengan perubahan. Semua proses kontrol internal merupakan
bagian integral dari proses keuangan internal dan eksternal, yang dikelola sebagai
formasi sistematis. Sebagai sebuah system yang berfungsi untuk mendukung operasi
organisasi, sistem pengendalian internal memberikan kerangka kerja bagi organisasi.
Sistem pengendalian mengorganisasikan dan mengintegrasikan sub-sub fungsi
dalam system tersebut tujuannya adalah mengurangi kompleksitas dari persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pengendalian internal maupun kompleksitas dalam
persoalan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Tanpa adanya pengendalian internal
maka sulit untuk mewujudkan tujuan organisasi terlebih adanya keterbatasan dalam
penguasaan sumber daya serta alokasinya.
Hal yang sama dikemukakan Arens et al (2012) bahwa sistem pengendalian
internal adalah kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur dirancang untuk
memberikan manajemen keyakinan memadai bahwa tujuan dan sasaran yang
penting bagi suatu usaha dapat dicapai. Kebijakan dan prosedur sebagai landasan
sistem operasi maupun alokasi sumber daya. Beasley, Alvin, Elder (2005)
berpendapat sama dengan yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
“pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,
manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan
memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini : (a) keandalan
68
pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan yang berlaku.
a) Keandalan pelaporan keuangan. Manajemen bertanggung jawab untuk menyusun
laporan keuangan kreditor dan para pengguna lainnya. Manajemen memiliki
tanggung jawab hukum maupun profesionalisme untuk meyakinkan bahwa
informasi disajikan dengan wajar sesuai dengan ketentuan dalam pelaporan.
Tujuan pengendalian yang efektif terhadap laporan keuangan adalah untuk
memenuhi tanggung jawab pelaporan keuangan ini.
b) Efektivitas dan efisiensi operasi. Pengendalian dalam suatu perusahaan akan
mendorong penggunaan sumber daya perusahaan secara efisien dan efektif untuk
mengoptimalkan sasaran yang dituju perusahaan.
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Perusahaan publik, non-
publik maupun organisasi nirlaba diharuskan untuk memenuhi beragam
ketentuan hukum dan peraturan. Beberapa peraturan ada yang terkait dengan
akuntansi secara tidak langsung, misalnya perlindungan terhadap lingkungan dan
hukum hak-hak sipil. Sedangkan yang terkait erat dengan akuntansi, misalnya
peraturan pajak penghasilan dan kecurangan
Fokus utama konsep yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dan Beasley, Alvin, Elder (2005) memprioritaskan pada aspek keuangan untuk
dikendalikan. Hal ini dinilai sesuai dengan konteks penelitian terutama di lembaga
publik yang dituntut adanya penggunaan anggaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dimensi akuntabilitas tidak hanya keuangan. Dimensi
berkembang sering meningkatnya tuntutan pertanggungjawaban pada setiap aspek
yang berkaitan dengan lembaga publik termasuk kebijakan dan program.
69
Kepatuhan pada hukum, efisiensi operasi dan efektivitas maupun kehandalan
dalam pelaporan keuangan cukup kompleks terlebih pada organisasi yang memiliki
SDM atau sistem pengendalian yang masih lemah. Oleh karena itu diperlukan
konsep yang dapat dijadikan sebagai kerangka kerja operasional yang bersifat
spesifik guna meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang, dalam sistem
pengendalian internal. Selain itu operasi sistem pengendalian internal itu sendiri
memerlukan perbaikan-perbaikan seiring dengan meningkatnya tuntutan dari
pengendalian itu sendiri serta keterbatasan sistem dalam memecahkan masalah-
masalah baru.
Aspek keuangan, hukum maupun kebijakan menjadi fokus utama bagi
lembaga-lembaga seperti pemerintah. Sistem pengendalian internal didefinisikan
sebagai sebuah proses. Hal ini menunjukan bahwa akuntabilitas keuangan, hukum,
maupun kebijakan tidak dapat dilepaskan dari aspek proses yang sesuai. keuangan,
hukum maupun kebijakan lebih menunjukan aspek administrative. sedangkan proses
menunjukan kebenaran faktual bagaimana sebuah sistem bekerja. Kedua aspek
tersebut terintegrasi kedalam sistem pengendalian internal organisasi.
Pendapat lain menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pengertian sistem pengendalian intern
adalah: "Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan
memadai atas tercapainya tujuan kerja melalui kegiatan yang efektif dan efisien,
keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan." PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Menunjukan adanya paradigma baru yang
70
menekankan pentingnya pertanggungjawaban aktivitas lembaga publik pada
masyarakat.
Mengenai sistem pengendalian internal di lembaga pemerintah, Azis et al
(2015) menjelaskan bahwa system pengendalian internal memiliki dampak pada
peningkatan akuntabilitas lembaga publik. Hal ini menunjukan fungsi strategis
pengendalian internal dalam mewujudkan akuntabilitas publik di lembaga
pemerintah. Hal yang sama dikemukakan Badara dan Saidin (2013) menjelaskan
bahwa sistem pengendalian internal yang efektif memegang peranan penting dalam
memastikan pencapaian tujuan organisasi. Pengendalian internal sebagai alat yang
mengarahkan setiap aktivitas bisnis dalam lembaga. Baik pendapat Azis et al (2015)
maupun Badara dan Saidin (2013) menunjukan adanya tujuan integrasi sistem
pengendalian internal ke dalam struktur organisasi. Hal ini menunjukan secara
filosofi, keberadaan sistem pengendalian internal berkaitan dengan pandangan
organisasi tentang tujuan, holistik/satu kesatuan, dan proses ilmiah yang menjadi
argumentasi perlunya sistem pengendalian internal dalam organsiasi.
Argumentasi penggunaan sistem pengendalian terus berkembang. Dinamika
perubahan lingkungan internal maupun eksternal mempengaruhi penggunaan sistem
termasuk hubungannya dengan hutang. Hal ini dikemukakan oleh Grass et al (2014)
bahwa keberadaan sistem pengendalian internal pada lembaga pemerintah
mempengaruhi tingkat hutang. Fungsi internal system control untuk mengurangi
resiko dalam pengelolaan dan pencapaian tujuan strategis lembaga pemerintah. Bagi
lembaga pemerintah terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia,
ancaman hutang akibat defisit anggaran bukan merupakan hal baru. Setiap tahun
pemerintah mengalami defisit untuk membiayai pembangunannya. Keberadaan
71
sistem pengendalian internal mempengaruhi tingkat hutang. Semakin rendah
kualitas sistem pengendalian internal maka semakin tinggi tingkat hutang
pemerintah dan dianggap kurang matang dalam perencanaan pembangunannya.
Lebih lanjut Dzomira (2014) menegaskan bahwa pengendalian internal
merupakan fungsi penting bagi organisasi baik profit maupun nonprofit yang
dirancang untuk memberikan kepastian yang memadai mengenai efektivitas dan
efisiensi operasi, keandalan pelaporan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan
yang berlaku. Pendapat tersebut menunjukan bahwa sebagai sebuah sistem maka
pengendalian internal dalam lembaga publik memiliki 1) falsafah/ gagasan dasar
tentang dunia (goal oriented, holistik/satu kesatuan, efektif/proses ilmiah, 2)
didukung oleh struktur (elemen/ unsur pokok, keterkaitan, tujuan definitif/
mengorganisasir keutuhan yang saling melengkapi serta, 3) memiliki karakter
berpikir sistem (sintesis/proses pengabungan, dinamik/realitas dunia berubah,
stokastik/gejala alamiah ketidakpastian).
Internal control system dirancang agar agar lembaga dapat berjalan secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuannya. Rogulenko et al (2016) menyatakan
internal sistem cukup kompleks dalam sebuah organisasi. Pengendalian atas
aktivitas ekonomi organisasi adalah sistem yang kompleks yang mencakup sejumlah
elemen yang saling berhubungan, yang merupakan kesatuan integral dengan
aktivitas ekonomi. Ditegaskan tujuan pengendalian pada organisasi adalah
pembangunan sistem yang efisien untuk pembuatan, pelaksanaan, pengendalian, dan
analisis keputusan manajerial, yang dilakukan oleh satu sub komponen untuk
mengoptimalisasi pengelolaan struktur organisasi lembaga; pengorganisasian sistem
akuntansi yang efisien untuk operasi dan hasil; implementasi sistem untuk
72
perencanaan, pengendalian, dan kegiatan analisis; memotivasi personil untuk
meningkatkan efisiensi operasional lembaga - otomatisasi sistem akuntansi dan
manajemen lembaga.
Dari pengertian tersebut di atas dipahami bahwa internal control system
(ICS) merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang sangat penting. ICS
tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah-pisah. Dengan kata lain, instansi
pemerintah tidak harus merancang secara khusus pengendalian untuk mencapai satu
tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian. Pemerintah memiliki kebijakan fiskal
agar pengeluaran dan pendapatan berada dalam keseimbangan. Artinya bahwa pos-
pos pendapatan dapat dioptimalkan dengan tetap menjaga sisi pengeluaran
pemerintah agar tetap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga
kerja. Abba dan kakanda (2017) menjelaskan keberadaan sistem pengendalian
internal memperkuat keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah.
Pada umumnya sistem pengendalian intern tidak diterapkan secara efektif di
pemerintah daerah.
Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) terdiri dari lima unsur, yaitu: 1) Lingkungan pengendalian, 2)
Penilaian risiko, 3) Kegiatan pengendalian, 4) Informasi dan komunikasi, 5)
Pemantauan pengendalian intern
Keterkaitan kelima unsur sistem pengendalian intern menjelaskan bahwa
kelima unsur pengendalian intern merupakan unsur yang terjalin erat satu dengan
yang lainnya. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu,
73
yang menjadi fondasi dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam kerja
yang membentuk lingkungan pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai instansi pemerintah.
Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian yang baik akan
meningkatkan suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan
kepedulian dan keikutsertaan seluruh pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan
pengendalian yang demikian diperlukan komitmen bersama dalam
melaksanakannya. Komitmen ini juga merupakan hal yang amat penting bagi
terselenggaranya unsur-unsur SPIP lainnya.
Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 menjelaskan bahwa lingkungan
pengendalian adalah pembangunan integritas dan nilai etika kerja dengan maksud
agar seluruh pegawai mengetahui aturan untuk berintegritas yang baik dan
melaksanakan kegiatannya dengan sepenuh hati dengan berlandaskan pada nilai
etika yang berlaku untuk seluruh pegawai tanpa terkecuali. Integritas dan nilai etika
tersebut perlu dibudayakan, sehingga akan menjadi suatu kebutuhan bukan
keterpaksaan. Oleh karena itu, budaya organisasi yang baik pada instansi pemerintah
perlu dilaksanakan secara terus menerus tanpa henti. Lingkungan sosial, nilai dan
norma mengarahkan bagaimana input pengendalian internal berlangsung termasuk
penetapan tujuannya sebagai satu kesatuan yang berinteraksi secara dinamis.
Berdasarkan konsep dan teori sebagaimana dijelaskan di atas, maka yang
mendasari terbentuknya konstruk dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.5.
halaman berikutnya.
74
Tabel 2.5.
Konstruk Sistem Pengendalian Internal
Berdasarkan Konsep dan Teori
No.
Sumber Referensi
Definisi Sistem Pengdalian Internal
1
AICPA/America Institute of Certified Public Accountant
(dalam Hartadi, 2003) :
Struktur organisasi, semua metode dan ketentuan-ketentuan, yang terkoordinir yang dianut dalam perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian, dan berapa jauh data usaha dan mendorong ditaatinya
kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan.
2
Romney dan Steinbart (2009):
Rencana organisasi dan metode bisnis yang dipergunakan untuk menjaga
asset, memberikan informasi yang akurat dan andal mendorong dan memperbaiki efisiensi jalannya organisasi, serta mendorong kesesuaian
dengan kebijakan yang telah ditetapkan.”
3
Arens dan Loebbecke (dalam Jusuf, A. 2011) :
Kebijakan kebijakan dan prosedur-prosedur dirancang untuk memberikan manajeman keyakinan memadai bahwa tujuan dan sasaran yang penting
bagi suatu usaha dapat dicapai.
4
Beasley, Alvin, Elder (2005)
Suatu proses-yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai
tentang pencapaian tiga golongan tujuan meliputi : (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan yang berlaku.
5
Mulyadi (2013) :
Struktur kerja, metode, dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk
menjaga kekayaan kerja, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen
6
Badara dan Saidin (2013)
Internal control Sistem merupakan komponen integral dari proses
pengelolaan sektor publik yang menetapkan adanya jaminan memadai bahwa operasi dilakukan secara efisien dan efisien
Efektif
7
Dzomira (2014)
Kebijakan, prosedur, dan praktik yang dirancang dan disetujui oleh manajemen dan pihak yang lebih luas untuk memberikan kepastian yang
memadai mengenai efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Kontruk :
Kerangka acuan untuk memeriksa kecermatan, kebenaran administrasi, mengamankan harta dan membantu menjaga kebijaksanaan organisasi dipatuhi.
Sumber : Olahan Peneliti (2017).
75
Sistem Pengendalian Internal menurut Arens & Loebbecke dalam Jusuf, A.
(2011) mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai berikut:
1. Keandalan Laporan Keuangan
Manajemen perusahaan bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan
keuangan bagi investor, kreditor dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai
kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah
disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Mendorong efektivitas dan efisiensi operasional
Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah kegiatan dan
pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan untuk mengurangi
penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan efisien.
3. Ketaatan pada hukum dan peraturan
Pengendalian internal yang baik tidak hanya menyediakan seperangkat peraturan
lengkap dan sanksinya saja. Tetapi pengendalian internal yang baik, akan
mampu mendorong setiap peronal untuk dapat mematuhi peraturan yang sudah
ditetapkan dan berkaitan erat dengan akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan
dan UU Perseroan Terbatas.
Pengendalian internal yang baik harus memenuhi beberapa kriteria atau
unsur-unsur. Menurut Beasley, Alvin, Elder (2005), Hamdan (2017) menjelaskan
pengendalian internal terdiri dari lima komponen yang saling berkaitan. Lima
komponen pengendalian internal tersebut adalah :
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Merupakan suatu suasana organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan suatu
pengendalian dari sikap orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan
76
suatu fondasi dari semua komponen pengendalian internal lainnya yang bersifat
disiplin dan berstruktur.
Mengidentifikasikan 7 faktor penting untuk sebuah lingkungan pengendalian,
antara lain : a) Komitmen kepada intergritas dan nilai etika b) Filosofi dan gaya
operasi manajemen c) Struktur organisasi d) Komite audit e) Metode penerapan
wewenang dan tanggung jawab f) Praktik dan kebijakan tentang sumber daya
manusia g) Pengaruh eksternal
2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)
Merupakan suatu proses penilaian terhadap resiko yang ditanggung oleh para
pegawai sesuai dengan beban tugas yang diberikan, baik yang terkait dengan
tugas yang bersifat adminitratif, teknis maupun manajerial.
3 . Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Merupakan suatu kebijakan dan prosedur yang dapat membantu suatu organisasi
dalam meyakinkan bahwa tugas dan perintah yang diberikan oleh manajemen
telah dijalankan.
4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)
Merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam
suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan
tanggung jawabnya.
5. Pemantauan (Monitoring)
Merupakan suatu proses yang menilai kualitas kerja pengendalian internal pada
suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian
pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan.
77
Menurut Mulyadi (2013), unsur pokok pengendalian internal dalam organisasi
adalah sebagai berikut :
1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas.
Struktur organisasi merupakan kerangka (framework) pembagian tanggung jawab
fungsional kepada unit-unit organisasi yang dibentuk untuk melaksanakan
kegiatan pokok perusahaan, seperti pemisahan setiap fungsi untuk melaksanakan
semua tahap suatu transaksi.
2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan perlindungan yang
cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan biaya. Dalam setiap organisasi
harus dibuat sistem yang mengatur pembagian wewenang untuk otorisasi atas
terlaksananya setiap transaksi. Prosedur pencatatan yang baik akan menjamin
data yang direkam tercatat ke dalam catatan akuntansi dengan tingkat ketelitian
dan keandalan (reliability) yang tinggi. Dengan demikian sistem otorisasi akan
menjamin masukan yang dapat dipercaya bagi proses akuntansi.
3. Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit organisasi.
Pembagian tanggung jawab fungsional dan sistem wewenang dan prosedur
pencatatan yang telah ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak
diciptakan cara-cara untuk menjamin praktik yang sehat dalam pelaksanaannya.
Adapun cara-cara yang umumnya ditempuh oleh perusahaan dalam menciptakan
praktik yang sehat adalah:
a. Penggunaan formulir bernomor urut tercetak yang pemakaiannya harus
dipertanggung-jawabkan oleh yang berwenang.
b. Pemeriksaan mendadak (suprised auditi)
78
Pemeriksaan mendadak dilaksanakan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepada pihak yang akan diperiksa, dengan jadwal yang tidak teratur.
c. Setiap transaksi tidak boleh dilaksanakan dari awal sampai akhir oleh satu
orang atau satu unit organisasi, tanpa ada campur tangan dari yang lain, agar
tercipta internal check yang baik dalam pelaksanaan tugasnya.
d. Perputaran jabatan (job rotating).
Perputaran jabatan yang diadakan secara rutin akan dapat menjaga
independensi pejabat, memperluas wawasan pengetahuan yang mendalam,
sehingga persekongkolan di antara karyawan dapat dihindari.
e. Secara periodik diadakan pencocokan fisik kekayaan dengan catatannya.
Untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan
catatan akuntansinya, secara periodik harus diadakan pencocokan atau
rekonsiliasi antara kekayaan fisik dengan catatan akuntansi yang bersangkutan
dengan kekayaan tersebut.
f. Pembentukan unit organisasi yang bertugas untuk mengecek efektivitas unsur-
unsur sistem pengendalian internal yang lain.
4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.
Untuk mendapatkan karyawan yang kompeten dan dapat dipercaya, berbagai cara
berikut ini dapat ditempuh:
a. Seleksi calon karyawan berdasarkan persyaratan yang dituntut oleh
pekerjaannya.
b. Pendidikan karyawan selama menjadi karyawan perusahaan, sesuai dengan
tuntutan perkembangan pekerjaaannya.
79
Mengenai sistem pengendalian internal Azis et al (2015) mengemukakan
beberapa indikator yaitu 1) Meninjau kebijakan dan prosedur untuk memastikan
pembentukan pengendalian internal yang sesuai, 2) Adanya persetujuan dari
manajemen puncak mengenai kebijakan tertulis dan prosedur operasi internal, 3)
Pembaharuan informasi yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
untuk pengambilan keputusan, 4) Menginformasikan kepada semua staf mengenai
kebijakan dan prosedur dalam organisasi, 5) Mengambil tindakan yang tepat secara
cepat jika ada ketidakpatuhan yang dilaporkan, 6) Memastikan semua personil
memahami peran dan mengetahui relevansi kegiatan dengan orang lain, 7)
Memastikan setiap peraturan dan peraturan di departemen dipenuhi dan
dipertanggungjawabkan, 8) Memastikan transaksi keuangan dalam organisasi
didokumentasikan secara benar dan dilaporkan berdasarkan peraturan, 9) Adanya
keterlibatan auditor internal untuk meninjau ulang operasi departemen tersebut, 10)
Adanya penilaian terhadap sistem pengendalian intern secara memadai.
Selanjutnya beberapa konsep dan teori yang mengemukakan berbagai ragam
dimensi sebagaimana bisa dilihat pada tabel 2.6. halaman berikutnya.
80
Tabel 2.6.
Dimensi Sistem Pengendalian Internal
No. Sumber Referensi
Dimensi; Konstruk
1 Amin W. Tunggal (2011) :
Kesudahan laporan keuangan, kesesuaian dengan Undang-Undang dan
peraturan berlaku, efektivitas dan efisiensi operasi.
2 PP Nomor 60 Tahun 2008, tentang SPIP:
Lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi
dan komunikasi, dan pemantauan pengendalian intern
3
COSO (The Committee of Sponsoring Organizations of
the Treadway Commission):
Efektif dan efisiensinya operasi, terpercayanya (Reliabillity) laporan
keuangan, dan tunduk pada hukum dan aturan yang berlaku.
4
Beasley, Alvin, Elder (2005)
Lingkungan Pengendalian (Control Environment), Penilaian Resiko (Risk
Assessment), Aktivitas Pengendalian (Control Activities), Informasi dan Komunikasi (Information and Communication), dan Pemantauan
(Monitoring)
5
Mulyadi (2013) :
Struktur kerja yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tegas; Sistem wewenang dan prosedur pencatatan, yang memberikan
perlindungan yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan, dan biaya; Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit kerja;
dan Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya
6
Azis et al (2015)
Kebijakan dan prosedur, persetujuan manajemen puncak, pembaharuan informasi, komunikasi, kecepatan tindakan, peran dan relevansi tugas
personel, pemenuhan dan pertanggungjawaban,dokumentasi, keterlibatan, evaluasi system
7
Dzomira (2014)
Dimensi dalam sistem pengendalian internal adalah kepastian mengenai efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan,
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Pengukuran Sistem Pengendalian Internal dalam Disertasi ini melalui :
Lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan
Sumber : Olahan Peneliti (2017).
2.1.4. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik pada hakikatnya merupakan sebuah konsep etika yang
sangat inheren dengan administrasi publik dan pemerintahan. Konsep akuntabilitas
81
publik ini, senantiasa disandingkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, baik
pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif mupun lembaga yudikatif.
Hal ini dapat dipahami, mengingat penyelenggaraan pemerintahan memang
banyak diperankan oleh ketiga kelembagaan tersebut, sehingga tingkat keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan pun akan sangat tergantung kepada bagaimana
ketiga lembaga tersebut mampu menjalankan amanatnya sesuai dengan tugas
masing-masing. Hepzibah (2016) menjelaskan bahwa transparansi mempengaruhi
keberhasilan suatu negara. Berkaca dari beberapa kasus yang terjadi di Afrika,
lemahnya transparansi meningkatkan kegagalan sebuah negara. Ditegaskan bahwa
akuntabilitas sebagai karakteristik penting dari pemerintahan yang berdaulat
dimanapun.
Mengenai akuntablitas Velkovij et al (2014) menjelaskan secara sederhana
mengenai akuntabilitas di lembaga pemerintah yaitu menjelaskan keputusan dan
tindakan kepada warga negara, bertindak sesuai persyaratan yang diharapkan untuk
tugas tersebut dan menerima tanggung jawab atas kegagalan. Akuntabilitas
merupakan ruang dimana terjadi dialog antara pemerintah dan masyarakat tentang
pengelolaan pemerintahan. Accountability adalah sistem nilai yang diinstitusikan
guna menjamin praktek-praktek kontrol kekuasaan pemerintah atas penyelenggaraan
negara. Accountability menjadi salah satu nilai yang didiskusikan sebagai norma
yang mendasari tindakan. Bahkan Duvnick (2012) menjelaskan accountability
sebagai kata-kata budaya. Accountability menyediakan pondasi atau titik fokus
yang stabil pada usaha kolektif untuk menghadapi berbagai macam masalah sosial,
ekonomi dan politik. Accountability tidak hanya instrumen yang berguna kebijakan
atau alat manajemen untuk menangani beberapa masalah.
82
Saat ini dalam penggunaan akuntabilitas terdapat “makna legitimasi” agar
kekuasaan dalam pengelolaan pemerintah efektif. Akuntabilitass menggambarkan
rasionlitas dalam mencapai tujuan yang tetap menjaga keseimbangan moral dan
estetis. Akuntabilitas memiliki klaim kesahihan tertentu yang menunjukan adanya
konsensus mengenai penyelenggaraan pemerintah yang informatif ilmiah. Duvnick
(2012) menegaskan bahwa accountabilitas muncul sebagai kekuatan moral yang
digunakan untuk mempromosikan dan mendorong penerapan kepatuhan dan
instrumen perubahan.
Dilihat dari perspektif administrasi publik dan kepemimpinan, akuntabilitas
publik merupakan pengetahuan dan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan,
produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam
lingkup peran atau posisi masing-masing. Dengan bahasa lain, akuntabilitas publik
mencakup suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan mempertanyakan
terhadap setiap tindakan serta konsekuensi yang dihasilkan. Oleh sebab itu, setiap
aparatur pemerintah (baca: birokrat) dituntut untuk mengetahui dan memahami
setiap beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Kesalahan dalam memaknai
tugas dan pekerjaan akan berimplikasi luas, bahkan tidak jarang mengakibatkan
seorang birokrat menjadi terjerumus sebagai tersangka. Itulah sebabnya,
akuntabilitas publik harus dikelola secara benar dan profesional.
2.1.4.1. Konsep dan Esensi Akuntabilitas
Sebagaimana dilukiskan di atas bahwa, akuntabilitas merupakan suatu
istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan yang esensinya ditujukan untuk
menjaga agar tata kelola tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dengan
83
bahasa lain, akuntabilitas bersentuhan dengan masalah pelaporan dan
pertanggungjawaban, baik secara individu, kelompok maupun institusi. Oleh sebab
itu, akuntabilitas sering digambarkan sebagai hubungan antara unsur, elemen atau
bagian-bagian dalam suatu organisasi terkait dengan bidang tugas yang menjadi
kewenangan dan tanggung jawabnya.
Secara etimologis istilah Akuntabilitas berasal dari bahasa Latin :
accomptare yang mengandung arti mempertanggungjawabkan. Adapun accomptare
sendiri merupakan bentuk kata dasar dari computare yang berarti memperhitungkan,
yang juga berasal dari kata putare berarti mengadakan perhitungan. Sedangkan kata
putare sendiri tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris secara sempit, tetapi
dikaitkan dengan berbagai istilah dan ungkapan seperti istilah keterbukaan
(openess), transparansi (transparency), aksesibilitas (accessibility), dan
Berhubungan kembali dengan publik (reconnecting with the public).
Secara historis penggunaan istilah akuntabilitas mulai dikenal pada abad ke-
13. Konsep akuntabilitas tersebut kemudian dimaknai sebagai pertanggungjawaban
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sesuai dengan tugas
yang telah diamanatkan kepada yang bersangkutan. Konsep akuntabilitas publik
yang berhubungan dengan sistem pertanggungjawaban keuangan untuk pertama
kalinya dikembangkan di Babylon, Mesir, Yunani dan Israel.
Mengenai konsep dan dimensi Schedler (1999) mengemukakan akuntabilitas
sebagai informasi dan penjelasan apa yang dilakukan oleh para pejabat publik.
Dimensi dalam akuntanbilitas adalah informasi, penjelasan, dan penegakan. Pada
dimensi informasinya, ada rencana apa yang harus dilakukan para gensi. Dimensi
termasuk program dan informasi keuangan, seperti laporan keuangan yang telah
109
diaudit dan indikator kinerja yang merefleksikan kinerja dalam hubungannya dengan
pencapaian tujuan utama organisasi.
Penilaian Sendiri. Penilaian sendiri adalah proses berjalan dimana organisasi
memonitor kinerjanya dan mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan kinerja,
ukuran capaian kinerjanya dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan
meningkatkan proses itu.
Penilaian Kinerja. Penilaian kinerja adalah proses berjalan untuk
merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini membandingkan kinerja aktual
selama periode review tertentu dengan kinerja yang direncanakan. Dari hasil
perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, perubahan atas
kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa direncanakan.
Kendali Manajemen. Akuntabilitas manajemen adalah harapan bahwa para
manajer akan bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan waktu kinerja,
meningkatkan produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan berbagai aspek
negatif kegiatan, dan menjamin bahwa program diatur dengan integritas dan sesuai
peraturan yang berlaku.
110
Tabel 2.7.
Konstruk Akuntabilitas Berdasarkan Konsep dan Teori
No. Sumber Referensi
Definisi Akuntabilitas
1
Schedler (1999)
Akuntabilitas adalah proses yang jawaban mengenai Kewajiban pejabat publik untuk menginformasikan dan untuk menjelaskan
apa yang mereka lakukan
2
Stecher (2010)
Kejelasan dan Keterbukaan tentang apa yang sebenarnya dilakukan instansi pemerintah bagi warga negara dimana warga bebas menentukan pilihan yang
terjamin secara institusional
3 Andre (2010)
Proses untuk menilai tindakan atau hasil organisasi berdasarkan standar dan
kemudian bertindak berdasarkan hasil penilaian tersebut
4
Ellwood (1993)
Kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut”.
5
Veljkovi et al (2014)
Penjelasan tentang keputusan dan tindakan kepada warga negara yang sesuai
persyaratan yang diharapkan untuk tugas tersebut dan menerima tanggung jawab atas kegagalan
6
Quinlivan et al (2014)
Proses internal organisasi untuk melaporkan atau menunjukkan kepatuhan
terhadap standar dan pencapaian Tujuan kinerja untuk konsumsi oleh pihak eksternal
7
Peled dan Karine (2015)
Mekanisme yang menjamin adanya kejujuran, efisien dan efektif melalui proses yang melibatkan jawaban untuk menginformasikan dan menjelaskan
apa yang dilakukan pemerintah
8
Salajeghe dan Oladi (2016)
Akuntabilitas sebagai alat untuk memperbaiki layanan pemerintah, memonitor kekuatan, memastikan penggunaan sumber daya publik yang tepat
dan dengan pertanggungjawaban penggunaan dengan cara terbaik
Kontruk :. Penjelasan dan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan, produk, keputusan
dan kebijakan termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi masing-masing
Sumber : Olahan Peneliti (2017)
111
Adapun konsep dan teori yang mengemukakan beberapa dimensi terkait
dengan akuntabilitas dapat dilihat pada tabel 2.8 adalah sebagai berikut.
Tabel 2.8.
Dimensi Akuntabilitas
No. Sumber Referensi
Dimensi akuntabilitas
1
Elwood (1993)
Accounting for probity and legality, Process accountability, Programme accountability, policy accountability
2 Schedler (1999)
Informasi, Penjelasan dan penegakan hukum
3
Syahrudin Rasul, 2003
Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality) ,
manajerial, program, kebijakn, financial,
4 Wiranto (2012)
akuntabilitas politik, akuntabilitas finansial dan akuntabilitas administratif
5
Peled dan Karine (2015)
Akuntabilitas proses yang melibatkan jawaban untuk menginformasikan dan menjelaskan apa yang dilakukan pemerintah
6
Okeke dan Agu (2016)
akuntabilitas politik, pemerintah, akuntabilitas publik, akuntabilitas sosial,