9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School
Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan
melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan
makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber
daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah
dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk
mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.
Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses
manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara
otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan
10
semua stakeholder sekolah”. Selanjutnya menurut Malen, Ogawa Krans (dalam
Ali Idrus, 2009:25-26) “manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat
digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktural penyelenggaraan, sebagai
suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai
unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan”. MBS pada
hakikatnya merupakan p0emberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif
serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan
mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris
School-Based Management pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan
tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka
setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti
disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut
mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan
dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami
dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam
penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS
tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan
tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola
kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan
Sekolah.
11
MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan
kewenangan dan kekuasaan kepada institusi Sekolah untuk mengatur kehidupan
sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang bersangkutan. Dalam
MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority and responsibility
untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan
implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari
manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah
pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber
daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan
paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar
sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu
sendiri.
Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk
alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi
diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung
12
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program
yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga
sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki
warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan
peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah
terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik
peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif tersebut
kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional yang berlaku.
2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai
berikut: 1) Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah. 2)
Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran). 3) Program sekolah
realistik – need assessment. 4) Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi
sekolah 5) Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat. 6) Iklim sekolah kondusif
7) Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu. 8) Meningkatnya kinerja
profesional kepala sekolah dan guru. 9) Kepemimpinan sekolah berkembang
13
demokratis – policy and decision making, planning and programming. 10) Upaya
memenuhi fasilitas pendukung KBM meningkat. 11) Kesejahteraan guru
meningkat 12) Pelayanan berorientasi pada siswa/murid. 13) Budaya konformitas
dalam pengelolaan sekolah berkurang.
2.1.2 Alasan dan Tujuan Penerapan MBS
MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana
diungkapkan oleh Nurkolis antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui
kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan
warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat.
Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara
lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi, finansial,
prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikian Dasar dan Menengah (dalam
Ibrahim Bafadal, 2009:82) MBS bertujuan untuk “Memandirikan dan
memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber
daya untuk meningkatkan mutu sekoloah
Jadi tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas
14
kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan
lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya
manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.
Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah:
1. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-
orang yang bekerja di sekolah.
2. Meningkatkan moral guru.
3. Keputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.
4. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang
dikembangkan di sekolah.
5. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang
diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya
peran seorang pemimpin.
6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap
komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
2.2 Karakteristik MBS
Levacic (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82) mengedepankan tiga
karakteritik kunci MBS sebagai berikut:
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada
para stakholoder sekolah.
2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan
prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
15
regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan
pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai
sistem pendidikan terdiri dari sejumlah komponen yang saling tergantung,
teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen masukan
(input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh
Winarno, 2004: 4-6)
2.2.1 Input
Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan
mentah/dasar), instrumental input (masukan instrumental/alat), dan environmental
input (masukan lingkungan). Masukan input bagi pendidikan adalah siswa-siswa
dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik – biologis,
bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang
afektif/emosi (EQ) minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai,
sarana dan prasarana, strategi dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi
sekolah. Environmental input meliputi partisipasi orangtua, instansi terkait
terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.
2.2.2 Proses (through – put)
Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses
pendidikan ini menyangkut bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw-
16
input, instrumental input dan Enviromental input secara efektif dan efisien
sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan
tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah
dirumuskan dalam tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses
ini adalah pembelajaran.
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan
evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan
kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi
pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka
memasukinya. Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa
jauh efektivitas dan efisiensi manajemennya.
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai
berikut :
a. Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi.
b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Sekolah memiliki budaya mutu.
f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
17
j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)
2.2.3 Hasil yang diharapkan (Output)
Hasil yang diharapkan dari suatu system pendidikan adalah dihasilkannya
lulusan (output) yang memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang
telah dirumuskan dan sesuai pula dengan harapan lembaga pendidikan.
Output bisa berupa prestasi akademik seperti, lomba karya ilmiah remaja,
lomba bahasa Inggris, Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif,
deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi non akademik, misalnya keingintahuan yang
tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan, kesenian, prestasi olahraga,
rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.
2.3 Implemetasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.3.1 Syarat Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pembaruan dalam rangka
meningkatkan kualitas dan demokratisasi pendidikan. Sebagai suatu terobosan
baru Manajemen Berbasis Sekolah dalam pelaksanaannya tentu tidaklah mudah,
banyak hal yang perlu dipersiapkan. Terkait dengan pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah, ada empat faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) Kekuasaan yang dimiliki madrasah/sekolah
18
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai kekuasaan
yang kebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan
yang sesuai dengan tu7juan yang diharapkan.
2) Pengetahuan dan keterampilan
Sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia yang
diwujudkan melalui pelatihan dan semacamnya.
3) Sistem informasi yang jelas
Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah perlu memiliki
informasi yang jelas tentang program pendidikan yang transparan, karena dari
informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah.
4) Sistem penghargaan
Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen
Berbasis Sekolah perlu menyusun sistem penghargaan bagi warga yang
berprestasi, ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas
warga sekolah.
Dengan demikian hanya dengan adanya kewenangan dalam pengelolaan
sekolah, sistem pengembangan sumber daya manusia, tranparansi, serta upaya
pemberian penghargaan bagi yang berprestasi, pelaksanaan manjemen berbasis
sekolah dapat berjalan efektif dan efisien.
Hamsah B, Uno (2010:90-92) menyebutkasn 7 kewenangan tingkat
sekolah dalam pelaksanaan manjemen berbasis sekolah yaitu:
1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang
kelas yang tersedia, fasilitas, jumlah guru, dan tenaga administratif yang ada.
3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan
dan dilaksanakan oleh sekolah.
19
4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk b uku pelajaran dapat
diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standard an ketentuan yang
ada.
5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, denga
mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.
6. Proses pengajaran dan pembelajaran
7. Urusan teknisi edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) merupakan urusan sejak awal harus menjadi tanggung jawab
dan kewenangan setiap satuan pendidikan.
Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV,
Pasal 51, Ayat (1)
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal
3)
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah
Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang
Standar Kepala Sekolah/Madrasah
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah.
20
2.3.2 Tahapan-Tahapan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
antara lain:
1) Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah
nusantara terutama daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media
informasi, baik cetak maupun elektronik. Dalam mengefektifkan
pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang
tepat, baik menyangkut aspek proses maupun pengembangan.
2) Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep
manjemen berbasis madrasah tidak mengandung resiko. Efektifitas model
uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu: akseptabilitas, akuntabilitas,
reflikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya
penerimaan dari para tenaga kependidikan, akuntabilitas artinya bahwa
konsep manajemen berbasis madrasah dapat dipertanggungjawabkan,
reflikabilitas artinya model manajemen berbasis madrasah yang
diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakuan yang
diberikan kepada madrasah uji coba dapat dilaksanakan di madrasah lain,
sementara sustainabilitas artinya program tersebut dapat dijaga
kesinambungannya setelah dilakukan uji coba.
3) Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi,
antara kelompok kerja manajemen berbasis madrasah dengan berbagai
unsure terkait (guru, kepala sekolah, pengawas, tokoh agama, pengusaha,
dan para akademisi).
21
4) Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model
manajemen berbasis madrasah yang telah diujicobakan ke berbagai
madrasah, agar dapat mengimplementasikan manajemen berbasis
madrasah secara efektif dan efisien.
2.3.3 Strategi Kesuksesan Implementasi MBS
Konsep dasar MBS, menggambarkan bahwa keberhasilan sekolah dalam
mengimplementasikan MBS seharusnya mengacu kepada prinsip dan karateristik
MBS. Dalam MBS terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang
bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam
mengimplementasi MBS. Pemahaman terhadap prinsip MBS, dan karakteristik
MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada
akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan di
pertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya secara partisipatif, transparan, dan
akuntabel.
Menurut Slamet P.H (dalam Mulyasa, 2007:26) pelaksanaan MBS
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua
unsur yang bertanggun jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh
karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan MBS adalah
sebagai berikut :
1. Mensosialisasikan konsep MBS
2. Melakukan analisis
3. Merumuskan tujuan situsional
22
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situsional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui
analisis SWOT.
6. Memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan.
7. Membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek
manajemen berbasis sekolah.
Nurkholis (2003 : 132). Mengemukakan sembilan strategi keberhasilan
implementasi MBS, yaitu:
1. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap 4 hal yaitu dimilikinya otonomi di
dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan, pengetahuan dan
keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian,
serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa
(2005 : 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah
kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacuh kepada standar
kompetensi, komptensi dasar dan standar isi, serta pembelajaran beserta
sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa masyarakat yang dilakukan secara
fleksibel. Dengan demikian, otonomi sekolah yang dilakukan secara benar
dalam kerangka inplementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah.
2. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan proses
pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non
pembelajaran.
3. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan
dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala
sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan
pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu
pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Kepala sekoah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka inplementasi
MBS Mulyasa (2002: 98). Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala
sekolah harus memiliki visi, misi dan wawasan yang luas tentang sekolah
yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkan melalui
perencanaan kepemimpinan manajerial, dan supervisi pendidikan.
23
4. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan
dewan sekolah yang efektif.
5. Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-
sungguh.
6. Adanya panduan dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu
mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.
7. Sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam
laporan pertanggung jawaban tahunan.
8. Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah khususnya
pada peningkatan prestasi belajar siswa.
9. Implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran
masing-masing, pembangunan kelembagaan.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila
didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan
sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu mengkaji staf sesuai dengan
fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses belajar
mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua yang tinggi).
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas
pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal ini sekolah
dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang bergantung pada redistribusi
otoritas pengambilan keputusan di dalamnya terkandung desentralisasi
kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Dengan
demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang
memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam
program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar Sekolah
dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan disamping agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan
setempat.
24
Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada Sekolah dan mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan
keputusan secara partisipatif dalam memenuhi kebutuhan mutu Sekolah atau
untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang dimaksud
adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka
dan demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa,
tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan
keputusan yang dapat berkonstribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang
dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian
sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama untuk
memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak,
sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta
bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa
diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan
kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya
yang ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi
masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua, juga anggaran sekolah
Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS) menjadi
tanggung jawab dan ditangani oleh sekolah secara profesional.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi:
a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah,
25
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,
c. Pengelolaan proses belajar mengajar,
d. Pengelolaan ketenagaan
e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan,
f. Pengelolaan keuangan
g. Pelayanan siswa
h. Hubungan Sekolah-masyarakat
i. Pengelolaan iklim Sekolah.
2.3.4 Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS
Menurut Nurkholis (2003: 264) ada enam faktor pendukung keberhasilan
implemnetasi MBS, keenamnya mencakup political will, finansial, sumber daya
manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.vKeberhasilan
implementasi MBS di Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi
MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Walaupun boleh
dikatakan penerapan MBS lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan dasar hukum
pelaksanaannya, namun dukungan yang nyata dari pemerintah melalui kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam
mengembangkan pedidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya
panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa
keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta, baik
26
faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis
besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan
peningkatan kualitas pendidikan dan gotong royong kekeluargaan, potensi sumber
daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta dukungan
dunia usaha dan dunia industri.
a) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan
Pemerintah dan seluruh stake holder pendidikan perlu terus melakukan
sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik
dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop.
b) Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara
konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah
diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan
kualitas pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah,
dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan.
c) Gotong Royong Dalam Kekeluargaan
Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif
(synergistyc effect) dalam berbagai aktifitas. Gotong royong dan kekeluargaan
yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat
dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju
terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat
ditumbuhkembangkan melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan
27
dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan
Sekolah.
d) Potensi Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara
optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi
terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Perhatian tersebut harus
ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan
Sekolahnya secara optimal.
e) Organisasi Formal dan Optimal
Pada sebagian besar lingkungan pendidikan sekolah di berbagai wilayah
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki organisasi
formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti
Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah
(KKM), Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan
Komite Sekolah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung MBS
untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan
diwilayah kerjanya.
f) Organisasi Profesi
Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah
dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok
Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI (Ikatan
28
Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia,
dan telah menyentuh berbagai kecamatan.
g) Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan
MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan
yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan
motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu sekolah secara optimal.
Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa
peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala
keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di Sekolah.
h) Input Manajemen
Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen
yang memadai dalam menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah
secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas,
rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi,
ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam
bertindak, serta adanya sistem pengendalian mutu yang handal untuk
meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat diwujudkan di
Sekolah.
2.4 Faktor Penghambat Implementasi MBS
Implementasi MBS adalah sebuah keputusan politis yang sangat
menjanjikan, namun demikian bukan berarti dalam pelaksanaannya sama sekali
tidak ada kendala, kendala tersebut antara lain:
29
1. Pertama, dalam penerapan MBS, prasyarat awal yang dibutuhkan jelas adalah
dukungan mutu guru dan kesadaran masyarakat yang benar-benar tinggi
tentang arti dan fungsi sekolah. Masalahnya, selama ini harus diakui bahwa
dalam dua hal terpenting di atas, kita sesungguhnya masih sangat lemah.
2. Kebiasaan birokrasi pendidikan di masa lalu yang seringkali menikmati
berbagai fasilitas atau kemudahan dari sekolah adalah kendala lain yang
hingga kini masih sulit dihilangkan.
3. Sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk duduk sebagai anggota
dewan sekolah harus diakui masih menjadi tanda tanya. Tak sedikit orang tua
siswa menganggap sekolah formal sebagai hal yang tidak penting dan sama
sekali tidak signifikan untuk mendukung anak dalam mencari pekerjaan yang
baik.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika persiapan yang matang terhadap
program MBS pada sekolah-sekolah yang mengimplementasikannya dilakukan
terlebih dahulu sebelum benar-benar menerapkannya, karena sebaik apapun suatu
program, akan kurang nilainya jika tidak di dukung kualitas sumber daya manusia
unggul.
2.5 Ukuran Keberhasilan Implementatasi MBS
Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat
terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa.
Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan
pendidikan nasional, khususnya pilar kedua dan ketiga, yaitu pemerataan dan
30
peningkatan akses serta kebersihan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah
dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan.
Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implemnetasi
MBS dapat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik
sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana
peningkata layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik
kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan
kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi efektif.
Serta siswapun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam
lingkungan belajar yang menyenangkan.
2.6 Komponen-Komponen dalam Implementatasi MBS
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
(2011:191) mengemukakan komponen-komponen MBS adalah:
2.6.1 Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum
yang kooperatif, komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka
mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaannya manajemen
kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks MBS dan KTSP.
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang
standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya
sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat
31
mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh
mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Oemar. Hamalik
(2008:102) menyebutkan empat unsur pokok dalam suatu kurikulum yaitu “
Tujuan, isi pelajaran (content atau material) dan metode, evaluasi (assessment),
dan umpan balik”.
Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan
pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan
seluruh sivitas akademika atau warga sekolah.
Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru meliputi :
a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan
ketentuan tentang beban mengajar wajib bagi guru.
b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada tiga,
yaitu :
a) Jadwal pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuanketentuan
akademik seperti : (1) Keseimbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari
(2) Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu didahulukan / ditengah /
akhir pelajaran. (3) Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL
b) Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi
individual/kelompok peserta didik.
c) Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan
program kokurikuler, biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi,
bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik, pecinta alam, palang
32
merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar
mengajar lainnya.
c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar meliputi :
a) Membuat persiapan/perencanaan pengajaran
b) Melaksanakan pengajaran
c) Mengevaluasi hasil pengajaran
2.6.2 Manajemen Peserta Didik / Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan,
pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk
memasuki dunia kerja, sehingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari
dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Manajemen siswa menunjuk pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas dan di dalam kelas.
Kegiatan diluar kelas meliputi :
a. Penerimaan siswa baru.
a) Menyusun panitia beserta program kerja
b) Pendaftaran calon siswa (pengumuman, tempat, waktu, syarat dan
sebagainya)
c) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia
di kelas I
d) Pengumuman calon yang diterima (termasuk cadangan jika diperlukan)
e) Registrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)
33
b. Pencatatan peserta didik baru dalam buku induk dan buku klapper.
a) Membuat format buku Klapper dan buku induk
b) Data yang diisikan (identitas, orang tua/wali, alamat, pekerjaan orang
tua/wli siswa) Kelengkapan data : fotokopi surat/akta kelahiran, surat
keterangan sehat dan sebagainya.
c) Buku Klapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad.
c. Pembagian seragam sekolah dan tata tertib sekolah beserta sangsi terhadap
d. Pembinaan siswa, dan pembinaan kesejahteraan siswa.
a) Kesejahteraan mental (penyediaan tempat sembahyang, BP)
b) Kesejahteraan fisik (UKS, keamanan, kenyamanan dan sebagainya)
c) Kesejahteraan akademik (perpustakaan, lab, tempat belajar yang memadai,
bimbingan belajar, penasehat akademik)
d) Kegiatan ektra kurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni
dan sebagainya)
Kegiatan- kegiatan di dalam kelas meliputi :
a. Pengelolaan kelas
b. Interaksi belajar mengajar yang positif
c. Pemberian pengajaran remidi, bagi yang lambat belajar
d. Presensi secara kontinu
e. Perhatian terhadap pelaksana tata tertib kelas
f. Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib
g. Pembentukan pengurus kelas
h. Penyediaan media belajar sesuai kebutuhan
34
2.6.3 Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Ada dua kelompok ketenagaan di sekolah yaitu :
1) Tenaga edukatif atau akademik, yaitu guru. Ada guru tetap, guru tidak tetap
dan guru bantu.
2) Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai
honorer/tidak tetap.
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus (2009:145) menyatakan manajemen
tenaga kependidikan mencakup “(1) prencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai,
(3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5)
pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai”. Pengelolaan
ketenagaan juga meliputi (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang
merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif
maupun kualitatif untuk sekarang dan masa depan. (3) rekrutmen
pegawai/pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya. (4)
pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan
kerja, (7) evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran.
2.6.4 Manajemen Keuangan
Manajemen anggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses
kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan
sungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional
35
sekolah/pendidikan sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan
efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah
sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa
sekolah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah.
Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang
mendatangkan penghasilan “(income generating activities), sehingga sumber
keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
2.6.5 Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan
Manajemen sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses
kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-
sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan agar
senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar sehingga proses belajar
mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan
pendidikan. Pengelolaan sarana dan prasarana sudah seharusnya dilakukan oleh
sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai
pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling
mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung
dengan proses belajar mengajar.
36
2.6.6 Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat
Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh
proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara\ sengaja dan sungguh-
sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk\ mendapatkan simpati dari
masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya sebagai kegiatan
operasional sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan
pendidikan.
Depdiknas (dalam Mulyasa, 2009: 128-129) mengemukakan indikator
hubungan sekolah dan masyarakat dalam manajemen sekolah antara lain:
1. Sekolah senantiasa menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua.
2. Sekolah berusaha melibatkan peran orang tua siswa dalam pelaksanaan
program-program sekolah.
3. Prosedur-prosedur untuk melibatkan para orang tua siswa dalam kegiatan-
kegiatan sekolah disampaikan secara jelas dan dilaksanakan secaa konsisten.
4. Orang tua siswa di sekolah memmpunyai kesempatan-kesempatan untuk
mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan .
5. Pada pertemuan antara orang tua sekolah sekolah tingkat kehadiran orang tua
sangat tinggi.
6. Ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua siswa, sehubungan
dengan pemantauan pekerjaan rumah (PR).
7. Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan
di sekolah.
8. Para guru sering berkomunikasi dengan para orang tua siswa tentang
kemajuan siswa.
9. Sebagian besar orang tua siswa memahami dan ikut mempromosikan program
pembelajaran di sekolah.
10. Masyarakat melalalui komite sekolah aktif melaksanakan peran dan fungsi
sesuai aturan.
Jadi dengan adanya hubungan sekolah dan masyarakat dapat menambah
jalinan yang harmonis keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat
ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi masyarakat, sedangkan masyarakat dapat
sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta sebagai lapangan
pengabdian bagi para siswa.
37
2.7 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Agfa Sofya Ardjun pada tahun 2006 di
SMA Negeri Kabila. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah
sebagai leadership dan manajerial telah mengembangan MBS secara bertahap
dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dimiliki sekolah. Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa dalam rangka implementasi MBS di SMA
Negeri Kabila, kepala sekolah telah melakukan berbagai upaya berupa
peningkatan mutu dan profesionalitas para guru dan pada aspek lain pula dalam
rangka meningkatkan kinerja guru kepala sekolah sering memberikan
penghargaan kepada guru dan siswa yang berprestasi baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga dengan gaya-gaya seperti ini akan dapat
membangkitkan semangat dan kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan
tanggungjawab.
Dalam rangka pengembangan MBS di SMA Negeri Kabila
mengeindikasikan ada beberapa peluang dan tantangan. Peluang yang ada
diantaranya adalah banyak guru yang telah mengikuti berbagai pelatihan dan
kursus baik tingkat regional maupun nasional, serta kualifikasi guru rata
berpendidikan S-1. peluang ini tentunya menjadi modal dasar di SMA Negeri
Kabila disamping tersedinya sarana dan prasarana yang representatif. Namun
demikian disamping peluang tersebut pula peneliti menemukan beberapa kendala
di lapangan, misalnya adanya beberapa guru yang jarak sekolah dan rumah
terhitung cukup jauh, sehingga hal ini menjadi kendala dalam penerapan tingkat
38
disiplin secara menyeluruh. Masalah lainnya yang menjadi kendala dalam
penerapan MBS di SMA Negeri Kabila adalah belum bersinerginya secara
menyeluruh pihak sekolah dan komite dalam sosialisasi MBS, sehingga kadang
antara orang tua dan pihak sekolah terjadi kesimpangsiuran dalam menerima
informasi.