9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan
30
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Berbasis ...eprints.ung.ac.id/4828/3/2012-1-86206-151410146-bab2... · 2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Adapun indikator
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School
Based Management, istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan
melibatkan masyarakat dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan
makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber
daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah
dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk
mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.
Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses
manjemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara
otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan
10
semua stakeholder sekolah”. Selanjutnya menurut Malen, Ogawa Krans (dalam
Ali Idrus, 2009:25-26) “manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat
digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktural penyelenggaraan, sebagai
suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai
unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan”. MBS pada
hakikatnya merupakan p0emberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif
serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan
mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris
School-Based Management pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan
pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai dengan
tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin mengemuka
setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti
disyaratkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut
mengisyaratkan terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan
dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami
dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam
penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS
tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan
tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi membawa perubahan pula dalam pola
kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan
Sekolah.
11
MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan
kewenangan dan kekuasaan kepada institusi Sekolah untuk mengatur kehidupan
sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang bersangkutan. Dalam
MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority and responsibility
untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum) dan
implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari
manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah
pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber
daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan
paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar
sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu
sendiri.
Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
kewenangan yang memandang Sekolah secara individual. Sebagai bentuk
alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi
diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung
12
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program
yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Demikian juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga
sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki
warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan
peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah
terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif. Baik
peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif tersebut
kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional yang berlaku.
2.1.1 Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai
berikut: 1) Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah. 2)
Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran). 3) Program sekolah
realistik – need assessment. 4) Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi
sekolah 5) Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat. 6) Iklim sekolah kondusif
7) Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu. 8) Meningkatnya kinerja
profesional kepala sekolah dan guru. 9) Kepemimpinan sekolah berkembang
13
demokratis – policy and decision making, planning and programming. 10) Upaya
memenuhi fasilitas pendukung KBM meningkat. 11) Kesejahteraan guru
meningkat 12) Pelayanan berorientasi pada siswa/murid. 13) Budaya konformitas
dalam pengelolaan sekolah berkurang.
2.1.2 Alasan dan Tujuan Penerapan MBS
MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana
diungkapkan oleh Nurkolis antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui
kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan
warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat.
Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara
lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi, finansial,
prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikian Dasar dan Menengah (dalam
Ibrahim Bafadal, 2009:82) MBS bertujuan untuk “Memandirikan dan
memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber
daya untuk meningkatkan mutu sekoloah
Jadi tujuan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas
14
kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan
lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya
manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.
Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah:
1. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-
orang yang bekerja di sekolah.
2. Meningkatkan moral guru.
3. Keputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.
4. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang
dikembangkan di sekolah.
5. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang
diambil pada tingkat sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya
peran seorang pemimpin.
6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap
komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
2.2 Karakteristik MBS
Levacic (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82) mengedepankan tiga
karakteritik kunci MBS sebagai berikut:
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada
para stakholoder sekolah.
2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan
prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
15
regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan
pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai
sistem pendidikan terdiri dari sejumlah komponen yang saling tergantung,
teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen masukan
(input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh
Winarno, 2004: 4-6)
2.2.1 Input
Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan
mentah/dasar), instrumental input (masukan instrumental/alat), dan environmental
input (masukan lingkungan). Masukan input bagi pendidikan adalah siswa-siswa
dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik – biologis,
bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang
afektif/emosi (EQ) minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai,
sarana dan prasarana, strategi dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi
sekolah. Environmental input meliputi partisipasi orangtua, instansi terkait
terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.
2.2.2 Proses (through – put)
Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses
pendidikan ini menyangkut bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw-
16
input, instrumental input dan Enviromental input secara efektif dan efisien
sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan
tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah
dirumuskan dalam tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses
ini adalah pembelajaran.
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan
evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan
kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi
pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka
memasukinya. Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa
jauh efektivitas dan efisiensi manajemennya.
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai
berikut :
a. Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi.
b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Sekolah memiliki budaya mutu.
f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
17
j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)
2.2.3 Hasil yang diharapkan (Output)
Hasil yang diharapkan dari suatu system pendidikan adalah dihasilkannya
lulusan (output) yang memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang
telah dirumuskan dan sesuai pula dengan harapan lembaga pendidikan.
Output bisa berupa prestasi akademik seperti, lomba karya ilmiah remaja,
lomba bahasa Inggris, Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif,
deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi non akademik, misalnya keingintahuan yang
tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan, kesenian, prestasi olahraga,
rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.
2.3 Implemetasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.3.1 Syarat Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pembaruan dalam rangka
meningkatkan kualitas dan demokratisasi pendidikan. Sebagai suatu terobosan
baru Manajemen Berbasis Sekolah dalam pelaksanaannya tentu tidaklah mudah,
banyak hal yang perlu dipersiapkan. Terkait dengan pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah, ada empat faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) Kekuasaan yang dimiliki madrasah/sekolah
18
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai kekuasaan
yang kebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan
yang sesuai dengan tu7juan yang diharapkan.
2) Pengetahuan dan keterampilan
Sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia yang
diwujudkan melalui pelatihan dan semacamnya.
3) Sistem informasi yang jelas
Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah perlu memiliki
informasi yang jelas tentang program pendidikan yang transparan, karena dari
informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah.
4) Sistem penghargaan
Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen
Berbasis Sekolah perlu menyusun sistem penghargaan bagi warga yang
berprestasi, ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas
warga sekolah.
Dengan demikian hanya dengan adanya kewenangan dalam pengelolaan
sekolah, sistem pengembangan sumber daya manusia, tranparansi, serta upaya
pemberian penghargaan bagi yang berprestasi, pelaksanaan manjemen berbasis
sekolah dapat berjalan efektif dan efisien.
Hamsah B, Uno (2010:90-92) menyebutkasn 7 kewenangan tingkat
sekolah dalam pelaksanaan manjemen berbasis sekolah yaitu: